BAB II KEMISKINAN DALAM AL-QUR’ĀN
A. Pengertian Miskin Secara bahasa aslinya (Arab), Kata miskin ( )مسكنيmerupakan Ism mashdar yang berawalan mim, berasal dari sakana-yaskūnu - sukūnan/ miskīn. Dilihat dari asalnya, sakana-sukun, kata ini berarti “diam”, “tetap” atau “reda”.1 al-Qur’ān dan hadits tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan. Dan sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan al-Qur’ān, untuk istilah tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan tolak ukur kemiskinan maupun kefakiran. Sebagian mereka berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedangkan miskin adalah yang memiliki penghasilan di atas itu, namun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Ada juga yang berpendapat sebaliknya. Al-ashfahani dan Ibnu Manzur misalnya, mengartikan kata miskῑn sebagai “tetapnya sesuatu setelah ia bergerak”. Selain itu, juga bisa diartikan sebagai “tempat tinggal”. Seperti masakina thayyibah (مساكن ط ّيبة: beberapa tempat tinggal yang baik di dalam surga) (Qs. at-Taubah [09]: 72).2
1
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’ān: Kajian Kosa Kata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 610. 2 M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’ān: Kajian Kosa Kata,… hlm. 610.
16
17
Adapun menurut ulama tafsir diantaranya Ibnu Katsir, melalui penafsiranya terhadap Qs. an-Nisā’ [02]: 36, mengartikan fakir miskin sebagai orang yang tidak memiliki sesuatu yang dapat dibelanjakan.3 Miskin diartikan juga sebagai orang-orang yang membutuhkan yakni orang yang tidak mendapatkan pihak yang memenuhi kifayahnya. Maka Allah menyuruh manusia untuk membantu mereka dengan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhanya dan menghilangkan kemudaratanya.4 Adapun
menurut
al-Qurthubi,
Yaitu
secara
tekstual
beliau
membedakan antara fakir dan miskin. Salah satu kondisi dari keduanya lebih parah dibandingkan yang satunya. Namun tetap saja menurut beliau keduanya sama-sama berada dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa keduanya hampir sama, lebih dapat dibenarkan dan diunggulkan. Qurthubi mengungkapkan bahwa pendapat yang diikuti oleh para pengikut Malik, yang juga menjadi salah satu pendapat asySyafi’i, yang menyebutnya bahwa keduanya bermakna sama adalah pendapat yang sangat baik.5 Selanjutnya menurut Hamka, fakir dan miskin dianggap sebagai suatu kondisi yang sama. Hanya saja kadang orang miskin itulah yang lebih susah, sebab dia malu untuk meminta. Dia adalah berusaha sebagai nelayan dengan perahunya tadi, tetapi tidak mencukupi. Di luar kadang-kadang tidak kelihatan bahwa dia orang susah, sebab dia menjaga harga diri. Penjelasan hamka 3 4
Ibn Katsir, Tafsῑr al-Qur’ānil Adzim, juz. III, Cet.VI (Riyad: Darussalam, 2004), hlm. 2181. Ibn Katsir, Tafsῑr al-Qur’ānil Adzim, juz I, Cet. IV (Beirud: Muassasah arrayan, 1998), hlm.
645. 5
Al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’ān, Juz 8, Cet. I trj. Budi Rosyadi, et.all (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 410-412.
18
tentang arti miskin ini dilandasi pada kedua dalil yakni Qs. al-Kahfi ayat 79 dan sebuah hadits Rasulullah Saw yang dirawikan oleh Bukhari, Muslim dan beberapa ulama hadits yang lain dari Abu Hurairah.6 Sedangkan Ibnu Jarir ath-Thabari mengemukakan perbedaan antara fakir dan miskin. Fakir adalah orang yang butuh sesuatu, tetapi dapat menahan diri dari sifat meminta-minta, sedangkan miskin juga orang yang butuh sesuatu, tapi suka meminta-minta kepada orang lain karena jiwanya lemah (Qs. al-Baqarah [02]: 61 dan Qs. al-Imran [03]: 112). Ath-Thabari melandasi pada beberapa riwayat, diantaranya dari Ibnu Abbas, Jabir, az-Zuhri, dan Mujahid, bahwa orang fakir itu tetap dirumah mereka; kendati butuh, mereka dapat menahan diri dari meminta-minta, sedangkan orang miskin pergi keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan minta-minta. Dari keterangan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa miskin menurut ulama bahasa tidak jauh berbeda dengan pendapat ulama tafsir. Yaitu miskin disebut sebagai orang yang berada dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan, atau orang yang tidak dapat memperoleh sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meski demikian, bisa jadi apa yang telah dikemukakan diatas tersebut dapat saja berubah. Karena seperti yang sudah dijelaskan bahwa al-Qur’ān dan hadits tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan. Namun yang pasti, bahwa al-Qur’ān menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu.
6
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz X,... hlm. 248.
19
B. Klasifikasi Ayat-Ayat tentang Kemiskinan Kata سكنdengan segala derevasinya dalam al-Qur’ān ditemukan sebanyak 69 kali. Tentunya tidak semua bermakna orang miskin. Adapun yang bermakna orang miskin terdapat 23 ayat dan disampaikan dalam termterm berikut:7 1) مسكين, term ini terdapat dalam dua ayat, al-Baqarah [2]: 184 dan al-Qalam [68]: 24; 2) مسكينا, term ini terdapat dalam tiga ayat, al-Mujādilah [58]: 4, al-Insān [76]: 8 dan al-Balad [90]: 16; 3) المسكين, term ini terdapat dalam enam ayat, al-Hāqqah [69]: 34, al-Mudaṡir [74]: 44, al-Fajr [89]: 18, al-Mā’ūn [107]: 3; al-Isrā’ [17]: 26, dan ar-Rūm [30]: 38; 4) مساكين, term ini terdapat dalam tiga ayat, al-Maaidah [5]: 89, 95 dan alKahfi [18]: 79; 5) المساكين, term ini terdapat dalam sembilan ayat, al-Baqarah [2]: 83, 177, 215, al-Nisā’[4]: 8, 36, al-Anfāl [8]: 41, at-Taubah [9]: 60, al-Nūr [24]: 22, dan al-Hasyr [59]: 7. Dari 23 ayat tersebut, ayat yang menyebut orang miskin sebagai pihak yang harus dibantu kehidupan ekonominya sebanyak 21 ayat, yaitu al-Baqarah [2]: 83, 177, 184, 215, al-Nisā’ [4]: 8, 36, al-Mā’idah [5]: 89, 95, al-Anfāl [8]: 41, at-Taubah [9]: 60, al-Isrā’[17]: 26, an-Nur [24]: 22, ar-Rūm [30]: 38, al-
7
Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fad al-Qur’ānil Karῑm, (Beirūd: Dār al-Fikr), hlm. 354.
20
Mujādilah [58]: 4, al-Hasyr [59]: 7, al-Hāqqah [69]: 34, al-Mudaṡir [74]: 44, al-Insān [76]: 8, al-Fajr [89]: 18, al-Balad [90]: 16 dan al-Mā’ūn [107]: 3.
C. Bentuk Perhatian Islam Terhadap Orang Miskin Dalam masyarakat masih terdapat perbedaan yang mencolok antara golongan kaya dan miskin. Usaha ke arah perbaikan dalam pembagian rizki ke arah yang lebih merata harus dijalankan. Dalam hal ini al-Qur’ān mengingatkan bahwa jika timbul jurang pemisah yang semakin dalam antara golongan kaya dan miskin, maka pada giliranya akan terjadi pertentangan yang akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dalam masyarakat. Oleh karenanya, untuk mengatasi hal itu maka ayat-ayat al-Qur’ān mementingkan soal hubungan kaya dan miskin. Diantara ayat-ayat tersebut adalah dalam upaya untuk mengatasi akibat negatif dan destruktif yang ditimbulkanya sekaligus sebagai upaya untuk merespon masalah kemiskinan.8 Islam memiliki perhatian khusus terhadap orang miskin. Banyak nas al-Qur’ān dan hadits Nabi yang menjelaskan tentang kewajiban membantu fakir miskin tersebut. Dalam al-Qur’ān, terbukti dari sekian ayat yang membicarakan tentang fakir miskin semua konteksnya ditujukan kepada orang yang beriman dan kepada orang-orang kaya supaya ada kesadaran untuk menolong fakir miskin yang memang susah dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Adapun diantara bentuk perhatian Islam terhadap orang-orang miskin, yaitu sebagai berikut:
8
Ahmad Sanusi, Agama di Tengah Kemiskinan , Cet.1 (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 73.
21
1. Pemberian Zakat Allah menyebutkan orang-orang miskin dalam hubunganya dengan masalah zakat, yakni bahwa orang miskin termasuk dari delapan macam golongan yang berhak menerima zakat. Sebagaimana firman Allah: Qs. atTaubah [09]: 60
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. 2. Pemberian Makan kepada Orang Miskin Al-Qur’ān juga banyak memberikan perhatianya kepada orang miskin dalam bentuk pemberian makan terhadap mereka. terlihat dari dua puluh satu ayat yang berbicara masalah orang-orang miskin, sebagian besar ayat-ayatnya memberikan perhatianya lewat perintah memberi makan kepada mereka. Adapun ayat-ayatnya sebagai berikut:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”.(Qs. al-Insān [76]: 8).
“Atau orang miskin yang sangat fakir”. (Qs. al-Balad [90]: 16).
22
“Dan juga Dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi Makan orang miskin”. (Qs. al-Hāqqah [69]: 34)
“Dan Kami tidak (pula) memberi Makan orang miskin”. (Qs. al-Mudaṡir [74]: 44).
“Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin”. (Qs. al-Mā’ūn [07]: 3).
“Dan kamu tidak saling mengajak memberi Makan orang miskin”. (Qs. al-Fajr [89]: 18) 3. Pembayaran Kifarat untuk Orang Miskin Al-Qur’an juga memberikan perhatianya kepada orang miskin dalam pemberian sebagian harta kepada mereka melalui
pembayaran
kifarat dan fidyah, dalam hal pembayaran kifarat, Allah menyebutkanya dalam beberapa ayat, diantaranya: pembayaran kifarat untuk penebusan sumpah dzhihar, pembayaran kifarat untuk penebusan sumpah yang dilangggar dan pembayaran kifarat untuk penebusan sumpah karena membunuh binatang saat ihram, sebagaimana firman Allah Swt: Qs. al-Mujādilah [58]: 4 (kifarat dzihar)
23
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makanan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih”. (QS. al-Mujādilah [58]: 4) Qs. al-Mā’idah [05]: 89 (kifarat sumpah)
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”. Qs. al-Mā’idah [05]: 95 (kifarat karena membunuh binatang saat ihram)
24
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa”. 4. Pembayaran Fidyah untuk Orang Miskin. Selain melalui bentuk pembayaran kifarat, perhatian Islam terhadap orang miskin juga tercantum dalam masalah pembayaran fidyah. Yaitu bagi orang-orang yang meninggalkan puasa ramadhan karena ketidakmampuanya, maka diwajibkan untuk membayar fidyah berupa memberi makan orang miskin. sebagaimana disebut dalam Qs. al-Baqarah [02]: 184.
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit/dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
25
kebajikan, maka itulah yang lebih bagi baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. 5. Pemberian Harta rampasan untuk Orang Miskin Tak lupa Allah juga menyebut mereka (orang-orang miskin) dalam hubunganya dengan masalah harta rampasan. Sebagaimana firman Allah Qs. al-Anfāl [08]: 41 dan Qs. al-Hasyr [59]: 07.
“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Qs. al-Anfāl [08]: 41) Tujuan Islam yang utama dalam memotifasi seseorang untuk menolong saudaranya dalam bentuk pemberian harta kepada orang-orang miskin mengandung hikmah agar harta tersebut tidak hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja. Hal ini dinyatakan Allah dalam Qs. alHasyr [59]: 07.
26
“Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”. 6. Pemberian Sebagian Warisan untuk Orang Miskin. Setelah ayat sebelumnya surat ini menjelaskan yang wajib menyangkut harta warisan, maka ditetapkanlah dalam ayat ini yang dianjurkan oleh Allah. Yakni memberikan sekedarnya dari harta warisan kepada mereka yang hadir sewaktu pembagian diantaranya kepada orang miskin. Adapun ayatnya yaitu:
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik”. (Qs. an-Nisā’ [04]: 08). 7. Pemberian harta kepada Orang Miskin. Selain melalui pemberian pangan, al-Qur’ān juga memberikan perhatinya dalam bentuk pemberian harta kepada Orang Miskin. Adapun ayat-ayatnya sebagai berikut:
27
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orangorang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.(Qs. al-Baqarah [02]: 177)
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. an-Nūr [24]: 22)
28
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.”(Qs. al-Baqarah [02]: 215) Selain itu, Allah juga tidak melupakan mereka (orang miskin) di kala menyeru untuk memenuhi hak saudaranya. Adapun ayatnya yaitu sebagai berikut:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.(Qs. al-Isrā’[17]: 26) Dalam ayat ini, selain mengajarkan kepada umat Islam agar memberikan hak nya kepada keluarga dekat, orang miskin serta Ibnu Sabil, ayat ini memerintahkan pula untuk tidak berlaku boros. Adapun perintah atau anjuran untuk memberikan hak yang sebenarnya kepada mereka juga terdapat dalam ayat berikut:
“Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung”. (Qs. ar-Rūm [30]: 38).
29
Selanjutnya, selain memberikan hak yang sebenarnya terhadap kaum miskin, Allah juga menyebut mereka dalam hubungannya dengan masalah berbuat kebaikan melalui pemberian harta kepada kerabat, anak yatim, musafir serta orang miskin. Adapun ayatnya sebagai berikut:
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”.(Qs. al-Baqarah [02]: 83.
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karibkerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (Qs. an-Nisa’ [04]: 36) Dari penjelasan ayat-ayat di atas menunjukan bahwa dalam harta seseorang terdapat bagian tertentu yang (harus) diberikan kepada orangorang yang tidak mampu, sebagai santunan dan bantuan dalam ikatan
30
ukhuwah. Hal ini menunjukan bahwa perhatian Islam terhadap orangorang miskin sangatlah besar. Seperti masalah menyantuni fakir miskin sebagaimana yang telah disebutkan di atas, al-Qur’ān mengingatkan bahwa pada hakikatnya seluruh harta kekayaan tersebut adalah milik Tuhan (Qs. Yunus [10]: 55), dan pemilikan oleh seseorang hanyalah bersifat relatif sebagai amanah dari Allah dan penggunaan harta itu harus sejalan dengan yang dikehendaki Allah, yaitu untuk kepentingan umum sebagaimana diantaranya terdapat dalam Qs. al-Hadid [57]: 7 dan Qs. an-Nūr [24]: 33. Oleh karena itu, jika terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang-orang kaya, karena dalam harta orang-orang kaya terdapat hak bagi orang miskin.9
9
Ahmad Sanusi, Agama di Tengah Kemiskinan ,... hlm. 74-75.