BAB II LANDASAN TEORI
A. Stres Kerja
1. Pengertian Stres Ivancevich, dkk. (2007) mengungkapkan bahwa stres menurut perspektif orang biasa dapat digambarkan sebagai perasaan tegang, gelisah, atau khawatir. Secara ilmiah, semua perasaan ini merupakan manifestasi dari pengalaman
stres,
suatu
respon
terprogram
yang
kompleks
untuk
mempersepsikan ancaman yang dapat menimbulkan hasil yang positif maupun negatif. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu stimulus atau suatu respon (Ivancevich, dkk., 2007). Definisi stres sebagai suatu stimulus menganggap stres sebagai sejumlah karakteristik atau peristiwa yang mungkin menghasilkan konsekuensi yang tidak beraturan. Definisi stres sebagai suatu respon, stres dilihat secara sebagian sebagai suatu respon terhadap sejumlah stimulus, yang disebut stressor. Sebuah stressor merupakan peristiwa atau situasi eksternal yang secara potensial mengancam atau berbahaya. Akan tetapi, stres lebih dari hanya sekedar sebuah respon terhadap stressor. Stres merupakan konsekuensi dari interaksi antara suatu stimulus lingkungan (suatu stressor) dan respon individual yang dijelaskan dalam definisi respon. Ini berarti, stres merupakan
1
interaksi unik antara kondisi stimulus dalam lingkungan dan cara individu untuk merespon dengan cara tertentu. Melalui definisi respon, Ivancevich, dkk. (2007) mendefinisikan stres sebagai suatu respon adaptif, dimoderasi oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau peristiwa yang memberikan tuntutan khusus terhadap seseorang. Hans Selye (dalam Munandar, 2001), seorang guru besar emiritus (purnawirawan) dari Universitas Montreal dan penemu “stres” mengatakan bahwa stres adalah suatu abstraksi. Individu tidak dapat melihat pembangkit stres (stressor), yang dapat dilihat adalah akibat dari pembangkit stres. Selye membedakan antara distress, yang desrtruktif, dan eustress, yang merupakan kekuatan yang positif (eustress mengandung suku awal yang dalam bahasa Yunani berarti „baik‟). Stres diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Makin tinggi dorongannya untuk berprestasi, makin tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi juga produktivitas dan efisiensinya. Stres dalam jumlah tertentu dapat mengarah ke gagasan-gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif. Fincham & Rhodes (dalam Munandar, 2001) mengungkapkan bahwa penelitian sekarang tentang stres didasarkan pada asumsi bahwa stres, yang disimpulkan dari gejala-gejala dan tanda-tanda faal, perilaku, psikologikal, dan somatik, adalah hasil dari tidak atau kurang adanya kecocokan antara individu lain
(dalam
arti
kepribadiannya,
bakatnya,
dan
kecakapannya)
dan
lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif.
2
Moorhead dan Griffin (2013) mendefinisikan stres sebagai respon adaptif seseorang terhadap rangsangan yang menempatkan tuntutan psikologis atau fisik secara berlebihan kepada orang tersebut. Stres merupakan suatu proses psikologis yang tidak menyenangkan yang terjadi sebagai tanggapan terhadap tekanan lingkungan (Robbins, 2015). Cooper (dalam Waluyo, 2013) mengungkapkan bahwa stres sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek. Menurut Hager (dalam Waluyo, 2013), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, Diana (dalam Waluyo, 2013) mengatakan bahwa berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi, dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi peristiwa. Berdasarkan beberapa definisi tentang stres di atas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu respon adaptif yang mempengaruhi fisik, psikologis, dan perilaku individu akibat ketidaksesuaian antara diri individu tersebut dengan lingkungannya.
3
2. Pengertian Stres Kerja Beehr dan Newman (dalam Luthans, 2005) mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi norma mereka. Ivancevich dan Matteson (dalam Luthans, 2005) mendefinisikan stres sebagai “interaksi individu dengan lingkungan,” tetapi kemudian mereka memperinci definisi stres kerja sebagai berikut: “respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, situasi, atau kejadian eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik secara berlebihan pada seseorang.” Keenan dan Newton (dalam Wijono, 2010) berpendapat stres kerja perwujudan dari kekaburan peran, konflik peran, dan beban kerja yang berlebihan. Kondisi ini selanjutnya akan dapat mengganggu prestasi dan kemampuan individu untuk bekerja. Menurut Kavanagh, dkk. (dalam Wijono, 2010), stres kerja juga merupakan suatu ketidakseimbangan persepsi individu tersebut terhadap kemampuannya untuk melakukan tindakan. Heilriegel dan Slocum (dalam Wijono, 2010) mengatakan bahwa stres kerja dapat disebabkan oleh empat faktor utama, yaitu konflik, ketidakpastian, tekanan dari tugas serta hubungan dengan pihak manajemen. Jadi, stres kerja merupakan umpan balik atas diri karyawan secara fisiologis maupun psikologis terhadap keinginan atau permintaan organisasi. Kemudian, dikatakan pula bahwa stres kerja merupakan faktor-faktor yang dapat memberi tekanan
4
terhadap produktivitas dan lingkungan kerja serta dapat mengganggu individu tersebut. Stres kerja yang dapat meningkatkan motivasi karyawan dianggap sebagai stres yang positif (eustress). Sebaliknya, “stressor” yang dapat mengakibatkan hancurnya produktivitas kerja karyawan dapat disebut sebagai stres negatif (distress). Selanjutnya, Caplan dkk. (dalam Wijono, 2010) mengatakan bahwa stres kerja mengacu pada semua karakteristik pekerjaan yang mungkin memberi ancaman kepada individu tersebut. Dua jenis stres kerja mungkin mengancam individu, yaitu baik berupa tuntutan individu yang mungkin tidak berusaha mencapai kebutuhannya maupun persediaan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut. Secara umum, Nykodym dan George (dalam Wijono, 2010) mendefinisikan stres sebagai rangsangan eksternal yang mengganggu fungsi mental, fisik, dan kimiawi dalam tubuh seseorang. Sebaliknya, Selye (dalam Wijono, 2010) berpendapat bahwa stres kerja merupakan suatu konsep yang terus menerus bertambah. Ini terjadi jika semakin banyak permintaan, maka semakin bertambah munculnya potensi stres kerja dan peluang untuk menghadapi ketegangan akan ikut bertambah pula. Stres kerja dapat diartikam sebagai sumber stres atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja (Waluyo, 2013).
5
Berdasarkan beberapa definisi tentang stres kerja di atas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah sebuah interaksi antara individu dengan lingkungan kerjanya yang dapat mengancam dan mempengaruhi kondisi fisik serta kondisi psikologis individu.
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Stres Kerja Robbins (2015) mengungkapkan tiga faktor yang menjadi sumber stres yang potensial, yaitu: a. Faktor Lingkungan Ketidakpastian lingkungan akan mempengaruhi desain dari struktur organisasional, hal ini juga memengaruhi level stres individu di dalam organisasi tersebut. Tentu saja, ketidakpastian merupakan alasan terbesar individu-individu yang memiliki masalah dalam mengatasi perubahan organisasional. Terdapat tiga tipe ketidakpastian lingkungan yang utama, yaitu ekonomi, politik, dan teknologi. Perubahan dalam siklus hidup bisnis dapat menciptakan ketidakpastian ekonomi. Ketika ekonomi terkena hantaman, sebagai contoh, maka individu akan menjadi semakin cemas dengan keamanan pekerjaannya. Ancaman terorisme di negara maju dan negara yang sedang berkembang, misalnya, akan mengarahkan pada ketidakpastian politik yang menjadi sangat menegangkan bagi orang-orang di dalam negara-negara tersebut, lalu inovasi dapat membuat keterampilan dan pengalaman karyawan akan usang dalam waktu yang sangat singkat, komputer, robotik, otomasi, dan bentuk-bentuk yang mirip dari perubahan
6
teknologi juga merupakan sebuah ancaman bagi banyak orang dan menyebabkan stres. b. Faktor Organisasional Robbins (2015) telah mengkategorikan faktor organisasional menjadi tiga, yaitu tuntutan tugas, peranan, dan interpersonal. (1) Tuntutan tugas terkait dengan pekerjaan dari individu, yaitu meliputi desain pekerjaan (tingkat kemandirian, variasi tugas, tingkat otomatisasi), kondisi kerja, dan tata ruang kerja secara fisik. Bekerja dalam ruangan yang sangat penuh dengan kesesakan orang atau lokasi yang terpapar kebisingan dan gangguan secara konstan dapat meningkatkan kecemasan dan stres. Sebagaimana layanan konsumen tumbuh menjadi sangat lebih penting, maka kerja emosional menjadi sebuah sumber stres. (2) Tuntutan peranan terkait dengan tekanan yang ditempatkan pada individu sebagai fungsi dari peranan tertentu yang dipegangnya dalam organisasi. Konflik peran menciptakan ekspektasi yang akan sulit untuk mendamaikan atau memuaskannya. Beban peran yang berlebihan terjadi ketika individu diharapkan untuk melakukan lebih banyak hal daripada batas waktu yang ada. Ketidakjelasan peranan berarti bahwa ekspektasi peran tidak secara jelas dipahami dan individu tidak yakin apa yang harus dilakukan. (3) Tuntutan interpersonal merupakan tekanan yang diciptakan oleh para karyawan lainnya. Kurangnya dukungan sosial dari para kolega dan
7
hubungan interpersonal yang buruk dapat menyebabkan stres, terutama di antara karyawan dengan kebutuhan sosial yang tinggi. Pertumbuhan riset yang sangat cepat juga menunjukkan bahwa perilaku dari rekan dan supervisor yang negatif, meliputi perkelahian, intimidasi, ketidaksopanan, pelecehan rasial, dan pelecehan seksual, sangat kuat terkait dengan stres di tempat kerja. c. Faktor Pribadi Faktor pribadi terkait dengan permasalahan keluarga, permasalahan ekonomi pribadi, dan karakteristik kepribadian yang inheren. Hubungan keluarga dan pribadi yang berharga, kesulitan pernikahan, putusnya hubungan yang dekat, dan permasalahan kedisiplinan dengan anak-anak dapat menciptakan stres dan dapat terbawa hingga ke dalam pekerjaan individu. Faktor individu yang signifikan dapat memengaruhi stres adalah watak dasar dari seseorang. Gejala stres yang diungkapkan pada pekerjaan sebenarnya berpangkal di dalam kepribadian seseorang. Apabila individu memiliki sebuah karakteristik dalam diri untuk melawan suatu kejadian yang menyebabkan stres dan tetap dapat berkomitmen terhadap aktivitas dalam kehidupannya, individu tersebut akan mampu menetralisir stres kerja yang dialaminya. Selain itu, apabila individu dapat memberikan respon yang positif dan memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kesulitan dengan baik, gejala stres yang dialami individu tersebut akan diprediksi dapat berkurang.
8
Luthans (dalam Waluyo, 2013) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri atas empat hal utama, yakni: a. Extra Organizational Stressors, yang terdiri dari perubahan sosial atau teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas atau tempat tinggal. b. Organizational Stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi. c. Group Stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya
dukungan
sosial,
serta
adanya
konflik
intraindividu,
interpersonal, dan intergrup. d. Individual Stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, control personal, learned helplessness, self efficacy, dan daya tahan psikologis. Penyebab stres dalam pekerjaan dibagi menjadi dua (Waluyo, 2013), yakni: a. Group Stressors Penyebab stres yang berasal dari situasi manapun keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerja sama antara karyawan, konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama karyawan di dalam perusahaan.
9
b. Individual Stressor Penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran. Menurut uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa faktor stres kerja secara garis besar meliputi faktor lingkungan, faktor organisasi, dan faktor individu atau faktor pribadi.
4. Aspek-Aspek Stres Kerja Penelitian yang dilakukan oleh Kohn P.M. dan Macdonald J.E. (1992) “The Survey of Recent Life Experiences A Decotaminated Hassles Scale for Adults” menjelaskan tentang aspek-aspek stres kerja sebagai akibat permasalahan-permasalahan yang dialami individu yang dapat memicu stres kerja berdasarkan Daily Hassles and Stress Scale (DHSS) yang berisi enam aspek, yaitu: a. Kesulitan sosial dan budaya Kesulitan sosial dan budaya menjelaskan hubungan interpersonal yang dialami individu seperti kesulitan dalam persahabatan, keluarga, dan kasih sayang, serta hubungan individu dan lingkungan seperti pada masyarakat modern yang mengalami tingkat kebisingan yang tinggi dan kesulitan menghadapi teknologi yang kompleks.
10
b. Pekerjaan Pekerjaan memicu individu mengalami stres. Hal ini dialami individu ketika individu tidak puas dengan pekerjaannya, tidak menyukai pekerjaannya, mengalami konflik dengan atasan di tempat kerja, dan penilaian pekerjaan yang menurun. c. Tekanan Waktu Individu mengalami stres karena waktu yang dimiliki tidak sesuai dengan aktivitas yang dilakukan. Hal ini memicu individu tertekan oleh waktu, seperti terlalu banyak hal yang dilakukan sekaligus dalam satu waktu, tidak cukup waktu untuk memenuhi kewajiban, tidak memiliki waktu luang, tanggung jawab yang banyak sehingga menghabiskan waktu, bekerja keras sepanjang waktu untuk kelangsungan hidup. d. Keuangan Permasalahan keuangan yang dialami setiap individu dapat memicu timbulnya stres, misal ketika individu mengalami kesulitan keuangan, beban keuangan, konflik keuangan dengan keluarga dan teman. e. Penerimaan Sosial Penerimaan sosial yang dialami individu dalam hubungan individu dengan sosial dalam memicu stres pada individu. Hal ini terjadi karena adanya penolakan sosial yang dialami individu, isolasi sosial, ketidakpuasan dengan diri sendiri, dan tidak dihiraukan oleh lingkungan sekitar.
11
f. Korban Sosial Korban sosial merupakan salah satu aspek yang memicu stres pada individu. Hal ini berhubungan dengan individu yang mengalami penganiayaan sosial, seperti penipuan dan dimanfaatkan oleh orang lain. Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek stres kerja yaitu kesulitan sosial dan budaya, pekerjaan, tekanan waktu, keuangan, penerimaan sosial, dan korban sosial. Peneliti menggunakan aspek-aspek stres kerja yang dikemukakan oleh Kohn P.M. dan Macdonald J.E. (1992) sebagai aspek penelitian stres kerja. Aspek ini dipilih atas dasar kesesuaian dengan kondisi yang dialami oleh subjek penelitian.
5. Tahapan Stres Kerja Hans Selye (dalam Munandar, 2001), sebagai seorang ahli faal, ia tertarik pada bagaimana
cara stres mempengaruhi badan. Ia mengamati
serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan. Rangkaian perubahan ini ia namakan general adaption syndrome, yang terdiri dari tiga tahap, yaitu: a. Tahap alarm (tanda bahaya) Organisme
berorientasi
terhadap
tuntutan
yang
diberikan
oleh
lingkungannya dan mulai menghayatinya sebagai ancaman. Tahap ini tidak dapat tahan lama.
12
b. Tahap resistence (perlawanan) Organisme memobilisasi sumber-sumbernya supaya mampu menghadapi tuntutan. c. Tahap exhaustion (kehabisan tenaga) Jika tuntutan berlangsung terlalu lama, maka sumber-sumber penyesuaian ini mulai habis dan organisme mencapai tahap akhir. Jika diterapkan pada manusia, maka sindrom adaptasi umum dari Selye dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut: Jika individu untuk pertama kali mengalami situasi penuh stres, maka mekanisme
pertahanan
dalam
badan
diaktifkan.
Kelenjar-kelanjar
mengeluarkan atau melepaskan adrenalin, cortisone dan hormon-hormon lain dalam jumlah yang besar, dan perubahan-perubahan yang terkoordinasi berlangsung dalam sistem saraf pusat (tahap alarm). Jika exposure (paparan) terhadap pembangkit stres bersinambung dan badan mampu menyesuaikan, maka terjadi perlawanan terhadap sakit. Reaksi badaniah yang khas terjadi untuk menahan akibat-akibat dari pembangkit stres (terhadap resistance), tetapi jika paparan terhadap stres berlanjut, maka mekanisme pertahanan badan secara perlahan-lahan menurun sampai menjadi tidak sesuai, dan satu dari organ-organ gagal untuk berfungsi sepatutnya. Proses pemunduran ini dapat mengarah ke penyakit dari hampir semua bagian dari badan (tahap exhaustion). Menurut uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stres memiliki tiga tahapan, yaitu tahap alarm (tanda bahaya), tahap resistence (perlawanan), dan tahap exhaustion (kehabisan tenaga).
13
6. Stres Kerja pada Masinis Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian menuliskan bahwa masinis adalah awak sarana perkeretaapian yang bertugas mengoperasikan kereta api serta bertanggung jawab sebagai pemimpin perjalanan kereta api. Masinis merupakan salah satu profesi yang memiliki tuntutan tugas dan tanggung jawab yang sangat besar. Masinis berperan sebagai pemimpin selama perjalanan kereta api dan bertanggung jawab terhadap keselamatan nyawa banyak orang. Masinis pada saat bertugas menjalankan, mempercepat, memperlambat kereta api sesuai dengan prosedur, membutuhkan tingkat konsentrasi dan fokus yang tinggi. Selama perjalanan kereta api, masinis harus memperhatikan informasi sinyal dan semboyan yang diberikan oleh pusat dengan baik. Karena tuntutan tanggung jawab, kemampuan berkonsentrasi ini yang dapat membuat beban mental pada masinis bertambah (Astuty dkk., 2013). Tanggung jawab dan beban mental tersebut dapat berpengaruh pada kondisi psikologis masinis. Gaillard dan Wientject (1994) dalam Bourne dan Yaroush (2003) mengatakan bahwa apabila seseorang tidak bisa mengontrol kondisi fisik, alam, biologis atau psikologis dan di luar batas kemampuannya maka akan menimbulkan stres kerja. Aryanto, dkk. (2015) dalam penelitiannya mengenai analisis stres kerja, menyebutkan bahwa beban kerja dan tanggung jawab dapat menjadi faktor pemicu stres kerja pada masinis. Sebagian besar masinis merasakan beban dan
14
tanggung jawab menjadi seorang masinis sangatlah besar. Hal ini dikarenakan masinis memegang peran utama dalam melakukan perjalanan kereta api, dan bertanggung jawab dalam hal keselamatan, keamanan, kepuasan, dan kenyamanan penumpang. Di dalam penelitian tersebut juga dipaparkan bahwa tuntutan mental juga menjadi penyebab stres kerja pada masinis. Tuntutan mental ini meliputi konsentrasi, daya ingat, dan fokus. Konsentrasi dan fokus sangat dibutuhkan selama masinis mengendalikan kereta, jika masinis lengah akibatnya bisa fatal, kemungkinan besar kecelakaan dapat terjadi dan dapat membahayakan seluruh awak kereta. Daya ingat masinis juga diperlukan dalam mengingat simbol atau semboyan yang berlaku, hal ini akan membantu masinis dalam mengendalikan kereta sampai dengan tujuan. Selain kedua faktor tersebut terdapat lima faktor lain yang menjadi penyebab stres kerja pada masinis, yaitu lingkungan fisik, peluang kerja, aktivitas di luar pekerjaan, kepuasan terhadap pekerjaan, dan masalah di tempat kerja (Aryanto, dkk., 2015). Stres kerja pada masinis dialami pada tiga kondisi, yaitu sebelum melakukan tugas, saat melakukan tugas dan setelah melakukan tugas. Penyebab terjadinya stres pada masinis saat kondisi sebelum melakukan tugas umumnya karena keterlambatan dari kereta daerah yang masinis tumpangi. Untuk kondisi saat melakukan tugas, yang menjadi penyebab stres adalah faktor lingkungan dan faktor teknis. Penyebab stres pada kondisi setelah melakukan tugas umumnya karena kelelahan yang dialami oleh masinis
15
(Sugiatmaja dkk., 2014). Ketiga kondisi tersebut dapat menjadi sebuah sumber stres bagi masinis. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja yang dialami oleh masinis dipicu oleh beban kerja dan tanggung jawab yang begitu besar. Masinis memegang peran utama sebagai pemimpin selama perjalanan kereta api dan dituntut untuk selalu menjaga keamanan serta keselamatan seluruh awak kereta api.
B. Hardiness
1. Pengertian Hardiness Hardiness adalah kemampuan seseorang untuk mengatasi stres. Individu-individu dengan hardiness mempunyai kemampuan lokus kendali internal, berkomitmen kuat terhadap kegiatan-kegiatan dalam kehidupan mereka, dan memandang perubahan sebagai kesempatan untuk maju dan tumbuh. Individu-individu seperti ini dianggap relatif tidak berkemungkinan menderita penyakit jika mereka mengalami tingkat tekanan dan stres tinggi. Sebaliknya, individu dengan hardiness rendah mungkin mempunyai kesulitan lebih besar dalam mengatasi tekanan dan stres (Moorhead dan Griffin, 2010). Suzanne Kobasa (dalam Ivancevich dkk., 2007) mengungkapkan bahwa individu dengan hardiness tampak memiliki tiga karakteristik penting. Pertama, individu yakin bahwa individu dapat mengendalikan peristiwa yang mereka temui. Kedua, individu sangat berkomitmen terhadap aktivitas dalam
16
kehidupan individu. Ketiga, individu memperlakukan perubahan dalam kehidupan individu sebagai sebuah tantangan. Hardiness diajukan sebagai suatu faktor yang mengurangi stres dengan mengubah cara stressor dipersepsikan. Individu yang memiliki hardiness tinggi mampu bekerja melalui dan mengatasi stressor, sementara individu yang memiliki hardiness rendah menjadi kewalahan dan tidak mampu mengatasi beban. Individu dengan hardiness
akan
merespons
stres
dengan
bertahan,
berusaha
untuk
mengendalikan, dan menganggap stressor sebagai tantangan. Respons seperti ini pada umumnya menghasilkan konsekuensi perilaku, kognitif, dan psikologis yang lebih baik. Suzanne Kobasa (dalam Kreitner & Kinicki, 2005), seorang ilmuwan perilaku, mengidentifikasi karakteristik individu yang dapat menetralisir stres kerja. Karakter tersebut disebut sebagai hardiness, yang melibatkan kemampuan untuk mempersepsi atau perilaku mengubah stres negatif menjadi tantangan positif. Hardiness mencakup tiga dimensi, yaitu komitmen, locus of control, dan tantangan. Secara konseptual, menurut Maddi dan Kobasa (dalam Bartone, 2006) hardiness adalah dimensi kepribadian yang berkembang pada awal kehidupan dan cukup stabil dari waktu ke waktu, meskipun memungkinkan untuk berubah dan dilatih dalam kondisi tertentu. Individu yang memiliki hardiness yang tinggi memiliki sense of life dan komitmen kerja yang tinggi, kontrol diri yang besar, dan lebih terbuka terhadap perubahan dan tantangan dalam hidup. Mereka cenderung menafsirkan pengalaman stres dan menyakitkan sebagai
17
aspek normal keberadaan, bagian dari hidup yang secara keseluruhan menarik dan berharga. Kobasa, Maddi, dan Kahn (dalam Maddi, 2013) menemukan bahwa hardiness
merupakan
konstelasi
dari
karakteristik
kepribadian
yang
mempunyai sumber perlawanan di saat individu menemui suatu kejadian yang menimbulkan stres dan dapat membantu untuk melindungi individu dari pengaruh negatif stres. Menurut Maddi (2013), sikap dan strategi hardiness secara bersama memfasilitasi ketahanan di bawah tekanan. Sikap hardiness terdiri dari 3C yaitu commitment (komitmen), control (kontrol), dan challenge (tantangan). Tidak mempermasalahkan bagaimana hal-hal buruk bisa terjadi, tantangan akan membantu individu menyadari bahwa hidup secara alami membuat stres, komitmen membantu individu tetap terlibat dengan apa yang terjadi di sekitarnya, dan kontrol membantu individu mencoba untuk mengubahnya menjadi hal yang menguntungkan bagi individu tersebut. Berdasarkan beberapa definisi tentang hardiness di atas, dapat disimpulkan bahwa hardiness adalah kemampuan seseorang untuk mengatasi stres dengan mengubah persepsi negatif mengenai stres menjadi sebuah tantangan yang positif.
2. Aspek-Aspek Hardiness Berbagai penelitian tentang hardiness merujuk pada aspek-aspek yang dibangun oleh Kobasa (dalam Kreitner & Kinicki, 2005), meliputi:
18
a. Komitmen (commitment) Komitmen mencerminkan sejauh mana seorang individu terlibat dalam apapun yang sedang ia lakukan. Orang yang berkomitmen memiliki suatu pemahaman akan tujuan dan tidak menyerah di bawah tekanan karena mereka cenderung menginvestasikan diri mereka sendiri dalam situasi tersebut. b. Kontrol (control) Kontrol melibatkan keyakinan bahwa individu mampu mempengaruhi kejadian-kejadian dalam hidupnya. Orang-orang yang memiliki ciri ini lebih cenderung meramalkan peristiwa yang penuh stres sehingga dapat mengurangi keterbukaan mereka pada situasi yang menghasilkan kegelisahan. Selanjutnya, persepsi mereka atas keadaan terkendali dan mengarahkan
”hal-hal
internal”
untuk
menggunakan
strategi
penanggulangan yang proaktif. c. Tantangan (challenge) Tantangan merupakan keyakinan bahwa perubahan merupakan suatu bagian yang normal dari kehidupan. Oleh karena itu, perubahan dipandang sebagai suatu kesempatan untuk pertumbuhan dan perkembangan dan bukan sebagai ancaman pada keamanan. Kobasa (dalam Bower, 1998) juga mengungkapkan 3 karakteristik umum individu yang memiliki hardiness yaitu: a. Percaya bahwa individu mampu mengendalikan dan mempengaruhi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.
19
b. Memiliki perasaan yang dalam atau rasa komitmen yang tinggi terhadap semua kegiatan yang ada dalam hidupnya. c. Menganggap perubahan sebagai kesempatan untuk berkembang menjadi lebih baik. Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, peneliti menggunakan aspek-aspek hardiness yang dikemukakan oleh Kobasa (dalam Kreitner & Kinicki, 2005). Aspek ini dipilih atas dasar kesesuaian dengan kondisi yang dialami oleh subjek penelitian.
3. Ciri-Ciri Individu yang Memiliki Hardiness Gardner (1999), mengemukakan ciri-ciri individu yang memiliki hardiness, yaitu : a. Sakit dan senang adalah bagian hidup Individu yang memiliki hardiness menganggap sakit dan senang ataupun semua kejadian yang baik dan tidak baik sebagai bagian dari hidup dan mampu melalui semuanya bahkan mampu untuk menikmatinya. Fokus utama individu adalah menjadi berguna dalam setiap keadaan. b. Keseimbangan Individu yang memiliki hardiness memiliki keseimbangan emosional, spritual, fisik, hubungan antar interpersonal dan profesionalisme dalam hidup. Individu tidak terbiasa terperangkap dalam situasi yang tidak baik dan memilki solusi-solusi yang kreatif untuk keluar dari situasi tersebut.
20
c. Leadership Individu yang memiliki hardiness mampu bertahan dalam keadaan tertekan atau terkendali. Individu ini memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas yang dimilikinya, aktif, mampu mengendalikan dan memiliki harapan-harapan. d. Perspektif (pandangan) Individu yang memiliki hardiness memiliki pandangan hidup yang tidak hanya berdasarkan “aku”nya atau hanya berdasarkan pemikirannya sendiri. Tidak narsistik, tidak egosentris dan tidak sombong. Individu memiliki pandangan yang lebih luas dalam dalam melihat sesuatu. e. Self knowledge Individu yang memiliki hardiness memiliki pengetahuan diri dan kesadaran diri yang tinggi. Individu mengetahui kelebihan dan kekurangannya dan merasa nyaman dengan hal itu. Individu tidak berusaha membandingkan diri dengan orang lain, mampu menerima diri sendiri apa adanya. f. Tanggung jawab ke Tuhan Individu yang memiliki hardiness menyadari setiap dosa yang
telah
diperbuat dan akan segera memperbaikinya. Jika individu berbuat salah pada dirinya, individu akan dengan mudah mampu memaafkannya dan meminta maaf jika melakukan kesalahan pada individu lain.
21
g. Tanggung jawab Individu yang memiliki hardiness mampu menerima tanggung jawab. Individu mampu untuk “menikmati” keadaan yang sedang
dialami
ataupun akibat negatif dari keadaan yang dialami. h. Kedermawaan (generousity) Individu yang memiliki hardiness penuh dengan cinta, energi dan sumber daya. Bersikap dermawan, terbuka, mempercayai, bekerja dan memberi. Individu melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan berbagi dengan individu lain. i. Gratitude (terima kasih atau bersyukur) Individu yang memiliki hardiness senantiasa bersyukur terhadap apa yang dimiliki. Individu percaya bahwa setiap individu saling tergantung satu sama
lain.
Individu
mampu
menerima
kelemahan,
kelebihan,
ketidakberdayaan, dan kebutuhannya akan kepedulian dari individu lain tanpa rasa malu dan membiarkan individu lain membantunya atau mau menerima bantuan dari individu lain. j. Harapan (hope/ joy) Individu yang memiliki hardiness memiliki perasaan yang indah terhadap harapan-harapannya, mampu stabil dalam berbagai keadaan yang tidak baik dan tidak pesimis. Individu memiliki harapan untuk dapat menikmati hidup dengan bebas dan penuh dengan kebahagiaan.
22
k. Punya daya pikir yang tinggi Individu yang memiliki hardiness memiliki pemikiran yang kreatif dan inovatif. Individu ini memiliki daya cipta, melihat pilihan secara aktif, memiliki cara-cara atau teknik pemecahan masalah tersendiri. l. Fleksibel Individu yang memiliki hardiness mampu menikmati pilihan kedua dan lebih fleksibel. Individu menikmati apa yang dimiliki daripada menangisi apa yang tidak dimilikinya. m. Memiliki selera humor Hardiness mencerminkan rasa humor yang dimiliki seorang individu. Individu mampu menertawakan dirinya sendiri dan tidak membiarkan dirinya menjadi individu yang terlalu serius. Individu memiliki spontanitas dan fleksibelitas sehingga mampu menikmati perbedaan, adanya variasi dan kesempurnaan ciptaan Tuhan. n. Rejection (penolakan) Individu yang memiliki hardiness tidak mudah menyerah dengan kegagalan atau penolakan yang dialaminya. Individu mampu belajar dari kesalahan dan bangkit dari suatu kegagalan, suatu penolakan ataupun suatu penyangkalan. Individu tidak akan berhenti meskipun sudah gagal berulang-ulang.
23
o. Kehormatan Individu yang memiliki hardiness memiliki perilaku, tata krama yang baik sehingga individu memperoleh penghormatan dan penghargaan dari individu lain. p. Penggunaan waktu Individu yang memiliki hardiness mampu memanfaatkan waktu sebaikbaiknya. Individu mampu membingkai kebosanan menjadi produktivitas, mengisi waktu dengan hal yang lebih bermanfaat dan memotivasi dirinya dalam memulai suatu hal. q. Dukungan Individu yang memiliki hardiness mengidentifikasi dan memelihara sistem pendukung pribadi. Individu mampu mengembangkan hubungan yang sehat dalam suatu kelompok, memiliki pengaturan atau batasan-batasan sehingga tidak memberikan dampak timbal balik pada masing-masing pihak. r. Kemampuan selalu belajar Individu yang memiliki hardiness terbuka dengan suatu gagasan yang baru. Individu adalah pelajar seumur hidup. Individu tidak gampang menyerah terutama dalam menerapkan suatu gagasan atau ide yang baru. s. Penyelesaian konflik Individu yang memiliki hardiness dapat melakukan atau menghadapi konfrontasi tanpa kehilangan keseimbangan dalam dirinya. Individu ini mampu mendengarkan dengan baik tanpa melakukan penyangkalan,
24
memberi masukan dan mampu menjawab secara terus terang terhadap isu yang ada. Individu akan berubah jika harus dan tidak mudah dikendalikan oleh pendapat individu lain. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki hardiness memiliki ciri-ciri, yaitu sakit dan senang adalah bagian hidup, keseimbangan, leadership, perspektif (pandangan), self knowledge, tanggung jawab ke Tuhan, tanggung jawab, kedermawaan (generousity), gratitude (terima kasih atau bersyukur), harapan (hope/ joy), punya daya pikir yang tinggi, fleksibel, memiliki selera humor, rejection (penolakan), kehormatan, penggunaan waktu, dukungan, kemampuan selalu belajar, dan penyelesaian konflik.
C. Kecerdasan Adversitas
1. Pengertian Kecerdasan Adversitas Paul G. Stoltz mencetuskan sebuah teori mengenai Adversity Quotient (AQ) atau yang biasa disebut juga dengan kecerdasan adversitas. Adversity Quotient (AQ) atau yang selanjutnya disebut dengan kecerdasan adversitas memasukkan dua komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan penerapannya di dunia nyata. Kecerdasan adversitas memberi tahu seberapa jauh individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya (Stoltz, 2007). Kecerdasan adversitas adalah variabel yang
25
menentukan apakah seseorang tetap menaruh harapan dan terus memegang kendali dalam situasi yang sulit. Stoltz (2007) mendefinisikan kecerdasan adversitas ke dalam tiga bentuk, yaitu: a. Kecerdasan adversitas adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kecerdasan adversitas berlandaskan pada riset yang berbobot dan penting, yang menawarkan suatu gabungan pengetahuan yang praktis dan baru, yang merumuskan kembali apa yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan. b. Kecerdasan adversitas adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon individu terhadap kesulitan. c. Kecerdasan adversitas adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki efektivitas pribadi dan profesional individu secara keseluruhan. Maltz (2004) mengatakan bahwa individu yang memiliki kecerdasan adversitas adalah individu yang tidak menyalahkan diri sendiri dan individu lain atas masalah yang dihadapinya, akan tetapi terus menyelesaikannya karena semua masalah pasti dapat diatasi. Selain itu, individu yang memiliki kecerdasan adversitas mampu untuk mengubah suatu masalah atau hambatan tersebut menjadi suatu peluang (Kusuma, 2004).
26
Berdasarkan beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa kecerdasan adversitas adalah suatu ukuran untuk mengetahui bagaimana respon dan kemampuan individu dalam menghadapi suatu kesulitan.
2. Dimensi Kecerdasan Adversitas Stoltz (2007) menjelaskan terdapat empat dimensi kecerdasan adversitas, yaitu control, origin and ownership, reach, dan endurance yang disingkat menjadi CO2RE. a. C = Control (Kendali) C adalah singkatan dari control atau kendali. C mempertanyakan: Berapa banyak kendali yang individu rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan? Kata kuncinya adalah merasakan. Kendali berhubungan langsung dengan pemberdayaan dan pengaruh, dan mempengaruhi semua dimensi CO2RE lainnya. Perbedaan respon kecerdasan adversitas yang rendah dan yang tinggi dalam dimensi ini cukup dramatis. Seorang individu yang memiliki kecerdasan adversitas yang lebih tinggi akan merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang memiliki kecerdasan adversitas lebih rendah. Akibatnya, mereka akan mengambil tindakan, yang akan menghasilkan lebih banyak kendali lagi. Mereka yang memiliki kecerdasan adversitas lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara orang-orang yang kecerdasan adversitasnya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti.
27
b. O2 = Origin and Ownership (Asal Usul dan Pengakuan) Dimensi ini mempertanyakan dua hal, yaitu mengenai siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah individu mengakui akibat-akibat kesulitan itu. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas yang rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul (origin) kesulitan tersebut. Rasa bersalah memiliki dua fungsi penting. Pertama, rasa bersalah itu membantu individu untuk belajar. Melalui menyalahkan diri sendiri, individu akan cenderung merenungkan, belajar, dan menyesuaikan tingkah lakunya. Inilah yang namanya perbaikan. Kedua, rasa bersalah itu menjurus pada penyesalan. Penyesalan dapat memaksa individu untuk meneliti batin individu dan mempertimbangkan apakah ada hal-hal yang individu lakukan telah melukai hati orang lain. Penyesalan merupakan motivator yang sangat kuat. Bila digunakan dengan sewajarnya, penyesalan dapat membantu menyembuhkan kerusakan yang nyata, dirasakan, atau yang mungkin dapat timbul dalam suatu hubungan. Suatu kadar bersalah yang adil dan tepat diperlukan untuk menciptakan pembelajaran yang kritis atau lingkaran umpan balik yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan secara terus menerus. Kemampuan untuk menilai apa yang individu lakukan dengan benar atau salah dan
28
bagaimana individu dapat memperbaikinya merupakan hal yang mendasar untuk mengembangkan diri individu sebagai pribadi. Respon-respon asal usul yang rendah bisa menghentikan lingkaran umpan balik ini karena adanya beban mempersalahkan diri sendiri yang terus menerus, yang akan menggerogoti kemampuan individu untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah individu lakukan. Kritik, rasa bersalah, dan penyesalan hanya bermanfaat dalam dosis yang terukur. Jika terlampau banyak, dapat sangat melemahkan semangat dan menjadi destruktif. Rasa bersalah yang menjadi destruktif, rasa bersalah dapat menghancurkan energi, harapan, harga diri, dan sistem kekebalan individu. Rasa bersalah dalam ukuran yang tepat akan menggugah seseorang untuk bertindak. Rasa bersalah yang terlampau besar akan menciptakan kelumpuhan. Mempersalahkan diri sendiri adalah penting dan efektif, tapi hanya sampai tahap tertentu. Terlalu berlebihan mempersalahkan diri sendiri, sampai melampaui peran seseorang dalam menimbulkan kesulitan, bisa menjadi destruktif. Mengakui akibat kesulitan merupakan hal yang jauh lebih penting. Rasa bersalah tidak sama dengan memikul tanggung jawab. Mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan mencerminkan tanggung jawab. Kecerdasan adversitas mengajarkan individu untuk meningkatkan rasa tanggung jawab individu sebagai salah satu cara memperluas kendali, pemberdayaan, dan motivasi dalam mengambil tindakan.
29
Pengakuan atau ownership mengungkapkan bahwa individu tetap merasa bertanggung jawab untuk mengatasi kesulitan yang dialami dan tidak terlalu menyalahkan diri sendiri. Semakin tinggi skor pengakuan individu, maka semakin besar individu mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya. Semakin rendah skor pengakuan individu, maka semakin besar kemungkinannya individu tidak mengakui akibat-akibatnya, apa pun penyebabnya. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi tidak akan mempersalahkan individu lain sambil mengelakkan tanggung jawab. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi lebih unggul daripada individu yang kecerdasan adversitasnya rendah dalam kemampuan untuk belajar dari kesalahan-kesalahan. Individu juga cenderung mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan, seringkali tanpa mengingat penyebabnya. Rasa tanggung jawab semacam itu memaksa individu untuk bertindak, mebuat jauh lebih berdaya daripada individu-individu lain yang kecerdasan adversitasnya rendah. c. R = Reach (Jangkauan) Dimensi R ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu. Respon-respon dengan kecerdasan adversitas yang rendah akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang. Semakin rendah skor R individu, semakin besar kemungkinannya individu menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana, dengan
30
membiarkannya meluas, seraya mengambil kebahagiaan dan ketenangan pikiran individu saat prosesnya berlangsung. Menganggap suatu kesulitan sebagai bencana, yang akan menyebar dengan cepat sekali, bisa sangat berbahaya karena akan menimbulkan kerusakan yang signifikan bila dibiarkan tak terkendali. Sebaliknya, semakin tinggi skor R individu, semakin besar kemungkinannya individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. Suatu penolakan untuk kunjungan penjajakan hanyalah sebuah penolakan, tidak lebih dan tidak kurang. Penilaian kinerja yang ketat adalah penilaia kinerja yang ketat, jika tidak dianggap sebagai sebuah pengalaman belajar. Konflik adalah konflik, suatu peristiwa yang mungkin akan melibatkan komitmen dan tindakan lebih lanjut. Kesalahpahaman dengan orang yang dikasihi, meskipun menyakitkan, adalah kesalahpahaman, bukan tanda bahwa hidup akan hancur. d. E = Endurance (Daya Tahan) E atau Endurance (daya tahan) adalah dimensi terakhir pada kecerdasan adversitas individu. Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan, yaitu berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Semakin rendah skor E individu, semakin besar kemungkinannya individu menganggap kesulitan dan/atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama.
31
Semua pernyataan tersebut berbau permanen. Cap-cap seperti pecundang, orang bodoh yang selalu gagal, dan orang yang suka menundanunda, serta kata-kata seperti selalu dan tidak pernah membawa akibat yang tersembunyi dan berbahaya. Kata-kata itu membuat individu tidak berdaya untuk melakukan perubahan. Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil dimensi-dimensi kecerdasan adversitas menurut Stoltz (2007) sebagai aspek-aspek kecerdasan aversitas. Aspek ini dipilih atas dasar kesesuaian dengan kondisi yang dialami subjek penelitian.
3. Tipe Individu dalam Konsep Kecerdasan Adversitas Stoltz (2007), meminjam istilah para pendaki gunung untuk memberikan gambaran mengenai tingkatan dalam kecerdasan adversitas. Ada hal-hal yang terjadi pada ketiga jenis individu yang dijumpai sepanjang perjalanan mendaki gunung. Individu-individu tersebut memiliki respons yang berbeda-beda terhadap pendakian dan sebagai akibatnya, dalam hidup ini mereka menikmati berbagai macam tingkat kesuksesan dan kebahagiaan. Stoltz (2007), membagi para pendaki menjadi 3 bagian, yaitu : a. Mereka yang Berhenti (Quitters) Ada banyak individu yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Individu ini disebut Quitters atau individu-individu yang berhenti. Mereka menghentikan pendakian. Mereka menolak kesempatan yang diberikan oleh gunung. Mereka mengabaikan, menutupi,
32
atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki, dan dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. Quitters bekerja sekedar cukup untuk hidup. Mereka memperlihatkan sedikit ambisi, semangat yang minim, dan mutu di bawah standar. Mereka mengambil resiko sesedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif, kecuali saat mereka harus menghindari tantangan-tantangan besar. Quitters tidak banyak memberikan sumbangan yang berarti dalam pekerjaan, sehingga mereka merupakan beban mati bagi setiap perusahaan. b. Mereka yang Berkemah (Campers) Individu dengan tipe campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan pendakian itu. Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Perjalanan mereka mungkin memang mudah, atau mungkin mereka telah mengorbankan banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk sampai ke tempat di mana mereka kemudian berhenti. Namun demikian, meskipun campers telah berhasil mencapai tempat perkemahan, mereka tidak mungkin
mempertahankan
pendakiannya.
Karena,
keberhasilan
yang dimaksud
itu
tanpa
melanjutkan
dengan pendakian adalah
pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup pada diri seseorang. Campers masih menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan beberapa usaha. Mereka akan bekerja keras dalam hal apa pun yang bisa membuat mereka merasa lebih aman dibandingkan dengan yang telah mereka miliki. Mereka masih mengerjakan apa yang perlu dikerjakan. Kebanyakan
33
campers tidak akan dengan sengaja mengambil resiko dipecat sehubungan dengan kinerja mereka. c. Para Pendaki (Climbers) Climbers atau si pendaki, adalah sebutan untuk individu yang seumur hidup membaktikan dirinya pada pendakian. Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik, dia terus mendaki. Climber
adalah
pemikir
yang
selalu
memikirkan
kemungkinan-
kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya. Climbers menyambut baik tantangan-tantangan, dan mereka hidup dengan pemahaman bahwa hal-hal yang mendesak dan harus segera dibereskan. Mereka bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup. Climbers merupakan katalisator tindakan, mereka cenderung membuat segala sesuatunya terwujud. Climbers tidak berhenti pada gelar atau jabatan saja. Mereka terus mencari cara-cara baru untuk bertumbuh dan berkontribusi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga tipe individu dalam konsep kecerdasan adversitas menurut Stoltz (2007), yaitu mereka yang berhenti (quitters), mereka yang berkemah (campers), dan para pendaki (climbers).
34
D. Hubungan Antarvariabel
1. Hardiness dan Kecerdasan Adversitas dengan Stres Kerja Masinis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengemudi dan menjalankan kereta api, karena masinis berperan sebagai pemimpin selama perjalanan. Selain itu, masinis juga memiliki tanggung jawab besar menyangkut keselamatan nyawa banyak orang. Masinis pada saat bertugas menjalankan, mempercepat, memperlambat kereta api sesuai dengan prosedur, membutuhkan tingkat konsentrasi dan fokus yang tinggi. Selama perjalanan kereta api, masinis harus memperhatikan informasi sinyal dan semboyan yang diberikan oleh pusat dengan baik. Karena tuntutan tanggung jawab, kemampuan berkonsentrasi ini yang dapat membuat beban mental pada masinis bertambah (Astuty dkk., 2013). Tanggung jawab dan beban mental tersebut dapat berpengaruh pada kondisi psikologis masinis. Gaillard dan Wientject (1994) dalam Bourne dan Yaroush (2003) mengatakan bahwa apabila seseorang tidak bisa mengontrol kondisi fisik, alam, biologis atau psikologis dan di luar batas kemampuannya maka akan menimbulkan stres kerja. Masinis perlu memiliki kemampuan untuk mengatasi stres kerja yang dialami dengan manajemen stres yang baik agar mampu melaksanakan tugasnya sebagai pengemudi kereta api dalam keadaan sehat baik secara fisik maupun mentalnya. Setiap individu pasti memiliki kemampuan dalam menghadapi stres kerja, seperti mereduksi atau mengurangi apa yang dirasakan dan menghindari efek buruk yang mungkin terjadi. Hardiness adalah salah satu hal yang dapat
35
menentukan tinggi rendahnya tingkat stres kerja yang dialami oleh individu. Kobasa, Maddi, dan Kahn (dalam Maddi, 2013) menemukan bahwa hardiness merupakan konstelasi dari karakteristik kepribadian yang mempunyai sumber perlawanan di saat individu menemui suatu kejadian yang menimbulkan stres dan dapat membantu untuk melindungi individu dari pengaruh negatif stres. Stoltz (2007) mengatakan bahwa kecerdasan adversitas berperan penting dalam memprediksi sejauh mana seseorang mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan dan seberapa besar kemampuannya untuk mengatasi masalah tersebut. Menurut Gaves (dalam Palupi, 2005), kesuksesan seseorang dalam pekerjaan ditentukan oleh bagaimana ia menghadapi tekanan sehari-hari yang mengancam kesehatan fisik dan mentalnya. Oleh karena itu, kemampuan untuk menghadapi hambatan ataupun kesulitan sangat diperlukan dalam pencapaian kesuksesan seseorang. Hubungan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja memiliki hubungan negatif yang signifikan. Hal ini didukung oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ismirani (2011) tentang pengaruh religiusitas dan kecerdasan adversitas terhadap stres kerja pada Agen Asuransi Jiwa Bersama BUMIPUTERA 1912. Bila dilihat dari hasil presentasi variabel kecerdasan adversitas, sebagian besar Agen Asuransi Jiwa Bersama BUMIPUTERA 1912 memiliki kecerdasan adversitas yang tergolong tinggi dengan presentasi sebesar 7%. Hasil dari penelitian tersebut mengatakan bahwa semakin tinggi kecerdasan adversitas maka semakin rendah stres kerjanya.
36
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara hardiness dan kecerdasan adversitas dengan stres kerja.
2.
Hubungan antara Hardiness dengan Stres Kerja Masinis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengemudi dan menjalankan kereta api, karena masinis berperan sebagai pemimpin selama perjalanan. Selain itu, masinis juga memiliki tanggung jawab besar menyangkut keselamatan nyawa banyak orang. Masinis pada saat bertugas menjalankan, mempercepat, memperlambat kereta api sesuai dengan prosedur, membutuhkan tingkat konsentrasi dan fokus yang tinggi. Gaillard dan Wientject (1994) dalam Bourne dan Yaroush (2003) mengatakan bahwa apabila seseorang tidak bisa mengontrol kondisi fisik, alam, biologis atau psikologis dan di luar batas kemampuannya maka akan menimbulkan stres kerja. Beehr dan Newman (dalam Wijono, 2012) mendefinisikan stres kerja sebagai suatu keadaan yang timbul dalam interaksi antara manusia dengan pekerjaan. Robbins (2015) mengungkapkan tiga faktor yang menjadi sumber stres yang potensial, yaitu faktor lingkungan, faktor organisasional, dan faktor pribadi. Faktor-faktor di dalam kehidupan pribadi dari individu, meliputi permasalahan keluarga, permasalahan ekonomi pribadi, dan karakteristik kepribadian yang inheren. Faktor individu yang signifikan yang memengaruhi stres adalah watak dasar dari seseorang. Kobasa, Maddi, dan Kahn (dalam Maddi, 2013) menemukan bahwa hardiness merupakan konstelasi dari karakteristik kepribadian yang mempunyai
37
sumber perlawanan di saat individu menemui suatu kejadian yang menimbulkan stres dan dapat membantu untuk melindungi individu dari pengaruh negatif stres. Kobasa (dalam Bartone, 2006) melakukan penelitian mengenai hardiness dan kesehatan pada diri para eksekutif, penelitian telah menunjukkan bahwa hardiness mampu melindungi terhadap efek buruk stres pada kesehatan dan kinerja. Studi dengan berbagai kelompok kerja telah menemukan bahwa hardiness berperan sebagai moderator yang signifikan atau sebagai penyangga stres sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bartone, Contrada, Kobasa, dkk. (dalam Bartone, 2006). Hardiness juga telah diidentifikasi sebagai moderator pada paparan stres para tentara Gulf War (Bartone, 2006). Hardiness telah muncul sebagai penyangga stres dalam kelompok militer lain juga, termasuk Angkatan Darat Amerika Serikat sebagaimana yang diungkapkan oleh Bartone, Ursano, Wright, dan Ingraham (dalam Bartone, 2006), tentara penjaga perdamaian sebagaimana yang diungkapkan oleh Bartone, Britt, Adler, dan Bartone (dalam Bartone, 2006), tentara Israel dalam pelatihan tempur sebagaimana yang diungkapkan oleh Florian, Mikulincer, dan Taubman (dalam Bartone, 2006), calon perwira Israel sebagaimana yang diungkapkan oleh Westman (dalam Bartone, 2006), dan Kadet Angkatan Laut Norwegia sebagaimana yang diungkapkan oleh Bartone, Johnsen, Eid, Brun, dan Laberg (dalam Bartone, 2006). Rahardjo (2005) mengungkapkan bahwa individu dengan hardiness yang tinggi percaya bahwa semua masalah yang barus dihadapi, termasuk segala masalah dan beban kerja yang ada adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari
38
sehingga mereka dapat melakukan hal yang dianggap tepat untuk menyelesaikan masalah. Sebaliknya, individu dengan hardiness yang rendah seringkali menganggap banyak hal dalam pekerjaan sebagai ancaman dan sumber stres sehingga ketika dirinya merasakan stres kerja maka konsekuensi negatif yang harus ia hadapi menjadi semakin berat. Hardiness memiliki pengaruh yang positif dan berfungsi sebagai sumber perlawanan pada saat individu menemui kejadian yang menimbulkan stres. Hal ini didukung oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Amiruddin dan Ambarini (2014) mengenai pengaruh hardiness dan coping stress terhadap tingkat stres pada Kadet Akademi TNI Angkatan Laut. Hasilnya menunjukkan bahwa hardiness berpengaruh negatif terhadap tingkat stres yang dialami oleh kadet AAL. Hal ini berarti apabila subjek memiliki tingkat hardiness yang tinggi, maka tingkat stresnya akan menurun. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara hardiness dan stres kerja.
3.
Hubungan antara Kecerdasan Adversitas dengan Stres Kerja Masinis agar terhindar dari kegagalan dalam menghadapi stres dan berhasil menghadapi stres maka dituntut untuk mempunyai kemampuan dalam memahami, mengenali, sekaligus mengelolah kesulitan atau masalah yang dihadapinya tersebut, sehingga tidak membuat masinis mengalami stres kerja. Menurut Gaves (dalam Palupi, 2005), kesuksesan seseorang dalam pekerjaan ditentukan oleh bagaimana ia menghadapi tekanan sehari-hari yang
39
mengancam kesehatan fisik dan mentalnya. Oleh karena itu, kemampuan untuk menghadapi hambatan ataupun kesulitan sangat diperlukan dalam pencapaian kesuksesan seseorang. Faktor lain yang diduga berhubungan dengan terjadi atau tidak terjadinya stres kerja adalah kecerdasan adversitas. Kecerdasan adversitas merupakan salah satu konsep psikologis tentang kecerdasan yang dikembangkan oleh Paul G. Stoltz yang berintikan kemampuan untuk menghadapi kesulitan yang menghadang seseorang. Stoltz (2007) menambahkan bahwa kecerdasan adversitas berperan penting dalam memprediksi seberapa jauh seseorang mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan dan seberapa besar kemampuannya untuk mengatasi masalah tersebut. Shen (2014) mengatakan bahwa stres kerja dapat berpengaruh pada kesehatan fisik, kesehatan psikologis, dan prestasi kerja individu. Kecerdasan adversitas menunjukkan sikap dan kemampuan untuk menangani sumber stres. Oleh karena itu, ada hubungan antara stres kerja dan kecerdasan adversitas. Ketika kemampuan kontrol dari kecerdasan adversitas lebih tinggi, maka persepsi stres kerja harus lebih rendah. Ketika kecerdasan adversitas tinggi, kehidupan individu tidak akan dipengaruhi oleh rasa frustrasi, mereka akan dengan mudah mengatasi hambatan, dan tidak akan memiliki hubungan negatif dengan kesulitan. Kecerdasan adversitas memiliki hubungan yang signifikan dengan stres kerja. Hal ini didukung oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hajidah (2009) tentang hubungan antara emotional quotient dan adversity quotient dengan tingkat stres pada korban lumpur lapindo (studi korelasional di Pengungsian Baru Desa Kedungsolo Porong Sidoarjo). Hasil dari penelitian tersebut ditunjukkan
40
dengan menggunakan regresi linier berganda diketahui bahwa terbukti ada hubungan antara adversity quotient atau kecerdasan adversitas dengan tingkat stres. Hal ini dapat dilihat dari nilai korelasi sebesar -0,436 dengan p = 0,000 (p < 0,050). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai hubungan yang dihasilkan oleh kecerdasan adversitas terhadap stres ada hubungan negatif yang signifikan, yaitu jika kecerdasan adversitas seseorang tinggi maka stres yang dialami rendah dan jika kecerdasan adversitas seseorang rendah maka stres yang dialami tinggi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja.
E. Kerangka Pemikiran
2 Hardiness 1 Stres Kerja Kecerdasan Adversitas
3
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
41
F. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka di atas maka penulis menjadikan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara hardiness dan kecerdasan adversitas dengan stres kerja. 2. Terdapat hubungan antara hardiness dengan stres kerja. Terdapat hubungan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja
42