BAB II KONSEP PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012 A. Delik Perzinaan Ketentuan hukum pidana Indonesia (KUHP) mengenai delik perzinaan memiliki pengertian yang berbeda dengan konsepsi yang diberikan masyarakat. Menurut KUHP, zina diidentikkan dengan overspel yang pengertiannya jauh lebih sempit dari pada zina itu sendiri. Overspel hanya dapat terjadi jika salah satu pelaku atau kedua pelaku telah terikat tali perkawinan. Overspel dapat ditindak dengan hukum pidana jika ada pengaduan dari istri atau suami pelaku, tanpa adanya pengaduan, atau tanpa diadukan oleh istri/suami maka tindak pidana perzinaan bukan sebagai hal yang terlarang. Hal ini berbeda dengan konsepsi masyarakat/bangsa Indonesia yang komunal dan religious, setiap bentuk perzinaan, baik telah terikat tali perkawinan maupun belum merupakan perbuatan tabu yang melanggar nilai-nilai kesusilaan. 41 Konsep yang dianut masyarakat tersebut tertuang dalam aturan hukum pidana adat, dan hukum Islam, yang menjadi bagian yang terpisah dari KUHP. Perzinaan dalam tinjauan hukum pidana Islam lebih luas dari pada pembatasan-pembatasan
dalam
KUHP.
Hukum
pidana
Islam
tidak
mempersoalkan dengan siapa persetubuhan itu dilakukan. Persetubuhan tersebut 41
digilib.uin-suka.ac.id, Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel) dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 1, diakses pada tanggal 01 Maret 2013, pukul 09.00 WIB.
37 Universitas Sumatera Utara
apabila dilakukan oleh orang yang telah menikah maka pelakunya disebut pelaku muhsan, dan apabila persetubuhan dilakukan oleh orang yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gairu muhsan. 42 Sanksi dalam delik perzinaan hukum pidana Islam yakni Hukuman (had). Hukuman ini dapat dijatuhkan apabila ada pengakuan dari pelaku bahwa dia telah melakukan zina atau dari keterangan saksi, karena menyangkut hidup dan matinya seseorang. Hukum Pidana Adat disamping itu juga mengatur tentang perzinaan hampir sama halnya dengan apa yang diatur dalam hukum Islam, mengenai pelaku perzinaan, yakni tidak hanya dilakukan oleh orang yang sudah kawin. Melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah baik sudah menikah maupun belum menikah tetap dianggap sebagai perbuatan yang terlarang dan disebut juga sebagai zina. Hukum Islam dalam praktiknya hanya dapat dilaksanakan di daerah tertentu saja di Indonesia yang diatur dalam bentuk PERDA. 43 Berat atau ringannya pidana dalam hukum pidana adat tergantung dari hukum adat yang berlaku di lingkungan adat masing-masing. Tindakan reaksi atau koreksi terhadap kejahatan dalam lingkungan masyarakat adat Indonesia dikenal dengan tindakan-tindakan sebagai berikut : 1. Penggantian kerugian materiel dalam berbagai rupa seperti paksaan untuk menikahi gadis yang telah dicemarkan;
42
Ibid, hal. 2 http://id.wikipedia.org, Daftar Peraturan Daerah di Indonesia Berlandaskan Hukum Agama, diakses pada tanggal 20 Juni 2013, pukul 00.00 WIB. 43
38 Universitas Sumatera Utara
2. pembayaran uang adat kepada yang terkena, berupa benda sakti sebagai pengganti kerugian rohani; 3. selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran aib; 4. penutup malu atau permintaan maaf; 5. pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum; 6. hukuman badan hingga hukuman mati. Hukum pidana Indonesia (KUHP) menganut asas legalitas formal sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 KUHP, yaitu tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Tafsiran analogi oleh karenanya tidak boleh dipergunakan dalam menentukan adanya tindak pidana dengan dianutnya asas legalitas formal. Hukum adat sendiri tidak mengenal asas legalitas formal. Setiap perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa sendiri, maka perbuatan atau kejadian itu dianggap sebagai delik adat. Alasan manusia tidak akan mampu meramalkan masa yang akan datang, menyebabkan ketentuan-ketentuan dalam hukum adat tidak pasti dan bersifat terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Ukuran utama menurut hukum adat bukan aturan tertulis sebagaimana disyaratkan asas legalitas,
39 Universitas Sumatera Utara
melainkan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan keadaan, waktu dan tempat. 44 Penegakan hukum adat pada praktiknya akan sulit, sebab jika dikaji lebih jauh tidak semua kalangan masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat hukum adat, lantas jika terjadi perbuatan zina fornication dikalangan masyarakat yang bukan merupakan masyarakat hukum adat, padahal diketahui bahwa masyarakat tersebut sangat menjunjung nilai-nilai moral dan agama, tidak akan ada delik yang dapat menghukum pelaku perbuatan zina. Hal Ini menjadi persoalan besar sebab zina fornication ini sebenarnya memberikan efek yang merugikan bagi diri sendiri dan masyarakat luas. Keputusan-keputusan Pengadilan yang mengakui perzinaan fornication sebagai salah satu delik selama ini memang telah ada, namun kembali lagi dengan mendasarkan pada hukum yang hidup (adat) yakni sebagai berikut : a. Putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Nopember 1977 No. K/Kr/1976. ‘Delik adat zinah merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut itu dilakukan seperti disyaratkan oleh pasal 281 KUHP, ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 KUHP’. b. Putusan Mahkamah Agung No. 666 K/Pid/1984. Putusan kasasi ini menyangkut seorang terdakwa pemuda (30 tahun) yang menjalin hubungan badan dengan gadis (24 tahun) dengan dalih akan dinikahi. Akan tetapi setelah gadis tersebut hamil, pemuda tersebut menolak menikahi gadis tersebut. Menurut masyarakat Luwuk, Sulawesi Tengah tempat kejadian kasus ini, perbuatan itu termasuk delik adat zina yang tidak ada bandingannya dalam KUHP. Atas dasar pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951 terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara tiga bulan. 44
Ibid, hal. 4-6
40 Universitas Sumatera Utara
c. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.79/Tol.Pid/1983/PN Denpasar, putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.104/PN/Dps/Pid/1980, putusan No. 2/Pid/B/1985/PN Denpasar, putusan No.25/Pid/B/1986/PN Denpasar dan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.22/Pid./S/1988/PT Dps untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri Klungkung 27 Januari No.1/Pid./S/1988/PN Klk. Semua putusan Pengadilan Bali ini menyangkut delik adat lokika sanggraha. Unsur-unsur yang menonjol adalah persetubuhan dilakukan oleh dua orang yang berada di luar perkawinan dengan janji akan dinikahi, atas dasar suka sama suka, namun ternyata pihak pria mengingkarinya. Dasar pemidanaannya adalah pasal ayat (3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo. Pasal 359 Kitab Adigama. 45 Hukum positif penting untuk mempertegas adanya aturan mengenai delik perzinaan bukan sekedar adultery dan merupakan hal yang mendesak, melihat adanya putusan-putusan Peradilan tersebut. Pasal 284 KUHP yang selama ini mengatur tentang delik zina terbukti dalam kenyataannya tidak mampu mengakomodir perbuatan zina yang ada dimasyarakat. Aturan adat yang berlaku bagi masing-masing daerah, ataupun aturan masing-masing agama untuk penegakan hukum terhadap perbuatan zina fornication kurang dapat diandalkan, sebab hal itu tidak bisa berlaku secara menyeluruh di tiap daerah, oleh karenanya penegakan hukumnya tidak akan efektif. Aturan delik perzinaan baik adultery maupun fornication ini juga dapat dilihat pada negara-negara lain yang menggunakannya selain Hukum Adat dan Hukum Islam, antara lain Negara Malaysia, Kelantan, dan Nigeria. Ketiga negara ini pada dasarnya merupakan negara yang pembentukan aturan hukumnya mendapat pengaruh yang kuat dari hukum Islam, sebab ketiga negara ini merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
45
Muladi., Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Indonesia di Masa Mendatang, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 16
41 Universitas Sumatera Utara
Tiap negara memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai kedudukan delik perzinaan itu sendiri dalam hukum pidananya, ada yang sama sekali tidak mempersoalkan mengenai perbuatan zina, yang artinya memandang mutlak perbuatan persetubuhan itu merupakan privasi setiap orang, ada yang memiliki kesamaan dengan hukum positif Indonesia, yakni memidana perbuatan zina adultery saja, ataupun memidana kedua-duanya baik adultery maupun fornication yakni ketiga negara yang telah disebutkan tadi. Formulasi delik perzinaan di beberapa negara di dunia, lebih jelasnya disajikan dalam tabel perbandingan formulasi delik perzinaan KUHP beberapa negara.
42 Universitas Sumatera Utara
TABEL 1 PERBANDINGAN FORMULASI DELIK PERZINAAN DALAM KUHP BEBERAPA NEGARA 46 NO
KUHP NEGARA
1.
Indonesia
2.
Prancis
HUBUNGAN SEKSUAL YANG DIFORMULASIKAN SEBAGAI DELIK Zina Adultry 1. Zina Adultry
SIFAT DELIK
PIDANA
Absolut Klacht Delict
Penjara max 9 bulan
Absolute Klacht Delict
Tutupan minimum 3 bulan max. 2 tahun untuk pelaku. Adapun untuk pelaku peserta sama dengan di atas ditambah denda 36.000 sampai 720.000 Franc
2. Kumpul Kebo (pergundikan)
Belanda 3.
4.
Inggris
5.
Thailand 46
Zina bukan sebagai delik kecuali dilakukan dengan paksaan terhadap orang yang lemah pikiran, anak di bawah umur dan yang tidak berdaya Zina bukan sebagai delik kecuali dilakukan dengan paksaan dan lain-lain. Hanya memidana Incest dan Buggery Zina bukan sebagai delik kecuali dlilakukan
Absolut Klacht delict
Denda 36.000 sampai 720.000
-
-
-
-
-
-
Eprints.undip.ac.id/15487/1/Dwi-Haryadi, Op.Cit., hal. 215-217
43 Universitas Sumatera Utara
6.
Jepang
7.
Argentina
dengan paksaan dan sejenisnya terhadap gadis di bawah 13 tahun dan sebagai mata pencaharian (pelacuran) Zina bukan sebagai delik kecuali dilakukan dengan kekerasan da sejenisnya terhadap gadis di bawah 13 tahun 1. Zina adultery Tuntutan pribadi
8.
Austria
2. Pergundikan baik dalam rumah tangga/di luar rumah tangga Zina adultry
9.
Korea
Zina adultry
10.
Greenland
11.
Malaysia
12.
Kelantan
Tuntutan pribadi
Absolute klacht delict
Absulut klacht delict
Zina bukan sebagai delik kecuali dengan perkosaan, terhadap perempuan yang berada di bawah kekuasaannya, terhadap anak-anak di bawah 15 tahun dengan memperdaya Zina adultery dan Fornication Gewone Delichten
-
Tutupan min. 1 bln max. 1 thn Tutupan min. 1 bln max. 1 thn Kurungan min. 1 bl. Max 6 bln Perampasan kemerdekaan max. 2 tahun -
Penjara seumur hidup atau 10 tahun dan denda atau dera. Rajam sampai mati
1. Zina Adultery (Muhson)
Gewone Delichten
2. Zina Fornication (Ghoiru muhson)
Gewone Delichten
Cambuk 100x dan 1 tahun penjara
3. Sodomi (liwath)
Gewone Delichten
Sama dengan zina baik Adultry/Fornication
44 Universitas Sumatera Utara
4. Ittiyan al-mayit (zina dengan orang mati ) 5. Musahaqah (lesbian)
13.
Nigeria
Gewone Delichten
Penjara max. 5 tahun
Gewone Delichten
Ta’zir
6. Ittiyan al-bahimah (zina dengan hewan ) 1. Zina Adultry (muhson)
Gewone Delichten
Penjara max. 5 tahun
Gewone Delichten
Dirajam sampai mati
2. Zina Fornication (ghairo muhson)
Gewone Delichten
Cambuk 100x dan 1 tahun penjara
3. Sodomi (liwath)
Gewone Delichten
Sama dengan zina baik Adultry/Fornication
4. Incest
Gewone Delichten
Sama dengan zina baik Adultry/Fornication
5. Lesbian
Gewone Delichten
Cambuk 50x dan penjara max 6 bulan
6. Bestiality (zina dengan hewan)
Gewone Delichten
Cambuk 50x dan penjara max 6 bulan
45 Universitas Sumatera Utara
Kebijakan formulasi delik perzinaan di berbagai negara melalui KUHPnya masing-masing dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yang dapat dilihat dari tabel 1 di atas, dengan penjelasan sebagai berikut : Kelompok I : Negara yang sama sekali tidak memandang perzinaan sebagai sebuah delik, kecuali bila hubungan seksual itu dilakukan dengan paksaan atau yang sejenisnya, memperdaya, dengan orang yang lemah pikiran dan lemah posisi, anak di bawah umur dan di negara-negara tertentu incest dan buggery. Negara-negara yang masuk pada kelompok pertama ini meliputi negara Belanda, Inggris, Thailand, Jepang, dan Greenland. Kelompok II : Negara-negara yang memandang perzinaan sebagai tindak pidana, tetapi perzinaan disini hanya meliputi Adultery yakni jika salah satu pelakunya sudah terikat oleh perkawinan. Kelompok kedua ini menetapkan bahwa perzinaan bersifat delik aduan absolut (Absolut Klacht Delict) yang artinya hanya istri dan suaminya saja yang berhak melakukan pengaduan. KUHP Argentina menggunakan istilah untuk delik ini yaitu delik dengan tuntutan pribadi. Negara-negara pada kelompok kedua ini memandang perzinaan sebagai delik yang memiliki bobot ringan, sebagai ancaman pidananya paling maksimum 2 tahun, tetapi beberapa negara menggunakan sistem pidana minimum khusus, meskipun tergolong berbobot delik ringan. Negaranegara yang masuk dalam kelompok kedua ini meliputi negara
46 Universitas Sumatera Utara
Prancis, Argentina, Austria, Korea, termasuk di dalamnya adalah Indonesia. Kelompok III : Negara-negara yang merumuskan perzinaan dalam segala bentuknya baik Adultery (muhson) maupun Fornication (ghairu mhson) sebagai tindak pidana. Negara yang masuk pada kelompok ketiga ini meliputi negara yang telah disebutkan sebelumnya tadi, yakni Malaysia, Kelantan dan Nigeria. 47 Negara-negara kelompok ketiga ini menetapkan bahwa perzinaan termasuk delik biasa (gewone delichten) dan dipandang sebagai kejahatan yang memiliki bobot sangat berat/serius, sehingga ancaman pidananya maksimal hukuman mati bagi Adultery. Negara bagian Kelantan dan Nigeria bahkan memidana juga perbuatan zina dengan segala variasinya seperti sodomi, incest, lesbian, bestiality, dengan ancaman hukuman yang sama atau hampir seimbang dengan perzinaan. Negara-negara pada kelompok ketiga ini adalah negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam sehingga formulasi delik perzinaan mendapat pengaruh yang kuat dari nilai-nilai hukum Islam, bahkan negara bagian Kelantan dan Nigeria memang mendasarkan hukum pidananya pada hukum Islam (Jinayah). Negara-negara pada kelompok ketiga ini menganggap moralitas dan agama tidak saja memiliki pengaruh dan hubungan yang sangat kuat terhadap hukum, tetapi bahkan menjadikannya sebagai sumber dalam perumusan hukum pidana. Perzinaan dijadikan sebagai delik bukan semata-mata karena merugikan orang
47
Ibid, 218-219
47 Universitas Sumatera Utara
lain, tetapi karena perbuatan tersebut bertentangan dengan kaidah agama dan bahkan merupakan kejahatan yang keji, berat dan berbahaya, yang karenanya dikualifikasi sebagai kejahatan yang berbobot delik berat/serius. Kelompok pertama tidak memidana perzinaan dan kelompok kedua memidana hanya pada adultery dengan sanksi pidana yang ringan karena memang nilai-nilai budaya, moral dan agama yang dianut oleh mereka memandang perzinaan itu adalah persoalan privacy, tetapi di negara yang menganggap bahwa perzinaan adalah masalah sosial dan berdampak sangat buruk dan didukung oleh budaya masyarakatnya yang masih memegang teguh nilai-nilai moral dan agama, delik adultery maupun fornication dipertahankan sebagai aturan terhadap perbuatan zina di masyarakat. Indonesia merupakan negara yang tergolong dalam kelompok negara kedua yang hanya mengatur tindak pidana adultery dalam hukum pidananya, padahal dapat dilihat bahwa kenyataannya Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas muslim, dan dalam kehidupan masyarakatnya sangat dominan akan nilai-nilai moral, sosial-kultural dan religius, yang jika disesuaikan ke dalam realita sosial masyarakatnya maka Indonesia tergolong pada kelompok negara yang ketiga menurut pembagian tersebut. Hukum di Indonesia pada kenyataannya berbeda dengan negara kelompok ketiga dari segi formulasi delik perzinaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa Indonesia bisa menetapkan aturan delik perzinaan yang berbeda dengan realita sosial masyarakatnya, untuk itu, lebih lanjut dibahas mengenai rumusan delik perzinaan dalam hukum positif
48 Universitas Sumatera Utara
di Indonesia dan kemudian perkembangannya dalam konsep KUHP yang telah ada.
49 Universitas Sumatera Utara
B. Delik Perzinaan menurut KUHP dan Perkembangannya di dalam RUU KUHP Delik perzinaan dalam KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia diatur dalam bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Ketentuan yang secara khusus mengatur perzinaan ada dalam Pasal 284 yang berbunyi : 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan a). Terhadap seorang pria telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya; b). Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya. c). Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; d). Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya. 2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasan itu juga. 3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75. 4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. 5. Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama pernikahan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum keputusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap. 48 Ketentuan Pasal 284 tentang perzinaan tersebut di atas dapat ditarik penjelasan sebagai berikut : 1. KUHP merumuskan bahwa hubungan seksual di luar perkawinan hanya merupakan suatu kejahatan (delik perzinaan), apabila para pelaku atau 48
Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 21, PT. Bumi Aksara, 2001, hal 104-105
50 Universitas Sumatera Utara
salah satu pelakunya adalah orang yang telah terikat dalam perkawinan dengan orang lain. Hubungan seksual di luar perkawinan, antara dua orang yang sama-sama lajang, sama sekali bukan merupakan tindak pidana perzinaan. 2. R. Sugandhi dalam menjelaskan pasal ini mengemukakan bahwa “menurut hukum baru dapat dikatakan terjadi ‘persetubuhan’ apabila anggota kelamin pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan wanita sedemikian rupa sehingga akhirnya mengeluarkan air mani”
49
3. Ketentuan dalam pasal 284 KUHP ini membedakan antara mereka yang tidak tunduk pada pasal tersebut. Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa “dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya dibolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya.” 50 Mereka yang tunduk pada pasal ini baik laki-laki maupun perempuan, dilarang atau dianggap oleh hukum telah melakukan perzinaan apabila bersetubuh dengan orang lain, selain istri atau suaminya sendiri. 4. Ketentuan ini berbeda dengan orang laki-laki yang tidak tunduk pada pasal 27 BW, seperti orang-orang yang beragama Islam yang dalam hal tertentu dapat beristri lebih dari satu orang. 51 Artinya bagi mereka yang tunduk pada pasal 27 BW, maka jika kemudian dia melanggar pasal 27 dengan melakukan poligami dan dia bersetubuh dengan istri poligaminya tersebut 49
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hal. 300-301 R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 25, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, hal. 7 51 Undang-Undang Perkawinan, Op.Cit., Pasal 3-5 50
51 Universitas Sumatera Utara
berarti dia telah melakukan delik perzinaan, sementara bagi mereka yang tidak tunduk pada pasal 27 BW, maka jika mereka melakukan poligami secara legal maka mereka secara hukum tidak dianggap melakukan perzinaan jika mereka melakukan persetubuhan dengan istri kedua, ketiga atau keempat. 5. KUHP menetapkan bahwa delik perzinaan termasuk ke dalam salah satu delik aduan absolut. Artinya meskipun telah terjadi perzinaan sebagaimana pengertian rumusan pasal 284 KUHP, pelakunya tidak dapat dituntut pidana apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan, terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75. 6. Pasal 72 dan 73 KUHP menentukan kemungkinan dalam hal-hal tertentu maka keluarga korban//wali dapat melakukan pengaduan untuk mewakili si korban. Pasal ini tidak berlaku terhadap ketentuan pasal 284, karena dalam delik perzinaan KUHP menentukan sifat delik yang absolut yang hanya suami/istri saja yang berhak melakukan pengaduan. Pasal 75 KUHP menentukan batas waktu penarikan pengaduan selama tiga bulan sejak dilakukannya pengaduan. Pasal ini pun tidak berlaku terhadap ketentuan pasal 284, karena pasal 284 memberikan pengaturan tersendiri bahwa pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai ( Pasal 284 ayat 4 KUHP ) Rumusan delik perzinaan dalam KUHP berdasarkan point satu di atas hanya memidana pelaku perzinaan dengan syarat antara laki-laki dan perempuan harus memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain atau minimal salah
52 Universitas Sumatera Utara
satunya terikat dengan tali perkawinan. Laki-laki dan perempuan yang apabila melakukan hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah, dalam artian keduanya masih sama-sama lajang, maka tidak akan ada delik yang dapat memidanakan keduanya terkecuali keduanya berada dilingkungan masyarakat hukum adat. Delik kesusilaan dalam perkembangan penyusunan RUU KUHP menurut Barda Nawawi Arief, berbeda dengan apa yang selama ini diatur dalam KUHP. dalam RUU KUHP tidak lagi dibedakan antara “kejahatan kesusilaan” dan “pelanggaran kesusilaan”. Konsep hanya mengelompokkan dalam satu bab dengan judul “Tindak Pidana terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan” yang diatur dalam Bab XIV buku II. 52 Artinya dalam RUU KUHP pengaturan mengenai delik perzinaan tidak lagi ditempatkan pada bab kejahatan kesusilaan saja yang semula terpisah dengan bab pelanggaran Kesusilaan, namun sekarang telah ditempatkan dalam bab yang sama dengan delik kesusilaan lainnya, hanya saja masih pada bagian yang berbeda. Konsep Buku II ini semula disusun oleh Tim Basaroedin (dikenal sebagai Konsep 1977 atau lebih dikenal dengan Konsep BAS). Konsep BAS Bab XIV Buku II masih diberi judul yang sama dengan KUHP (WvS) yaitu “Kejahatan terhadap Kesusilaan”, karena memang masih berorientasi pada sistematika KUHP (WvS). Konsep inilah yang menjadi bahan utama penyusunan Konsep 1979 oleh Panitia ahli periode 1979/1980 sampai dengan periode 1981/1982 yang diketuai oleh Prof. Oemar Senoadji. Periode 1982-1986 diketuai Prof. Sudarto, konsep 52
Barda Nawawi Arief, Buku II, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana “Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”, Kencana, Jakarta, Ed. 2, Cet. 3, 2011, hal. 254
53 Universitas Sumatera Utara
1979 itu diedit kembali menjadi Konsep 1984/1985, kemudian pada tanggal 23-25 April 1985 diadakan Lokakarya Buku II dan BPHN di Jakarta yang antara lain juga membahas “Tindak Pidana Kesusilaan” yang makalahnya disusun oleh Prof. Roeslan Saleh seperti telah dikemukakan di atas. Sumber acuan yang digunakan untuk membahas delik kesusilaan pertama adalah Konsep 1977/Konsep BAS yang isinya memang diambil oper dan dimasukkan ke dalam Konsep 1984/1985 (dimuat dalam Laporan Tim RUU Hukum Pidana Jilid V). Periode 1986/1987 yang diketuai oleh Prof. Roeslan Saleh, Konsep 1984/1985 kemudian diedit kembali menjadi Konsep 1986/1987 (dimuat dalam jilid VII Laporan Tim). Periode 1987-1992 yang diketuai oleh B. Marjono Reksodiputro, S.H., M.A., Konsep 1989/1990 (termuat dalam jilid XI Laporan Tim). Konsep 1989/1992 berdasarkan revisi sampai dengan Maret 1990 (termuat dalam Laporan Jilid XIV A), dan Konsep 1991/1992 berdasarkan revisi sampai dengan Desember 1992 (termuat dalam Laporan Jilid XVII). Konsep 1986/1987, judul Bab XVI Buku II sudah diubah menjadi “Tindak Pidana terhadap Kesusilaan”, walaupun masih berorientasi pada “Kejahatan Kesusilaan”, dalam KUHP WvS dan Konsep BAS. Baru kemudian dalam konsep 1989/1990 sampai dengan konsep terakhir 1991/1992, dimasukkan pula delik “Kesusilaan” yang berasal dari “Pelanggaran Kesusilaan” di dalam Bab VI Buku III KUHP. 53 Patut dicatat bahwa walaupun konsep berulang kali disusun kembali, yang menjadi sumber rujukan utama atau menjadi “master”nya adalah Konsep BAS (1977). Hal ini perlu dikemukakan karena akhir-akhir ini ada yang menyatakan
53
Ibid, hal. 254-255
54 Universitas Sumatera Utara
bahwa Konsep terakhir 1991/1992 sudah berubah dari konsep semula, khususnya yang berhubungan dengan masalah delik aduan dalam hal perzinaan, padahal sejak Konsep BAS (1977) sampai dengan konsep 1991/1992 (Desember 1992), delik perzinaan sudah dinyatakan sebagai bukan delik aduan. Perkembangan jenis atau ruang lingkup delik kesusilaan di dalam konsep Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut : 1. Konsep BAS (1977) : a) Semua “Kejahatan Kesusilaan” dari buku II diambil alih ; b) Ditambah delik baru mengenai : persetubuhan di luar nikah yang berakibat hamil dan tidak bersedia mengawininya (Pasal 301); penyalahgunaan alat-alat pencegah hamil diluar hubungan perkawinan yang sah (pasal 302); kumpul kebo (pasal 303); perbuatan cabul sesama kelamin (pasal 310); dan incest (pasal 313). 2. Konsep 1984/1985 : Pada intinya sama dengan Konsep BAS hanya dengan meniadakan Pasal 302 dan 303 BAS. 3. Konsep 1986/1987 : Sama dengan Konsep 1984/1985, hanya ada catatan bahwa delik yang semula berasal dari Pasal 301 KUHP (menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya) dan Pasal 302 KUHP (penganiayaan hewan) disetujui untuk dihapus dan cukup diatur dalam perda. 4. Konsep 1989/1990 : a) Sama dengan Konsep 1986/1987 yang tidak memasukkan Pasal 301 dan 302 KUHP; b) Mulai ditambahkan delik kesusilaan yang berasal dari Buku III KUHP, khususnya; yang berhubungan dengan pornografi (Pasal 533, 534, 535); mabuk dijalan umum (Pasal 536), menjual minuman keras kepada anak di bawah16 tahun (Pasal 538), dan menyabung ayam/jangkrik (Pasal 544). 5. Konsep 1991/1992 (sampai dengan Februari 1992) : Sama dengan konsep 1989/1990, tetapi dengan memasukkan kembali Pasal 301 dan 302 KUHP yang semula ada pada Konsep BAS tetapi tidak dimasukkan dalam Konsep 1989/1990; memasukkan Pasal 532 dari Buku III KUHP; dan menambah pasal baru mengenai orang yang bergelandangan di tempat umum dengan tujuan melacurkan diri. 6. Konsep 1991/1992 (edisi Desember 1992 dan Maret 1993) Sama dengan konsep sub (e) di atas dengan memasukkan kembali Pasal 303 BAS (kumpul Kebo); mengeluarkan masalah mabuk di jalan umum (berasal dari pasal 536 ayat 1 KUHP) dan dimasukkan dalam Bab VII (tindak pidana yang membahayakan keamanan umum bagi
55 Universitas Sumatera Utara
barang dan orang ); dan menghapus kembali delik yang berasal dari Pasal 544 KUHP (menyabung ayam/jangkrik). 7. Konsep KUMDANG (Konsep yang diedit oleh Dirjen Hukum dan Perundang-Undangan’Kumdang’ Depkeh) 1994, 1997/1998, 1999/2000: sama dengan edisi 13 Maret 1993, hanya ada perubahan/ perbaikan redaksional. 8. Konsep 2002-2004: mulai memasukkan perumusan delik dari RUU pornografi/Pornoaksi; 9. Konsep 2005 (November); ada perubahan redaksi delik pornografi dan pornoaksi. 10. Konsep 2006 (s/d rapat 17-2-2006), ada tambahan klausul mengenai pengertian pornografi/pornoaksi dan alasan penghapus pidananya. 54 Perkembangan formulasi delik perzinaan dari deretan kronologis perkembangan penyusunan delik kesusilaan dilihat dari jenis atau ruang lingkup delik kesusilaan dalam RUU KUHP, mengalami perkembangan pemikiran secara perlahan kearah kriminalisasi delik fornication dari yang semula dalam pasal 284 KUHP hanya memidana pasangan zina yang salah satu atau keduanya harus telah terikat perkawinan yang sah dengan orang lain. Konsep BAS (1977), menambahkan delik baru mengenai persetubuhan diluar nikah yang berakibat hamil dan tidak bersedia mengawininya (pasal 301). Pasal ini memang tidak termasuk kepada fornication, yakni hubungan persetubuhan yang dilakukan oleh pelaku di luar perkawinan yang sah yang kedua pelakunya dihukum. Delik ini memang secara redaksional mengatur persetubuhan di luar nikah atau mengkriminalisasi hubungan persetubuhan di luar nikah/ diluar perkawinan yang sah, namun tujuan adanya delik ini bukan untuk menghindarkan orang-orang untuk melakukan hubungan perzinaan itu, selain dari tujuan untuk melindungi ikatan perkawinan, sebagaimana salah satu tujuan diaturnya delik perzinaan, namun lebih pada melindungi salah satu subjek/pelaku tersebut, yakni pihak 54
Ibid., hal. 256-257
56 Universitas Sumatera Utara
perempuan yang akan dirugikan apabila dari adanya hubungan persetubuhan di luar nikah tersebut mengakibatkan si perempuan hamil namun kemudian si lakilaki tidak mau menikahi. Pelaku dari hubungan persetubuhan di luar nikah/perkawinan yang sah dalam delik ini hanya satu pihak saja, yakni laki-laki, oleh karenanya delik ini belum termasuk kriminalisasi sebagaimana yang dimaksud dalam pembahasan perkembangan delik perzinaan. Delik perzinaan dalam Konsep KUHP 1991/1992 (s/d edisi 1993) istilahnya diubah menjadi “permukahan”, namun dalam perkembangannya sampai konsep RUU KUHP 2004 kemudian diubah dengan digunakannya kembali istilah “perzinaan”. Pelaku perzinaan ditegaskan dalam konsep sebagai berikut : Pasal 14.09 edisi Desember 1992 : 1. Pria/wanita telah kawin yang melakukan persetubuhan dengan wanita/pria lain yang bukan istri/suaminya. 2. Pria/wanita yang melakukan persetubuhan dengan wanita/pria yang sudah kawin. Intinya sama dengan KUHP, yaitu salah satu pihak harus sudah kawin, hanya saja yang berbeda dengan KUHP bahwasanya konsep tidak mensyaratkan bahwa pria yang telah kawin itu tunduk pada pasal 27 BW, disamping itu menurut konsep sejak Konsep 1977 (Konsep BAS) sampai edisi Desember 1992, delik zina ini tidak lagi merupakan delik aduan. Perkembangan pemikiran tim perumus RUU KUHP
disini dapat dilihat mulai mengkriminalisasi hubungan persetubuhan
antara dua orang yang belum kawin, yakni dapat dilihat di pasal berikut :
57 Universitas Sumatera Utara
Pasal 14.10 edisi Desember 1992 : 1. Dipidana barang siapa melakukan persetubuhan dengan orang lain di luar perkawinan yang sah, yang mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat. 2. Dipidana laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan dengan persetujuan perempuan itu karena janji akan dinikahi, kemudian mengingkari janji itu atau karena tipu muslihat yang lain. 3. Dipidana laki-laki tidak beristri yang bersetubuh dengan perempuan tidak bersuami yang mengakibatkan hamilnya perempuan itu dan ia tidak bersedia menikahi atau ada halangan untuk nikah menurut Undang-Undang Perkawinan. 55 Berdasarkan pasal ini dapat dilihat bahwa meskipun tidak diformulasikan ke dalam bagian delik perzinaan, namun pada perkembangan RUU KUHP edisi Desember 1992 ini telah mulai adanya kriminalisasi terhadap hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah, artinya sampai pada perkembangan RUU KUHP edisi ini, tim perumus RUU KUHP sudah mulai mengembangkan pemikiran untuk melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan persetubuhan di luar perkawinan yang sah yang tergolong delik fornication yakni memidana pelaku persetubuhan antara laki- laki dan perempuan di luar perkawinan yang sah. Kriminalisasi ini didasarkan pada pandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut bertentangan dengan atau mengganggu perasaan moral masyarakat, hal ini berbeda dengan pemikiran sebelumnya mengenai kriminalisasi terhadap pelaku persetubuhan di luar perkawinan yang sah, disebabkan karena kehamilan perempuan dan laki-laki (pelaku) tidak bersedia mengawini seperti yang terumus dalam Konsep BAS 1977 dan Konsep 1984/1985. Kedua belah pihak yang melakukan perbuatan dalam hal Fornication seyogyanya sama-sama pelaku, bukan salah satunya, namun tetap saja pada 55
Ibid., hal. 261
58 Universitas Sumatera Utara
Konsep 1991/1992 (Edisi Desember 1992) ini, masih memasukkan rumusan pasal 301 Konsep BAS 1977 yang memidana pelaku persetubuhan di luar perkawinan yang sah yakni pihak laki-laki yang tidak bersedia mengawini perempuan apabila terjadi kehamilan. 56 Edisi Maret 1993 Pasal 385, delik perzinaan diubah kembali menjadi delik aduan, namun di bawah pasal itu diberi catatan, bahwa ada pendapat delik zina ini sebaiknya bukan delik aduan. Perkembangan Konsep RUU KUHP 2004 s/d 2012 ini barulah delik zina yang ,semula di KUHP hanya mengatur adultery saja, kemudian juga dimasukkan fornication sebagai bagian dari delik perzinaan, menyempurnakan rumusan delik fornication Konsep RUU KUHP 1991/1992. Rumusan lengkapnya adalah sebagai berikut : Pasal 484 RUU KUHP 2004 s/d 2006 (dalam Konsep 2007-2010 menjadi Pasal 485, dan dalam Konsep 2012 menjadi Pasal 483) 1. Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun : a). Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya; b). Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya; c). Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan; d). Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau e). Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
56
Ibid, hal. 260-261
59 Universitas Sumatera Utara
2
3 4
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
60 Universitas Sumatera Utara
C. Delik Perzinaan menurut RUU KUHP 2012 Delik perzinaan dalam RUU KUHP 2012 sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, telah mengalami perkembangan kearah kriminalisasi delik fornication atau zina diluar perkawinan, yang artinya sesuai dengan pembahasan ini, hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah yang dalam hukum positif Indonesia tidak dipidana, kini dijadikan bagian dari delik perzinaan sebagaimana yang tertera dalam Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Keempat mengenai Delik Zina dan Perbuatan Cabul pada pasal 483 RUU KUHP 2012, rumusan pasal tersebut yakni : 1.
2.
3. 4.
Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun : a). Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya; b). Perempuan yang berada dalam ikata perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya; c). Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan; d). Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau e). Laki-laki dan perempuan yang masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan pasal 25, pasal 26, dan pasal 28. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. 57 Rancangan KUHP 2012 inilah yang menjadi rancangan terbaru KUHP
sampai Periode 2013. Perkembangan yang dapat dilihat mengenai delik perzinaan
57
Konsep RUU KUHP 2008 ,Op.Cit., hal. 123
61 Universitas Sumatera Utara
sejauh ini telah banyak yang semula dalam hukum positif hanya memidana adultery saja namun sejak adanya kriminalisasi terhadap perbuatan pidana melakukan hubungan persetubuhan di luar nikah yang menyebabkan hamilnya perempuan dan laki-laki tidak bersedia mengawini, kemudian berkembang lagi delik tersebut kearah kriminalisasi terhadap hubungan persetubuhan antara lakilaki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat hubungan perkawinan yang sah. Formulasi delik perzinaan ini sejak konsep KUHP 2004 hingga 2012 tidak mengalami perubahan dari segi redaksi dan substansi, hanya saja ada sedikit perubahan pada pasalnya, yakni pada Konsep 2004 s/d 2006, delik perzinaan yang mengatur delik adultery dan fornication diatur dalam pasal 484, sedangkan dalam Konsep 2007 s/d 2010 diatur dalam pasal 485 dan pada konsep terbaru, yakni konsep 2012 diatur pada pasal 483. 58
58
Barda Nawawi Arief, Buku II, Loc.Cit.
62 Universitas Sumatera Utara
D. Kebijakan Penuntutan Tindak Pidana Persetubuhan di luar Perkawinan yang Sah Kebijakan penuntutan dalam delik kesusilaan pernah menjadi topik pembicaraan
yang
ramai,
khususnya
yang
berkaitan
dengan
delik
permukahan/zina, yaitu apakah seyogyanya menjadi delik aduan atau tidak. Masalah ini muncul ketika ada perubahan mendasar di dalam konsep yang menjadikan delik zina bukan lagi sebagai delik aduan seperti halnya KUHP (WvS). Reaksi atau komentar terhadap masalah ini cukup banyak dikarenakan konsep delik aduan dalam hal perzinaan dikabarkan sudah ada sejak semula di dalam Konsep RUU, oleh karena itu,ada yang beranggapan, bahwa tindakan Tim mengubah rumusan delik perzinaan menjadi delik biasa dan melemparkannya ke masyarakat, hanya sebagai “taktik” saja, demikian salah satu komentar di dalam majalah Forum Keadilan No. 26, 1993. Komentar itu memberi kesan bahwa Tim seolah-olah telah membuat “gara-gara” melakukan perubahan kebijakan yang telah diambil selama ini, padahal seperti telah dikemukakan di atas, sejak Konsep BAS (1977) sampai konsep terakhir tahun 1991/1992, memang delik perzinaan sudah dijadikan delik biasa dan bukan delik aduan. Delik aduan dalam pasal perzinaan yang telah diubah menjadi delik biasa dalam Konsep KUHP 1977, diubah kembali menjadi delik aduan, namun dengan rumusan yang berbeda yang dapat dilihat dalam rumusan Pasal 483 RUU KUHP 2012 : ayat (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.
63 Universitas Sumatera Utara
(3). Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan pasal 25, pasal 26, dan pasal 28. (4). Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. 59 Kebijakan penuntutan terhadap delik perzinaan dalam KUHP semula, dengan Konsep KUHP terbaru (2012), memiliki persamaan dalam penggolongan deliknya, yakni delik aduan absolut, namun jika dikaji lebih jauh terdapat perbedaan yang mendasar dari rumusan pasal tersebut di atas, dengan penuntutan delik perzinaan dalam hukum pidana positif. Konsep RUU KUHP 2012 dari segi pihak yang melakukan pengaduan terhadap delik perzinaan, telah ditambahkan lagi satu pihak yang melakukan pengaduan. Pasal 284 ayat 2 KUHP semula mengatur bahwasanya pihak yang dapat mengadukan ialah “….istri/suami yang tercemar….” 60, maka kemudian dalam pasal 483 ayat 2 RUU KUHP 2012 ditambahkan pihaknya menjadi “….suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar....” 61 , hal ini terkait dengan adanya kriminalisasi terhadap hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah/perluasan dari formulasi delik perzinaan. Pihak yang ditentukan sebagai pihak yang tercemar/dirugikan kini tidak lagi dibatasi hanya sebatas istri/suami dari pelaku zina, yang dianggap dirugikan, namun lebih kepada pihak ketiga, yakni bisa saja masyarakat yang dirugikan dengan adanya perbuatan zina tersebut. Pengaduan pihak ketiga dalam delik perzinaan pernah ada perubahan dari Konsep KUHP tahun 1991/1992 sampai dengan 13 Maret 1993 dengan konsep
59
RUU KUHP 2012 ,Op.Cit., hal. 123 Moeljatno, Op.Cit., hal. 208 61 RUU KUHP 2012, Loc.Cit. 60
64 Universitas Sumatera Utara
KUHP 2004 sampai dengan konsep RUU KUHP terbaru tahun 2012, adapun rumusan delik RUU KUHP tahun 1991/1992 berbunyi sebagai berikut : Pasal 386 (14.10) 1. Barangsiapa yang melakukan persetubuhan dengan orang lain di luar perkawinan yang sah, dipidana dengan denda paling banyak kategori I. 2. Tidak dilakukan penuntutan, kecuali atas pengaduan keluarga pembuat sampai derajat ke tiga atau oleh kepala adat atau kepala desa setempat. Penuntutan terhadap delik zina di luar nikah ini dilakukan hanya jika ada pengaduan dengan pihak-pihak yang telah ditentukan sebagaimana yang disebutkan diatas, yakni : 1. Keluarga pembuat sampai derajat ketiga; 2. Kepala adat setempat; 3. Kepala desa setempat. Pasal 386 ini termasuk pasal yang menjadi perdebatan di antara ahli hukum sebagaimana pasal 483 Konsep KUHP 2012, sehingga dalam pasal 386 tersebut disebutkan pula catatan bahwa ada yang berpendapat tindak pidana yang disebut dalam ayat satu itu dihapus, sebab banyak yang tidak setuju 62, sehingga pada perkembangan selanjutnya rumusan delik ini pun kemudian dirombak kembali pada Konsep KUHP 2004 sampai dengan konsep KUHP 2012 dengan menambahkan pihak yang dapat mengadukan delik ini menjadi pihak ketiga saja. Berdasarkan kesimpulan dari tujuan diadakannya kriminalisasi terhadap fornication, bahwasanya faktor yang melatarbelakangi kriminalisasi perbuatan tersebut yakni adanya masyarakat yang dirugikan, tidak lagi hanya mencakup kerugian dari pihak istri/suami yang melakukan perzinaan tersebut, ataupun 62
http://himaihuinsuka.files. wordpress.com, Delik Perzinahan dan Berbagai Sistem Hukum dan dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, diakses pada tanggal 3 April 2013, pukul 10.00 WIB.
65 Universitas Sumatera Utara
orang-orang tertentu saja sebagaimana yang diatur dalam konsep KUHP tahun 1991/1992, namun lebih kepada pihak ketiga (orang-orang di luar suami/istri) yakni siapa saja yang merasa dirugikan dengan adanya perbuatan zina baik itu adultery maupun fornication yang pihak ketiga tersebut ketahui, misalnya saja dalam kasus, si A (laki-laki) dan si B (perempuan) diketahui oleh C (warga masyarakat) yang mendapati A dan B telah melakukan zina, maka si C ini berhak melakukan pengaduan lantaran merasa telah dicederai perasaan moral dan nilainilai agama yang dianutnya. Menurut Barda Nawawi Arief masalah pro dan kontra mengenai sifat atau kedudukan delik kesusilaan, khususnya perzinaan, sebagai delik aduan atau tidak, harus ditinjau dari ruang lingkup yang lebih luas yaitu dari sudut kebijakan hukum pidana (penal policy) yang tidak dapat dipisahlepaskan pula dengan kebijakan kriminal (criminal policy) dan kebijakan sosial (social policy). Penganalisisan dengan pendekatan kebijakan (policy oriented approach) yang termasuk juga di dalamnya pendekatan nilai (value oriented approach) inilah, yang menurut pendapat Tim kurang mendapat perhatian yang memadai selama ini. Penentuan sifat atau kedudukan suatu delik sebagai delik aduan atau bukan dilihat dari sudut pendekatan kebijakan, tidaklah semata-mata harus dilihat dari sudut atau kriteria sejauh mana delik itu pada hakikatnya bersifat privat atau publik. Komentar yang selama ini dikemukakan terlalu berorientasi pada masalah ini, sering dikemukakan baik dalam kepustakaan maupun kuliah para dosen kepada mahasiswa, bahwa suatu delik dijadikan delik aduan apabila
66 Universitas Sumatera Utara
sifat/kepentingan privatnya lebih menonjol, padahal dilihat dari sudut kebijakan, masalahnya tidak sesederhana itu. Suatu delik ditentukan sebagai delik biasa atau delik aduan termasuk masalah
kebijakan
(policy).
Masalah
kebijakan,
terkait
banyak
factor
pertimbangan dan alternatif yang harus dipilih, jadi ada tidaknya sifat/kepentingan privat yang menonjol hanya merupakan salah satu faktor dan bukan satu-satunya faktor
yang harus dipertimbangkan.
Beberapa faktor lain
yang patut
dipertimbangkan, khususnya yang berkaitan dengan masalah delik perzinaan, dibicarakan berikut ini : Penentuan sifat atau jenis delik sebagai delik aduan atau bukan berkaitan erat dengan sifat atau hakikat delik yang bersangkutan. Masalah sentral delik perzinaan bukan hanya berkisar pada masalah apakah perzinaan itu delik aduan atau bukan, tetapi masalah sentralnya harus lebih menukik pada sifat atau hakikat delik perzinaan itu sendiri. Delik perzinaan pada hakikatnya termasuk salah satu delik kesusilaan yang erat hubungannya dengan nilai-nilai kesucian dari lembaga perkawinan. Masalah sentralnya oleh karena itu terletak pada pandangan dan konsep nilai dari masyarakat/warga masyarakat mengenai nilai-nilai kesusilaan dan nilai kesucian dari lembaga perkawinan itu sendiri. Pandangan dan konsep nilai dari masyarakat yang lebih bersifat individualistis dan liberalistis, tentunya berbeda dengan pandangan masyarakat
yang
lebih
bersifat
kekeluargaan,
kolektivitis,
dan
monodualistis. Hak-hak dan kebebasan individu dalam pandangan “Barat”
67 Universitas Sumatera Utara
yang individualistis-liberalistis, sangat menonjol dan dijunjung tinggi, termasuk kebebasan di bidang seksual dan hubungan moral/kesusilaan antar-individu. Hubungan seksual atau hubungan moral bersifat individual, sepanjang dilakukan bebas tanpa paksaan, hal demikian dipandang wajar dan tidak tercela, oleh karena itu wajar perzinaan dan bahkan lembaga perkawinan itu sendiri dipandang bersifat sangat pribadi (sangat privat). Konsekuensi logis selanjutnya ialah, bahwa wajar perzinaan dipandang sebagai delik aduan. Titik tolak pandangan demikianlah kiranya yang melatarbelakangi konsep delik aduan menurut KUHP (WvS) yang termasuk keluarga/sistem hukum continental (Civil Law System). Menurut Rene David dalam bukunya “ Major Legal Systems in the World Today”, (1978, halaman 24), “Civil Law Systems” atau “The Romano-Germanic Family” ini dipengaruhi oleh ajaran
yang menonjolkan paham
“individualism, liberalism, and individual rights”. Titik tolak pandangan yang demikian dalam menentukan delik perzinaan sebagai delik aduan, dilihat dari pendekatan kebijakan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach) tentunya harus ditinjau dan dipertimbangkan kembali. Reorientasi dan reevaluasi terhadap pandangan dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya inilah sebenarnya yang justru merupakan hakikat dari usaha pembaruan atau “reformasi” hukum pidana, bukanlah pembaruan hukum pidana apabila orientasi nilai dari Konsep KUHP baru sama saja dengan WvS. Perubahan konsep mengenai delik aduan dalam masalah perzinaan oleh karena itu harus
68 Universitas Sumatera Utara
dilihat dari sudut ini. Masalah perzinaan dan lembaga perkawinan dalam pandangan dan struktur sosial-budaya masyarakat Indonesia bukan semata-mata masalah privat dan kebebasan individual, tetapi terkait pula nilai-nilai dan kepentingan masyarakat luas, minimal kepentingan keluarga, kaum dan lingkungan. Keberatan terhadap penentuan delik-delik pengaduan dari beberapa pihak timbul karena kepentingan perseorangan didahulukan daripada kepentingan umum dan karena merupakan kewajiban penguasa untuk mendahulukan yang terakhir ini. Barda berpendapat sebaiknya jangan tergesa-gesa menentukan suatu peristiwa pidana sebagai delik pengaduan. Meskipun seperti Barda katakan delik-delik pengaduan dalam Kitab Undang-Undang kita agak sedikit, beliau meragukan apakah pembentuk undang-undang dalam hal ini cukup berhati-hati, terutama karena asas opportuniteit merupakan salah satu corak yang pokok dari hukum acara pidana kita, yang memberi kebebasan pada badan penuntut umum apabila kepentingan pribadi dan kepentingan umum saling bertentangan, untuk membiarkan suatu perkara supaya tidak dituntut. Perzinaan dan delik-delik lain yang dijadikan delik-delik pengaduan, merupakan hal-hal yang tidak hanya mengenai orang yang bersangkutan, tetapi juga merupakan hal yang penting bagi negara, maka tidak mengherankan, apabila aliran-aliran baru dalam hukum pidana tidak begitu menyetujui lembaga ini.
69 Universitas Sumatera Utara
Penentuan suatu delik sebagai delik aduan atau bukan telah dikemukakan bahwasanya merupakan bagian dari suatu kebijakan (policy). Kebijakan, tidak ada yang bersifat absolut, bisa saja suatu kebijakan berubah, bergantung pada situasi dan tujuan yang ingin dicapai. Suatu delik pada hakikatnya ditetapkan sebagai delik aduan atau bukan, hanya merupakan suatu upaya/sarana atau suatu langkah kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan yang ingin dicapai lewat hukum pidana dari sudut politik kriminal salah satunya ialah pencegahan terjadinya tindak pidana, baik dalam arti pencegahan khusus (speciale preventie) maupun pencegahan umum (generale preventie). Kebijakan menetapkan delik perzinaan sebagai delik aduan absolut kurang mendukung tujuan pencegahan, terutama efek prevensi umum. Delik perzinaan apabila dinyatakan sebagai delik aduan absolut, seolaholah memberi peluang dan memberikan dasar pembenaran/legitimasi kepada seseorang (terutama suami) untuk merasa bebas melakukan perzinaan. Kebijakan menetapkan delik perzinaan sebagai delik aduan absolut oleh karena itu dapat menjadi “faktor kriminogen”, yaitu memberi peluang untuk seseorang justru melakukan perzinaan, terutama dalam kondisi masyarakat yang sebagian besar kedudukan/posisi para istri lebih lemah daripada suami, karena masih lebih banyak bergantung pada posisi suami. Suami dapat saja “membungkam atau mengintimidasi’ pihak istri untuk tidak mengajukan pengaduan atau tuntutan, sehingga dia merasa
70 Universitas Sumatera Utara
bebas untuk melakukan perzinaan terlebih budaya “nrima’ karena berbagai alasan
dan
pertimbangan,
jarang
pihak
istri
mengajukan
pengaduan/tuntutan. Efek prevensi dari sifat delik aduan absolut oleh karena itu sangat kurang dan bahkan dapat menjadi faktor kriminogen, lain halnya apabila dijadikan delik biasa, bukan delik aduan, karena pengendaliannya atau pengawasnya bukan hanya istri (orang rumah) tetapi juga masyarakat luas. Melemahnya katup/keran pengendalian ini (yaitu dijadikan sebagai delik aduan absolut) dilihat dari sudut politik kriminal dapat pula menimbulkan efek berantai timbulnya delik-delik lain. Dilarangnya “delik zina” (dilihat dari sudut politik kriminal) merupakan satu kesatuan mata rantai untuk mencegah timbulnya delik lain, antara lain mencegah maraknya delik-delik yang terkait dengan dunia pelacuran (sebagai perantara/penghubung, germo/mucikari, perdagangan wanita lihat pasal 295, 296, 297 KUHP) pembunuhan bayi/orok (pasal 341 KUHP), bunuh diri (walaupun menurut pasal 345 KUHP yang diancam pidana adalah orang yang membantu bunuh diri), dan aborsi (pasal 346 KUHP dan seterusnya). Perzinaan apabila dijadikan sebagai delik aduan absolut, tidak mustahil menyebabkan keran pengaman/pengendali menjadi lemah atau longgar, dan bisa berakibat membuka pintu/peluang terjadinya delik-delik lain itu. Perzinaan apabila dijadikan delik aduan, peluang untuk terjadinya perzinaan lebih besar.
Hal Ini berarti memberi peluang lebih besar
71 Universitas Sumatera Utara
terjadinya pelanggaran terhadap kesucian perkawinan dan terjadinya hubungan seksual di luar hubungan perkawinan, padahal “nilai kesusilaan/moral nasional” (NKN) yang ingin ditegakkan lewat undangundang Perkawinan adalah bahwa hubungan seksual itu hendaknya dilakukan lewat lembaga perkawinan. NKN dengan kata lain tidak menghendaki adanya hubungan seksual di luar diluar pernikahan. Pembangunan moral bangsa/moral nasional yang dituju adalah moral yang bertolak dari moral keagamaan, bukan yang bertolak dari paham “kebebasan moral”. Perzinaan atau hubungan seksual suka sama suka terlalu sederhana jika dilihat sebagai masalah yang sangat pribadi. Hubungan seksual atau perzinaannya memang bersifat pribadi, tetapi dampak moral, dampak psikologis dan dampak sosialnya yang negatif jelas bukan masalah pribadi lagi, tetapi sudah menyangkut kepentingan umum. Kepentingan individu patut juga diperhitungkan dilihat dari pendekatan kebijakan, khususnya pihak keluarga (suami/istri/anak) yang sedang
tertimpa
skandal
perzinaan,
namun
mempertimbangkan
kepentingan individu atas keluarga yang sedang terkena musibah ini pun hendaknya dilakukan secara proporsional, jangan terlalu berlebihan atau terlalu didramatisasikan. Misalnya pihak istri/suami dan anak-anak akan malu dengan dijadikannya perzinaan sebagai delik biasa dan dapat begitu saja dituntut tanpa pengaduan, ini terlalu didramatisasi karena delik apapun yang dilakukan (misalnya : penipuan, penggelapan, pemerkosaan,
72 Universitas Sumatera Utara
korupsi, dan sebagainya yang semuanya menurut undang-undang bukan delik aduan ) apabila yang bersangkutan diajukan ke pengadilan, tentu saja pihak keluarga (istri/suami/anak dan sebagainya) juga merasa malu dan terpukul, tetapi kalau alasannya cukup proporsional, memang patut dipertimbangkan. Patut dipertimbangkan untuk dijadikan delik aduan relatif sekiranya memang ada alasan cukup kuat untuk melindungi kepentingan pribadi/keluarga. Relativitasnya bukan berarti digantungkan kepada kepentingan individu yang bersangkutan (pihak suami/istri), tetapi hendaknya diorientasikan/digantungkan kepada kepentingan masyarakat. Kebijakan dalam merumuskan delik aduan relatif yang berorientasi pada kepentingan umum seperti terdapat dalam KUHP Norwegia dapat kiranya dijadikan contoh, jadi disini tetap diperhatikan asas keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. 63 Kebijakan penuntutan juga terkait dengan masalah sanksi. Sanksi delik perzinaan dalam KUHP dengan sanksi hukum dalam RUU KUHP 2012 terdapat perbedaan yang signifikan, yakni delik perzinaan semula hanya diberi sanksi pidana sembilan bulan, dalam RUU KUHP kemudian semakin diperberat dengan sanksi
penjara maksimum lima tahun.
Penerapan sanksi ini sudah tergolong sanksi yang berat, namun ada saran bahwasanya sanksi dalam rumusan konsep KUHP 2012 tersebut perlu diperberat lagi mengingat seriusnya tindak pidana ini termasuk banyaknya kerugian yang ditimbulkan.
63
Barda Nawawi Arief, Buku II, Op.Cit, 281-288.
73 Universitas Sumatera Utara