BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi kajian teoritis emotional intelligence (EI) berupa sejarah EI, definisi trait EI, dan aspek-aspek trait EI, kajian teoritis adaptasi tes berupa definisi dan prosedur adaptasi tes, serta kajian teoritis properti psikometri yang terdiri dari pembahasan validitas dan reliabilitas. A. EMOTIONAL INTELLIGENCE 1. Sejarah EI Sejarah EI diawali dari konsep social intelligence yang diusulkan oleh Thorndike pada tahun 1920. Thorndike mendefinisikan social intelligence sebagai kemampuan untuk memahami pria dan wanita, laki-laki dan perempuan, serta bertindak secara bijak dalam hubungan manusia. Inti dari social intelligence yaitu kemampuan untuk merasakan keadaan internal, motivasi, dan prilaku diri sendiri dan orang lain, serta bertindak kepada orang lain secara optimal berdasarkan informasi tersebut (dalam Salovey & Mayer, 1990). Pada saat itu, istilah EI belum ada. Istilah EI muncul pertama kali pada tahun 1966 oleh Leuner, namun itu hanya sebatas suatu istilah saja tanpa ada konstruk yang konkret (Petrides, 2011). Petrides (2011) juga menambahkan pada tahun 1983, Gardner dalam bukunya Frames of Mind mengusulkan teori multiple intelligence yang mengungkapkan bahwa tiap-tiap orang memiliki tipe inteligensi yang berbeda. Dua tipe inteligensi yang memberikan pengaruh besar atas terciptanya EI yaitu kecerdasan intrapersonal (kemampuan untuk memahami diri sendiri dan menata kehidupan
8 Universitas Sumatera Utara
9
dirinya dengan efektif) dan kecerdasan interpersonal (kemampuan untuk memahami orang lain dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain). Salovey dan Mayer merupakan orang pertama yang membuat konstruk EI secara utuh pada tahun 1990. Saat itu emotional intelligence belum terkenal seperti sekarang ini dan hanya digunakan dalam bidang penelitian ilmiah. Orang pertama yang mempopulerkan istilah ini kepada publik adalah Daniel Goleman melalui bukunya yang berjudul Emotional intelligence – Why it can matter more than IQ, yang dipublikasikan pada tahun 1995 (Petrides, 2011). Buku Goleman menuai banyak pujian dari publik dan juga kecaman dari kalangan ilmiah. Oleh karena itu, penelitian terhadap EI mulai berkembang pesat di atas tahun 1995 serta berkembang juga berbagai pengukuran EI seperti EQi (Emotional Quotient Inventory), SEIS (Schutte Emotional Intelligence Scale), MSCEIT (Mayer Salovey Caruso Emotional Intelligence Test), dan TEIQue (Trait Emotional Intelligence Questionnaire). Masalah yang kemudian muncul yaitu antara satu alat ukur dengan alat ukur lainnya memiliki metode pengukuran yang berbeda.
Sebagian
questionnaires,
alat
yang
ukur
dikembangkan
dengan
metode
self-report
lainnya
dikembangkan
dengan
metode
maximum-
performance test. Perbedaan ini menyebabkan hasil yang diperoleh dari alat ukur tersebut juga berbeda. Oleh karena itu, Petrides dan Furnham (2001) membagi EI menjadi dua yaitu ability EI, yang menggunakan metode maximum-performance test, dan trait EI, yang menggunakan metode kuesioner self-report.
Universitas Sumatera Utara
10
2. Definisi Trait EI Trait EI didefinisikan sebagai kumpulan persepsi diri yang terletak pada level yang lebih rendah dari hirarki kepribadian (Petrides, Pita, & Kokkinaki, 2007). Petrides, Pita, dan Kokkinaki (2007) telah mengklaim bahwa trait EI termasuk dalam personality trait, sehingga sama sekali tidak berhubungan dengan kemampuan kognitif lagi. Trait EI disebut juga trait emotional self-efficacy. Petrides (2011) menyatakan bahwa trait EI memiliki operasionalisasi
yang
mampu mengenali subjektivitas yang melekat pada pengalaman emosional. Trait EI
memberi
perhatian
pada
konsistensi
cross-situational
prilaku
yang
dimanifestasikan dalam trait spesifik (seperti empati, asertif, optimisme). Hal ini berlawanan dengan ability EI yang lebih memberi perhatian pada kemampuankemampuan seperti mengidentifikasi, mengekspresikan, dan melabel emosi. Pengukuran Trait EI menggunakan metode self-report yang mengukur prilaku tertentu, sehingga tidak ada jawaban partisipan yang benar ataupun salah. 3.
Aspek-aspek Trait EI Petrides dan Furnham (2001) melakukan analisis konten pada model-model
EI yang sudah ada sebelumnya dan juga konstruk yang memiliki hubungan, seperti alexithymia, komunikasi afektif, ekspresi emosi, dan empati. Analisis konten ini menghasilkan 15 faset trait EI untuk remaja dan dewasa sebagai berikut : a.
Adaptabilitas (adaptability) - fleksibel dan mau beradaptasi terhadap kondisi yang baru.
Universitas Sumatera Utara
11
Individu dengan skor yang tinggi pada faset ini merupakan orang yang fleksibel baik dalam dunia kerja maupun dalam kehidupannya. Mereka memiliki kemauan dan mampu beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi yang baru, menikmati sesuatu yang baru serta perubahan yang bertahap. Skor rendah pada faset ini merupakan orang yang tidak ingin berubah dan merasa sulit mengubah pekerjaan dan gaya hidupnya. Mereka biasanya tidak fleksibel, memiliki pandangan dan ide yang sudah tetap. b.
Asertivitas (assertiveness) - Berterus terang, jujur, mau mempertahankan hakhak mereka. Individu dengan skor tinggi pada faset ini adalah orang yang dapat berbicara
dengan langsung dan berterus-terang, tahu bagaimana meminta sesuatu, memberi dan menerima pujian, serta mengkonfrontasi jika diperlukan. Mereka adalah orang yang mampu memimpin dan dapat mempertahankan hak-hak serta keyakinan mereka. Individu dengan skor rendah cendrung mengalah walaupun mereka tahu mereka benar. Mereka juga sulit mengatakan tidak, sehingga pada akhirnya mereka sering melakukan hal yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Kebanyakan dari mereka lebih suka menjadi bagian dari tim daripada menjadi pemimpin. c.
Ekspresi emosi (emotion expression) - Mampu mengkomunikasikan perasaan mereka kepada orang lain. Individu dengan skor tinggi pada faset ini adalah orang yang mampu
mengkomunikasikan emosi mereka dengan lancar kepada orang lain, dapat mengekspresikan perasaan mereka secara akurat dan tidak ambigu. Skor rendah
Universitas Sumatera Utara
12
mengindikasikan kesulitan dalam mengkomunikasikan pikiran yang berhubungan dengan emosi, serta sulit membiarkan orang lain tahu apa yang mereka rasakan. Ketidakmampuan mengekspresikan emosi juga mengindikasikan kurangnya percaya diri dan asertivitas sosial. d.
Pengelolaan emosi – pada orang lain (emotion management – others) Mampu mempengaruhi keadaan emosional orang lain. Skor tinggi menunjukkan individu mampu mempengaruhi perasaan orang lain
seperti menenangkan, menghibur, dan memotivasi orang lain. Mereka dapat membuat orang lain merasa lebih baik ketika dibutuhkan. Skor rendah pada faset ini menunjukkan individu tidak mampu mempengaruhi perasaan orang lain, juga kewalahan ketika harus menangani luapan emosi orang lain serta cenderung kurang menikmati sosialisasi dan menjalin jaringan dengan orang lain. e.
Persepsi terhadap emosi – diri sendiri dan orang lain (emotion perception – self and others) - Jelas terhadap perasaan diri sendiri maupun orang lain. Individu dengan skor tinggi akan jelas terhadap perasaan mereka dan mampu
mengartikan ekspresi emosional orang lain. Sedangkan individu dengan nilai rendah sering merasa bingung dengan apa yang mereka rasakan dan kurang memperhatikan tanda-tanda emosional yang ditunjukkan orang lain. f.
Regulasi emosi (emotion regulation) - Mampu mengontrol emosi dan perasaan diri sendiri. Individu dengan skor tinggi mampu mengontrol emosi mereka dan dapat
mengubah mood tidak menyenangkan ataupun memperlama mood menyenangkan melalui usaha dan insight diri sendiri. Mereka stabil secara psikologis dan dapat
Universitas Sumatera Utara
13
menenangkan kembali emosi mereka. Skor rendah mengindikasikan bahwa individu mudah terpengaruh pada serangan emosional dan merasakan kecemasan yang lebih lama, bahkan depresi. Mereka sulit menangani perasaan mereka, sering moody dan mudah tersinggung. g.
Keimpulsifan – rendah (impulsiveness – low) - Reflektif dan cenderung tidak mengikuti nafsu keinginan. Faset ini lebih mengukur disfungsi impulsivitas daripada fungsional
impulsivitas. Individu dengan impulsivitas rendah akan berpikir sebelum bertindak dan berhati-hati dalam membuat keputusan. Skor tinggi pada faset ini berarti individu menimbang semua informasi sebelum mereka memutuskan sesuatu, tetapi juga tidak terlalu berlebihan. Sedangkan skor rendah cenderung tidak sabar dan mudah mengikuti keinginan hati mereka. Hal ini dapat terlihat pada anak-anak yang menginginkan kepuasan langsung dan memiliki kontrol diri yang rendah, serta berbicara tanpa benar-benar memikirkannya terlebih dulu dan sering berubah pikiran. h.
Hubungan personal (relationships) - Mampu mempertahankan hubungan personal yang memuaskan. Hubungan
ini termasuk dengan teman dekat, pasangan, dan keluarga,
bagaimana memulai dan mempertahankan ikatan emosional dengan orang lain. Individu dengan skor tinggi biasanya memiliki hubungan personal yang memuaskan sehingga secara positif mampu mempengaruhi produktivitas dan kesejahteraan emosionalnya. Mereka tahu bagaimana mendengar dan merespon orang-orang yang dekat dengan mereka. Individu dengan skor rendah akan merasa
Universitas Sumatera Utara
14
sulit untuk memiliki ikatan dengan orang lain dan cenderung kurang menghargai hubungan personal mereka. Mereka juga sering berprilaku yang dapat menyakiti orang-orang dekatnya. i.
Penghargaan terhadap diri (self-esteem) – Percaya diri dan memandang positif atas pencapaiannya. Faset ini mengukur evaluasi keseluruhan individu pada dirinya sendiri.
Individu dengan skor tinggi memandang dirinya dan segala pencapaiannya dengan positif. Mereka percaya diri dan puas pada hampir seluruh aspek dalam kehidupannya. Skor rendah menununjukkan individu kurang begitu menghargai dirinya sendiri. j.
Motivasi diri (self-motivation) – Terdorong dan tidak pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan. Individu dengan skor tinggi akan terdorong untuk menghasilkan kualitas
pekerjaan yang bagus. Mereka tekun dan gigih, serta tidak perlu mendapatkan penghargaan eksternal karena motivasi mereka muncul dari dalam diri. Individu dengan skor rendah memerlukan banyak bonus dan dukungan untuk menyelesaikan
pekerjaan
mereka.
Mereka
cenderung
menyerah
ketika
menghadapi kesulitan, juga kurang gigih dan kurang memiliki dorongan dari dalam diri. k.
Kesadaran sosial (social awareness) – Mencapai jaringan yang luas dengan keterampilan sosial yang superior. Skor tinggi pada faset ini menunjukkan individu memiliki keterampilan sosial
yang sangat baik serta sensitif terhadap lingkungan sosial, mudah beradaptasi, dan
Universitas Sumatera Utara
15
pengertian. Mereka unggul dalam negosiasi, transaksi broker, dan mampu mempengaruhi orang lain. Mereka juga cenderung dapat mengontrol emosi dan prilaku mereka, serta percaya diri dalam berbagai konteks sosial, seperti pesta ataupun even perkumpulan. Individu dengan nilai rendah meyakini bahwa mereka memiliki keterampilan sosial yang terbatas dan sering merasa cemas karena tidak tahu harus berprilaku seperti apa dalam lingkungan yang kurang mereka kenali. Mereka sulit mengekspresikan diri secara jelas dan hanya memiliki sedikit kenalan, serta dikenal sebagai orang yang memiliki keterampilan interpersonal yang terbatas. l.
Pengelolaan stres (stress management) - Mampu menahan tekanan dan meregulasi stres. Skor tinggi mengindikasikan individu mampu menangani tekanan dengan
tenang dan efektif karena mereka telah mengembangkan coping mechanism (mekanisme menanggulangi) dengan sukses. Mereka juga pintar dalam meregulasi emosi yang dapat membantu mereka dalam menghadapi stres. Individu dengan skor rendah cenderung kurang mengembangkan strategi menghadapi stres. Mereka lebih suka menghindari situasi yang dapat membuat mereka lelah daripada menghadapinya. Oleh karena itu mereka lebih banyak menolak proyekproyek penting yang perlu kerjakan dalam waktu lama. m. Trait empati (trait empathy) - Mampu melihat melalui perspektif orang lain, memahami kebutuhan dan keinginan orang lain. Individu dengan skor tinggi pada faset ini cenderung memiliki keterampilan dalam percakapan dan negosiasi kerena mereka dapat melihat sesuatu dari sudut
Universitas Sumatera Utara
16
pandang lawan bicaranya dan menghargainya. Skor rendah menunjukkan kesulitan mengadopsi perspektif orang lain, cederung suka beropini dan argumentatif, serta kelihatan lebih self-centered. n.
Trait kebahagiaan (trait happiness) - Riang dan puas dengan kehidupannya. Individu dengan skor tinggi pada faset ini adalah orang yang periang dan
merasa nyaman dengan diri mereka sendiri. Skor rendah menunjukkan individu sering murung dan memandang berbagai hal dengan negatif. Mereka juga cenderung kecewa dengan kehidupannya sekarang. Trait happiness, self-esttem, dan optimism merefleksikan keadaan psikologis seseorang secara umum pada saat ini. o.
Trait optimisme (trait optimis) - Percaya diri dan cenderung melihat kehidupan dari sisi yang positif. Skor tinggi pada faset ini menunjukkan individu yang selalu melihat kejadian
dalam kehidupannya secara positif dan mengharapkan terjadinya hal-hal yang positif.
Nilai rendah menunjukkan kecederungan pesimis dan memandang
kejadian dari sisi yang negatif. Mereka kurang mampu mengejar kesempatan baru dan takut mengambil resiko. Selain 15 faset spesifik di atas, 13 dari aspek trait EI juga bisa dikelompokkan menjadi 4 faktor yang berelevansi dan lebih luas, yaitu : 1) Well being, mencakup trait optimism, trait happiness, self-esteem 2) Emotionality, mencakup : trait empathy, emotional perception, emotional expression, relationships
Universitas Sumatera Utara
17
3) Self-control, mencakup : emotion regulation, low impulsiveness, stress management 4) Sociability, mencakup : emotional management, assertiveness, social awareness Dua faset yang tidak termasuk di dalam 4 faktor di atas yaitu self-motivation dan adaptability yang dikelompokan ke dalam faset tambahan (auxiliary facets). Faset tambahan ini berkontribusi pada skor global trait EI. Alat ukur trait EI, yaitu Trait Emotional Intelligence Questionnaire (TEIQue) versi lengkap, akan menghasilkan skor dari masing-masing faset, skor dari 4 faktor dan faset tambahan (auxiliary facets), serta skor global trait EI. Berikut ini adalah gambar pembagian faset serta faktor yang mencakupnya.
Gambar 1. Pembagian Faset dan Faktor trait EI
Universitas Sumatera Utara
18
4.
Alat Tes Trait EI Jumlah alat tes EI yang menggunakan metode self-report yang membludak
memunculkan anggapan bahwa mengkonstruk alat tes ini adalah hal yang mudah. Namun faktanya, hanya sedikit alat tes trait EI yang memiliki kerangka teori yang jelas dan bahkan lebih sedikit lagi yang memiliki fondasi empiris yang kuat (Pérez, Petrides, dan Furnham, 2005). Petrides (2011) mengemukakan bahwa Trait EI hanya bisa diukur hanya jika diinterpretasi berdasarkan teori trait EI, dengan menggunakan alat tes Trait Emotional Intelligence Questionnaire (TEIQue). TEIQue memiliki beberapa versi seperti, The TEIQue (full form), TEIQue-SF (short form), yang digunakan untuk sampel berusia 17 tahun ke atas, TEIQue 360, yang diisi oleh rekan ataupun orang dekat individu yang bersangkutan, TEIQueAF (adolescent form), TEIQue-ASF (adolescent short form), untuk sampel berusia 13-17 tahun, dan TEIQue-CF (child form) untuk anak-anak berusia 8-12 tahun. Penelitian ini akan menggunakan TEIQue-ASF yang terdiri dari 30 aitem, yaitu dua aitem untuk setiap faset (total 15 faset). Menurut Petrides (2011), alat tes TEIQue-ASF khusus dirancang untuk mengukur skor global trait EI, kurang disarankan untuk mengukur skor dari tiap faktor karena memiliki konsistensi internal yang lebih rendah dan tidak dapat digunakan untuk menghasilkan skor dari 15 faset trait EI.
Universitas Sumatera Utara
19
B. ADAPTASI ALAT TES 1.
Definisi Adaptasi Alat Tes Pada umumnya adaptasi tes dan penerjemahkan tes dianggap sebagai hal
yang sama, tetapi sebenarnya kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Kata “menerjemahkan” lebih kepada upaya linguistik untuk mengganti bahasa suatu teks dengan bahasa yang lain. Sedangkan adaptasi tes merupakan serangkaian aktivitas yang tidak sekedar menerjemahkan saja, tetapi juga mempersiapkan suatu alat tes untuk dapat digunakan dalam bahasa dan budaya yang berbeda. Dengan kata lain, aktivitas dalam adapatasi lebih dari sekedar “mengalihbahasakan saja”. Hal ini diungkapkan oleh Hambleton dan Kanjee pada tahun 1995 dalam ulasan yang dibuat oleh Purwono (dalam Supraktinya & Susana, 2010).
Serangkaian aktivitas tersebut dimulai sejak ditentukannya suatu tes
benar-benar mengukur konstruk yang sama pada bahasa dan budaya berbeda (penelaahan koeksistensi konstruk), melakukan tahap alih bahasa, tahap empirik, hingga tahap validasi dan standarisasi kembali alat tes tersebut. 2.
Prosedur Adaptasi Tes Purwono (dalam Supraktinya & Susana 2010) memaparkan bahwa langkah-
langkah adaptasi tes ada 4, yaitu penelaahan koeksistensi konstruk, tahap alih bahasa, tahap empirik (memastikan kesetaraan psikometrik), dan tahap validasi dan standarisasi kembali alat ukur. Berikut ini akan dipaparkan penjelasan dari langkah-langkah tersebut:
Universitas Sumatera Utara
20
a.
Penelaahan koeksistensi konstruk yang diukur Penelaahan konstruk merupakan tahap pertama dalam langkah adaptasi, yaitu
dengan cara memahami sosial budaya tempat adaptasi tes akan dilakukan. Proses penelaahan konstruk sangat penting karena budaya sangat mempengaruhi munculnya suatu prilaku, sehingga harus diperhatikan dalam pengadaptasian tes. Benson, dalam ulasan yang dibuat oleh Purwono, menjelaskan secara spesifik bahwa konstruk dapat direpresentasikan dalam domain teoritik dan domain empiris (dalam Supraktinya & Susana, 2010). Domain teoritik yaitu hasil evolusi teori-teori ilmiah pada suatu konstruk, sedangkan domain empirik merupakan serangkaian variabel yang teramati untuk mengukur suatu konstruk. Masalah inti yang dapat muncul dalam adaptasi tes yaitu konstruk pada dua atau lebih lingkungan budaya yang berbeda memiliki domain teoritik yang sama, tetapi domain empiriknya berbeda. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan berikut dirumuskan sebagai bentuk operasionalisasi penelaahan koeksistensi suatu konstruk : 1) Apakah konstruk/trait yang diukur oleh tes yang akan diadaptasikan juga dikenal di lingkungan sosial budaya target? 2) Bila konstruk tersebut juga terdapat dalam lingkungan sosial budaya target, apakah konstruk tersebut mencakup indikator prilaku yang sama dengan indikator prilaku di lingkungan sosial budaya asal tes tersebut dikembangkan? 3) Apakah respon terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sama juga akan menghasilkan konstruk yang sama?
Universitas Sumatera Utara
21
b.
Tahap alih bahasa Alat ukur akan diterjemahkan ke bahasa tujuan dengan memperhatikan
lingkungan sosial budaya setempat sehingga alat ukur tersebut dapat mudah dimengerti. Menerjemahkan di sini bukanlah menerjemahkan kata demi kata, Bassnet (dalam Supraktinya & Susana, 2010) mengutip pendapat Etienne Dolet dalam bukunya yang berjudul How to translate Well from One Language into Another, yang mengungkapkan 5 prinsip penerjemahan: 1) Makna teks asli harus dimengerti sepenuhnya oleh penerjemah. 2) Pengetahuan yang memadai pada bahasa teks asli dan bahasa tujuan harus dimiliki oleh penerjemah. 3) Teks tidak boleh diterjemahkan kata demi kata. 4) Penerjemah harus menggunakan bentuk bahasa yang dapat dipahami dengan mudah. 5) Kata maupun kalimat yang dipilih dan disusun harus memiliki makna yang tepat dengan teks aslinya. Selain itu, Besnet juga mengutip pendapat Alexander Fraser Tytler (dalam Supraktinya & Susana, 2010) yang juga mengungkapkan prinsip penerjemahan berikut: 1) Gagasan pada naskah asli harus diberikan oleh penerjemah dalam bentuk transkripsi lengkap. 2) Hasil terjemahan harus memiliki karakter/gaya penulisan yang sama seperti teks aslinya.
Universitas Sumatera Utara
22
3) Naskah asli dan terjemahan harus mengandung komposisi yang sama. Salah satu persyaratan penerjemahan yang tercantum dalam langkah-langkah adaptasi yang dipaparkan oleh International Test Commission (ITC) dalam buku Hambleton (dalam Supratiknya & Susana, 2010) terdapat pada pedoman (guideline) D1 yang berisi: 1) Penerjemah harus berkompeten dan berpengalaman dalam bahasa asli dan bahasa tujuan, salah satu syarat penting yaitu penerjemah harus memiliki sertifikasi dan sudah berpengalaman. 2) Materi tes yang akan diadaptasi harus dipahami secara mendalam oleh penerjemah. 3) Pengetahuan dasar mengenai pengembangan instrumen dan penulisan aitem harus dimiliki oleh penerjemah. 4) Proses adatasi tes sebaiknya dilakukan oleh tim yang terdiri dari beberapa orang, termasuk penerjemah. 5) Untuk menjamin hasil terjemahan, sebaiknya dibentuk tim dengan anggotaanggota yang menguasasi kedua bahasa tersebut. Tahapan terakhir proses penerjemahan yaitu memeriksa efektivitas hasil terjemahan. Dua rancangan yang sering digunakan dalam penerjemahan tes adalah forward translation dan back translation. Pada forward translation, penerjemah menerjemahkan alat ukur secara linguistik, kemudian penerjemah lain memeriksa ketepatan terjemahan dan merevisinya jika ada kekurangan. Rancangan yang lebih popular dalam penelitian lintas budaya adalah back translation, yaitu teks yang sudah diterjemahan ke bahasa target akan diterjemahkan kembali oleh penerjemah
Universitas Sumatera Utara
23
lain ke dalam bahasa aslinya, kemudian dilakukan pemeriksaan kesetaraan antara bahasa asli dengan bahasa terjemahan yang diterjemahkan kembali ke bahasa aslinya. c.
Tahap empirik – memastikan kesetaraan psikometrik Tujuan utama dalam mengadaptasi tes yaitu mendapatkan alat ukur dengan
bahasa yang berbeda tetapi tetap ekuivalen secara psikometrik dengan bahasa aslinya. Hambleton, Swaminathan, & Rogers dalam ulasan yang dipaparkan oleh Purwono mengungkapkan bahwa aitem dalam alat ukur dianggap ekuivalen bila individu yang berasal dari kelompok yang berbeda tetapi memiliki kemampuan yang sama, juga memiliki kemungkinan yang sama untuk menjawab suatu aitem dengan benar walaupun menggunakan versi bahasa yang berbeda (dalam Supraktinya & Susana, 2010). Ekuivalensi alat tes dapat dilihat melalui Differential Item Functioning (DIF) pada aitem dalam suatu alat tes. Contoh prosedur untuk mengidentifikasikan DIF yaitu prosedur General Linear Model (GLM), prosedur Mantel-Haenszel (MH), logistic regression, dan prosedur berbasis Structural Equation Modeling (SEM) dengan menggunakan confirmatory factor analysis (CFA). d.
Tahap revalidasi dan restandarisasi Alat tes yang telah diterjemahkan harus divalidasi kembali oleh pihak
pengembang dan pengguna tes. Hal ini disebabkan karena suatu tes belum tentu tepat digunakan untuk tujuan yang berbeda, dan juga tes yang tepat untuk digunakan di suatu lingkungan sosial budaya belum tentu tepat di lingkungan lainnya. Selain itu, standar yang digunakan juga harus distandarisasi kembali
Universitas Sumatera Utara
24
berdasarkan norma baru yang berasal dari populasi di mana tes akan digunakan, bukan menggunakan norma yang dikumpulkan oleh negara tempat tes versi asli dikembangkan. Penelitian ini tidak melaksanakan semua prosedur adaptasi alat ukur dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga peneliti. Prosedur yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini hanya sampai pada tahap empirik untuk memeriksa kesetaraan psikometrik alat tes TEIQue-ASF versi bahasa Indonesia. Analisis tersebut akan dilakukan dengan metode CFA yang akan dibahas lebih lanjut di bab III. C. PROPERTI PSIKOMETRI Suatu alat tes dikatakan akurat bila alat tes tersebut dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan subjek yang mengisinya. Keakuratan alat tes dapat dilihat dari validitas dan reliabilitasnya. Semakin tinggi validitas dan reliabilitas suatu alat tes, maka informasi yang diberikan oleh tes tersebut akan semakin akurat (Azwar, 2003). Berikut ini akan dijelaskan keterangan mengenai validitas dan reliabilitas. 1. Validitas Validitas merupakan pertimbangan yang paling dasar dan paling penting dalam psikometri. Dalam pengukuran psikometri modern, validitas diartikan sebagai suatu tingkatan akumulasi bukti yang dapat mendukung interpretasi skor tes sesuai dengan tujuan yang diusulkan (American Educational Research Association, dkk, dalam Osterlind, 2010). Menurut Osterlind (2010), ada tiga elemen dalam gagasan modern validitas yaitu (a) validitas menginterpretasikan
Universitas Sumatera Utara
25
skor tes pada situasi asesmen tertentu, bukan mengutamakan alat ukur tertentu, (b) membuktikan validitas melibatkan proses evaluatif yang formal, serta (c) validitas juga merupakan sebuah eksplorasi dalam psikologi. Konsep psikometri modern juga memandang validitas sebagai konsep yang menyatu, sehingga tidak ada lagi tipe-tipe validitas yang berbeda seperti validitas konten, validitas berdasarkan kriteria, ataupun validitas konstruk. Namun, akumulasi bukti validitas harus bersumber dari konten, konstruk, kriteria eksternal dan internal yang berhubungan dengan skor tes. Semua bukti ini akan dikumpulkan selama dilakukan evaluasi validitas. Proses evaluasi validitas harus mengumpulkan bukti dari berbagai sumber. Berikut ini adalah sumber-sumber bukti validitas (Osterlind, 2010): a. Bukti validitas berdasarkan konten tes Blueprint tes berupa deskripsi dari konten dan format proses respon pada suatu alat tes akan sangat bermanfaat untuk pengguna tes, terutama dalam proses evaluasi validitas. Dasar teori dan praktik serta ketentuan administrasi alat tes juga berguna dalam mengumpulkan bukti konten tes. Selain itu, informasi konten tes dapat juga diperoleh melalui penilaian ahli (expert judgement), bukti berdasarkan teori, dan juga spesifikasi lainnya. b. Bukti validitas berdasarkan proses respon Bukti validitas berdasarkan proses respon yaitu memeriksa proses mental maupun kognitif pengisi tes yang berkemungkinan menghasilkan suatu respon terhadap stimulus alat ukur yang diberikan. Tes akan menjadi bersalahan ketika pembuat tes ingin mengukur bagaimana seseorang menggunakan logikanya untuk
Universitas Sumatera Utara
26
menjawab suatu aitem dengan benar, tetapi pengisi tes merespon dengan benar aitem tersebut hanya berdasarkan hafalan yang telah ada dalam kepalanya. Beberapa metode yang dapat mengukur proses respon yaitu berdasarkan variabel laten dan proses kausal suatu konstruk termasuk analisis variabel laten, structural equation modeling (SEM), hierarchical linear modeling (HLM), analisis dugaan (conjectural analysis), analisis lintasan (path analsis), dan beberapa jenis metaanalisis. c. Bukti validitas berdasarkan struktur internal Memeriksa struktur internal suatu tes juga berarti telah mencakup keseluruhan tujuan validitas. Pertimbangan terhadap struktur internal dimulai dari memeriksa teori yang mendasari suatu konstruk. Bila teori tersebut hanya fokus pada satu dimensi, maka penetapan konstruk dapat dilakukan dengan cermat. Beberapa contoh metode psikometrik yang dapat dilakukan untuk memeriksa struktur internal suatu alat tes, apakah benar hanya mengukur satu dimensi atau multidimensi yaitu (1) analisis faktor dan metode reduksi data yang lain, (2) cluster analysis, principal component analysis, (3) Confirmatory Factor Analysis (CFA), (4) multitrait-multimethod matrix (MTMM), (5) IRT, (6) strategi seperti generalisasi teori ataupun indeks reliabilitas lainnya. d. Bukti validitas berdasarkan hubungan dengan variabel lain Bukti validitas berdasarkan hubungan dengan variabel lain yaitu bukti yang diperoleh melalui hubungan antara skor tes dengan kriteria yang diperiksa, atau disebut juga dengan bukti berdasarkan kriteria. Bukti berdasarkan kriteria terbagi dua yaitu bukti prediktif (predictive evidence) dan bukti konkuren (concurrent-
Universitas Sumatera Utara
27
related evidence), keduanya menunjukkan korelasi antara alat tes dengan suatu kriteria eksternal. Bukti prediktif dapat diperoleh dari perbandingan antara skor tes saat ini, dengan kriteria yang akan muncul pada skor tes lain yang akan datang. Sedangkan bukti konkuren diperoleh ketika skor tes dan kriteria bisa serentak didapatkan bersamaan. Sampai sekarang perbedaan penggunaan kedua bukti ini belum ditetapkan, tetapi kedua jenis bukti tersebut harus menjadi bagian dari pengukuran validitas. Pada dasarnya, korelasi tetap harus ditentukan dalam evaluasi validitas. e. Bukti validitas berdasarkan pertimbangan eksternal Salah satu bukti validitas berdasarkan pertimbangan eksternal yaitu validitas tampang (face validity). Validitas ini mengacu pada bagaimana tampang alat tes ketika diberikan kepada partisipan, sehingga partisipan tidak merasa asing ataupun merasa bahwa alat tes tidak dipersiapkan secara profesional. Validitas ini tidak dapat diuji dengan metode statistik, tetapi tetap harus dipertimbangkan oleh pembuat alat tes. Bukti validitas lain yaitu validitas generalisasi, sebagai suatu tingkatan
bukti
validitas
berdasarkan
validitas
kriteria
yang
dapat
digeneralisasikan pada situasi yang baru, tanpa harus melakukan penelitian lebih jauh mengenai validitas pada situasi baru tersebut. 2. Reliabilitas Reliabilitas merupakan suatu gambaran teknis kesalahan pengukuran. Reliabilitas mengestimasi seberapa bagus sampel dalam stimulus pengukuran yang tepat dapat merepresentasikan seluruh stimulus yang memungkinkan pada konstruk laten ataupun domain sampel tertentu. Semakin konsisten suatu
Universitas Sumatera Utara
28
pengukuran ketika pengukuran dilakukan berulang kali terhadap sampel yang sama, maka reliabilitas suatu alat tes semakin baik. Suatu alat tes yang semakin reliabel menunjukkan bahwa hasil pengukuran memiliki eror yang semakin kecil sehingga tingkat kepercayaan terhadap hasil pengukuran semakin tinggi (Osterlind 2010). Suatu alat tes dikatakan reliabel dapat dilihat dari seberapa tinggi angka pada koefisien reliabilitasnya. Koefisien reliabilitas dilambangkan dengan simbol r xx’, yang mana r merupakan koefisien korelasi antara tes pertama (x) dengan tes kedua (x’) yang paralel dengan tes pertama. Jika kedua tes yang dianggap paralel memiliki koefisien korelasi yang semakin tinggi, maka alat tes tersebut semakin reliabel. Koefisien reliabilitas memiliki nilai minimal 0 dan maksimal 1. Namun dalam prakteknya, nilai 0 dan 1 jarang di temukan, bahkan tidak pernah dijumpai. (Azwar, 2003). Reliabilitas yang tinggi diperlukan ketika suatu alat tes digunakan untuk membuat keputusan yang penting terhadap seseorang. Reliabilitas yang lebih rendah boleh digunakan pada tahap awal pemeriksaan dari serangkaian tes yang akan diberikan. Untuk tes inteligensi, koefisien reliabilitas yang dianggap baik adalah di atas 0.9, sedangkan untuk tes prestasi atapun tes kepribadian berkisar antara 0.7 hingga 0.9. Sedangkan reliabilitas dia bawah 0.7 dianggap rendah sehingga kurang disarankan untuk digunakan (Murphy & Davidshofer, 2003). Secara
tradisional, beberapa
metode
yang dapat
digunakan
untuk
mengestimasi reliabilitas yaitu (Azwar, 2003) :
Universitas Sumatera Utara
29
a.
Metode tes – ulang (test-retest) Metode ini menggunakan tes yang sama sebanyak dua kali untuk partisipan
yang sama dengan waktu yang berbeda. b.
Metode bentuk paralel (parallel-forms/alternate-forms) Metode ini menggunakan dua bentuk tes yang paralel, baik isi aitem secara
kualitas ataupun kuantitasnya serta kedua tes memiliki tujuan ukur yang sama, diberikan kepada partisipan berturut-turut setelah tes yang satu selesai dikerjakan c.
Metode konsistensi internal (internal consistency), Teknik ini menggunakan hanya satu bentuk tes dan dilakukan sekali saja pada
sekelompok partisipan (single-trial administration), sehingga estimasi reliabilitas dilakukan dengan membelah aitem menjadi dua atau lebih bagian. Cara membelah aitem tergantung pada sifat dan fungsi alat tes, serta jenis skala pengukuran yang digunakan dalam alat tes tersebut. Beberapa cara pembelahan yaitu pembelahan aitem menjadi dua bagian (formula Spearman Brown, Rulon), pembelahan tiga bagian (formula Kristof), dan pembelahan multibagian (formula Alpha Cronbach). Penelitian ini akan menggunakan reliabilitas berdasarkan metode konsistensi internal dengan pembelahan multibagian, yaitu alpha cronbach. Dasar penggunaan formula ini yaitu pertimbangan bahwa tes yang diberikan kepada partisipan hanya satu kali saja, serta jumlah aitem alat tes yang tidak terlalu banyak. Koefisien alpha cronbach dapat dihasilkan dengan bantuan program SPSS for window.
Universitas Sumatera Utara