27
BAB II LANDASAN TEORI
1. Definisi Dating Menurut Straus dalam jurnalnya Prevalence of Violence Against Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide (2004). Dating didefinisikan sebagai interaksi dyadic, termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit dan implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka saat ini. Collins (dalam Marcus, 2007) mengatakan bahwa terdapat 5 hal yang dapat menjelaskan sebuah hubungan sebagai dating. Kelima hal tersebut adalah: (1) involvement – apakah remaja tersebut pacaran, usia dimana dia memulai pacaran, dan konsistensi serta frekuensi pacaran (2) partner-selection – siapa yang mereka pilih menjadi pacar mereka (apakah usianya lebih tua, sama atau dari suku dan sosioekonomi status yang berbeda atau sama) (3) content – apa yang dilakukan mereka bersama-sama, keberagaman dari aktivitas yang dilakukan bersama, situasi yang dihindari ketika mereka bersama; (4) quality – hal dimana hubungan tersebut menghasilkan suatu pengalaman yang menguntungkan, seperti intimacy, affection, nurturance ataukah iritasi, antagonism, and high conflict and controlling behaviors; and (5) cognitive and emotional processes – apakah terdapat partner yang memberikan respon emosional yang merusak, persepsi, harapan, schema, dan atribusi atas diri sendiri yang lebih didasarkan pada emosi.
Universitas Sumatera Utara
28
Jadi, dating adalah interaksi yang didalamnya terdapat pertukaran afeksi, kognisi dan perilaku yang dilakukan oleh dua pihak yang sudah terjalin hubungan, yang mana interaksi tersebut dilakukan atas dasar kebutuhan kedua pihak dan interaksi ini terjadi melalui pemilihan pasangan.
2. Definisi Violence Definisi violence menurut VandenBos (dalam Marcus, 2007) merupakan ekspresi kemarahan dengan tujuan untuk melukai atau merusak seseorang atau properti mereka secara fisik, emosi, maupun seksual.
3. Definisi Dating Violence Dating violence adalah tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya (Sugarman & Hotaling dalam Krahe, 2001). Selain itu, menurut The National Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence (2006), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran. The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya. Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope (dalam
Universitas Sumatera Utara
29
Murray, 2007) mendefiniskan dating violence sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk melakukan perilaku ini atau tidak, perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya. Jadi, dating violence adalah ancaman atau tindakan untuk melakukan kekerasan kepada salah satu pihak dalam hubungan berpacaran, yang mana kekerasan ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya. Perilaku ini bisa dalam bentuk kekerasan emosional, fisik dan seksual.
4. Bentuk-Bentuk Dating Violence a. Verbal and Emotional Abuse Verbal and emotional abuse adalah ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah. Menurut Murray (2007), verbal and emotional abuse terdiri dari: 1. Name calling Seperti mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang meninginkan pacarnya, mau muntah melihat pacarnya.
Universitas Sumatera Utara
30
Mereka menerima tipe kekerasan ini, karena mereka tidak memiliki self esteem yang tinggi, sehingga tidak bisa mengatakan jika saya jelek, mengapa kamu masih bersama saya sekarang 2. Intimidating looks Pasangannya atau pacarnya akan menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya, jadi pihak laki-laki atau perempuannya mengetahui apakah pacarnya marah atau tidak dari ekspresi wajahnya. 3. Use of pagers and cell phones Seorang pacar ada yang memberikan ponsel kepada pacarnya, supaya dapat mengingatkan atau supaya tetap bisa menghubungi pacarnya. Alat komunikasi ini memampukan pacarnya untuk memeriksa keadaan pacarnya sesering mereka mau. Ada juga dari mereka yang tidak memberikan ponsel kepada pacarnya, namun baik yang memberikan ponsel maupun yang tidak memberikan ponsel tersebut akan marah ketika orang lain menghubungi pacarnya, meskipun orangtua dari pacarnya, karena itu mengganggu kebersamaan
mereka.
Individu
ini
harus
mengetahui
siapa
yang
menghubungi pacarnya dan mengapa orang tersebut menghubungi pacarnya. 4. Making a boy/girl wait by the phone Seorang pacar berjanji akan menelepon pacarnya pada jam tertentu, akan tetapi sang pacar tidak menelepon juga. Pacar yang dijanjikan akan ditelepon, terus menerus menunggu telepon dari pasangannya, membawa teleponnya kemana saja di dalam rumah, misalnya pada saat makan bersama
Universitas Sumatera Utara
31
keluarga. Hal ini terjadi berulangkali, sehingga membuat si pacar tidak menerima telepon dari temannya, tidak berinteraksi dengan keluarganya karena menunggu telepon dari pacarnya. 5. Monopolizing a girl’s/ boy`s time Korban dating violence cenderung kehabisan waktu untuk melakukan aktivitas dengan teman atau untuk mengurus keperluannya, karena mereka selalu menghabiskan waktu bersama dengan pacarnya. 6. Making a girl`s/ boy`s feel insecure Seringkali orang yang melakukan dating violence memanggil pacarnya dengan mengkritik, dan mereka mengatakan bahwa semua hal itu dilakukan karena mereka sayang pada pacarnya dan menginginkan yang terbaik untuk pacarnya. Padahal mereka membuat pacar mereka merasa tidak nyaman. Ketika pacar mereka terus menerus dikritik, mereka akan merasa bahwa semua yang ada pada diri mereka buruk, tidak ada peluang atau kesempatan untuk meninggalkan pasangannya. 7. Blaming Semua kesalahan yang terjadi adalah perbuatan pasangannya, bahkan mereka sering mencurigai pacar mereka atas perbuatan yang belum tentu disaksikannya, seperti menuduhnya melakukan perselingkuhan. 8. Manipulation / making himself look pathetic Hal ini sering dilakukan oleh pria. Perempuan sering dibohongi oleh pria, pria biasanya mengatakan sesuatu hal yang konyol tentang kehidupan, misalnya pacarnyalah orang yang satu-satunya mengerti dirinya, atau
Universitas Sumatera Utara
32
mengatakan kepada pacarnya bahwa dia akan bunuh diri jika tidak bersama pacarnya lagi. 9. Making threats Biasanya mereka mengatakan jika kamu melakukan ini, maka saya akan melakukan sesuatu padamu. Ancaman mereka bukan hanya berdampak pada pacar mereka, tetapi kepada orangtua, dan teman mereka. 10. Interrogating Pasangan
yang
pencemburu,
posesif,
suka
mengatur,
cenderung
menginterogasi pacarnya, dimana pacarnya berada sekarang, siapa yang bersama mereka, berapa orang laki-laki atau wanita yang bersama mereka, atau mengapa mereka tidak membalas pesan mereka. 11. Humiliating her/ him in public Mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan teman-temannya. Atau mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya. 12. Breaking treasured items Tidak memperdulikan perasaan atau barang-barang milik pacar mereka, jika pasangan mereka menangis, mereka menganggap hal itu sebuah kebodohan.
b. Sexual Abuse Sexual abuse adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya (Murray, 2007). Pria
Universitas Sumatera Utara
33
lebih sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita (Hamby, Sugarman, & Boney-McCoy, dalam Heatrich & O`Learry, 2007). Menurut Murray (2007), sexual abuse terdiri dari: 1. Date rape Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau dengan kata lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya pasangan mereka tidak mengetahui apa yang akan dilakukan pasangannya pada saat itu. 2. Unwanted touching Sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada, bokong dan yang lainnya. 3. Unwanted kissing Mencium pasangannya tanpa persetujuan pasangannya, hal ini bisa terjadi di area publik atau di tempat yang tersembunyi. c. Physical Abuse Physical abuse adalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya (Murray, 2007). Wanita juga melakukan kekerasan tipe ini dengan pasangannya akan tetapi konsekuensi fisik yang dihasilkan tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria
terhadap
wanita.
(Cantos,
Neidig,
&
O’Leary,
1994;
Cascardi,
Langhinrichsen, & Vivian, 1992; Stets & Straus, dalam Heatrich & O`Learry, 2007). Physical abuse terdiri dari (Murray, 2007): 1. Hitting, beating, shoving, pushing
Universitas Sumatera Utara
34
Ini merupakan tipe abuse yang dapat dilihat dan diidentifikasi, perilaku ini diantaranya adalah memukul, menampar, menggigit, mendorong ke dinding dan mencakar baik dengan menggunakan tangan maupun dengan menggunakan alat. Hal ini menghasilkan memar, patah kaki, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan sebagai hukuman kepada pasangannya. (Mark McGwire dan Sammy Sosa dalam Murray, 2007) 2. Restraining Perilaku ini dilakukan pada saat menahan pasangan mereka untuk tidak pergi meninggalkan mereka, misalnya menggengam tangan atau lengannya terlalu kuat. 3. Roughhousing/play wrestling Menjadikan pukulan sebagai permainan dalam hubungan, padahal sebenarnya pihak tersebut menjadikan pukulan-pukulan ini sebagai taktik untuk menahan pasangannya pergi darinya. Ini menandakan dominasi dari pihak yang melayangkan pukulan tersebut.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dating Violence Pada Remaja Berdasarkan Domestic and Dating Violence: An Information and Resource Handbook (dalam Murray, 2007). Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi untuk dating violence, yaitu: a. Penerimaan Teman Sebaya
Universitas Sumatera Utara
35
Remaja cenderung
ingin mendapatkan penerimaan dari teman sebaya
mereka, misalnya remaja pria dituntut oleh teman sebayanya untuk melakukan kekerasan sebagai tanda kemaskulinan mereka (Leaver, 2007). b. Harapan Peran Gender Pria diharapkan untuk lebih mendominasi sedangkan wanita diharapkan untuk lebih pasif. Pria yang menganut peran gender yang mendominasi akan lebih cenderung mengesahkan perbuatan dating violence kepada pasangannya, sedangkan wanita yang menganut peran gender yang pasif, akan lebih menerima dating violence dari pasangannya. c. Pengalaman Yang Sedikit Secara umum, remaja memiliki sedikit pengalaman dalam berpacaran dan menjalin hubungan dibandingkan dengan orang dewasa, dan remaja tidak mengerti seperti apa pacaran yang benar, dan apakah setiap hal yang mereka lakukan saat pacaran adalah baik. Contohnya, cemburu dan posesif dari abuser dilihat sebagai tanda cinta dan sesuatu yang dipersembahkan dari abuser. Karena kurangnya pengalaman, mereka menjadi kurang objektif dalam menilai hubungan mereka. d. Jarang Berhubungan dengan Pihak yang Lebih Tua Nancy Worcester in “A More Hidden Crime: Adolescent Battered Women” (The Network News, July/August 1993) menyebutkan bahwa remaja selalu merasa bahwa orang dewasa tidak akan menanggapi mereka dengan serius, dan mereka menganggap bahwa intervensi dari orang
Universitas Sumatera Utara
36
dewasa akan membuat kepercayaan diri dan kemandirian diri mereka hilang. Inilah yang membuat mereka menutupi dating violence yang terjadi pada diri mereka. e. Sedikit akses ke layanan masyarakat Anak dibawah usia 18 tahun mempunyai akses yang sedikit ke pengobatan medis, dan meminta perlindungan ke tempat penampungan orang-orang yang menjadi korban kekerasan. Mereka membutuhkan panduan orangtua, tetapi mereka takut mencarinya. Hal ini akan menghambat remaja untuk terlepas dari kekerasan dalam pacaran. f. Legalitas Kesempatan legal berbeda antara orang dewasa dan remaja, dimana remaja kurang memiliki kesempatan legal. Remaja sering kali memiliki akses yang sedikit ke pengadilan, polisi dan bantuan. Ini merupakan rintangan bagi remaja untuk melawan dating violence. g. Penggunaan Obat-obatan Obat-obatan tidak merupakan penyebab dating violence, tetapi ini dapat meningkatkan peluang terjadinya dating violence dan meningkatkan keberbahayaannya.
Obat-obatan
menurunkan
kemampuan
untuk
menunjukkan kontrol diri dan kemampuan membuat keputusan yang baik dihadapan wanita ataupun prianya.
Universitas Sumatera Utara
37
World Report On Violence And Health (1999) mengindikasikan faktor-faktor yang menyebabkan dating violence diantaranya: a. Faktor Individual Faktor demografi yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kekerasan kepada pasangannya adalah usia yang muda dan memiliki status ekonomi yang rendah. The Health and Development Study in Dunedin, New Zealand – Dalam satu penelitian longitudinalnya menunjukkan bahwa seseorang yang berasal dari keluarga yang melakukan kekerasanberasal keluarga umumnya berada pada level ekonomi yang rendah, memiliki prestasi akademis yang rendah atau pendidikan yang rendah, maka mereka akan melakukan dating violence. b. Sejarah Kekerasan dalam Keluarga Studi yang dilakukan di Brazil, Afrika dan Indonesia menunjukkan bahwa dating violence cenderung dilakukan oleh laki-laki yang sering mengobservasi ibunya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. c. Penggunaan Alkohol Penelitian Black, dkk yang diadakan di Brazil, Cambodia, Canada, Chile, Colombia, Costa Rica, El Salvador, India, Indonesia, Nicaragua, Afrika Selatan, Spanyol dan Venezuela menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peminum minuman keras dengan menjadi pelaku dating violence. Yaitu bahwa alkohol dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan individu dalam menginterpretasikan sesuatu (World Report on Violence and Health, 2002) . Lebih lanjut Borsary & Carey (dalam
Universitas Sumatera Utara
38
Roudsary, Leahy & Walters, 2009) menggunakan pengukuran penggunan alcohol satu kali seminggu dalam memprediksikan pelaku dating violence. d. Gangguan Kepribadian Penelitian di Canada menunjukkan bahwa laki-laki yang menyerang pasangannya cenderung mengalami emotionally dependent, insecure dan rendahnya self-esteem sehingga sulit mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam diri mereka. Mereka juga memiliki skor yang tinggi pada skala personality disorder termasuk diantaranya antisocial, aggressive and borderline personality disorders. e. Faktor dalam Hubungan O’Kefee (2005) mengatakan bahwa, kurangnya kepuasan dalam hubungan, semakin banyaknya konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan meningkatkan terjadinya dating violence. Lewis & Fremouw, Ray & Gold, Billingham (dalam Luthra dan Gidycs, 2006) penelitiannya mengatakan bahwa semakin lama durasi suatu hubungan, maka dating violence dalam hubungan tersebut semakin meningkat. Follingstad, Rutledge, Polek, & McNeill-Hawkins (dalam Luthra & Gidycs, 2006) menyebutkan bahwa dengan pertambahan setiap 6 bulan durasi dating. Korban dari kekerasan berulang kali akan lebih bisa bertahan dalam hubungan yang dijalaninya, daripada korban yang mengalami sekali kekerasan
Atau dengan kata lain, semakin sering
dilakukan suatu kekerasan kepada pasangannya maka sang pelaku akan semakin merasa bahwa si korban menerima perilaku kekerasan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
39
f. Faktor Komunitas Dengan tingkat ekonomi yang tinggi, maka orang-orang lebih mampu untuk melakukan perlindungan ataupun pembelaan terhadap kekerasan yang dialaminnya. Meskipun tidak selalu benar bahwa kemiskinan meningkatkan
kekerasan.
Tapi
tinggal
dalam
kemiskinan
dapat
menyebabkan hopelessness. Untuk beberapa pria, tinggal dalam kemiskinan bisa mengakibatkan stress, frustrasi, dan perasaan tidak mampu untuk memenuhi harapan sosial, atau hidup sesuai dengan harapan sosial. Peran gender tradisional, ada tidaknya sanksi dalam komunitas itu, atau daerah tempat tinggal pelaku dan korban merupakan bekas daerah perang sehingga tersedia peralatan perang juga turut berperan. Terpapar dengan kekerasan yang terjadi di komunitas berhubungan dengan menjadi pelaku dating violence dikedua gender (Malik dalam O`Kefee, 2005). Terpapar dengan kekerasan yang terjadi di komunitas akan meningkatkan kekerasan yang terjadi, mungkin ini disebabkan oleh penerimaan seseorang mengenai violence tersebut. (O’Keefe, 2005).
6. Dampak Dating Violence Berikut adalah dampak dating violence menurut Kelly (2006) a. Secara Fisik
Universitas Sumatera Utara
40
Dating violence dapat mengakibatkan luka dibagian wajah, tulang, bagian tubuh lainnya, AIDS, penyakit seksual lainnya dan bahkan dapat mengakibatkan kematian. b. Secara Psikologis 1. Fear Ketakutan merupakan perasaan yang paling dominan yang dirasakan oleh korban. Hal ini akan membayang-bayangi kemana saja mereka akan pergi dan apa saja yang akan mereka lakukan. Bahkan juga dapat mengganggu pola tidur mereka, seperti dapat mengakibatkan insomnia atau mimpi buruk. Terganggunya tidur dapat mengakibatkan korban tergantung pada obat tidur. 2. Low self-esteem: Akhir dari dating violence yang dialami oleh korban adalah hancurnya self esteem. Kepercayaan diri, rasa berharga atas dirinya, dan keyakinan tentang kemampuannya semua berubah. Kekerasan yang lebih hebat lagi dan lebih lama lagi akan menurunkan self image seseorang, misalnya mereka mulai percaya nama yang digunakan pasangan mereka ketika memanggil mereka, seperti bodoh, tidak bisa berbuat apapun, jelek dan sebagainya menjadi bagian dari diri mereka. 3. Internalization of oppression Korban yang mengalami dating violence akan melihat diri mereka sebagai pihak yang inferior, karena terus menerus mendapatkan tekanan dari pacarnya.
Universitas Sumatera Utara
41
4. Internalized Blame Mereka yang menjadi korban seringkali percaya bahwa merekalah yang bersalah dan menyebabkan kekerasan terjadi. Mereka berfikir bahwa mereka mendapatkan kekerasan karena mereka melakukan kesalahan 5. Helplessness Korban dating violence sering kali merasa tidak berdaya, hal ini berarti bahwa usaha mereka untuk mengontrol, lari atau menghindar dari dating violence tidak berhasil. Ini akan menghasilkan perasaan tak berdaya yang mengarahkan pada kepercayaan mereka bahwa mereka tidak dapat merubah situasi. 6. Isolation Korban akan jauh dari orang-orang yang mungkin akan menolong mereka. Hal ini karena pasangan mereka mengatur segala sesuatu mengenai hidup mereka. 7. Mood Swings Korban dating violence dapat menjadi sangat tidak stabil secara emosional dengan mood yang tidak sesuai dengan situasi. Hal ini membuat mereka sulit untuk memahami sesuatu. Satu waktu mereka tertawa, tak lama kemudian mereka menjadi menangis.
Universitas Sumatera Utara
42
7. Karakteristiik Orang Yang Akan Menjadi Pelaku Dating Violence Beberapa ciri orang yang akan melakukan dating violence adalah: 1. Rendahnya self esteem atau self image yang buruk Self esteem adalah keseluruhan sikap kepada diri, apakah positif atau negatif (Rosenberg, dalam Baron, Byrne & Branscombe, 2006). Orangorang dengan self esteem dan self image yang rendah ingin meningkatkan self esteem dan self image mereka dengan menunjukkan kekuatan mereka atas pasangan mereka. 2. Toleransi yang sedikit kepada frustrasi Frustrasi didefinisikan sebagai perasaan yang timbul
ketika terdapat
situasi yang merintangi goal (Dollard, Doob, Miller, Mower; & Sears dalam Baron et al., 2006). Roseinzweig (dalam Kellen, 2009) mengatakan bahwa reaksi seseorang kepada situasi frustrasi bisa favorable atau tidak favorable berdasarkan toleransi frustrasi seseorang. Kellen (2009) mengatakan bahwa memiliki toleransi frustasi yang rendah seringkali merupakan faktor yang dapat menciptakan kemarahan dan kekerasan. 3. Mood yang sering berubah-ubah Orang dengan tipe ini biasanya kelihatan tenang dalam beberapa menit, dan tiba-tiba berperilaku agresif kemudian (Adetunji, 2008). 4. Short tempered or anger prone Cenderung
mengekspresikan
ketakutan
atau
kecemasan
sebagai
kemarahan, atau menolak untuk mendiskusikan perasaan mereka, dan kemudian menunjukkan kemarahan meraka yang meledak–ledak
Universitas Sumatera Utara
43
5. Kecemburuan yang berlebihan Kecemburuan terjadi dengan pihak ketiga dalam hubungan, dimana pihak yang cemburu merasa bahwa pasangan mereka membina hubungan dengan oranglain. Seseorang yang pencemburu menunjukkan ekspresi cemburu mereka, seperti kemarahan maupun kekerasan fisik (Peppermint, 2006). 6. Terlalu posesif Posesif merupakan perasaan takut akan kehilangan seseorang (Hendrick & Hendrick dalam Baron, Byrne & Branscombe 2006). Perasaan ini membuat pasangan mereka ingin mengontrol segala sesuatu mengenai pasangannya, dan tidak jarang kontrol yang dilakukan terlalu berlebihan dan mengekang pasangannya.
C. Dating dan Remaja Kota Medan Remaja merupakan masa transisi, suatu masa dimana periode anak-anak sudah terlewati dan disatu sisi belum dikatakan dewasa (Stuart and Sundeen, 1995). Steinberg (2002) menyatakan masa remaja sebagai masa peralihan dari ketidakmatangan pada masa kanak-kanak menuju kematangan pada masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun (Monks, Knoer & Haditono.,
Universitas Sumatera Utara
44
2002). Ciri yang menonjol pada masa ini adalah individu mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang amat pesat, baik fisik, emosional dan sosial (Hurlock, 1999). Perubahan sosial yang ditunjukkan remaja adalah memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Perubahan sosial yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya (Hurlock, 1999). Medan yang merupakan Kota terbesar yang mengalami kemajuan dan pembangunan diluar Pulau Jawa, memiliki Remaja yang umumnya mengunjungi mall, plaza, diskotik, kafe, pantai, bioskop. Remaja mengunjungi tempat-tempat tersebut untuk melepaskan beban psikisnya bersama dengan teman-temannya. Berbeda dengan tempat sebelumnya, rumah makan, pertokoan dan pasar, stasiun KA dan terminal serta pinggiran jalan raya merupakan tempat-tempat yang pada umumnya memberikan kebutuhan sosial dan ekonomi. Pada umumnya ditempattempat ini remaja melakukan aktivitas ekonomi, seperti menjadi tukang parkir, semir sepatu, padagang asongan dan pengamen. Meskipun demikian, sebagian remaja wanita ada yang memperoleh kebutuhan ekonomi di tempat-tempat seperti diskotik, kafe, kompleks hotel, bioskop dan pantai, antara lain sebagai penjaja seks. Sebagian yang lain minum-minuman keras, menggunakan narkotika, dan melakukan transaksi seksual. Sebagian dari remaja ada yang pulang semaunya. Sebagian yang lain bahkan jarang sekali pulang. Mereka hidup dijalanan, emperan
Universitas Sumatera Utara
45
toko, plaza, mall, atau di stasiun KA dan terminal bus, yang sudah layaknya seperti rumah bagi mereka (Damanik, 2006). Sebagai kota metropolitan, perilaku (gaya) berpacaran remaja Medan diyakini tak terlalu berbeda dibandingkan kota-kota besar lainnya. Sekarang banyak ditemui pasangan remaja yang berpegangan tangan atau memadu kasih, di taman, pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Tindakan pacaran remaja saat ini di Kota Medan adalah berpegangan tangan dengan pacar, berciuman, berhubungan seks (Damanik, 2006).
Universitas Sumatera Utara