BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan
klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata (Soedjadi, 2000: 14). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti.
2.1.1 Penghormatan Leluhur Penghormatan leluhur pada budaya Cina (Hanzi: 敬祖, pinyin jingzu) adalah kebiasaan yang dilakukan anggota keluarga yang masih hidup untuk berusaha mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang sudah meninggal dan membuat mereka berbahagia di akhirat. Praktik tersebut merupakan upaya untuk tetap menunjukkan bakti kepada mereka yang telah meninggal, dan juga memperkokoh
persatuan
dalam
keluarga
dan
yang
segaris
keturunan.
Menunjukkan rasa bakti kepada leluhur merupakan sebuah ideologi yang berakar mendalam pada masyarakat China. Dasar pemikirannya adalah kesalehan anak
8
(孝, xiào) yang ditekankan oleh Konghucu. Kesalehan anak adalah sebuah konsep untuk selalu mengasihi orang tua sebagai seorang anak. Dipercaya bahwa meskipun orang yang terkasih telah meninggal, hubungan yang terjadi selama ini masih tetap berlangsung, serta orang yang telah meninggal memiliki kekuatan spiritual yang lebih besar dibandingkan pada saat masih hidup. Penghormatan leluhur dilakukan pada tempat-tempat tertentu yaitu di rumah abu, kelenteng, vihara, dan di rumah tempat tinggal keluarga serta kuburan-kuburan.
2.1.2 Sembahyang Pada intinya, bersembahyang dalam kepercayaan apapun, terhadap siapapun, wajib memiliki sikap menghormati dan menjunjung kecucian, dan terdapat pula struktur-struktur tertentu. Begitu pula sembahyang (Hanzi: 祭拜, pinyin : jibai) pada kebudayaan Tionghoa yang memiliki struktur tersendiri. Dimulai dari cara berdiri, cara membungkukkan badan, hio yang digunakan beserta tata caranya, dan altar yang digunakan untuk sembahyang. Setiap masyarakat Tionghoa yang bersembahyang memiliki tujuan untuk mendoakan para leluhur dan kerabat yang telah meninggal dunia supaya hidup sejahtera di alam baka. Mereka juga mendoakan keluaga yang masih hidup agar dapat hidup bahagia didunia.
2.1.3 Sembahyang Arwah Sembahyang arwah adalah sebuah tradisi perayaan dalam kebudayaan Tionghoa. Perayaan ini juga sering disebut sebagai Festival Tionggoan (Hanzi:
9
中元,
pinyin: zhong yuan). Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 bulan 7
penanggalan Imlek. Namun pengaruh religius terutama dari Buddhisme menjadikan tradisi perayaan ini sebagai mitologi tentang hantu-hantu kelaparan yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia manusia. Tradisi membagi-bagikan hasil bumi (beras, mie, bihun, kue, buah-buahan, dan sebagainya) di kelenteng-kelenteng diwariskan turun temurun hingga sekarang untuk memberi kesempatan kepada manusia di dunia agar bisa beramal kebajikan bagi para leluhurnya. Menurut kepercayaan, pada setiap bulan ketujuh penanggalan Imlek, pintu neraka akan dibuka lebar-lebar, dan para arwah akan diberi kesempatan untuk turun ke dunia menjenguk anak cucunya. Bagi para arwah yang anak cucunya tidak menyediakan sesajian di rumah, mereka akan mencari makanan di kelenteng, vihara ataupun di rumah abu yang melaksanakan ritual ini.
2.1.4 Tradisi-tradisi Sembahyang Arwah Adapun tradisi-tradisi yang dilakukan pada sembahyang arwah adalah sebagai berikut: 1. Persembahan Makanan. 2. Bakar Harta. 3. Bakar Transportasi. 4. Pembagian Sembako.
10
2.1.5 Masyarakat Tionghoa Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dimana setiap anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama (Koentjaningrat, 1985:60). Masyarakat manusia juga merupakan sistem hubungan sosial (social relation system) yang utama. Hubungan ini ditentukan oleh kebudayaan manusia. Untuk mencapai persatuan dan integrasi melalui kebudayaan anggota masyarakat perlu belajar dan memperoleh warisan kebudayaan, termasuk apa yang diharapkan oleh mereka dalam suatu keadaan tertentu. Masyarakat adalah orang yang berinteraksi dalam sebuah wilayah tertentu dan memiliki budaya bersama (John J. Macionis 1997). Masyarakat juga merupakan sekelompok individu yang memiliki kepentingan bersama dan memiliki budaya serta lembaga yang khas. Masyarakat juga bisa dipahami sebagai sekelompok orang yang terorganisasi karena memiliki tujuan bersama. (www.wikipedia.com). Tionghoa adalah adat istiadat yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhonghuo dalam Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Istilah Tionghoa dibuat sendiri oleh keturunan Cina, berasal dari kata zhonghua. Zhonghua dalam bahasa Mandarin dilafalkan sebagai Tionghoa. Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di Indonesia. Masyarakat Tionghoa juga memiliki berbagai jenis adat istiadat budaya yang kita kenal dengan perayaan-perayaan ataupun festival-festival tradisional.
11
Bangsa Tionghoa dalam pengertian modern merujuk kepada semua rakyat di negara Tiongkok tanpa memandang kumpulan etnik. Yang disebut orang Tionghoa tidak serta merta merujuk pada bangsa Han. Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga China) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Suku bangsa Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
2.1.6 Kota Pematangsiantar Secara geografis kota Pematangsiantar terletak diantara 3°01’09”-2 54’00” Lintang Utara dan 99°06’-99 01’ Bujur Timur. Kota ini terletak pada ketinggian 400 meter diatas permukaan laut. Seluruh kota Pematangsiantar memiliki luas wilayah 79,07 kilometerpersegi. Kota Pematangsiantar mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum antara 23,2-24,1 Celcius dan suhu maksimum berkisar antara 30,6-34,1 Celcius. Selain itu, karena letaknya hanya 400 di atas permukaan laut maka suhu di daerah ini umumnya tidak terlalu dingin.
12
Pematangsiantar adalah kota yang majemuk , baik dalam hal suku maupun agama. Meskipun kota ini dikelilingi kabupaten Simalungun, namun data statistik menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kota Pematangsiantar adalah suku Batak Toba (Tapanuli) sebanyak 47,4 persen, disusul oleh suku jawa diurutan kedua sebanyak 25,5 persen, baru Simalungun 6,6 persen diurutan keluarga. Selebihnya adalah Madina 5,6 persen, Cina 3,7 persen, Minang 2,4 persen dan Karo 1,7 persen. Sisanya daalah Melayu , Pakpak, Aceh dan sebagainya. Agama yang dianut pun beraneka ragam. Mayoritas adalah Kristen Protestan sebanyak 44,4 persen, disusul oleh Islam 43,6 persen, Buddha 6,6 persen, Katolik 5 persen, sisanya adalah Hindu, Konghucu, dan lain-lain. Polarisasi agama dan etnik adalah sebahagian besar penganut Protestan dan Katolik adalah etnik batak Toba dan Simalungun. Sementara itu, agama Islam mayoritas dianut oleh suku Jawa, Mandailing, Melayu, Aceh, dan lainnya. Orangorang Tionghoa di Kota Pematangsiantar umumnya mayoritas beragama Budha dan Konghucu, dan juga Protestan dan Katolik. Orang Tionghoa yang beragama Protestan umumnya berada dalam organisasi Gereja Methodis. Orang Tionghoa yang beragama Islam biasanya masuk ke dalam kelompok ahlusunnah wal jamaah atau Sunni dan sebahagian adalah dalam organisasi Muhammadiyah. Orang-orang Tionghoa muslim ada yang menyatu dalam kelompok PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Secara perekonomian, masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsiantar umumnya adalah bergerak di bidang perniagaan menjadi pedagang. Mereka membuka mal, kedai sampah, grosir, perniagaan alat-alat industri, makanan dan
13
minuman, usaha perkebunan, dan lain-lainnya. Di antara masyarakat Tionghoa ini ada juga yang berusaha sebagai penanam sayur-mayur, yang selalu disebut sebagai Cina kebun sayur. Bagaimanapun, orang Tionghoa umumnya ulet dalam usaha perdagangan ini, termasuk di Kota Pematangsiantar. Sebagian besar penduduk hidup sebagai pegawai, karyawan, pedagang dan wiraswasta, dan hanya sebagian kecil yang hidup sebagai petani. Sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan daerah kerajaan Siantar, yang berkedudukan di Pulau Holing dan raja terakhir Dinasti keturunan marga Damanik ialah Tuan Sangnawaluh Damanik, yang memegang kekuasaan sebagai raja tahun 1906. Setelah Belanda memasuki Sumatera Utara, Simalungun menjadi daerah kekuasaannya, sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan para raja-raja. Contreleur Belanda yang semula berkedudukan di Perdagangan pada tahun 1907 dipindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu Pematangsiantar berubah menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru. Bangsa Cina mendiami kawasan Timbang Galung dan Kampung Melayu. Berdasarkan Staadblad Belanda Nomor 285 tanggal 1 Juli 1917, Pematangsiantar kemudian berubah menjadi Gemeente yang punya kewenangan otonomi sendiri. Sejak 1 Januari 1939 berdasarkan StaadBlad Nomor 717 Kota Siantar berubah menjadi Gemeente yang punya Dewan Kota. Pada masa pendudukan Jepang berubah menjadi Siantar State dan menghapuskan Dewan Kota. Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan, berdasarkan UU Nomor 22/1948, status Gemeente dirubah menjadi ibukota Kabupaten Simalungun dan
14
walikotanya dirangkap Bupati Simalungun hingga tahun 1957. Berdasarkan UU Nomor 1/1957 berubah menjadi Kotapraja penuh. Dengan keluarnya UU Nomor 18/1965 berubah menjadi Kotamadya dan berdasarkan UU Nomor 5/1974, tentang
Pokok-pokok
Pemerintahan
Daerah,
resmi
menjadi
Kotamadya
Pematangsiantar, dan dengan keluarnya UU No.5/1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah berubah menjadi Daerah Tingkat II Pematangsiantar, dan sejak 1999 nama “Kotamadya” Pematangsiantar berubah menjadi “Kota” Pematangsiantar.
15
Gambar 1: Peta Kota Pematangsiantar
Sumber: http://blog.ub.ac.id/sriuriani/profil-daerahpematangsiantar/keadaangeografis-kota-pematangsiantar/
16
2.2
Landasan Teori Untuk mengkaji fungsi perayaan sembahyang arwah pada penghormatan
leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa Kota Pematangsiantar, penulis menggunakan teori fungsionalisme yang lazim digunakan di dalam ilmu antropologi. Sedangkan untuk mengkaji makna segala aktivitas atau tradisi perayaan sembahyang arwah dalam masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsintar, penulis menggunakan teori semiotik. Kedua teori tersebut dijelaskan secara terperinci sebagai berikut.
2.2.1 Teori Fungsionalisme Teori
Fungsionalisme
dalam
ilmu
Antropologi
Budaya
mulai
dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia sebagai putra bangsawan Polandia. Bagi Malinowski dalam (Ihroni 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana
unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan
fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut
Malinowski,
fungsi
dari
satu
unsur
budaya
adalah
kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa
17
kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan. Koentjaraningrat (1987:167) membedakan antara fungsi social dalam tiga tongkat abstraksi yaitu: 1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat. Tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat. 2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial ataupun unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan. 3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial ataupun unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
18
Contohnya : unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi.
2.2.2 Teori Semiotik Semiotik (semiotics) berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda atau sign. Tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan atau dibayangkan (Broadbent, 1980). Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (Van Zoest, 1993: 1). A. Teew (1984: 6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggung jawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Teori semiotik adalah teori kritikan pascamodern, ia memahami karya sastra melalui tanda-tanda atau perlambangan yang ditemui di dalam teks. Teori ini berpendapat bahwa dalam sebuah teks terdapat banyak tanda dan pembaca atau penganalisis harus memahami apa yang dimaksudkan dengan tanda-tanda tersebut. Hubungan antara tanda dengan acuan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
19
1. Ikon Ada kemiripan antara acuan dengan tanda. Tanda merupakan gambar atau arti langsung dari petanda. Misalnya, foto merupakan gambaran langsung yang difoto. Ikon masih dapat dibedakan atas dua macam, yakni ikon tipologis, kemiripan yang tampak disini adalah kemiripan rasional. Jadi, didalam tanda tampak juga hubungan antara unsur-unsur yang diacu, contohnya susunan kata dalam kalimat, dan ikon metaforis, ikon jenis ini tidak ada kemiripan antara tanda dengan acuannya, yang mirip bukanlah tanda dengan acuan melainkan antar dua acuan dengan tanda yang sama. 2. Indeks Istilah indeks berati bahwa antara tanda dan acuannya ada kedekatan ekstensial. Penanda merupakan akibat dari petanda (hubungan sebab akibat). Misalnya, mendung merupakan tanda bahwa hari akan hujan, asap menandakan adanya api. Dalam karya sastra, gambaran suasana muram biasanya merupakan indeks bahwa tokoh sedang bersusah hati. 3. Simbol Simbol yang ada tentunya sudah mendapat persetujuan antara pemakai tanda dengan acuannya. Misalnya, bahasa merupakan simbol yang paling lengkap, terbentuk secara konvensional, hubungan kata dengan artinya dan sebagainya. Charles Sanders Pierce menyatakan bahwa analisis semiotik terdiri dari tiga aspek penting sehingga sering disebut dengan segitiga makna atau triangle of meaning (Littlejohn, 1998). Tiga aspek tersebut adalah :
20
1.Tanda Dalam kajian semiotik, tanda merupakan konsep utama yang dijadikan sebagai bahan analisis di mana di dalam tanda terdapat makna sebagai bentuk interpretasi pesan yang dimaksud. Secara sederhana, tanda cenderung berbentuk visual atau fisik yang ditangkap oleh manusia. 2. Acuan tanda atau objek Objek merupakan konteks sosial yang dalam implementasinya dijadikan sebagai aspek pemaknaan atau yang dirujuk oleh tanda tersebut. 3. Pengguna Tanda (interpretant) Konsep
pemikiran
dari
orang
yang
menggunakan
tanda
dan
menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. (Kriyantono, 2007 : 263).
2.3
Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka merupakan hasil dari meninjau, pandangan, pendapat,
sesudah menyelidiki atau mempelajari kitab-kitab; buku; buku primbon (KBBI, 2003:912). Tinjauan pustaka merupakan hasil dari penelitian terdahulu yang memaparkan pandangan dan analisis yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti. Sesuai dengan pendapat diatas, maka penulis akan memaparkan beberapa tinjauan pustaka seperti:
21
Reny Syafrida, skripsi (2012): “Kajian fungsi dan makna tradisi penghormatan leluhur dalam sistem kepercayaan masyarakat Tionghoa di Medan”. Skripsi ini menjelaskan bahwa penghormatan leluhur memiliki fungsi seperti ritual, solidaritas keluarga serta kelangsungan garis keturunan. Penulis juga menuliskan beberapa upacara penghormatan leluhur serta tata cara jalannya upacara. Skripsi ini juga menjelaskan bahwa makna budaya yang terkandung di dalam aktivitas penghormatan leluhur ini memiliki makna integrasi keluarga dan kerabat. Laya Pirevia Maengkom, skripsi (1987): “Penghormatan leluhur suatu tradisi dalam keluarga Cina”. Skripsi ini menjelaskan tentang tata cara penghormatan leluhur pada suatu keluarga etnis Tionghoa yang merupakan unit sosial dasar dimana setiap anggotanya ikut ambil bagian dalam pemeliharaan religi tradisional tersebut. Dalam penghormatan leluhur ini penulisnya juga menguraikan bahwa tradisi ini bukan hanya merupakan suatu kepercayaan atau religi saja tetapi juga mempunyai fungsi social dan turut berperan dalam kehidupan keluarga. Hermina Sutami, jurnal (2012): “Kuliner untuk Arwah: Realita Akulturasi Budaya Kaum Cina Peranakan”. Jurnal ini menjelaskan tentang akulturasi budaya di bidang kuliner khususnya untuk memperingati hari kematian arwah leluhur. Sajian yang dihidangkan berupa kuliner yang memang berasal dari cina, tetapi dari daerah setempat juga tidak dilarang. Penulis menekankan tulisan ini pada upacara ritual Konfusianisme yang agak berbeda dengan daerah lain. Upacara hari
22
peringatan kematian leluhur dilakukan di rumah pribadi ataupun vihara. Dalam upacara tersebut sajian kuliner yang dipersembahkan tidaklah sama. Chris Ferdinand Gulo, skripsi (2014): “Makna dan Fungsi Pembakaran Kertas Pada Masyarakat Tionghoa”. Skripsi ini menguraikan 3 perayaan yaitu, imlek, cap go meh, dan ceng beng. Dalam 3 perayaan tersebut, adanya tradisi pembakaran kertas dan kertas yang digunakan pun berbagai macam jenis, makna, dan fungsinya. Dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh, makna dari tradisi pembakaran kertas ini adalah sebagai rasa pengucapan rasa syukur terhadap Tuhan. Sedangkan pada perayaan Ceng Beng, makna dari tradisi pembakaran kertas adalah sebagai penghormatan terhadap leluhur dan orang tua yang telah meninggal. Para Confucian (2011:4) dalam artikel yang berjudul “Pembakaran kertas pada Tradisi Tionghoa”. China: Tiongkok. Menguraikan bahwa, pembakaran kertas merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa mempercayai tradisi bakar kertas akan membuat leluhurnya tidak kekurangan dana di alam baka. Uang kertas yang dibakar merupakan dana yang digunakan para leluhur di alam baka. Pembakaran kertas dilaksanakan agar para leluhur tidak mengalami kelaparan dan kehausan serta tidak kekurangan dana atau uang di alam baka, karena masyarakat Tionghoa mempercayai di alam baka memiliki kehidupan yang sama seperti di bumi, oleh sebab itu para leluhur membutuhkan materi sama seperti manusia.
23