BAB II Karakteristik Kitab Ria>yah al-Himmah A. Sejarah Penulisan Kitab Mengenal sosok Kiai Haji Ahmad Rifa’i tidak bisa luput dari perhatian kita terhadap perjuangan dakwah yang dikembangkannya, dalam sejarah telah diceritakan bahwa amar ma’rufnya dikombinasikan dengan suatu kritik sosial baik terhadap kaum birokrat tradisional, pemerintah Belanda maupun kepada adat sosio-kultural masyarakat pada waktu itu. Kritik terhadap pemerintah Belanda karena dianggap sebagai kafir dan penjajah, kritik terhadap birokrat tradisional karena dianggap sebagai pendukung penguasa kolonial, sedangkan kritik terhadap adat istiadat sosio-kultural berdasarkan anggapan bahwa pengamalan Islam sudah dicampur-campur dengan keadaan masyarakat pra-Islam. Sehingga muncul semangat ide gagasan untuk mengembalikan ajaran Islam kejalan yang benar sesuai dengan sumber aslinya yakni alQur’an dan hadits,1 mendorong Kiai Haji Ahmad Rifa’i untuk menerjemahkan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an kedalam bahasa Jawa, agar orang awam dapat memahami tentang hukum-hukum dalam syariat Islam yang ditulis dalam kitab karya-karyanya.
1
Dr. Karel A. Steen brink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad XIX , hlm
108.
26
27
K.H. Ahmad Rifa’i merupakan salah satu ulama yang produktif dalam menulis. Tidak kurang 69 buah karyanya ikut menghiasi wacana intelektual klasik Nusantara. Tulisannya meliputi berbagai bidang keilmuwan diantaranya tauhid, fiqh, tasawuf, pendidikan metode dakwah dan tentang kerukunan. Materi tulisannya tidak hanya mengekor pada para pendahulunya, tetapi juga memberikan pemikiran-pemikiran baru dengan mempertimbangkan konteks sosial keagamaan masyarakat.2 Salah satu dari karya beliau adalah kitab Ria>yah al Himmah. Kitab ini ditulis pada tahun 1266 H/ 1851 M, terdiri atas dua jilid berisi 25 koras atau 500 halaman. Sebagaimana tertera pada bagian muqodimahnya, ia membicarakan tiga masalah dalam Islam yaitu Ushu>l, Fiqh, dan Tasawuf.3 Pada pembahasan awal kitab ini K.H. Ahmad Rifa’i menerangkan bab masalah ushul terutama masalah iman, sebab iman menjadi dasar pokok dalam kehidupan seorang muslim. Kitab ini memiliki kedudukan yang sangat penting dikalangan pengikut Rifa’iyah karena dianggap sebagai sumber primer dibandingkan dengan kitab-kitab lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya pengikut Rifa’iyah yang memilikinya dan kitab ini merupakan bagian
2
Ahmad Syadzirin Amin, Gerakan Syekh Ahmad Rifa’i Dalam Menentang Kolonial Belanda, cet. Ke 1( Jakarta : Jama’ah Masjid Baiturrahman, 1996/1997), hlm 127 3
Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa, hlm 26-27
28
kategori dari sepuluh kitab yang harus dibaca terlebih dahulu sebelum membaca kitab-kitab yang lain.4 K.H. Ahmad Rifa’i sangat menekankan masalah iman, karena iman berhubungan dengan akidah dan merupakan bukti pengesaan meyakini adanya Allah. Iman Secara bahasa “iman” berarti pembenaran hati, kemantaban hati atau percaya, sedangkan secara syari’at “iman” berarti mengetahui Allah dan sifat-sifatnya disertai dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya.5 Paham keimanan yang dikembangkan dan dianut oleh K.H. Ahmad Rifa’i dan para pengikutnya pada dasarnya sejalan dengan paham keimanan (teologis) yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, terutama teologi ahlu sunnah wal jama’ah. K.H. Ahmad Rifa’i mempercayai rukun iman yang enam, yakni : iman kepada Allah, iman kepada Malaikat-malaikat Allah, iman kepada Nabi dan Rasulnya, iman kepada Kitab-kitabnya, iman kepada hari kiamat, dan iman kepada takdir Allah. Ciri khas paham Rifa’iyah dalam bidang keimanan yang memebedakan dengan mayoritas umat Islam di Indonesia hanya terletak pada segi ajaran yang bersifat perincian, antara lain penggolongan malaikat, dan jumlah kitab-kitab Allah.6
4
Di lingkungan pesantren Rifa’iyah, para santri diwajibkan membaca sepuluh basmalah (sepuluh kitab) sebagai syarat untuk dapat membaca kitab-kitab lainnya diluar kitab Tarajumah. Lihat Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa, hlm 28 5 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Cet. 14 (Surabaya: Penerbit: Pustaka Progressif, 1997), hlm 59 6 K. H. Khoiruddin Hasbullah, Tauhid dalam Pandangan K. H. Ahmad Rifa’i dan perbandingannya, hlm 9
29
B. Sistematika dan Teknik Penulisan Tafsir Setiap kitab tafsir yang ditulis oleh mufassir memiliki sistematika yang berbeda dengan kitab lainnya. Perbedaan tersebut sangat tergantung pada kecenderungan, keahlian, minat, dan sudut pandang penulis yang dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan dan pengalaman serta tujuan yang ingin dicapai penulisnya. Sistematika penafsiran al-Qur’an adalah aturan penyusunan atau tata cara dalam menafsirkan al-Qur’an, misalnya yang berkaitan dengan teknik penyusunan atau penulisan sebuah tafsir. Jadi sistematika penafsiran lebih menekankan pada prosedur penafsiran yang dilalui atau menekankan pada urutan–urutan al-Qur’an. Cara penulisan kitab Ria>yah al-Himmah ini berbeda dengan tradisi penulisan kitab-kitab berbahasa Arab yang menyajikan pembahasan berdasarkan bab atau pasal sehingga terkadang agak sulit untuk memilah keseluruhan pembicaraan dalam kitab ini karena sering terjadi pengulangan dilihat dari segi isi maupun penuturannya. Satu-satunya jalan untuk mengklasifikasikan pembahasn masalah dalam kitab ini adalah melihat istilah7
8
dan
dalam penulisan
kitab Ria>yah al-Himmah ini disebutkan juga soal-jawab uraian ini bertujuan untuk memberikan pengertian yang mendasar, penjelasan dan pengarahan suatu masalah dengan mengambil rujukan al-Qur’an ditulis 7
Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa, hlm 26 Kata tanbihun secara harafiah berarti pengingat, lazim dipakai dalam penulisan kitab kuning sebagai isyarat untuk memberi penekanan pada pembaca 8
30
dengan lafadz
al-Sunah ditulis dengan lafadz
pendapat para ulama ditulis dengan lafadz
dan
.9 yang
disebutkan untuk mengawali pembicaraan dan sekaligus juga menjadi tanda untuk mengalihkan pembicaraan satu dengan lainnya.10 Sedangkan bentuk penulisan dalam kitab tarajumah, ditulis menggunakan tulisan tangan, Arab pegon. Khusus untuk susunan kalimat yang berasal dari al-Qur’an, al-Sunah, pendapat ulama’ dan tulisan bahasa Arab ditulis sebagaimana aslinya dengan menggunakan tinta merah, sedangkan dalam bentuk syair (puisi) menggunakan akhiran yang sama pada setiap empat bait (baris), setiap halaman memuat dua puluh sampai dua puluh dua baris, ditulis dengan menggunakan tinta hitam.11 Dilihat dari teknik penulisannya, kitab ini memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan tradisi penulisan kitab-kitab lain berbahasa Arab yang sudah masyhur dikalangan umat Islam. Struktur penulisan kitab
Ria>yah al-Himmah ini sangat kental nuansa sastra Jawa yang tidak ada dalam kitab manapun. C. Sistematika Penulisan Kitab Tafsir Sistematika penulisan kitab yang dipakai K.H. Ahmad Rifa’i dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berbeda dengan tradisi penafsiran kitabkitab berbahasa Arab, sehingga hal ini menarik untuk dikaji. Jika melihat 9
Masykur,Skripsi: Kyai Haji Ahmad Rifa’i dan Kitab Tabyin al-Islah (Yogyakarta: IAIN, Sunan Kalijaga 1992), hlm 72 10 Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa, hlm 26 11 Masykur, Kyai Haji Ahmad Rifa’i, hlm 75
31
tradisi penafsiran di Indonesia yang dilakukan pada abad 18 dan 19 penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama pada zaman ini, hanya sebatas penafsiran ayat-ayat untuk kebutuhan dakwah Islamiyah. Begitu juga dengan penafsirannya K.H. Ahmad Rifa’i, beliau menafsirkan ayat-ayat dalam al-Qur’an untuk dakwahnya menyebarkan amar ma’ruf nahi munkar sekaligus sebagai kritikan-kritikan kepada pemerintah Belanda yang berkuasa pada saat itu, dan penafsirannya di ditulis dalam bentuk kitab. Berikut adalah sistematika penafsiran yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Rifa’i :
1. Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan tema, selanjutnya ayatayat diterjemahkan kedalam bahasa Jawa dan ditafsirkan sesuai dengan keperluan tujuan dakwah K.H. Ahmad Rifa’i pada masyarakat saat itu. Diantara contohnya ialah ayat sebagai berikut: Ayat
Tema Pengertian Iman
Pengertian Iman
Pengertian Iman
32
Pengertian Iman
Pengertian Iman
2. Dalam menafsirkan ayat K.H.Ahmad Rifa’i sering memotong bagianbagian ayat tanpa menyertakan bagian ayat selanjutnya atau sebelumnya. Diantara contohnya ialah ayat dibawah ini:
Dalam contoh ayat di atas K.H. Ahmad Rifa’i hanya ingin membahas ayat tentang penggambaran malaikat namun dalam ayat ini K.H. Ahmad Rifa’i fokus penafsiran pada ayat (
33
)12 tanpa menyertakan bagian
ayat yang selanjutnya. Pada umumnya pemotongan-pemotongan ayat yang dilakukan K.H. Ahmad Rifa’i bertujuan untuk memadukan syair atau nadha>m agar baitbait yang ditulis dapat sesuai dengan sajak dalam syair. 3. Ayat-ayat yang dikumpulkan dalam pembahasan tentang bab Ushuluddin, di dalamnya membahas tentang pengertian iman, macam-macam iman, syarat sahnya iman, perkara yang membatalkan iman, dan hukuman bagi orang-orang yang tidak beriman. 4. Mengemukakan hadits-hadits sesuai dengan tema. 5. Membuat sistematika kajian dalam kerangka yang sistematis dan lengkap yang mencakup semua segi dan tema kajian. 6. Merujuk pada kalam Ulama, maupun syair-syair bahasa Arab untuk menguatkan argumen dalam penafsiran. D. Sumber-sumber Penafsiran Dalam menyusun kitab ini Kiai Haji Ahmad Rifa’i menggunakan beberapa sumber kitab kuning yang banyak tersebar di kalangan, pesantren antara lain: a. Dalam bidang Ushu>l ia merujuk pada beberapa kitab seperti Tuhfah al-
Muri>d tulisan Ibrahim al-Bajuri, Qathr al-Ghai>ts tulisan Nawawi al-
12
K.H. Ahmad Rifa’i, Ria>yah al-Himmah tt. Hlm 36
34
Jawi, Jauharah at-Tauhi>d tulisan Ibrahim Laqani, Um al-Bara>hin tulisan Muhammad as-Sanusi. b. Dalam bidang Fiqh ia merujuk pada kitab-kitab seperti Syarah Sittin Mas’alah tulisan Ahmad ar-Ramli, Minha>j al-Abidi>n tulisan alGhazali, I’anah ath-Tha>libin tulisan al-Fadil as-Salih al-Kamil asSayid Abu Bakar, Al-Bajuri tulisan Ibrahim al-Bajuri, Bida>yah al-
Hida>yah tulisan al-Ghazali, Minha>j ath-Thulla>b tulisan Zakaria alAnshari, Syarah Hikam tulisan Ibnu Atha’illah as-Sukandari, Marqi alUbudiyyah tulisan Muhammad Nawawi al-Jawi, dan lain-lain Dalam bidang Tasawuf ia merujuk pada kitab-kitab seperti Ihya’ ‘Ulu>m
ad-Di>n tulisan al-Ghazali, Tanbi>h al-Gha>filin tulisan Muhammad bin Ibrahim as-Samarkandi, Tuhfa al-Murid tulisan Ibrahim al-Bajuri dan lainlain.13
13
Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa, hlm 32