BAB II KERANGKA TEORETIS, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS A. Kerangka Teoretis 1. Pengertian Pernikahan Dini dan Perlindungan Anak Perkawinan disebut juga “Pernikahan” berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti bersetubuh. Dalam Bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.1 Menurut Sigelman mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah hubungan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami istri. Dalam hubungan tersebut terdapat peran serta tanggung jawab dari suami dan istri yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan seksual, dan menjadi orang tua.2 Menurut Dariyo, perkawinan merupakan ikatan kudus antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa. Penikahan dianggap sebagai ikatan kudus (holly relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan telah diakui secara sah dalam hukum agama.3 Pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994 hal. 456 Delsa Joesalfira, Konsep Pernikahan Menurut Beberapa Ahli, 21 Juni 2012, www.delsajoesalfira.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 18 Mei 2016 3 Ika Sari Dewi, Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal Yang Bekerja, Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006 2
dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu perkawinan merupakan suatu yang alami yang sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua jenis kelamin yang berbeda akan mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk hidup bersama.
a. Pengertian Usia Dini Usia Dini didefinisikan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batasan usia Dini berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat. 1. Menurut WHO batasan usia remaja adalah 10-19 tahun dan belum kawin. WHO Expert Committe memberikan batasan-batasan pertama tentang definisi usia Dini bersifat konseptional pada tahun 1974. Dalam hal ini ada 3 kategori yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut tersembunyi sebagai berikut, usia dini adalah suatu masa dimana, individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder sampai ia mencapai kematangan sendiri, individu mengalami perkemangan psikologis dari masa kanak-kanak menjadi dewasa, kemudian terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif mandiri. Dari batasan usia Dini di atas ditetapkan batasan usia Dini antara 11-19 tahun, dimana usia tersebut sudah menunjukkan tanda-tanda seksualnya. Bila hal ini ditinjau dari sudut kesehatan maka masalah utama yang dirasakan mendesak adalah mengenai kesehatan pada usia Dini khususnya wanita yang kehamilannya terlalu awal.
2. Menurut BKKBN batasan usia Dini adalah 10-21 tahun. 3. Menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. 4. Menurut Stanley Hall batasan usia remaja berada pada rentang 12-21 tahun.4 Dari keempat pengertian usia dini menurut para ahli terdapat kesamaan unsur, bahwa yang dimaksud batasan usia dini adalah sesuai dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 yang menyatakan bahwa “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. b. Perkawinan Usia Dini Perkawinan usia dini dapat didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-istri pada usia yang masih dini atau remaja. Sehubungan dengan perkawinan usia dini, maka ada baiknya kita terlebih dahulu melihat pengertian dari pada remaja (dalam hal ini yang dimaksud rentangan usianya). Golongan remaja dini adalah para gadis berusia 13-17 tahun, ini pun sangat tergantung pada kematangan secara seksual, sehingga penyimpangan-penyimpangan secara kasusistik pasti ada. Sedangkan laki-laki yang disebut remaja usia dini berarti 14-17 tahun. Kemudian apabila remaja dini sudah menginjak 17-18 tahun mereka lazim disebut golongan dini atau anak dini. Sebab sikap mereka sudah mendekati pola sikap tindak orang dewasa, walaupun dari sudut perkembangan mental belum matang sepenuhnya.
4
Pratama Dinar, Perkembangan Manusia (Human Development), www.dinarpratama.wordpress.com, diakses pada tanggal 22 Agustus 2016
Menurut Lutfiati Perkawinan usia dini yaitu merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Menurut Nuknan, Perkawinan usia dini adalah perkawinan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Sedangkan menurut Riyadi, perkawinan usia dini adalah perkawinan yang para pihaknya masih sangat dini dan belum memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam melakukan perkawinan.5 Menurut WHO Pernikahan dini atau kawin dini sendiri adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih dikategorikan remaja yang berusia dibawah 19 tahun. Perkawinan usia Dini merupakan perkawinan remaja dilihat dari segi umur masih belum cukup atau belum matang dimana di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 7 yang menetapkan batas minimal pernikahan di usia dini bagi perempuan mencapai usia 16 tahun dan laki-laki mencapai usia 19 tahun diperbolehkan untuk menikah. Menurut Aminatun, perkawinan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh usia dini antara laki-laki dengan perempuan yang mana usia mereka belum ada 20 tahun, berkisar antara 17-18 tahun. Menurut BKKBN, perkawinan usia dini adalah perkawinan yang dilakukan di bawah usia 20 tahun.6 Hal yang sama disampaikan Sarwono, perkawinan usia dini adalah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang kuat, sebagai sebuah solusi alternative.7
5
Fenti Lutfiani, Pengertian pernikahan Dini, Dampak Positif dan Negatif, 30 Oktober 2010, www.fentifen.wordpress.com, diakses pada tanggal 28 Mei 2016 6 Aminatun Zuhriarsih, Pengertian Perkawinan Usia Dini,10 April 2010,www.asihpa3.wordpress.com, dikunjungi tanggal 28 Mei 2016 7 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengertian Pernikahan Dini dan Penyebabnya, 13 April 2014, www.psychologymania.com/pengertian-pernikahan-dini.html, dikunjungi tanggal 28 Mei 2016
Sedangkan dari segi kesehatan, perkawinan usia dini itu sendiri yang ideal adalah untuk perempuan di atas 20 tahun sudah boleh menikah, sebab perempuan yang menikah di bawah umur 20 tahun berisiko terkena kanker leher rahim.
c. Perlindungan Anak Menurut Barda Nawawi Arief, perlidungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan hukum bagi anak mempunyai spektrum yang cukup luas. Dalam berbagai dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat meliputi berbagai aspek, yaitu: 1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak; 2. Perlindungan anak dalam proses peradilan; 3. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial); 4. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan; 5. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya); 6. Perlindungan terhadap anak-anak jalanan; 7. Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata;
8. Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan.8 Kesejahteraan anak merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum. Secara umum, kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.9 Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan,
serta
mendapat
perlindungan
dari
kekerasan
dan
diskriminasi”. Menurut undang-undang secara garis besar terdapat 20 (dua puluh) hak anak, yaitu: 1. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrminasi (Pasal 4); 2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5);
8
Rusmilawati, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang di Indonesia dan Beijing Rules, 25 Januari 2010, https://rusmilawati.wordpress.com/2010/01/25/perlindungan-anak-berdasarkan-undangundang-di-indonesia-dan-beijing-rules-oleh-rusmilawati-windarish-mh/, diakses pada tanggal 24 Juli 2016 9 Ibid.
3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua (Pasal 6); 4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal 7 ayat (l)); 5. Dalarn hal karena suatu sebab orang tuanya
tidak dapat menjamin
tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan perafuran perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7 ayat (2)); 6. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik" mental, spiritual dan sosial (Pasal 8); 7. Hak memperoleh pendidikan
dan pengajaran
dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (Pasal 9 ayat (1)); 8. Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) di atas, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedang bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan
pendidikan khusus (Pasal 9 ayat (2)); 9. Menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10);
10. Hak untuk berisitirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya beriman, bereaksi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri (Pasal 1l); 11. Hak untuk setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal l2); 12. Hak setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua wali atau pihak lain manpun
yang bertanggung
jawab atas pengasuhan,
berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan: a. Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran; d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan salah lainnya (Pasal 13 ayat (1)) 13. Hak Untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan
bahwa pemisahan itu adalatr
demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal l4); 14. Hak untuk memperoleh perlindungan dari: a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. Pelibatan dalam peperangan.
15. Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal l6 ayat (l)); 16. Hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (Pasal l6 ayat (2)); 17. Penangkapan, penahan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesrtai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16 ayat (3)); 18. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya b. dipisahkan dmi orang dewasa; c. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif d. dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku dan; e. Membela diri dan memperoleh keadilan didepan pengadilan anak f. yang objekttif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17 ayat (1)) 19. Hak setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 ayat (2)); 20. Hak setiap anak yang menjadi korban
atau pelaku
tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18). Undang-undang ini juga mengatur bahwa dalam hal orang tua wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (l), yaitu melakukan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan dan
perlakuan salah lainnya, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Hal ini sesuai dengan ketentuan pidana yang termuat dalam KUHP.
2. Kewenangan Pemerintah Daerah Pada Otonomi Daerah Indonesia adalah sebuah Negara yang wilayahnya terbagi-bagi atas Daerah-Daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah provinsi merupakan Wilayah Administratif yang menjadi wilayah kerja bagi Gubernur sebagai
wakil
Pemerintah
Pusat
dan
wilayah
kerja
bagi
Gubernur
dalam
menyelenggarakan urusan Pemerintahan umum di wilayah Daerah Provinsi. Daerah Kabupaten/Kota merupakan Wilayah Administratif yang menjadi wilayah kerja bagi Bupati/Wali Kota dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan umum di wilayah Daerah Kabupaten/Kota. Setiap Daerah Provinsi, Daearah Kabupaten dan Daerah Kota mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur di dalam Undang–Undang. Pemerintah Daerah penyelenggara urusan Pemerintah oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantu dengan Prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.10 Urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan Kriteria Eksternalitas, Akuntabilitas, dan Efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan susunan Pemerintah. Kriteria Eksternalitas adalah Kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul bersifat lokal atau lintas Kabupaten/Kota dan atau regional sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahaan. 10
Wikipedia, Pemerintah Daerah di Indonesia, 12 Oktober 2015, pukul 02.38, https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah_di_Indonesia, dikunjungi pada tanggal 17 oktober 2015 pukul 6.05 WIB.
Akuntabilitas
adalah
kriteria
pembagian
urusan
pemerintahan
dengan
memperhatikan pertanggung jawaban Pemerintah, Pemerintan Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Efisiensi adalah kriteria pembagian urusan Pemerintah dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan Pemerintahan antara ditangani Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau Pemerintah. Dalam menyelenggarakan Pemerintahan, Pemerintahan pusat menggunakan Asas Desentralisasi11, Tugas Pembantu12, dan Dekonsentrasi13, sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan.
Sedangkan
dalam
menyelenggarakan
Pemerintah
Daerah
menggunakan Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan. Berbica mengenai Otonomi Daerah, istilah Otonom Daerah berasal dari bahasa Yunani yaitu Autos yang artinya sendiri dan Nomos yang artinya aturan. Otonomi daerah adalah Hak, Wewenang dan Kewajiban yang diberikan kepada Daerah Otonom ntuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah dan kepentingan Masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan Pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan Perundang - Undangan.
11
Asas Desentralisasi adalah Penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem NKRI. 12 Asas Tugas Pembantu adalah Asas yang menghendaki adanya tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah otonom tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya. 13 Asas Dekonsentrasi adalah Asas yang menghendaki adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansivertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
a. b. c. d. e. f. g.
Adapun tujuan dari Otonomi Daerah, yaitu14: Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik; Pengembangan kehidupan demokrasi; Keadilan nasional; Pemerataan wilayah daerah; Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI; Mendorong pemberdayaaan masyarakat; Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Dalam menyelenggarakan Otonomi, Daerah mempunyai Hak untuk15: a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; b. Memilih pimpinan daerah; c. Mengelola aparatur daerah; d. Mengelolah kekayaan daerah; e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah; f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundangundangan; Dan yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah adalah16: a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, dan kesatuan dan kerukunan nasional sertakeutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; c. Mengembangkan kehidupan demokrasi; d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan; e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; g. Menyediakan fasilitas social dan fasilitas umum yang layak; h. Mengembangkan sistem jaminan sosial; i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; j. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah; k. Melestarikan lingkungan hidup; l. Mengelola administrasi kependudukan; m. Melestarikan nilai sosial budaya; n. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang – undangan sesuai dengan kewenangannya; dan o. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
14
Wikipedia, Otonomi Daerah, 10 Februari 2015, https://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah, dikunjungi pada 18 Oktober 2015. Pukul 6.18 WIB. 15 Pasal 19 Ayat (2) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. 16 Pasal 2 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.
Sedangkan Pemerintah Daerah juga memiliki Tugas Pembantuan dari Pemerintah Pusat untuk melaksanakan berbagai
Urusan yang telah menjadi tanggung jawab
kewenangan Pemerintahan Daerah hal ini diatur dalam Undang - Undang No 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Urusan-urusan Pemerintah tersebut terdiri dari Urusan Pemerintahan wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan wajib terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi;17 a. b. c. d. e. f.
pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan sosial.
Urusan Pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi;18 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r.
17 18
tenaga kerja; pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; pangan; pertanahan; lingkungan hidup; administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; pemberdayaan masyarakat dan Desa; pengendalian penduduk dan keluarga berencana; perhubungan; komunikasi dan informatika; koperasi, usaha kecil, dan menengah penanaman modal; kepeDinian dan olah raga; statistik; persandian; kebudayaan; perpustakaan; dan kearsipan.
Pasal 12 Undang-Undang No 2 Tahun 2015 tetang Pemerintahan Daerah Ibid.
Sedangkan yang menjadi, Urusan Pemerintahan pilihan meliputi;19 a. b. c. d. e. f. g. h.
kelautan dan perikanan; pariwisata; pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; perdagangan; perindustrian; dan transmigrasi.
Salah satu urusan wajib pemerintah adalah pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Oleh karena itu pemerintah daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah wajib melakukan amanat undang-undang tersebut. Sedangkan menurut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi, “Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak”. Berdasarkan 2 (dua) undang-undang tersebut di atas, pemerintah daerah berkewajiban melakukan berbagai upaya untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, khususnya mencegah pernikahan usia dini, yang pada akhirnya mewujudkan yang sejatera lahir dan batin. 3. Ketentuan Pernikahan Pasangan Usia Dini Dalam hubungan dengan hukum menurut Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 (enam belas) tahun untuk wanita dan 19 (sembilan belas) tahun untuk pria. Jelas bahwa undang-undang tersebut menganggap orang diatas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka
19
Ibid.
sudah diperbolehkan untuk menikah, batasan usia ini dimaksud untuk mencegah perkawinan terlalu dini. Walaupun begitu selama seorang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun masih diperlukan ijin orang tua untuk menikahkan anaknya. Setelah berusia di atas 21 tahun, calon laki-laki ataupun perempuan dapat melakukan pernikahan tanpa ijin dari orang tua yang tercantum pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Tampaklah disini, bahwa walaupun Undang-Undang tidak menganggap mereka yang diatas usia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria bukan anak-anak lagi, tetapi belum dianggap dewasa penuh. Bagi seseorang yang ingin menikah tapi masih dibawah umur diperlukan dispensasi. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) bahwa, “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”. Maka apabila salah satu atau kedua calon tidak memenuhi syarat Pasal 1 Ayat (1) maka dapat meminta dispensasi kepada pejabat dalam hal ini adalah Pengadilan Agama. 4. Teori Peran dan Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat Menurut Robert B. Seidman, untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari tiga elemen, yaitu: a. lembaga pembuat peraturan; b. pelaksana peraturan; c. pemangku peran. Tiga elemen tersebut, disebut dengan proses pembuatan hukum; proses penegakan hukum; dan pemakai hukum, merupakan hal yang sangat penting untuk menilai berfungsinya hukum atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Hukum diharapkan
dapat berfungsi optimal, dan bekerja dengan baik dalam masyarakat, serta harus diperhatikan secara sungguh-sungguh.20 Pendekatan model Seidman bertumpu pada fungsinya hukum, berada dalam keadaan seimbang. Artinya hukum akan dapat bekerja dengan baik dan efektif dalam masyarakat yang diaturnya. Diharapkan ketiga elemen tersebut harus berfungsi optimal. Memandang efektifitas hukum dan bekerjanya hukum dalam masyarakat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, lembaga pembuat peraturan;
apakah lembaga ini
merupakan
kewenangan maupun legitimasi dalam membuat aturan atau undang-undang. Berkaitan dengan kualitas materi normatifnya, apakah sudah memenuhi syarat dan jelas perumusannya. Kedua, pentingnya penerap peraturan; pelaksana harus tegas melaksanakan perintah undang-undang tanpa diskriminasi atau equal justice under law. Ketiga, pemangku peran; diharapkan mentaati hukum, idealnya dengan kualitas internalization. Perilaku dan reaksi pemangku peran merupakan umpan balik kepada lembaga pembuat peraturan maupun pelaksanan peraturan. Apakah kedua elemen tersebut telah melakukan fungsinya dengan optimal. Bekerjanya hukum tidak cukup hanya dilihat dari tiga elemen yang telah diuraikan di atas, perlu didukung lagi dengan model hukum yang dikemukakan dalam proposisiproposisi Robert B. Seidman, sebagai berikut:
20
Soetanto Soepadhy, Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat, 12 Desember 2012 www.surabayapagi.com/index.php?read=Bekerjanya-Hukum-dalam-Masyarakat, dikunjungi pada tanggal 26 Juli 2016
Pertama, setiap peraturan hukum menurut aturan-aturan, dan memerintahkan pemangku peran seharusnya bertindak dan bertingkah laku (every rule of law prescribe how a role occupant is expected to act); Kedua, respon dan tindakan yang dilakukan oleh pemangku peran merupakan umpan balik dari fungsi suatu peraturan yang berlaku. Termasuk sanksi-sanksi yaitu kinerja dan kebijakan lembaga pelaksana/penetap peraturan dan lingkungan strategis (lingstra) yang mempengaruhinya (how a role occupant will act in respons to norm of law is function of the rules laid down, their sanctions, the activity of enforcement institutions, and the inhere complex of social, political, and other forces affecting him); Ketiga, tindakan-tindakan yang diambil oleh lembaga-lembaga pelaksana peraturan sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi dari peraturan hukum yang berlaku beserta sanksi-sangksinya dan seluruh kekuatan dalam lingkungan strategi (lingstra) yang mempengaruhi dirinya, secara umpan balik sebagai respon dari pemangku peran atau yang dikenai peraturan hukum (how the enforcement institution, will act in respons to norm of law is a function of the rule laid down their sanctions, the inhere complex of social, political, and other process affecting them, and the feedbacks from role occupants); dan Keempat, tindakan apa yang diambil oleh pembuat undang-undang, juga merupakan fungsi peraturan hukum yang berlaku, termasuk sanksi-sanksinya dan pengaruh seluruh kekuatan strategis (ipoleksosbud hankam) terhadap dirinya, serta umpan balik yang datangnya dari para pemangku peran, pelaksana, dan penerap peraturan (how the law maker will act is a function of the rules laid down for their
behavior their sanction, the inhere complex of social, political, ideological, and other forces affecting them, and the feedbacks from role occupants and bureaucracy). Empat proposisi di atas, secara jelas menggambarkan bagaimana bekerjanya suatu peraturan hukum dalam masyarakat. Teori Seidman ini dapat dipakai untuk mengkaji peraturan hukum yang dibuat oleh para elite negara, dan apakah bekerjanya hukum berfungsi sebagaimana mestinya dan efektif berlakunya dalam masyarakat, atau justru sebaliknya tidak efektif bekerjanya.21 Hukum dapat bekerja dan berfungsi tidak sekedar apa yang diharapkan oleh pembuat peraturan hukum, tetapi perlu diteliti pada komponen elemen yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Maksudnya tidak bekerja itu, bisa datangnya dari pembuat peraturan hukum, atau dari para penerap peraturan/pelaksana, ataukah dari pemangku peran. Selain itu dapat dikaji kendala-kendala eksternal global yang menyebabkan hukum tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Seperti ada tekanan-tekanan dari pihak luar negeri yang tergabung dalam organisiasi internasional.
B. Hasil Penelitian 1.
Gambaran Kasus Perkawinan Usia Dini Kasus perkawinan usia dini di Kota Salatiga tergolong tinggi. Masyarakat di
wilayah Tingkir memiliki lebih banyak potensi remaja untuk melakukan perkawinan usia dini dikarenakan mempelai wanita sudah hamil terlebih dahulu. Selain itu budaya ketimuran disana masih kental sehingga apabila anak berpacaran maka untuk menghindari timbulnya fitnah kemudian orang tua akan mengajukan dispensasi nikah 21
Soetanto Soepadhy, Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat, 12 Desember 2012 www.surabayapagi.com/index.php?read=Bekerjanya-Hukum-dalam-Masyarakat, dikunjungi pada tanggal 18 Juli 2016
kepada Pengadilan Agama apabila usia putra putri mereka masih di bawah usia menikah. Beliau mengatakan bahwa banyak penolakan yang di lakukan oleh pihak KUA untuk menikahkan calon mempelai yang usianya masih berada di bawah usia menikah serta yang belum mendapatkan dispensasi nikah oleh PA sesuai dengan ketentuan Undang-undang Perkawinan.22 Berikut data yang di berikan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir, namun untuk nama mempelai laki-laki dan perempuan tidak dicantumkan karena data tersebut bersifat rahasia.
Tabel 0.1 Rekapitulasi Kasus Pernikahan Usia Dini KUA Kecamatan Tingkir Kota Salatiga 22
Wawancara dengan Ketua KUA Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, 6 Mei 2016
September 2015 s/d Desember 2015 BULAN NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
SEPTEMBER
OKTOBER
NOVEMBER
DESEMBER
USIA
USIA
USIA
USIA
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
18 15 17 15 21 15 16 19 17 17 17 17 16 15
17 18 18 15 15 15 16 16 17 16 17 19 17 16 17 16 17 15
17 17 17 15 16 16 16 15 17 20 17 17 16 15 19 15 16 19
16 15 15 17 17 17 17 17 19 15 17 19 16 15 15 16 19 15 19 15 17 17
Jumlah
7
9
9
11
JNS KEL
Sumber: Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir Salatiga Pada bulan September terdapat sebanyak 7 perkawinan usia dini. Pada bulan Oktober dan November terdapat sebanyak 9 perkawinan usia dini. Kemudian pada bulan Desember mengalami peningkatan paling tinggi di KUA Kec. Tingkir sebanyak 11 perkawinan usia dini. Selain itu, dari data tersebut dapat diketahui
bahwa lebih banyak calon mempelai laki-laki dari pada perempuan yang berada di bawah usia menikah yang sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Kebijakan yang dilakukan oleh KUA untuk mencegah terjadinya perkawinan usia dini adalah dengan menolak menikahkan calon mempelai yang berada di bawah umur dan tanpa disertai dispensasi nikah dari Pengadilan Agama Kota Salatiga sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Selain itu KUA melaksanakan sosialisasi Undang-undang melalui media sosial seperti facebook dan website.23 KUA sendiri tidak merasa bahwa lembaga tersebut mempunyai tugas untuk mencegah perkawinan usia dini sebagai alasan bahwa KUA hanya melaksanakan sebagian tugas kantor departemen agama kab/kota di bidang urusan agama Islam. Akan tetapi menurut penulis KUA merupakan salah satu lembaga strategis yang dapat mencegah perkawinan usia dini. Karena KUA mempunyai fungsi untuk menikahkan atau menolak menikahkan calon pengantin yang belum mencapai usia 16 dan 18 tahun sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Gambaran Pengajuan Dispensasi Nikah Usia Dini Dispensasi Nikah merupakan Permohonan kepada Pengadilan Agama untuk memberikan Dispensasi bagi pihak yang hendak menikah tetapi terhalang oleh umur yang belum diperbolehkan oleh Peraturan Perundang-undangan untuk menikah (Undang-undang Perkawinan).24 Di PA Kota Salatiga jumlah perkara dispensasi nikah berjumlah 308 pada tahun 2015 dari bulan Januari sampai dengan Desember. 23
Ibid. http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/layanan-publik/layanan-pengaduan/blanko-surat/209-dk terakhir di akses pada tanggal 30 Juli 2016 24
Sedangkan perkara yang dikabulkan sebanyak 210 di tahun 2015. Berdasarkan data tersebut, angka dispensasi terbanyak berasal dari Kecamatan Tingkir. 25 Berikut data yang di peroleh dari PA Salatiga: Tabel 0.2 Rekapitulasi Dispensasi Nikah yang Dikabulan Oleh PA se-Kota Salatiga Januari-Desember 2015 Dispensasi Nikah Kecamatan No. Bulan Sidomukti Tingkir Argomulyo Sidorejo 1. Januari 5 10 2 7 2. Februari 2 4 4 3. Maret 3 1 9 4. April 9 9 5. Mei 1 4 2 2 6. Juni 6 2 7 8 7. Juli 1 2 4 4 8. Agustus 5 1 1 6 9. September 7 7 1 3 10. Oktober 10 9 5 11. November 1 9 10 5 12. Desember 7 11 3 1 Jumlah 48 65 57 40 Sumber: Pengadilan Agama Kota Salatiga
Jumlah 24 10 13 18 9 23 11 13 18 24 25 22 210
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa dispensasi nikah yang di kabulkan oleh Pengadilan Agama terbanyak pada Kecamatan Tingkir yaitu sebanyak 65 permohonan. Kemudian yang paling tinggi pada bulan Desember yang mencapai 11 pengajuan yang di kabulkan oleh PA Salatiga. Apabila dilihat dari bulan Maret sampai dengan Agustus 2015 dispensasi nikah yang dikabulkan memiliki peningkatan dan penurunan secara fluktuatif. Sedangkan pada bulan September hingga Desember 2015 dispensasi nikah yang dikabulkan
25
Wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama Kota Salatiga, 5 Mei 2016
bertambah setiap bulannya atau dapat dikatakan mengalami peningkatan. Namun di PA Salatiga tidak hanya banyak permohonan yang dikabulkan saja, sebagian dari pengajuan permohonan dispensasi juga di tolak oleh Hakim PA Salatiga. Berikut data yang diperoleh dari PA Salatiga mengenai permohonan yang ditolak.
Tabel 0.3 Rekapitulasi Pengajuan Dispensasi Nikah yang Ditolak oleh PA se-Kota Salatiga Januari-Desember 2015
Dispensasi Nikah Kecamatan No.
Bulan
Sidomukti
Tingkir
Argomulyo
Sidorejo
Jumlah
1.
Januari
2
1
1
-
4
2.
Februari
7
-
4
2
13
3.
Maret
3
1
2
-
6
4.
April
1
3
5
1
10
5.
Mei
2
1
8
1
12
6.
Juni
-
-
4
`
5
7.
Juli
6
1
2
3
12
8.
Agustus
4
2
1
1
8
9.
September
-
-
3
1
4
10.
Oktober
9
-
-
-
9
11.
November
3
-
1
1
4
12.
Desember
-
-
-
1
1
Jumlah
37
9
31
11
88
Dari jumlah 308 pengajuan permohonan dispensasi nikah yang diajukan oleh orang tua calon mempelai sebanyak 88 yang ditolak oleh Hakim PA Salatiga. Penolakan permohonan terbanyak ada pada Kecamatan Sidomukti yaitu sebanyak 37 permohonan dispensasi nikah. Dapat diketahui juga bahwa penolakan paling sedikit ada di Kecamatan Tingkir sebanyak 9 permohonan. Dari kedua tabel tersebut menunjukkan bahwa memang dispensasi nikah yang dikabulkan terbanyak ada pada Kecamatan Tingkir. Secara keseluruhan diketahui bahwa angka pernikahan dini di Kota Salatiga tergolong tinggi. Beberapa pertimbangan hakim untuk mengabulkan permohonan dispensasi yang diajukan oleh orang tua calon mempelai meliputi kemaslahatan, kepastian, dan manfaat. Yang di maksud dengan kemaslahatan adalah kebaikan yang meliputi faktor psikis dan fisik. Faktor psikis yang dimaksud apakah anak yang belum mencukupi umur sudah siap secara mental untuk melangsungkan pernikahan dengan menanggung akibat-akibat hukum dari pernikahan. Sedangkan faktor fisik adalah kemampuan yang dimiliki oleh
kedua calon mempelai untuk mencukupi kehidupan rumah tangga dari segi penghasilan maupun kesiapan fisik untuk mengandung serta melahirkan di usia dini bagi calon mempelai wanita. Kemudian yang dimaksud dengan kepastian adalah apabila calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan belum mempunyai penghasilan yang cukup untuk membina sebuah rumah tangga maka orang tua calon mempelai dapat memastikan bahwa mereka sanggup untuk menanggung semua biaya-biaya rumah tangga hingga calon mempelai memiliki penghasilan sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan kemanfaatan adalah apabila calon mempelai sudah menjalin hubungan yang erat dan untuk menghindari fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan maka hakim mempertimbangkan untuk mengabulkan permohonan dispensasi nikah.26 Menurut Ketua Pengadilan Kota Salatiga, mengabulkan perkara dispensasi nikah dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut merupakan kebijakan yang ditempuh oleh Hakim untuk mencegah pernikahan usia dini karena Hakim telah menimbang seberapa besar dan kecil resiko yang dapat diakibatkan. Beliau mengatakan bahwa sebagai contoh apabila mempelai perempuan sudah mengalami hamil terlebih dahulu kemudian untuk memenuhi hak anak yang berada di kandungan maka Hakim mempertimbangkan akibat-akibat hukum apabila anak itu sudah lahir ke dunia. Dengan mengabulkan permohonan dispensasi nikah tersebut, maka hak-hak anak untuk mendapatkan keluarga yang utuh dapat terpenuhi sesuai dengan Undang-undang Kesejahteraan Anak dengan tidak mengesampingkan kemaslahatan, kepastian dan manfaat.27 2. Tugas Pokok
26 27
Ibid. Ibid.
a. Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Keluarga Berencana dan Ketahanan Pangan Kota Salatiga Berdasarkan Perwali Nomor 55 Tahun 2011 Tentang Uraian Tugas Pokok dan Fungsi dan Uraian Tugas Pejabat Struktural Pasal 61 ayat 1 Bapermas memiliki susunan organisasi yaitu
Bidang Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak yang memiliki Subbidang Pengarusutamaan Gender dan Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan; dan Subbidang Perlindungan Anak dan Peningkatan Kualitas Hidup Anak. Adapun ketentuan Perwali Nomor 55 tahun 2011 Pasal 75 ayat (1) dan (2) adalah “Subbidang Perlindungan Anak dan Peningkatan Kualitas Hidup Anak mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan rencana kegiatan dan bahan perumusan kebijakan operasional perlindungan hukum hak-hak anak.” “Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksu pada ayat 1. Subbidang Perlindungan Anak dan Peningkatan Kualitas Hidup Anak mempunyai uraian tugas sebagai berikut : a). Menyusun rencana kerja sesuai ketentuan yang berlaku sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas; b). Menyusun konsep perumusan kebijakan teknis dan prosedur kerja; c). Melakukan upaya terciptanya kesejahteraan dan perlindungan anak; d). Melakukan hubungan kerja dengan komponen dan instansi terkait dalam pelaksanaan kebijakan terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak; e). Melakukan koordinasi dan fasilitas penanganan korban KDRT terhadap anak; f). Memfasilitasi pendampingan, advokasi, dan konseling terhadap anak korban KDRT; g). Melakukan koordinasi dan fasilitasi dalam pencegahan perdagangan anak; h). Melaksanakan pengumpulan, pengolahan, dan analisis dan penyebarluasan sistem informasi anak.” Dari tugas pokok di atas khususnya dalam upaya terciptanya kesejahteraan dan perlindungan anak dan juga melakukan hubungan kerja dengan komponen dan instansi terkait dalam pelaksanaan kebijakan terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak, Bapermas Kota Salatiga membuat kebijakan berupa sosialisasi dan pembinaan. Sosialisasi ini dilakukan dengan melakukan kerja
sama dengan instasi terkait, khususnya Dinas Pendidikan Kota Salatiga dan sekolah-sekolah sasaran. b. Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan tugas KUA adalah melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten dan Kota di bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, maka KUA melaksanakan fungsi : a). Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi; b). Menyelenggarakan surat-menyurat, kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga KUA Kecamatan; c). Melaksanakan pencatatan nikah, rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal, dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam PMA Nomor 39 Tahun 2012 Bab I Pasal 2 “KUA menyelenggarakan fungsi : a). Pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk; b). Penyusunan statistik, dokumentasi dan pengelolaan sistem informasi manajemen KUA; c). Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga KUA; d). Pelayanan bimbingan keluarga sakinah; e). Pelayanan bimbingan kemasjidan; f). Pelayanan bimbingan pembinaan syariah; g). Penyelenggaraan fungsi lain di bidang agama Islam yang ditugaskan oleh Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten atau Kota.”
c. Pengadilan Agama Kota Salatiga Pengadilan Agama merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang memberikan layanan hukum bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkaraperkara di tingkat pertama di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam serta waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Tugas pokok Pengadilan Agama ialah a). Menerima, memeriksa, mengadili, menyelesaikan atau memutus setiap perkara yang diajukan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970; b). Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman adalah “Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Berdasarkan Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa “Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Perkara di tingkat Pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan ekonomi syariah serta pengangkatan anak”. Kemudian tugas pokok dan fungsi Ketua Pengadilan Agama sesuai dalan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah memimpin pelaksanaan tugas Pengadilan
Agama
dalam
mengawasi,
mengevaluasi,
dan
melaporkan
pelaksanaan tugas sesuai dengan kebijakan tugas menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Sedangkan tugas pokok dan fungsi Hakim Pengadilan Agama sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah menerima dan meneliti berkas perkara serta bertanggung jawab atas perkara yang diterima yang menjadi wewenangnya baik dalam proses maupun penyelesaiannya sampai dengan minutasi. Serta berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Agama menyusun program kerja jangka panjang dan jangka pendek dan melaksanakan pengawasan bidang Bidalmin atas perintah Ketua. 3. Kebijakan Lembaga Pencegah Perkawinan Usia Dini Untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini dapat dilakukan upaya pencegahan primer, yaitu pencegahan dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebijakan lain dari kebijakan umum. Tujuannya untuk menciptakan kondisi yang sangat memberikan harapan bagi keberhasilan sosialisasi untuk setiap anggota masyarakat. Upaya ini berwujud sosialisasi, sarasehan, seminar dan lain-lain. 1. Kebijakan Bapermas, Perempuan, KB dan KP a) Bekerja sama dengan Dinas Pemuda dan Olah Raga Kota Salatiga melakukan sosialisasi remaja dalam pembangunan. Sosialisasi dilakukan setiap tahun ketika tahun ajaran baru. Peserta sosialisasi adalah siswa-siswi di sekolah masing-masing; b) Seminar kepribadian, seminar ini mendatangkan narasumber dari pejabat pemerintah dan akademisi yang materinya meliputi kepribadian dan
pendewasaan diri dilaksanakan 3 (tiga) bulan sekali, yang sasarannya adalah siswa-siswi SMP dan SMA se- Kota Salatiga; c) Seminar kesehatan yang dilakukan dengan bekerjasama dengan instansi terkait, seperti Puskesmas, Dinas Kesehatan, UKS. Seminar ini dilakukan setiap 4 (empat) bulan, dengan sasaran siswa-siswi SMP, SMA, dan mahasiswa-mahasiswi, dengan materi seperti kesadaran AIDS bagi para remaja, kesadaran kesehatan lingkungan, kesehatan reproduksi wanita, dan lain-lain; d) Seminar kesetaraan gender dengan menghadirkan narasumber, beranggotakan mahasiswa-mahasiswi dan perwakilan Gabungan Organisasi Wanita (GOW), pelaksanaan 2 bulan sekali; e) Penyuluhan kesehatan masyarakat melalui media massa; f) Sosialisasi pendidikan : beranggotakan remaja dan orang tua, dilaksanakan di tiap-tiap tahun ajaran baru. Contohnya penyuluhan pendidikan wajib belajar 12 tahun; g) Layanan konseling bagi para remaja dan masyarakat; h) Peningkatan kesegaran jasmani remaja, dilaksanakan melalui penyuluhan yang diberikan ke tiap-tiap sekolah dengan cara himbauan terhadap guru (Kepala Sekolah) untuk meningkatkan kegiatan olahraga di sekolah, dengan harapan anak dapat berprestasi di bidang non akademik. 2. Kebijakan Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir Kebijakan yang dilakukan oleh KUA Kecamatan Tingkir adalah pemberian pembinaan berupa nasehat, wejangan-wejangan bagi calon pengantin.
KUA Kecamatan Tingkir akan menolak pengajuan pernikahan yang usianya di bawah umur yang belum mendapatkan dispensasi nikah sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang perkawinan. Hal ini untuk mencegah agar tidak terjadi pernikahan usia muda. KUA kec. Tingkir memiliki kebijakan pembinaan keluarga sakinah yang meliputi pembinaan aspek agama dan pendidikan yang dilakukan secara berkala bersama masyarakat kecamatan Tingkir sesuai dengan KMA Nomor 517 Tahun 2001 tentang Penataan Struktur Organisasi KUA Kecamatan. Selain itu KUA juga melakukan sosialisasi Undang-undang Perkawinan serta syarat pengajuan pernikahan melalui media facebook dan website. Sosialisasi tersebut dilakukan bertujuan untuk mencegah orang-orang awam yang tidak sadar hukum akan hukum keluarga, salah satunya perkawinan.28
3. Kebijakan Pengadilan Agama Ada 2 (dua) kemungkinan putusan terhadap permohonan dispensisai penikahan di bawah umur, yaitu ditolak dan diterima. Dalam memberikan putusan ditolak atau diterima hakim mempunyai berbagai pertimbangan. Permohonan dispensasi ditolak antara lain bila anak tersebut apabila anak tersebut belum terlanjur hamil, masih dimungkinkan untuk melanjutkan ke pendidikan atau sekolah yang lebih tinggi dan juga kedua orang masih bisa merawat anak tersebut. Namun jika permohonan dispensasi ditolak, hakim dalam Pengadilan Agama Kota Salatiga dalam memberikan dispensasi nikah usia dini terdapat 2 (dua) pertimbangan. 28
Wawancara dengan Ketua KUA Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, 7 Mei 2016
Pertama, bahwa calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat untuk menikah kecuali syarat umur yang didasarkan pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) mengenai batas usia minimal untuk menikah, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama, atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak laki-laki maupun perempuan. Pada pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk mengabulkan permohonan dispensasi nikah karena Pengadilan Agama merupakan lembaga yang berwenang mengenai permohonan usia perkawinan. Kedua, pertimbangan hakim pada menolak kemafsadhatan29 adalah lebih didahulukan
daripada
menarik
kemaslahatan.
Bahwa
mayoritas
alasan
permohonan dispensasi nikah adalah karena telah terjadi kehamilan terlebih dahulu sebelum adanya perkawinan. Hakim memandang bahwa mengabulkan permohonan dispensasi nikah dapat menghindari kerusakan. Hal ini dikarenakan pernikahan adalah sesuatu yang sesuatu yang sangat mendesak dan harus segera dilakukan agar status kedua calon mempelai jelas dan status anak yang akan dilahirkan nanti juga akan jelas dan jika anak sudah terlanjur hamil maka dia akan dikeluarkan dari sekolah. Dengan demikian memberikan dispensasi nikah ini memang diperlukan ijtihad hakim dalam memutus perkara karena di dalam undang-undang tidak ada aturan yang memberikan landasana hukum kriteria apa yang
dikabulkannya
dispensasi nikah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan 29
Kemafsadhatan adalah kerusakan atau akibat buruk yang menimpa seseorang (kelompok) karena perbuatan atau tidakan pelanggaran hukum; eks, perjudian dapat menimbulkan kemiskinan, kemalasan, atau kejahatan lainnya, www.artikata.com, dikunjungi pada tanggal 28 Juli 2016
Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya memberikan dasar hukum kebolehan bagi para pihak yang ingin menikah tetapi belum cukup usianya. Karena hakim sebagai organ pengadilan dianggap mengetahui dan memahami hukum, sehingga apabila hakim tidak menemukan hukum tertulis dalam bentuk peraturan perundangundangan, maka hakim wajib berijtihad dan menggali hukum yang tidak tertulis.30 Oleh karena itu, hakim dalam memutus perkara tidak hanya berfikir tekstualis tetapi harus berfikir progresif, sehingga mampu menggali nilai-nilai kebenaran baik dari sumber hukum tertulis maupun tidak tertulis. Dengan demikian hakim disini bertindak sebagai pembuat undang-undang dalam arti konkrit, karena hakim menemukan sekaligus menerapkan pada kasus konkrit yang sedang dihadapi.31 4. Tokoh Masyarakat Tokoh masyarakat dan tokoh agama juga mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya pencegahan pernikahan usia dini. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan nasehat ataupun himbauan melalui pertemuan, pengajian atau forum lain, yang intinya mengajak masyarakat sekitar untuk tidak melakukan pernikahan di usia muda, melanjutkan sekolah ke pendidikan yang lebih tinggi. Tokoh masyarakat dan tokoh agama juga meminta Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berfikir dua kali terlabih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu juga pemerintah harusnya mensosialisasikan aturan30
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Penerbit PT. LkiS Pelangi, Yogyakarta, 2005, hal 27 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, 2008, hal 469 31
aturan terkait pernikahan di bawah umur beserta sanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan risiko-risiko terburuk yang akan terjadi akibat pernikahan anak. Dengan hal itu diharapkan masyarakat luas tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Pemerintah secara umum harus berkomitmen dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur, sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berfikir kembali atau mempertimbangkan terlebih dahulu sebelum melakukannya. Secara umum kebijakan yang dilakukan pemerintah sampai saat ini, baik Bapermasper, KB dan KP, Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir dan Pengadilan belum maksimal karena pada kenyataannya kasus pernikahan usia dini di Kecamatan Tingkir cenderung meningkat.
C. Analisis 1. Peran Lembaga-Lembaga Pencegah Perkawinan Usia Dini di Salatiga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam Bagian Kedua Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, Pasal 21 menyebutkan:
a. Ayat 1 bahwa “Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental”; b. Ayat 3 bahwa “Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan Perlindungan Anak”; c. Ayat 4 bahwa “Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak dan melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah”. Dari pasal tersebut di atas jelas bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa diskriminasi, sehingga Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, bahwa anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Kesejahteraan anak merupakan suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Pemerintah juga berkewajiban melakukan upaya kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi. Hal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa perlindungan anak ini merupakan salah satu urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Pemerintah Daerah berdasarkan asas desentralisasi atau pelimpahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, berkewajiban menyelenggarakan pelindungan anak. Untuk melaksanakan urusan perlindungan anak ini, Pemerintah Kota Salatiga berdasarkan Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 11 Tahun 2008 jo Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Salatiga Pasal 7 bahwa suatu lembaga teknis yaitu Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Keluarga Berencana dan Ketahanan Pangan. Sesuai dengan ketentuan Perwali Nomor 55 Tahun 2011 yang salah satu tugas pokoknya melakukan upaya terciptanya kesejahteraan dan perlindungan hukum terhadap anak. Bapermas mempunyai wewenang untuk mencegah pernikahan usia dini karena menurut beliau pernikahan usia dini rentan KDRT karena usia remaja masih memiliki kondisi mental yang labil. Remaja yang melakukan pernikahan usia dini sering kali belum mapan dalam memenuhi hak dan kewajiban dalam perkawinan. Sehingga hal tersebut yang dapat menjadi faktor timbulnya KDRT. Di samping itu resiko kesehatan bagi remaja yang melahirkan di usia muda karena dapat mengakibatkan kematian ibu dan bayi.
Hal itu juga menyebabkan terputusnya akses pendidikan bagi remaja yang hamil diluar nikah dan laki-laki yang menghamilinya, karena tidak banyak anak yang melakukan pernikahan usia dini dapat melanjutkan sekolah setelah menikah.32 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut agama masing-masing dan dicatat menurut peraturan yang berlaku. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan tugas KUA
dan PMA
Nomor 39 Tahun 2012 salah satu tugas KUA adalah melaksanakan pencatatan nikah. KUA sebagai lembaga resmi yang bertugas melakukan pencatatan nikah, khususnya untuk yang beragama Islam berhak menolak pernikahan yang tidak memenuhi syarat pernikahan, yaitu perkawinan/ pernikahan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jadi KUA bisa melakukan pencegahan pernikahan jika calon pengantin belum memenuhi persyaratan umur yang dipersyaratkan. Ketua KUA Kecamatan Tingkir Kota Salatiga mengatakan bahwa beliau setuju dengan adanya kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk mencegah pernikahan usia dini. Karena menurut beliau pernikahan usia dini dapat menghambat perkembangan diri remaja. Namun KUA tidak memiliki kewenangan untuk mencegah pernikahan usia dini. KUA hanya dapat menolak calon mempelai yang berusia dibawah 16 dan 18 tahun saja.33
32
Wawancara dengan Kepala Sub Bidang Perlindungan dan Peningkatan Kualitas Hidup Anak Kota Salatiga, 7 Mei 2016 33 Wawancara dengan Ketua KUA Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, 7 Mei 2016
Dalam hal pernikahan/ perkawinan di bawah umur yang tidak sesuai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat 1, maka di ayat 2 dinyatakan bahwa penyimpangan persyaratan umur minimal tersebut dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Pejabat lain yang dimaksud adalah pejabat di Kementrian Agama, namun sekarang yang yang boleh member dispensasi hanya pengadilan. Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam serta waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi syariah. Jadi dalam hal ini yang berwenang adalah Pengadilan Agama. Ketua Pengadilan Kota Salatiga mengatakan bahwa pernikahan usia dini harus dicegah serta perlu adanya instrumen yang mengatur secara jelas bawah pernikahan usia dini itu harus dicegah. Beliau juga mengatakan bahwa Pengadilan agama secara tidak langsung memiliki wewenang untuk melakukan pencegahan pernikahan usia dini walaupun tidak ada instrumen yang mengatur secara eksplisit. Beliau berpendapat bahwa Pengadilan Agama juga merupakan bagian dari Pemerintahan Kota Salatiga.34 Berdasarkan hasil analisis terhadap teori, hasil penelitian berupa data dan juga
34
peraturan
perundang-undangan
yang terkait
dapat
Wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama Kota Salatiga, 8 Mei 2016
dikatakan
bahwa
Bapermasper, KB dan KP Kota Salatiga, KUA Kecamatan Tingkir, dan Pengadilan Agama mempunyai peran dalam usaha pencegahan pernikahan usia dini. Lembaga-lembaga tersebut menurut teori Robert B. Seidman berperan sebagai pelaksana peraturan. Pelaksanan peraturan harus
tegas melaksanakan
perintah undang-undang tanpa diskriminasi atau equal justice under law. Jadi masing-masing lembaga tersebut harus berbuat atau melakukan sesuatu sesuai dengan perintah peraturan yang sesuai dengan lingkup bidang tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
2. Bentuk Kebijakan Lembaga Pencegah Perkawinan Usia Dini a. Bentuk Kebijakan Bapermas Kota Salatiga Hasil analisa berbagai data yang diperoleh dari wawancara, didapatkan bahwa bentuk kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Bapermas Kota Salatiga dalam rangka mencegah pernikahan usia dini adalah bersifat edukatif, yaitu bertujuan untuk pendidikan atau pembelajaran bagi remaja di Kota Salatiga dalam hal ini pelajar dan mahasiswa. Hal ini sebagai wujud upaya pencegahan atau preventif, dengan harapan pelajar dan mahasiswa mengerti dampak negatif atau kerugian-kerugian dari pernikahan usia muda, sehingga diharapkan mereka tidak akan melakukannya. Bahwa kebijakan tersebut diambil untuk mengurangi atau menghilangkan kemungkinan terjadinya pernikahan usia dini di masa yang akan datang. Mengingat
bahwa
Bapermas
memiliki
tugas
untuk
melaksanakan
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan perlindungan anak, salah satunya mencegah pernikahan usia dini. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan teknis, pembinaan, dan
sosialisasi. Apabila dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Bapermas adalah melakukan sosialisasi remaja yang bertema remaja dalam pembangunan, sosialisasi remaja yang bertema kepribadian, sosialisasi remaja yang bertema kesehatan, sosialisasi remaja yang bertemakan kesetaraan gender, sosialisasi pendidikan, dan lain-lain. Dapat dilihat bahwa kegiatan-kegiatan yang ditempuh oleh Bapermas Kota Salatiga masih sebatas sosialisasi saja. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak meliputi kegiataan pembinaan yang seharusnya menjadi program Bapermas untuk mencegah pernikahan usia dini. Selain itu Bapermas sendiri belum membuat kebijakan teknis secara eksplisit mengenai tindakan pencegahan pernikahan usia dini serta penjabaran tugas secara teknis operasional dilapangan. Sejauh ini Bapermas hanya berpedoman pada Perwali Nomor 55 tahun 2011 tentang Tugas Pokok dan Fungsi dan Uraian Tugas Pejabat Struktural. Dengan tidak adanya kebijakan teknis yang mengatur tentang pencegahan pernikahan usia dini maka dapat menghambat peran Bapermas dalam melaksanakan tugas-tugas serta kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mencegah pernikahan usia dini. Maka dari itu Bapermas belum maksimal dalam melaksanakan kebijakannya. Tidak hanya itu bahwa sasaran dari kebijakan sosialisasi yang dilaksanakan oleh Bapermas hanya remaja saja, padahal yang perlu ditingkatkan kesadarannya tidak hanya anak tetapi juga orang tua. Hal ini dikarenakan orang tua mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) butir c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Oleh karena itu orang tua juga harus diberikan pengertian-pengertian dan penjelasan terhadap larangan pernikahan usia dini.
Dengan melihat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Bapermas hanya sebatas sosialisasi saja maka kebijakan Bapermas belum maksimal. Kemudian melihat data yang di peroleh dari KUA dan PA, pernikahan usia dini terus meningkat setiap bulan. Hal tersebut juga sebagai indikasi bahwa kebijakan Bapermas belum berjalan dengan optimal. Pendidikan dan penjelasan tentang larangan pernikahan anak usia dini selain pelajar dan orang tua, juga masyarakat secara luas. Masyarakat baik orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat dan siapapun harus turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak usia muda yang ada di sekitar mereka. b. Bentuk Kebijakan Kantor Urusan Agama Kantor Urusan Agama merupakan unit kerja Kementrian Agama yang secara institusional berada paling depan dan menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat di bidang keagamaan. Sesuai dengan KMA Nomor 517 Tahun 2001 penataan struktur organisasi KUA Kecamatan yang menangani tugas dan fungsi pencatatan perkawinan, wakaf dan kemesjidan, produk halal, keluarga sakinah, ibadah sosial dan kemitraan umat. Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir juga mempunyai peran dalam upaya pencegahan pernikahan usia dini dengan cara menolak semua pengajuan permohonan pernikahan yang masih di bawah umur yang belum mendapatkan dispensasi nikah sebagaimana dipersyarat dalam undang-undang perkawinan dan pembinaan keluarga sakinah yang meliputi pembinaan aspek agama dan pendidikan. Bentuk kebijakan yang dilakukan KUA bersifat edukatif yaitu bertujuan untuk pendidikan atau pembelajaran dalam bentuk pembinaan atau pengarahan yang
dilakukan bagi setiap calon pasangan pengantin yang akan melaksanakan pernikahan. Kebijakan untuk menolak calon pengantin yang belum berada pada usia nikah dan belum mendapatkan dispensasi nikah dari PA sudah dilaksanakan oleh KUA Kec. Tingkir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun dalam pelaksanaan pembinaan keluarga sakinah sasaran kegiatan hanya pada orang tua saja. Padahal membina jiwa agama dan pendidikan pada anak-anak merupakan bagian dari pembinaan keluarga sakinah, sehingga anak dalam hal ini para remaja mengetahui dengan benar nilai-nilai agama dan pendidikan sejak pada usia dini. Maka dari itu kebijakan yang dilaksanakan oleh KUA Kecamatan tingkir masih dirasa kurang optimal. Selain itu tingkat pernikahan usia dini di Kecamatan Tingkir masih terus meningkat. KUA
Kec.
Tingkir
juga
memiliki
program
kebijakan
untuk
mensosialisasikan Undang-undang Perkawinan melalui media sosial. Kebijakan tersebut bertujuan agar masyarakat Salatiga, khususnya kec. Tingkir dapat memiliki kesadaran hukum tentang Hukum keluarga. Namun sosialisasi hanya sebatas melalui media sosial facebook dan website saja. Hal ini juga yang membuat kebijakan KUA kec. Tingkir tidak maksimal. c. Bentuk Kebijakan Pengadilan Agama Pengadilan Agama juga berperan dalam upaya pencegahan pernikahan usia dini dengan cara menolak atau mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur. Keputusan menolak atau menerima ini diwujudkan dalam bentuk sebuah penetapan pengadilan. Dalam memberikan suatu keputusan menolak atau menerima
ini tentunya hakim sudah melakukan penelitian dan pertimbangan-pertimbangan khusus. Jadi Pengadilan Agama melakukan upaya pencegahan pernikahan usia dini melalui suatu penetapan (beschikking). Pernikahan usia dini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan atau peraturan pemerintah, oleh karena itu harus dilakukan upaya pencegahan (preventif) agar tidak terjadi di waktu yang akan datang. Pencegahan merupakan suatu proses antisipasi, identifikasi, dan estimasi risiko akan terjadinya suatu pelanggaran dan melakukan inisiasi atau sejumlah tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi pelanggaran. Mengingat bahwa pertimbangan hakim untuk menolak permohonan dispensasi nikah adalah dengan lebih mendahulukan kemaslahatan dengan menolak kemafsadhatan35. Maka apabila kondisi calon baik secara fisik atau psikis mampu untuk melakukan pernikahan dini maka permohonan tersebut akan di kabulkan. Pengadilan Agama sendiri memiliki hambatan bahwa apabila calon mempelai wanita sudah mengalami hamil terlebih dahulu maka Hakim PA akan mengabulkan permohonan dispensasi nikah dengan tujuan untuk upaya perlindungan hukum terhadap anak yang ada dalam kandungan. Mengingat Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1) bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Mengingat mempelai yang melakukan pernikahan usia dini juga belum memenuhi syarat untuk menikah karena usianya masih berada di bawah usia nikah,
35
Kemafsadhatan adalah kerusakan atau akibat buruk yang menimpa seseorang (kelompok) karena perbuatan atau tidakan pelanggaran hukum; eks, perjudian dapat menimbulkan kemiskinan, kemalasan, atau kejahatan lainnya, www.artikata.com, dikunjungi pada tanggal 28 Juli 2016
maka yang menjadi pertimbangan hakim adalah lebih mendahulukan kemaslahatan dengan menolak kemafsadhatan. Selain itu karena pengajuan dispensasi nikah didominasi oleh mempelai wanita yang telah hamil terlebih dahulu maka permohonan yang di kabulkan lebih banyak daripada yang ditolak. Kebijakan tersebut akan menjadi optimal apabila kegiatan pencegahan yang dilakukan oleh instansi lain yang dalam hal ini adalah KUA dan Bapermas Kota Salatiga dapat berjalan dengan lancar dan tepat sasaran. Kegiatan-kegiatan tersebut akan membantu mengurangi tingkat pengajuan permohonan dispensasi nikah apabila para remaja sudah mengerti betul akibat-akibat negatif yang dapat ditimbulkan oleh pernikahan usia dini. Dari ketiga lembaga pencegah perkawinan usia dini tersebut, apabila dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman basis bekerjanya hukum adalah masyarakat, maka hukum akan dipengaruhi oleh faktor-faktor atau kekuatan sosian mulai dari tahap pembuatan sampai dengan pemberlakuan. Kekuatan sosial akan berusaha masuk dalam setiap proses legislasi secara efektif dan efisien. Memandang efektifitas hukum dan bekerjanya hukum dalam masyarakat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, lembaga pembuat peraturan, apakah lembaga ini merupakan kewenangan maupun legistimasi dalam membuat aturan atau undang-undang. Secara normatif bahwa KUA tidak memiliki peran untuk mencegah perkawinan dini secara tersurat, namun dalam tugas pokok dan fungsinya KUA dapat menjadi lembaga pencegah pekawinan usia dini. Kemudian Pengadilan Agama Kota Salatiga dan Bapermas Kota Salatiga secara normatif
mempunyai tugas untuk mencegah perkawinan dini. Kedua lembaga tersebut memenuhi syarat sebagai lembaga pencegah perkawinan dini. Kedua, pentingnya penerap peraturan dimana pelaksana harus tegas melaksanakan perintah undang-undang tanpa diskriminasi atau equal justice under law. Ketiga, pemangku peran diharapkan mentaati hukum. Bekerjanya hukum tidak cukup hanya dilihat dari ketiga elemen tersebut saja. Perlu didukung lagi dengan model hukum yang dikemukakan dalam proporsi Robert B. Seidman sebagai berikut, yang pertama, “every rule of law perscribe how a role occupant is expected to act.”36 Setiap peraturan hukum menurut aturan-aturan dan memerintahkan pemangku peran dalam hal ini adalah KUA, PA, dan Bapermas sebagai lembaga pencegah perkawinan usia ini seharusnya bertindak dan bertingkah laku. Apabila dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut maka menurut teori Robert B. Seidman bahwa belum berfungsi sebagaimana mestinya dan belum optimal dalam masyarakat.
36
Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science Perspektive, 13 Mei 2014, http://zriefmaronie.blogspot.co.id, dikunjungi pada tanggal 24 Agustus 2016