14
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kinerja Karyawan 1.
Pengertian Kinerja Karyawan Seseorang dapat memilih melakukan berbagai bentuk perilaku di tempat kerja atau di sekolah, tetapi kinerja hanya meliputi perilaku yang berhubungan dengan penciptaan barang atau jasa atau perolehan nilai yang baik, seperti yang dikemukakan Hughes dkk (2012) bahwa kinerja atau dalam Bahasa Inggris disebut sebagai performance, berkaitan dengan perilaku kearah pencapaian tujuan atau misi organisasi, atau produk dan jasa yang dihasilkan dari perilaku tersebut. Kinerja berkaitan dengan hasil kerja dan tingkah laku, yang mana kinerja merupakan hasil kerja dari tingkah laku (Amstrong, 1999). Amstrong menambahkan, sebagai tingkah laku, kinerja merupakan aktivitas manusia yang diarahkan pada pelaksanaan tugas organisasi yang dibebankan kepadanya. Menurut Mangkunegara (2004) kinerja didefinisikan sebagai hasil kerja baik secara kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab yang diberikan. Luthans (2005) mengungkapkan hal yang senada yaitu bahwa kinerja merupakan kuantitas atau kualitas sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan.
14
15
Kinerja pada dasarnya merupakan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pegawai (Mathis dan Jackson, 2006) dan kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi meliputi kuantitas output, kualitas output, jangka waku output, kehadiran ditempat kerja dan sikap kooperatif. Amstrorng dan Baron (dalam Fahmi, 2013) menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi. Masih dalam Fahmi (2013), Indra Bastian lebih jauh menyatakan bahwa kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organisasi. Adapun kinerja menurut Rivai dan Basri (2005) adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Berdasarkan beberapa uraian pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan merupakan hasil kerja yang dicapai seseorang dari aktivitas dan perilakunya yang diarahkan untuk melaksanakan tugas sesuai jabatan dan deskripsi tugas yang telah ditetapkan organisasi, dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.
16
2.
Aspek-aspek Kinerja Karyawan Menurut Robbins (2006) ada enam aspek kinerja pada karyawan secara individu yaitu: a.
Kualitas Kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan.
b.
Kuantitas Kuantitas merupakan jumlah yang dihasilkan, dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.
c.
Ketepatan Waktu. Tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
d.
Efektivitas Merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya.
e.
Kemandirian Tingkat seorang karyawan yang nantinya akan dapat menjalankan fungsi kerjanya.
17
f.
Komitmen Kerja Suatu tingkat yang mana karyawan mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan tanggung jawab karyawan terhadap kantor. Sedangkan menurut Gomes (2003) kinerja karyawan terdiri dari
beberapa aspek sebagai berikut: a.
Quantity of work yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan.
b.
Quality of work yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syaratsyarat kesesuaian dan kesiapannya.
c.
Job knowledge yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya.
d.
Creativeness yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dari tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang
timbul. e.
Cooperation yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain (sesama anggota organisasi).
f.
Dependability yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja tepat pada waktunya.
g.
Initiative yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggung jawabnya.
h.
Personal qualities yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah-tamahan, dan integritas pribadi.
18
T.R. Mitchell dalam Sedarmayanti (2001), menyatakan bahwa kinerja meliputi beberapa aspek, yaitu prom quality of
work (kualitas kerja),
promptness (ketepatan waktu), initiative (inisiatif), capability (kemampuan), dan communication (komunikasi). Hampir sama dengan Mitchell, Siagian (1995) menyebutkan kinerja memiliki aspek-aspek sebagai berikut: a.
Kualitas Kerja (Quality of Work), dengan indikator: 1) Hasil kerja yang diperoleh 2) Kesesuaian hasil kerja dengan tujuan organisasi 3) Manfaat hasil kerja
b.
Ketepatan Waktu (Promptness), indikatornya: 1) Penataan rencana kegiatan/ rencana kerja 2) Ketepatan rencana kerja dengan hasil kerja 3) Ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas
3.
Inisiatif (Initiative), indikatornya: 1) Pemberian ide/ gagasan dalam berorganisasi 2) Tindakan yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi
4.
Kemampuan (Capabil ity), indikatornya: 1) Kemampuan yang dimiliki 2) Keterampilan yang dimiliki 3) Kemampuan memanfaatkan sumber daya atau potensi
5.
Komunikasi (Communication), indikatornya: 1) Komunikasi intern (ke dalam) organisasi
19
2) Komunikasi ekstern (ke luar) organisasi 3) Relasi dan kerjasama dalam pelaksanaan tugas Berdasarkan penjelasan mengenai aspek-aspek kinerja, peneliti menggunakan teori Siagian (1995) yang membagi aspek kinerja menjadi lima aspek yaitu kualitas kerja, ketepatan waktu, inisiatif, kemampuan, dan komunikasi. Teori Siagian peneliti anggap yang paling mampu memberikan penjelasan yang jelas sehingga dapat digunakan sebagai dasar pembuatan alat ukur. Alat ukur yang peneliti buat nantinya akan diisi oleh karyawan itu sendiri atau dengan kata lain penilaian kinerja penelitian ini menggunakan self report. Penilaian kinerja menurut Cascio dan Aguinis (2005) dibagi menjadi dua yaitu penialai objektif dan penilaian subjektif. Penilaian objektif berpusat pada hasil dari perilaku sedangkan penilaian subjektif berpusat pada perilaku itu sendiri yang sesuai dengan tujuan organisasi. Penelitian ini menggunakan penilain subjektif karena ingin mengetahui perilaku yang sesuai dengan tujuan organisasi. Penilaian subjektif bisa dilakukan oleh karyawan itu sendiri ataupun orang lain seperti manajer. Penilaian subjektif memiliki bias yang bisa mengancam validitas konstruk dari suatu penelitian (Cho dan Johanson, 2008). Bias ini tidak hanya berasal dari karyawan itu sendiri yang biasanya memiliki kecenderungan untuk melebih-lebihkan kinerjanya, tetapi juga berasal dari atasan yang cenderung meremehkan kinerja bawahannya (Jaramillo, Carrilat & Locander, 2005). Manajer sering melakukan inflated
20
ratings, yang oleh Fried, Levi, Ben-David dan Tiegs (1999) diartikan sebagai strategi politik yang digunakan pengawas untuk kepentingannya sendiri dengan asumsi bahwa keefektifan kinerja mereka tergantung pada bawahan mereka sendiri. Maka para atasan itu melakukan penilaian pertama-tama adalah tetap memikirkan untuk keuntungan dirinya dulu. Oleh karena itu tidak ada bedanya antara penialaian yang dilakukan diri sendiri dengan penilaian orang lain atau manajerial, malah penilaian diri memiliki bias yang lebih rendah dan memiliki hubungan yang tinggi dengan penilaian objektif bila dibandingkan dengan penilaian manajerial (Satwika, 2012). Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini menggunakan penilaian diri sebagai sumber untuk melakukan penilaian kinerja. 3.
Faktor-faktor Kinerja Karyawan Menurut Armstrong dan Baron tahun 1998 (dalam Wibowo, 2014) kinerja dipengarui faktor-faktor sebagai berikut: a.
Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan, kompetensi yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.
b.
Leadership factors, ditunjukkan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan dukungan yang dilakukan manajer dan team leader.
c.
Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan sekerja.
d.
System factors, ditunjukkan oleh adanya sistem kerja fasilitas yang diberikan organisasi.
21
e.
Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya tingkat tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal. Faktor-faktor penentu pencapaian kinerja individu dalam organisasi
menurut Mangkunegara (2005) adalah sebagai berikut: a.
Faktor Individu Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi.
b.
Faktor Lingkungan Organisasi Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, otoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarier dan fasilitas kerja yang relatif memadai. Hersey, Blanchard dan Johnson (dalam Wibowo, 2014) merumuskan
adanya tujuh faktor yang mempengaruhi kinerja dan dirumuskan dengan akronim ACHIEVE:
22
a.
Ability meliputi pengetahuan yang dimiliki seseorang dan keterampilan yang bisa ia lakukan untuk menunjang melakukan pekerjaannya.
b.
Clarity yaitu berkaitan dengan pemahaman terhadap pekerjaannya dan persepsi peran yang dimilikinya di dalam pekerjaan.
c.
Help adalah faktor berupa dukungan yang diberikan organisasi terhadap karyawannya.
d.
Incentive, yaitu motivasi baik yang berasal dari dalam maupun luar individu dan berkaitan dengan kerelaan.
e.
Evaluation adalah pembinaan dan umpan balik kinerja dari perusahaan bagi karyawannya.
f.
Validity adalah praktik personel yang valid dan syah.
g.
Environmental atau environmental fit adalah kesesuaian dengan lingkungan.
B. Konflik Kerja 1.
Pengertian Konflik Kerja Seorang pekerja dalam melaksanakan tugas yang diberikan organisasi kepadanya, memerlukan interaksi dengan pekerja lain agar tugasnya dapat terselesaikan. Interaksi manusia satu dengan yang lain akan membentuk kerjasama namun di sisi lain dapat mengakibatkan munculnya konflik. Konflik pada hakikatnya sebagai interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua atau lebih pihak (Handoko dalam Fahmi, 2013). Handoko menjelaskan lebih lanjut bahwa ketidaksesuaian antara dua atau lebih
23
anggota-anggota atau kelompok-kelompok terutama di dalam organisasi timbul karena adanya kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan/atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai, atau persepsi Menurut Wilmot & Hocker (2007), konflik kerja merupakan perdebatan antara minimal dua orang yang saling berhubungan, namun merasa memiliki tujuan yang berbeda, memperebutkan sumber daya yang langka dan merasa diganggu dalam mencapainya. Senada dengan yang diungkapkan Dubrin et. al. dalam Fahmi (2013) mengartikan konflik mengacu pada pertentangan antar individu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat
saling
menghalangi
dalam
pencapaian
tujuan
sebagaimana
dikemukakan sebagai berikut: "conflict in the context used, refers to the opposition of persons or forces that gives rise some tension. It occurs when two or more parties (individuals, groups, organization) perceive mutually exclusive goals, or events." Konflik di tempat kerja merupakan proses dinamis yang mencerminkan interaksi dua atau lebih orang yang memiliki tingkat perbedaan yang sama atau ada ketidakcocokan di antara mereka (Blackard & Gibson dalam Wirawan, 2010). Konflik adalah proses yang dimulai ketika satu pihak mengangggap pihak lain secara negatif mempengaruhi, atau secara negatif mempengaruhi sesuatu yang menjadi kepedulian pihak pertama (Robbins & Judge, 2013).
24
Schermerhorn (dalam Alwi, 2013) mengatakan bahwa konflik kerja merupakan ketidaksepakatan diantara orang-orang tentang masalah-masalah yang bersifat substantif atau emosional. Masalah yang bersifat substantif dijumpai dalam hubungan jabatan-jabatan di organisasi yang berkaitan dengan tujuan, pembagian tugas, penentuan reward, kebijakan rekruitmen karyawan baru, dan alokasi dana. Konflik bersifat emosional muncul dari perasaan suka atau tidak suka sesama individu, ketidakpercayaan individu terhadap individu lain dan sebagainya. Konflik bersifat emosional umumnya lebih sulit diselesaikan dari pada konflik substantif. Daniel Dana (dalam Wirawan, 2010) mengartikan konflik kerja sebagai kondisi antara atau diantara pekerja yang pekerjaannya saling bergantung, yang merasa marah, menganggap yang lain sebagai yang bersalah, dan bertindak dengan cara-cara yang menyebabkan masalah di dalam bisnis. Berdasarkan uraian beberapa teori mengenai pengertian konflik kerja, maka konflik kerja dapat didefinisikan sebagai kondisi saling bertentangan antara dua orang atau lebih, akibat perbedaan ide, saling menghalangi pencapaian tujuan atau untuk memperebutkan sumber daya yang langka. 2.
Sifat Konflik Robbins (2013) mejelaskan bahwa dalam pandangan interaksionis berkeyakinan bahwa konflik tidak hanya memberi kekuatan positif bagi suatu kelompok melainkan juga mutlak perlu untuk kelompok dapat berkinerja secara efektif. Pandangan interaksionis tidak berpendapat bahwa semua konflik adalah baik, lebih tepat beberapa konflik mendukung tujuan
25
kelompok dan memperbaiki kinerjanya sehingga muncul ragam konflik yang fungsional dan disfungsional. a.
Konflik Fungsional Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok. Konflik fungsional bersifat konstruktif dan membantu dalam memperbaiki kinerja. Konflik ini mendorong orang untuk bekerja lebih keras, bekerja sama dan lebih kreatif. Konflik ini berdampak positif atau dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi organisasi yang bersangkutan. Robbins yang dialih bahasakan oleh Hadyana Pujaatmaka (2008), menyebutkan konflik fungsional yaitu seperti: 1) Bersaing untuk meraih prestasi 2) Pergerakan positif menuju tujuan 3) Merangsang kreatifitas dan Inovasi 4) Dorongan melakukan perubahan
b.
Konflik Disfungsional Konflik disfungsional adalah konflik atau pertentangan yang merintangi pencapaian tujuan organisasi. Konflik disfungsional bersifat destruktif dan mengganggu kinerja organisasi. Robbins (2008) menjelaskan konflik disfungsional seperti: 1) Mendominasi diskusi 2) Tidak senang bekerja dalam kelompok 3) Benturan kepribadian 4) Perselisihan antar individu
26
5) Ketegangan. 3.
Dimensi Konflik Kerja Alwi (2013) mengatakan secara teoritik konflik pada level struktur dapat dilihat pada tiga dimensi konflik. Hal senada juga diungkapkan oleh Robbins (2013), untuk membedakan konflik fungsional atau disfungsional adalah dengan melihat melalui tiga jenis konflik yaitu konflik tugas, konflik hubungan, dan konflik proses. Jehn pada tahun 1997 melakukan penelitian dan menemukan serta membagi konflik kerja di organisasi ke dalam tiga jenis konflik sama seperti yang telah diungkapkan oleh Alwi (2013) dan Robbins (2013), yaitu konflik tugas, konflik hubungan, dan konflik proses. a.
Konflik Tugas (Task Conflict) Konflik tugas berhubungan dengan muatan, tujuan dan sasaran pekerjaan. Jehn (1995) menambahkan bahwa konflik terjadi ketika ada perbedaan pendapat diantara anggota kelompok tentang isi dari tugastugas yang dilakukan, termasuk perbedaan dalam sudut pandang, gagasan, dan pendapat. Jehn dan Mannix (2001) melakukan penelitian mengenai konflik dengan indikator konflik tugas sebagai berikut: 1) Perbedaan pandangan tentang pekerjaan 2) Perbedaan pendapat tentang tugas ditempat kerja 3) Perbedaan ide tentang pekerjaan
b.
Konflik Hubungan (Relationship Conflict) Konflik hubungan berkaitan dengan hubungan antarpribadi dan merupakan konflik yang terjadi ketika ada yang tidak kompatibel
27
antarpribadi,
antaraanggota
kelompok,
yang
biasanya
termasuk
ketegangan, permusuhan, dan gangguan diantara para anggota dalam suatu kelompok (Jehn 1995). Indikator konflik hubungan yaitu: 1) Ketegangan hubungan 2) Kemarahan dan emosional. c.
Konflik Proses (Process Conflict) Konflik proses berhubungan dengan bagaimana suatu pekerjaan dilaksanakan atau proses pelaksanaan tugas dan sumber daya. Lebih jelasnya Jehn (1997) menjelaskan konflik proses terjadi ketika ada perbedaan pendapat diantara anggota kelompok tentang bagaimana penyelesaian tugas harus dilaksanakan, siapa yang bertanggung jawab dan untuk apa, serta bagaimana hal yang harus didelegasikan. Jehn dan Mannix (2001) mengukur konflik proses dengan indikator sebagai berikut: 1) Perbedaan pendapat tentang tanggung jawab tugas 2) Perbedaan pendapat tentang alokasi sumber daya 3) Perbedaan pendapat tentang siapa yang harus melakukan Berdasarkan penjelasan mengenai dimensi-dimensi konflik kerja yang
dikatakan para ahli, peneliti akan menggunakan dimensi-dimensi konflik kerja dari Jehn. Dimensi-dimensi konflik kerja yang akan digunakan dalam penelitian yaitu konflik tugas, konflik hubungan, dan konflik proses.
28
4.
Dampak Konflik Kerja Rahim (2001) membagi dampak konflik kerja menjadi dua kategori yaitu disfungsi dan fungsi: a.
Disfungsi Konflik 1) Konflik
mengakibatkan
job
stress,
perasaan
terbakar,
dan
ketidakpuasan 2) Komunikasi antar inidividu dan kelompok menjadi berkurang 3) Iklim ketidakpercayaan dan kecurigaan berkembang 4) Hubungan antar orang tercederai 5) Kinerja pekerjaan berkurang 6) Perlawanan atas perubahan meningkat 7) Komitmen dan kesetiaan organisasi akan terpengaruh b.
Fungsi Konflik 1) Konflik merangsang inovasi, kreativitas, dan perubahan 2) Proses pembuatan keputusan dalam organisasi akan terimprovisasi 3) Solusi alternatif atas satu masalah akan ditemukan 4) Konflik membawa solusi sinergis bagi masalah bersama 5) Kinerja individu dan kelompok akan lebih kuat 6) Individu dan kelompok dipaksa untuk mencari pendekatan baru atas masalah 7) Individu dan kelompok perlu lebih mengartikulasi dan menjelaskan posisi mereka.
29
Robert J. Edelmann (1997) membagi dampak konflik ke dalam dua kategori yaitu: a.
Dampak Negatif Dampak negatif dari konflik kerja bisa pada level individu ataupun organisasi. Pada level organisasi, konflik merusak kinerja organisasi sekaligus unit-unit yang ada di dalamnya. Pada level individu, konflik merusak dalam bentuk tertekannya pekerja (job stress). Berikut dampak negatif konflik organisasi: 1) Reaksi umum atas konflik seperti ketidakmampuan konsentrasi dan berpikir secara jelas, dengan peningkatan gangguan dan kemampuan untuk santai. 2) Penyakit kecil yang tidak bisa diremehkan seperti sakit kepala, sulit tidur dan mual merupakan peringatan awal, yang jika tidak disikapi serius, akan berujung pada peningkatan tekanan darah (hipertensi). 3) Tanda perilaku yang meliputi membuang diri dari pergaulan, penggunaan alkohol yang berlebih, merokok seperti “kereta api” (klepas-klepus), yang semuanya dimaksudkan untuk menurunkan ketegangan. 4) Lingkaran setan konflik berujung pada stres, yang kemudian mendorong munculnya sinisme baik terhadap klien ataupun kolega kerja.
b.
Dampak Positif
30
1) Memperkuat Hubungan Dua orang yang mampu mengenali perbedaan akibat konflik, penyebab perbedaan muncul, dapat melakukan diskusi guna menyelesaikannya sehingga satu sama lain dapat mengenal lebih dalam. 2) Meningkatnya Kepercayaan Jika dua orang bisa menyelesaikan konflik, mereka akan lebih mempercayai masing-masing pihak di masa datang dengan mengetahui bahwa perbedaan di antara mereka bisa diselesaikan. 3) Peningkatan Harga Diri Hasil produktif dari konflik adalah peningkatan harga diri dari tiap pihak yang bertikai. 4) Penguatan Kreativitas dan Produktivitas Konflik jika dimanajemen secara baik merupakan kondisi yang memungkinkan kreativitas
dan diskusi
antar orang dengan
kepentingan berbeda, dan ujungnya peningkatan produktivitas. 5) Kepuasan Kerja Orang butuh sejumlah perangsang dan menggunakan pengalaman dalam hal penaikan dan penurunan ketegangan, dalam rangka meraih kepuasan kerja.
31
C. Perilaku Kepemimpinan 1.
Pengertian Perilaku Kepemimpinan Sejak dulu telah dilakukan penelitian tentang kepemimpinan. Penelitian yang ada terbagi menjadi dua aliran, teori sifat kepemimpinan dan teori perilaku kepemimpinan. Sepanjang sejarah, para pemimpin seperti Buddha, Napoleon, Mao, Churchill, dan Roosevelt telah banyak diceritakan mengenai sifat-sifat mereka, sehingga teori sifat kepemimpinan berfokus pada kualitas pribadi dan karakteristik. Upaya penelitian awal untuk mengisolasi sifat kepemimpinan mengalami sejumlah kebuntuan. Sebuah review di akhir tahun 1960-an dari 20 studi yang berbeda, diidentifikasi hampir 80 sifat kepemimpinan tetapi hanya 5 yang umum dari 4 penyelidikan. Kegagalan studi awal sifat, membuat peneliti di akhir tahun 1940-an hingga tahun 1960-an bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang unik yang membuat perilaku pemimpin efektif (Robbins & Judge, 2013). Robbins & Judge (2013) dalam bukunya Organizational Behavior menyebutkan dari berbagai macam penelitian yang telah dilakukan, teori yang dianggap paling komprehensif adalah teori perilaku kepemimpinan dari penelitian Ohio State University di akhir tahun 1940-an, yang berusaha untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi independen dari perilaku pemimpin. Kebanyakan penelitian perilaku kepemimpinan awal dilakukan di Ohio State University dan University of Michigan. Penelitian dari Ohio State University mengembangkan sejumlah kuesioner untuk mengukur perilaku kepemimpinan yang berbeda dalam suasana kerja. Para peneliti mulai
32
mengumpulkan lebih dari 1800 isian kuesioner yang mendeskripsikan tipe perilkau kepemimpinan yang berbeda-beda. Isian tersebut dikelompokkan menjadi 150 pernyataan, dan pernyataan-pernyataan tersebut digunakan untuk mengembangkan kuesioner yang disebut Leader Behavior Description Questionnaire (LBDQ). Berawal dengan beribu-ribu dimensi kemudian akhirnya peneliti Ohio State University menyempitkan daftar menjadi dua kategori yang secara hakiki menjelaskan sebagian besar kepemimpinan yang digambarkan oleh bawahan (Robbins & Judge, 2013; Hughes et. al., 2012). Peneliti
Ohio
State
University
berpendapat
bahwa
perilaku
kepemimpinan sebagai suatu perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu grup kearah pencapaian tujuan tertentu, dalam hal ini pemimpin mempunyai deskripsi perilaku atas dua dimensi (Hughes dkk, 2012). Hill dan Caroll (1997) menjelaskan bahwa perilaku kepemimpinan merupakan kemampuan mendorong sejumlah orang agar bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Shared Goal, Hemhiel & Coons (dalam Nasrudin, 2010), perilaku kepemimpinan
merupakan sikap pribadi yang
memimpin pelaksanaan aktivitas dan mengoordinasikan serta memotivasi orang-orang ataupun kelompok untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Menurut Robbins dan Gibson et. al., perilaku kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan untuk mempengaruhi. Lebih jelasnya Robbins (1991) mendefinisikan
perilaku
kepemimpinan
sebagai
kemampuan
untuk
mempengaruhi sekelompok anggota agar bekerja mencapai tujuan dan
33
sasaran yang ditetapkan, dan Gibson et. al. (dalam Mairamhof, 1996) memberikan definisi perilaku kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi motivasi atau kompetensi individu-individu lainnya dalam suatu kelompok. Perilaku kepemimpinan umumnya berarti tindakan tertentu yang mana seorang
pemimpin
terlibat
dalam
proses
mengarahkan
dan
mengkoordinasikan pekerjaan para anggota kelompoknya. Ini mungkin melibatkan tindakan seperti penataan hubungan kerja, memuji atau mengkritik anggota kelompok, dan menunjukkan pertimbangan untuk kesejahteraan dan perasaan mereka (Fiedler, 1967). Hemphiil (1949) dalam Bass (1990) juga mengemukakan definisi yang hampir sama dengan Fiedler, bahwa perilaku kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai perilaku individu ketika ia terlibat dalam mengarahkan kegiatan kelompok. Menurut
Wahab
(2008)
perilaku
kepemimpinan
adalah
gaya
kepemimpinan dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi kepemimpinan, yang memiliki pengaruh sangat besar dan bersifat sangat menentukan dalam mengefektifkan organisasi untuk mencapai tujuannya. Wahab menambahkan pendekatan teori perilaku melalui gaya kepemimpinan
dalam realisasi
fungsi-fungsi kepemimpinan, merupakan strategi kepemimpinan yang memiliki dua orientasi yang terdiri dari orientasi pada tugas dan orientasi pada bawahan. James M. Black dengan bukunya yang berjudul Management: A Guide to Execitive Command (dalam Samsudin, 2006) menyatakan perilaku
34
kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan dan menggerakkan orang lain agar mau bekerjasama di bawah kepemimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai tujuan tertentu. Perilaku kepemimpinan seseorang merupakan unik dan tidak dapat diwariskan secara otomatis. Setiap pemimpin memiliki karakteristik tertentu yang timbul pada situasi yang berbeda. Adapun menurut Rivai (2004) perilaku kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, dan sikap
yang
sering
diterapkan
seorang
pemimpin
ketika
mencoba
memengaruhi kinerja bawahannya. Berdasarkan berbagai pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku kepemimpinan merupakan tindakan dan perilaku yang mempengaruhi dan mengarahkan sejumlah orang ataupun kelompok serta mendorongnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan organisasi. 2.
Dimensi-dimensi Perilaku Kepemimpinan Ohio State University membedakan perilaku kepemimpinan menjadi dua macam yaitu: a.
Initiating Structure Initiating Structure adalah perilaku pemimpin yang berorientasi pada tugas dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja bawahan untuk mencapai tujuan (Schriesheim & Bird dalam Daft, 2006), atau dalam Astuti (2008) disebut sebagai perilaku kepemimpinan yang tepusat pada pekerjaan dan memiliki indikator seperti mengutamakan tercapainya
35
tujuan,
mementingkan
produksi
yang
tinggi,
mengutamakan
penyelesaian tugas menurut jadwal yang telah ditetapkan, banyak melakukan pengarahan, melaksanakan tugas dengan prosedur kerja yang ketat, pengawasan secara ketat, dan penilaian terhadap pejabat sematamata berdasarkan hasil kerja. b.
Consideration Consideration adalah perilaku pemimpin yang memberikan perhatian dan bersahabat kepada para bawahan dan menghormati ide-ide serta perasaan mereka (Schriesheim & Bird dalam Daft, 2006). Consideration atau kepemimpinan terpusat pada pegawai (dalam Astuti, 2008) memiliki ciri-ciri atau bawahan, berusaha
indikator seperti, memperhatikan kebutuhan
menciptakan suasana saling percaya, berusaha
menciptakan suasana saling menghargai, simpati terhadap perasaan bawahan, memiliki sikap bersahabat, menumbuhkan peran serta bawahan dalam pembuatan keputusan dan kegiatan lain, lebih mengutamakan pengarahan diri, mendisiplikan diri, mengontrol diri. Consideration dan initiating structure berdiri sendiri, maksudnya adalah bahwa seorang pemimpin bisa memiliki kedua aspek ini namun dengan tingkat yang berbeda. Berdasarkan kedua aspek ini maka ada empat gaya
kepemimpinan
yang
memungkinkan
yaitu
memiliki
tingkat
consideration yang tinggi bisa jadi memiliki tingkat initiating structure yang tinggi atau rendah. Seorang pemimpin mungkin memiliki satu atau beberapa dari
empat
gaya
kepemimpinan
yaitu:
initiating
structure
tinggi
36
consideration tinggi, initiating structure tinggi consideration rendah, initiating structure rendah consideration rendah, atau initiating structure rendah consideration tinggi. Penelitian Ohio State University menemukan bahwa gaya kepemimpinan consideration tinggi initiating structure tinggi mencapai kinerja yang lebih baik dan kepuasan yang lebih besar daripada gaya kepemimpinan lain. Tetapi, penelitian baru menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang lain juga lebih efektif, tergantung pada situasi. Peneliti di University of Michigan (dalam Hughes et. al., 2012) mengidentifikasi perilaku kepemimpinan yang berkontribusi terhadap performa kelompok yang efektif, yaitu terdapat dua dimensi: a.
Job Centered Dimension Job centered dimension atau dimensi yang berpusat pada pekerjaan terdiri dari penekanan sasaran dan fasilitas kerja. Penekanan sasaran adalah perilaku yang berhubungan dengan memotivasi bawahan untuk menyelesaikan tugas yang sedang dikerjakan, dan fasilitas kerja adalah perilaku yang berhubungan dengan memperjelas peran, mendapatkan dan mengalokasikan sumber daya serta menyelesaikan konflik organisasi.
b.
Employee Centered Dimension Employee centered dimension atau dimensi yang berpusat pada karyawan terdiri dari dukungan pemimpin dan fasilitas interaksi. Dukungan pemimpin meliputi perilaku ketika pemimpin menunjukkan perhatian terhadap bawahan, dan fasilitas interakasi meliputi perilaku
37
ketika pemimpin berperan sebagai penengah dan meminimalisasi konflik diantara bawahan. Menurut Hill dan Carol (dalam Nasrudin, 2010) kepemimpinan memiliki dua dimensi sebagai berikut: a.
Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, terlihat pada tanggapan orang-orang yang dipimpinnya.
b.
Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugastugas pokok kelompok atau organisasi. Berdasarkan penjelasan mengenai teori dimensi-dimensi perilaku
kepemimpinan dari beberapa penelitian dan ahli, maka peneliti menggunakan dimensi perilaku kepemimpinan yang dikeluarkan oleh Ohio State University yaitu initiating structure dan consideration yang kemudian akan dijadikan dasar dalam alat ukur skala penelitian perilaku kepemimpinan yaitu dengan menggunakan Leader Behavior Description Questionnaire (LBDQ). Alat ukur LBDQ digunakan dengan alasan karena validitas dan reliabilitasnya telah teruji dan telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian kepemimpinan.
38
D. Hubungan Variabel 1.
Hubungan Konflik Kerja dan Perilaku Kepemimpinan dengan Kinerja Karyawan Kinerja merupakan kesediaan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tugas dan tanggungjawab yang telah diberikan padanya. Kinerja biasanya dinyatakan dalam catatan hasil atau keluaran (outcomes) yang dihasilkan dari fungsi pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu. (Gomes, 2003). Catatan hasil kerja dari seorang karyawan harus dinilai tinggi rendahnya secara konkret dari data yang ada. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Sedarmayanti (2011) bahwa hasil kerja seorang pekerja harus dapat ditunjukkan buktinya secara konkret dan dapat diukur dengan dibandingkan pada standar yang telah ditentukan oleh organisasi. Tinggi rendahnya kinerja seorang karyawan ditentukan oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya baik secara langsung ataupun tidak langsung. Timple dalam
Mangkunegara (2006)
menyebutkan
bahwa
kinerja
dipengaruhi oleh faktor internal yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang dan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan, seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi. Suarli dan Bahtiar (2010) menambahkan bahwa faktor lingkungan meliputi komunikasi, potensi pengembangan, dan kebijakan individual.
39
Seorang karyawan untuk dapat menghasilkan kinerja yang baik perlu melakukan interaksi dan kerjasama dengan rekan maupun atasannya, dengan kata lain lingkungan memiliki peran dalam menentukan kinerjanya. Interaksi karyawan dengan lingkungan kerjanya tidak selamanya berada dalam keadaan nyaman, terkadang komunikasi atau tindakan yang dilakukan, dipersepsikan berbeda oleh beberapa rekan kerjanya yang kemudian dianggap berlawanan arah atau menghalangi tujuan orang tersebut. Apabila hal ini terjadi maka inilah yang disebut konflik. Konflik terjadi berawal dari ketidakcocokan yang diakibatkan dari komunikasi atau sikap pribadi seseorang yang kemudian dirasakan dan dipersepsikan negatif oleh pihak lain, sehingga menyalah artikan maksud pihak pertama yang selanjutnya akan berakibat pada reaksi tindakan dan perilaku mereka menjadi perilaku kasar terhadap pihak yang sedang berkonflik dengan dirinya (Indriyatni, 2010). Tahap akhir dari proses konflik ini menurut Thomas (dalam Indriyatni , 2010) akan menunjukkan hasil dari jalinan aksi reaksi antar pihak-pihak yang berinteraksi yaitu menghasilkan konsekuensi terjadinya konflik berupa kinerja yang menurun atau meningkat. Konsekuensi dengan adanya konflik akan mengakibatkan terhambatnya komunikasi, yang kemudian membuat kekompakan karyawan berkurang, keberfungsian
kelompok
berkurang,
sehingga
individu
tidak
dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik, kinerjanya menjadi menurun dan efektivitas kinerja organisasi juga ikut menurun (Geyelin dan Felsenthal, 1994). Hal serupa juga disampaikan oleh Alwi (2013) bahwa konflik tidak
40
diinginkan oleh setiap individu yang bekerja sama dengan individu lain dalam suatu tim kerja. Apapun sifat dan bentuk konflik yang terjadi dalam organisasi, pasti menimbulkan ketidaknyamanan bekerja orang-orang dalam organisasi, sehingga mengakibatkan kinerja individu atau tim menjadi counter productive terhadap pencapaian tujuan dan target kerja. Konflik tidak bisa dicegah dalam organisasi yang dinamis melainkan perlu dikelola secara efektif (Alwi, 2013). Salah satu pihak yang berperan untuk melakukan pengelolaan terhadap konflik kerja adalah pemimpin. Respon yang cepat dari pemimpin misalnya dengan melakukan pertemuan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik akan mempengaruhi kualitas kerja mereka selanjutnya. Karena dengan pengelolaan yang baik oleh pemimpin, konflik dapat diubah menjadi motivasi untuk berkompetisi sehingga menumbuhkan kreativitas, inovasi dalam pemecahan masalah yang kemudian akhirnya akan meningkatkan kinerjanya sendiri dan menumbuhkan perubahan positif bagi pengembangan organisasi (Hunsaker, 2001). Ternyata secara langsung maupun tidak, perilaku kepemimpinan menjadi faktor yang penting dalam mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja karyawan. Hal ini telah disampaikan sebelumnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yaitu sikap, perilaku dan tindakan atasan. (Timpel dalam Mangkunegara, 2006). Koontz & O'Donnel (1981), menjelaskan perilaku kepemimpinan merupakan upaya mempengaruhi orangorang untuk ikut dalam pencapaian tujuan bersama. Oleh karena itu seorang pemimpin harus mampu mempengaruhi dan merubah sikap, pola tingkah
41
laku karyawan agar mereka bekerja dengan sebaik mungkin dan akhirnya menghasilkan kinerja yang tinggi untuk mencapai tujuan organisai. Pemimpin selalu berhubungan dengan karyawan, maka karyawan sangat memperhatikan bagaimana pemimpin memperlakukan mereka. Seorang pemimpin yang baik harus memperlakukan tiap karyawan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga karyawan akan merasa pemimpin mendukungnya dan hal tersebut akan membangun dan mempertahankan harga diri serta rasa dipentingkan dalam diri karyawan (Hidayat, 2012). Donnelly, Gibson, dan Invancevich dalam Mangkuprawira (2012) mengatakan bahwa dorongan atau dukungan menjadi faktor penting yang menentukan kinerja karyawan. Perasaan mendapatkan dukungan dari pemimpin, membuat karyawan menjadi semangat untuk bekerja, serta bisa menampilkan performanya secara maksimal. Apabila karyawan mampu menampilkan performanya secara maksimal, maka kinerja yang dihasilkan olehnya akan tinggi. Sebaliknya, apabila perilaku pemimpin yang kurang memberikan dukungan dan kurang memperhatikan nasib karyawannya, akan mengakibatkan rendahnya kinerja karyawan tersebut. 2.
Hubungan Konflik Kerja dengan Kinerja Karyawan Interaksi
antarindividu
seringkali
mengalami
perbedaan,
yang
kemudian mengarahkannya menjadi konflik. Konflik dapat terjadi dimanapun termasuk di dalam dunia kerja. Konflik merupakan suatu pertentangan antarindividu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat saling menghalangi dalam pencapaian tujuan (Dubrin et. al. dalam
42
Fahmi, 2013). Pencapaian tujuan di dalam organisasi biasanya berkaitan dengan tujuan untuk mendapatkan sumber daya yang langka. Hotepo et. al. (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa penyebab utama dari konflik organisasi adalah kurangnya sumber daya sehingga mereka saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang langka tersebut. Konflik pada dasar merupakan persaingan yang tidak sehat antara individu atau kelompok untuk memperoleh hasil yang lebih baik dan memperoleh penghargaan dari organisasi. Dalam persaingan ini, tiap-tiap individu atau kelompok saling menjatuhkan sehingga fokus pikiran mereka menjadi terpecah dan tidak dapat melakukan tugas pekerjaannya secara maksimal yang akhirnya membuat kinerja menurun. Sari (2010) dalam penelitiannya di Jambuluwuk Malioboro Boutique Hotel Yogyakarta menjelaskan pengaruh konflik kerja terhadap kinerja karyawan yaitu dengan adanya perbedaan cara pemecahan masalah dan rasa ingin memiliki fasilitas yang diterima karyawan lain membuat komunikasi dan interaksi kurang baik antar karyawan. Hal ini menciptakan suasana tidak kondusif dan hubungan yang kurang baik dengan ditunjukkan melalui sikap tidak saling menghormati. Ditambah konflik pribadi yang membuat karyawan mudah emosional sehingga cepat marah. Akibatnya timbul rasa tidak nyaman di dalam diri karyawan dalam bekerja. Konflik yang terjadi tidak hanya berasal dari rekan kerja namun juga berasal dari atasan ataupun organisasi. Sari (2010) menambahkan bahwa dari penelitiannya memperlihatkan karyawan merasa tidak diperlakukan adil
43
karena pengawasan dan penilaian yang dilakukan supervisor, dirasa tidak objektif akibatnya membuat mereka tidak toleransi terhadap organisasi. Selain itu, rasa tidak adil atas kebijakan dan pemberian imbalan yang tidak sesuai dengan tugas mereka, mengakibatkan kurangnya tanggungjawab karyawan pada pekerjaan dan tidak mengikuti perubahan serta perkembangan perusahaan. Timbulnya rasa tidak nyaman dan kurangnya tanggungjawab karyawan pada pekerjaan serta tidak mengikuti perubahan dan perkembangan perusahaan, berdampak pada rendahnya kinerja karyawan. Rasa tidak nyaman di lingkungan kerjanya membuat karyawan tidak dapat memberikan performanya secara maksimal. Selain itu akibat dari tidak mengikuti perubahan dan perkembangan organisasi, membuat karyawan kurang mengerti hasil seperti apa yang dibutuhkan oleh organisasinya kini, sehingga kinerja yang dilakukan tidak dapat mengarah secara langsung dengan apa yang diinginkan dan dibutuhkan organisasi. Hal ini kemudian membuat kinerja dianggap rendah. Robbins (2013) menjelaskan lebih lanjut melalui grafik (Grafik I) bahwa bila konflik berada pada tingkat yang sangat rendah atau sangat tinggi dapat menghambat kinerja maupun keefektifan kelompok dan organisasi, sehingga menyebabkan turunnya tingkat kepuasan anggota, naiknya ketidakhadiran pada akhirnya membuat kinerja menurun.
Namun, bila
konflik berada pada tingkat yang optimal dimana terdapat cukup konflik untuk
mencegah
stagnansi,
merangsang
kreativitas,
memungkinkan
44
berkurangnya ketegangan, dan menumbuhkan benih-benih perubahan dan motivasi yang harus didorong melalui penciptaan lingkungan yang menantang dan kritis yang akan menjadikan pekerjaan menarik, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja.
Grafik I. Hubungan Konflik Kerja dan Kinerja
Keterangan: A = Konflik berada ditingkat rendah dan termasuk konflik disfungsional. Karakteristik internal unitnya menjadi apatis, stagnan, tidak tanggap perubahan dan kekurangan ide-ide baru, sehingga membuat hasil kinerja unit rendah. B = Konflik berada ditingkat optimal dan termasuk konflik fungsional. Karakteristik internal unitnya menjadi bergairah, kritis, dan inovatif, sehingga membuat hasil kinerja unit tinggi. C = Konflik berada ditingkat tinggi dan termasuk konflik disfungsional. Karakteristik internal unitnya menjadi menggangu, kacau, dan tidak kooperatif sehingga membuat hasil kinerja unit rendah.
45
Konflik pada dasarnya berpengaruh negatif pada kinerja karyawan. Seperti yang ditemukan oleh Diansyah (2010) bahwa konflik kerja merupakan faktor yang paling dominan dan berpengaruh signifikan negatif terhadap kinerja karyawan pada Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kota Surakarta, yang artinya semakin besar konflik kerja maka akan semakin menurunkan kinerja karyawan. Namun apabila konflik dikelola dengan baik maka konflik yang destruktif akan menjadi konstruktif. Penelitian Mwangi & Ragui (2013) menemukan bahwa konflik kerja memiliki pengaruh yang buruk terhadap kinerja karyawan akibat manajemen konflik yang buruk dan prosedur penyelesaian konflik yang tidak efektif sehingga semakin memperburuk kinerja karyawan. Sedangkan penelitian Hotepo et. al. (2010) menunjukkan bahwa dengan manajemen konflik yang baik maka mampu meningkatkan kinerja karyawan. 3.
Hubungan Perilaku Kepemimpinan dengan Kinerja Karyawan Keberhasilan suatu organisasi, baik secara keseluruhan maupun secara kelompok dan individu di dalam organisasi tertentu, sangat bergantung pada mutu kepemimpinan yang terdapat dalam organisasi yang bersangkutan. Mutu kepemimpinan yang terdapat dalam suatu organisasi memainkan peranan
yang
sangat
dominan
dalam
keberhasilan
organisasi
menyelenggarkan berbagai kegiatan terutama dalam hal kinerja karyawannya (Siagian dalam Nasrudin, 2010). Setiap pemimpin bukan hanya dituntut untuk mampu bekerja secara maksimal namun juga mengerti dimana permasalahan yang dimiliki oleh
46
setiap karyawan selama ini. Termasuk permasalahan dalam mengembangkan kompetensi yang dimiliki oleh seorang karyawan. Pemimpin harus mampu mengetahui dan mengarahkan kompetensi yang dimiliki karyawan dalam bekerja. Memahami kompetensi dan keahlian dengan kesesuaiannya, adalah menempatkan
karyawan
tersebut
sesuai
dengan
tempatnya
atau
diterapkannya konsep “the right man in the right place” (Fahmi, 2013). Apabila karyawan berada diposisi yang sesuai dengan kompetensinya maka ia akan mudah menjalankan tugas-tugasnya, dan hasil kerjanya pun memuaskan. Pemimpim melalui perilakunya yang memberikan dukungan dan motivasi dapat menciptakan budaya organisasi yang kondusif bagi berkembangnya ide-ide perubahan, dan mengelola perbedaan-perbedaan ide, konsep serta cara pandang diantara stake holders agar menjadi sumber energi baru bagi keberhasilan kerja karyawan dan perusahaan (Alwi, 2013). Dengan kata lain perilaku pemimpin dapat mempengaruhi kualitas kehidupan kerja dan tingkat prestasi kerjanya (Nasrudin, 2010). Senada dengan Alwi (2013), Hidayat (2012) menemukan dalam penelitiannya bahwa motivasi dari pemimpin, komunikasi yang dilakukan pemimpin, interaksi pemimpin dengan karyawan, pengambilan keputusan pemimpin yang benar, serta monitoring kinerja karyawan yang dilakukan pemimpin dapat meningkatkan kinerja karyawan secara kualitatif maupun kuantitatif dalam bentuk keterampilan manajerial, keterampilan konseptual, kepercayaan diri karyawan yang tinggi, bekerja secara efektif dan efisien
47
serta kreatif dan inovatif. Hidayat (2012) menambahkan, pada akhir penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku kepemimpinan berpengaruh positif pada kinerja karyawan. Miswan (2012) menemukan hal yang sama dengan Hidayat (2012), bahwa perilaku kepemimpinan memberikan pengaruh yang signifikan positif sebesar 11% terhadap kinerja dosen PNS pada universitas swasta di Kota Bandung. Terjadinya pengaruh yang signifikan positif ini adalah akibat perilaku ketua jurusan yang memberikan pengarahan spesifik
dengan
mensosialisasikan rencana strategis, standar operasional, mengadakan evaluasi berkala, komunikasi dua arah, rapat, lokakarya, seminar, memberi tanggung jawab yang proporsional dan relevan, membuat dosen semakin bersemangat dalam bekerja yang akhirnya dapat melakukan tugasnya secara maksimal dan berdampak pada meningkatnya kinerja. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Rowold (2011) yang menunjukkan bahwa perilaku kepemimpinan dan kinerja karyawan saling berhubungan positif terutama perilaku kepemimpinan yang bersifat transformasional dan consideration berpengaruh besar pada kinerja karyawan yang memiliki heterogenitas tim. 4.
Hubungan Konflik Kerja dengan Perilaku Kepemimpinan Dua atau lebih variabel dapat dijadikan variabel bebas di dalam sebuah penelitian apabila setiap variabel bebas tersebut tidak saling berhubungan. Begitu juga dengan konflik kerja dan perilaku kepemimpinan sebagai variabel bebas telah memenuhi syarat tersebut. Konflik kerja dan perilaku kepemimpinan secara sekilas terlihat saling berhubungan dimana perilaku
48
kepemimpinan terlihat mempengaruhi konflik kerja yang terjadi. Tetapi secara teori, perilaku kepemimpian dan konflik kerja tidak saling berkaitan. Hal ini terbukti pada penelitian Setiawan (2014) yang menjadikan kepemimpinan dan konflik kerja sama-sama sebagai variabel bebas. Teori yang mendasari penelitian Setiawan (2014) menunjukkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi konflik kerja bukanlah kepemimpinan tetapi faktor tersebut adalah kemantapan organisasi, sistem nilai, tujuan dan sistem lain dalam organisasi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa secara bersama-sama maupun secara parsial, kepemimpinan dan konflik kerja berpengaruh signifikan positif terhadap produktivitas karyawan PT Cahaya Murni Pakanindo Pekanbaru. Penelitian lain yang serupa dengan penelitian Setiawan (2014) yang menggunakan kepemimpinan dan konflik kerja sebagai variabel bebas adalah penelitian Kuncahyo (2015). Penelitian Kuncahyo menggunakan lima variabel bebas, dan dua diantaranya adalah kepemimpinan dan konflik kerja, yang secara teoritis dan pembuktian uji asumsi, tidak menunjukkan adanya hubungan diantara keduanya. Hasil penelitiannya juga memperlihatkan secara bersama-sama maupun parsial, kepemimpian, konflik kerja dan tiga variabel bebas lainnya mempengaruhi secara signifikan positif terhadap kepuasan kerja di PT Bank Bukopin,Tbk. Cabang Solo. Chang dan Lee (2013) melakukan penelitian serupa pada siswa kursus perencanaan bisnis di Taiwan. Hasil yang diperoleh Chang dan Lee (2013) bahwa kepemimpinan dengan pendekatan transformasional memberikan hasil
49
yang lebih baik dalam promosi pembelajaran dan pendekatan kolaboratif dalam mengatasi konflik lebih efektif, dibandingkan model manajemen konlik yang lainnya. Serta secara bersama-sama gaya kepemimpinan dan manajemen konflik berpengaruh signifikan terhadap kinerja pembelajaran siswa. Hal ini membuktikan bahwa kepemimpinan dan konflik secara bersama-sama dapat digunakan sebagai variabel bebas dalam penelitian karena telah terbukti pada beberapa penelitian tersebut, kedua variabel ini tidak saling berkaitan satu sama lain.
E. Kerangka Berpikir Penelitian hubungan antara konflik kerja dan perilaku kepemimpinan dengan kinerja karyawan yang telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya dapat digambarkan melalui kerangka berpikir dalam bagan I berikut:
2
Konflik Kerja
1 Perilaku Kepemimpinan 3 Bagan I. Kerangka Berpikir
Kinerja Karyawan PT AG
50
F. Hipotesis Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1.
Terdapat hubungan antara konflik kerja dan perilaku kepemimpinan dengan kinerja karyawan pada PT AG Kantor Pusat.
2.
Terdapat hubungan antara konflik kerja dengan kinerja karyawan pada PT AG Kantor Pusat.
3.
Terdapat hubungan antara perilaku kepemimpinan dengan kinerja karyawan pada PT AG Kantor Pusat.