BAB II LANDASAN TEORI A. Beban Kerja Buruh Gendong 1. Definisi Buruh Gendong Buruh
gendong
dilihat
secara
harfiah
adalah
profesi
gendong-
menggendong barang yang dilakukan oleh seorang perempuan. Dengan kata lain buruh gendong adalah sebutan untuk seorang perempuan yang menyandang selendang jarit lurik (kain yang bermotif lurik) dan ada pula yang menenteng srumbung di punggungnya. Tetapi ada yang hanya sekedar menggunakan jahit lurik saja untuk menggendong barang yang besar. Srumbung dipakai membawa barang yang relatif kecil kecil tetapi banyak, Haryanto dalam (Hidayah, 2007). 2. Beban Kerja Beban kerja didefinisikan sebagai tuntutan tugas atau upaya-upaya yang dilakukan untuk melakukan pekerjaan (Tarwaka, 2011). Pekerjaan merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan konsekuensi beban kerja tertentu. Disini beban kerja sesuai dengan sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang diterima tentunya harus seimbang. Seimbang yang dimaksud adalah seimbang dalam kemampuan fisik, kemampuan kognitif, dan kesanggupan manusia dalam menerima pekerjaan tersebut (Soleman, 2011).
6
7
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja Menurut Rodahl (1989), Adiputra (1998) dan Manuaba (2000) dalam Tarwaka (2011) beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat komplek, baik faktor internal maupun faktor eksternal. a. Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja, yang termasuk beban kerja eksternal yaitu: 1) Tugas-tugas (task) yang dilakukan baik yang bersifat fisik seperti; stasiun kerja, tata ruang tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi atau medan kerja, sikap kerja, cara angkat-angkut, beban yang di angkat-angkut, alat bantu kerja, sarana informasi termasuk displai dan kontrol, alur kerja, dll. Sedangkan tugas-tugas yang bersifat mental seperti; kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan pekerjaan yang mempengaruhi tingkat emosi pekerja, tanggung jawab pekerjaan, dll. 2) Organisasi kerja (organization) yang dapat mempengaruhi beban kerja seperti; lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, sistem kerja, model struktur organisasi, pelimpahan tugas, tanggung jawab, wewenang, dll. 3) Lingkungan kerja (environment) yang dapat memberikan beban tambahan kepada pekerja seperti; lingkungan kerja fisik, lingkungan kerja kimiawi, lingkungan kerja biologis, lingkungan kerja psikologis.
8
b. Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri sebagai akibat adanya reaksi dari beban kerja eksternal meliputi; faktor somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh), dan faktor psikis (motivasi, kepercayaan, keinginan dan kepuasan). 4. Penilaian dan Klasifikasi Beban Kerja a. Kerja fisik adalah kerja yang memerlukan energi fisik pada otot manusia yang akan berfungsi sebagai sumber tenaga. Selama kerja fisik berlangsung, maka konsumsi energi merupakan faktor utama yang dijadikan tolak ukur penentu berat atau ringannya suatu pekerjaan. Selanjutnya, setiap aktivitas kerja fisik yang dilakukan akan mengakibatkan terjadinya suatu perubahan fungsi faal pada alat-alat tubuh manusia (fisiologi), yang dapat diketahui dari berbagai indikator, diantaranya adalah: 1) Konsumsi oksigen atau kebutuhan oksigen 2) Laju detak jantung 3) Peredaran udara atau ventilasi paru-paru 4) Temperatur tubuh, khususnya suhu rektal 5) Konsentrasi asam laktat dalam darah 6) Komposisi kimia dalam darah dan jumlah air seni 7) Tingkat penguapan melalui keringat, dll Kerja fisik akan mengeluarkan energi yang berhubungan erat dengan kebutuhan dan konsumsi energi. Penilaian beban kerja fisik dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif, yaitu metode
9
penilaian langsung dan metode tidak langsung. Metode pengukuran langsung yaitu dengan mengukur energi yang dikeluarkan (energy ependeture) melalui asupan oksigen selama bekerja, namun hanya dapat mengukur untuk waktu kerja yang singkat, sedangkan metode pengukuran tidak langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama kerja. Kecepatan denyut jantung memiliki hubungan yang sangat erat dengan aktivitas fungsi faal manusia, dimana semakin berat beban kerja, maka akan semakin pendek waktu kerja seseorang untuk bekerja tanpa kelelahan dan gangguan fisiologis yang berarti (Tarwaka, 2011). Beban angkatan bagi tenaga kerja diklasifikasikan oleh Suma’mur (2014) sebagai berikut : Tabel 2.1 Klasifikasi Beban Kerja Berdasarkan Variabel Faal Kategori Konsumsi Kalori per Suhu Kecepatan Denyut Beban Faal Oksigen menit Rektal berkeringatm Jantung (l/min) (C) l/jam rata(Denyut/min) rata untuk bekerja sehari 8 jam 0,5 2,5 Sangat Ringan 0,5-1,0 2,5-5,0 75-100 Ringan >1,0-1,5 5,0-7,5 37,5-38,0 200-400 >100-125 Sedang >1,5-2,0 7,5-10,0 >38,0400-600 >125-150 Berat >2,0-2,5 10,0-12,5 38,5 600-800 >150-175 Sangat Berat >2,5-4,0 12,5 >38,5800 >175 Luar Biasa 39,5 Berat >39,5 Sumber: Suma’mur 2014
Pengukuran denyut jantung selama kerja merupakan suatu metode untuk menilai cardiovasculair train. Menghitung denyut nadi dapat dilakukan secara manual memakai stopwatch dengan metode 10
10
denyut. Dengan metode tersebut dapat dihitung denyut nadi kerja sebagai berikut: 10 Denyut
Denyut Nadi (denyut/menit) = Waktu Perhitungan 𝑥 60 Selain metode 10 denyut dapat juga dilakukan perhitungan denyut nadi dengan metode 15 detik atau 30 detik. Penggunaan nadi kerja untuk menilai berat ringannya beban kerja mempunyai keuntungan selain mudah, cepat dan murah juga tidak terlalu mengganggu proses kerja dan tidak menyakiti orang yang diperiksa. Kepekaan denyut nadi terhadap perubahan pembebanan yang diterima tubuh cukup tinggi. Denyut nadi akan segera berubah seirama dengan perubahan pembebanan, Kurniawan dalam Tarwaka (2011). Menurut Grandjean dalam Tarwaka (2011) denyut nadi untuk mengestimasi indeks beban kerja fisik terdiri dari: a) Denyut nadi istirahat adalah rerata denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai b) Denyut nadi kerja adalah rerata denyut nadi selama kerja c) Nadi kerja adalah selisih antara denyut nadi istirahat dan denyut nadi kerja 5. Akibat dan Pengendalian Beban Kerja Berat Tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktivitas pekerjaan sehari-hari. Adanya massa otot yang bobotnya hampir lebih dari separuh berat tubuh, memungkinkan manusia untuk dapat menggerakkan tubuh dan melakukan pekerjaan, dengan bekerja berarti tubuh akan menerima
11
beban dari luar tubuhnya. Beban kerja dapat didefinisikan secara operasional pada berbagai faktor seperti tuntutan tugas atau upaya-upaya yang dilakukan untuk melakukan pekerjaan. Tingkat pembebanan yang terlalu tinggi memungkinkan pemakaian energi yang berlebih dan terjadi overstress atau kelelahan kerja, dimana kelelahan diklasifikasikan dalam dua jenis kelelahan otot dan kelelahan umum. Keluhan pada otot juga bisa terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja berat secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi. Sauter, et. al. dikutip dari National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) dalam Tarwaka (2011) memberikan rekomendasi tentang bagaimana cara untuk mengurangi atau meminimalisir stress akibat kerja, beberapa diantaranya yaitu: 1) Beban kerja fisik maupun mental harus disesuaikan dengan kemampuan atau kapasitas kerja pekerja yang bersangkutan dengan menghindarkan adanya beban berlebih maupun beban yang terlalu ringan. 2) Jam kerja harus disesuaikan baik terhadap tuntutan tugas maupun tanggung jawab diluar pekerjaan. B. Prolapsus Uteri 1. Definisi Prolapsus Uteri Prolaps (dari kata Latin prolapsus) berarti tergelincir atau jatuh dari tempat asalnya, dapat diartikan juga jatuh atau tenggelamnya suatu bagian atau viskus. Apabila definisi disatukan, prolapsus uteri bermakna jatuhnya rahim hingga keluar atau menonjol ke dalam vagina. Penurunan dapat
12
terjadi hingga ke orificium vagina sesuai dengan derajat keparahan prolapsus (Winkjosastro, 2008). 2. Anatomi Uterus atau rahim merupakan salah satu organ reproduksi dari wanita. Letak dari uterus berada pada anterior rectum dan pada bagian posterior dari vesika urinaria. Uterus pada wanita yang belum pernah hamil memiliki ukuran panjang 7-7,5 cm, lebar 2,5 cm, dan tebal 2,5 cm (Winkjosastro, 2008). a. Uterus memiliki 2 bagian besar: 1) Korpus uteri: merupakan uterus 2/3 bagian superior. Terdiri atas fundus uteri, kavum uteri yang membuka keluar melalui kanalis servikalis, dan istmus uteri merupakan bagian antara korpus dan serviks. 2) Serviks uteri: merupakan 1/3 bagian inferouterus yang lebih sempit, berbentuk seperti tabung dan posisinya dekat dengan vagina bagian bawah serviks yang terletak di vagina adalah dinamakan portio uteri (pars vaginalis servisiksis uteri). Perbandingan antara panjang korpus uteri dengan panjang serviks uteri berbeda sesuai dengan usia pertumbuhan. Pada bayi memiliki perbandingan 1:2, sedangkan pada wanita dewasa adalah 2:1 (Winkjosastro, 2008)
13
Delancy (2005) membagi struktur dasar yang menyokong organ pelvis: 1) Fascia endopevlia Ditemukan pada setiap sisi uterus, vagina dan sekitar dinding pelvis. Fascia ini memiliki bentukan yang khas seperti lembaran kontinyu yang mirip dengan mesenterium, sedangkan fascia yang melekat pada uterus disebut dengan parametrium, sedangkan fascia yang melekat pada vagina adalah paracolpium. Jaringan penyokong dari pelvis terdiri dari pembuluh darah, saraf dan jaringan fibrosa. Detek pada musculus pubocervical dan fascia rectovaginalis dapat menyebabkan sistokel dan rektokel. Defek pada jaringan suspensorium
pada
paracolpiumdan
parametrium
dapat
menyebabkan prolapsus pada uterus dan vagina. 2) Muskulus levator ani Peran terpenting dari muskulus ini adalah sebagai penopang dari organ pelvis. Muskulus ini terdiri dari 2 bagian yakni muskulus iliococygeus dan muskulus pubovisceral. Musculus pubovisceral merupakan muskulus tebal yang memiliki bentuk seperti huruf U. Membentang dari garis tengah os pubis sampai menuju ke bagian belakang dari rektum berbentuk mirip dengan selempang. Memiliki 2 bagian yakni muskulus puborectalis dan muskulus pubococygeus. Muskulus
pubococygeus
merupakan
muskulus
yang
menghubungkan dua struktur pada bagian belakang korpus os pubis
14
dan bagian belakang os cocygeus. Melekat pada arkus tendineus dari muskulus levator ani. Musculus puborectalis melewati bagian samping vagina dan melekat pada dinding lateral dari vagina. Muskulus ini berjalan sepanjang bagian dorsal rektum dimana terdapat jaringan fibrosa diantara spincter interna dan eksterna. Muskulus levator ani memiliki fungsi sebagai berikut: a) Menjaga hiatus urogenital tetap tertutup b) Menjaga kontraksi dari spincter eksterna dari anus c) Menutup
lumen
vagina
pada
waktu
bersamaan
dengan
menutupnya spincter anal menutup anus 3) Diafragma urogenital dan muskulus genital eksterna Diafragma urogenital bersama dengan muskulus bulbocavernosus memiliki peranan yang penting untuk mendukung letak organ pelvis. Muskulus tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil bila dibandingkan dengan muskulus levator ani hanya memiliki perbandingan 1 dibanding 100. Ukuran dari muskulus tersebut menyebabkan fungsi penyokong terhadap uterus dan vagina tidak sebesar muskulus levator ani. 4) Macam-macam posisi uterus: a) Fleksi: sudut diantara serviks uteri dan korpus uteri Menghadap anterior: Antefleksio Menghadap Posterior: Retroversio
15
b) Versio: sudut diantara vagina dan serviks uteri Menghadap anterior: Anteversio Menghadap posterior: Retroversio 5) Ligamentum yang menyokong uterus: a) Ligamentum rotundum: merupakan terdiri dari sekumpulan otot polos
memiliki
fungsi
sebagai
fiksator
uterus
dan
mempertahankan uterus tetap pada posisis antefkelsi. b) ligamentum latum: ligamentum yang berjalan dari uterus ke arah lateral dan tidak banyak mengandung jaringan ikat. Sebetulnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum visceral yang meliputi uterus dan kedua badan berbentuk sebagai lipatan. Dibagian lateral dan belakang ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium sinistrum dan dekstrum). Untuk memfiksasi uterus ligamentum ini tidak banyak artinya. c) ligamentum
sacro
uterine/
ligamentum
recto
uterium:
ligamentum yang juga menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan melengkung dari bagian belakang serviks kiri dan kanan melalui dinding rektum ke arah os sacrum kiri dan kanan. Dapat teraba selama pemeriksaan rektum (Moore, 2006). d) ligamentum kardinale: ligamentum terbentuk dari serviks bagian lateral sampai ke dinding panggul. Bekerja dengan ligamentum sacrouterine untuk mempertahankan uterus agar tetap dalam
16
letak dan posisinya diatas muskulus levator ani Junizaf (2002) dalam (Ivan, 2013). 6) Vaskularisasi dan inervasi a) Suplai darah uterus sebagian besar berasal dari arteri uterina, dengan suplai kolateral lain yaitu arteri ovarika. Vena uterina memasuki ligamen luas bersama dengan arteri dan membentuk pleksus vena uterina pada tiap sisi serviks. Vena dari pleksus uterina mengalirkan darah menuju ke vena iliaka internal (Moore, 2006). b) Inervasi Simpatis
: Pleksus uterovaginalis
Parasimpatis
: Nervi Splanhinici pelvici
3. Patofisiologi Prolapsus Uteri Muskulus yang sangat berpengaruh terjadinya prolapsus adalah muskulus levator ani. Wahyudi (2007) mengatakan muskulus tersebut memiliki fungsi menjaga otot menegang supaya hiatus urogenital tetap tertutup dan dapat menjalankan fungsinya sebagai penyokong. Apabila tegangannya hilang maka tidak dapat menjaga hiatus urogenital tetap tertutup dan dapat mengakibatkan terjadinya prolapsus. 4. Etiologi a. Kerusakan pada muskulus levator ani Pada umumnya kerusakan muskulus ini terjadi dengan 2 cara menurut (Delancey, 2005). Pertama dapat melalui cedera langsung pada
17
muskulus yang dapat menyebabkan gangguan mekanik pada seluruh otot. Kedua kerusakan pada nervus yang mempersarafi otot sehingga menyebabkan ketidakmampuan untuk berkontraksi. Meskipun bentuk muskulus masih tetap utuh. b. Kerusakan pada jaringan ikat DeLancey (2005) mendapatkan bahwa kerusakan yang sering terjadi pada jaringan ikat lebih disebebkan rupture daripada merenggangnya jaringan ikat. Kegagalan pada jaringan ikat ini sendiri juga dapat disebabkan oleh tidak mampunya jaringan ikat dalam melakukan regenerasi. c. Kelemahan ligamentum penyangga uterus Terdapat suatu kenyataan kelemahan dari ligamentum dan muskulus penyokong organ pelvis dapat menyebabkan terjadinya prolapsus. Jika terjadi kerusakan pada muskulus maka ligamentum mendapatkan beban yang lebih berat pada umumnya. Ketika hal ini terjadi pada wanita yang memiliki ligamentum lemah maka dapat terjadi prolapsus. d. Membawa muatan yang berlebihan Prolapsus dapat terjadi pada sebagian wanita yang memiliki riwayat mengangkat beban berlebih. Mengangkat beban berlebih dapat menyebabkan terjadinya herniasi organ abdomen. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pada tekanan intraabdomen dan menimbulkan prolapsus uteri, (DeLancey, 2005).
18
5. Faktor Risiko Penyebab dari prolapsus uteri adalah multifaktorial. Banyak faktor dapat mempengaruhi seperti umur tua, konstipasi dan kesusahan defekasi yang kronis, paritas (terutama multiparitas), kelemahan dari fungsi otot pelvis, pekerjaan yang membutuhkan mengangkat berat, abnormalitas dari kolagen, obesitas, operasi prolapsus yang sebelumnya, dan ada kemungkinan disebabkan juga oleh menopause serta berkurangnya hormon estrogen (Mouritsen, 2005). 6. Frekuensi Prolapsus Uteri Prolapsus uteri memiliki angka frekuensi yang berbeda dan berlainan di setiap negara. Laporan terakhir di klinik d Gynecologie et Obstetriue Geneva insidennya 5,7 %, Humberg 5,4 %, Roma 6,4%. Pada beberapa negara seperti Mesir, India, dan Jepang memiliki insidensi yang tinggi, sedangkan untuk beberapa negara memiliki insidensi yang rendah, seperti orang Negro Amerika dan Indonesia (Winkjosastro, 2005) 7. Klasifikasi Prolapsus Uteri Menurut Friedman dan Little dalam (Winkjosastro, 2008) prolapsus uteri diklasifikasikan menjadi sebagai berikut: a. Desensus uteri, uterus turun tetapi serviks masih dalam vagina b. Prolapsus uteri tingkat I yaitu uterus turun dengan serviks uteri turun paling rendah sampai introitus vagina c. Prolapsus uteri tingkat II yaitu sebagian besar uterus keluar dari vagina
19
d. Prolapsus uteri tingkat III atau prosidensia uteri yaitu uterus keluar seluruhnya dari vagina, disertai dengan inversio vagina
Gambar 2.1 Perbandingan Derajat Prolapsus Uteri (Mouritsen, 2006)
8. Gejala Prolapsus Uteri Evaluasi terhadap gejala prolapsus uteri tidak bisa berfokus pada gejala lokal namun juga gejala fungsional lainnya yang meliputi pada saluran kemih, kehidupan seksual serta efeknya pada kualitas hidup itu sendiri. Mouritsen (2005) mengatakan terdapat beberapa gejala lokal yang dapat muncul sebagai berikut: a. Wanita dengan prolapsus akan mengalami masalah dalam berkemih, misalnya inkontinensia urin.
20
b. Penurunan dari kepuasan seksual, disebabkan oleh dispareuni karena vagina terasa sempit dan pendek. Selama berhubungan seksual dapat terjadinya inkontinensia urin. c. Gangguan pada usus besar. Dilaporkan 10-30% pasien prolapsus mengalami inkontinensia feses cair. Gejala yang ditimbulkan berbeda-beda dan bersifat individual. Derajat prolapsus berat bisa menimbulkan keluhan yang berbeda-beda dengan derajat prolapsus ringan. Junizaf (2008) mengklarifikasi gejala yang dapat muncul dari prolapsus uteri adalah: a. Perasaan adanya benda menonjol di genitalia eksterna b. Sistokel dapat menyebabkan gejala: 1) Miksi sering dan sedikit, mula-mula pada siang hari kemudian lebih berat pada malam hari. 2) Perasaan seperti kandung kencing penuh dan tidak dapat dikosongkan sepenuhnya. 3) Stess incontinence tidak mampu menahan kencing terutama dalam kondisi tertentu. c. Rasa sakit dipunggung dan panggul. Rasa sakit dapat berkurang terutama ketika sedang berbaring d. Leukoria karena kongesti pembuluh darah didaerah serviks dan infeksi pada portio uteri. Sebagian besar dari gejala prolapsus uteri tidak membutuhkan pengobatan, sehingga perlunya penjelasan kepada pasien akan rasa tidak nyaman ketika
21
beraktifitas. Gejala yang sering timbul adalah perasaan adanya suatu benda didalam vagina yang menjadikan vagina terasa penuh dan menonjol. Dan beberapa pasien ada yang mengatakan seperti merasakan duduk di telur (Berek, 2002). Penelitian selama kurun waktu 10 tahun menyatakan 88,6% wanita mengalami kesulitan dalam mengangkat benda, 82% mengalami tidak nyaman dalam duduk, 79% mengalami kesulitan dalam berjalan, dan 65,5% mengalami kesulitan berdiri. Terdapat juga 55% mengalami sakit punggung (Bonetti, 2002). 9. Penatalaksanaan Prolapsus Uteri a. Teknik non operatif 1) Pesarium vagina Merupakan suatu tindakan sementara untuk menunggu adanya bedah koreksi maupun sebagai penanganan apabila terdapat kontraindikasi dari operasi, prinsip pemakaiannya adalah memberikan tekanan pada dinding vagina bagian atas, sehingga uterus tidak turun dan dapat tertahan. Pessarium memiliki bentuk yang bermacam-macam dapat terbuat dari plastik, berbentuk seperti cap. Tidak bisa digunakan untuk penatalaksanaan jangka panjang, terutama wanita yang masih aktif pada kegiatan seksual (Junizaf, 2008). 2) Latihan dasar pelvis Senam lantai pelvis ini dapat melatih otot panggul yang dapat mencegah prolapsus uteri menjadi lebih parah. Prinsip dasar adalah
22
dengan menguatkan otot dasar panggul penelitian yang telah dilakukan pada wanita yang mengalami stadium 1 sampai 2 prolapsus uteri memberikan hasil positif dan terdapat perbaikan dari prolapsus (Hefni, 2011). 3) Terapi hormonal Terapi hormonal berupa terapi estrogen dapat diberikan secara oral. Tujuannya untuk mencegah kelemahan otot dan jaringan ikat yang mendukung pelvis. Pemberian terapi ini terutama untuk kasus prolapsus yang diakibatkan oleh menopause (NHS, 2013). b. Teknik operatif 1) Histerektomi vagina Teknik yang digunakan adalah dengan mengangkat uterus kemudian puncak vagina akan diangkat dan digantungkan pada ligamentum rotundum kanan dan kiri pada bagian atas akan digantungkan pada ligamentum infundibulo pelvikum (Junizaf, 2008). Dalam beberapa dekade terakhir histerektomi mulai dihindarkan, karena dapat menimbulkan efek dan faktor risiko yang lain, seperti predisposisi dari dyspareuni (Hefni, 2011). 2) Teknik bedah tradisional Banyak teknik bedah yang tersedia untuk mengobati prolapsus uteri di antaranya adalah kolpoklesis. Kolpoklesis merupakan suatu teknik sederhana dengan menjahitkan dinding vagina depan dan dinding
23
vagina belakang sehingga menyebabkan lumen vagina tertutup dan uterus berada di atas vagina (Junizaf, 2008) 3) Operasi manchester Merupakan tindakan memotong serviks uteri. Kemudian melakukan penjahitan pada ligamentum kardinal
yang telah dipotong.
Penjahitan dilakukan didepan serviks sehingga tujuan utama dari penelitian ini adalah memperpendek dari ligamentum kardinal. C. Hubungan Beban Kerja Buruh Gendong Wanita dengan Gejala Prolapsus Uteri Beban kerja fisik disebut juga “manual operation”, dimana performansi kerja sepenuhnya akan tergantung pada upaya manusia yang berperan sebagai sumber tenaga maupun pengendali kerja. Disamping itu, beban kerja fisik juga dapat dikonotasikan dengan kerja berat, kerja otot atau kerja kasar, karena aktivitas kerja fisik tersebut memerlukan usaha fisik manusia yang kuat selama periode kerja berlangsung. Selama kerja fisik berlangsung, maka konsumsi energi merupakan faktor utama yang dijadikan tolak ukur penentu berat atau ringannya suatu pekerjaan, dan apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada ligamen,sendi dan tendon (Tarwaka, 2011). Beban kerja yang berat dapat menimbulkan komplikasi diantaranya adalah prolapsus uteri. Pekerjaan intensitas berat yang dilakukan secara berulang dapat menyebabkan peningkatan pada tekanan intraabdominal sehingga berat yang diterima oleh organ abdomen menjadi meningkat. Proses
24
tersebut secara bertahap dapat menyebabkan kerusakan pada struktur panggul (DeLancey, 2005). Sebuah penelitian mengklasifikasikan pekerjaan intensitas berat dengan mengangkat berat benda 9 kilogram setiap hari selama kurang lebih 1 tahun (Luckaz, 2006).
25
D. Kerangka Pemikiran Beban kerja buruh gendong
Berat beban kerja menurut denyut jantung: a. Ringan c. Berat b. Sedang
Berulang kali mengangkat beban berat
BURUH GENDONG Peningkatan tekanan intraabdominal
Faktor-Faktor Risiko: a. b. c. d.
Umur tua Paritas obesitas Konstipasi dan kesusahan defekasi kronis e. Abnormalitas kolagen f. Operasi prolapsus sebelumnya
Ligamentum penyangga uterus melemah
Gejala Prolapsus Uteri
Keterangan : : Variabel X (Variabel Bebas) : Variabel Y (Variabel Terikat) : Variabel Luar Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Hubungan Beban Kerja Buruh Gendong dengan Gejala Prolapsus Uteri
26
E. Hipotesis Ada hubungan beban kerja dengan gejala prolapsus uteri pada buruh gendong wanita di Pasar Legi Surakarta