BAB II LANDASAN TEORI
A. Kepuasan Perkawinan 1. Perkawinan Kehidupan perkawinan biasanya dimulai pada usia dewasa muda. Corsini (2002), mengartikan perkawinan sebagai komitmen bersama yang dibuat dengan tujuan agar dikenal oleh masyarakat, atau orang lain sebagai suatu kesatuan yang stabil, pasangan suami istri, dan keluarga. Perkawinan terjadi melalui upacara perkawinan serta mendapat pengakuan hukum, agama dan masyarakat. Jadi, perkawinan adalah pengakuan hukum, agama, dan masyarakat terhadap penyatuan pria dan wanita sebagai pasangan dengan harapan mereka akan menerima tanggungjawab serta perannya sebagai suami istri dan orang tua. Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Astuti, 2003). Ketika memasuki perkawinan, yang ada dalam benak setiap orang adalah harapan akan perkawinan yang bahagia. Kebahagiaan dalam perkawinan tidak datang begitu saja, pasangan harus dapat berusaha untuk menciptakan kebahagiaan.
Universitas Sumatera Utara
a. Perubahan-perubahan dalam Perkawinan Wazalawik, Weakland & Fisch (dalam Sawitri, 2005) mengungkapkan bahwa terdapat dua jenis perubahan dalam kehidupan yaitu : 1). Perubahan Natural Perubahan natural adalah perubahan yang tumbuh dari tahapan natural kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut datang secara perlahan sejalan dengan pola siklus kehidupan yang normal. Perubahan ini dapat diterima dan dipahami orang dewasa. Setiap perubahan secara umum berjalan sama pada kedua pasangan dalam periode waktu tertentu dan kedua pasanganpun umumnya mampu memahami segala macam transisi yang terjadi bersama karena mereka menganggap transisi tersebut bersifat alami. Terkadang, perubahan tersebut dapat mengakibatkan ketidakserasian, namun banyak dari perubahan-perubahan tersebut tidak mengakibatkan gangguan berat. Misalnya, orang menikah dan punya anak, anak tumbuh menjadi dewasa dan matang, relasi menjadi semakin mendalam. 2). Perubahan yang Tiba-tiba Perubahan ini terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi sebelumnya, dimana sering membuat pasangan tersebut berada pada situasi tanda tanya. Jenis perubahan semacam ini sering menjadi penyebab konflik dalam ikatan perkawinan. Perubahan-perubahan ini umumnya menuntut transformasi sikap kedua pasangan dan proses penyesuaian pasangan terhadap situasi baru. Beberapa pasangan mungkin merasakan kemarahan, kecemasan, atau kekaburan. Perubahan ini sering menuntut kesediaan untuk berubah dalam
Universitas Sumatera Utara
berhubungan. Misalnya ketika terjadi bencana alam, serangan penyakit serius, suami yang dipecat dari pekerjaan, dll. Peneliti memasukkan teori perubahan dalam perkawinan mengingat bahwa kehidupan
perkawinan
akan
selalu
mengalami
perubahan
yang
bisa
mempengaruhi penilaian istri terhadap perkawinannya.
2. Kepuasan perkawinan Hendrick & Hendrick (1992) mengemukakan istilah-istilah yang masuk dalam kepuasan perkawinan yaitu : kebahagiaan dalam perkawinan, kesepakatan akan nilai, prioritas dan peraturan keluarga bagi pasangan dalam perkawinan, keterlibatan emosional dengan anak-anak, dan berbagai perasaan lain, ekspresi verbal dan tingkah laku yang menjadi ciri evaluatif dari suatu hubungan. Mary Anne Fitzpark (dalam Bird, 1994), mengemukakan tiga istilah ayng digunakan dalam mengidentifikasi kepuasan perkawinan yaitu : marital happines, marital quality, dan marital adjustment. Snyder (dalam Fatimah, 1998) mengatakan kepuasan perkawianan sebagai evaluasi suami istri terhadap seluruh kualitas kehidupan perkawinan. Agnus C., dkk (dalam Levinson, 1995) menjelaskan bahwa kebahagiaan dan kepuasan perkawinan saling berhubungan. Perbedaan yang mendasar adalah kebahagiaan dalam perkawinan lebih mengarah pada evaluasi afeksi atau perasaan, sedangkan kepuasan perkawinan mengarah pada faktor kognisi seseorang. Chappel & Leigh (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) menyatakan kepuasan perkawinan sebagai evaluasi subjektif terhadap kualitas perkawinan secara
Universitas Sumatera Utara
keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani maka individu beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat individu menikah telah terpenuhi, baik sebagian maupun seluruhnya. Individu merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah. Lebih lanjut Hawkins (dalam Pujiastuti & retnowati, 2004) menjelaskan bahwa kepuasan perkawinan adalah perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suamiistri. Levenson et al, (dalam Cavanaugh & Blanchard, 2006) mengatakan bahwa hal yang paling penting dalam melihat kepuasan perkawinan adalah kemampuan pasangan dalam mengatasi konflik. Pasangan yang puas terhadap perkawinannya akan belajar melakukan penyesuaian dalam transisi yang terjadi dalam kehidupan keluarganya (Brubaker dalam Cavanaugh & Blanchard, 2006). Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif seseorang terhadap kualitas perkawinan yang berkaitan dengan area-area dalam mengukur kepuasan perkawinan yang dirasakan dalam jangka waktu yang lama.
a. Area-area dalam Perkawinan untuk Mengukur Kepuasan Perkawinan Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) mengatakan bahwa terdapat sepuluh area dalam perkawinan yang dapat digunakan untuk melihat kepuasan perkawinan sebagai berikut: 1) Komunikasi (Communication) Mengenai perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangan. Area ini menjelaskan tentang perasaan senang pasangan suami istri berbagi dan
Universitas Sumatera Utara
menerima informasi tentang pikiran dan perasaan. Sadarjoen (2005) mengemukakan elemen-elemen komunikasi dalam perkawinan, yaitu : keterbukaan diantara pasangan, pemahaman diri agar individu dapat mengatakan apa yang diinginkan dan pasangan dapat menangkap maksud tersebut, penghargaan terhadap pasangan, otonomi sebagai individu bersama pasangan, kepercayaan, empati, dan keterampilan mendengar. Kail & Cavanaugh (2000) mengatakan bahwa kebahagiaan dalam perkawinan dapat dibina dengan mengungkapkan perasaan cinta kepada pasangan. Komunikasi merupakan alat dalam membina kesesuaian diantara pasangan untuk memelihara keutuhan keluarga (Gunarsa & Gunarsa, 2000). 2) Aktivitas Waktu Senggang (Leissure Activity) Menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang. Area ini dapat merefleksikan aktivitas yang dilakukan merupakan aktivitas personal atau bersama, pilihan personal atau bersama, dan harapan-harapan dalam mengisi watu senggang bersama pasangan. Pasangan yang mengisi waktu senggang bersama-sama menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan
yang
tinggi dimana kesempatan menghabiskan waktu bersama akan menghasilkan perasaan yang lebih positif terhadap kehidupan perkawinan (Newman & Newman, 2006). 3) Orientasi Keagamaan (Religious Orientation) Melihat makna keyakinan beragama dan pelaksanaannya dalam kehidupan perkawinan. Orang tua mengajarkan dasar-dasar agama yang dianut, memberi
Universitas Sumatera Utara
teladan bagi anak, membiasakan diri untuk beribadah, ikut dalam kegiatan organisasi keagamaan (Hurlock, 1999). 4) Pemecahan Masalah (Conflict Resolution) Menilai persepsi suami istri akan konflik yang ada dan penyelesaiannya. Area ini berfokus pada keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan persoalan serta strategi yang digunakan untuk mengakhiri perbedaan pendapat. Pasangan yang puas terhadap solusi pemecahan konflik dalam keluarga menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang lebih baik. Kepercayaan satu sama lain dan pendekatan kerja sama terhadap pengambilan keputusan sangat dibutuhkan untuk mendapatkan solusi yang memuaskan yang menghasilkan kepuasan perkawinan yang lebih baik (Newman & Newman, 2006). Pasangan dengan resolusi konflik yang baik melakukan pekerjaan dengan skill yang lebih baik dalam menjalankan hubungan yang intim (Cavanaugh & Blanchard, 2006). 5) Manejemen Keuangan (Financial Management) Melihat sikap dan cara mengatur keuangan. Area ini menilai bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuaangan. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan tentang kemampuan keuangan untuk memiliki barang-barang yang dianggap penting dan ketidakmampuan untuk memenuhi biaya hidup dapat menjadi masalah yang timbul dalam perkawinan (Hurlock, 1999).
Universitas Sumatera Utara
6) Hubungan Seksual (Sexual Relationship) Melihat bagaimana perasaan yang berhubungan dengan kasih sayang dan hubungan seksual dengan pasangan. Area ini merefleksikan sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, dan kesetiaan terhadap pasangan. Masalah dalam hubungan seksual yang muncul pada suatu perkawinan merupakan masalah yang sulit dan dapat menjadi salah satu penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakatan diantara pasanagn tidak dapat dicapai dengan memuaskan (Hurlock, 1999). 7) Keluarga dan Teman (Family and Friend) Menilai perasaan dan perhatian terhadap hubungan dengan kerabat, mertiua dan teman-teman. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang dalam mengisi waktu bersama keluarga dan teman. Hubungan yang baik dengan mertua, menantu merasa bahagia dalam berhubungan dengan keluarga pasangan seperti keluarga sendiri. Perkawinan akan lebih sulit apabila salah satu pasangan menggunakan lebih banyak waktunya untuk keluarga yang datang berkunjung dalam waktu yang lama atau bahkan tinggal bersama (Hurlock, 1999.) 8) Kehadiran anak dan menjadi orang tua (Children and Parenting) Menilai sikap dan perasaan tentang memiliki dan membesarkan anak. Area ini memperhatikan keputusan mengenai disiplin, cita-cita terhadap anak dan dampak adanya anak dalam hubungan dengan pasangan. Sebagai orang tua dibutuhkan komitmen akan waktu bagi anak-anak, memahami peran sebagai
Universitas Sumatera Utara
orang tua, dan hendaknya menyesuaikan diri dengan perkembangan anak (Hurlock, 1999). 9) Kepribadian (Personality issue) Menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan. Area ini melihat penyesuaian diri dengan pasangan dan kepuasan terhadap tingkah laku, kepribadian, dan kebiasaan-kebiasaan pasangan. Individu memiliki konsep pasangan yang ideal dalam memilih pasangan dan didalam pernikahan setiap pasangan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan yang ada mengenai pasanagn (Hurlock, 1999). 10) Peran Egalitarian (Egalitarian roles) Menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragan dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. Fokus area ini adalah pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orang tua. Hurlock (1999) menjelaskan konsep egalitarian sebagai konsep yang menekankan individualitas dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Pada konsep egalitarian, suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi dan tidak hanya berlaku untuk jenis kelamin tertentu. Pria bekerja sama dengan wanita sebagai rekan dalam maupun di luar rumah, suami tidak merasa malu bila istri memiliki pekerjaan yang lebih tinggi dan penghasilan yang lebih besar. Egelman (2004) mengatakan bahwa peran egalitarian dalam suatu perkawinan dapat mengurangi kemungkinan melakukan perlakuan kasar baik secara fisik maupun emosional.
Universitas Sumatera Utara
Peneliti memasukkan teori area-area dalam megukur kepuasan perkawinan mengingat aspek ini bisa terganggu dalam beberapa area tergantung pada penilaian istri terhadap perkawinannya.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan Hendrick & Hendrick mengatakan bahwa kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum perkawinan (premarriage) dan sesudah perkawinan (postmarrige). 1) Faktor-faktor sebelum perkawinan (premarriage) yaitu : a) Latar belakang sosial ekonomi Status ekonomi sebelum menikah dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan karena status tersebut berhibungan dengan harapan akan status ekonomi yang diterima setelah menikah. Pada umumnya wanita berharap bahwa perkawinan dapat membuat status sosial dan ekonominya terangkat, namun dapat terjadi ketidakpuasan bila harapan tersebut tidak realistis dan bila wanita memilih suami hanya karena alasan ekonomi (Hurlock, 1999). b) Pendidikan Penelitian yang dilakukan oleh Luckey (2001) menghasilkan bahwa kepuasan perkawinan berhubungan positif dengan pendidikan yang tinggi dimana orang berpendidikan tinggi akan lebih puas terhadap perkawinan. c) Pekerjaan Pekerjaan yang dimiliki individu akan memberikan keuntungan bagi perekonomian dan juga meningkatkan penghargaan yang positif terhadap diri. Penghargaan yang positif terhadap diri dapat menjadi hal yang positif dalam
Universitas Sumatera Utara
menjalin hubungan bersama pasangan yang akan meningkatkan kepuasan perkawinan (Egelaman, 2004). d) Pengaruh Orang tua Orang tua merupakan contoh bagi anak dalam menjalani kehidupan perkawinan mereka. Orang tua juga dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan anak berhubungan dengan harapan orang gtua akan anak dan kehidupan perkawinan anak. Bila orang tua terlalu memaksakan harapannya, dapat terjadi pertengkaran antara orang tua dengan anak, misalnya : perjodohan. Orang tua yang terlalu ikut campur dalam perkawinan anak dapat membuat anak tidak bahagia dalam perkawinannya. 2) Faktor-faktor sesudah perkawinan (postmarriage) yaitu : a) Anak Kepuasan perkawinan dapat dipengaruhi oleh kehadirana anak tergantung pada kesepakatan dan kesiapan kedua pasangan dalam menerima anak. Ada pasangan yang menunda untuk memiliki anak untuk alasan keamanan kerja ataun karir (Newman & Newman, 2006). b) Lama Perkawinan Kepuasan perkawinan akan menurun sejak kelahiran anak. Penurunan ini banyak dirasakan oleh wanita berhubungan dengan tanggung jawab terhadap pengasuhan anak lebih besar pada wanita dan wanita juga dapat merasakan ketidakadilan pembagian kerja (Levy_Shiff; dalam Siegelman, 2003). Kepuasan perkawinan akan meningkat kembali setelah anak-anak telah dewasa dan pada tahap ini wanita sering merasa lebih adil dalam perkawinan dan
Universitas Sumatera Utara
merasa suami dapat memenuhi apa yang dibutuhkan oleh istri (Siegelman, 2003). Peneliti memasukkan teori faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan mengingat bahwa kepuasan perkawinan yang dirasakan istri akan berbeda karena faktor-faktor yang terdapat diatas.
B. STROKE 1. Definisi Stroke Stroke didefinisikan sebagai gangguan saraf yang menetap, yang disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih. Serangannya berlangsung selama 15-20 menit. Serangannya mendadak dan tidak bisa diprediksi. Sekali terjadi serangan bisa berakibat fatal. Pasien bisa lumpuh atau bahkan langsung meninggal dunia (Sutrisno, 2007). Definisi stroke menurut WHO adalah : “ Stroke is rapidly developing clinical sign of fokal or global disturbance of cerebral function with symptoms lasting 24 hours or longer, or leading to death with no apperent cause other than vascular signs”
Berdasarkan definisi diatas dapat dikatakan bahwa stroke adalalah gangguan fungsional otak fokal maupun global yang terjadi secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam; akibat gangguan aliran otak (Shimberg, 1998). Shimberg (1998) mengatakan bahwa stroke adalah hasil penyumbatan yang tiba-tiba saja terjadi, yang disebabkan oleh penggumpalan, pendarahan, atau
Universitas Sumatera Utara
penyempitan pada pembuluh darah arteri, sehingga menutup aliran darah ke bagian-bagian otak. Shimberg (1998) juga mengatakan bahwa stroke merupakan penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak atau keadaan dimana sel-sel otak mengalami kerusakan karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Sarafino (2006) menyatakan bahwa stroke adalah kondisi dimana terjadinya kerusakan pada sebagian otak karena pembuluh darah yang tersumbat sehingga oksigen tidak terpenuhi dengan baik. Penyakit stroke merupakan penyebab kematian utama di dunia dan dapat menyebabkan kematian, kelumpuhan, gangguan bicara, menurunkan kesadaran dan banyak akibat yang lainnya. Penyakit stroke ini dapat terjadi karena gangguan penyakit lainnya seperti jantung, diabetes mellitus dan hipertensi. Hipertensi (tekanan darah tingi) yang sudah mengalami arteosklerosis (pergeseran pembuluh darah) akan lebih mudah terkena serangan stroke. Stroke mengenai semua usia, termasuk anak-anak. Tetapi stroke lebih banyak terjadi pada usia produktif, yaitu berusia di atas 40 tahun. Semakin tinggi usia seseorang, resiko terserang stroke semakin besar. (Sutrisno, 2007). Penyakit serebrovaskuler atau stroke yang menyerang kelompok usia di atas 40 tahun adalah akibat patologi pada sistem pembuluh darah otak, proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombus (pecahan bekuan darah/plak) atau emboli (udara, lemak) dan pecahnya pembuluh darah otak. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena
Universitas Sumatera Utara
kelainan kongenital maupun degeneratif, ataupun bersifat sekunder akibat proses lain seperti peradangan, arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes melitus, oleh karena itu penyebab stroke sangat kompleks (Misbach, 1997). Stroke terjadi akibat tersumbatnya peredaran darah pada otak dengan gejala yang spontan dan mengakibatkan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan oleh otak tidak dapat diedarkan dengan baik, hal ini dapat mengakibatkan radang fungsi otak, dan jika terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan pusing, pingsan, lumpuh bahkan kematian (Idris, 2007). Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa stroke adalah penyumbatan pembuluh darah dan pecahnya pembuluh darah otak sehingga mengakibatkan aliran darah ke otak mengalami gangguan sehingga nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan otak tidak terpenuhi.
2. Dampak yang diakibatkan oleh Stroke Gejala dan tanda yang sering dijumpai pada individu-individu yang sedang mengalami dan setelah serangan stroke. Feigin (2006) mengatakan bahwa stroke mengakibatkan berbagai gangguan fisik sehingga mengakibatkan individu mengalami keterbatasan dalam hidupnya, gangguan fisik tersebut adalah : a. Dampak Fisik 1) 80% pasien stroke mengalami penurunan parsial atau total gerakan dan kekuatan lengan atau tungkai di salah satu sisi tubuh (kelumpuhan parsial disebut paresis, kelumpuhan total disebut paralisis). 2) 80-90 % menderita kebingungan–masalah dengan kemampuan berfikir dan mengingat.
Universitas Sumatera Utara
3) 30% mengalami satu atau lebih masalah komunikasi. Mereka mungkin tidak mampu berbicara atau memahami bahasa lisan (disebut afasia atau disfasia), gejalanya mencakup kesulitan memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan atau ditulis, kesulitan memahami tulisan, pemakaian kata-kata tanpa makna, dan masalah memahami kata. Mereka mengalami kesulitan berbicara, berbicara pelo, atau sama sekali tidak mampu bersuara meskipun tetap mengerti bahasa lisan (disartia). 4) 30% mengalami kesulitan menelan (disfagia) 5) 10% mengalami masalah melihat benda-benda di satu sisi dan 10% memiliki penglihatan ganda. 6) Kurang dari 10% mengalami gangguan koordinasi saat duduk, berdiri dan berjalan (ataksia). 7) Hingga 70% mengalami gangguan suasana hati, termasuk depresi. 8) Gangguan kesadaran seperti pingsan bahkan sampai koma.
Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pascastroke sangat berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami oleh penderita pascastroke akan sangat mempengaruhi kehidupan istri penderita sebagai pendamping suami. b. Dampak Psikologis Pada saat individu mengalami penyakit kronis seperti stroke, maka individu maupun keluarganya akan mengalami goncangan dan ketakutan, khususnya istri yang menjadi caregiver utama suami yang terserang stroke hal ini disebabkan
Universitas Sumatera Utara
oleh sesuatu yang yang dialami tidak pernah terduga sebelumnya. Shimberg (1990) mengatakan bahwa stroke dapat mempengaruhi kondisi psikologis penderitanya, ada beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh penderita pascastroke,yaitu : 1) Kemarahan Kebanyakan penderita stroke mengalami kesulitan dalam mengekspresikan kemarahannya bahkan sering kali merasa tidak mau patuh dan melawan para caregiver, dokter dan ahli terapinya. Mereka juga bisa memaki-maki dengan kata-kata yang menyakitkan dan memukul secara fisik. Penderita juga sering memiliki amarah yang meledak-ledak. 2) Isolasi Penderita kelumpuhan akibat stroke dapat mengakibatkan individu melakukan penarikan diri dari lingkungannya, karena perasaan mereka sering tidak perduli pada orang lain. Sering kali teman-teman mereka meninggalkan mereka karena tidak tahu bagaimana harus bereaksi dengan penderita kelumpuhan tersebut. 3) Kelabilan Emosi Penderita stroke memiliki reaksi-reaksi emosional yang membingungkan. Kelabilan emosi merupakan gejala yang aneh, terkadang penderita stroke tertawa atau menangis tanpa alasan yang jelas. Tangisan yang tidak dapat dikontrol padahal dulunya penderita bukanlah orang yang emosional. Emosi yang sebaliknya juga dapat terjadi, yaitu tertawa yang tidak dapat dikontrol.
Universitas Sumatera Utara
4) Kecemasan yang berlebihan Sebagian penderita mungkin memperlihatkan ketakutannya ketika keluar rumah, keadaan ini dinamakan agorafobia. Hal ini terjadi karena mereka merasa malu ketika bertemu dengan orang lain, sekalipun dengan teman lamanya. Perasaan malu ini mungkin timbul akibat adanya gangguan pada kemampuan bicara dan kelumpuhan yang dialaminya. 5) Depresi Depresi adalah perasaan marah yang berlangsung di dalam batin, beberapa depresi tidak hanya bersifat reaktif, tetapi penderita kelumpuhan pascastroke akan bereaksi terhadap semua kehilangannya dan merasa putus asa. Gangguan depresi merupakan gangguan yang paling sering dikaitkan dengan stroke. Depresi
berpengaruh
terhadap
penyembuhan
yaitu
memperlambat
penyembuhan fisik.
Peneliti memasukkan dampak fisik dan dampak psikologis dari serangan stroke untuk menggambarkan bagaimana pengaruh dampak serangan stroke yang dialami suami yang terserang stroke terhadap kesulitan yang mungkin dialami oleh istri selama merawat suami dan bagaimana istri akan dalam menghadapi perubahan yang terjadi pada perkawinannya dengan kondisi suaminya yang stroke.
3. Skala Kecacatan Stroke (The Modified Rankin Scale) Untuk melihat tingkat keparahan kelumpuhan atau kecacatan stroke, berikut adalah skala yang digunakan yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Kecacatan derajat 0 Tidak ada gangguan fungsi b. Kecacatan derajat 1 Hampir tidak ada gangguan fungsi pada aktivitas sehari-hari atau gangguan minimal. Pasien mampu melakukan tugas dan kewajiban sehari-hari. c. Kecacatan derajat 2 Pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi tetap dapat melakukan sendiri tanpa bantan orang lain. d. Kecacatan derajat 3 Pasien memerlukan bantuan orang lain, tetapi masih mampu berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin membutuhkan tongkat. e. Kecacatan derajat 4 (Sedang) Pasien tidak dapat berjalan tanpa batuan orang lain, perlu bantuan orang lain untuk melakukan sebagian aktivitas diri seperti mandi, pergi ke toilet, merias diri, dan lain-lain. f. Kecacatan derajat 5 (Berat) Pasien terpaksa berbaring ditempat tidur dan kegiatan buang air besar dan kecil tidak terasa (inkontinensia), memerlukan perawatan perhatian.
Peneliti memasukkan skala kecacatan stroke tersebut mengingat bahwa stroke memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda. Melihat derajat kecacatan ini maka dapat dilihat pengaruhnya bagi istri penderita stroke juga akan berbeda-
Universitas Sumatera Utara
beda, sehingga dampak stroke yang menyerang suami akan menghasilkan kepuasan perkawinan yang berbeda-beda yang dirasakan oleh istri.
Universitas Sumatera Utara
C. Paradigma PERKAWINAN
PERUBAHAN DALAM PERKAWINAN
PERUBAHAN NATURAL
DAMPAK FISIK Defisit Neurologis Gerakan tidak terkoordinasi Gangguan organ tubuh Gangguan kesadaran
ASPEK2 KEPUASAN PERKAWINAN Komunikasi Aktivitas waktu senggang Orientasi keagamaan Pemecahan masalah Manejemen keuangan Hubungan seksual Keluarga & teman Kehadiran anak Kepribadian
PERUBAHA N YG TIBATIBA
STROKE Hemoragik Iskemik
KEPUASAN PERKAWINAN ISTRI
DAMPAK PSIKOLOGIS Kemarahan Isolasi Kelabilan emosi Kecemasan Depresi
FAKTOR2 YG MEMPENGARU HI KEPUASAN PERKAWINAN Latar belakang keluarga Pendidikan Pekerjaan Peran orang tua Anak Lama perkawinan
Universitas Sumatera Utara