KAJIAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012 JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
SEPTIA MAULID BR REGAR 090200003
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
KAJIAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012 JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh : SEPTIA MAULID BR REGAR NIM: 090200003
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh: Penanggungjawab
Dr. M. Hamdan., SH, M.H. NIP : 195703261986011001
Editor
Prof.Dr.Syafruddin Kalo SH, M.Hum NIP : 195102061980021001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
KAJIAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012 ABSTRAKSI *) Septia Maulid Br Regar **) Prof. Dr. Syafruddin Kalo SH, M.Hum ***) Dr. Marlina, SH,M.Hum Tim Perumus RUU KUHP melakukan upaya pembaharuan terhadap delik perzinaan, yakni mengenai pelaku perzinaan yang semula adalah laki-laki menikah dan perempuan menikah seperti yang diatur dalam hukum positif dalam Rancangan KUHP 2012 pasal 483 meliputi laki-laki dan perempuan yang masingmasing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain. Kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah (fornication) sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra diantara banyak pihak, oleh karenanya patut dibahas lebih jauh bagaimana pengaturannya di dalam rancangan KUHP 2012, hal-hal apa yang melandasi kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan ini, serta bagaimana peluang berlakunya di masa mendatang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normatif guna memperoleh data primer dan sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengaturan tentang kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah telah ada sejak Rancangan KUHP edisi Desember 1992, disempurnakan lagi dalam Rancangan KUHP 2004 dan tetap dipertahankan dengan rumusan yang sama sampai Rancangan KUHP terbaru tahun 2012. Kebijakan Kriminalisasi ini memenuhi kriteria kriminalisasi ditinjau dari aspek pendekatan nilai (value oriented approach) dan aspek pendekatan kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi persetubuhan di luar nikah ini diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan baik secara preventif maupun represif dan oleh karenanya memiliki peluang untuk ditetapkan sebagai pasal perzinaan dalam KUHP di masa mendatang. Sosialisasi terhadap kebijakan kriminalisasi ini patut diperhatikan untuk dibenahi kembali agar dapat memberikan pemahaman yang utuh kepada semua pihak atas berbagai kritik terhadap kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar nikah ini, disamping itu perlu juga dibenahi rumusan delik dalam konsep RUU KUHP tersebut agar nantinya pengaturan, dan penerapan terhadap aturan pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah (fornication) dapat dilaksanakan dengan baik.
*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU ***) Dosen Pembimbing II, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU
A. PENDAHULUAN Kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai- nilai sosial dan agama semakin harus dipertanyakan kepada bangsa Indonesia dalam perilaku sehari-hari, seiring dinamika masyarakat dan globalisasi yang semakin pesat. Perbuatan kriminal yang terjadi di masyarakat cukup banyak, terlebih kasus perzinaan. Perzinaan yang terjadi di masyarakat meliputi perbuatan hubungan seksual/persetubuhan antara laki-laki dan perempuan baik yang terikat dalam perkawinan yang sah, maupun yang tidak sama sekali diantaranya terikat dalam hubungan perkawinan yang sah. Perbuatan zina berpotensi menyebabkan remaja hamil di luar nikah. Fakta dimasyarakat menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab remaja melakukan aborsi dikarenakan hamil di luar nikah. Remaja yang hamil di luar nikah yang apabila tidak menggugurkan kandungannya, dan kemudian menikah, sering terjadi rumah tangga pelaku “MBA” ( Married by Accident ) ini tidak bertahan lama/tidak harmonis yang kemudian berujung dengan perceraian, dan akhirnya tumbuh pola keluarga dengan orang tua tunggal (Single Parenthood) yang tidak jarang ditemui di masyarakat saat ini. Alasan lain yaitu bahwa salah satu penyebab utama penyebaran HIV dan AIDS adalah hubungan seks di luar nikah. Perbuatan itu jugalah yang kemudian menimbulkan reaksi keras dari masyarakat yang merasa perasaan susila dan agamanya telah tercederai, yang akhirnya main hakim sendiri sebab untuk perbuatan zina antara pasangan yang belum menikah di Indonesia belum ada hukum positif yang mengaturnya. Sebagian daerah ada yang memiliki peraturan daerah tersendiri seperti Daerah Istimewa Aceh, yang diatur dalam Perda Aceh yang disebut “Qanun” yang membawa unsur agama Islam dalam butir- butir peraturannya.1 Satu-satunya ketentuan hukum positif yang mengatur tentang perzinaan di Indonesia kita secara menyeluruh adalah Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 284 ayat (1) KUHP menentukan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan terhadap seorang laki-laki yang telah menikah yang 1
http://www.portalkbr.com/nusantara/acehdansumatera/2593691_4264.html, Agus Luqman, Qanun- Qanun yang Menjerat Wanita Aceh, 15 April 2013, diakses pada tanggal 1 Mei 2013, pukul 16.00 WIB
melakukan perzinaan, dengan perempuan baik itu telah terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain, maupun tidak, ataupun sebaliknya2, yang pasti, delik perzinaan (Overspel) yang dimaksud KUHP saat ini pengertiannya hanya sebatas terhadap perbuatan hubungan seksual yang dilakukan laki-laki dan perempuan (bukan pasangan suami istri) yang minimal salah satunya terikat dalam ikatan perkawinan dengan orang lain (pasal 27 Burgerlijke Wetboek). Ketentuan Pasal 284 KUHP selama ini baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan peluang kepada pihak- pihak yang melakukan persetubuhan di luar nikah antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat pernikahan dengan orang lain untuk leluasa melakukan perbuatan tersebut tanpa aturan hukum positif yang membatasinya, padahal oleh sebagian masyarakat perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kesusilaan. Berdasarkan konsep KUHP baru tahun 2012, tim perumus RUU KUHP melakukan pembaharuan terhadap Rancangan KUHP mengenai perzinaan yaitu dalam Pasal 483 Rancangan KUHP 2012, menambahkan beberapa hal dalam delik perzinaan yang baru yakni pertama, revisi terhadap sanksi pidana penjara yaitu yang semula paling lama 9 (sembilan) bulan menjadi paling lama 5 (lima) tahun. Kedua, revisi terhadap pelaku perzinaan yaitu yang semula pelaku perzinaan adalah hanya laki-laki menikah dan perempuan menikah yang melakukan hubungan seks bukan dengan istri atau suaminya maka dalam Rancangan KUHP baru ini juga meliputi laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain3. Pembaharuan terhadap pasal perzinaan, bagi masyarakat yang pro akan kebijakan kriminalisasi ini, ibarat angin segar yang menghembuskan perubahan dan pembaharuan dalam hukum pidana di Indonesia, akan tetapi itu hanya bagi 2
P.A.F. Lamintang, Delik- delik Khusus “ Tindak Pidana- Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma- Norma Kepatutan”, CV Mandar Maju, Bandung, 1990, Hal. 87 3 law.uii.ac.id/images/story/jurnal, Lidya Suryani Widayawati, Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP: Studi Masalah Perzinaan di Kota Padang dan Jakarta, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16, DPR RI, Jakarta, 2009, hal. 313. Diakses pada tanggal 15 Februari 2013, pukul 09.00 WIB.
sebagian pihak yang pro saja terhadap aturan tersebut, sebab ada pula pihak yang kontra
terhadap
kriminalisasi
perbuatan
melakukan
hubungan
seksual
(persetubuhan) di luar perkawinan yang sah yang menilai bahwa adanya kriminalisasi terhadap pelaku perzinaan terlalu mencampuri dan memasung kehidupan pribadi seseorang, dalam hal ini negara telah melakukan intervensi kehidupan wilayah pribadi warga negaranya. Pihak yang pro menilai bahwa masalah perzinaan muncul dari public demand bukan pribadi atau keluarga, karena public demand, maka diatur dalam UU. Menurut negara liberal, lazim terdapat hukum yang mengatur kegiatan pribadi., warga tidak boleh melakukan hubungan seks sedarah (incest), warga tidak boleh mengumpulkan foto-foto yang masuk dalam kategori „‟pornografi anak‟‟, warga tidak diizinkan berpoligami, dalam aktivitas seks atau kalau menggunakan contoh yang lebih ekstrem warga tidak boleh melakukan bunuh diri dan warga tidak boleh menjadi pecandu narkotika, kendati pun kedua kegiatan itu bisa dilihat sebagai „‟kegiatan sadar yang dilakukan orang dewasa dengan akibat yang harus ditanggung oleh orang dewasa itu sendiri‟‟. Intervensi negara terhadap wilayah pribadi dengan demikian tidak pernah diharamkan, bahkan dalam masyarakat liberal yang menjadi kunci adalah alasan, sebuah kegiatan pribadi yang dipercaya berpotensi menimbulkan efek negatif atau dipandang sebagai sebuah tindakan tidak bermoral, lazim dinyatakan terlarang. Perzinaan meskipun tampak sebagai kegiatan yang bersifat sangat pribadi, namun pada dasarnya adalah kegiatan pribadi yang memiliki dimensi sosial luas4 , oleh karena itu, intervensi negara mempunyai landasan yang kokoh dalam kebijakan kriminalisasi ini. Revisi terhadap pasal perzinaan dalam Rancangan KUHP masih menimbulkan perdebatan antara pihak yang pro dan yang kontra terhadap revisi tersebut, dengan kata lain masyarakat Indonesia dalam hal ini belum sepenuhnya mencapai kata mufakat untuk menyepakati konsep kebijakan ini, padahal salah
4
http://www.republika.co.id/koran, Soal Zina dan KUHP, Sabtu, 11 Oktober 2003, diakses 02 Maret 2013, pukul 09.00 WIB.
satu alasan kriminalisasi pada umumnya harus adanya kesepakatan sosial (Public Support)5 yang dalam hal ini masih dipertanyakan kejelasannya. Revisi terhadap ketentuan mengenai perzinaan oleh karena itu pun patut untuk dikaji dengan prinsip kehati-hatian. Bagaimana akibatnya jika suatu perbuatan dijadikan sebagai perbuatan pidana (tindak pidana) sedangkan masyarakat menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang patut atau tidak tercela.6 Penelitian ini oleh karenanya difokuskan pada beberapa permasalahanpermasalahan berdasarkan latar belakang tersebut diatas, yakni bagaimana konsep pengaturan terhadap delik persetubuhan diluar perkawinan yang sah tersebut dalam Rancangan KUHP khususnya KUHP 2012, landasan kebijakan terhadap pembaharuan pasal perzinaan tersebut yaitu kriminalisasi terhadap hubungan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah pada pasal 483 angka (1), huruf (e) RUU KUHP 2012, apakah kebijakan tersebut sudah tepat, dan bagaimana pula peluang berlakunya aturan tentang kebijakan kriminalisasi tersebut. B. PERMASALAHAN Masalah yang penulis angkat sehubungan dengan topik ataupun judul penelitian ini, adalah : 1. Bagaimana konsep pengaturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah menurut RUU KUHP 2012 ? 2. Apa landasan kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah sebagai delik perzinaan dalam RUU KUHP 2012 ? 3. Bagaimana peluang berlakunya aturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah dalam RUU KUHP 2012 ?
hal.45
5
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2011,
6
law.uii.ac.id/images/story/jurnal, Op. Cit. hal. 313-314
C. METODE PENELITIAN 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif, dengan melakukan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan baik berupa aturan positif maupun konsep rancangan undang-undang yang berkaitan dengan penulisan skripsi. Objek pokok penelitian dalam tulisan ini yakni Rancangan Undang-Undang KUHP 2012. 2. Sumber / Bahan Hukum Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang diperoleh dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tersier. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research). Penelitian ini dirumuskan untuk mencari bahan-bahan atau data untuk keperluan penulisan ini melalui kepustakaan dengan cara membaca, menafsirkan buku-buku atau literatur, baik berupa undangundang, literatur- literatur hukum,
rancangan KUHP yang dianggap sebagai
pendukung. 4. Analisis Data Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada di dalam tulisan ini. D. HASIL PENELITIAN 1. Konsep Pengaturan tentang Tindak Pidana Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah sebagai Delik Perzinaan dalam RUU KUHP 2012 a. Delik Perzinaan Ketentuan hukum pidana Indonesia (KUHP) mengenai delik perzinaan memiliki pengertian yang berbeda dengan konsepsi yang diberikan masyarakat. Menurut KUHP, zina diidentikkan dengan overspel yang pengertiannya jauh lebih
sempit dari pada zina itu sendiri. Overspel hanya dapat terjadi jika salah satu pelaku atau kedua pelaku telah terikat tali perkawinan. Hal ini berbeda dengan konsepsi masyarakat/bangsa Indonesia yang komunal dan religious, setiap bentuk perzinaan, baik telah terikat tali perkawinan maupun belum merupakan perbuatan tabu yang melanggar nilai-nilai kesusilaan.7 Konsep yang dianut masyarakat tersebut tertuang dalam aturan hukum pidana adat, dan hukum Islam, yang menjadi bagian yang terpisah dari KUHP. Perzinaan dalam tinjauan hukum pidana Islam lebih luas dari pada pembatasan-pembatasan
dalam
KUHP.
Hukum
pidana
Islam
tidak
mempersoalkan dengan siapa persetubuhan itu dilakukan. Persetubuhan tersebut apabila dilakukan oleh orang yang telah menikah maka pelakunya disebut pelaku muhsan, dan apabila persetubuhan dilakukan oleh orang yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gairu muhsan.8 Hukum Pidana Adat disamping itu juga mengatur tentang perzinaan hampir sama halnya dengan apa yang diatur dalam hukum Islam, mengenai pelaku perzinaan, yakni tidak hanya dilakukan oleh orang yang sudah kawin. Melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah baik sudah menikah maupun belum menikah tetap dianggap sebagai perbuatan yang terlarang dan disebut juga sebagai zina. Penegakan hukum adat pada praktiknya akan sulit, sebab jika dikaji lebih jauh tidak semua kalangan masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat hukum adat, lantas jika terjadi perbuatan zina fornication dikalangan masyarakat yang bukan merupakan masyarakat hukum adat, padahal diketahui bahwa masyarakat tersebut sangat menjunjung nilai-nilai moral dan agama, tidak akan ada delik yang dapat menghukum pelaku perbuatan zina. Hal Ini menjadi persoalan besar sebab zina fornication ini sebenarnya memberikan efek yang merugikan bagi diri sendiri dan masyarakat luas.
7
digilib.uin-suka.ac.id, Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel) dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 1, diakses pada tanggal 01 Maret 2013, pukul 09.00 WIB. 8 Ibid, hal. 2
Keputusan-keputusan Pengadilan yang mengakui perzinaan fornication sebagai salah satu delik selama ini memang telah ada, namun kembali lagi dengan mendasarkan pada hukum yang hidup (adat) yakni sebagai berikut : a. Putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Nopember 1977 No. K/Kr/1976 b. Putusan Mahkamah Agung No. 666 K/Pid/1984. c. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.79/Tol.Pid/1983/PN Denpasar, putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.104/PN/Dps/Pid/1980, putusan No. 2/Pid/B/1985/PN Denpasar, putusan No.25/Pid/B/1986/PN Denpasar dan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.22/Pid./S/1988/PT Dps untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri Klungkung 27 Januari No.1/Pid./S/1988/PN Klk. Semua putusan Pengadilan Bali ini menyangkut delik adat lokika sanggraha.9 Aturan delik perzinaan baik adultery maupun fornication ini juga dapat dilihat pada negara-negara lain yang menggunakannya selain Hukum Adat dan Hukum Islam, antara lain Negara Malaysia, Kelantan, dan Nigeria. Kelompok I : Negara yang sama sekali tidak memandang perzinaan sebagai sebuah delik, kecuali bila hubungan seksual itu dilakukan dengan paksaan atau yang sejenisnya, memperdaya, dengan orang yang lemah pikiran dan lemah posisi, anak di bawah umur dan di negara-negara tertentu incest dan buggery. Meliputi negara Belanda, Inggris, Thailand, Jepang, dan Greenland. Beragama Islam. Kelompok II : Negara-negara yang memandang perzinaan sebagai tindak pidana, tetapi perzinaan disini hanya meliputi Adultery yakni jika salah satu pelakunya sudah terikat oleh perkawinan. Meliputi negara Prancis, Argentina, Austria, Korea, termasuk di dalamnya adalah Indonesia. Kelompok III : Negara-negara yang merumuskan perzinaan dalam segala bentuknya baik Adultery (muhson) maupun Fornication (ghairu mhson) sebagai tindak pidana. Meliputi negara Malaysia, Kelantan dan Nigeria.10 9
Muladi., Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Indonesia di Masa Mendatang, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 16 10 Eprints.undip.ac.id/15487/1/Dwi-Haryadi, hal 218-219
Negara-negara pada kelompok ketiga ini adalah negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam sehingga formulasi delik perzinaan mendapat pengaruh yang kuat dari nilai-nilai hukum Islam, bahkan negara bagian Kelantan dan Nigeria memang mendasarkan hukum pidananya pada hukum Islam (Jinayah). Negara-negara pada kelompok ketiga ini menganggap moralitas dan agama tidak saja memiliki pengaruh dan hubungan yang sangat kuat terhadap hukum, tetapi bahkan menjadikannya sebagai sumber dalam perumusan hukum pidana. Perzinaan dijadikan sebagai delik bukan semata-mata karena merugikan orang lain, tetapi karena perbuatan tersebut bertentangan dengan kaidah agama dan bahkan merupakan kejahatan yang keji, berat dan berbahaya, yang karenanya dikualifikasi sebagai kejahatan yang berbobot delik berat/serius. Indonesia merupakan negara yang tergolong dalam kelompok negara kedua yang hanya mengatur tindak pidana adultery dalam hukum pidananya, padahal dapat dilihat bahwa kenyataannya Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas muslim, dan dalam kehidupan masyarakatnya sangat dominan akan nilai-nilai moral, sosial-kultural dan religius, yang jika disesuaikan ke dalam realita sosial masyarakatnya maka Indonesia tergolong pada kelompok negara yang ketiga menurut pembagian tersebut. Hukum di Indonesia pada kenyataannya berbeda dengan negara kelompok ketiga dari segi formulasi delik perzinaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa Indonesia bisa menetapkan aturan delik perzinaan yang berbeda dengan realita sosial masyarakatnya. b. Delik Perzinaan menurut KUHP dan Perkembangannya di dalam RUU KUHP Delik perzinaan dalam KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia diatur dalam bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Ketentuan yang secara khusus mengatur perzinaan ada dalam Pasal 284 yang berbunyi : 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan a). Terhadap seorang pria telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya; b). Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.
c). Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; d). Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya. 2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasan itu juga. 3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75. 4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. 5. Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama pernikahan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum keputusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.11 Ketentuan Pasal 284 tentang perzinaan tersebut di atas dapat ditarik penjelasan sebagai berikut : 1. KUHP merumuskan bahwa hubungan seksual di luar perkawinan hanya merupakan suatu kejahatan (delik perzinaan), apabila para pelaku atau salah satu pelakunya adalah orang yang telah terikat dalam perkawinan dengan orang lain. Hubungan seksual di luar perkawinan, antara dua orang yang sama-sama lajang, sama sekali bukan merupakan tindak pidana perzinaan. 2. Orang-orang yang beragama Islam yang dalam hal tertentu dapat beristri lebih dari satu orang.12 Artinya bagi mereka yang tunduk pada pasal 27 BW, maka jika kemudian dia melanggar pasal 27 dengan melakukan poligami dan dia bersetubuh dengan istri poligaminya tersebut berarti dia telah melakukan delik perzinaan, sementara bagi mereka yang tidak tunduk pada pasal 27 BW, maka jika mereka melakukan poligami secara legal maka mereka secara hukum tidak dianggap melakukan perzinaan jika mereka melakukan persetubuhan dengan istri kedua, ketiga atau keempat.
11
Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 21, PT. Bumi Aksara, 2001, hal 104-105 12 Undang-Undang Perkawinan, Op.Cit., Pasal 3-5
3. KUHP menetapkan bahwa delik perzinaan termasuk ke dalam salah satu delik aduan absolut. Pasal 72 dan 73 KUHP menentukan kemungkinan dalam hal-hal tertentu maka keluarga korban//wali dapat melakukan pengaduan untuk mewakili si korban. Pasal ini tidak berlaku terhadap ketentuan pasal 284, karena dalam delik perzinaan KUHP menentukan sifat delik yang absolut yang hanya suami/istri saja yang berhak melakukan pengaduan. Delik kesusilaan dalam perkembangan penyusunan RUU KUHP menurut Barda Nawawi Arief, berbeda dengan apa yang selama ini diatur dalam KUHP. dalam RUU KUHP tidak lagi dibedakan antara “kejahatan kesusilaan” dan “pelanggaran kesusilaan”. Konsep hanya mengelompokkan dalam satu bab dengan judul “Tindak Pidana terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan” yang diatur dalam Bab XIV buku II.13 Konsep Buku II ini semula disusun oleh Tim Basaroedin (dikenal sebagai Konsep 1977 atau lebih dikenal dengan Konsep BAS). Konsep BAS Bab XIV Buku II masih diberi judul yang sama dengan KUHP (WvS) yaitu “Kejahatan terhadap Kesusilaan”, karena memang masih berorientasi pada sistematika KUHP (WvS) Pasal 14.10 edisi Desember 1992 : 1. Dipidana barang siapa melakukan persetubuhan dengan orang lain di luar perkawinan yang sah, yang mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat. 2. Dipidana laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan dengan persetujuan perempuan itu karena janji akan dinikahi, kemudian mengingkari janji itu atau karena tipu muslihat yang lain. 3. Dipidana laki-laki tidak beristri yang bersetubuh dengan perempuan tidak bersuami yang mengakibatkan hamilnya perempuan itu dan ia tidak bersedia menikahi atau ada halangan untuk nikah menurut Undang-Undang Perkawinan.14
13
Barda Nawawi Arief, Buku II, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana “Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”, Kencana, Jakarta, Ed. 2, Cet. 3, 2011, hal. 254 14 Ibid., hal. 261
Berdasarkan pasal ini dapat dilihat bahwa meskipun tidak diformulasikan ke dalam bagian delik perzinaan, namun pada perkembangan RUU KUHP edisi Desember 1992 ini telah mulai adanya kriminalisasi terhadap hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah, artinya sampai pada perkembangan RUU KUHP edisi ini, tim perumus RUU KUHP sudah mulai mengembangkan pemikiran untuk melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan persetubuhan di luar perkawinan yang sah yang tergolong delik fornication yakni memidana pelaku persetubuhan antara laki- laki dan perempuan di luar perkawinan yang sah. Kriminalisasi ini didasarkan pada pandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut bertentangan dengan atau mengganggu perasaan moral masyarakat. Edisi Maret 1993 Pasal 385, delik perzinaan diubah kembali menjadi delik aduan, namun di bawah pasal itu diberi catatan, bahwa ada pendapat delik zina ini sebaiknya bukan delik aduan. Perkembangan Konsep RUU KUHP 2004 s/d 2012 ini barulah delik zina yang semula di KUHP hanya mengatur adultery saja, kemudian juga dimasukkan fornication sebagai bagian dari delik perzinaan, menyempurnakan rumusan delik fornication Konsep RUU KUHP 1991/1992. Pasal 484 RUU KUHP 2004 s/d 2006 dalam Konsep 2007-2010 menjadi Pasal 485, dan dalam Konsep 2012 menjadi Pasal 483 c. Delik Perzinaan menurut RUU KUHP 2012 Hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah yang dalam konsep hukum tertera dalam Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Keempat mengenai Delik Zina dan Perbuatan Cabul pada pasal 483 RUU KUHP 2012, rumusan pasal tersebut yakni : 1.
Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun : a). Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya; b). Perempuan yang berada dalam ikata perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya; c). Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
2.
3. 4.
d). Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau e). Laki-laki dan perempuan yang masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan pasal 25, pasal 26, dan pasal 28. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.15 Rancangan KUHP 2012 inilah yang menjadi rancangan terbaru KUHP
sampai Periode 2013. Perkembangan yang dapat dilihat mengenai delik perzinaan sejauh ini telah banyak yang semula dalam hukum positif hanya memidana adultery saja namun sejak adanya kriminalisasi terhadap perbuatan pidana melakukan hubungan persetubuhan di luar nikah yang menyebabkan hamilnya perempuan dan laki-laki tidak bersedia mengawini, kemudian berkembang lagi delik tersebut kearah kriminalisasi terhadap hubungan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat hubungan perkawinan yang sah. d. Kebijakan Penuntutan Tindak Pidana Persetubuhan di luar Perkawinan yang Sah Delik aduan dalam pasal perzinaan yang telah diubah menjadi delik biasa dalam Konsep KUHP 1977, diubah kembali menjadi delik aduan, namun dengan rumusan yang berbeda yang dapat dilihat dalam rumusan Pasal 483 RUU KUHP 2012 : ayat (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. (3). Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan pasal 25, pasal 26, dan pasal 28. (4). Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.16 Kebijakan penuntutan terhadap delik perzinaan dalam KUHP semula, dengan Konsep KUHP terbaru (2012), memiliki persamaan dalam penggolongan deliknya, 15 16
Konsep RUU KUHP 2012, hal. 123 Ibid.
yakni delik aduan absolut, namun jika dikaji lebih jauh terdapat perbedaan yang mendasar dari rumusan pasal tersebut di atas, dengan penuntutan delik perzinaan dalam hukum pidana positif. Konsep RUU KUHP 2012 dari segi pihak yang melakukan pengaduan terhadap delik perzinaan, telah ditambahkan lagi satu pihak yang melakukan pengaduan. Pasal 284 ayat 2 KUHP semula mengatur bahwasanya pihak yang dapat mengadukan ialah “….istri/suami yang tercemar….”17, maka kemudian dalam pasal 483 ayat 2 RUU KUHP 2012 ditambahkan pihaknya menjadi “….suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar....”18 , hal ini terkait dengan adanya kriminalisasi
terhadap
hubungan
persetubuhan
di
luar
perkawinan
yang
sah/perluasan dari formulasi delik perzinaan. Pihak yang ditentukan sebagai pihak yang tercemar/dirugikan kini tidak lagi dibatasi hanya sebatas istri/suami dari pelaku zina, yang dianggap dirugikan, namun lebih kepada pihak ketiga, yakni bisa saja masyarakat yang dirugikan dengan adanya perbuatan zina tersebut. Pengaduan pihak ketiga dalam delik perzinaan pernah ada perubahan dari Konsep KUHP tahun 1991/1992 sampai dengan 13 Maret 1993 dengan konsep KUHP 2004 sampai dengan konsep RUU KUHP terbaru tahun 2012, adapun rumusan delik RUU KUHP tahun 1991/1992 berbunyi sebagai berikut : Pasal 386 (14.10) 1.
Barangsiapa yang melakukan persetubuhan dengan orang lain di luar perkawinan yang sah, dipidana dengan denda paling banyak kategori I.
2.
Tidak dilakukan penuntutan, kecuali atas pengaduan keluarga pembuat sampai derajat ke tiga atau oleh kepala adat atau kepala desa setempat.
Penuntutan terhadap delik zina di luar nikah ini dilakukan hanya jika ada pengaduan dengan pihak-pihak yang telah ditentukan sebagaimana yang disebutkan diatas, yakni : 1. Keluarga pembuat sampai derajat ketiga; 2. Kepala adat setempat; 3. Kepala desa setempat. Pasal 386 ini termasuk pasal yang menjadi perdebatan di antara ahli hukum sebagaimana pasal 483 Konsep KUHP 2012, sehingga dalam pasal 386 tersebut 17 18
Moeljatno, Op.Cit., hal. 208 RUU KUHP 2012, Loc.Cit.
disebutkan pula catatan bahwa ada yang berpendapat tindak pidana yang disebut dalam ayat satu itu dihapus, sebab banyak yang tidak setuju19, sehingga pada perkembangan selanjutnya rumusan delik ini pun kemudian dirombak kembali pada Konsep KUHP 2004 sampai dengan konsep KUHP 2012 dengan menambahkan pihak yang dapat mengadukan delik ini menjadi pihak ketiga saja. Berdasarkan kesimpulan dari tujuan diadakannya kriminalisasi terhadap fornication, bahwasanya faktor yang melatarbelakangi kriminalisasi perbuatan tersebut yakni adanya masyarakat yang dirugikan, tidak lagi hanya mencakup kerugian dari pihak istri/suami yang melakukan perzinaan tersebut, ataupun orangorang tertentu saja sebagaimana yang diatur dalam konsep KUHP tahun 1991/1992, namun lebih kepada pihak ketiga (orang-orang di luar suami/istri) yakni siapa saja yang merasa dirugikan dengan adanya perbuatan zina baik itu adultery maupun fornication yang pihak ketiga tersebut ketahui, misalnya saja dalam kasus, si A (lakilaki) dan si B (perempuan) diketahui oleh C (warga masyarakat) yang mendapati A dan B telah melakukan zina, maka si C ini berhak melakukan pengaduan lantaran merasa telah dicederai perasaan moral dan nilai-nilai agama yang dianutnya. Menurut Barda Nawawi Arief masalah pro dan kontra mengenai sifat atau kedudukan delik kesusilaan, khususnya perzinaan, sebagai delik aduan atau tidak, harus ditinjau dari ruang lingkup yang lebih luas yaitu dari sudut kebijakan hukum pidana (penal policy) yang tidak dapat dipisahlepaskan pula dengan kebijakan kriminal (criminal policy) dan kebijakan sosial (social policy). Penganalisisan dengan pendekatan kebijakan (policy oriented approach) yang termasuk juga di dalamnya pendekatan nilai (value oriented approach) inilah, yang menurut pendapat Tim kurang mendapat perhatian yang memadai selama ini.
19
http://himaihuinsuka.files. wordpress.com, Delik Perzinahan dan Berbagai Sistem Hukum dan dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, diakses pada tanggal 3 April 2013, pukul 10.00 WIB.
2.
Landasan kebijakan Kriminalisasi terhadap Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah sebagai Delik Perzinaan dalam RUU KUHP 2012 a. Kebijakan Kriminalisasi Hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini sebagaimana yang diketahui
adalah hukum warisan penjajahan Belanda. Hukum pidana yang sekarang berlaku merupakan hukum pidana Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia oleh karenanya tidak memenuhi tuntutan keberlakuan secara sosiologis dan secara filosofis. Hal ini disebabkan karena setiap hukum yang baik dapat efektif diterapkan dalam masyarakat selalu menuntut persyaratan keberlakuan secara yuridis, sosiologis, filosofis, dan bahkan secara historis. Keberlakuannya secara yuridis itu harus sah, didukung oleh masyarakat, dan sesuai dengan nilai-nilai dan cita-cita hidup masyarakat yang bersangkutan, serta memiliki relevansi dengan tradisi hukum masyarakat itu sendiri. b. Kriteria-Kriteria dalam Penentuan Kebijakan Kriminalisasi Dasar diadakannya kriminalisasi terhadap delik kesusilaan khususnya dalam hal ini delik perzinaan fornication karena perbuatan zina bertentangan dengan nilai kesesuaian/kepatutan yang ada di masyarakat, yakni dalam masyarakat nilai kepatutan yang berkaitan dengan moral. Perbuatan zina dalam mayoritas masyarakat Indonesia baik itu fornication ataupun adultery dipandang tidak patut/mencederai perasaan moral masyarakat. Staf ahli DPR RI Lidya Suryani Widayati yang merupakan salah satu anggota tim peneliti kebijakan formulasi delik perzinaan dalam Rancangan KUHP merangkum kriteria-kriteria kriminalisasi yang penting untuk diuji dalam menentukan kebijakan kriminalisasi. Lidya mengungkapkan bahwasanya mengacu kepada beberapa pakar hukum mengenai kriminalisasi sebagaimana disebutkan dalam kerangka konsepsional (disebutkan dalam bab pendahuluan), maka untuk menentukan kriminalisasi harus mengacu kepada beberapa kriteria kriminalisasi sebagai berikut : 1. Perbuatan yang akan dikriminalisasikan adalah perbuatan yang melanggar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (adat istiadat, kesusilaan dan agama);
2. Perbuatan yang akan dikriminalisasikan bersifat anti sosial karena merugikan
masyarakat
atau
menimbulkan
kerusakan
terhadap
masyarakat; 3. Kebijakan kriminalisasi harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja badan-badan penegak hukum; 4. Kebijakan kriminalisasi harus memperhatikan fungsi dan tujuan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan.20 c. Permasalahan dan Akibat adanya Perbuatan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah Perbuatan persetubuhan di luar nikah di masyarakat telah banyak menuai keresahan di tengah masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Beberapa penelitian yang membeberkan mengenai data tentang remaja di Indonesia yang telah melakukan hubungan persetubuhan di luar perkawinan selama ini tidak sedikit, sebagai contoh di beberapa daerah berikut ini : 1) Hasil penelitian yang dilakukan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di Medan, pada September hingga November 2007 menyebutkan bahwasanya terdapat 41 siswa dari 50 responden yang berstatus SMP dan SMA/SMK yang menjadi pelacur21; 2) Satpol PP Bandung menertibkan 42 pelacur yang terdiri dari remaja SMP dan SMA sebagaimana dikabarkan dalam Tribun edisi Sabtu, 30 Agustus 2008 bahwasanya; 3) Harian Kompas edisi 28 Desember 2008 memberitakan, sebanyak 22 siswi SMP Negeri di kawasan Tambora, Jakarta Barat melacurkan diri; 4) Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN) M Masri Muadz mengungkapkan bahwa pada tahun 2008 63% remaja usia SMP dan SMA di 33 propinsi di Indonesia telah berzina.22
20 21
Law.uii.ac.id/images/story/jurnal, Op.Cit., hal. 320 http://www.eska.or.id/news/detail/?id=27, diakses pada tanggal 30 Mei 2013, pukul 09.00
WIB 22
http://nahimunkar.com/astaghfirullah-63-remaja-indonesia-berbuat-zina, diakses pada tanggal 27 Juni 2013, pukul 13.00 WIB
Data tersebut menggambarkan bahwasanya kenyataan akan maraknya pelacuran, seks bebas/ hubungan persetubuhan di luar nikah sudah tidak jarang lagi ditemui di lingkungan kita, bahkan jika kedepan di kehidupan semakin berkembang dan arus globalisasi dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, bisa saja kenyataan tersebut semakin akan bertambah, jika tidak segera diatasi dengan kebijakan yang tepat. Hubungan persetubuhan di luar nikah, baik itu dilandasi faktor cinta, mau sama mau, penyaluran tuntutan biologis, mencari kepuasaan, ataupun karena faktor ekonomi23 (alasan umum orang-orang melacurkan diri) bukanlah perbuatan yang dapat dimaklumi, sebab menimbulkan banyak kerugian baik fisik maupun mental, baik diri sendiri, keluarga ataupun masyarakat luas. Akibat dari perbuatan ini yaitu sebagai berikut : 1) Segi Diri Pribadi a). Sarana Penularan Penyakit Mematikan seperti HIV/AIDS, Syphillis, dan Penyakit Kelamin lainnya. b). Menyebabkan Kehamilan dan Rasa Malu c). Menimbulkan Kehancuran Rumah Tangga d). Menimbulkan Dosa bagi Pelaku e). Pelaku dihakimi Masyarakat f). Merugikan Masyarakat beragama d. Urgensi dan Tujuan Kebijakan Kriminalisasi terhadap Persetubuhan di luar Perkawinan yang Sah dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia Menurut Barda Nawawi Arief urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum24. Kebijakan kriminalisasi perbuatan persetubuhan di luar perkawinan yang sah baru dapat dikatakan urgent (hal yang penting dan mendesak), apabila latar belakang penentuannya sesuai dengan aspek-aspek tersebut 23
Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998,
hal. 74-76
24
Barda Nawawi Arief, Buku II, Loc.Cit.
yang dianalisis melalui kriteria kebijakan kriminalisasi yang mencakup berbagai aspek tersebut. Berdasarkan kriteria yang harus dipenuhi dalam kebijakan kriminalisasi, maka perilaku menyimpang tersebut seyogyanya memenuhi kualifikasi untuk dijadikan sebagai perbuatan pidana. Analisis terhadap kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah ini baik dalam tinjauan sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, aspek kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum melahirkan beberapa urgensi yang menjadi landasan bagi penentuan kebijakan kriminalisasi yakni sebagai berikut : 1. Perbuatan yang dikriminalisasikan adalah perbuatan yang melanggar nilainilai yang hidup dalam masyarakat (adat istiadat, kesusilaan dan agama) Revisi pasal perzinaan dalam Rancangan KUHP telah memenuhi dasar
pembenaran
yang
harus
dipertimbangkan
dalam
melakukan
kriminalisasi. Revisi pasal perzinaan dalam Rancangan KUHP, tidak hanya karena KUHP merupakan peninggalan kolonial Belanda dan karenanya tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat, revisi terhadap pasal perzinaan juga karena alasan yang bersifat filosofis, sosiologis dan yuridis dengan berlandaskan kepada norma agama, adat istiadat dan kesusilaan masyarakat. Keinginan atau kesadaran untuk memasukkan nilai-nilai agama maupun adat istiadat dalam KUHP bukanlah suatu yang berlebihan tetapi wajar karena nilai itu adalah ajaran Allah Yang Maha Kuasa (tersebut dalam Mukadimah UUD 1945) dan atas kesadaran ber-
Ketuhanan Yang
Maha Esa (Pancasila). 2. Perbuatan
yang
dikriminalisasikan
bersifat
anti
sosial
karena
merugikan masyarakat atau menimbulkan kerusakan terhadap masyarakat Perbuatan tersebut pada kenyataannya sudah menghinggapi remaja sehingga banyak kalangan remaja (bahkan pelajar) yang melakukan aborsi, meningkatnya kuantitas orang yang mengidap penyakit HIV/AIDS, dan kerugian lainnya yang telah disebutkan.
3. Kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja badan-badan penegak hukum. Kapasitas atau kemampuan daya kerja aparat penegak hukum dapat ditingkatkan melalui pendidikan, pelatihan, seminar, lokakarya, dan sebagainya, selain itu untuk meningkatkan kualitas kinerja dan sekaligus memperbaiki sistem peradilan, saat ini terdapat Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, dan sebagainya. 4. Kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah memperhatikan fungsi dan tujuan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan Kebijakan kriminalisasi perbuatan hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah
bertujuan memelihara ketertiban dan sebagai alat
pembaruan dalam masyarakat yaitu antara lain mencegah dilakukannya hubungan seksual diluar perkawinan. Terkait dengan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam lembaga perkawinan maka tujuan yang paling patut untuk dipertimbangkan adalah mencegah efek negatif lain dari perilaku itu sendiri. Perilaku menyimpang ini apabila tidak segera diatasi maka bukan tidak mungkin semakin banyak orang yang hamil di luar nikah, mempunyai penyakit kelamin, AIDS, dan pada akhirnya merusak moral bangsa. Tujuan dan hakikat dari kebijakan kriminalisasi adalah untuk memenuhi
politik
sosial
(social
policy).
Kebijakan
kriminalisasi
persetubuhan di luar perkawinan yang sah telah dibahas bahwasanya juga dilatar belakangi oleh faktor-faktor sosial-kultural yang merupakan aspek politik sosial selain dari pada aspek kebijakan lain. Kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah secara politik sosial dikarenakan bertentangan dengan nilai-nilai sosial di masyarakat, nilai-nilai religiusitas masyarakat beragama, mendukung penyebaran penyakit berbahaya ke masyarakat yang berdampak luas merusak tatanan kehidupan masyarakat sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah ini dalam Rancangan KUHP
2012 oleh karenanya ditujukan untuk menghindari terjadinya kerugian di masyarakat yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial tersebut. 3. Kebijakan kriminalisasi terhadap Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah sebagai Pembaharuan Delik Perzinaan di Indonesia b. Kelemahan dan Keuntungan adanya Pengaturan Tindak Pidana Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam RUU KUHP 2012 1) Kelemahan adanya Pengaturan Fornication dalam RUU KUHP 2012 a). Aspek Rumusan Delik Rumusan deliknya terlalu bertele-tele. Rumusan delik tersebut semestinya bisa dibuat lebih simple dan praktis. b). Aspek Sifat Delik Delik perzinaan seyogyanya menjadi delik biasa (gewone delichten), sehingga yang mengontrol penyakit sosial ini bukan hanya orang-orang yang berada dalam rumah tangganya (wilayah domestik) tetapi masyarakat juga bisa ikut terlibat, sehingga kejahatan ini pada gilirannya nanti dapat lebih dikendalikan, dan tidak justru menjadi faktor kriminogen.25 c). Aspek pidana dan pemidanaan Ancaman maksimalnya masih kurang memberikan prevensi melihat keseriusan delik ini dan bahaya negatif yang ditimbulkannya, maka oleh karenanya bisa diperberat lagi, agar lebih menimbulkan rasa takut (psychologis dwang) bagi orang jika ingin melakukan perbuatan ini. d). Aspek Kebijakan Kriminal Aliansi Nasional Reformasi KUHP menuliskan kritik keras atas terhadap naskah Rancangan KUHP 2012, salah satunya mengenai kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah antara laki-laki dan perempuan oleh karenanya kebijakan ini belum dapat memenuhi syarat kriminalisasi mengenai kesepakatan sosial. 25
Ibid, hal. 243-244
2) Keuntungan adanya Pengaturan Fornication dalam RUU KUHP 2012 Keuntungan-keuntungan yang didapatkan dengan adanya pengaturan terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah nantinya, yakni : 1. Pengaturan terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah (fornication), dapat mengakomodasi kepentingan umat beragama dalam menjalankan ajaran agamanya. Dengan demikian keuntungan lainnya bagi diri pribadi maupun masyarakat luas yakni terhindar dari azab dan dosa menurut keyakinan umat beragama sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. 2. Pengaturan terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah dapat mengurangi penyebaran penyakit kelamin seperti HIV/AIDS, dan lain sebagainya. 3. Pengaturan terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah dapat memberi kekuatan hukum bagi masyarakat hukum adat yang melarang perbuatan tersebut. 4. Aturan tersebut nantinya dapat meminimalisir tingkat kehancuran moral masyarakat dan hal ini akan menguntungkan negara, sebab seyogyanya negara membutuhkan generasi yang baik untuk dapat membangun negara Indonesia menjadi negara yang lebih baik atau setidaknya secara konseptual mewujudkan bangsa yang sesuai dengan cita-cita negara. 3) Peluang Berlakunya Aturan Tindak Pidana Melakukan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam RUU KUHP 2012 Berdasarkan aspek pertimbangan kriminalisasi yang dikemukakan Barda Nawawi Arief
yang menyatakan bahwa kriminalisasi itu harus mendapatkan
dukungan masyarakat luas (public support) atau kesepakatan sosial, maka dilihat dari tanggapan masyarakat selama ini yang masih terdapat pro dan kontra terhadap kebijakan kriminalisasi fornication, artinya kebijakan kriminalisasi perbuatan tersebut memang belum mendapatkan kesepakatan dari masyarakat, ataupun dukungan dari seluruh masyarakat. Hal-hal apa yang mendasari kontroversi dari masyarakat sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya ternyata merupakan hal yang tidak mendasar dan dapat dibantah dengan pertimbangan-pertimbangan logis
ataupun berdasarkan beberapa aspek kebijakan kriminal. Kebijakan kriminalisasi ini sekalipun belum mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat. ini tetap menjadi urgensi untuk dapat disahkan menjadi delik perzinaan baru dalam KUHP kedepannya. Konsep KUHP yang telah mengalami 17 (tujuh belas) kali perubahan ini khusus mengenai formulasi delik perzinaan senantiasa berubah-ubah seiring aspirasi yang berkembang dalam masyarakat dan yang tidak kalah pengaruhnya adalah persepsi dari para perumusnya terhadap delik perzinaan itu sendiri, namun yang patut diperhatikan disini, beberapa kali pun mengalami perkembangan dalam rumusan delik perzinaan tersebut, ide kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah sampai pada konsep KUHP 2012 masih tetap dipertahankan. Artinya formulasi delik perzinaan fornication merupakan keharusan dan berpeluang besar untuk disahkan sebagai delik perzinaan dalam pembaharuan KUHP ke depannya. E. PENUTUP a. Kesimpulan Konsep pengaturan tentang tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah sebagai delik perzinaan dalam RUU KUHP 2012 disimpulkan bahwa : 1) Rumusan delik perzinaan dalam KUHP hanya memidana pelaku perzinaan dengan syarat antara laki-laki dan perempuan harus memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain atau minimal salah satunya terikat dengan tali perkawinan. Apabila ada laki-laki dan perempuan melakukan hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah, tidak akan ada delik yang dapat memidanakan keduanya, terkecuali dilingkungan masyarakat hukum adat. 2) Perkembangan rancangan KUHP edisi Desember 1992 ini mulai ada kriminalisasi terhadap hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah
yang
tergolong
delik
fornication
yakni
memidana
pelaku
persetubuhan antara laki- laki dan perempuan di luar perkawinan yang sah. Pengaturan Kriminalisasi ini kemudian dimasukkan sebagai bagian delik perzinaan dan diperbaiki rumusannya pada RUU KUHP 2004
sampai dengan RUU KUHP 2012 rumusannya tetap sama, hanya pasal yang berbeda sampai pada yang terbaru tersebut; 3) Delik perzinaan dalam KUHP yang semula merupakan delik aduan absolut, dalam perkembangan RUU KUHP 2012 secara redaksional tetap merupakan delik aduan absolut, namun secara substansial merupakan delik biasa dan juga bisa dikatakan delik aduan relatif. Delik tersebut dari segi redaksi tetap merupakan delik aduan absolut, karena disyaratkan adanya pengaduan dari beberapa orang, namun dilihat dari orang yang dapat mengadu, pihak ketiga merupakan pihak yang bersifat relatif, yakni bisa siapa saja. Pihak yang dapat mengadukan sebenarnya tidak disyaratkan sebab pihak ketiga telah membebaskan adanya syarat delik aduan menjadi delik biasa. 4) Landasan kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah sebagai delik perzinaan dalam RUU KUHP 2012 disimpulkan bahwa berdasarkan kriteria yang harus dipenuhi dalam kebijakan kriminalisasi, perilaku menyimpang tersebut memenuhi kualifikasi untuk dijadikan sebagai perbuatan pidana sebab ditinjau dari aspek pendekatan kebijakan (policy oriented approach) dan pendekatan nilai (value oriented approach) telah memenuhi kriteria kriminalisasi. 5) Peluang berlakunya aturan tindak pidana
persetubuhan di luar
perkawinan yang sah dalam RUU KUHP 2012 disimpulkan bahwasanya : a). Delik fornication berpeluang besar untuk dijadikan sebagai bagian dari delik perzinaan dalam KUHP kedepannya sebab jika dilihat dari keberlakuan KUHP saat ini, secara materiil khususnya mengenai perumusan delik perzinaan terdapat banyak kekurangan dari formulasi deliknya sehingga tidak berlaku secara efektif. b). Kontroversi dari kalangan publik yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP tidak menjadi kendala untuk disahkannya kebijakan kriminalisasi terhadap fornication dalam RUU KUHP 2012 sebab berbagai kontroversi yang dikemukakan Aliansi tersebut tidak memiliki
landasan
kriminalisasi tersebut.
yang
kuat
untuk
melemahkan
kebijakan
b. Saran 1) Konsep KUHP 2012 memang telah mengkriminalisasi delik perzinaan fornication, namun rumusan deliknya perlu dibuat lebih simple dan praktis. 2) Perzinaan baik adultery maupun fornication seyogyanya dijadikan sebagai delik biasa (gewone delichten), namun jika dalam proses legislasinya menemui kendala, karena ada arus besar yang menghendaki agar delik perzinaan dijadikan sebagai delik aduan absolut, maka delik aduan relatif sebagaimana kebijakan yang telah ditempuh oleh konsep KUHP 2012 bisa dijadikan sebagai kebijakan alternatif. 3) Kebijakan pidana dan pemidanaan terhadap delik perzinaan seyogyanya diformulasikan sebagai berikut: a). Dari sudut strafsoort Pidana penjara sebagai pidana pokok bagi delik perzinaan masih relevan, tapi sistem perumusannya yang sangat kaku, absolut dan imperatif, karena dirumuskan secara tunggal perlu direkonstruksi dan dialternatifkan atau dikumulasi dengan pidana denda misalnya. b). Dari sudut strafmaat Bobot pidananya perlu diperberat sesuai dengan bobot deliknya yang berat, demikian juga agar tidak terjadi adanya disparitas pidana yang tinggi, perlu juga diterapkan sistem minimal khusus terhadap pidana delik perzinaan. c). Dari sudut strafmodus Perumusan secara tunggal jika tidak bisa dihindari dan ingin tetap dipertahankan, dalam ketentuan umumnya perlu adanya pedoman penerapan agar hakim diberi kewenangan untuk membatasi atau memperlunak penerapan pidana secara tunggal tersebut. 4. Konsep KUHP yang telah disusun sejak tahun 1964 dan terus disempurnakan hingga konsep KUHP tahun 2012 hendaknya segera dilimpahkan ke Badan Legislatif, agar segera bisa dibahas
dan kemudian disahkan dengan selalu memperhatikan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan politis masyarakat Indonesia. 5. Kebijakan kriminalisasi ini hendaknya disosialisasikan baik kepada para legislator, akademisi hukum, dan praktisi hukum tentang berbagai hasil penelitian dan seminar-seminar baik nasional maupun internasional yang mengemukakan adanya keinginan untuk menggali norma-norma hukum yang bersumber dan berakar dari nilai-nilai budaya, moral dan agama yang dianut oleh masyarakat. Penelitian dan penggalian terhadap nilai-nilai hukum yang berakar dari budaya, moral dan agama juga perlu dibudayakan untuk selanjutnya dijadikan sebagai sumber dan dasar bagi pembaharuan hukum kita.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Lamintang, P.A.F, 1990, Delik- delik Khusus “ Tindak Pidana- Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma- Norma Kepatutan”, Bandung: CV Mandar Maju. Muladi, 1996, Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Indonesia di Masa Mendatang, Jakarta: Sinar Grafika. Moeljatno, 2001, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 21, PT. Bumi Aksara B.
Peraturan Perundang-Undangan Rancangan Undang-Undang KUHP 2008 Rancangan Undang-Undang KUHP 2012
C.
Internet digilib.uin-suka.ac.id, Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel) dalam Hukum Pidana Indonesia Eprints.undip.ac.id/15487/1/Dwi-Haryadi http://www.eska.or.id/news/detail/?id=27 http://www.portalkbr.com/nusantara/acehdansumatera/2593691_4264.htm,A gus Luqman, Qanun- Qanun yang Menjerat Wanita Aceh, 15 April 2013 http://www.republika.co.id/koran, Soal Zina dan KUHP, Sabtu, 11 Oktober 2003. http://himaihuinsuka.files. wordpress.com, Delik Perzinahan dan Berbagai Sistem Hukum dan dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia law.uii.ac.id/images/story/jurnal, Lidya Suryani Widayawati, Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP: Studi Masalah Perzinaan di Kota Padang dan Jakarta, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16, DPR RI, Jakarta, 2009