ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB II KEDUDUKAN HUKUM LAKI-LAKI NYENTANA DALAM BIDANG HARTA KELUARGANYA DAN WARIS MENURUT HUKUM ADAT BALI
2.1
Perkawinan dalam Masyarakat Hindu di Bali Perkawinan adalah salah satu
peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat, sebab hal itu tidak hanya menyangkut laki-laki dan perempuan bakal mempelai saja tapi juga orang tua kedua belah pihak, keluarga mereka masing-masing, bahkan masyarakat. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang priadengan seorang wanita yang akan melangsungkan perkawinan. Ikatan lahir batin antara seorang priadan wanitaini haruslah mendapat ijin dari kedua orang tuanya, perkawinan tidak boleh dilakukan karena paksaan atau pengaruh orang lain. 20. Menurut WirjoyoProdjodikoro, “Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat”. Lebih lanjut Wirjono berpendapat bahwa pengertian perkawinan adalah lepas dari pengertian hidup bersama yang di pandang dari sudut ilmu hayat, akan tetapi ditentukan oleh hukum tiap-tiap Negara berlaku mengenai suatu hidup bersama tertentu antara seorangwanita dan seoarangpria. 21. Manusia tidak dapat berkembang tanpa adanya perkawinan, karena perkawinan menyebabkan adanya keturunan dan keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi kerabat dan masyarakat.Jadi perkawinan I Nyoman Arthayasa, Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu, Paramita, Surabaya, 1998, h. 1 WirjonoProdjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Ketujuh, (Bandung:Sumur, 1983), h.54 20 21
32 TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
merupakan unsur
tali-temali yang meneruskan kehidupan manusia dan
masyarakat. Dikarenakan nilai-nilai hidup yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut dan menyangkut juga kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan dalam pergaulan masyarakat, maka proses pelaksanaan perkawinan diatur dengan tata adat dan hukum yang berlaku agar terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan ,yang akan menjatuhkan martabat kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditegaskan pula beberapa syarat agar perkawinan dapat dilangsungkan. Syaratsyarat tersebut adalah : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1). Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tuanya ( Pasal 6 ayat 2). 2. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 21 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun, kecuali ada dispensasi dari Pengadilan (Pasal 7). 3. Perkawinan tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan (Pasal 8). Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. d. Berhubungan susun yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. 4. Poligami dilarang kecuali mendapat ijin dari pengadilan. Sebagaimana yang telah tertuang dan menjadi tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Maha Esa, syarat perkawinan tersebut memberikan suatu jaminan agar tidak lagi adanya perkawinan paksa dalam masyarkat. Ketentuan ini sudah selayaknya, mengingat masalah perkawinan sebenarnya merupakan urusan pribadi seseorang sebagai bagian hak asasi manusia. Karena Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara nasional, maka persyaratan-persyaratan perkawinan di atas berlaku pula bagi perkawinan orang Bali Hindu.
22
Dari
persyaratan-persyaratan di atas, persyaratan pertama dan kedua dapat disimpangi apabila hukum agamanya menentukan lain (Pasal 6 ayat 6). Penyimpangan inilah yang masih melegalkan adanya perkawinan lari bersama berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai (ngerorod), karena dalam agama Hindu cara perkawinan tersebut masih diakui eksistensinya.23 Selain syarat-syarat di atas, bagi umat Hindu harus diperhatikan pula syarat menurut agama, yaitu kedua calon mempelai adalah beragama Hindu.Apabila salah satu mempelainya belum beragama Hindu, maka terlebih dahulu calon mempelai di sudhi-kan (sudhi/wadani), yaitu suatu upacara keagamaan untuk meresmikan seseorang memeluk agama Hindu. 24Menurut Undang-undang yang berlaku, akibat hukum apabila persyaratan perkawinan di atas tidak dipenuhi adalah bahwa perkawinan itu dapat dicegah atau dapat dibatalkan.Pihak-pihak yang dapat mencegah atau membatalkan perkawinan telah ditentukan dengan tegas oleh undang-undang.
WayanP.Windia, Op, Cit, h 86. I KetutSudantra, Hukum Perkawinan Bagi Umat Hindu di Bali, Bahan Penyuluhan dalam Pembinaan/Pembentukan calon Desa/Kelurahan Sadar Hukum Kabupaten Badung, 2000, h 18. 24 I Gede Pudja, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, (Didasarkan Manusmriti) Jakarta :Mayasari 1975. Lihat pula Natih, Ketut N, Pembinaan Perkawinan Agama hindu, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), h.24 22 23
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak hanya sekedar suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat-akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut hukum, agama, dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan. Dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974, dinyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu “.Dengan demikian, bagi umat Hindu perkawinan harus disahkan menurut ketentuan Hukum Hindu. Tata cara pengesahan perkawinan bagi umat Hindu di Bali juga bervariasi yaitu sangat dipengaruhi oleh “lokacara” (tata cara), dan “desa dresta” (kebiasaan/adat istiadat). Menurut keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan Parisada Hindu Dharmasahnya perkawinan ditentukan oleh adanya “panyangaskara” (upacara yang disaksikan) dengan “bhuta saksi” dan “dewa saksi” serta adanya penyaksi (saksi) dari :prajuru adat” (kepala adat) sebagai unsur dari “manusa saksi”, inilah yang
sering
disebut
“tri
upasaksi”
dalam
upacara
perkawinan
(samskarawiwaha).25 Di Bali perkawinan sering disebut “pawiwahan”. Menurut adat kebiasaan yang berlaku di Bali sebagai syarat sahnya suatu perkawinan harus dilakukan upacara keagamaan yaitu : a. Upacara “Mabiakala” (upacara pengesahan perkawinan di Bali). Tujuannya untuk membersihkan kedua calon mempelai agar tidak diganggu roh-roh jahat, dengan upacara ini kedua mempelai akan suci dan bersih menghadapi upacara selanjutnya.
Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Badung, 1996. Keputusan PemuhanSalinggih dan Walaka se Kabupaten Badung. 25
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
b. Upacara “Widiwidiana” (upacara persaksian kepada Tuhan Yang Maha Esa). Yaitu persaksian yang bertujuan agar perkawinannya disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan oleh para pemuka adat dan selanjutnya dipuput (diselesaikan) atau diresmikan oleh Pendeta/Sulinggih. Rentetan upacara ini sekaligus dilakukan persembahyangan di pura milik keluarga besar yang bermakna untuk melakukan “atur piuning” atau pemberitahuan para Dewata, bahwa perkawinan telah dilakukan secara sah dan resmi.Ada anggapan bahwa “Dengan adanya upacara “Mabiakala” maupun “mabyakaon” perkawinan telah dianggap sah.26 I GustiKetutKaler menyebutkan bahwa secara umum pelaksanaan perkawinan meliputi upacara pendahuluan, upacara pokok dan upacara lanjutan.27. Berhubung proses pelaksanaan perkawinan merupakan rangkaian upacara yang mungkin saja tidak selesai dalam waktu yang bersamaan bahkan dapat berlangsung pada hari yang berbeda, atau mungkin juga baru selesai beberapa bulan, timbul permsalahan hukum untuk menetapkan moment yang menjadi unsursahnya perkawinan. Yurisprudensi, Keputusan RaadKerthaSingaraja Nomor 290/Crimineel, 14 April 1932 yang mempertimbangkan dalam putusannya bahwa selama “mabyakaon” belum dilakukan maka perkawinan belum dipandang sah. Pengadilan Negeri Denpasar dalam keputusannya Nomor 602/Pdt/1960 tanggal 2 Juli 1960 menetapkan bahwa suatu perkawinan dianggap sah menurut Hukum Adat Bali apabila telah dilakukan “pabyakaon” atau “mabyakaon”. Demikian
Gede Panetje, Aneka Catatan Hukum Adat Bali, (Denpasar:Kayumas, 1986) h.68 I GustiKetutKaler, CudamaniPawiwahan/Perkawinan Dalam Masyarakat Hindu di Bali. Tanpa nama dan alamat Penerbit. Tanpa Tahun
26 27
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
pula Keputusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 281/Pdt/1986/PDT tanggal 19 Oktober 1966.28 Walapun secara hukum perkawinan telah sah dengan dilakukannya upacara “mabyakaon” undang-undang juga menetapkan bahwa perkawinan harus dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil untuk memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan. Fungsi pencatatan perkawinan ini adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, seperti kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.
29
. Pada awal pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan di Bali ditunjuk Camat sebagai pencatat perkawinan bagi umat Hindu (Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 61/Kesra,IIC/504/75, tanggal 29 September 1975), kemudian sejak tahun 1988 pencatatan perkawinan bagi umat Hindu di Bali dilakukan di Kantor Catatan Sipil (Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 242 Tahun 1988, tanggal 9 Juni 1988). Menurut Pasal 10 jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, perkawinan dan pencatatan perkawinan harus dilakukan pada Kantor Catatan Sipil di hadapan Pegawai Pencatat dan dua orang saksi. Ketentuan demikian sulit untuk dilaksanakan pada masyarakat Hindu di Bali karena tempat upacara pengesahan perkawinan harus dilaksanakan dirumah keluarga mempelai yang berstatus sebagai “purusa” (umumnya mempelai pria). Penetapan waktu upacara perkawinan bagi umat Hindu di Bali sangat ditentukan oleh “alaayuning dewasa” (baik buruknya hari) sehingga Pegawai Pencatatan Perkawinan yang ada 28 29
TESIS
WayanWindia dan I KetutSudantra, Op.cit, h 90 Ibid.
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
di Kantor Catatan Sipil, yang dari segi kuantitas tidak banyak, akan mengalami kesulitan menghadiri upacara perkawinan yang mungkin sangat banyak terjadi dalam hari-hari tertentu yang dianggap sebagai hari baik dan pada tempat yang tersebar pula.Oleh karena itu berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 233 Tahun 1990 tertanggal 26 Mei 1990 ditunjuk Bendesa Adat/Kelian Adat sebagai Pembantu Pegawai Pencatatan Perkawinan umat Hindu dan menunjuk Kepala Urusan Pemerintah Kecamatan sebagai koordinator. Penujukan ini dipandang sebagai langkah yang sangat tepat, karena sejak dulu “prajuru adat” selalu hadir untuk menyaksikan setiap upacara perkawinan yangberlangsung di wilayahnya serta selalu mencatat setiap warganya dalam rangka menetapkan seseorang warga secara resmi menjadi anggota desa adat. 30 Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu : 1. Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dan dapat menolong derita orang tua/leluhur. 2. Sebagai persaksian secara lahir batin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri sebagai suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama. 3. Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya umat Hindu menganut sistem patrilineal (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistem matrilineal (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem matrilineal (garis Ibu) disebut kawin “nyeburin” atau“nyentana” yaitu mengikuti wanita, karena wanita nantinya menjadi kepala keluarga. Ada tiga macam perkawinan di Bali yang masih dipakai hingga saat ini yaitu : “ngerorod” (kawin lari), “Memadik” (meminang) , “Nyentana” (dimana laki-laki pindah secara permanen ke rumah istrinya).
30
TESIS
WayanWindia dan I KetutSudantra, Op.Cit, h 91
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.1.1 Perkawinan Ngerorod (kawin lari) Perkawinan Ngerorod (kawin lari) adalah perkawinan yang dilakukan oleh sepasang kekasih dengan cara diam-diamtanpa diketahui oleh keluarga pihak wanita. Pada zaman dulu, pria dan wanita mengatur pertemuan entah dimana yang tidak diketahui oleh keluarga pihak wanita dan bermalam bersama di suatu tempat, seperti misalnya rumah teman. Dalam proses ini diatur pula suatu publisitas agar kejadian ini diketahui oleh masyarakat dan akhirnya sampai ketelinga keluarga pihak wanita. Hal ini dimaksudkan agar keluarga pihak wanita tidak dapat menolak dan harus rela anak gadisnya dikawinkan dengan pria ini, si wanita akan berpura-pura pamit keluar untuk berjalan-jalan atau sebagainya kepada keluarganya dan kemudian dia akan dijemput oleh pihak pria untuk segera melaksanakan upacara perkawinan. Setelah upacara perkawinan selesai digelar, akanada utusan dari pihak pria yang menyampaikan kepada keluarga pihak wanita bahwa anak gadis mereka sudah menikah secara adat di rumah sang pria dan mulai saat ini telah menjadi anggota keluarga di sana. Perkawinan Ngerorodsemacam ini biasanya dilakukan karena hubungan mereka tidak disetujui oleh keluarga pihak wanita. Seiring berjalannya waktu, telah terjadi sedikit perubahan dalam sistematika Kawin Ngerorod(kawin lari) ini.Pada masa sekarang, banyak juga pasangan yang memilih melakukan perkawinan ngerorod walaupun hubungan mereka telah mendapat restu dari keluarga kedua belah pihak. Dalam hal ini, keluarga wanita akan berpura-pura tidak tahu bahwa anak gadis mereka akan menikah pada hari yang telah ditentukan dan hanya akan menunggu utusan yang
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
datang membawa berita. Hal semacam ini ditempuh karena alasan-alasan tertentu. Seperti yang dinyatakan oleh Ter Haar : Bakal sejodoh lari bersama dengan tiada peminangan atau pertunangan secara foemeel, ialah perkawinan lari bersama atau sama-sama melarikan diri (wegloophuwelijk of vluchthuwelijk), maka hal ini sudacara umum dalam susunan kesanak-saudaraan yang berhukum bapa, dan juga terdapat dalam wilayah-wilayah berhukum ibu bapa, malahan juga yang berhukum ibu. Maksudnya ialah untuk menghindarkan diri dari berbagi-bagi keharusan, sebagai akibat perkawinan pinang, lebih untuk menghindarkan diri dari tentangan pihak orang tua dan sanak-saudara. Tapi perbuatan itu tidak selalu sungguh-sungguh dicela oleh pemiliknya 31 Ada
beberapa
hal
yang
melandasi
dilakukannya
perkawinan
ngerorodsemacam ini, yaitu : a. Untuk menghemat biaya karena dalam perkawinan ngerorod tidak ada upacara mepamit dan sebagainya dirumah pihak wanita. b. Agar tidak merepotkan keluarga pihak wanita. c. Karena keluarga pihak wanita tidak memiliki sanak family lain yang akan membantu mereka dalam proses perkawinan ataupun mereka berada di perantauan yang jauh sehingga tidak memungkinkan bagi sanak saudaranya untuk membantu menyiapkan segalanya. 2.1.2 Perkawinan Memadik (Meminang) “Memadik” adalah bentuk perkawinan di Bali yang orang tua dan anggota keluarga lain anak laki-laki datang kerumah orang tua gadis dan dengan hormat meminta anak perempuan mereka. Pada hari yang telah disepakati bersama, keluarga dan kerabat dekat pihak laki-laki datang ke rumah pihak prempuan untuk menyampaikan keinginan mereka untuk menikahkan anak laki-lakinya dengan anak gadis dari pihak perempuan. Kemudian mereka akan menetapkan satu hari
31
TESIS
Ter Haar, op.cit. h.193
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
untuk mengumpulkan seluruh keluarga dari pihak prempuan dan meminta keluarga laki-laki dan kerabat dekatnya untuk datang kembali untuk melamar dan membicarakan tatalaksana upacara pernikahan. Proses pembicaraan ini disebut dengan ngidih (meminta). Setelah kesepakatan tercapai, dilakukanlah persiapan untuk hari dimana anak gadis itu akan dilamar. Pada hari yang telah ditentukan, calon pengantin laki-laki didampingi keluarga dan kerabatnyaakan datang kerumah calon pengantin perempuan untuk proses pelamaran. Kemudian, setelah dilakukan upacara mepamit, calon pengantin perempuan akan diboyong kerumah pihak laki-laki untuk melaksanakan rentetan upacara selanjutnya. Namun adapula sistem dimana upacara mepamitdirumah mempelai wanita dilakukan setelah upacara pernikahan dilakukan. Proses pernikahan memadik ini terbilang cukup merugikan
karena memakan banyak waktu dan biaya selama upacara dan
persembahan besar terlibat, baik itu bagi pihak keluarga laki-laki maupun perempuan. Oleh karenanya masih ada pasangan yang memilih untuk melaksanakan perkawinan ngeroroddaripada perkawinan memadikseperti yang dijelaskan sebelumnya. Terlepas dari masalah itu, perkawinan dengan cara meminang (memadik) dalam pandangan umum lebih terhormat daripada kawin ngerorod karena dalam prosesnya terjadi pembicaraan secara kekeluargaan terlebih dahulu serta ada sikap saling menghormati. Selain itu, martabat keluarga pihak perempuan pun tidak jatuh karena membiarkan anak gadisnya untuk kawin lari.Perlu diketahui juga bahwa dalam ajaran agama Hindu, menikahi anak untuk mencapai kebahagiaannya adalah salah satu hutang yang harus dilunasi oleh orang tua kepada anaknya.
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Umumnya pasangan memilih perkawinan dengan cara meminang. Pilihan cara
melangsungkan
perkawinan
tergantung
dari
suasana
pada
saat
magelanan(pacaran). Apabila suasana magelanan (pacaran) berjalan mulus, dalam arti pasangan tersebut benar-benar saling mencintai satu dengan yang lainnya serta mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak, maka mereka akan melangsungkan dengan cara meminang (memadik). Sebaliknya, apabila suasana saat pacaran kurang mulus, dalam arti pasangan itu saling mencintai satu dengan yang lainnya, tetapi hubungan mereka tidak direstui orang tua salah satu pihak, maka mereka memilih melangsungkan perkawinan dengan carangerorod (lari bersama).
2.1.3
Perkawinan Nyentana Nyentana adalah sistem perkawinan di Bali dimana
anak laki-laki
berangkat ke rumah gadis dan sesudah itu milik keluarga gadis. Dalam perkawinan ini, pihak wanita yang berperan sebagai purusa dan laki-laki sebagai predana.Ini terjadi kalau orang tua gadis tidak mempunyai anak laki-laki untuk merawat milik mereka yang mengharuskan mereka untuk mencarikan anaknya seorang sentananyeburin untuk meneruskan garis keturunan mereka.Dalam kasus ini, adalah orang tua laki-laki yang harus memberi ijin anak mereka untuk di boyong kerumah pihak wanita. Dalam perkawinan nyeburin tersebut, suami dari awal perkawinan sudah tinggal dirumah keluarga istri. Ia lepas dari keluarga asalnya dan diterima sebagai anggota keluarga istrinya, karena istrinyalah yang meminang dia. Selain itu juga,
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
upacara pengesahan perkawinan (mabyakaon) dilakukan dirumah si istri, dan pihak istrilah yang mengantar “sesajen-sesajen” yang diperlukan untuk upacara pelepasan ikatan si suami dari keluarga asalnya. Status perkawinan tersebut harus dibuat terang yaitu diumumkan kepada anggota banjar tempat asal mempelai perempuan dengan maksud supaya mendapat pengakuan secara sosial, menjamin kepastian hukum, antara lain menjaga kemungkinan akan timbul gugatan-gugatan kelak dikemudian hari mengenai diakui sah atau tidaknya perkawinan tersebut.
2.2
Karakteristik Sentana
2.2.1 Pengertian Sentana Kata “putra” berasal dari bahasa Sansekerta yang pada mulanya berarti kecil atau yang di sayang. Kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam keluarga : “oleh karena seorang anak yang akan menyebrangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Put (Neraka lantaran tidak
memiliki
keturunan).
Oleh
karena
itu
ia
disebut
“putra”
(Manavadharmauastra IX. 138).32 Kelahiran Putra yang suputra merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan. Kata yang lain untuk putra adalah: sinu, atmaja, atmasaybhava, nandana, kumara dan saytana.Kata yang terkahir ini di Bali menjadi kata senatana yang berarti keturunan. Seseorang dapat menundukan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan yang abadi, dengan kelahiran cucu-
32
TESIS
I Made Titib, dikutip dari artikel internet, www.parisada.org/index.
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
cucunya.
33
Pandangan susastra Hindu ini mendukung betapa pentingnya setiap
keluarga memiliki anak. Sentana merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang kemudian diadopsi menjadi istilah tertentu dalam bahasa Bali.Sentana memiliki makna keturunan yang meliputi anak, cucu, cicit, buyut, dan seterusnya. 34 Wayan P. Windia mengatakan anak kandung laki-laki biasa juga disebut sentana.35Jadi sentana dapat diartikan sebagai anak atau keturunan.Pada umumnyaistilah anak kandung dipergunakan untuk menyatakan seoramg anak terlahir dari perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Istilah sentana dipergunakan juga untuk menyatakan anak kandung sendiri sebagai ahli waris tunggal atau ahli waris terkemuka.36Sentana ini sendiri terdiri dari anak sentanadan anak sentanarajeg.Istilah anak kandung atau sentana ini mengandung pengertian yaitu anak yang dilahirkandari pasangan suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan secara sah, menurut hukum adat dan agamanya. Anak kadung atau sentanamenurut hukum adat bali adalah anak laki-laki dan anak perempuan yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Anak atau sentana laki-laki yang lahir dari perkawinan yang sah maupun anak angkat laki-laki pada prinsipnya menjadi penerus dari keluarga tersebut baik dalam hal mewaris maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.Namun tidak
Ibid. I GustiKetutKaler, Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali 2, CV. Kayumas Agung, Denpasar, 2005, h.136 35 WayanP.Windia, DandaPacamil Catatan Populer Istilah Hukum adat Bali, Upada Sastra, Denpasar, 2004 (selanjutnya disingkat WayanP.WindiaI )h.47. 36 GdePanetje, op.cit., h.83 33 34
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
menutup kemungkinan anak perempuan pun dapat menjadi penerus keluarganya seperti halnya anak laki-laki yakni ditetapkannya anak perempuan tersebut menjadi sentanarajeg melalui upacara yang disebut dengan peperasan.Inti dari upacara peperasanadalah pengangkatan status. Disini berarti menetapkan anak perempuan tersebut menjadi berstatus laki-laki, anak perempuan yang sebagai sentanarajeg inilah yang nantinya akan melanjutkan keturunan dari ayahnya karena berstatus sebagai laki-laki (purusa). GdePanetje menyebutkan “mengangkat sentana ataunyentanayang ialah suatu jalan untuk membuat jalam kekeluargaan tertentu antara yang mengangkat dan yang diangkat sentana”.
37
Jadi anak atau sentanadapat diartikan sebagai
keturunan yang akan meneruskan jalan kekeluargaan dan hubungan kekeluargaan, dan secara singkat dapat pula berarti bahwa sentana adalah pelanjut keturunan.
2.2.2 Macam-macam Sentana Seperti yang telah kita ketahui, bahwa tujuan utama dari perkawinan adalah untuk memperoleh anak sebagai pelanjut keturunan serta untuk membebaskan keluarga dari penderitaan neraka.Berbicara mengenai anak sebenarnya ada beberapa macam istilah yang dikenal dalam lingkungan masyarakat adat, diantaranya anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak piara, dan anak akuan. - Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan ibu dan ayah kandungnya. 38 Kedudukan anak Kandung dalam suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh perkawinan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Apabila GdePanetje, op.cit.h.63 HilmanHadikusuma, Hukum Waris Adat, Cetakan Kelima, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993 (selanjutnya disingkat HilmanHadikusuma II), h 76 37 38
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
-
-
perkawinan ayah dan ibunya sah maka anak tersebut adalah anak kandung yang sah, namun apabila perkawinan ayah dan ibunya tidak sah, maka anakanya menjadi anak kandung yang tidak sah.39 Anak tiri adalah anak yang bukan merupakan hasil kandungan suami istri yang bersangkutan, akan tetapi anak bawaan didalamperkawinan,dikarenakan sebelum perkawinan salah satu pihak atau bersama-sama pernah melakukan perkawinan dan mempunyai anak dan anak tersebut di bawa masing-masing masuk kedalam kehidupan rumah tangga setelah mereka mengikat tali perkawinan. 40 Anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat.41 Anak piara dapat juga disebut sebagai anak titipan yaitu anak yang diserahkan orang lain untuk berkewajiban untuk memelihara anak tersebut. 42 Anak akuan disebut juga anak pungut atau anak pupon, yaitu anak orang lain yang diakui oleh orang tua yang mengakuinya karena belas kasihan atau juga karena keinginan untuk mendapatkan tenaga kerja tanpa membayar upah. Disamping karena tersebut kemungkinan juga suatu keluarga itu tidak atau belum mempunyai keturunan, dengan mengambil anak orang lain untuk dipelihara sebagai anak panutan atau disebut juga anak pancingan diharapkan keluarga yang memelihara anak tersebut mendapat keturunan karenanya. 43 Mengenai sentanadi Bali ada bermacam-macam, yaitu antara lain:
sentanapeperasan, sentanarajeg, sentananyeburin, sentanacecepolan, sentana cucu marep, sentana melabuh api, sentanaselidihi, sentana kepala dara, dan lainlain. a. Sentanapeperasan yaitu anak orang lain yang diangkat menjadi anak melalui upacara meperasan. 44 Pemerasan merupakan syarat mutlak sahnya pengangkatan anak, dan kedudukan dari anak angkat ini adalah sama dengan anak kandung. b. Sentanarajeg adalah anak perempuan yang oleh orang tuanya ditetapkan sebagai sentana. 45atau istilah lainnya ngerajegangsentana berarti menetapkan
39
Ibid, h.143 Ibid, h.77 41 Ibid.,h. 149 42 Ibid., h. 151 43 Ibid. 44 V.E.Korn I, loc.cit 45 V.E.Korn, Hukum Adat Waris Di Bali, Terjemahan serta diberi catatan oleh I Gede Wayan Pangkat, Serie Publikasi Hukum Adat, Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar, 1972, (Selanjutnya disebut VE.Korn II), h 49 40
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
c.
d. e. f. g.
h.
anak wanita menjadi berstatus laki-laki. 46 Dimana anak perempuan yang ditetapkan statusnya sebagai sentanarajeg inilah nantinya menjadi pelanjut keturunan ayahnya, karena berstatus sebagai laki-laki dan sebagai ahli waris penuh, selama haknya sebagai ahli waris tidak gugur. Sentanacecepolan adalah seseorang laki-laki yang ditunjuk dan ditempatkan sebagai sentana seorang bapak yang tidak memiliki keturunan laki-laki, ataupun memberi suami kepada seorang anak perempuan tunggal dan sentana ini berhak mewarisi ayah angkatnya tanpa dilakukan upacara pemerasan. 47 Sentana cucu marep adalah pengangkatan seorang cucu menjadi sentana dan dibuatkan upacara pemerasan.48 Sentana melabuh api, adalah anak angkat yang kastanya lebih tinggi dari kasta keluarga yang mengangkatnya atau orang tua angkatnya. 49 Sentana kepala dara, adalah menantu laki-laki yang diperas (diangkat sebagai anak angkat) setelah melakukan perkawinan biasa dengan anak perempuan si mertua itu.50 Sentanaselidih adalah seorang pria yang mengganti mertuanya dalam segalagalanya, sedangkan istrinya mempunyai kedudukan (hukum) sebagai wanita biasa yang kawin keluar dan sentanaselidihitidak diperas, namun hanya disiarkan atau diumumkan dimuka rapat atau sangkapan kerama desa/banjar. 51 Sentana tarikan atau nyeburinyaitu seoranglaki-laki yang kawin nyeburin dan diperlakuan sebagai perempuan. 52 Dimana dalam perkawinan nyeburin ini, laki-laki masuk kedalam keluarga pihak perempuan dan berstatus sebagai perempuan (predana), sedangkan si perempuan berstatus sebagai laki-laki (purusa).
2.3
Karakteristik Nyeburin dan SentanaNyeburin Dalam ilmu morphologi, nyeburinmerupakan kruna tiran/ Kata Jadian,
kata dasarnya adalah cebur yang berarti : “terjun atau meloncat turun (biasanya sungai)”, yang kemudian mendapat anusuara/imbuhan “in” maka menjadi nyeburin. Jadi nyeburin artinya “melakukan tindakan nyebur, menyasar menuju sesuatu atau menerjuni sesuatu,” Sedangkan nyeburin dalam sebuah istilah dapat Soeripto dan Katidjan, Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Waris Bali, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1973, h 63 47 GdePanetje, op.cit.h.81 48 Ibid. 49 Soeripto dan Katidjan, op.cit., h.71 50 V.E.Korm II, op.cit., h. 50 51 GdePanetje, op.cit., h.78 52 I WayanBeni dan SagungNgurah, Hukum Adat Didalam Yurisprudensi Indonesia, Surya Jaya, 1986, h.53 46
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
diartikan sebagai : “nama suatu jenis/bentuk perkawinan menurut agama Hindu di Bali dalam mana sang wanita ditetapkan berkdudukan selaku purusa.53 Berdasarkan pengertian dan definisi diatas maka dapat diketahui bahwa nyeburinmerupakan suatu bentuk perkawinan menurut agama Hindu di Bali dalam mana sang wanita berkedudukan sebagai purusa (laki-laki) dan pihak laki-laki berkedudukan sebagai predana (wanita) dan tujuan utama dari perkawinan ini adalah untuk meneruskan garis keturunan dari pihak wanita. Artinya, pengantin wanitalah yang menarik suaminya keluar dari ikatan purusa ayah bunda dan saudara-saudaranya, serta mempelai laki-laki inilah yang secara hukum masuk kedalam ikatan purusakeluarga istrinya.54 Dengan kata lain dapat pula disimpulkan bahwa seorang laki-laki yang melakukan perkawinan nyeburin telah turun status menjadi wanita di rumah keluarga istrinya. Selanjutnya pihak wanita disebut sebagai sentanarajeg. Dalam masyarakat adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, segala sesuatu mengenai perkawinan, keturunan, maupun pewarisan semuanya lebih mengutamakan laki-laki atau lebih mengutamakan menarik garis dari keturunan laki-laki. Hal ini disebabkan karena anak laki-lakilah yang akan melanjutkan keturunan atau penerus
keturunan keluarganya. Namun, tidak
menutup kemungkinan bahwa anak perempuanlah yang nantinya akan meneruskan garis keturunan dan sebagai ahli waris keluarganya. Hal ini dapat terjadi bila kelanjutan keturunan dari keluarga tersebut tidak putus, maka status anak perempuan tersebut dapat diangkat menjadi laki-laki atau purusa yang 53 54
TESIS
I GustiKetutKaler, op.cit., h.59 I GustiKetutKaler, op.cit., h. 59
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dikenal dengan istilah sentanarajeg.Perempuan yang sudah diangkat statsunya inilah yang nantinya akan melakukan perkawinan nyentana. Perkawinan nyentanayang berlaku dalam kehidupan kekeluargaan masyarakat di Bali tidak hanya diakui sebagai upaya untuk meneruskan garis keturunan bagi keluraga yang tidak memiliki anak laki-laki, tapi lebih dari itu sentana telah berkembang dengan berbagai maksud antara lain untuk melindungi harta kekayaannya agar tidak jatuh ke tangan keluarga lain.
2.4
Proses Pengesahan Menjadi SentanaNyeburin Untuk sahnya suatu perkawinan nyentana/nyeburin, maka tetap harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan adat yang berlaku di masing-masing desa adat. Sebab ketentuan dari masing-masing desa adat terhadap pelaksanaan perkawinan nyentana/nyeburin tidaklah sama. Perkawinan nyeburin tentulah merupakan hasil perundingan atau pendekatan orang tua calon istri dengan keluarga calon suami.Kalau kesepakatan telah diperoleh maka perkawinanpun dapat dilakukan. Panetje menyebutkan, ciri dari perkawinan yang menandakan bentuk perkawinan ini nyeburin atau nyentana adalah upacara pengesahan perkawinan (mabyakon) diselenggarakan di rumah keluarga mempelai wanita dan pihak mempelai
wanitalah
yang
mengatur
sesajen-sesajen
pemelepehan(jauman)kerumah keluarga mempelai laki-laki sebagai upacara melepaskan ikatan si suami dari keluarga asalnya.55
55
TESIS
GdePanetje, op.cit., h.119
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sedangkan dalam awig-awig yang berlaku pada umumnya di desa adat, pekawinannyeburin tersebut sah menurut adat setempat maka setidaknya harus memenuhi syarat-syarat yang umum dan harus dipenuhi yaitu antara lain : 1. Pihak wanita merupakan anak tunggal dari keluarganya, ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi mengingat hakekat dari nyentananyeburin adalah meneruskan garis keturunan agar jangan sampai putus (putung). Ini berarti jika dalam keluarga yang memiliki anak laki-laki normal dan anak wanita, maka keluarga tersebut tidak bisa melakukan nyentananyeburin karena telah memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan keluarganya. 2. Telah melakukan ritual upacara secara adat yang mengangkat hak wanita tersebut sehingga statusnya sekarang menjadi laki-laki (purusa). 3. Adanya tri upasaksi :Dewa saksi, Manusa saksi, dan Butha saksi (sekalaniskala). Secara niskala melalui upacara yang dipimpin oleh pemimpin agama (pemangku, pedanda), dan secara sekaladisaksikan oleh prajuru desa adat atau telah pula disiarkan/diumumkan di desa adat, biasanya diumumkan dalam paruman/rapat desa adat. Sedangkan upacara pokok dari perkawinan nyeburin yang menurut adat dinilai selaku pemuput atau klimaksnya dari perkawinan nyeburin adalah upacara “mesakapan” dan upacara ini dilakukan dirumah asal pihak wanita. Upacara mesakapan ini haruslah dipimpin/dipuput oleh seorang pemimpin agama (pinadhita) dan disaksikan oleh prajuru desa adat ataupun yang berwenang untuk itu, kemudian akandicatatakan dalam catatan desa adat oleh yang berwenang. Jadi untuk sahnya suatu perkawinan nyentananyeburin tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan adat yang berlaku di desa adat tersebut, terlebih lagi ketentuan nyentananyeburin telah ditentukan dalam awig-awig desa adat, maka segala sesuatunya tidak boleh bertentangan dengan awig-awig.
2.5
Sistem Pewarisandi Bali dan Syarat sebagai ahli waris. Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur
tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dari
pewaris
kepada
ahli
waris
dari
generasi
ke
generasi
berikutnya.56Sesungguhnya hukum waris merupakan hukum harta kekayaan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya atau keturunanya.Untuk mengetahui lebih dalam mengenai hukum waris ini penulis ingin melihat bagaimana pendapat ahli hukum, mengenai pengertian dan pada hukum waris itu sendiri. Pertama-tama kita dapat melihat pendapat Muhammad yang menyatakan : “hukum waris itu berdiri netral dalam hubungan-hubungan hukum lainnya, sebab hukum waris meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan poses yang terus menerus dari abad keabad, ialah suatu penerusan dan peralihan harta kekayaan baik materil maupun inmaterial dari angkatan manusia”57 Ter Haar juga memberikan suatu definisi, bahwa hukum waris adalah “ Hukum yang meliputi peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materil maupun inmaterill dari suatu generasi kepada generasi berikutnya”. 58 Selanjutnya R. Soepomo mengatakan: “Meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan bukan harta benda”.59 Jadi dengan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan meninggalnya pewaris merupakan salah satu syarat mutlak terbukanya warisan, HilmanHadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung:CV. Mandar Maju, 2003). H.211 (selanjutnya disebut HilmanHadikusuma II). 57 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: PradnyaParamita, Cetakan ke 7, 2000, h.40 58 Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan SoebektiPoerponoto, (Jakarta: PradnyaParamita, 1983), h.231 59 R.Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta:PradnyaParamita, tahun 1977), h.81 56
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
namun dalam hukum adat dan kenyataan di masyarakat tidak demikian halnya, pewaris berjalan semenjak orang tua masih hidup seperti misalnya dalam suatu perkawinan.Dalam hal ini jika seorang anak yang sudah kawin kemudian mendirikan rumah tangga, sering kali orang tuanya memberikan sesuatu untuk dasar kehidupan materildari keluarga baru anaknya, misalnya dengan memberikan sebidang tanah untuk anak laki-lakinya. Membicarakan hukum waris terdapat tiga unsur yang terkandung di dalamnya yaitu : a. Adanya seorang peninggal warisan atau erflater yang pada saat wafatnya meninggalkan kekayaan. b. Adanya seorang atau beberapa ahli orang ahli waris atau erfgenaamyang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan. c. Adanya harta warisan atau nalatenschap yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada ahli waris. 60 Disamping tiga unsur di atas dalam hukum waris dikenal adanya beberapa sistem pewarisan yang umum berlaku antara lain: a. Sistem pewarisan individual, yaitu sistem ini memberikan kepada ahli waris secara perseorangan untuk memperoleh bagian warisan menurut bagiannya masing-masing. Ahli waris dapat menguasai bagiannya untuk diusahakan demi kelangsungan hidup ahli waris. Sistem ini berlaku pula di Bali khususnya di daerah-daerah yang telah berkembang pesat sector perekonomian seperti di Bali Utara, khususnya Singaraja. b. Sistem pewarisan kolektif, yaitu dalam sistem ini harta warisan akan dibagikan secara kolektif antara ahli waris dan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipecah-pecah. Sistem ini berlaku di Bali khususnya terhadap barangbarang pusaka terutama warisan yang berupa tempat pemujaan atau sanggah. 61 c. Sistem pewarisan mayorat, yaitu sistem ini masih berlaku di daerah Bali terutama di desa-desa yang masih ada tanah ayahan desa. Pengalihan atas penguasaan tanah ayahan desa ini diberikan kepada anak yang tertua yang
R. WirjonoProdjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, Cetakan ketujuh, (Sumur Bandung, 1983), h.14 61 Iskandar, Hukum Adat Waris di Indonesia, Institut Pres IKIP, Yogyakarta, h.25. 60
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
akanmengganti kedudukan orang tuanya di desa dan bersedia memikul tanggung jawab ayahnya kepada desa dimana tanah ayahan desa berada. 62 Pewarisan dalam hukum adat Bali tidak semata-mata berisi hak ahli waris atas harta warisan, lebih dari itu yang terpenting adalah kewajiban ahli waris terhadap pewaris. Sebagai konsekwensi dari hak yang diterima, seorang ahli waris mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu, yaitu : 1. Memelihara pewaris ketika pewaris dalam keadaan tidak mampu; 2. Menguburkan jenazah pewaris dan atau menyelenggarakan pengabenan (upacara pembakaran jenazah) bagi pewaris dan menyemayamkan arwahnya di sanggah/merajan (tempat persembahyangan keluarga) , 3. Menyembah arwah leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan: 4. Melaksanakan kewajiban-kewajiban (ayahan) terhadap banjar/desa. Kelalaian terhadap kewajiban-kewajiban tersebut dapat dijadikan alasan untuk memecat kedudukan seseoang sebagai ahli waris.63 Dalam diskusi Hukum Adat Waris Bali (1971) disebutkan bahwa ahli waris terputus haknya menerima harta warisan antara lain karena : 1. Sentanarajeg yang kawin keluar; 2. Anak laki-laki yang tidak melaksanakan dharmaning anak, misalnya durhaka terhadap leluhur, durhaka terhadap orang tua; 3. Anak laki-laki kawin nyeburin. 64 Pewarisan merupakan suatu proses yang dapat dimulai ketika pewaris masih hidup, sehingga kurang tepat pandangan yang menyatakan bahwa pembagian baru dapat dilakukan setelah pewaris diaben (berasal dari kata ngaben=prosesi pembakaran mayat) seperti ditentukan dalam Peswara Tahun 1900. Di dalam Pasal 1 ayat (2) Peswara memang menyebutkan bahwa : I GustiKetutSutha, Beberapa Aspek Hukum Waris Adat Bali, denpasar: Fakultas Hukum UNUD No 24 tahun 1982, h. 13 63 VE Korn, Op.Cit, h.19 64 WayanWindia dan KetutSudantra, Op.Cit, h. 120 62
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
“sebelum pengabenan diselenggarakan, dilarang melakukan pembagian atas harta peninggalan itu atau melepaskan (menjual, menggadaikan, dan sebagainya, kecuali untuk keperluan tersebut”. Proses penerusan harta warisan sudah dimulai ketika pewaris masih hidup, teruta ma terhadap warisan yang dapat di bagi-bagi secara individual (sistem kewarisan individual). Apabila ahli waris lebih dari seorang, semasih hidup pewaris umumnya sudah membagi-bagikan hartanya kepada ahli waris dengan tujuan untuk menghindari kesulitan-kesulitan dikemudian hari.Hal itu dapat dilakukan melalui pemberian-pemberian yang bersifat sementara ataupun tetap. Pemberian yang bersifat sementara misalnya berupa pangupajiwa, pedum pamong atau pedum raksa yang akan diperhitungkan kembali setelah pewaris meninggal atau diaben. Sedangkan pemberian yang bersifat tetap dapat dilakukan melalui hibah (jiwadana), yaitu pemberian lepas dari pewaris kepada ahli waris. Harta warisan yang dapat dibagi umumnya diwarisi secara individual diantara ahli waris (sistem kewarisan individual). Pembagian warisan dilakukan secara musyawarah diantara ahli waris berdasarkan asas laras, rukun dan patut, dimpimpin orang tuanya. Apabila orang taunya sudah tidak ada, maka musyawarah dipimpin oleh anak laki-laki tertua, kadang-kadang juga diundang pejabat desa (desa dan dinas) untuk menjadi saksi.
65
Selain harta warisan yang
dapat dibagi, terdapat pula harta warisan yang tidak dapat di bagi-bagi, seperti: sanggah/merajan, duwe tengah (tanah milik bersama) yang diperuntukan untuk laba (pembiayaan). Untuk harta warisan golongan ini, umumnya diwarisi secara
65
TESIS
WayanWindia dan I KetutSudantara, Op.Cit, h.122.
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
kolektif (sistem kewarisan kolektif).Sedangkan untuk tanah-tanah adat seperti Pekarangan Desa (PKD) dan tanah ayahan desa (AyDs) lazimnya diwarisi sorang anak laki-laki sulung atau bungsu (sistem kearisanmayorat/minorat) tergantung aturan adat dari masyarakat setempat.dalam halnya dengan laki-laki yang kawin nyeburin/nyentana
maka kedudukannya ia kehilangan hak mewarisnya baik
terhadap harta orang tuanya dan harta pusaka seperti sanggah/merajan.66
66
Made SuasthawaDharmayuda, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, (Denpasar: Upah Sastra, 2001)h.140
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM ...
DESAK AGUNG MADE MEGAWATI