26
BAB II KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI KAVLING YANG DIBUAT DIBAWAH TANGAN ANTARA PENGEMBANG PERUMAHAN DENGAN PEMBELI
Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Hukum perjanjian mempunyai sifat sistem terbuka. Maksudnya dalam hukum perikatan/perjanjian memberikan kebebasan yang seluasluasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.39 Peraturan khusus tentang jual beli diatur dalam bab kelima KUHPerdata. Dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa : “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.” A. Subjek Hukum Perjanjian Jual Beli. Subjek Hukum dalam jual beli adalah penjual dan pembeli. Subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri dari manusia pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi adalah subjek hukum dalam arti biologis sedangkan badan hukum adalah subjek hukum dalam arti yuridis.40 1.
Manusia.
39 40
R.Subekti, Aneka Perjanjian cetakan kesepuluh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 27
26
Universitas Sumatera Utara
27
Berlakunya manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban dimulai saat dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia.41 Subjek yang berupa manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yakni harus sudah dewasa, sehat pikiran dan tidak dilarang atau dibatasi dalam melakukan suatu perbuatan hukum.42 Menurut Pasal 1330 KUHPerdata pribadi yang dianggap tidak cakap melakukan tindakan hukum adalah :43 a. Orang yang belum dewasa; Orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUHPerdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu. Sifatsifat pribadinya yang dianggap tidak cakap menurut Pasal 433 KUHPerdata adalah: 44
41
Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2008, hal 22 Djoko Prakoso dan Bambang Riyaldi Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal 6 43 Komariah, Op.cit, hal 24 44 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogjakarta, 2009, hal 47 42
Universitas Sumatera Utara
28
i. Keadaaan dungu; ii. Sakit ingatan/gila/mata gelap. iii.Pemboros dan pemabuk. c. Orang perempuan yang sudah berkeluarga Hal ini telah dicabut berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 1963. 45 2.
Badan Hukum. Perusahaan pengembang umunya berbentuk badan hukum yakni perseroan
terbatas ataupun commanditaire vennootschap (CV) dan pertama kali didirikan berdasarkan akta pendirian perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasar yang kegiatan pokok usahanya antara lain melakukan usaha pengembangan lokasi permukiman bagi masyarakat yang membutuhkan perumahan. Pasal 1653 KUHPerdata menyatakan terdapat tiga klasifikasi badan hukum yakni :46 a. Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah seperti badan-badan pemerintahan, perusahaan-perusahaan Negara. Badan hukum ini dibentuk oleh pemerintah untuk kepentingan Negara dengan undang-undang atau dengan peraturan pemerintah. b. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah seperti perseroan terbatas, koperasi. Badan hukum ini dibentuk oleh swasta atau pribadi warga Negara untuk kepentingan pribadi pembentuknya sendiri. Tetapi badan hukum itu mendapat pengakuan dari pemerintah menurut undang-undang. Pengakuan itu diberikan karena isi anggaran dasarnya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak akan melanggar undang-undang. Pengakuan dari pemerintah tersebut diberikan melalui pengesahan anggaran dasarnya. c. Badan hukum yang diperbolehkan untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal seperti yayasan (pendidikan, sosial dan keagamaan). Badan ini tidak 45 46
R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 152 Handri Raharjo, op.cit, hal 29-30
Universitas Sumatera Utara
29
dibentuk oleh pemerintah dan tidak diperlukan pengakuan pemerintah berdasarkan undang-undang. Namun untuk mengetahui anggaran dasar yayasan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang maka akta pendiriannya harus dibuat di muka notaris, karena notaris adalah pejabat resmi menurut undang-undang. 3.
Subjek Hukum Penyelenggara Lisiba Subjek hukum yang menyelenggarakan lisiba atau kasiba berdasarkan UU
nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman dan PP nomor 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap bangun yang berdiri sendiri
adalah
pemilik
tanah
dan
badan
usaha
dan
pemerintah
yang
penyelenggaraannya dilakukan oleh Badan pengelola. Badan pengelola dapat berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan badan lain yang dibentuk oleh pemerintah termasuk Badan Usaha Milik Daerah.
47
Penunjukkan badan pengelola untuk
menyelenggarakan kasiba/lisiba dilakukan oleh kepala daerah. 48 Pengelolaan lisiba dapat dilakukan oleh penyelengara lisiba yang terdiri dari masyarakat pemilik tanah atau badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman. Dalam pelaksanaan pembangunan perumahan dan pemukiman sebagaimana diatur dalam UU No.4/1992 ada 3 bentuk pelaksana, yaitu : a. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara atau badan lain yang dibentuk oleh pemerintah. (pasal 20 ayat 2 UU No.4/1992).
47
Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP No. 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap bangun yang berdiri sendiri 48 Pasal 4 PP No. 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap bangun yang berdiri sendiri
Universitas Sumatera Utara
30
b. Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan usaha dibidang pembangunan perumahan yang ditunjuk pemerintah. (pasal 21 ayat 1 UU No.4/1992) c. Penyelenggaraan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah dapat dilakukan oleh orang perorangan dengan cara usaha bersama. (pasal 1 angka 11 UU No.4/1992) Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia nomor 33/PERMEN/M/2006 menyebutkan Kasiba atau lisiba yang berdiri sendiri menurut kepemilikan mayoritas lahan dapat dibedakan : 1. Kasiba/lisiba yang mayoritas tanahnya dikuasai oleh pemerintah daerah sehingga kaveling tanah matang yang dikuasai oleh pemerintah daerah telah mencapai lebih dari 50 % luas kasiba yang diusulkan; 2. Kasiba/lisiba yang mayoritas tanahnya dikuasai oleh swasta atau perorangan. Dalam penyiapan lokasi untuk kasiba, harus diperhatikan :49 1. Jumlah unit rumah yang dapat ditampung dalam 1 (satu) kasiba sekurangkurangnya 3000 (tiga ribu) unit rumah dan sebanyak-banyaknya 10.000 (sepuluh ribu) unit rumah;
49
Pasal 9 PP no. 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap bangun yang berdiri sendiri
Universitas Sumatera Utara
31
2. Jumlah unit rumah yang dapat ditampung dalam 1 (satu) lisiba sekurangkurangnya 1000 (seribu) unit rumah dan sebanyak-banyaknya 3000 (tiga ribu) unit rumah. Subjek hukum yang menyelenggarakan lisiba setelah keluarnya Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman Nomor 1 tahun 2011 yakni Badan hukum yang didirikan oleh warga negara Indonesia yang kegiatannya
di bidang
penyelenggaraan
perumahan
dan
kawasan
permukiman. Hal ini juga ditegaskan pada Pasal 145 dalam UndangUndang Perumahan dan Pemukiman Nomor 1 tahun 2011 disebutkan orang perseorangan dilarang membangun Lisiba. B. Syarat Sahnya Perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat yaitu: a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Hukum perjanjian mengenal asas konsensualitas yang memberi arti sepakat atau consensus tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Sepakat (Toestemming) artinya kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihakpihak. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan dan kekhilafan. 50 Unsur kesepakatan terdiri dari unsur Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak 50
Handri Raharjo, op.cit, hal 47
Universitas Sumatera Utara
32
yang menawarkan dan Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran. Kesepakatan penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam teori yaitu : 51 i. Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. ii. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. iii.Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. iv. Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. b. kecakapan untuk melakukan suatu pengikatan; Yang
dimaksud
dengan
cakap
adalah
sehat
pikiran
untuk
mengadakan/membuat suatu perjanjian. Kewenangan memiliki/ menyandang hak dan kewajiban tersebut disebut kewenangan hukum, karena sejak lahir tidak semua subjek hukum memiliki kewenangan hukum, cakap atau dapat bertindak sendiri. Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum. 52 c. suatu hal tertentu; Suatu hal tertentu disini tentang objek perjanjian (Pasal 1332 sampai dengan 1334 KUHPerdata). Syarat–syarat yang diperjanjikan harus dicantumkan dengan jelas dalam akta jual belinya misalnya luas tanah, letaknya, sertifikat, hak yang melekat. Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut: 51 52
Ibid. Abdoel Djamali, op.cit, hal 163
Universitas Sumatera Utara
33
i. Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung. ii. Objek yang dapat diperdagangkan (barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).53 d. suatu sebab yang halal. Sebab yang dimaksud disini adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian (Pasal 1337 KUHPerdata). Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.54 Syarat pertama dan kedua mengenai subjek atau pihak-pihak dalam perjanjian disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena mengenai objek perjanjian. Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subjektif dan syarat objektif. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak, namun apabila tidak memenuhi syarat objektif maka perjanjian batal demi hukum, artinya bahwa dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan dari pengadaan perjanjian untuk melahirkan suatu perikatan adalah gagal. Dengan demikian maka tidak adanya dasar untuk saling menuntut didepan hakim.55 Perbedaan antara “batal” dan “dapat dibatalkan” adalah melibatkan hak dari pihak ketiga. Jika perjanjian jual beli barang batal, hak milik atas barang yang dijual tidak akan berpindah kepada pembeli dan ia tidak dapat menjualnya kepada pihak
53
Handri Raharjo, loc.cit. Ibid. 55 Jhon Salindeho, Op.Cit, hal 93 54
Universitas Sumatera Utara
34
lain. Sedangkan “dapat dibatalkan” maka perjanjian tersebut tetap berlaku kecuali jika pihak yang tidak bersalah itu memilih untuk mengakhiri perjanjian itu. Oleh karena itu, jika pembeli itu menjual kembali barang itu sebelum perjanjian itu dibatalkan, pembeli berikutnya merupakan pemiliknya dan dapat mempertahankan haknya dengan ketentuan bahwa pembelian itu dilakukan dengan itikad baik. 56 Meskipun pihak-pihak didalam persetujuan jual beli mempunyai kebebasan untuk membuat ketentuan tentang kewajiban yang hendak dibebankan kepada pembeli, namun isi dari persetujuan tidak boleh bertentangan dengan pasal 1339 KUHPerdata, yaitu tidak boleh bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Selain harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, menurut Pasal 1339 KUHPerdata juga disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk halhal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan atau undang-undang serta ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam hubungan ini, dapat dilihat bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Terhadap perjanjian formil bila tidak dipenuhi formalitasnya yang telah ditetapkan undangundang maka perjanjian itu juga batal demi hukum.
56
S.B. Marsh and J.Soulsby diterjemahkan oleh Abdulkadir Muhammad, Business Law Hukum Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal 96
Universitas Sumatera Utara
35
Ketentuan mengenai wanprestasi tidak serta merta memutuskan perjanjian, hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 9/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah. Pada Bab XI Penyelesaian Perselisihan, angka ke 2 (dua) disebutkan “jika penyelesaian secara musyawarah tidak membawa hasil, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI)”. Apabila kita cermati ketentuan pasal di atas, pembatalan perjanjian secara sepihak oleh kreditur akibat adanya wanprestasi oleh debitur adalah tidak dibenarkan. Mekanisme pertama yang harus ditempuh untuk menyelesaikan perselisihan adalah melalui musyawarah, namun apabila dengan musyawarah tidak mampu menyelesaikan perselisihan, maka diperintahkan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui BANI.57 C. Isi/Klausul Jual Beli. Isi perjanjian jual beli kavling secara umum tidak berbeda dengan isi perjanjian jual beli umumnya. Hanya saja proses jual belinya yang berbeda, yakni dapat dilaksanakan ketika telah diselesaikannya pembangunan perumahan sekurangkurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari rencana pembangunan perumahan di Lisiba. Isi/klausul dalam perjanjian jual beli secara umum terbagi tiga yakni : 57 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=Dwi+Agus+Prianto&source=web&cd=1&ved= 0CEkQFjAA&url=http%3A%2F%2Flontar.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F131168T%252027450-Analisis%2520yuridisAbstrak.pdf&ei=DkzPT5KyL46rrAeU87HVDQ&usg=AFQjCNFflUtBf82enC1TBRIn2kg8fVV4fQ& cad=rja , diakses tanggal 6 Juni 2012
Universitas Sumatera Utara
36
1. Bagian pembuka; 2. Bagian isi, dan 3. Bagian penutup Hal – hal yang menjadi prinsip dasar mengenai PPJB adalah :58 1. Uraian obyek pengikatan jual – beli, meliputi : a. Luas bangunan disertai dengan gambar arsitektur dan gambar spesifikasi teknis. b. Lokasi tanah sesuai dengan pencantuman nomor kavling. c. Mengenai luas tanah beserta perizinannya. 2. Kewajiban dan jaminan penjual Pihak penjual wajib membangun dan menyerahkan unit rumah / kavling sesuai dengan yang ditawarkan kepada pembeli, sehingga PPJB menjadi pegangan hukum untuk pembeli. 3. Kewajiban bagi pembeli Kewajiban pembeli adalah membayar cicilan rumah / kavling dan sanksi dari keterlambatan berupa denda. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995 menjelaskan bahwa besar denda keterlambatan adalah 2/1000 dari jumlah angsuran per hari keterlambatan. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) berisi kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan prestasi masing-masing dikemudian hari, yakni pelaksanaan jual beli antara developer (pelaku usaha) dan konsumen. Dokumen ini merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara developer (pelaku usaha) dan konsumen. Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 disebutkan Perjanjian Pendahuluan Jual Beli” adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang. Perjanjian pendahuluan jual beli
58
Hukum Properti, http://www.hukumproperti.com/tag/perjanjian-pengikatan-jual-beli/, diakses pada tanggal 25 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
37
sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: a. b. c. d. e.
59
status pemilikan tanah; hal yang diperjanjikan; kepemilikan izin mendirikan bangunan induk; ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
D. Larangan Jual Beli Kaveling Pada Undang-Undang tentang perumahan dan permukiman yang lama nomor 4 tahun 1992 Pasal 26 ayat (1) disebutkan Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah. Namun dikecualikan pada ayat (3) yakni kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil upaya konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjual belikan tanpa rumah. Tanah untuk Rumah Sangat Sederhana dan Rumah Sederhana adalah bidang tanah yang memenuhi kriteria sebagai berikut :60 a. Harga perolehan tanah dan rumah tidak lebih dari pada Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah); b. Diatasnya telah dibangun rumah dalam rangka pembangunan perumahan massal atau kompleks perumahan. Berdasarkan perkembangan yang ada keluar peraturan dari Surat Edaran Menteri Perumahan dan Pemukiman RI nomor 109/UM-0/01/M/09/1999 berisi
59
Pasal 42 UU No.1 tahun 2011 tentang perumahan dan pemukiman Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 9/1997 jis. No. 15/1997 dan No. 1/1998 tentang pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) 60
Universitas Sumatera Utara
38
ketentuan bahwa “Jual beli kaveling tanah matang harus dilaksanakan dengan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT” dengan syarat : a. Pajak terutang untuk jual beli kavling tanah matang sudah dilunasi; b. Hak atas tanah kaveling tanah matang tidak dapat dijual lagi dalam waktu 2 tahun sejak dilaksanakan dengan akta jual beli. Sehingga sejak 2 tahun dari akta jual beli kavling tanah matang tersebut tidak dapat dialihkan lagi sebelum ada rumah.61 Menteri Negara Perumahan dan pemukiman Republik Indonesia menerbitkan surat Nomor : 109/UM.01.01/M/09/09 tertanggal 27 September 1999 perihal pedoman penjualan kaveling tanah matang ukuran kecil dan sedang oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan pemukiman yang dalam alinea terakhir : Khusus dalam menghadapi krisis moneter dan krisis ekonomi yang sedang dialami sesuai dengan persetujuan Presiden RI, badan usaha dibidang pembangunan perumahan dan pemukiman dapat menjual kavling tanah matang ukuran menengah (luas kaveling diatas 200 m2 sampai dengan 600 m2) untuk pembangunan rumah menengah berbanding 2 (dua) kaveling tanah matang ukuran kecil dan sedang, selama 2 (dua) tahun sampai dengan tahun 2001. Dan fase-fase dalam proses jual beli kavling : 62 1. 2. 3. 4. 5.
melunasi kaveling dan PPN 10% Mengurus Surat PPJB dan SPT Membayar PBB Mengurus IMB Melakukan AJB dan membayar BPHTB Mengurus surat-surat (SHM/HGB).
61
Romi Jaya, Kaveling Tanah Matang, http://romyjaya.blogspot.com/2008/07/kavelingtanah-matang.html, Diakses tanggal 4 Juni 2012 62
Membaca peraturan pemerintah tentang menjual kaveling tanah matang pada pengembang, http://rumahkubintaro.wordpress.com/page/2/, diakses tanggal 4 Juni 2012
Universitas Sumatera Utara
39
Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman juga disebutkan Badan hukum yang membangun Lisiba dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah. Dan pembatasannya hanya pada pembangunan perumahan untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) dengan kaveling tanah matang ukuran kecil, larangan sebagaimana tersebut dikecualikan. Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Fuad Zakaria yang menyayangkan disahkannya RUU ini. Larangan jual kavling kosong akan merugikan konsumen terutama yang berkemampuan pas-pasan 63 Yang dimaksud dengan “menjual kaveling tanah matang tanpa rumah” adalah suatu kegiatan badan hukum yang dengan sengaja hanya memasarkan kaveling tanah matang kepada konsumen tanpa membangun rumah terlebih dahulu. Perkataan kavling berasal dari bahasa Belanda yang berarti “Petak” jadi tanah kavling berarti tanah petak.64 Menurut Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman, disebutkan bahwa kavling tanah matang adalah : “Sebidang tanah yang telah dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan rencana rinci tata ruang serta rencana tata bangunan dan lingkungan”. Pengertian tanah kavling sebagai salah satu unsur dari jual-beli tanah (kavling) didalam praktek dimaksudkan adalah sebagai sebidang tanah dalam bentuk yang telah ditentukan bentuk dan luasnya oleh pihak pertama sebagai koordinator kavling
63 Apersi: UU Perkim Rugikan Pengembang dan Konsumen, http://properti.kompas.com/read/2010/12/20/15035925/Apersi.UU.Perkim.Rugikan.Pengembang.dan.Konsumen , diakses pada tanggal 25 Mei 2012 64 Efendi Perangin, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali Pres, Jakarta, 1987, hal 29.
Universitas Sumatera Utara
40
(developer), sehingga tanah tersebut diperuntukan siap bangun bagi pihak kedua (pembeli) dalam suatu kawasan dan areal lingkungan tertentu. Penjualan kaveling tanah matang kepada konsumen hanya dapat dilakukan apabila badan hukum tersebut telah membangun perumahan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari rencana pembangunan perumahan di Lisiba dan dalam keadaan terjadi krisis moneter nasional yang berakibat pada kesulitan likuiditas pada badan hukum tersebut. E. Pembuktian Akta di Bawah Tangan. Alat –alat bukti menurut Pasal 1866 KUHPerdata terdiri atas : 1. 2. 3. 4. 5.
Bukti tulisan Bukti saksi Persangkaan; Pengakuan Sumpah. Pembuktian dalam ilmu hukum hanya ada apabila terjadi bentrokan
kepentingan yang diselesaikan melalui pengadilan yang lazimnya disebut perkara.65 Aturan pembuktian yang berlaku di Jawa dan Madura adalah Regelemen Indonesia (H.I.R) sedangkan di diluar jawa dan Madura berlaku Rbg. Hukum pembuktian juga terdapat dalam Burgelijk Wetboek (B.W) buku keempat yang mengatur tentang pembuktian dan Daluarsa.66 Pasal 1867 KUHPerdata menyatakan Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.
65 66
Teguh Samudera, Hukum pembuktian dalam Acara Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hal 11 Ibid, hal 13
Universitas Sumatera Utara
41
Tulisan menurut Pitlo adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang menggambarkan suatu isi pikiran yang dapat dimengerti. Tulisan dapat dibedakan atas tulisan akta dan tulisan bukan akta. Tulisan akta adalah tulisan yang dirandatangani dan dipersiapkan/dibuat untuk digunakan sebagai alat bukti bagi kepentingan orang untuk siapa akta itu dibuat. 67 Sudikno Mertokusumo berpendapat, akta adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuatan”. 68 Akta mempunyai dua fungsi : 69 a. fungsi formil (formalitas causa) Formalitas Causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Dalam konteks ini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. b. fungsi alat bukti (probationis causa). Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.
67 M.U.Sembiring, Tehnik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997, hal 3 68 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, yogjakarta, 1979, Hal 106 69 http://72legalogic.wordpress.com/2009/03/23/akta-otentik-dalam-hukum-positif-indonesia/, diakses tanggal 6 Juni 2012
Universitas Sumatera Utara
42
Ditinjau dari cara pembuatannya akta dapat dibedakan atas : 1. Akta otentik Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan akta otentik adalah akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang diperbuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat.70 Selanjutnya untuk akte otentik berdasarkan pihak yang membuatnya dibagi menjadi 2 yaitu :71 a. Akta para pihak (partij akte) Akta para pihak adalah akta yang memuat keterangan (berisi) apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Partij akte ini mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi pihak-pihak yang bersangkutan termasuk para ahli warisnya dan orang-orang yang menerima hak dari mereka itu. Akta ini diprbuat dihadapan notaris. b. Akta Pejabat (Ambtelijke Akte atau Relaas Akte) Akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat yang berwenang. Akta ini diperbuat oleh notaris. Contohnya akta Berita Acara Rapat. 2. Akta dibawah tangan Pasal 1874 ayat 1 KUHPerdata berbunyi : “sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan, surat-surat, register-register, suratsurat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.”72 70
Ibid, hal 6 MU.Sembiring, Op.Cit, hal 6 72 Ibid, hal 8 71
Universitas Sumatera Utara
43
Akta di bawah tangan merupakan tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan, dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak, dan secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang meliputi surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan pejabat umum.73 Akta di bawah tangan ini diatur dalam Pasal 1874 sampai dengan Pasal 1984 KUHPerdata. Daya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik. Pada akta dibawah tangan hanya melekat daya kekuatan pembuktian formil dan materiil. Terhadap akta di bawah tangan apabila ada tanda tangan yang disangkal, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu harus membuktikan kebenaran tanda tangan itu melalui alat bukti lain. Namun apabila tanda tangan tersebut sudah diakui maka akta di bawah tangan itu bagi yang menandatangani, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti yang sempurna sebagai kekuatan formil dari suatu Akta Otentik (Pasal 1875 KUHPerdata) 74. Daya pembuktian formil titik permasalahannya menyangkut kebenaran identitas tanda tangan dan penanda tangan. Orang yang bertandatangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum dalam akta. Berdasarkan kekuatan formil ini, hukum mengakui, siapa saja atau orang yang menandatangani akta dibawah tangan.
73 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet. Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 590 74 Subekti, op.cit, hal 75
Universitas Sumatera Utara
44
Daya pembuktian materiil, fokus permasalahannya berkenaan dengan kebenaran isi keterangan yang tercantum di dalam akta di bawah tangan. Benar atau tidak isi akta dibawah tangan dan sejauh mana kebenaran isinya yang tercantum di dalamnya. Prinsip yang harus ditegakkan menghadapi penerapan daya pembuktian materiil adalah secara materiil isi keterangan yang tercantum di dalam akta dibawah tangan, harus dianggap benar; dalam arti, apa yang diterangkan dalam akta oleh penanda tangan, dianggap benar sebagai keterangan yang dikehendakinya dengan demikian secara materiil, isi yang tercantum dalam akta dibawah tangan mengikat kepada diri penanda tangan. 75 F. Kekuatan Hukum Perjanjian Jual Beli di Bawah Tangan. Kekuatan perjanjian jual beli kavling digantungkan pada saat dibuatnya Perjanjian Jual Beli tersebut, apabila perjanjian tersebut dibuat pada saat proses pembangunan telah memenuhi syarat minimal pembangunan yakni dua puluh lima persen, maka Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilakukan memiliki kekuatan yang sama dengan kekuatan perjanjian umumnya yang didasarkan kepada Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, serta jenis akta yang dibuat apakah dibuat dengan akta otentik atau dibawah tangan”. 1.
Akta otentik Mengenai akta otentik, penjelasannya diatur di dalam Pasal 1868 KUH
Perdata yang berbunyi “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang 75
Ibid, hal 68
Universitas Sumatera Utara
45
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Unsur-unsur akta otentik adalah bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum, akta itu dibuat dihadapan pejabat umum dan akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya ditempat dimana akta itu dibuat, maka yang dimaksud sebagai akta otentik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:76
a. b. c. d.
Bentuknya sesuai Undang-Undang. Dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang. Kekuatan pembuktian yang sempurna. Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka membuktikan mengenai ketidakbenarannya.
penyangkal
harus
Akta otentik mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat artinya: 77 a. Sempurna: bahwa untuk membuktikan akta itu sempurna/tidak, benar/tidak, cukup dibuktikan dengan akta itu sendiri. Dengan kata lain tidak memerlukan pembuktian dengan alat bukti lainnya. b. Mengikat: bahwa hakim harus menguji kebenaran isi akta otentik itu sendiri kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. 2.
Akta dibawah tangan Pada Pasal 1874 a. Menyebutkan : ”Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penanda tangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penanda tangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut.”
76 http://irmadevita.com/2008/perbedaan-akta-otentik-dengan-surat-di-bawah-tangan, tanggal 24 Februari 2012 77 Handri Raharjo, Op.Cit, hal 65.
diakses
pada
Universitas Sumatera Utara
46
Akta dibawah tangan apabila dirumuskan dari Pasal 1874 KUHPerdata adalah :78 a. Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan; b. Tidak dibuat dan ditanda tangani di hadapan pejabat yang berwenang (pejabat umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak; c. Secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat, meliputi surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan tulisan yang dibuat tanpa perantaraan pejabat umum. Akta di bawah tangan memiliki ciri dan kekhasan tersendiri, berupa: a. Bentuknya yang bebas. b. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum. c. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya. d. Bila harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi dan bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan dua orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.79 Syarat suatu tulisan bernilai sebagai akta dibawah tangan adalah :80 a. Surat atau tulisan itu ditandatangani; b. Isi yang diterangkan didalamnya menyangkut perbuatan hukum atau hubungan hukum; c. Sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut didalamnya. Daya kekuatan pembuktian akta dibawah tangan hanya terbatas pada kekuatan pembuktian formil dan materil. Pembuktian formil menyangkut kebenaran identitas tanda tangan dan penandatangan. Pada pembuktian materi fokus permasalahan adalah
78
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 589-590 http://irmadevita.com/2008/perbedaan-akta-otentik-dengan-surat-di-bawah-tangan, diakses pada tanggal 24 Februari 2012 80 M.Yahya Harahap, Op.Cit, hal 590 79
Universitas Sumatera Utara
47
menyangkut kebenaran isi keterangan yang tercantum didalamnya.
81
Untuk
menegaskan kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta yang dibuat dibawah tangan maka akta tersebut disahkan kebenarannya oleh notaris dengan legalisasi.82 Apabila dikaitkan dengan kedudukan akta di bawah tangan yang dilegalisasi dengan akta di bawah tangan yang tidak dilegalisasi pada dasarnya sama-sama bukan akta otentik dalam hal pembuktiannya. Namun apabila dikaitkan dengan kebenaran tanda tangan, akta di bawah tangan yang dilegalisasi lebih kuat dari pada akta di bawah tangan yang tidak dilegalisasi. Hal ini dikarenakan penandatanganan akta di bawah tangan yang dilegalisasi dilakukan dihadapan Notaris selaku Pejabat Umum yang berwenang untuk itu.83 Perbedaan antara Legalisasi dan Register (Waarmerking) adalah:
1. Legalisasi Artinya, dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan tangan tersebut ditanda-tangani di hadapan notaris, setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan. Sehingga tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan tanggal legalisasi dari notaris. Dengan demikian, notaris menjamin keabsahan tanda-tangan dari para pihak yang dilegalisir tanda-tangannya, dan pihak (yang bertanda-tangan dalam dokumen) karena sudah dijelaskan oleh notaris tentang isi surat
81
Ibid, hal 593 Ibid, hal 597 83 Sidah, Op.Cit, hal 24 82
Universitas Sumatera Utara
48
tersebut, tidak bisa menyangkal dan mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak mengerti isi dari dokumen/surat tersebut. 84 Dengan Legalisasi mengartikan tindakan hukum tersebut harus memenuhi beberapa syarat yaitu : 85 a. bahwa notaris itu mengenal orang membubuhkan tanda tangannya; b. bahwa isi akta itu diterangkan dan dijelaskan kepada orangnya; c. bahwa kemudian orang tersebut membubuhkan tanda tangannya dihadapan notaris. Untuk legalisasi ini, kadang dibedakan oleh notaris yang bersangkutan, dengan Legalisasi tanda-tangan saja. Dimana dalam legalisasi tanda-tangan tersebut notaris tidak membacakan isi dokumen/surat dimaksud. 86 Pasal 15 ayat 2 huruf a UUJN yang mengatur tentang legalisasi berbunyi : “Notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus”. Notaris dalam memberi legalisasi, membubuhkan tanggal dan keterangan bagian bawah dari surat itu, Ketentuan ini ditemukan dalam Engelbrecht 1960 hlm. 1753, yakni ordonansi Stbl. 1867-29, yang kemudian diubah dengan Stbl. 1916-44 jo.43, Pasal 1 ayat 2, 87 dengan mencantumkan keterangan yang berbunyi:
84
Irma Devita, Legalisasi atau Waarmerking, http://irmadevita.com/2008/legalisasi-dan-waarmerking, diakses tanggal 29 Mei 2012 85 Tan Thong Kie, Studi notariat dan serba-serbi praktek notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2007, hal 520 86 Irma Devita, op. cit. 87 Tan Thong Kie, Op.Cit, Hal 520
Universitas Sumatera Utara
49
Nomor. ……/LEG/II/2012 Saya yang bertanda tangan dibawa ini ….., Notaris di…. Menerangkan bahwa isi surat ini telah saya bacakan dan terangkan kepada …. yang saya notaris kenal/diperkenalkan kepada saya notaris dan sesudah itu maka … membubuhkan tanda tangan / cap jarinya diatas surat ini dihadapan saya, notaris. 2. Register (Waarmerking) Register adalah dokumen/surat yang bersangkutan di daftar dalam buku khusus yang dibuat oleh Notaris. Biasanya hal ini ditempuh apabila dokumen/surat tersebut sudah ditanda-tangani terlebih dahulu oleh para pihak, sebelum di sampaikan kepada notaris yang bersangkutan. Jika ditinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian, maka tentu saja lebih kuat Legalisasi daripada Register (Waarmerking). 88 kekuatan waarmerking tidak ada jaminan, karena baik tanggal, tanda tangan, isi surat tersebut tidak dijamin oleh notaris.89 Dengan mencantumkan keterangan yang berbunyi: Nomor : ....../W/VI/2012 -Dibubuhi cap dan didaftarkan dalam buku yang dipergunakan khusus untuk itu oleh saya, ...... Notaris di ...., Pada hari ini, hari .... tanggal ....
88 89
Ibid. Sutrisno, Komentar UU Jabatan Notaris Buku I, 2007, hal 420
Universitas Sumatera Utara