BAB II KONSEP DASAR
A. Pengertian Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005). Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang di sebabkan oleh kuman salmonella Typi dan Salmonella paratypi A, B, C (Soedarto, 1992). Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih di sertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa penurunan kesadaran (Rampengan, 1993) Demam Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang di sebabkan infeksi salmonella Typi, organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh feses dan urin dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Bruner, 1994). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Demam Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang di sebabkan oleh Salmonella Typi atau salmonella paratypi A,B,C yang dapat menular melalui oral, fekal, makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan disertai gangguan sistem pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Dalam
6
memahami Demam Typhoid perlu memahami anatomi fisiologi sistem pencernaan.
B. Anatomi dan Fisiologi
Gambar 1. Sistem Pencernaan Tubuh Manusia (Sumber : Syaifuddin, 1997)
7
Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. Saluran
pencernaan
terdiri
dari
mulut,
tenggorokan
(faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rectum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak di luar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu. 1. Usus Halus (usus kecil) Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus meliputi, lapisan mukosa (sebelah kanan), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (M longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari duodenum), usus kosong (jejenum) dan usus penyerapan (ileum). Villi usus halus terdiri dari pipa berotot (> 6 cm), pencernaan
8
secara kimiawi, penyerapan
makanan. Terbagi atas usus 12 jari
(duodenum), usus tengah (jejenum), usus penyerapan (ileum).
a. Usus dua belas jari (Duodenum) Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejenum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pancreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pylorus dalam jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan
mengirimkan
sinyal
kepada
lambung
untuk
berhenti
mengalirkan makanan.
b. Usus Kosong (jejenum) Usus kosong atau jejenum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian dari usus halus, diantara usus dua belas jari
9
(duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yaitu sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.
c. Usus Penyerapan (ileum) Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu. 2. Usus Besar (Kolon) Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rectum)
10
Banyaknya bakteri yang terdapat didalam usus besar berfungsi mencerna makanan beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri didalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare. 3. Usus Buntu (sekum) Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin : caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivore memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora ekslusif memiliki yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing. 4. Umbai Cacing (Appendix) Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi manusia, umbai cacing adalah ujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam
11
orang dewasa, umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda-beda di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum. Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai appendiktomi. 5.
Rektum dan Anus Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpang ditempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material didalam rectum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar, dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.
12
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limba keluar dari tubuh. Sebagian besar anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot spinter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi utama anus.
C. Etiologi Demam Typhoid disebabkan oleh Salmonella Typhosa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen Vi (kapsul) merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis. Dalam serum penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Menurut Rampengan dan Laurent (1993) penyakit ini di sebabkan oleh tiga spesies utama yaitu Salmonella typosa (satu serotip), Salmonella Choleraesius (satu serotip), dan Salmonella Enteretidis (lebih dari 1500 serotip). Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 700C maupun oleh antiseptik. Sampai saat ini diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia. Sumber penularan berasal dari tinja dan urin karier, dari penderita pada fase akut dan penderita pada fase penyembuhan. Infeksi ini didapat
13
dengan cara menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi, dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urin, secret saluran pernafasan atau dengan pus penderita yang terinfeksi (Soegijanto, 2002).
D. Patofisiologi Perjalanan penyakit pada penyakit Demam Typhoid berawal dari masuknya kuman Salmonella Typhosa ke dalam saluran cerna, bersama makanan dan minuman yang terkontaminasi. Menurut Soegijanto (2002), pada fase awal Demam Typhoid biasa di temukan adanya gejala saluran nafas atas. Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk ke dalam peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. Pada tahap awal ini penderita juga sering mengeluh nyeri telan yang di sebabkan karena kekeringan mukosa mulut. Lidah tampak kotor tertutup selaput putih sampai kecoklatan yang merupakan sisa makanan, sel epitel mati dan bakteri, kadang-kadang tepi lidah tampak hiperemis. Bila terjadi infeksi pada nasofaring melalui saluran eustachi ke telinga tengah dan hal ini dapat terjadi otitis media. Di lambung sebagian besar organisme akan mati oleh asam lambung HCL dan sebagian ada yang lolos (hidup). Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan faktor pelindung terhadap terjadinya infeksi. Setelah melalui barier asam lambung mikroorganisme sampai di usus halus dan menemui dua mekanisme pertahanan tubuh yaitu motilitas dan flora
14
normal usus. Penurunan motilitas usus karena faktor obat- obatan atau faktor anatomis meningkatkan derajat beratnya penyakit dan timbulnya komplikasi. Flora normal usus berada di lapisan mukus atau menempel di epitel saluran cerna dan akan berkompetisi untuk mendapatkan kebutuhan metabolik untuk keperluan pertumbuhan, memproduksi asam amino rantai pendek serta menurunkan suasana asam serta memproduksi zat antibakteria seperti colicin. Di usus halus mikroorganisme ini bersinggungan dengan ujung villi usus halus dan berkembang biak terlebih dahulu selama beberapa hari. Kemudian melakukan penetrasi endotoksin berupa molekul polisakarida sebagai patogen usus ke dalam mukosa pada manusia berlangsung di jejunum. Pada saat ini biakan tinja positif beberapa hari setelah menelan mikroorganisme dan menjadi negative ketika timbul gejala klinis bakteriemia. Di lamina propia organisme mengalami fagositosis dan berada di dalam sel mononuclear. Mikroorganisme yang sudah berada di dalam sel mononuclear ini masuk ke folikel limfoid intestine atau nodus peyer dan mengadakan multiplikasi. Selanjutnya sel yang sudah terinfeksi berjalan melalui nodus limfe intestinal regional dan duktus thorasikus menuju system sirkulasi sistemik dan menyebar serta menginfeksi system retikuloendotelial di hati dan limpa. Di organ RES ini sebagian kuman akan difagosif dan sebagian yang tidak difagosif akan berkembang biak dan akan masuk pembuluh darah sehingga menyebar ke organ lain, terutama usus halus sehingga menyebabkan peradangan yang mengakibatkan malabsorbsi nutrien dan hiperperistaltik usus sehingga terjadi diare. Pada hipotalamus akan menekan termoregulasi
15
yang mengakibatkan demam remiten dan terjadi hipermetabolisme tubuh akibatnya tubuh menjadi mudah lelah. Perubahan pada jaringan limfoid di daerah ileocecal yang timbul selama Demam Thypoid dapat di bagi menjadi empat tahap, yaitu hiperplasi, nekrosis jaringan, ulserasi, dan penyembuhan. Adanya perubahan pada nodus peyer tersebut menyebabkan penderita mengalami gejala intestinal yaitu nyeri perut, diare, perdarahan dan perforasi. Perdarahan dapat terjadi apabila proses nekrosis sudah mengenai lapisan mukosa dan submukosa sehingga terjadi erosi pada pembuluh darah. Ulkus biasanya menyembuh sendiri tanpa meninggalkan jaringan parut tetapi ulkus dapat menembus lapisan serosa sehingga terjadi perforasi. Selain itu dapat terjadi degenerasi sel beberapa organ yaitu ginjal, jantung, dan paru. Ginjal tampak membengkak, tampak pula pyelonefritis, dan pyelitis. Dapat pula terlibat gambaran glomerulonefritis dan sindroma nefrotik. Pathogenesis kelainan neuropsikiatri karena endotoksin beredar dan berikatan dengan struktur basis kranii menimbulkan enselopati dengan cincin perdarahan, thrombus kapiler, mielitis dan sindroma guillian barre. Gangguan mental dapat terjadi di sebabkan karena sumbatan fibrin pada pembuluh darah otak (DIC). Anemia dapat terjadi pada penderita disebabkan antara lain karena pengaruh berbagai sitokin dan mediator sehingga terjadi depresi sum-sum tulang dan penghentian tahap pematangan eritrosit maupun kerusakan langsung pada eritrosit yang tampak sebagai hemolisis ringan. Selain itu
16
anemia bisa di sebabkan karena perdarahan usus. Pengaruh depresi sum-sum tulang yang lain adalah leukopeni dan trombositopeni.
E. Manifestasi Klinis Gejala klinis Demam Typhoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersamangat kemudian menyusul gejala klinis sebagai berikut : 1. Demam Berlangsung selama 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama suhu berangsur-angsur meningkat, biasanya turun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Pada minggu ke-2 penderita terus demam dan minggu ke3 penderita demamnya berangsur-angsur normal. 2. Gangguan pada saluran pencernaan Nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah putih kotor (coated tongue) ujung dan tepi kemerahan, perut kembung, hati dan limpa membesar. disertai nyeri pada perabaan. Biasanya di dapatkan konstipasi, bahkan terjadi diare.
17
3. Gangguan kesadaran Kesadaran menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis sampai samnolen. Disamping gejala-gejala tersebut ditemukan juga pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit, biasanya di dapatkan pada minggu pertama demam. Kadang- kadang di temukan bradikardi dan epistaksis.
F. Komplikasi Demam Typhoid merupakan penyakit yang memberikan gejala lokal sistemik. Selain gambaran klinis yang telah di uraikan di atas dapat terjadi gambaran lain yang tidak biasa. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada Demam Typhoid antara lain: 1. Usus halus Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal yaitu : a. Perdarahan usus bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyari perut dengan tanda-tanda renjatan b. Perforasi usus biasanya timbul pada minggu ketiga yang terjadi pada distal ileum. Perforasi yang tidak di sertai peritonitis hanya dapat di temukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati
18
menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto rontsen abdomen yang di buat dalam keadaan tegak. c. Peritonitis biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen dan nyeri pada tekanan. 2. Diluar usus a. Manifestasi Pulmonal seperti Bronkitis dan pneumonia yang merupakan infeksi sekunder b. Komplikasi Hematologis Depresi sumsum tulang tulang belakang yang toksik pada penderita dengan manifestasi yang berat, menyebabkan anemia, neutropenia, granulositopenia, dan trombositopenia. Anemia hemotolik akut di tandai dengan penurunan haemoglobin secara tiba- tiba tanpa adanya perdarahan di sertai hemoglobinuria. c. Manifestasi Neuropsikiatri Manifestasi neuropsikiatri seperti sakit kepala, meningismus, sampai gangguan kesadaran (Disorientasi, delirium, stupor, koma). Delirium merupakan kejadian yang paling sering terjadi, dapat berkembang menjadi enselopati, keadaan ini membaik 4-5 hari tetapi sering menetap sampai suhu tubuh dan fungsi metabolic kembali normal. Dilaporkan juga terjadinya shizofrenia.
19
d. Manifestasi Kardiovaskuler Myokarditis di temukan pada 1-5 % penderita Demam Typhoid. Manifestasi klinis bervariasi mulai asimtomatik sampai nyeri dada, payah jantung, aritmia, atau syok kardiogenik. e. Manifestasi Hepatobilier Ditandai dengan peningkatan SGOT dan SGPT. Koleisistisis akut dan ikterus di dapatkan pada 1-5 % kasus. f. Manifestasi Urogenital Sebanyak 25 % penderita Demam Typhoid pernah mengekskresikan S.typi dalam air kemih selama masa sakitnya. Kelainan yang paling sering di temukan adalah proteinuri yang bersifst sederhana. Proteinuri pada sebagian kasus di sebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan glomerulonefritis. Urin selain mengandung albumin dalam jumlah kecil juga di dapati sedikit peningkatan elemen seluler. Manifestasi lain yang mungkin terjadi adalah sindroma nefritik, sistisis, pielonefritis, dan gagal ginjal. g. Komplikasi lain Manifestasi lain yang di temukan adalah parotitis, otitis media, uveitis, arthritis, pancreatitis, orkitsa, alopesia (Soegijanto, 2002).
G. Pemeriksaan Penunjang Untuk memastikan diagnosis Demam Typhoid, perlu dilakukan pemeriksaan agar diagnosis Demam Typhoid bisa di tegakkan secara jelas.
20
Pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk memastikan diagnosa tersebut diantaranya sebagai berikut : Menurut Soegijanto (2002), Pada pemeriksaan darah lengkap terdapat gambaran leukopenia dan limfositosis relative. Hitung jenis leukosit biasanya normal atau bergeser sedikit ke kiri tergantung beratnya jenis infeksi. Eosinofili dan basofil menghilang diikuti dengan penurunan limfosit, secara bertahap eosinofil dan basofil muncul kembali diikuti meningkatnya limfosit dan monosit setelah minggu kedua. Pada saat ini terjadi limfositosis relative dan eosinofilia dan pergeseran ke kiri kembali normal. Dapat pula terjadi berbagai gangguan system hematologic yaitu perdarahan akut, sindroma uremia hemolitik, dan DIC. Terjadi pula gangguan system pembekuan darah yang
sesuai
dengan
keadaan
DIC
termasuk
trombositopenia,
hipofibrinogenemia. Diagnosis pasti Demam Typhoid dapat di tegakkan bila di temukan bakteri Salmonella typi dalam biakan dari darah, urin, feses, sum - sum tulang, cairan duodenum, dan empedu. Berkaitan dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah di temukan dalam darah dan sum sum tulang pada awal penyakit sedangkan selanjutnya di dalam dan feses. Pemeriksaan Serologi untuk diagnosis Demam Typhoid adalah uji widal yang merupakan suatu metode serologi baku dan rutin di gunakan sejak tahun 1986. Prinsip Pemeriksaan widal adalah untuk memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagella (H) yang
21
ditambahkan dalam jumlah
yang sama sehingga terjadi aglutinasi
menunjukan titer antibody dalam serum. Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitifitas uji widal sebesar 64-74 % dan spesifitas sebesar 76-83 %. Interpretasi uji widal harus memperhatikan beberapa factor penderita seperti status imunitas, stadium penyakit dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibody. Kelemahan uji widal yaitu rendahnya sensitifitas dan spesifisitas. Selain uji widal terdapat pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis Demam Typhoid yang baru- baru ini di anggap lebih akurat yaitu pemeriksaan Tubex TF merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas, spesifisitas di tingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang yang benar- benar spesifik yang hanya di temukan pada salmonella typi. Tes ini sangat akurat karena hanya mendeteksi IgM dan tidak mendeteksi antibody IgG dalam waktu beberapa menit. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100 %. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan ideal.
H. Penatalaksanaan Perawatan dan pengelolaan yang baik pada pasien dengan Demam Typhoid dapat secara cepat memulihkan kondisi klien. Kurangnya perhatian pada prinsip-prinsip perawatan Demam Typhoid dapat memberikan prognosis yang buruk dan timbulnya berbagai macam komplikasi. Berdasarkan
22
beberapa sumber ada beberapa prinsip perawatan dan pengobatan yang harus diperhatikan saat merawat pasien dengan Demam Typhoid. FKUI (1996) menyatakan ” prinsip perawatan Demam thypoid meliputi tiga hal yaitu perawatan, obat, dan diet”. Menurut Ngastiyah (2004) perawatan pada pasien Demam Typhoid perlu di lakukan isolasi penderita, desinfeksi pakaian, dan ekskreta. Untuk mencegah terjadinya komplikasi pasien harus istirahat total selama demam, kemudian di lanjutkan 7 – 14 hari lagi setelah suhu turun menjadi normal. Setelah satu minggu suhu normal tiga hari kemudian pasien di latih duduk. Jika tidak timbul demam lagi boleh duduk di pinggir tempat tidur sambil kakinya di goyang-goyangkan. Bila akhir minggu kedua tidak muncul demam boleh jalan mengelilingi tempat tidur. Menurut FKUI (1996) ketika menjalani tirah baring pasien harus di lakukan perubahan posisi secara sering untuk mencegah terjadinya kerusakan kulit. Mengingat sakit yang lama, lemah, dan anoreksia serta gejala- gejala penyerta pada Demam Typhoid perlu adanya penanganan sehingga mampu mengurangi terjadinya komplikasi lebih lanjut. Menurut
FKUI
(1996)
Diet
untuk
Demam
Typhoid
harus
mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Jenis makanan untuk penderita dengan penurunan kesadaran ialah makanan cair yang dapat diberikan melalui pipa lambung. Bila anak
23
sadar dan nafsu makan baik, maka dapat diberikan makanan secara bertahap mula-mula cair, lunak, makanan biasa. Soegijanto (2002) menyatakan obat standar yang digunakan untuk Demam Typhoid sampai saat ini adalah Klorampenikol, Ampisilin, Amoksilin, dan Kotromoksasol. Selain obat antimikroba yang digunakan FKUI (1996) menyatakan pada kondisi tertentu perlu digunakan obat-obat simptomatik seperti Antipiretik di berikan untuk menurunkan gejala demam, kortikosteroid di berikan pada pasien toksik, dan penenang diberikan untuk menurunkan gejala neuropsikiatrik.
I. Pengkajian 1. Identitas Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, no. registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal masuk RS. 2. Riwayat kesehatan a. Keluhan utama Pada pasien Thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan kembung, nafsu makan menurun, panas dan demam. b. Riwayat penyakit dahulu Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit Thypoid, apakah tidak pernah, apakah menderita penyakit lainnya.
24
c. Riwayat penyakit sekarang Pada umumnya penyakit pada pasien Thypoid adalah demam, anorexia, mual, muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemia), nyeri kepala pusing, nyeri otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma. d. Riwayat kesehatan keluarga Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita Thypoid atau sakit lainnya. 3. Pola-pola Fungsi Kesehatan a. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah dalam kesehatannya. b. Pola nutrisi dan metabolisme Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi tubuh. c. Pola aktifitas dan latihan Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya. d. Pola istirahat dan tidur Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur.
25
e. Pola Persepsi Sensori dan Kognitif Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri. f. Pola Hubungan dengan orang lain Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal
dan
peran
serta
mengalami
tambahan
dalam
menjalankan perannya selama sakit. g. Pola reproduksi dan seksualitas Pada pola reproduksi dan seksual pada pasien yang telah atau sudah menikah dan terjadi perubahan. h. Persepsi diri dan konsep diri Didalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya. i. Pola mekanisme koping Stress timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya. j. Pola Nilai Kepercayaan / Keyakinan Timbulnya distress dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.
26
4. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat
38
– 410 C, muka kemerahan. b. Tingkat kesadaran Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis). c. Sistem respirasi Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran seperti bronchitis. d. Sistem kardiovaskuler Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah. e. Sistem integumen Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam f. Sistem gastrointestinal Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik usus meningkat. g. Sistem muskuloskeletal Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
27
h. Sistem abdomen Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat. 5. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan feses Darah samar mungkin positif (erosi mukosa), steatorea dan garam empedu dapat ditemukan. b. Foto Menekan barium dapat menunjukkan penyempitan lumen pada ileum terminal, kekakuan dinding usus, mukosa mudah terangsang / lukus. c. Pemeriksaan sigmoideskopi Dapat menunjukkan edema hiperemik mukosa kolon, celah transversal/lukus longitudinal. d. Darah lengkap Anemia (hipokromik, kadang-kadang makrositik) dapat terjadi karena malnutrisi /malabsorbsi / tekanan fungsi sumsum tulang (proses inflamasi usus), peningkatan sel darah putih. e. Kolonoskopi Mengidentifikasi adanya perubahan lumen dinding (menyempit/tidak teratur), menunjukkan obstruksi usus.
28
J. Pathways Keperawatan
air dan makanan yang mengandung kuman salmonella typhosa
dimusnahkan asam lambung
lambung
usus halus
p. limfe/jar limfe
berkembangbiak dalam sel retikuloendotelial, hati dan limfe pembesaran hati
bakteriemia
usus halus
mulut
rx peradangan
peradangan
selaput putih
pelepasan zat pirogen
pusat termogulasi tubuh
merangsang bau tidak sedap peningkatatan peristaltik usus
diare
anoreksia
demam Gangguan eliminasi diare
Peningkatan suhu tubuh
Gangguan nutrisi kurang dari Intake tidak kebutuhan tubuh Adekuat
Nyeri abdomen/perabaan Intoleransi aktivitas
kelemahan
peristaltik usus menurun
Gangguan eliminasi konstipasi
Devisit volume cairan Sumber : (Soegijanto, 2002) 29
K. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan beberapa sumber penulis menyimpulkan diagnosa keperawatan yang sering muncul pada Demam Typhoid sebagai berikut : 1. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus (Suriadi, 2001) 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan, mual, kembung, gangguan absobsi pada usus halus 3. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan distensi pada dinding perut, Hepatomegali 4. Resiko tinggi kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sekunder terhadap diare, kurangnya intake cairan, peningkatan suhu tubuh 5. Gangguan eliminasi: Diare berhubungan dengan inflamsi, iritasi, atau malabsorbsi usus, adanya toksin, adanya penyempitan segmentasi lumen. 6. Gangguan
eliminasi
konstipasi
berhubungan
dengan
penurunan
peristaltik usus (Carpenito, 2001) 7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
30
L. Fokus Intervensi Setelah mengetahui masalah keperawatan yang sering muncul pada Demam Typhoid, berikut ini adalah beberapa tindakan keperawatan yang penulis simpulkan untuk mengatasi masalah keperawatan tersebut. 1. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan suhu tubuh dalam batas normal. b. Rencana tindakan 1) Pantau suhu pasien (derajat dan pola) perhatikan menggigil. Rasional : suhu 38,9-41,1’C menunjukan proses penyakit infeksius. 2) Pantau suhu lingkungan, batasi/tambah linen tempat tidur, sesuai indikasi. Rasional : Suhu lingkungan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal. 3) Berikan kompres mandi hangat , hindari penggunaan alkohol Rasional : Dapat membantu mengurangi demam. (penggunaan alcohol/air es mungkin menyebabkan peningkatan suhu secara actual. 4) Kolaborasi pemberian antipiretik Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam untuk aksi sentralnya pada hipotalamus. Meskipun demam mungkin dapat
31
berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme, dan meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang terinfeksi. 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan,mual, kembung, gangguan absobsi pada usus halus a. Tujuan : setelah di lakukan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi b. Rencana tindakan: 1) Timbang berat badan setiap hari Rasional
:
Memberikan
informasi
tentang
kebutuhan
diet/keefektifan terapi 2) Dorong tirah baring dan atau pembatasan aktivitas selama fase sakit akut Rasional : Menurunkan kebutuhan metabolic untuk mencegah penurunan kalori dan simpanan energi. 3) Anjurkan istirahat sebelum makan. Rasional :Menenangkan peristaltic, dan meningkatkan rasa makanan. 4) Berikan kebersihan oral Rasional : Mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan. 5) Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan, dengan situasi tidak terburu-buru, temani.
32
Rasional : Lingkungan yang menyenangkan menurunkan stress dan lebih kondusif untuk makan. 6) Batasi makanan yang dapat menyebabkan kram abdomen, flatus. Rasional : Mencegah serangan akut/eksaserbasi gejala. 7) Catat masukan dan perubahan simtomatologi. Rasional : Memberikan rasa control pada pasien dan kesempatan untuk memilih makanan
yang diinginkan/
dinikmati, dapat meningkatkan masukan. 8) Dorong pasien untuk menyatakan perasaan masalah mulai makan diet. Rasional : Keragu-raguan untuk makan mungkin diakibatkan oleh takut makanan akan menyebabkan eksaserbasi gejala. 9) Pertahankan puasa sesuai indikasi. Rasional : Istirahat usus menurunkan peristaltic dan diare dimana menyebabkan malabsorsi/kehilangan nutrient. 10) Kolaborasi nutrisi pareneral total, terapi IV sesuai indikasi. 11) Rasional : program inii mengistirahatkan saluran GI sementara memberikan nutisi penuh. 3. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan distensi pada dinding perut, Hepatomegali a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan rasa nyaman terpenuhi
33
b. Rencana tindakan : 1) Dorong pasien untuk melaporkan nyeri Rasional : Mencoba untuk mentoleransi nyeri, dari pada meminta analgetik. 2) Kaji laporan kram abdomen atau nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas. Selidiki dan laporkan perubahan karakteristik nyeri. Rasional : Nyeri kolik hilang timbul pada penyakit crohn. Nyeri sebelum defekasi sering terjadi pada KU dengan tibatiba, dimana dapat berat dan terus-menerus. perubahan pada karakteristik
nyeri
dapat
menunjukan
penyebaran
penyakit/terjadinya komplikasi. 3) Catat petunjuk non verbal, gelisah, menolak untuk bergerak, berhati-hati dengan abdomen, menarik diri, dan depresi. Selidiki perbedaan petunjuk verbal dan non verbal. Rasional : Bahasa tubuh/petunjuk non verbal dapat secara psikologis dan fisiologis dan dapat digunakan pada hubungan petunjuk verbal untuk mengidentifikasi luas/beratnya masalah. 4) Kaji
ulang
faktor-faktor
yang
meningkatkan
atau
menghilangkan nyeri. Rasional : Dapat menunjukan dengan tepat pencetus dan factor pemberat seperti stress, tidak toleran terhadap makanan atau mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
34
5) Izinkan pasien untuk memulai posisi yang nyaman, misalnya, lutut fleksi Rasional : Menurunkan tegangan abdomen dan meningkatkan rasa control. 6) Berikan tindakan nyaman (misalnya, pijatan punggung, ubah posisi) dan aktivitas senggang. Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan meningkatkan kemampuan koping. Bersihkan area rectal dengan sabun ringan dan air/lap setelah defekasi dan memberikan perawatan kulit, misalnya salep, jel/jeli minyak. 4. Gangguan eliminasi : Diare berhubungan dengan inflamsi, iritasi, atau malabsorbsi usus, adanya toksin, adanya penyempitan segmentasi lumen a. Tujuan: Selama dalam keperawatan kebutuhan eliminasi pasien dapat terpenuhi b. Intervensi: 1) Observasi frekuensi defekasi, karakteristik, jumlah Rasional: membantu mengukur cairan yang hilang dan cairan yang akan dibutuhkan. 2) Dorong diet tinggi serat/bulk dalam batasan diet, denngan masukan cairan sedang sesuai diet yang dibuat.
35
Rasional: Meningkatkan konsistensi Fases. Meskipun cairan perlu
untuk
fungsi
tubuh
optimal,
kelebihan
cairan
mempengaruhi diare. 3) Batasi masukan lemak sesuai indikasi. Rasional: Diet rendah lemak menurunkan risiko faces cairan dan membatasi efek laksatif penurunan absorbsi lemak. 4) Bantu perawatan peringeal sering, gunakan salep sesuai indikasi. Berikan rendam pada pusaran air. Rasional: Iritasi anal, ekskorisasi dan pruritus terjadi karena diare. Pasien sering tak dapat mencapai area yang tepat untuk membersihkan dan dapat membuat malu untuk meminta bantuan. 5. Gangguan eliminasi : konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan konstipasi tidak terjadi b. Intervensi : 1) Kaji pola BAB pasien. Rasional : Untuk mengetahui pola BAB pasien. 2) Pantau dan catat BAB setiap hari. Rasional
:
Mengetahui
konsistensi
dari
feses
dan
perkembangan pola BAB pasien. 3) Pertahankan intake cairan 2-3 liter / hari.
36
Rasional : Memenuhi kebutuhan cairan dan membantu memperbaiki konsistensi feses. 4) Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet tinggi serat tapi rendah lemak. Rasional : Serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorbsi air dalam alirannya sepanjang traktus intestinal. 5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat pencahar. Rasional : Obat itu untuk melunakkan feses yang keras sehingga pasien dapat defekasi dengan mudah. 6. Resiko tinggi kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sekunder terhadap diare, kurangnya intake cairan, peningkatan suhu tubuh a. Tujuan: Gangguan keseimbangan cairan dapat teratasi. b. Intervensi: 1) monitor tanda-tanda dehidrasi (mukosa mulut dan bibir kering). Rasional: untuk mengidentifikasi apakah tanda-tanda dehidrasi 2) monitor intake dan out put Rasional: mengukur cairan yang masuk dan keluar, sehingga pencegahan atau pengobatan dehidrasi dapat tercapai dengan tepat 3) monitor vital sign dan keadaan umum pasien
37
Rasional: Perubahan TD dan nadi dapat digunakan untuk perkiraan kasar kehilangan darah (misalnya TD <90 mm Hg, dan nadi >110 diduga 25% penurunan volume dan kurang lebih !000 ml). Hipotensi postural menunjukan penurunan volume sirkulasi. 4) kolaborasi dokter untuk pemberian cairan parenteral dan obat anti emetic jika pasien muntah. Rasional: dengan memberikan obat anti emetik diharapkan out put cairan dapat berkurang (Doenges, 2000). 7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik. a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan aktifitas seharihari kembali normaldan mengharapkan penurunan rasa letih. b. Intervensi : 1) Kaji
derajat
kelemahan,
perhatikan
ketidakmampuan
untuknberpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari. Rasional : Untuk mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas. 2) Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan, dorong istirahat sebelum makan. Rasional : Menghemat energi untuk istirahat dan regenerasi seluler /penyambungan jaringan. 3) Dekatkan alat yang dibutuhkan klien dalam tempat yang mudah dijangkau.
38
Rasional : Untuk menghemat energi klien. 4) Ajarkan teknik penghemat energi, misal lebih baik duduk daripada berdiri, penggunaan kursi untuk mandi, dsb. Rasional : Memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri
39