24
BAB II KEWENANGAN KURATOR VENTRIS UNTUK MEWAKILI KEPENTINGAN ANAK DALAM KANDUNGAN JANDA DARI PERNIKAHAN SIRI
A. Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perkawinan Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian perkawinan yang disebutkan di dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut di atas maka dapat dikatakan ada 5 (lima) unsur dalam pengertian perkawinan, yaitu a. Adanya ikatan lahir batin. b. Dilangsungkan oleh seorang pria dengan seorang wanita. c. Ikatan yang dilaksanakan adalah sebagai suami isteri. d. Bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal dan e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menentukan bahwa: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu”, dan selanjutnya Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 ditentukan pula bahwa: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Mengenai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 telah memutuskan untuk 24
Universitas Sumatera Utara
25
tidak mencabut ketentuan tersebut karena pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu upaya tertib administrasi dari suatu perkawinan agar perkawinan tersebut tercatat dan diketahui dan diakui oleh Negara. Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk tidak mencabut Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam perkembangannya ternyata disikapi berbagai pandangan, dimana pandangan tersebut antara lain mengatakan bahwa perkawinan yang sah secara Islam cukup dilaksanakan apabila dilakukan menurut rukun nikah. Keharusan untuk melakukan pencatatan pernikahan tidak merupakan rukun nikah dalam hukum Islam. Dari lima rukun nikah yang terdapat di dalam empat mazab dalam hukum Islam tidak ada seorang ulama pun yang mengemukakan bahwa semua pernikahan harus dicatat. Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits yang tidak secara eksplisif menyebutkan perkawinan harus dicatat. Oleh karena itu perdebatan tentang
sah
tidaknya suatu perkawinan apabila perkawinan itu tidak tercatat tetap mengemuka hingga saat ini. Sebagian ulama tidak sependapat dengan ketentuan yang menyatakan bahwa perkawinan yang sah harus dicatat karena di dalam hukum Islam tidak ada ketentuan yang mewajibkan suatu pernikahan harus dicatat. Namun sebagian ulama lainnya menyetujui adanya pencatatan perkawinan setelah perkawinan tersebut dilangsungkan sesuai agama dan kepercayaannya. Hal ini mengingat tujuan dari pencatatan perkawinan tersebut adalah sebagai tertib administrasi dari suatu perkawinan sehingga perkawinan tersebut autentik secara hukum dan dapat dibuktikan apabila terjadi permasalahan dalam perkawinan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
26
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami relatif, maksudnya bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri dan sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami, tetapi pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini termuat di dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, maka ia wajib mengajukan permohonan ke pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan ini hanya dapat memberi izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang (poligami) apabila memenuhi persyaratan, sebagai berikut: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; atau b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, ditentukan bahwa dalam hal suami akan beristeri lebih dari seorang, maka harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut: a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteriisteri dan anak-anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
27
Persetujuan sebagaimana yang dimaksud tersebut di atas, tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Selain syarat-syarat yang disebutkan sebelumnya, maka terkait dengan syaratsyarat perkawinan, diatur pula secara rinci dalam Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974, yang terdiri dari: a. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. c. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud huruf (b) tersebut di atas cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mampu hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. e. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam huruf (b), (c) dan (d) sebagaimana tersebut di atas, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah tempat
tinggal
Universitas Sumatera Utara
28
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam huruf (b), (c), dan (d) sebagaimana tersebut di atas. f. Ketentuan tersebut huruf (a) sampai dengan huruf (e) sebagaimana tersebut di atas berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diatur tentang syarat umur bagi mempelai pria maupun mempelai wanita yaitu mempelai pria mencapai umur 19 tahun dan mempelai wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Apabila terjadi penyimpangan dalam syarat umur sebagaimana tersebut di atas dapat diminta dispensasi di pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Selain mengatur tentang syarat-syarat perkawinan, dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur pula tentang larangan dalam perkawinan. Adapun larangan-larangan dalam perkawinan, yaitu:43 a. Larangan perkawinan karena berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas b. Larangan
perkawinan
karena berhubungan
darah
dalam
garis
keturunan
menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
43
Lihat Pasal 8 sampai dengan Pasal 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Universitas Sumatera Utara
29
c. Larangan perkawinan karena berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri d. Larangan perkawinan karena berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan. e. Larangan perkawinan karena berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. f. Larangan perkawinan karena mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. g. Larangan perkawinan karena masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi seorang pria dapat kawin lagi (berpoligami) jika telah mendapat izin dari pengadilan atas permintaan pihak-pihak yang bersangkutan dengan alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu karena isterinya tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; atau isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau isteri tidak dapat melahirkan keturunan. h. Larangan perkawinan apabila kedua calon mempelai sebelumnya pernah sebagai pasangan suami dan isteri dan sudah dua kali kawin cerai, kecuali hukum masingmasing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. i. Larangan perkawinan bagi seorang wanita yang masih dalam masa iddah. Wanita yang perkawinannya terputus baik karena perceraian maupun karena suaminya meninggal dunia dilarang untuk melangsungkan perkawinan lagi dengan pria lainnya sebelum dirinya melewati masa jangka waktu tunggu (masa iddah), yaitu:
Universitas Sumatera Utara
30
1) selama 130 (seratus tiga puluh) hari, apabila perkawinan putus karena suami meninggal dunia. 2) selama 3 (tiga) kali suci bagi yang masih berdatang bulan atau dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari, apabila perkawinan putus karena perceraian. 3) sampai melahirkan, apabila perkawinan terputus pada saat dirinya dalam keadaan hamil. Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Adapun pihak yang dapat mencegah berlangsungnya perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan berhak pula mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang yang tersebut di atas.44 Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai
44
I Ketut Oka Setiawan dan Arusman, Hukum Perdata Tentang Orang dan Benda, FH Utama, Jakarta, 2010, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
31
pencatat perkawinan. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh yang mencegah. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan mengenai syarat umur, adanya larangan perkawinan, salah seorang mempelai masih terikat tali perkawinan dengan pihak lain, suami isteri yang telah bercerai dan telah kawin lagi dengan yang lain dan bercerai untuk kedua kalinya tidak boleh lagi melangsungkan perkawinan diantara keduanya dan melanggar tata cara perkawinan sebagaimana diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1 Tahun 1974.45 Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yaitu: 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke arah dari suami atau isteri. 2. Suami atau isteri 3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan dalam diputuskan 4. Pejabat yang ditunjuk tersebut di atas dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
45
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 2001, hlm. 46.
Universitas Sumatera Utara
32
Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas perkawinan tidak hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat-akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga sahnya suatu perkawinan ditentukan pula menurut agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan tersebut. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Di samping keabsahan suatu perkawinan ditentukan oleh agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan tersebut maka setelah pelaksanaan perkawinan wajib disusul dengan pencatatan perkawinan dihadapan pegawai pencatat nikah sesuai ketentuan yang termuat di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari uraian di atas dapat di katakan keabsahan suatu perkawinan di Indonesia ditentukan oleh dua faktor yaitu pertama perkawinan tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan rukun agama dan kepercayaannya, dan kedua bahwa setelah pelaksanaan perkawinan tersebut sesuai ketentuan rukun agama dan kepercayaannya tersebut wajib disusul dengan pencatatan perkawinan dihadapan pegawai pencatat perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
33
Hal ini membuktikan bahwa selain ingin mengungkapkan bahwa perkawinan yang mereka lakukan sah secara agama, juga menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa mereka resmi dan sah secara agama dan secara hukum negara sebagai pasangan suami isteri. Pencatatan atas perkawinan yang dilakukan tersebut, dibuktikan dengan memperoleh kutipan akta perkawinan, sebagai bukti yang dapat dipercaya dari suatu perkawinan. Kutipan akta perkawinan sangat penting bagi suami maupun isteri sebagai bukti telah dilangsungkannya suatu perkawinan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan sesuai dengan undang-undang yang dibuat oleh Negara.46 Keberadaan kutipan akta perkawinan sangat penting, tetapi tidak semua pasangan suami isteri memilikinya. Hal ini biasanya terjadi karena ada perkawinan yang tidak dicatatkan oleh pasangan suami isteri tersebut ke catatan sipil maupun ke pegawai pencatat nikah talak dan rujuk. Konsekuensinya pasangan suami isteri tersebut tidak memiliki kutipan akta perkawinan. Perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut hanya memenuhi ketentuan agama, dan sama sekali tidak memenuhi aturan Negara yang termuat dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (selanjutnya disingkat PP No. 9 Tahun 1975). Perkawinan yang hanya mengikuti peraturan dan syarat agamanya, tanpa dilakukan pencatatannya tersebut pada umumnya dikenal dengan istilah dengan nikah siri.47
46
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Martha Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Sumar, Surabaya, 2012, hlm. 71. 47 Ramadhan Alfarizi, Nikah Siri dan Konsekuensi Hukumnya Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Bina Ilmu, Jakarta, 2008, hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
34
Akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah bahwa suami isteri yang menikah secara sah tersebut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki kedudukan hukum yang dilindungi oleh undang-undang dalam hal hak dan kewajibannya sebagai pasangan suami isteri maupun terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah tersebut memiliki hubungan yang sah pula terhadap orang tua kandungnya termasuk dalam hal hubungan keperdataan untuk mewarisi harta kedua orang tuanya, baik ayah maupun ibunya sebagai anak yang sah dari suatu perkawinan. Demikian pula halnya dengan pasangan suami isteri yang menikah secara sah sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka kedudukan suami isteri tersebut dilindungi secara hukum dalam hal harta benda perkawinan selama berlangsungnya perkawinan tersebut. 2.
Pengertian dan Keabsahan Perkawinan Siri Perkawinan siri adalah perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil
atau di Kantor Pegawai Pencatat Nikah Talak dan Rujuk, sehingga pernikahan tersebut tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama bagi yang muslim dan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bagi yang beragama non muslim. Defenisi lain dari perkawinan siri, yaitu perkawinan di bawah tangan yang dilaksanakan dengan mengabaikan syarat dan prosedur undang-undang, tidak dilakukan dihadapan pegawai catatan sipil maupun pegawai pencatat nikah talak dan rujuk tetapi dilakukan di depan pemuka agama.
Universitas Sumatera Utara
35
Perkawinan siri mengandung arti bahwa perkawinan tersebut dilaksanakan secara diam-diam, dilakukan di depan salah satu pemuka agama, disaksikan oleh saksisaksi, adanya ijab qobul, tidak diumumkan kepada publik dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang muslim dan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bagi yang non muslim.48 Perkawinan siri tidak memperoleh akta nikah, sehingga perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara autentik atau secara hukum pada pihak ketiga. Dari defenisi nikah siri sebagaimana tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pengertian nikah siri tidak hanya menyangkut tentang tidak tercatatnya pernikahan, tetapi juga sebagai perkawinan yang tidak diketahui oleh masyarakat banyak. Peristilahan tentang nikah siri ini lebih dikenal dalam keagamaan Islam, tetapi perkawinan siri ini tidak hanya didapati dalam masyarakat yang beragama Islam saja, karena pada masyarakat yang beragama non Islam juga ada terjadi, misalnya saja Kristiani, Hindu dan Budha. Intinya perkawinan siri tersebut keabsahan dan pelaksanaannya hanya didasarkan kepada ketentuan hukum agama dan para pihak yang melakukan perkawinan, misalnya dalam agama Islam adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang akhil baliqh, adanya persetujuan yang bebas antara calon pengantin tersebut, harus ada wali nikah calon pengantin perempuan, harus ada 2 (dua) orang saksi laki-laki muslim yang adil, harus ada ijab qobul antara calon pengantin tersebut.49 Faktor penyebab terjadinya atau dilangsungkannya perkawinan siri, adalah: 48
Wahyu Sudarmanto, Perkawinan Siri Ditinjau Dari Hukum Agama Islam dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, Rizkita, Jakarta, 2009, hlm. 62. 49 Elvi Setiawaty, Nikah Siri dalam Teori dan Praktek, Eza Insani, Bandung, 2006, hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
36
a. Adanya sebagian pendapat yang membenarkan perkawinan siri menurut agama. Dilihat dari hukum Islam dianggap sah dan dibenarkan oleh agama karena perkawinan siri lebih baik dari pada hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah atau dengan memelihara istri-istri piaraan. b. Ketidaktahuan hukum para pihak yang melakukan perkawinan siri adalah suami istri atau salah satu pihak di antaranya tidak tahu akan status dan akibat hukum dari perkawinan siri yang mereka lakukan tersebut. c. Lemahnya sanksi hukum terhadap pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan siri. d. Kurang biaya bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan dan mencatatkan secara resmi di K.U.A. Selain alasan tersebut di atas, pernikahan siri sering dipergunakan sebagai penyelundupan hukum, untuk melegalkan adanya poligami bagi mereka yang sebenarnya tidak memenuhi aturan yang disyaratkan oleh undang-undang. Perkawinan demikian dapat diartikan sebagai itikad untuk peluang mengabaikan ketentuan negara yang tertuang dalam undang-undang. Lazimnya terjadi, jika suami akan beristri lebih dari seorang dan menjumpai kendala atau hambatan. Perkawinan yang demikian tidak sah, dan batal. Seharusnya suami dan lembaga atau instansi terkait tidak membuka kemungkinan perkawinan di bawah tangan, dan terhadap yang melaksanakan perkawinan secara demikian itu dapat atau perlu dipertimbangkan untuk dikenakan sanksi tertentu baik pembatalan perkawinan (sanksi perdata) maupun sanksi administratif. Sebenarnya perkawinan demikian membawa akibat yang tidak baik
Universitas Sumatera Utara
37
terhadap istri, dan anak, dan pihak yang paling banyak dirugikan dalam perkawinan siri adalah istri dan anak. 50 Hal ini disebabkan karena perkawinan siri tidak tercatat pada negara ,apabila terjadi perceraian dalam perkawinan siri status isteri dari perkawinan siri maupun anak dari hasil perkawinan siri menjadi lemah kedudukannya di mata hukum khususnya dalam hal penuntutan hak-hak keperdataan ,baik pengakuan status isteri, anak serta harta benda dari perkawinan siri tersebut.Hal ini yang menjadi penyebab mengapa perkawinan siri tidak memberikan perlindungan hukum yang maksimal terhadap perkawinan siri,sehingga pencatatan perkawinan sebagai suatu syarat adminitratif agar negara mengetahui dan mengakui perkawinan tersebut tidak di cabut oleh Mahkamah Konstitusi karena menyangkut tertib adminitrasi perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara suami isteri selama perkawinan berlangsung maupun setelah perkawinan berakhir dengan perceraian. 3. Akibat Hukum Terhadap Status Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan Siri a. Status anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah Mengawali penjelasan tentang anak sah maka mengulang penjelasan di atas, bahwa yang dimaksud dengan keturunan adalah anak, termasuk anak dari anak dan seterusnya ke bawah. Membahas tentang anak, maka ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata, berlaku prinsip, bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 merumuskan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. 50
Muhammad Syahfuddin, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 56
Universitas Sumatera Utara
38
Demikian juga halnya dengan perumusan Pasal 250 KUHPerdata. yang menentukan bahwa, tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Perumusan tentang anak sah dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 sedikit berbeda dengan Pasal 250 KUHPerdata. Sebelum melihat lebih jelas perbedaan yang dimaksudkan, maka terlebih dahulu akan dibahas terlebih dahulu berkaitan dengan perumusan dari kedua ketentuan tersebut. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: kata “sepanjang” artinya sejak perkawinan itu ada sampai perkawinan itu putus. Perkawinan ada, sejak perkawinan itu dilangsungkan secara sah. Perkawinan itu putus karena perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup (Pasal 199 KUHPerdata dan Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974). Kata “ditumbuhkan” merupakan terjemahan dari kata “venverk”, yang dapat juga diberikan arti “dibenihkan”. Disini terlihat ada 2 (dua) ukuran yang dipakai oleh pembuat undangundang untuk menempatkan siapa ayah seorang anak, kalau anak itu lahir di dalam suatu keluarga, yang orangtuanya menikah secara sah. Panduan pertama adalah: anak itu dilahirkan sepanjang perkawinan orangtuanya, tidak dipermasalahkan sejak kapan dibenihkan atau dikandung, sehingga dapat dikatakan, bahwa pada asasnya, untuk menetapkan keabsahan seorang anak, menurut KUHPerdata, tidak menjadi masalah kapan seorang anak dibenihkan, dalam arti, apakah ia dibenihkan sebelum atau dalam masa perkawinan. Panduan kedua adalah: anak yang dilahirkan itu, ditumbuhkan/ dibenihkan sepanjang perkawinan, termasuk kalau dalam batas-batas yang nanti akan disebutkan ia lahir sesudah perkawinan itu putus. Dalam hal ini tidak diisyaratkan
Universitas Sumatera Utara
39
bahwa anak itu dilahirkan sepanjang perkawinan, tetapi masalah kapan anak itu dibenihkan, di sini justru memegang peranan penting.51 Dari penjelasan tersebut diketahui perbedaannya bahwa untuk ketentuan yang ada dalam Pasal 250 KUHPerdata, berlaku kedua panduan tersebut, walaupun dalam hal ini ketentuan tersebut tidak merupakan syarat yang harus dipenuhi, karena dipergunakan kata “atau” dalam perumusan pasal tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena pada ketentuan tersebut diberikan lebih untuk melindungi kepentingan si anak, yakni adanya kepastian hukum dari pada menyelidiki kebenarannya”, sedangkan untuk ketentuan yang ada dalam Pasal 42 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “Anak sah yang telah dewasa, tetapi belum genap 20 tahun, juga wajib untuk memohon izin bapak dan ibunya untuk melakukan perkawinan. Bila ia tidak memperoleh ijin itu, ia boleh memohon perantaraan pengadilan negeri tempat tinggalnya dan dalam hal itu harus diindahkan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hal tersebut”, jelas bahwa ketentuan dari pasal tersebut, lebih menekankan pada kejelasan dari anak itu dibenihkan menjadi penting. Ketentuan dalam KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka secara sah anak tersebut terikat dengan kedua orangtuanya, dalam hal ini timbulah pula hak dan kewajiban antara anak dan kedua orangtuanya, dan sebaliknya. Seperti yang sudah dibahas di atas maka kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya, dan hal ini berlangsung walaupun perkawinan antara dua
51
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang, Citra Aditya, Bakti, Bandung, 2009, hlm. 29
Universitas Sumatera Utara
40
orangtuanya tersebut putus,52 tetapi dalam hal tertentu yaitu dalam hal orang tua tidak mampu lagi memenuhi biaya yang dibutuhkan anaknya, sebagai pengecualian dari Pasal 48 UU No. 1 Tahun 1974, orangtua boleh menjual dan menggadaikan barang tetap milik anaknya untuk memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kebalikannya, anak juga berkewajiban menghormati orangtua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Apabila anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya bila mereka (orangtua) memerlukan bantuannya.53 Pasal 46 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, memberikan kewajiban sedemikian rupa terhadap anak, di mana kewajiban tidak saja pada orangtua melainkan anak pun mempunyai kewajiban dan tanggung jawab orangtua. 54 Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perlu juga dilihat ketentuan dalam ajaran agama Islam, yang dalam hal ini termuat dalam KHI, yang menyebutkan bahwa anak sah adalah: 1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. 2) Hasil pembuahan suami istri yang
sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut. Anak sah itu memiliki hubungan keperdataan dengan orangtuanya, baik dengan ibu maupun ayahnya, bahkan hubungan itu berlanjut sampai kakek atau nenek dari garis ayah ibunya terus ke atas. Hubungan keperdataan ini dapat berupa hak dan kewajiban. Hak itu ada sejak anak masih dalam kandungan yang berupa fasilitas supaya janin dapat tumbuh sehat dan lahir dengan selamat. Bahkan terhadap janin karena zina pun yang 52
Lihat Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Lihat Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. 54 Ahmad Tolabi, Khas ke Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 32 53
Universitas Sumatera Utara
41
akhirnya menjadi anak tidak sah sebagai anak luar nikah juga mendapat perlindungan. Sehingga, hak anak selama masih dalam kandungan sampai selesai menyusui, ibunya memiliki hak yang sama antara anak sah dan tidak sah, tetapi hak keperdataan antara keduanya berbeda. Orangtua dalam Islam, wajib memberikan hak anak secara total. Hak-hak itu dapat berupa penjagaan dan pemeliharaan, hak nasab, nama baik, hak penyusuan, pengasuhan, warisan, bahkan sampai pendidikan, dan pengajaran.55 Hak-hak anak itulah yang menjadi akibat dari status atau kedudukan sebagai anak sah. Sebagai konsekuensinya, hak anak itu harus diimbangi oleh anak yang bersangkutan dalam wujud ketaatan dan kebaktian kepada orangtua.56 b. Status anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah Selain pengaturan tentang anak sah, maka dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata, diatur pula mengenai anak tidak sah. Untuk anak tidak sah seringkali juga dipakai istilah anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah di dalam doktrin dibedakan antara anak zina, anak sumbang dan anak luar kawin (juga disebut anak luar kawin dalam arti sempit), yakni : 1) Anak Zina Anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau keduannya terikat dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pihak lain. Hal ini sesuai ketentuan yang berlaku 55 56
Lihat Pasal 104 dan Pasal 106 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Mustofa Rahman, Anak Luar Nikah Status dan Implikasi Hukumnya, Atmaja, Jakarta, 2003,
hlm. 65.
Universitas Sumatera Utara
42
dalam KUHPerdata. Menurut hukum Islam anak zina adalah anak yang terlahir akibat hubungan seksual antara pria dan wanita di luar perkawinan tanpa membedakan apakah pelakunya laki-laki dan perempuan yang belum berumah tangga, atau sudah berumah tangga atau sudah janda atau duda. Anak zina menurut KUHPerdata tidak dapat diakui oleh orangtua biologisnya. Hukum Islam menentukan anak hasil zina tidak dapat dihubungkan kepada ayahnya, atau anak zina tidak memiliki nasab yang sah secara syar’i. Hal ini dikarenakan perbuatan zina tidak dapat menjadi sebab terjadinya hubungan nasab antara anak zina dan ayah zina57 2) Anak sumbang (bloed schenneg/darah yang dikotori). Anak sumbang yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan, yang diantara keduanya terdapat larangan untuk menikah (karena terdapat hubungan darah, misalnya kakak dengan adik). Anakanak tersebut menurut Pasal 283 KUHPerdata adalah anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest/sumbang), tidak boleh diakui tanpa mengu-rangi ketentuan Pasal 273 KUHPerdata mengenai anak penodaan darah, yaitu tidak dapat diakui. Dan mengenai hak waris anak-anak ini Pasal 867 KUHPerdata menentukan bahwa mereka tidak dapat mewaris dari orang yang membenihkanya, tetapi undang-undang memberikan kepada mereka hak menuntut pemberian nafkah seperlunya terhadap boedel (warisan yang berupa
57
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 83.
Universitas Sumatera Utara
43
kekayaan saja), nafkah ditentukan menurut si ayah atau si ibu serta jumlah dan keadaan para pewaris yang sah.58 3) Anak luar kawin Dalam KUHPerdata ada dua macam anak luar nikah (perkawinan) yaitu anak luar perkawinan yang dapat diakui dan dan anak luar kawin yang tidak dapat diakui. Selanjutnya anak luar kawin mempunyai (2) dua pengertian , yaitu : 1.
Anak luar perkawinan yang dapat diakui sah Anak luar kawin yang dapat diakui yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang diakui sah oleh bapak biologisnya. Menurut Pasal 280 KUHPerdata antara anak luar nikah dan orang tuannya mempunyai hubungan hukum (hubungan hukum perdata) apabila si bapak mengakuinya.59 Dengan adanya pengakuan ini, status anak luar nikah tersebut diakui antara lain dalam pemberian izin nikah, kewajiban timbal balik dalam pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, mewaris, dan sebagainya. Setelah adanya pengakuan dari orang tuanya, maka menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengakuan tersebut harus ada pengesahan dengan cara: Perkawinan orang tuanya, yang menurut Pasal 285 KUHPerdata pengesahan karena perkawinan orang tua yaitu bilamana seorang anak dibenihkan di luar perkawinan, menjadi anak sah apabila sebelum perkawinan orang tuanya telah mengakui anak luar nikah itu sebagai anaknya. Pengakuan itu
58 59
Ibid Lihat Pasal 281 KUHPerdata
Universitas Sumatera Utara
44
dapat
dilakukan
sebelum
perkawinan
atau
sekaligus
dalam
akta
perkawinannya.60 2.
Anak luar kawin yang tidak di akui sah. Anak luar kawin yang tidak diakui sah oleh bapak biologisnya adalah anak yang lahir diluar perkawinan orang tua biologisnya dan tidak diakui sebagai anak oleh bapak biologisnya. Anak luar kawin ini tidak mempuyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Namun sebelum berlakunya UUP anak luar kawin juga tidak mempunyai hubungan perdata dengan ibu biologisny. Akan tetapi dengan berlakunya UUP maka anak luar kawin otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pembagian
diatas
tersebut
dilakukan
karena
undang-undang
sendiri,
berdasarkan ketentuan yang ada memberikan akibat yang berbeda-beda atas status anak tersebut di atas.61 Pembagian anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok tersebut, adalah sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 283 KUHPerdata, dan khususnya penyebutan “anak luar kawin” untuk kelompok yang ketiga adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata. Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah tetapi kalau dibandingkan Pasal 280 KUHPerdata dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat disimpulkan, bahwa anak luar kawin (menurut Pasal 280 KUHPerdata) disatu pihak, dengan anak zina dan anak sumbang (Pasal 283 60
J. Satrio, Hukum Waris, Paramita, Bandung, 1988, hlm. 168. J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 101. 61
Universitas Sumatera Utara
45
KUHPerdata) di lain pihak, adalah berbeda. Demikian pula antara anak zina dan anak sumbang pun memiliki perbedaan. Dimana ketentuan Pasal 283 KUHPerdata, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalam keadaan tertentu mem-berikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikah,62 dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah.63 Perkecualian ini tidak dapat diberikan untuk anak zina. Dalam KUH Perdata, melalui Pasal 280 tampak jelas bahwa antara anak luar kawin dengan ayah (biologisnya) maupun ibunya pada asasnya tidak ada hubungan hukum. Hubungan hukum itu baru ada, kalau ayah dan/atau ibunya memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Berbeda dengan pengaturan di dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kesemuanya ini tentu didasarkan atas pemikiran, bahwa adalah sangat mudah untuk menetapkan siapa ibu dari seorang anak, yaitu dengan perempuan yang melahirkan anak tersebut. Sehubungan dengan pengaturan anak luar kawin ini, yang belum jelas pengaturannya, walaupun pemerintah sudah merumuskan dalam Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, yang selanjutnya pengaturan tentang anak luar kawin ini akan dibentuk Peraturan Pemerintah untuk
62 63
Lihat Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata. Lihat Pasal 273 KUHPerdata.
Universitas Sumatera Utara
46
mengaturnya, tetapi sampai sekarang belum ada. Peraturan Pemerintah yang sudah ada saat ini berkaitan dengan perkawinan memang sudah ada yakni PP No. 9 tahun 1975, tetapi tidak menyinggung sama sekali tentang status anak luar kawin. Oleh sebab itu, perlu dirujuk ketentuan yang diamanatkan Mahkamah Agung kepada semua Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Sesuai dengan petunjuk Mahkamah Agung melalui surat Nomor: M. A./Pem/0807/75 tertanggal 20 Agustus 1975, menyatakan, bahwa mengenai “kedudukan anak” masih berlaku ketentuan lama. Dalam sub 4 dari petunjuk Mahkamah Agung tersebut dikatakan bahwa: “… harta-benda dalam perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak serta perwalian, ternyata tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974, karenanya belum dapat diberlakukan secara efektif, dan dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama. Belakangan surat petunjuk tersebut, berkaitan dengan kewenangan dan hukum acara Pengadilan Agama dalam petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975 Nomor: MA/Pemb/0807/1975 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pengaturan tentang anak sah, yang walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang, sangat berbeda dengan ketentuan anak luar kawin. Dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya. Perumusan pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa anak tersebut demi hukum mempunyai hubungan hukum dengan orangtuanya. Kata “demi hukum” disini dimaksudkan, bahwa hubungan hukum dengan orangtuanya
Universitas Sumatera Utara
47
terjadi secara otomatis, dengan sendirinya tanpa yang bersangkutan harus berbuat apaapa. Berbeda dengan ketentuan yang ada dalam KUHPerdata sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk memiliki hubungan secara perdata, si ibu yang melahirkan anak tersebut perlu untuk melakukan pengakuan terhadap anaknya tersebut. Perlu ditegaskan kembali perumusan dalam undang-undang adalah merupakan penafsiran hukum, karena bagi dalam kehidupan sehari-hari, sernua anak adalah sah bagi/terhadap ibunya.64 Kalau dilihat prinsip seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara orangtua dengan anaknya yang sah, didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya, tetapi jika dihubungkan dengan anak luar kawin, maka hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengkuan. Dengan demikian, hubungan darah dalam pembicaraan, adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Merujuk ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, maka pengakuan anak luar kawin tidak perlu dan tidak dapat dilakukan lagi oleh ibunya, karena hubungan hukum antara anak dan ibunya terjadi demi hukum. Dari konsep tersebut pula dapat ditarik hubungan pula bahwa, karena tidak memiliki hubungan darah secara yuridis tersebut, anak-anak luar kawin tidak lagi mendapatkan haknya secara penuh dari ayah biologisnya. Hal ini didasarkan, pada keadaan bahwa anak tidak memiliki ayah secara hukum, kecuali dengan adanya pengakuan dan pengesahan.
64
Soedharjo Soimun, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 24
Universitas Sumatera Utara
48
Di lain sisi, pemenuhan hak anak hanya dilakukan oleh ibu, yang melahirkannya, sesuai dengan rumusan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, dimana hubungan mereka terjadi demi hukum. Hal ini sebenarnya membawa kerugian, tidak hanya bagi si ibu, tetapi juga berdampak bagi si anak, baik itu secara psikologis, ekonomi, maupun sosial. Tegasnya, adanya pembedaan antara anak sah dan anak luar kawin, membawa konsekuensi yang lebih lanjut dalam hukum. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum ternyata adalah inferior (lebih jelek/rendah) dibandingkan dengan anak sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orangtua,65 sedangkan anak luar kawin berada di bawah perwalian, 66 yang dalam UU No. 1 Tahun 1974 dilakukan oleh ibunya sendiri. Hak bagian anak sah dalam pewarisan orangtuanya, lebih besar daripada anak luar kawin,67 dan hak anak luar kawin untuk menikmati warisan melalui surat wasiat, dibatasi.68 Bagi anak luar kawin, yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum negara (dalam hal ini UU No. 1 Tahun 1974), maka Kantor Catalan Sipil akan mengeluarkan akta kelahiran, yang isinya hanya mengenai: 1) nama si anak; 2) tanggal, bulan dan tahun kelahiran si anak; 3) urutan kelahiran; 4) nama ibu dan tanggal kelahiran ibu.
65
Lihat Pasal 299 KUHPerdata. Lihat Pasal 306 KUHPerdata. 67 Lihat Pasal 863 KUHPerdata. 68 Lihat Pasal 908 KUHPerdata. 66
Universitas Sumatera Utara
49
Isi Akta Kelahiran tersebut tidak mencantumkan nama ayah dari si anak luar kawin. Nama ayah baru akan tertera dalam Akta Kelahiran si anak berupa catatan pinggir pada Akta Kelahiran si anak, yaitu apabila: 1) Sang ayah mengakui si anak luar kawin, sesuai dengan ketentuan Pasal 280 dan Pasal 281 KUH Perdata. 2) Sang ayah dan sang ibu kemudian mendaftarkan/mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil, sesuai dengan ketentuan Pasal 272 dan Pasal 277 KUH Perdata. 3) Sang isteri (Warga Negara Indonesia) mengajukan permohonan Penetapan ke Pengadilan Negeri untuk memohon pengesahan perkawinan dengan sang suami (Warga Negara Indonesia) yang telah meninggal dunia, memohon pengesahan atas anak (anak-anak) yang telah dilahirkan, serta memohon agar Pengadilan Negeri memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan /mendaftarkan perkawinan tersebut dan memberi catatan pinggir pada Akta Kelahiran anak sebagai anak sah dari sang ibu dan sang ayah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 101, Pasal 102, dan Pasal 275 KUH Perdata. Seperti yang diketahui bahwa, Indonesia mengikuti Hukum Belanda (asas konkordansi) sampai dengan tahun 1945. Sesudah merdeka tersebut, maka tidak berlaku lagi asas konkordansi tersebut, atau dengan kata lain maka yang berlaku di Belanda tidak berlaku di Indonesia.69
69
DY. Witanto, Hukum Keluarga, Hak dan Kedudukan Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materil Undang-undang Perkawinan, Prestasi Pustaka Karya, Jakarta, 2011, hlm. 26.
Universitas Sumatera Utara
50
Dalam hal pengaturan hukum keluarga, khususnya tentang anak luar kawin, Indonesia sudah sangat tertinggal jauh dari pengaturan tentang anak luar kawin yang berlaku di Belanda. Sejak tahun 1947 dengan diberlakukannya Kinderwet atau dikenal dengan Undang-undang tentang Anak di Belanda, maka tanpa pengakuan dari si ibu yang melahirkan anak tersebut, demi hukum sudah ada hubungan hukum antara ibu dan anaknya. Selanjutnya pada tahun 1982 dengan perubahan terhadap undang-undang yang sama, terjadi perubahan dengan menghapuskan perbedaan antara anak luar nikah yang diakui dengan anak sah dalam hal hak-haknya dalam mewaris. Dengan kata lain antara anak luar kawin yang diakui dan anak sah, hak-haknya sama dalam mewaris. Perubahan terhadap hal mewaris juga terjadi di Belanda, yakni dengan adanya perubahan terhadap BW Belanda, yang dikenal dengan NBW yakni pada tahun 1998. Perubahan yang dimaksudkan adalah, bahwa dalam hal mewaris dalam keluarga, suami atau istri, atau pasangan yang hidup terlama dan pasangan yang terdaftar oleh pejabat yang berwenang (geregioturd partner schap) saling mewaris. Dalam hal salah satu pasangan meninggal dunia, maka warisan terlebih dahulu diberikan kepada salah satu pasangan (suami atau isteri) yang masih hidup. Hak anak untuk menuntut bagian dari warisan setelah kedua pasangan tersebut meninggal. Misalnya A dan B adalah pasangan suami istri, yang memiliki anak sah X, dan anak luar kawin K. Jika A meninggal dunia, maka B, yang adalah istrinya memperoleh harta dari A secara utuh. X dan K baru akan mendapatkan hak mereka sebagai anak setelah B meninggal dunia. X dan K walaupun dalam hal ini memiliki status yang berbeda, yakni anak sah dan anak luar kawin, maka mereka tetap mendapatkan bagian yang sama
Universitas Sumatera Utara
51
menurut ketentuan NBW tersebut. Menurut Milly Karmila Sareal dalam seminar dan diskusi ilmiah tentang implikasi putusan Mahkamah Konstituti tentang Anak Luar Kawin terhadap Hukum Perdata dan Hukum Waris di Indonesia, bahwa Indonesia sudah tertinggal jauh dalam pengaturan tentang anak, dalam bidang waris ini dan sudah seharusnya diadakan perubahan dan penyesuaian ke arah yang lebih baik dan juga tidak melanggar hukum-hukum lain yang juga masih berlaku di Indonesia. Beliau juga menambahkan, mungkin pembahan yang harus diikuti oleh Indonesia dalam hal bidang hukum keluarga tidak dapat mengikuti dalam segala aspek yang diubah dan berlaku di negara Belanda saat ini, seperti misalnya melegalkan adanya perkawinan antara pasangan sejenis, paling tidak perubahan yang dimaksudkan adalah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada masa sekarang ini, juga sila dari hukum yang dinamis. 70 4.
Ketentuan KUHPerdata Tentang Kedudukan Anak Dalam Kandungan Janda dari Pernikahan Siri Anak dalam kandungan menurut KUHPerdata memiliki hak atas kepentingan
yang berlaku kepadanya. Oleh sebab itu, dalam KUHPerdata, anak yang masih dalam kandungan dapat dianggap telah lahir. Kenyataan tersebut seperti tertuang dalam Pasal 2 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut: “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah ada”.
70
Milly Karmila Sareal, Anak Luar Kawin Menurut KUH Perdata dan akibat hukumnya terhadap hukum waris di Indonesia, Citra Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 14
Universitas Sumatera Utara
52
Pasal di atas secara tidak langsung memiliki maksud bahwa meskipun masih berada dalam kandungan ibunya, seorang anak tidak akan kehilangan hak-hak yang berhubungan dengan kepentingan anak. Meski demikian, apabila kemudian anak dalam kandungan tersebut terlahir mati, maka segala sesuatu yang telah diputuskan yang berhubungan dengan kepentingan anak saat dalam kandungan dianggap tidak pernah ada atau tidak memiliki kekuatan hukum. Salah satu kepentingan anak dalam kandungan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan. Menurut KUHPerdata, anak yang berada kandungan dianggap telah memiliki hak untuk mewarisi. Hal ini sebagaimana disebutkan pada Pasal 836 KUHPerdata, sebagai berikut: “Supaya dapat bertindak sebagai ahli waris, seseorang harus telah ada pada saat warisan itu terbuka, dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab ini”. Keadaan anak dalam kandungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 KUHPerdata, menurut Pasal 836 KUHPerdata sebagai keadaan telah dianggap sudah ada dan memiliki hak untuk mewarisi pada saat warisan tersebut dibuka (dibagi). Selain itu juga agar lebih jelas dan memperkuat kedudukan anak dalam kandungan sebagai ahli waris harus dilihat dari status perkawinan orang tua anak dalam kandungan tersebut. Berdasarkan dari status perkawinannya, anak dalam kandungan dapat dibedakan menjadi dua yaitu: a. Anak dalam kandungan dari perkawinan yang sah yang memperoleh warisan adalah anak dalam kandungan yang lahir dari perkawinan yang sah. Perkawinan sah menurut Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974 adalah:
Universitas Sumatera Utara
53
1) apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. 2) dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila perkawinan itu dilakukan secara sah menurut hukum, maka status anak dalam kandungan tersebut berhak mendapatkan warisan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 836 KUHPerdata. b. Anak dalam kandungan diluar kawin Maksud dari anak dalam kandungan di luar kawin adalah anak yang pembenihannya tidak dilakukan melalui proses perkawinan yang sah menurut hukum perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Menurut UU No.1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kemudian UU ini khususnya Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 diuji materinya, sehingga keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-IX Tahun 2011 yang berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan pedata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya.” Jadi anak di luar kawin mempunyai hubungan keperdataan termasuk kewarisan dengan ayahnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah. Anak dalam kandungan yang pembenihannya dilakukan dari perkawinan yang sah akan mendapatkan bagian yang sama besarnya dengan anggota keluarga yang
Universitas Sumatera Utara
54
lainnya, maka dari itu ketentuan pembagian harta kewarisan dapat dilakukan atau dibagikan secara langsung tanpa menunggu kelahiran bayi dengan cara menangguhkan hak yang diperuntukan kepadanya karena tidak akan mempengaruhi bagian ahli waris yang telah ada, tetapi apabila anak dalam kandungan terlahir mati maka harta warisan yang ditangguhkan untuknya dibagikan kembali kepada ahli waris yang telah ada tersebut dengan sama rata.71 Ketentuan mengenai kesamaan bagian warisan masing-masing ahli waris dalam sebuah keluarga disebutkan dalam Pasal 852 KUHPerdata sebagai berikut: “Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orang tua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti” Apabila bagi anak dalam kandungan yang status keabsahannya diakibat-kan dari adanya pengakuan atau proses pengesahan terlebih dahulu, maka bagian warisan yang diperolehnya tidaklah satu bagian. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 863 dan Pasal 865 KUHPerdata sebagai berikut: Pasal 863: “Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau isteri, maka anak-anak luar kawin mewaris sepertiga dari bagian yang sedianya mereka harus mendapatkannya, seandainya mereka anak-anak yang sah menurut undang-undang, jika si meninggal tak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam 71
Muchtar Rahwanto, Kedudukan Anak Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata dan Hukum Islam, Graha Ilmu, Jakarta, 2009, hlm. 32
Universitas Sumatera Utara
55
garis ke atas, atau pun saudara laki dan perempuan atau keturunan mereka, maka mereka mewaris setengah dari warisan;dan jika hanya ada sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, tiga perempat”. Pasal 865: “Jika si meninggal tak meninggalkan ahli waris yang sah menurut undangundang, maka anak-anak di luar kawin itu mewarisi harta peninggalan itu seluruhnya”. Dari penjelasan di atas, selain mengenai bagian warisan dalam konteks besaran yang dapat diterima oleh anak dalam kandungan, juga terkandung penjelasan mengenai bagian warisan berdasarkan keadaan orang yang mewarisi. B. Kewenangan Kurator Ventris untuk Mewakili Kepentingan Anak dalam Kandungan Janda dari Pernikahan Siri 1.
Peranan Kurator Ventris Dalam Mewakili Kepentingan Anak Dalam Kandungan Janda Dari Perkawinan Siri Pasal 2 ayat (1) dan (2) KUHPerdata menyatakan bahwa: “Anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendaki. Bila telah mati waktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada”. Dari ketentuan Pasal 2 KUHPerdata tersebut di atas dapat dikatakan bahwa meskipun seorang anak belum dilahirkan namun ia telah dianggap lahir apabila kepentingan menghendakinya, dengan catatan anak itu lahir dalam keadaan hidup. Namun apabila ternyata anak itu dilahirkan dalam keadaan mati maka anak tersebut dianggap tidak pernah ada. Sejalan dengan bunyi Pasal 2 (1) dan (2) KUHPerdata, ketentuan Pasal 348 KUHPerdata menyebutkan bahwa, “Jika setelah suami telah meninggal dunia, isteri
Universitas Sumatera Utara
56
menerapkan, atau setelah dianggap secara sah untuk itu, mengaku bahwa ia sedang mengandung maka balai harta peninggalan harus menjadi pengampu atau buah kandungan itu dan wajib mengadakan segala tindakan yang perlu dan yang mendesak guna menyelamatkan dan mengurus harta kekayaan, baik demi kebaikan anak bila ia lahir hidup maupun demi kebaikan semua orang yang berkepentingan. Bila anak itu lahir hidup ketentuan-ketentuan biasa tentang perwalian harus diperhatikan”. Pasal 348 KUHPerdata tersebut di atas dapat diartikan bahwa kurator ventris adalah pengampu/pengampu pengawas atau wali sementara bagi anak yang masih berada di dalam kandungan dalam mengurus segala kepentingan si anak tersebut dalam hal harta kekayaannya. Kurator ventris bertanggung jawab penuh terhadap seluruh kepentingan anak yang masih dalam kandungan agar kepentingan si anak tersebut tidak dirugikan oleh pihak lain khususnya di bidang harta kekayaan anak tersebut apabila ia dikemudian hari dilahirkan hidup. 2. Tanggung Jawab Dan Kewenangan Kurator Ventris Dalam Mewakili Kepentingan Anak Dalam Kandungan Janda Dari Perkawinan Siri Setiap kurator ventris bertanggung jawab atas pengurusan dan pengawasan yang dilakukannya terhadap anak-anak yang masih berada di dalam kandungan hingga ia dilahirkan dalam keadaan hidup. Pasal 409 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “Di setiap akhir tugas kurator ventris sebagai pengampu pengawas maupun wali pengawas dalam akhir tugas pengampuan maupun perwaliannya seorang wali wajib mengadakan perhitungan tanggung jawab penutup perhitungan itu dilakukan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
57
a. Dalam hal perwalian yang sama sekali dihentikan, yaitu kepada minderjarige atau kepada ahli warisnya. b. Dalam hal perwalian yang dihentikan karena diri (persoon) wali, yaitu kepada yang menggantinya. c. Dalam hal minderjarige yang sesudah berada di bawah perwalian, kembali lagi berada di bawah kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu minderjarige itu. Berhubung tanggung jawab itu dilakukan atas biaya minderjarige, maka harus membayar terlebih dahulu biaya-biaya itu (de voogd schiet daartoe de konsten voor). Akhirnya dalam perhitungannya dimuat semua pengeluaran yang perlu, yang pantas dan yang cukup beralasan. Setelah memberikan perhitungan, wali harus menyerahkan jumlah uang sisa menurut perhitungan yang telah disahkan beserta semua harta kekayaan
dan
surat-surat
kepada
minderjarige
atau
kepada
pihak
yang
menggantikannya. Dengan penyerahan tersebut maka pertanggung jawaban wali berakhir. Semua tuntutan dari seorang minderjarige terhadap walinya dalam hubungan dengan perwaliannya akan gugur karena daluwarsa setelah lewat 10 (sepuluh) tahun terhitung dari saat minderjarige menjadi meerderjarig. Pengangkatan wali pengawas selalu terjadi dalam setiap perwalian. Wali wajib menjaga adanya pengawas (Pasal 368 KUHPerdata). Sebagaimana dikatakan di atas, jika wali tidak memberitahukan kepada BHP tentang terjadinya perwalian maka wali itu dapat dipecat. Kewajiban dari wali pengawas, adalah : a. Mengadakan pengawasan terus terhadap wali
Universitas Sumatera Utara
58
b. Menyatakan pendapatnya terhadap berbagai tindakan yang harus dilakukan oleh wali atas perintah hakim atau dengan persetujuan hakim. c. Bertindak sama-sama dengan wali atau ikut hadir dalam tindakan-tindakan tertentu d. Bertindak jika ada kepentingan yang bertentangan antar wali dengan minderjarige. e. Bertindak jika wali tidak hadir atau perwalian itu terluang.72 Pasal 44 Stb 1872 No. 166 yang mengatur tentang ketentuan seseorang wanita yang sedang hamil setelah suaminya meninggal dunia, yang berkeinginan memberikan keterangan di hadapan BHP agar BHP bertindak sebagai wali pengawas bagi anak yang masih dalam kandungan tersebut. Seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 44 dan Pasal 45 Stb 1872 No 166 dapat dijelaskan sebagai berikut: Pasal 44: “Wanita yang ingin memberikan keterangan di hadapan balai harta peninggalan seperti yang dimaksud dalam pasal 348 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak dapat diterima untuk itu, bila telah lewat tiga ratus hari setelah kematian suaminya. Balai harta peninggalan melakukan pemanggilan seperti yang dimaksud dalam pasal itu, baik atas kehendak sendiri maupun atas permohonan sendiri maupun atas permohonan orang-orang yang berkepentingan. Pemanggilan tidak dapat dilakukan, bila kematian suaminya telah lewat tiga ratus hari” Pasal 45: “Tentang keterangan, atau pengakuan adanya kehamilan dan penerimaan pengampuan sebagai kelanjutan atas anak yang belum dilahirkan, dibuat akta oleh balai harta peninggalan dan diberitahukan kepada pegawai penuntut umum”. 72
Rahardjo Taliman, Lembaga Perwalinan Tugas dan Tanggung Jawabnya menurut KUH Perdata, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
59
Sesuai Pasal 348 KUHPerdata, tidak boleh lewat batas waktu 300 hari setelah kematian suaminya. Bila lewat waktu 300 hari setelah kematian suaminya, BHP tidak dapat lagi bertindak untuk memanggil pihak berkepentingan baik atas inisiatif BHP itu sendiri maupun atas permohonan pihak yang berkepentingan. Selanjutnya Pasal 45 Stb 1872 No. 166 menentukan bahwa, bila ada laporan ke BHP sesuai batas waktu yang telah ditentukan tentang kehamilan seorang wanita setelah suaminya meninggal dunia dan belum lewat waktu 300 hari, maka dibuatkan akta oleh BHP dan dilaporkan kepada pegawai penuntut umum. Selama anak tersebut belum dilahirkan (masih dalam kandungan), BHP bertindak menjadi wali pengawas terhadap barang-barang yang menjadi milik anak yang masih dalam kandungan. Bila anak tersebut ternyata lahir hidup, dan hal ini terbatas sesuai ketentuan yang termuat dalam Pasal 348 KUHPerdata. Pada waktu mengakhiri tugasnya sebagai wali pengawas, BHP memberikan perhitungan dan pertanggung jawaban kepada siapa hal ini harus dilakukan, hal ini sesuai ketentuan Pasal 46 Stb 1872 No. 166. Namun demikian Pasal 44-46 Stb 1872 No. 166 ini yang diawali dengan adanya laporan dari seorang wanita dihadapan Balai Harta Peninggalan bahwa dirinya dalam keadaan hamil
setelah suaminya meninggal dunia, dalam
prakteknya jarang sekali ada laporan tersebut kepada Balai Harta Peninggalan. Sehingga akan sulit bagi Balai Harta Peninggalan untuk bertindak sebagai wali pengawas terhadap anak yang masih berada dalam kandungan bila BHP tidak menerima laporan tentang hal itu.
Universitas Sumatera Utara
60
Sebagai pengampu atas anak yang ada dalam kandungan janda dari pernikahan siri kurator ventris memiliki kewenangan untuk: 1) Membuat berita acara kehamilan 2) Melakukan sesuatu guna melindungi kepentingan anak dalam kandungan tersebut antara lain melakukan inventarisasi atas harta warisan yang ditinggalkan suaminya dan melayani gugat/menggugat yang kemungkinan timbul dalam warisan dimaksud. Kewenangan kurator ventris sebagai pengampu anak yang masih berada dalam kandungan berakhir ketika anak tersebut dilahirkan. Kelahiran tersebut ada dua kemungkinan yaitu lahir hidup atau lahir mati. Apabila anak tersebut lahir mati, maka warisan yang seharusnya akan diterima anak tersebut beralih dengan sendirinya kepada ahli waris yang lain. Sedangkan apabila anak tersebut lahir hidup maka tugas selanjutnya dari kurator ventris berubah dari pengampu menjadi wali pengampu. Sebagai wali pengawas kurator ventris bertindak mengamati apakah wali melaksanakan kewajiban dengan baik atau tidak dan seberapa perlu memberikan nasehat-nasehat kepada wali untuk melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Kewenangan sebagai wali pengawas diatur dalam Pasal 366 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “Dalam tiap-tiap perwalian yang diperintahkan di Indonesia, Balai Harta Peninggalan berwenang menjadi wali pengawas”.73 Kewenangan wali pengawas untuk mewakili anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri antara lain adalah:
73
Sudarmianto, Hukum Perwalian Menurut KUH Perdata, Media Ilmu, Jakarta, 2011, hlm.16
Universitas Sumatera Utara
61
1) Dalam tenggang waktu 3 bulan setelah terjadinya kematian menyelenggarakan pendaftaran harta kekayaan suami/isteri (Pasal 127 KUHPerdata) 2) Apabila wali lalai untuk melaksanakan tugasnya tersebut maka wali pengawas dapat memaksakan agar pendaftaran itu dilakukan (Pasal 370 ayat 2 KUHPerdata). 3) Menyelenggarakan pengurusan harta kekayaan anak di bawah umur itu dengan baik sesuai dengan yang telah ditentukan oleh undang-undang (Pasal 371 KUHPerdata). 4) Tiap tahun wali berkewajiban memberikan perhitungan dan tanggung jawab atas pengurusan yang sudah dilakukan (Pasal 372 jo. 409 KUHPerdata). 5) Apabila wali enggan melaksanakan kewajibannya maka wali dapat diganti. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, maka wali pengawas mempunyai kewenangan lainnya diantaranya adalah : 1) Meminta kepada wali untuk menyelenggarakan pendaftaran harta kekayaan yang didalamnya berkepentingan anak belum dewasa. 2) Mewakili kepentingan anak belum dewasa, apabila kepentingan mereka bertentangan dengan kepentingan walinya. 3) Apabila diperlukan memaksakan kepada wali untuk membuat pendaftaran harta kekayaan dimaksud. 4) Meminta kepada wali untuk menyediakan jaminan secukupnya 5) Meminta perhitungan dan tanggung jawab dari wali 6) Mengajukan usul kepada Pengadilan Negeri untuk memecat wali dan mengajukan calon wali yang baru
Universitas Sumatera Utara
62
7) Memberikan keterangan kepada Hakim tentang bermanfaat tidaknya penjualan barang yang didalamnya berkepentingan anak belum dewasa 8) Mewakili anak belum dewasa melakukan perjanjian sewa menyewa apabila penyewanya adalah wali sendiri 9) Memberikan kuasa kepada wali untuk bertindak sebagai penggugat maupun tergugat dalam perkara perdata guna kepentingan anak belum dewasa. 10) Menghadiri acara pemisahan dan pembagian harta kekayaan yang didalamnya berkepentingan anak belum dewasa. Kurator ventris berwenang pula bertindak sebagai pengampu pengawas dalam hal adanya orang yang dinyatakan berada di dalam pengampuan. Kewenangan sebagai pengampu pengawas terjadi dalam hal adanya orang yang dinyatakan berada di bawah pengampuan. Kewenangan ini hampir sama dengan tugas sebagai wali pengawas. Kewenangan BHP sebagai pengampu pengawas diatur dalam Pasal 449 ayat (3) KUHPerdata. Kewenangan kurator ventris sebagai pengampu pengawas berakhir apabila sebab-sebab yang menjadi alasan pengampuan dimaksud telah hilang. Di Indonesia yang melaksanakan kewenangan sebagai kurator ventris adalah Balai Harta Peninggalan (BHP) yang merupakan lembaga pemerintah, unit pelaksana teknik di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM yang mempunyai tugas pokok memberikan pelayanan jasa hukum di bidang keperdataan
khususnya perwalian,
pengampuan,
ketidakhadiran, harta
Universitas Sumatera Utara
63
peninggalan tak terurus, kepailitan dan pendaftaran harta wasiat yang menghasilkan pemasukan negara non pajak.74 Salah satu kewenangan BHP dapat bertindak selaku pengampu (kurator ventris) atas anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri apabila kepentingan si anak yang masih berada dalam kandungan tersebut menghendakinya agar kepentingannya tidak dirugikan oleh pihak lain. Balai Harta Peninggalan yang bertindak sebagai pengampu maupun pengampu pengawas serta wali sementara bagi anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri dan anak-anak yang masih di bawah umur bertujuan untuk melindungi kepentingan anak-anak di bawah umur yang belum punya wali, melindungi anak-anak di bawah umur yang belum punya wali karena kepentingan wali bertentangan dengan kepentingan anak di bawah umur, melindungi kepentingan orang yang di bawah pengampuan.75 Balai Harta Peninggalan selaku Kurator ventris bertindak sebagai wali untuk melakukan pengawasan terhadap anak di bawah umur, yang tidak di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan harta benda atau kekayaan anak tersebut menurut undangundang. Di samping itu Balai Harta Peninggalan juga bertindak sebagai pengampu yang tugasnya adalah melaksanakan pengawasan, perlindungan dan bertindak menurut hukum terhadap anak dalam kandungan jika kepentingan si anak menghendakinya, misalnya dalam hal pembagian warisan.
74
Edi Jakaria, Tugas dan Tanggung Jawab Wali Balai Harta Peninggalan terhadap Anak di Bawah Umur, Mitra Ilmu, Surabaya, 2007, hlm. 42. 75 Ibid., hlm. 43
Universitas Sumatera Utara
64
Dalam melaksanakan kewenangannya sebagai wali maupun pengampu BHP berwenang menjalankan pengurusan atau pengawasan untuk kepentingan berbagai pihak yang masih di bawah umur, atau terhadap harta kekayaan yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan, tanpa memihak dan mengurus kepentingan semua pihak secara sama. Untuk melindungi harta kekayaan anak di bawah umur, maka BHP bertanggung jawab dalam hal : 1) Persyaratan bagi orang yang akan diangkat menjadi wali. 2) Wajib memberikan nilai jaminan yang berada di atas nilai budel bagi orang yang ditunjuk menjadi wali. Bila wali lalai untuk memenuhi kewajibannya mengadakan jaminan yang mencukupi, balai harta peninggalan harus melakukan mendaftaran hipotik atas beban wali yang bersangkutans.76 Balai Harta Peninggalan berwenang menjadi pengampu atas anak yang belum dilahirkan meliputi : 1) Hal itu terbatas pada tindakan yang mutlak perlu dan mendesak guna keperluan anak dalam kandungan bila ia lahir hidup. 2) Memberikan perhitungan dan pertanggungjawaban pada waktu pengampuan berakhir.77 Terhadap penjelasan diatas BHP melakukan tugas fungsi dan tugas pokoknya dalam kewenangan melakukan pemanggilan kepada saudara sedarah atau sumenda dari
76
Ganang Zuhairi, Pertanggungjawaban pengampu, Pengampu Pengawas, Wali Pengawas dari balai Harta Peninggalan Ditinjau Dari KUH Perdata, Eressco, Bandung, 2009, hlm. 55 77 Burhanuddin Munawar, Kedudukan Anak di Bawah Umur dalam Mewaris Menurut KUH Perdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Bina Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 65.
Universitas Sumatera Utara
65
anak yang masih di bawah umur demi kepentingan anak tersebut dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Balai Harta Peninggalan. Apabila terjadi kekosongan wali, Balai Harta Peninggalan bertindak sebagai wali sementara. Apabila telah ditetapkan wali tetap, maka balai harta peninggalan menjadi wali pengawas. Balai Harta Peninggalan berwenang pula menjadi wali sementara bila mana seorang wali yang telah ditetapkan menolak atau lalai melaksanakan tugasnya. Barang yang akan diwariskan bilamana anak itu lahir hidup.
Universitas Sumatera Utara