KOMUNIKASI NARATIF KITAB BULA MALINO DAN PESAN DAKWAH DALAM BARIS 332-383 Skirpsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)
Oleh La Ode Chusnul Huluk NIM: 109051000058
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PERNYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah dicantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian terbukti bahwa karya ini bukan karya asli peneliti atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima konsekuensi sesuai yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 28 September 2014
La Ode Chusnul Huluk
ABSTRAK La Ode Chusnul Huluk Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino dan Pesan Dakwah dalam Baris 332-383 Kitab Kabanti Bula Malino adalah syair yang ditulis oleh Muhammad Idrus Kaimuddin pada tahun 1824 M, sebagai bentuk upaya melestarikan kebudayaan Islam di masa itu. Dalam perkembangan kajiannya, kitab ini megandung ajaran-ajaran dakwah serta ajaran religionitas. Salah satu syair agama Sultan Buton ke-29 tersebut memuat tentang cerita manusia yang pasti akan mati sehingga menasehati dirinya agar cenderung pada kebajikan dan jauh dari kemungkaran untuk sebuah tujuan menjadi manusia yang husnul khatimah. Dari pernyataan di atas, muncul pertanyaan penelitian, bagaimana narasi dakwah dalam cerita pengarang dalam kitab tersebut? Bagaimana rangkaian atau relasi petanda perstiwa dalam narasi kitab tersebut dilihat dari karakteristik narasi? Apa pesan dakwah dalam baris 332-383 dalam kitab yang berbentuk tulisan aksara arab-wolio tersebut. Adapaun tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana aktan Greimas dalam narasi kitab dan mengetahui pesan dakwah apa yang terkandung dalam baris 332-383. Teori yang digunakan dalam pembahasan ini adalah Model Atan Algridas Julian Greimas yang akan melihat enam petanda dan bagaimana keterkaitan tanda tersebut dalam narasi yang koheren serta bersifat logis dalam kitab yang dikaji. Komunikasi naratif tersebut akan memunculkan peran-peran apa saja dalam syair agama tersebut. Sedangkan metodologi yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah kualitatif, yaitu melakukan wawancara langsung kepada para praktisi syair juga pemegang naskah syair tersebut. Kemudian mengumpulkan, menyusun, menerjemahkan kembali dan menganalisis naskah kitab tersebut. Upaya Idrus, sebagai narator, menulis rangkaian nasehat untuk dirinya yang relevan dengan perintah QS Ali Imran [3]: 104 mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar. Kita Bula Malino memuat rangkaian narasi yang mempunyai koherensi dengan logika kehidupan nyata yang mana alur narasinya tidak acak (random). Secara terstruktur dan teratur penulis kitab menarasikan perjalanan manusia agar mencapai tujuan husnul khatimah. Sehingga, pembaca akan terkonstruk masuk ke dalam isi kitab yang narasinya memukau tersebut. Kabanti Bula Malino merepresentasikan dakwah melalui narasi dalam tulisan kitab kepada masyarakat buton. Media dakwah dalam bentuk kitab ini sudah merambah ke masyarakat baik berbentuk buku transliterasi maupun dalam bentuk kaset VCD. Bukti kefamiliaran syair tersebut diperkuat dengan adanya kajian dalam bentuk buku. Namun, seyogyanya kitab tersebut dapat diformulasikan dengan gerakan dakwah masa kini hingga bisa dikembangkan dalam bentuk Ebook bahkan menjadi sebuah aplikasi telepon genggam “Andrioid”. Key word: Bula, Dakwah, Kabanti, Kitab, Malino, Narasi, dan Syair.
i
KATA PENGATAR Bismillahhirahmanirrahim Alhamdulillah serta rasa syukur yang besar peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan limpahan nikmat yang begitu banyak. Sehingga dengan segala ridho Allah SWT peneliti dapat merampungkan skripsi ini. Tanpa semua nikmat yang diberikan oleh-Nya, penelitian dan penyusunan penelitian ini mungkin takkan selesai. Shalawat teriring taslim senatiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya, yang telah mengalirkan syiar dakwah hingga terasa sampai saat ini. Proses perkembangan gerakan dakwah pada zamannya menjadi inspirasi sejumlah ulama untuk menulis dan membukukannya pada konteks dakwah masa khilafah hingga saat ini. Kabanti Bula Malino merupakan Karya Agung Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin di Buton pada tahun 1824 M. Pesan dakwah yang berkaitan dengan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam syair tersebut menjadi encoding peneliti terhadap formulasi gerakan dakwah masa kini. Masyarakat Buton beserta peneliti merasa penting untuk mengkaji kitab Bula Malino. Sebab, budaya kabanti ini sangat diyakini sebagai ajaran religionitas paripurna pada masa kesultanan Buton. Kitab tersebut akan sangat bermanfaat bagi masyarakat Buton khususnya jika telah bertranformasi menjadi Ebook atau bahkan bisa dibuat dalam aplikasi Android seperti Al-Qur’an dan Hadits.
ii
Hasil karya ini penulis persembahkan secara khusus kepada kedua orang tua kedua Ayahanda La Ode Chalid dan (almh) Ibunda Wa Ode Zafia. Dengan segala keberkahan dari Allah SWT sehingga do’a yang terus mengalir, dukungan yang tak pernah padam baik moral maupun materil, serta kasih sayang dari keduanya yang begitu besar menjadi motor penggerak untuk lebih optimis. Teruntuk Ibu Syahadah Saudara kandung, (Kak Wa Ode Alfiati Kalsum, Kak Zahid Alqaf, Kak Wahyu Hidayat, Kak Iman Wahyuddin, Kak Muh. Tsauban, Kak Wahiduddin Ridha, Kak Wa Ode Istqomah, dan Adik Ahmad Maqbulah), yang lebih dari sekedar membantu, bahkan mendukung peneliti seperti mentari pagi yang membawa aura spirit tiap hari, sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Atas usainya pendidikan S-1, penelitian, dan penulisan skripsi ini, saya berhutang budi dan ingin menyampaikan juga ucapan terima kasih yang sebebsar-besarnya kepada beberpa individu yaitu: 1. Keluarga Besar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidyataullah Jakarta yang telah memberikan khazanah keilmuan dalam pendidikan, keorganisasian, dan wawasan kemahasiswaan penulis selama ini, yaitu: Dr. H. Arief Subhan, M.A (Dekan FIDKOM), Dr. Suparto, S M.Ed, Ph.D (Wadek I), Drs. Jumroni, M. Si (Wadek II), Drs. Sunandar Ibnu Noor, M.A (Wadek III), Rahmat Baikhaky, M.A (Kajur KPI), Fita Faturokhmah, M. Si (Sekjur KPI), serta para Dosen lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
iii
2. Kepada Dosen Pembimbing skripsi, Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, yang telah menuntun dan mengajarkan banyak hal kepada peneliti sehingga skripsi ini selesai dengan baik. 3. Segenap Staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan pelayanan yang memuaskan sehingga membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini. 4. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Baubau dan Kabupaten Buton, serta Bapak Syaifuddin, Bapak Lambalangi dan Ibu Hj. Siti Suhura, terutama Bapak Almujazi yang telah meluangkan waktunya untuk mempermudah peneliti mendapatkan data dan informasi yang relevan dengan penelitian ini. 5. Buat sahabat sekaligus sebagai keluarga Peneliti (di Jakarta) yaitu, Kak Falah Sabirin, Kak Rasid Ante Amiruddin, Kak Sabir Laluhu, Kak Hamid Munier, Kak Samnur Abdullah, Kak Kasman, Kak La Ode Syahril, Harsin Hamid, Muh. Awaluddin, Mujahidin Nur, Yudi Asfar, serta rekanrekan Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Indonesia Buton (HIPPMIB) Bersatu-Jakarta lainnya, dan juga buat Abdul Hanafi yang lebih dari pekerjaan Tukang Ojek telah membuat peneliti lebih dari sekedar terbantu hingga skripsi ini selesai. 6. Tak terlupakan dalam benak serta sanubari peneliti, yaitu luapan terima kasih kepada Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid Baubau (Buton) sebagai lembaga pendidikan pertama yang mengajarkan banyak tentang filsafat keislaman, hingga saat ini. Juga terimakasih kepada (alm) KH. Syahruddin Saleh, MA, Keluarga H. Sabirin, Pondok Pesantren, KH.
iv
Abd. Rasyid Sabirin, Lc, M.A, Ust. Jafar Karim, Ust. Jamhur Baeda, Ust. Faisal Islami Ust. Amir, Para pengajar, dan seluruh santri Pndok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid Baubau. Dari lingkungan dan pendidikan lembaga inilah cakrawala wawasan dan intelektual awal tentang keislaman dan keindonesiaan peneliti peroleh. 7. Terimaksih juga untuk Siti Musfiroh, (alm) Ahmad Riyadh Firdaus, dan Muhammad Rifki serta teman Jurusan KPI B 2009 dan KKS DIMENSI 2012 di Desa Tolandona Matanaeo Buton Sulawesi Tenggara dengan segala upaya silaturrahmi teman-teman sehingga peneliti makin optimis menyelesaikan skripsi ini. 8. Terimakasih buat HMI, sebagai awal perjalanan peneliti dalam memahami pergerakan sebagai insan yang produktif. LPM Institute UIN Jakarta, sebagai ibu yang mengajarkan cara menulis dengan baik. LAPMI Ciputat, adalah rumah singgah peneliti untuk mengenal jurnalistik secara praktis. KONTRAS Music FIDKOM, telah mendukung dan mendo’akan peneliti, juga sebagai ruang ekspresi kegamangan untuk mencurahkan hasrat musik. Penelti
La Ode Chusnul Huluk
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...............................................................................................
i
KATA PENGANTAR .............................................................................
ii
DAFTAR ISI ...........................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ...................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................
5
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
5
D. Manfaat Penlitian ....................................................................
6
E. Metodologi Penelitian .............................................................
6
1. Pendekatan Kualitatif ........................................................
6
2. Paradigma Penelitian .........................................................
6
3. Metode Penelitian..............................................................
7
4. Subjek dan Objek Penelitian .............................................
7
5. Teknik Pengumpulan Data ...............................................
7
6. Teknis Analisis Data ........................................................
9
7. Waktu dan Tempat Penelitian ...........................................
9
F. Tinjauan Pustaka .....................................................................
9
G. Sistematika Penulisan .............................................................
10
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Syair Di Nusantara ................................................................
12
1. Sejarah Perkembangan Syair ...........................................
12
B. Syair-syair yang Muncul di Buton ..........................................
21
1. 1. Mengenal Aksara .........................................................
24
C. Syair Sebagai Media Dakwah .................................................
25
1. Dakwah dan Objek Kajiannya ..........................................
25
2. Metode Dakwah ................................................................
28
3. Media Dakwah ..................................................................
32
vi
4. Materi Dakwah ..................................................................
36
D. Semiotik dalam Syair ..............................................................
40
1. Semiotika ..........................................................................
40
2. Semiotika dalam Studi Sastra Narasi ................................
42
E. Komunikasi Naratif dan Sastra ...............................................
47
1. Karakteristik Narasi ..........................................................
47
F. Aktan Algridas Greimas dalam Narasi ...................................
50
1. Enam Aktan Greimas ........................................................
52
BAB III KITAB KABANTI BULA MALINO A. Mengenal Syair Bula Malino ..................................................
56
B. Penulis Kabanti Bula Malino ..................................................
58
C. Bentuk Pengamalan Kabanti ...................................................
59
1. Masa Kesultanan ...............................................................
59
2. Masa Pasca Kesultanan (Modern) ....................................
60
D. Naskah-naskah Kabanti yang Sudah Diperoleh ......................
61
BAB IV PEBAHASAN DAN ANALISIS SYAIR A. Analisis Narasi Model Aktan Greimas ..................................
64
1. Aktan Subjek ....................................................................
64
2. Aktan Objek .....................................................................
68
3. Aktan Destiator (Pengirim) .............................................
70
4. Aktan Receiver (Penerima) ..............................................
71
5. Aktan Adjuvant (Pendukung) ...........................................
74
6. Aktan Traitor (Penghambat) ............................................
85
B. Pesan Dakwah dalam Syair Bula Malino pada Baris 332-383
94
1. Pesan Dakwah pada Baris 332-343 ...................................
94
2. Pesan Dakwah pada Baris 344-359 ...................................
95
3. Pesan Dakwah pada Baris 360-379 ...................................
101
4. Pesan Dakwah pada Baris 380-383 ...................................
103
C. Kitab Bula Malino dalam Gerakan Dakwah Masa Kini .........
104
1. Faktor Pendukung .............................................................
106
2. Faktor Penghambat............................................................
107
vii
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................
214
B. Saran .......................................................................................
217
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL Tabel 2.1
Perbedaan Narasi Ekspositoris dan Sugestif
Tabel 4.1
Aktan Subjek
Table 4.2
Aktan Objek
Tabel 4.3
Aktan Destonator (Pengirim)
Tabel 4.4
Aktan Receiver (Penerima)
Tabel 4.5
Aktan Adjuvant (Pendukung)
Tabel 4.6
Aktan Traitor (Penghambat)
Table 4.7
Tanda-tanda dalam Baris 332-383
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manuskrip Kabanti di Buton bisa dibilang dalam status jaga, kepedulian secara ilmiah tentang kabanti sudah menipis bahkan belum berkembang pesat. Bukan hanya itu, pemahaman bahwa semua kabanti yang ditulis oleh Ulama dahulu di Buton merupakan upaya penyampaian dakwah tidak lagi urgent dibahas. Entah karena kurangnya keterpanggilan hati atau efek dari globalisasi informasi, yang jelas, jika naskah-naskah agama ini tidak diselamatkan maka akan menjadi dongeng dan rumor belaka. Maksud diselamatkan adalah perlunya dikembangkan serta dikaji dengan pendekatan-pendekatan tertentu hingga menjadi warisan budaya keagamaan yang bisa digunakan dalam gerakan dakwah kontemporer (masyarakat perkotaan). Syair atau nyanyian tradisional merupakan hasil budaya Islam yang memiliki pengaruh tertentu terhadap masyarakat dan umat beragama. Di seluruh nusantara, masing-masing daerah memiliki tradisi yang berbeda. Hampir seluruh daerah di Indonesia mengandung tradisi nyanyian atau syair daerah. Tari saman dengan nyanyian bahasa Aceh adalah salah satu contoh. Ulama-ulama di nusantara juga melanjutkan syiar dengan caranya masing-masing. Seperti halnya Kabanti (syair) Buton yang ditulis oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin. Kabanti merupakan nyanyian atau syair tertulis yang tersimpan dan terjaga oleh masyarakat Buton hingga saat ini. Kabantai Wolio atau syair buton telah
1
2
menjadi tradisi nyanyian daerah di kalangan masyarakat. 1 Dalam kamus wolio (wolio dictionary) oleh J.C. Anceaux, kabanti bermakna puisi syair, nyanyian, sajak.2 Sehingga, Kabanti ini berbentuk syair yang dinyanyikan. Pada masa keemasan Islam di Kesultanan Buton, dimana saat Idrus Kaimuddin menjabat sebagai Sultan, Seni Budaya Islam berbentuk kabanti mulai diperkenalkan kepada masyarakat. Seni Budaya Islam di Buton pada masa itu dimaksudkan sebagai sarana dakwah Islam. Tiga bentuk seni budaya yang dikembangkan pada masa itu adalah. Pertama, Kabanti Wolio atau Syair Buton, Muhammad Idrus Kaimuddin membuat syair tidak kurang dari 30 judul. Antara lain yang terkenal adalah Bula Malino (purnama yang cerah). Beberapa penyair ternama juga membuat kabanti di masa itu, termasuk Hatibi Bula dengan judul Anjonga Yinda Malusa (pakaian yang tidak bakal rusak).3 Kabanti merupakan bagian dari sastra Buton yang mana tulisannya berbentuk buri wolio (tulisan wolio) dengan model aksara Arab (bahasa Wolio). Dalam hal ini, kabanti termasuk dalam karya yang bersifat sufistik. Sebagaimana dikutip dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara (Dr. Supriyanto, MA; 2009), terdapat dua jenis tradisi sastra Buton yaitu sastra tulisan dan lisan. Namun, di era modern ini, kabanti sungguh hampir tidak punya nilai
1
Sebenarnya nama Buton hanya lazim digunakan orang luar untuk sebutan Kesultanan Buton. Penduduk setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Yunus, Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (2011: 379). 2 J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, (Foris Publication Holland: 1987), Hal. 51. 3 Dikutip dari catatan Hj. Siti Surah di kediamannya, Kaobula (Maret, 2013). Ia mencatat dari ungkapan almarhum saudaranya yang interview langsung sebelum beliau wafat.
3
lagi. Sebab, sudah mulai digeser oleh budaya-budaya modern seperti yang kita lihat saat ini. Pada masa Kerajaan Islam Buton, keberdaan sastra lisan tidak begitu berkembang dalam lingkungan keraton. Umunya, sastra jenis ini dari segi sisinya hanya memuat tradisi lokal. Sastra tulisan buton identik dengan sastra islam. Sastra ini ditulis dalam aksara arab. Sastra tulisan ini ada yang berbentuk puisi dan ada yang berbentuk prosa. Sastra yang berbentuk puisi atau syair, masyarakat lokal lebih mengenalnya tiga istilah kabanti nazamu atau nazami.4 Muhammad Idrus Kaimuddin telah meninggalkan beberapa karya puisi dan nyanyian inspiratif bagi umat Islam khususnya di Buton. Contoh penggalan bait dari Syair Bula Malino; Bismillahi kaasi karo-ku siy Dengan nama Allah sayangnya diriku ini Alhamdu padaa-ka kumatemo Segala puji tak lama lagi aku akan mati Ka-janjinamo Oputa mo-makaa-na Sudah janji Allah swt Yang Maha Kuasa A pekamate bari-baria batua Akan mematikan kepada semua hamba.5 Namun, para praktisi kabanti seperti Ibu Suhurah mengakui bahwa kabanti wolio sudah ditelan masa. Beberapa faktor penyebab antara lain adalah: 1. Tidak ada moment tertentu sebagai sarana pelestarian Kabanti 2. Hilangnya rasa kepedulian dan kepahaman tentang Kabanti Wolio. Walaupun pada tahun 2012 oleh Wali Kota Bau-Bau pernah menggelar lomba Kabanti antar Instansi Departemen Pendidikan. Namun, setelah itu belum
4 5
Supriyanto, Sejarah Kebduayaan Islam, Icv. SHADRA: 2009), Hal. 86. Lamra, Bula Malino:Syair Wolio (Tarafu: 1994), h. 5.
4
terdengar lagi lantunan syair Buton tersebut dalam bentuk lomba maupun dalam aktifitas keseharian. Sementara itu, menurut Al-Muajzi, kandungan kabanti adalah ajaran dan ilmu spiritual yang cukup dahsyat. Pada bulan Mei 2013, Ibu Surah diminta Amirul Tamim, mantan Walikota Baubau, untuk melantunkan kabanti Momondona Taruamia (sebuah kebersamaan yang sah) di acara akad nikah putrinya. Syair Bula Malino terdiri dari 382 suku kata. Lamrah, salah satu yang menerjemahkan
syair
tersebut,
mengakui
banyak
kekurangan.6
Sebab,
menurutnya, pembendaharaan bahasa Wolio yang sangat tidak menunjang atas dasar kosa kata dalam hukum intonasi. Sehingga, penulis ingin menerjemahkan kembali dan meneliti dengan model analisi naratif. Alasan mengapa syair bisa relevan dengan analisis narasi adalah sebagaimana dikutib dalam buku Eriyanto, Aanalisis Naratif (2013: 9). Analisis naratif adalah analisis mengenai narasi, baik narasi fiksi (novel, puisi, cerita rakyat, dongeng, film, komik, musik, dan sebagainya) ataupun fakta-seperti berita. Menggunakan analisis naratif menempatkan teks sebagai sebuah cerita (narasi) sesuai dengan karakterisitiknya. Artinya, dalam syair ada sebuah narasi yang bercerita secara berurutan hingga menjelaskan makna utama dari syair. Peneliti hanya akan mengkaji pesan dakwah pada baris 332-383. Tema tersbut telah menjadi kajian yang menarik seperti yang dipublikasikan melalui jurnal-jurnal online. Meskipun demikian, masih perlu adanya kritikan dan terjemahan mendalam tentang kitab ini. Peneliti akan membatasi pembahasan skripsi mengenai kitab ini hanya pada baris 332-383. Selain baris ini populer, juga 6
Lihat di Lamra Tarafu, Syair Wolio, Alih Aksara dan Bahasa, (Buton), hal. 72.
5
disebabkan adanya faktor lain berupa kekurangan bagi peneliti sendiri dalam hal waktu dan sebagainya untuk menyelesaikan skripsi ini.7 Berdasarkan beberapa hal di atas, penulis akan melakukan penelitian skripsi dengan judul Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino dan Pesan Dakwah dalam Baris 332-383 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk bahan analisis dalam penyusunan skripsi ini, peneliti membatasi permasalahan pada Syair Karya Muhammad Idrus Kaimuddin dengan judul Bula Malino (Purnama yang Cerah) Tema Terakhir mengenai Analogi Kematian dengan Tradisi Berlayar. Adapu rumusan masalah pada penelitian skripsi ini adalah: 1. Bagaimana narasi pada keseluruhan Syair Bula Malino menurut Aktan Algridas Julian Greimas pada baris 332-383? 2. Pesan-pesan dakwah apakah yang terkandung dalam baris 332-383 pada Syair Bula Malino tersebut? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian bertujuan untuk mencapai beberapa hal sebagai berikut: 1. Mengetahui tanda-tanda apa yang terkandung dalam baris 332-383 pada narasi Syair Bula Malino dilihat dari model aktan Greimas. 7
http://pusatstudiwakatobi.blogspot.com/2011/04/mengungkap-ketokohanmuhammad-idrus.html (diakses 25 September 2014). (Belum menunjukkan makna berimbang dari apa yang ditulis dalam blog tersebut, tidak jauh berbeda dengan tulisan La Niampe dalam Nasehat Muhammad Idrus Kaimuddin (Kendari, 2009).
6
2. Mengetahui pesan-pesan dakwah apa saja yang terkandung dalam baris 332-383 pada Syair Bula Malino. D. Manfaat Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Secara Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi ilmiah dan dapat berguna bagi pengetahuan tentang dakwah bagi khazanah keilmuan Islam serta dapat menjadi referensi penelitian di masa yang akan datang. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan motivasi juga sebagai kontribusi serta membawa wawasan bagi kalangan praktisi dakwah dan aktivis dakwah khususnya pada masyarakat Buton agar konsisten dalam memsperjuangkan nilai-nilai dakwah terutama pada kaum awam. E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Kualitatif
Pendekatan kualitatif yang penulis lakukan terfokus pada analisis wacana
yang mengacu pada model Aktan Algirdas Greimas. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dokumentasi, dan instrument. Analisis naratif berfokus pada penelitian model aktan Greimas.
7
2. Paradigm Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigm kritis. Kritis adalah, representasi yang berperan dalam bentuk subjek tertentu, tema-tema dalam narasi, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis naratif akan melahirkan interpretasi yang baik serta menemukan apa saja yang menjadi tanda aktan Greimas dalam narasi tersebut. 3. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian analisis naratif, model Aktan Algirdas Greimas. Analisis linguistik adalah sebuah upaya (penguraian) untuk memberi penjelasan dari teks yang dikaji oleh seseorang atau kelompok untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kekeliruan tulisan dan bahkan kesalahan interpretasi dari peneliti lainnya. Oleh karena itu, analisis yang terbentuk disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor. 4. Subjek dan Objek Penelitian Subyek penelitian ini adalah Kabanti Bula Malino (Syair Purnama yang Cerah). Sedangkan objek penelitiannya adalah bentuk dakwah dalam sarana (media) tertulis dalam syair Idrus Kaimuddin tersebut. 5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, sesuai dengan metode penelitian yang akan digunakan yaitu:
8
a. Observasi: yaitu penulis mengumpulkan sejumlah tulisan Kabanti Bula Malino baik sudah berbentuk buku maupun tulisan tangan dari beberapa Tokoh Adat Buton serta menganalisis isi teks yang terdapat pada syair tersebut. Peneliti melakukan pengamatan mengenai tulisan sebanyak dua kali, langsung ke pulau buton. b. Wawancara: penulis melakukan wawancara dengan: Al-Mujazi: Pemegang naskah, sekaligus mewarisi tulisan dan koleksi naskah Abdul Mulku Zahari (alm) Ayahnya “Kabanti Bula Malino”. Syafiuddin: selain mengajar di Universitas Dayanu Ihsanuddin, beliau juga seorang pemerhati Kabanti serta hal-hal yang menyangkut adat wolio. Lambalangi: ia merupakan Tokoh yang telah mengumpulkan dan mentrasliterasi sejumlah judul Kabanti termasuk Bula Malino. Beliau juga sebagai manta Kepala Kantor Departemen Agama Kecamatan Wolio Sulawesi Tenggara. Siti Suhura: ia salah satu pelantun syair kabanti yang profesional. c. Dokumentasi: dalam hal ini, penulis mengumpulkan dokumentasi yang berbentuk gambar (foto) maupun naskah kabanti yang telah ditulis ulang oleh sejumlah Tokoh yang berkaitan dengan syair yang diteliti tersebut. 6. Teknik Analisis Data
Berkenaan penelitiaan ini adalah analisis naratif kualitatif yang di mana hasil temuan dan fakta yang diperoleh dari proses wawancara, observasi, serta data-data pendukung lain melalui studi pustaka dan
9
dokumentasi akan dipetakan. Selanjutnya, penulis menghimpun untuk meninjau kembali agar analisis dilakukan dengan cara sistematis. 7. Waktu dan Tempat Penelitian
Penulis melakukan penelitian pada bulan Februari dan Maret 2014 dan merampungkan tulisan hingga setahun lamanya. Penelitian ini langsung dilakukan dengan cara interview secara langsung di pulau buton. F. Tinjauan Pustaka
Buku berjudul Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yang diterbitkan oleh FKIP Unhalu (UHO), Kendari: 2009 karya La Niampe. Pada bukunya, ia menerjemahkan dan menafsirkan kitab Bula Malino tersebut, yang disertakan dengan pedoman Transliterasi dari buri (tulisan) wolio (buton) ke huruf latin. Bedanya dengan skripsi yang dibuat dengan peneliti pada penggunaan teori analisis. Kemudian, dalam menerjamahkan dan menerjemahkan menafsirkan tiap baris dari kitab tersebut perkata secara keseluruhan (tidak hanya menafsirkan secara umum saja seperti dalam buku di tersebut). Membara di Api Tuhan, judul buku terbitan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah tahun 1983 (cetakan 1961) karya La Ode Malim. Buku tersebut merupakan terjemahan dan penghayatan La Ode Malim atas Syair Bula Malino yang kemudian terangkai dalam sebuah buku. Peneliti sangat termotivasi dengan adanya buku yang mula-mula hanya bisa didapatkan di Alden Library Ohio University tersebut untuk meneliti dengan pendekatan metode penelitian berbeda serta kajian teori dakwah yang kiranya bisa diformulasikan dalam gerakan dakwah masa kini.
10
G. Sistematika Penulisan Agar penelitian lebih produktif, maka peneliti membuat sistematika penelitian ke dalam lima bagian, yaitu: BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini, peneliti membagi lagi ke beberapa bagian, yaitu: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan. BAB II TINJAUAN TEORITIS Bagian ini merupakan kerangka berpikir dari peneliti yang meliputi tentang Sejarah Perkembangan Syair, Syair-syair yang Muncul di Buton, Syair sebagai Media Dakwah, Semiotik dalam Syair, Komunikasi Naratif dan Sastra, dan Analisis Naratif Model Aktan Algirdas Greimas. BAB III KITAB KABANTI BULA MALINO Pada bab ini peneliti menjelaskan objek penelitian, berupaya mengenali Syair Bula Malino, Penulis Syair Bula Malino, Bentuk Pengamalan Syair (Kabanti), dan Naskah-naskah Kabanti yang sudah diperoleh. BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS SYAIR Bagian ini menyangkup pembahasan Analisis Narasi Model Aktan Greimas pada Baris 332-383 dan Pesan Dakwah dalam syair Bula Malino pada Baris 332-383.
11
BAB V PENUTUP Pada bab terakhir ini, peneliti membaginya kepada kesimpulan dari penelitian dan hasil penelitian serta saran untuk berbagai pihak yang terkait dengan penelitian ini, daftar pustakam dan lampiran-lampiran.
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Syair di Nusantara Syair adalah jenis puisi lama. Syair terdiri dari empat baris, setiap baris mengandung empat kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua belas suku kata. Syair juga tidak mempunyai unsr-unsur sindiran di dalamnya. Aturan sanjak akhir ialah aaaa dan sanjak dalam (internal rhyme) (A. Teeuw, 1966b: 431-432) hampir-hampir tidak ada.1 1. Sejarah Perkembangan Syair R. O. Winsted berpendapat bahwa syair pertama kali muncul dalam sastra Melayu pada abad ke-15 dalam Syair Ken Tambuhan. Bukti-bukti yang dikemukakannya ialah pemakaian kata-kata Kawi seperti lalangan (kebun), katakata Jawa seperti ngambara dan ngulurkan, perbendaharaan kata yang kaya, mitos Hindu dan satu gaya yang klasik (R. O. Winsted, 1958: 152). A. Teeuw tidak setuju dengan pendapat ini. Ditunjukkannya bahwa Syair Ken Tambuhan baru ditulis pada abad ke-17 atau ke-18; unsur-usnur Jawa yang terdapat dalam Syair Ken Tambuhan belum tentu langsung berasal dari bahasa Jawa oleh penulisnya. Ia mungkin berasal dari cerita Panji dan wayang yang tersebar luas di alam Melayu sejak zaman dahulu kala; tambahan pula, kita juga tidak boleh menafsirkan adanya hubungan langsung dengan Jawa sesudah zaman Malaka, yaitu abad ke-15.
1
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 562.
12
13
Menurut Teeuw, kemunculan syair dalam sastra melayu tidak mungkin lebih awal daripada abad ke-16. Sekitar tahun 1600, syair masih berarti puisi secara umum dan bukan sesuatu jenis puisi tertentu.. dalam Tajus Salatin yang tertulis pada tahun 1602/1603 tidak terdapat sekuntum pun puisi yang mirip dengan struktur syair sekarang. Syair sebagai jenis puisi yang berbaris empat dan bersanjak aaaa baru tersebar sesudah Hamzah Fansuri menamai puisi yang ditulisnya ruba‟i (puisi yang berbaris empat). Tetapi ruba‟i Hamzah Fansuri berbeda dengan ruba‟i sejenis puisi Arab/Parsi. Ruba‟i Hamzah Fansuri merupakan bagian dari sebuah puisi yang lebih panjang, sedangkan ruba‟i sebagai puisi Arab/Parsi adalah sebuah puisi yang berdiri dengan sendirinya.2 Mula-mula puisi Hamzah itu terdiri atas beberapa kesatuan yang disebut ruba‟i, kadang-kadang bait dan sekali-sekali syi‟r atau sya‟ir. Bila puisi-puisi jenis ini tersebar luas dan digemari orang, ia mendapat nama baru, yaitu syair. Penyair-penyair lain juga menulis puisi jenis ini (syair), tetapi tidak membatasi diri pada puisi tasawuf lagi. Semua perkara disyairkan dalam bentuk ini. Pengaruhnya juga kian meluas. Dalam sastra Jawa muncul sejenis puisi yang berasal dari syair, yaitu sangir. Pada tahun 1670, seorang Melayu di Makassar menggunakan bentuk ini untuk menulis sebuah sysair sejarah, yaitu Syair Perang Mengkasar. Lambat-laun, penulis-penulis di berbagai daerah menggunakan puisi jenis ini untuk menulis puisi romantik seperti Syair Ken Tambuhan. Demikianlah kita melihat pada abad ke-17, syair-syair sudah bermunculan di Johor, Palembang, Riau, Banjarmasin, Batavia, (Jakarta), dan Ambon, bahkan di seluruh Nusantara. (A. Teeuw, 1966:446). 2
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 563.
14
Jauh sebelum A. Teeuw mengemukakan kemungkinan Hamzah Fansuri sebagai pencipta syair Melayu yang pertama, P. Voorhoeve sudah membuat kesimpulan yang sama. Dalam sebuah ceramahnya kepada pelajar-pelajar bahasa Melayu di Paris, tahun 1952, P. Voorhoeve sudah mengatakan bahwa syair Melayu yang mula-mula mungkin ditulis oleh Hamzah Fansuri. Alasan yang dikemukakan hampir serupa dengan alasan yang dikemukakan oleh A. Teeuw, a. Tiada syair sebelum Hamzah Fansuri b. Tiada bentuk syair dalam bahasa-bahasa Nusantara kecuali sangir dalam bahasa jawa yang berasal dari syair melayu; dan c. Pada paruh pertama abad ke-17, puisi Hamzah Fansuri tidak dikenal sebagai syair melainkan ruba‟i dan Valentijin dalam bukunya (1726) menyebutkan tentang Hamzah Fansuri yang terkenal dengan syairnya. Bukan itu saja. Ar-Raniri yang dalam hal agama, adalah saingan Hamzah Fansuri, juga pernah dipengaruhi oleh Hamzah dan menulis beberapa ruba‟i dalam Bustanus Salatin (P. Voorhoeve, 1968: 277278). Syed Naguib Al-Attas menyatakan pendapatnya dengan tegas. Dalam dua risalah (Syed Naguib Al-Attas, 1968, 1971), menyerang A. Teeuw karena ketidak tegasannya dalam mengemukakakn bahwa Hamzah Fansuri sebgai pencipta syair Melayu yang pertama. Kesimpulannya ialah Hamzah Fansuri mendapat pengaruh atau bentuk asal puisinya dari puisi Arab, syi’r yang berbaris empat, seperti syi‟r
15
yang dikarang Ibnul Arabi dan Iraqi yang banyak dikutipnya (Syed Naguib AlAttas, 1968: 58).3 Amin Sweeney, seorang sarjana yang pernah mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia, tidak setuju dengan pendapat ini. Menurutnya, syair Hamzah Fansuri mendapat pengaruh yang kuat dari nyanyian rakyat (pantun) seperti yang terdapat dalam Sejarah Melayu. Ia sampai kepada kesimpulan ini sesudah menyelidiki ciri-ciri syair, yaitu irama (metre), sanjak akhir (rhyme), pembagian kesatuan (units) dan pengelompokkan kesatuan. Irama syair adalah sama seperti irama pantun. Bukan saja pantun kadangkadang muncul dalam syair, baris-baris syair juga kadang-kadang terdapat dalam panting. Doorenbos, seorang sarjana Belanda telah menunjukkan dalam disertasinya bahwa beberapa baris syair Hamzah Fansuri adalah sama seperti yang dipakai dalam pantun. Dalam sebaris pantun atau syair selalu ada semacam perhentian (caesura) ditengah-tengahnya, yaitu sesudah perkataan yang kedua dalam sebaris pantun atau syair yang mengundang empat perkataan itu. Sanjak akhir yang dipakai dalam syair Hamzah Fansuri adalah aaaa. Ini adalah pola sanjak yang terdapat dalam nyanyian-nyanyian dalam Sejarah Melayu. Seandainya Hamzah mencontoh puisi Arab, setiap bait Fansuri pasti hanya terdiri dari dua baris saja dan bukan empat baris. Bait yang berbaris empat tidak dikenal dalam puisi arab. Nyatalah yang menjadi contoh syair Hamzah bukan puisi arab melainkan nyanyian (pantun) empat baris yang terdapat dalam Sejarah Melayu (R. Roolvink, 1966: 455-457). Tentang pengelompokkan kesatuan pula,
3
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 564.
16
kesatuan-kesatuan ini tidak berdiri sendiri melainkan bersambung untuk mengembangkan suatu tema atau cerita. Dalam puisi Arab, satu kesatuan (bait) yang dua baris itu merupakan satu keseluruhan (Amin Sweeney, 1971: 58-66). Sebagai kesimpulan boleh dikatakan bahwa sungguhpun Hamza Fansuri menggunakan Istilah puisi Arab, bait, syair, ruba‟i, syair Hamzah Fansuri bukanlah tiruan dari puisi Arab. Pengaruh nyanyian (pantun) pada syair Hamzah Fansuri jauh lebih besar dari puisi Arab. Syair Melayu, biarpun memakai istilah bahasa Arab adalah puisi Melayu asli juga (C. Hooykas, 1947: 72).4 Menurut isinya, syair dapat dibagi menjadi lima golongan berikut. a. Sayir Panji Syair panji sebagian besar adalah olahan dari bentuk prosanya, misalnya Syair Panji Semirang adalah olahan dari Hikayat Panji Semirang, Syair Angreni adalah saduran dari Panji Angreni. Sering hanya isinya saja yang diambil dan bukan judulnya. Satu lagi antara perbedaan hikayat Panji dan syair Panji ialah bahwa hikayat panji berbelit-belit plotnya, sedang syair Panji lebih sederhana plotnya. Biasanya satu syair hanya menceritakan satu cerita utama saja. Misalnya Syair Ken Tambuhan, hanya menceritakan percintaan dan perwakinan Raden Menteri dan Ken Tambuhan; Syair Undakan Agung Udaya hanya menceritakan kisah Panji tinggal di Daha dan memakai nama Undakan Agung Udaya. Contoh syair Panji adalah; Syair Ken Tambuhan, Syair Angreni, Syair Damar Wulan, Syair Undakan Agung Udaya, dan Cerita Wayang Kinudang.5
4 5
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 565. Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 566.
17
b. Syair Romantis Syair romantis adalah jenis syair yang paling digemari. Harun Mat Piah pernah mengkaji 150 buah syair untuk disertasinya di Universitas Kebangsaan Malaysia (1989) dan mendapati bahwa 70 buah (47 persen) adalah syair romantis. Ini tidak mengherankan karena sebagian besar syair romantik menguraikan tema yang biasa terdapat di dalam cerita rakyat, penglipur lara dan hikayat. Contoh dari syair romantis adalah; Syair Bidasari, Syair Yatim Nestapa, Syair Abdul Muluk, Syair Sri Banian, Syair Sinyor Kosta, Syair Cinta Berahi, Syair Raja Mambang Jauhari, Syair Tajul Muluk, Syair Sultan Yahya, dan Syair Putri Akal. c. Syair Kiasan Syair kiasan atau simbolik adalah syair yang mengisahkan percintaan antara ikan, burung, bunga, atau buah-buahan. Hans Overbeck menemani syair jenis ini sebagai syair binatang dan bunga-bungaan (Malay animals and fllower shers, 1934). Menurut Overbeck lagi, syair jenis ini biasanya mengandung kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Misalnya Syair Ikan Terubuk adalah syair yang menyindir peristiwa anak raja Malaka meminang putri Siak. Syair Burung Pungguk menyindir seorang pemuda yang ingin mempersunting seorang gadis yang lebih tinggi kedudukannya. Ada juga syair yang menyindir petualangan
cinta
saudagar
pengembara
atau
memberi
nasehat
pada
pendengarnya. Contoh judul syair kiasan adalah; Syair Burung Pungguk, Syair Kumbang dan Melati, Syair Nuri, Syair Bunga Air Mawar, Syair Nyamuk dan Lalat, Syair Kupu-kupu dengan Kembang dan Balang, dan Syair Buah-buahan.
18
d. Syair Sejarah Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Di antara peristiwa sejarah yang paling penting ialah peperangan, dan karena itu, syair perang juga merupakan syair sejarah yang paling banyak dihasilkan. Peristiwa sejarah itu mungkin juga merupakan kisah raja yang memerintah atau residen Belanda. Syair Sultan Mahmud di Lingga, misalnya, menceritakan masa kehidupan Sultan Mahmud Syah beserta keluarganya, Syair Residen De Brau pula mengisahkan peranan yang dimainkan residen de Brau dalam pembuangan Perdana Menteri dari Palembang ke tanah Jawa. Contoh judul syair kiasan adalah; Syair Perang Mengkasar, Syair Kompeni Welanda Berperang dengan Cina, Syair Perang di Banjarmasin, Syair Raja Siak, Syair Sultan Ahmad Tajuddin, dan Syair Siti Zubaidah Perang Melawan Cina. e. Syair Agama Syair agama adalah golongan syair yang paling penting. Telah dijelaskan bahwa Hamzah Fansurilah orang pertama menulis puisi dalam bentuk syair yang kemudian diikuti oleh penyair-penyair lainnya di Aceh seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan beberapa orang penyair-penyair yang tidak bernama. Abdul Rauf sendiri juga pernah menulis sebuah syair yang berjudul Syair Makrifat (Van Ophuijsen, 78). Perkara yang disyairkan di dalam syair-syair semuanya bersifat keagamaan. Hanyalah kemudian dan dengan perlahan-lahan syair dipakai untuk menyairkan hal-hal yang tidak ada kaitan dengan agama.
19
Berdasarkan isinya, syair agama dapat dibagi pula kepada beberapa jenis. 1) Jenis pertama ialah syair sufi yang dikarang oleh Hamzah Fansuri dan penyair-penyair sezaman. 2) Jenis kedua adalah syair yang menerangkan ajaran Islam seperti Syair Ibadat, Syair Sifat Dua Puluh, Syair Rukun Haji, Syair Kiamat, Syair Cerita di dalam Kubur dan sebagainya. 3) Jenis ketiga ialah Syair Anbia, yaitu syair yang mengisahkan riwayat hidup para nabi, misalnya Syair Nabi Allah Ayub, Syair Nabi Allah dengan Firaun, Syair Yusuf, Syair Isa, dan lain-lain. 4) Jenis keempat ialah syair nasihat, yaitu syair yang bermaksud memberi
pengajaran
dan
nasihat
kepada
pendengar
atau
pembacanya, misalnya Syair Nasihat, Syair Naihat Bapak Kepada Anaknya, Syair Nasihat Laki-laki dan Perempuan dan sebagainya. Syair Takbir Mimpi dan Syair Raksi mungkin juga dapat digolongkan ke dalam jenis ini. Contoh judul syair agama adalah; Syair Hamzah Fansuri, Syair Perahu, Syair Dagang, Bahr An-Nisa‟, Syair Kiamat, Syair Takbir Mimpi, dan Syair Raksi.6 Ricklefs mengutip bahwa bahwa Hamzah Fansuri dan Syamsuddin menulis karya-karya mengenai ilmu tasawuf Islam. Kemudian, pada masa kekuasaan Ratu Taj ul-Alam (1641-75), Abdurrauf merupakan pengarang yang terpenting di istana, menulis karya-karya ilmu hukum Syafi’i dan juga ilmu
6
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 611.
20
tasawuf. Tetapi, masih bertahannya cerita-cerita Hindu seperti Hikayat Seri Rama menggambarkan bahwa kesastraan Melayu tidak seluruhnya didominasi oleh karya-karya yang berilhamkan Islam. Sajak macapat menggunakan bahasa Jawa yang sangat baik. Kesastraan yang berbahasa Jawa Kuno mencerminkan peranan penting yang dimainkan Bali dalam memelihara warisan kesastraan pra-Islam Jawa setelah Jawa menjadi Islam. beruhungan dengan kesastraan Bali terbaibagi menjadi tiga kelompok atas dasar bahasanya: Jawa Kuno, Jawa Pertengahan (Jawa-Bali/Bali-Jawa), dan Bali. Bukubuku yang berbahasa Jawa Kuno masih dapat ditemukan di Jawa, namun sebagian besar hanya dikenal dalam bentuk salinan-salinan dari Bali atau Pulau Lombok yang letaknya berseblahan. Ini berhubungan dengan penolakan Bali terhadap Islam dan tetap mempertahankan warisan kesastraan dan agama yang di Jawa telah berubah (namun tidak pernah terhapus sama sekali) sebagai akibat islamisasi. Kesastraan yang berbahasa Jawa Pertengahan merupakan suatu subyek yang problematis. Sebagian besar dari naskah-naskah itu dinamakan kidung (nyanyian). Naskah-naskah tersebut terutama berisi legenda-legenda romantis mengenai zaman Majapahit di Jawa (Harsawijaya, Rangga Lawe, Sorandaka, Sunda). Orang-orang Bali juga menulis dalam bahasa mereka sendiri, terutama mengenai sejarah kerajaan-kerajaan mereka yang didapati dalam bentuk sajak. Begitupun Suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, keduanya mempunyai kesastraan yang berkaitan erat, baik prosa maupun sajaknya. Kesastraan mereka menggunakan tulisan asli yang nyata-nyata berbeda dari tulisan Arab maupun Jawa, yang mempunyai kesamaan dengan tulisan tersebut adalah beberapa tulisan
21
Sumatera yang pada dasarnya berasal dari India. Selain itu, masih ada tradisitradisi kesastraan Indonesia lain di samping tradisi-tradisi kesastraan tersebut di atas.7 Nampaknya, relevan dengan Alifuddin yang mengatakan bahwa Yunus menyebut Buton terkena pengaruh ajaran-ajaran tasawuf Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin Sumatrani sebagaimana yang berkembang di Aceh pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Lebih lanjut Yunus mengemukakan, bahwa ajaran yang tampak di Buton pada pertengahan abad ke-17 adalah ajaran Martabat Tujuh atau
konsep
manusia
sempurna.8
Senada
dengan
Ricklefs,
khususnya
Syamsuddin, Abdurrauf, dan ar-Raniri semuanya menerapkan doktrin tasawuf tentang tujuh tahapan asal-usul (martabat), yang didalamnya Tuhan mewujudkan diri-Nya di dunia yang fana ini, yang mencapai puncaknya pada manusia sempurna/insan kamil (lihat Rifleks, 2011:78). B. Syair-syair yang Muncul di Buton Terdapat dua jenis tradisi sastra Buton yaitu sastra tulisan dan sastra lisan. Pada masa kerajaan Islam Buton, tampaknya keberdaan sastra lisan tidak begitu berkembang dalam lingkungan Keraton. Umumnya sastra jenis ini dari segi isinya hanya memuat tradisi lokal; pada masa kesultanan dibersihkan dari kehidupan dunia keraton. Sastra tulisan di Buton identik dengan sastra Islam. Selain isinya memperlihatkan pengaruh atau alam pemikiran islam, sastra ini juga ditulis dalam aksara Arab yang oleh masyarakat pendukungnya menyebutnya buri wolio. Sastra 7
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Gajah Mada University Press, Cetakan kesepuluh: Yogyakarta, 2011), hal. 77-87. 8 M. Alifuddin, Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal, (Badan Litbang dan Dilat Departemen Agama, 2007), hal. 148-149.
22
tulisan ini ada yang berbentuk, prosa, dan syair. Sastra dalam bentuk puisi atau syair masyarakat lokal lebih mengenalnya dengan istilah kabanti atau nazamu. Sastra tulisan di Buton secara garis besar dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, ialah karya-karya yang bersifat sufistik seperti karya-karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, Syeikh Haji Abdul Ganiu (kenepulu bula), Abdul Hadi, Haji Abdul Rakhim, dan La Kobu. Mereka adalah para ulama lokal yang mendalam pengetahuannya tentang Islam dan mempunyai kecenderungan terhadap sufisme. Salah satu Kabanti (syair) yang cukup populer pada masanya adalah syair bula malino karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin.9 Sedangkan golongan yang kedua adalah karya-karya yang memperlihatkan sastra Islam dalam bahasa melayu atau karya-karya ciptaan baru yang memperlihatkan pengaruh agama atau peradaban islam terhadap penulisnya. Karya-karya yang memperlihatkan pengaruh sastra Islam secara langsung ialah karya-karya saduran (sastra terjemahan) seperti tula-tulana Nuru Muhammad, terjemahan dari hikayat Nur Muhammad, tula-tulana koburu terjemahan dari syair kubur, kitabi masaalah sarewu, terjemahan dari kitab seribu masalah.10 Kabanti merupakan nyanyian atau syair yang tersimpan dan terjaga oleh masyarakat Buton. Kabantai Wolio atau syair wolio/buton telah menjadi tradisi nyanyian daerah di kalangan masyarakat.11 Dalam kamus wolio (wolio dictionary)
9
La Ode Muh. Syukur, Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (CV. Shadra: 2009), Hal. 86. 10 Ibid, h. 90. 11 Sebenarnya nama Buton hanya lazim digunakan orang luar untuk sebutan Kesultanan Buton. Penduduk setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Yunus, Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (2011: 379).
23
oleh J.C. Anceaux, kabanti bermakna puisi syair, nyanyian, sajak.12 Pada pertengahan abad ke-19, Haji Abdul Gani menulis naskah syair (kabanti). Di antaranya yang diterjemahkan oleh Abdul Mulku Zahari adalah Ajonga Yinda Malusa (Pakaian yang Tidak Kusut).13 Termaksud syair Kanturuna Mohelana (Lampu Orang yang Berlayar) anonym (Ikram, 2002: 2).14 Lambalangi, adalah seorang yang menulis ulang dan mengumpulkan beberapa kabanti wolio mengatakan bahwa pada 1824 di masa Diponegoro, karena pergaulan di Buton sudah jauh dari norma-norma agama. Sehingga, Muhammad Idrus Kaimuddin membuat kabanti pada saat itu. Kata para orang tua dulu ada 100 lebih judul kabanti yang tertulis. Namun, hingga saat ini sudah 21 tahun yang ditemukan baru 35 judul kabanti.15 Disamping menumbuhkan kesusastraan dalam bahasa asli, beberapa daerah telah pula menciptakan sastra dalam bahasa Melayu seperti Aceh, Minangkabau Sulawesi Selatan dan Tenggara, Bima, dan Maluku. Bahasa itu khususnya digunakan untuk menulis teks-teks yang mempunyai kepentingan kenegaraan, seperti Hikayat Aceh (Aceh), Bo‟ Sangaji Kai (Bima), Hikayat Tanah Hitu (Ambon), Istiadat Tanah Negeri Butun (Buton). Di lingkungan bahasa Sunda
12
J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, (Foris Publication Holland: 1987), h. 51. 13 Achadiati Ikram, Katalok Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia: 2002), Hal. 5. 14 Lihat juga Ikram (2002:2) Kanturuna Mohelana menjadi syair yang dianggap sebuah sejarah yang mengungkap latar belakang nama Buton. 15 Wawancara Pribadi dengan Lambalangi, Tanggal 25 Maret 2014 (dikediamannya, Tarafu, Baubau, Sulawesi Tenggara).
24
dan Jawa tetap dihasilkan sastra agama Islam dalam bahasa daerah dengan tata aksara Arab yang disesuaikan, yaitu pegon.16 C. Mengenal Aksara Berkenaan dengan aksara arab pada tulisan kabanti, sebenarnya secara keseluruhan, aksara yang ditemukan dalam naskah tulisan tangan mempunyai dua sumber, yaitu India dan Arab, meliputi kurun waktu abad ke-9 sampai abad ke-20. Kedua sumber tersebut tersebar ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, Madura, Bali, Sulawesi, dan Maluku. Hadirnya teknologi percetakan yang disebarluaskan dengan cara pendidikan formal bersama kedatangan bangsa Eropa dan terutama kekuasaan pemerintah kolonial memberi pukulan telak kepada kehidupan seni tulis tangan.17 Tradisi manuskrip lambat laun, tetapi pasti, ditinggalkan untuk suatu teknologi yang lebih mudah. Bukan hanya itu, aksara daerah akan terdesak oleh jenis tulisan yang sudah lazim dipakai di dunia para penguasa dari Eropa. Pertarungan yang tidak seimbang akhirnya menggeser aksara kea lam sejarah. Begitupun bahasa daerah untuk tulisan, kini dalam proses kepunahan. Walau masih ada juga masyarakat yang tetap memilih menggunakan dan memelihara
16
Achadiati Ikram dkk, Mukhlis PaEni:Editor Umum, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra, dan Aksara, (Rajawali Pers, Jakarta: 2009), h. 78-79. 17 Lihat Ikram, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra dan Aksara, (2009: 270). Tidak semua komunitas manusia memerlukan aksara atau tulisan, kata Ong, bahasa hakikatnya adalah lisani (oral). Itu terbukti dalam penelitian bahwa di antara puluhan ribu bahasa yang pernah digunakan di dunia hanya sekitar 106 yang memiliki sistem tulisan yang menghasilkan kepustakaan. Artinya, sebagian besar tidak mengenal tulisan (Ong, 1980:7). Kemduian, di antara kurang lebih 3000 bahasa yang kini hidup hanya kira-kira 78 yang mempunyai kesusastraan tertulis. Sehingga, dari tempat-tempat rekayasa sistem tulisan yang disebut di atas itulah, dan terutama dari Asia Minor kemudian pengenalan aksara menyebar sehingga banyak bangsa dapat mengambil alihnya dan mentransformasikannya tanpa perlu menciptakannya sendiri.
25
aksara daerah dan tulisan tangan untuk tujuan-tujuan tertentu (lihat Ikram, 2009: 279-280). D. Syair Sebagai Media Dakwah
1. Dakwah dan Objek Kajiannya Secara etimologi, kata Da‟wah berasal dari bahasa Arab yang berarti: panggilan, seruan, atau ajakan. Bentuk perkataan tersebut dalam bahasa Arab disebut mashdar. Sedangkan bentuk kata kerja (fi‟il)nya adalah memanggil, menyeru atau (Da‟aa, Yad‟uu, Da‟watan).18 Secara terminologi, beberapa ahli mengemukakan pengertiannya sebagai berikut: a. Pof. Thoha Yahya Umar, dakwah Islam adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.19 b. Menurut M. Quraish Shihab, dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.20 c. Menurut M. Arifin, dakwah adalah suatu kegiatan ajakan dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam usaha mempengaruhi orang lain secara
18
Drs. Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
Hal. 1. 19
Prof. H. M. Thoha Yahya Umar. MA, Imu Dakwah, (Jakarta: CV. Al-Hidayah, 2002), Hal. 7. 20 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), Hal. 194.
26
individu maupun kelompok supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajaran agama, message yang disampaikan kepadanya tanpa ada unsur pemaksaan.21 Dakwah menurut Sayyid Qutub memberi batasan dengan ”mengajak” atau “menyeru” kepada orang lain masuk ke dalam sabil (jalan) Allah SWT bukan untuk mengikuti da’i atau sekolompok orang. Ahmad Ghusuli menjelaskan bahwa dakwah merupakan pekerjaan atau ucapan untuk mempengaruhi manusia supaya mengikuti Islam. Abdul al Badi Shadar membagi dakwah membagi dua tataran yaitu dakwah fardiyah dan dakwah ummah. Sementara itu, Abu Zahroh menyatakan bahwa dakwah itu dapat dibagi menjadi dua hal; pelaksana dakwah, perseorangan, dan organisasi. Sedangkan Ismail al-Faruqi, mengungkapkan bahwa hakikat dakwah adalah kebebasan, universal, dan rasional. Kebebsan akan menunjukkan dakwah itu bersifat universal (berlaku untuk semua umat dan sepanjang masa).22 Pada intinya, menurut Ilaihi, pemahaman lebih luas dari pengertian dakwah yang telah didefinisikan oleh para ahli tersebut adalah: pertama, ajakan ke jalan Allah SWT. Kedua, dilaksanakan secara berorganisasi. Ketiga, kegiatan untuk mempengaruhi manusia agar masuk jalan Allah SWT. Keempat, sasaran bisa secara fardiyah atau jama‟ah. Dalam konteks dakwah istilah amar ma‟ruf nahi munkar secara lengkap dan populer dipakai adalah yang terekam dalam AlQur’an, Surah Ali-Imran, ayat 104: 21
M. Arifin, Paikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000) Cet. Ke-5, Hal. 6. 22 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Rosdakarya: Bandung, 2010), hal. 14.
27
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh pada yang ma‟ruf dan mencegah yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Ciri khas materi dakwah menurut Anwar Arifin adalah al-khair, al-ma‟ruf, dan al-munkar, sebagaimana ayat tersebut di atas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya terdapat perbedaan penafsiran. Kemudian, materi dakwah yang lain secara umum adalah keyakinan dan pandangan hidup Islam yang bersifat universal dan sesuai dengan fitrah dan kehanifaan manusia. Semua pandangan itu termaktub dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul.23 Objek kajian dakwah ialah hubungan interaksional antara subjek dakwah dan subjek sasaran dakwah dengan menggunakan metode, media, dan materi dakwah tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Kutipan Ilaihi tersebut juga akhirnya dinyatakan secara proposional dalam ilmu proposisi yaitu: a. Subjek dakwah tertenut berhubungan dengan religionitas subjek sasaran dakwah. b. Media dakwah tertentu berhubungan dengan religionitas subjek sasaran dakwah. c. Materi dakwah tertnetu berhubungan dengan religionitas subjek sasaran dakwah. d. Situasi
objektif subjek sasaran dakwah berhubungan dengan
religionitas sendiri. 23
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi, (Graha Ilmu, Yogyakarta: 2011), h.20-21.
28
Hampir seirama dengan pernyataan di atas, objek kajian ilmu dakwah menurut Cik Hasan Bisri adalah unsur substansial ilmu dakwah yang terdiri dari enam komponen yaitu: dai’i, mad’u, metode, materi, media, dan tujuan dakwah. Sedangkan objek forma ilmu dakwah adalah sudut pandang tertentu yang dikaji dalam disiplin utama ilmu dakwah yaitu disiplin Tbaligh, Pengembangan Masyarakat Islam, dan Manajemen Dakwah. Sedangkan objek materi ilmu dakawah adalah proses penyampaian umat manusia.24 2. Metode Dakwah a. Pengertian Metode dakwah Dari segi bahasa, metode berasal dari dua kata yaitu “meta” (melalui) dan “hodos” (jalan. Cara) (Arifm, 1991:61). Dengan demikian, dapat diartikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodeicay artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methods artinya jalan “thariq” (bahasa Arab) (Hasanuddin, 1996:35). Metode berarti cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud. Sehingga, metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator) kepada mad’u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang (Tasmara, 1997:43). Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpuh pada suatu pandangan human oriented menempatkan penghargaan yang mulia untuk manusia. 24
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Rosdakarya: Bandung, 2010), h. 29.
29
b. Macam-macam Metode Dakwah Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS Al-Nahl [16]: 125). Dari ayat berikut dapat dipahami bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan, yaitu: 1) Bil-Hikmah Kata “hikmah” dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk mashdarnya adalah “hukuman” yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hokum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah. Ibnu Qoyim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang mendefinisikan bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan pengamalannya. Hal ini akan tercapai dengan memahami Al-Qur’an dan mendalami Syariat Islam (Qoyyim: 226). Sementara itu, menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud AnNasafi, arti dakwah bil-hikmah adalah dakwah dengan menggunakan perkataan yang benar dan pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan (Hasan Fadhullah: 44).
30
2) Al-Mau‟idza Al-Hasanah Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi adalah perkataanperkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan Al-Qur’an (Hasanuddin, 1996:37). Sementara menurut Abdul Hamid al-Bilali, merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau bimbingan yang lemah lembut agar mereka mau berbuat baik (Al-Bilali, 1989). Wahidin Saputra mengutip dan menklasifikasikan mau‟idzah hasanah dalam beberapa bentuk yaitu, nasihat atau petuah, bimbingan (pengajaran dan pendidikan), kisah-kisah, kabar gembira dan peringatan, dan wasiat (pesan-pesan positif). Jubaedi mengatakan bahwa metode tersebut salah satunya merupakan nasihat agar umat Islam melaksanakan ajarannya sebagaimana
terdapat
dalam
Al-Qur’an
dan
Hadits,
seperti
melaksanakan shalat limat waktu, anjuran agar umat Islam bersatu, tolong menolong antar sesama dan anjuran untuk berbuat baik.25 Sementara metode kisah dijadikan cara untuk menyampaikan pesan-pesan Islam oleh para Mubaligh, terutama ketika memperingati acara Maulid Nabi, Isra Mi’raj, dan pengajian-pengajian yang memerlukan ilustrai penjelasan dengan kisah (lihat Aripuddin, 2011: 100). 25
Acep Aripuddin, Pengembangan Metode Dakwah, (PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2011), h. 84.
31
3) Al-Mujadalah Menurut Al-Jarisyah, dalam kitabnya Adab al-Hiwar waalmunadzarah, mengartikan bahwa “al-Jidal” secara bahasa dapat bermakna “datang untuk memilih kebenaran” dan apabila berbentuk ism “al-jadlu” maka berarti “pertentangan atau perseteruan yang tajam” (Al-Jarisyah, 1989:19). Sementara menurut an-Nasafi, kata ini bermakna “berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan suatu perkataan yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa, dan menerangi akal pikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama. Wahidin Saputra berpendapat bahwa Al-Mujadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut.26
26
242-255.
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.
32
3. Media Dakwah Berbicara soal media, kata “media” merupakan jamak dari bahasa Latin yaitu medion, yang berarti alat perantara. Sedangkan secara istilah media berarti segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa media dakwah berarti segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan (lihat Syukir, 1993:163). Seorang Da‟i dalam menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia tidak akan lepas dari sarana atau media (wasilah) dakwah. Kepandaian untuk memilih media dakwah yang tepat merupakan salah satu unsur keberhasilan dakwah. Bagi Tarmizi Taher, internet juga merupakan media dakwah Islam. Pada masa kini dakwah telah menggunakan medium bit, binary dan digital. Dakwah dalam bentuk tulisan di buku mendapatkan komplementernya berupa text dan hypertext di Internet. Meskipun jumlahnya masih sangat sedikit, kalangan umat Islam di Indonesia yang menggunakan Internet sebagai media dakwah jumlahnya kian hari kian bertambah. Fenomena dakwah digital tersebut berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi informasi (TI) di dunia.27 Bagi Asmuni Syukur, media dakwah adalah segalah sesuatu yang dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan.
27
Nurul Badru Tamam, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), h. 157-158.
33
Media dakwah ini dapat berupa barang (material), orang, tempat, kondisi tertentu dan sebagainya.28 Dr. Taufik al-Wa’iy menyebut beragama-macam sarana bertabligh atau berdakwah. Apalagi pada era teknologi, telah bermacam-macam dan beraneka ragam media atau sarana dakwah. Semuanya dapat dikelompokkan sebagaimana berikut ini: a. Sarana sam‟iyah (audio), seperti radio, seminar, khotbah, diskusi, pelajaran, dan lain-lain. b. Sarana maqru‟ah (bacaan), seperti Koran, majalah, buku, selebaran, dan lain-lain. c. Sarana bashriyah (video), seperti televise, drama, bisokop, dan lainlain. d. Sarana syakhsiyah (profil), seperti pertemuan, dakwah fardiyah, percakapan, basa-basi, dan lain-lain.29 Beberapa media dakwah yang dikutip oleh Asmuni Syukur (Syukur: 168180) adalah sebagai berikut: a. Lembaga Pendidikan Formal Lembaga pendidikan formal yang memiliki kurikulum, siswa sejajar kemampuannya, pertemuan rutin, dan sebagainya. Seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan lain sebagainya. Dalam kurikulum yang dianutnya terdapat bidang studi agama apalagi 28
Asmuni Syukur, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya, Al-Ikhlas), h.
163. Taufik al-Wa’iy, “Da‟wah Ilallah” Dakwah ke Jalan Allah: Muatan, Saran, dan Tujuan, (Jakarta: Robbani Press, 2010), h. 352. 29
34
lembaga pendidikan yang di bawah lingkungan Kementrian Agama. Dengan pendidikan agama tersebutlah menunnjukkan bahwa lembaga formal merupakan media dakwah. Sebab, pendidikan agama pada dasarnya menanamkan ajaran Islam kepada anak yang bertujuan melaksanakan perintah Allah (dakwah). b. Lingkungan Keluarga Keluarga adalah kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak atau kesatuan sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang masih ada hubungan darah. Keluarga memiliki kepala keluarga yang berkuasa atas segalanya di dalam keluarga dan juga sebagai sosok yang disegani. Pada umumnya, di dalam keluarga terdapat kesamaan agama, tapi ada juga bermacam-macam agama yang dianutnya. Bagi kepala keluarga beragama Islam, kesempatan yang baik keluarganya dapat dijadikan media dakwah, seperti membiasakan anaknya shalat, puasa, dan sebagainya sebagaimana disabdakan Rasulullah saw:
“Suruhlah anak-anakmu menjalankan ibadah shalat bila mana sudah berusia tujuh tahun, dan apabila telah berusia sepuluh tahun pukullah ia (bila tidak mau menjalankan shalat tersebut) dan pisahkan tempat tidurnya” (Al-Hadits).
c. Organisasi-organisasi Islam Oraganisasi Islam sudah tentu berasaskan ajaran Islam. Begitupun tujuan organisasinya, menyingguny ukhuwah islamiyah, dakwah
35
islamiah, dan sebagainya. Maka, organisasi Islam seperti ini dapat dikatakan sebagai media dakwah. d. Hari-hari Besar Islam Sebagai tradisi Umat Islam Inonesia, setiap peringatan hari besar secara seksama mengadakan upacara-upacara. Upacara peringatan hari besar Islam dilaksanakan di berbagai tempat, di istana Negara, kantorkantor, sampai di daerha pelosok pedesaan. Di sinilah da‟i memiliki kesempatan yang baik dalam menyampaikan misi dakwahnya. Baik bersifat pengajian umum maupun selamatan di surau-surau atau tempat lainnya. Kebaikan hari-hari besar memang biasa dijadikan sebagai media dakwah. e. Media Massa Media yang berupa radio, televisi, surat kabar/majalah, juga dipergunakan sebagai media dakwah. Baik melalui rubrik/acara khusus agama ataupun acara/rubrik yang berbentuk sandiwara, puisi, lagulagu, dan sebagainya. f. Seni Budaya Beberapa group kesenian dan juga kebudayaan menunjukkan perannya dalam usaha penyeruan dakwah Islam (amar ma‟ruf nahi mungkar). Seperti group qosidah, dangdut, musik band, sandiwara, wayang kulit, dan sebagainya (Syukur:163).
36
4. Materi Dawkah Materi dakwah adalah isi pesan yang disampaikan da’i kepada mad’u. Pada dasarnya, pesan dakwah itu adalah ajaran Islam itu sendiri. Secara umum dapat dibagi beberapa kelompok yaitu: a. Pesan Akidah, meliputi Iman kepada Allah Swt, Iman kepada Malaikat-Nya, Iman kepada kitab-kitab-Nya, Iman kepada Rasul-rasulNya, Iman kepada Hari Akhir, dan Iman kepada Qadha-Qadar. b. Pesan Syair’ah, meliputi ibadah thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, serta mu’amalah. Hukum perdata meliputi: hukum niaga, hukum nikah, dan hukum waris, Hukum public meliputi: hukum pidana, hukum negara, hukum perang, dan damai. c. Pesan Akhlak, meliputi akhlat terhadap Allah Swt, akhlak terhadap makhluk yaitu manusia, diri sendiri, tetangga, masyarakat, serta akhlak terhadap bukan manusia yaitu flora, fauna, dan sebagainya.30 Sampai dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Dalam pola perkembangan dakwah di Indonesia sebelum masa penjajahan, baru pada abad ke-9 H/14 M, penduduk pribumi memeluk islam secara massal. Menurut para pakar sejarah, bahwa masuk islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu,
30
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Rosdakarya: Bandung, 2010), h. 20.
37
ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam, seperti Kerjaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Buton, Cirebon, Ternate, dan lain-lainnya. Dalam literatur yang beredar dan menjadi arus besar sejarah, masuknya Islam ke Indonesia selalu diidentikkan dengan penyebaran agama oleh orang Arab, Persia, ataupun Gujarat. Walaupun ada penemuan Slamet Mulyana bahwa Islam di Nusantara tidak hanya berasal dari wilayah India dan Timur Tengah, akan tetapi juga dari Cina, tepatnya Yunan. Setelah armada Tiongkok Dnasti Ming yang pertama kali masuk Nusantara melalui Palembang tahun 1407 M, kemudian Laksamana Ceng Ho membentuk Kerjaan Islam di Palembang yang dalam perkembangannya Kerjaan Islam Demaklah yang lebih dikenal.31 Sunan Bonang atau Maulana Makhdum Ibrahim adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Malina. Pemilik julukan Prabu Nyokrokusumo itu adalah termasuk penyokong dari Kerjaan Demak dan ikut pula membantu pendirian Masjid Agung di kota Bintaro Demak. Selain mendirikan pendidikan dan dakwah Islam, salah satu program dakwah yang dikembangkannya adalah berinteraksi dengan masyarakat dan menciptakan gending-gending atau tembang-tembang jawa yang sarat dengan misi pendidikan dakwah Islam (Hefni, 2007: 177). Seperti halnya Idrus Kaimuddin membuat syair (kabanti) buton, tembang ciptaan Sunan Bonang juga membuat seperti Simon, Dandang Gulo, Pangkur, dan lain-lain. Berkaitan dengan yang dilakukan Idrus, Sunan Bonang juga melakukan kodifikasi atau pembukuan dakwah yang diandili oleh murid-muridnya. Kitab itu ada yang berbentuk puisi maupun prosa yang sampai saat ini dikenal sebagai 31
Harjani Hefni, Lc, M.A, Pengantar Sejarah Dakwah (Kencana: Jakarta, 2007), h. 171-172.
38
Suluk Sunan Bonang (Hefni, 2007). Berkenaan dengan hal tersebut, syair yang dibuat dengan pendekatan tasawuf atau religionitas adalah juga merupakan saran dakwah Islam. Yusuf Qardhawi dalam Retorika Islam mengatakan bahwa dakwah di jalan Allah SWT dapat dilakukan dengan menulis buku, membangun lembaga pendidikan, mempresentasikan ceramah-ceramah di pusat keilmuan, atau menyampaikan khutbah jum’at dan sebagainya. Ada pula yang melakukan dakwah dengan kalimat thayibah (baik), pergaulan yang baik dan keteladanan. Selain itu, ada lagi bentuk dakwah dengan menyediakan fasilitas-fasilitas material demi kemaslahatan dakwah, bahkan dakwah melalui seni, baik seni suara maupun seni musik.32 Menurut Esa Poetra, yang dikutip Aripudin, bahwa lagu-lagu dan pujipujian pada masa penjajahan merupakan media yang bisa menumbuhkan ketenangan dan keberanian. Pada masa Nabi Muhammad saw, pernah suatu ketika dua kali pasukan tentara Islam dipukul tentara Quraisy, Rasulullah sempat meminta dikumpulkan penyanyi-penyanyi terbaik dengan meminta Hindun menjadi lead vocal-nya. Dengan segala ridha-Nya, perang ketiga akhirnya dimenangkan pasukan Islam (lihat Aripudin, 2012: 137-138). Berdasarkan prisnsip al-hikmah dan biqadri „uquulihim, Wali Songo memanfaatkan seni budaya lokal (seni suara, seni karawitan, dan wayang) sebagai media dakwah. Sebagaimana Islam-Demak masyarakat umumnya menggunakan tembang gede, sebuah seni suara Jawa-Hindu. Karena tembang tersebut dirasa
32
Acep Aripuddin, Dakwah Antarbudaya, (Rosdakarya, Bandung: 2012), h. 137.
39
kurang menarik dan kurang praktis, maka Sunan Kalijaga, Sunan Giri, dan Sunan Bonang (Wali Janget Tinelon/Tiga Serangkai) mengganti dengan tembang macapat dengan lagu-lagunya yang terkenal. Tembang macapat memiliki banyak lagu, di antaranya lagu Kinanti karya Sunan Kalijaga, isi syairnya sebagai berikut: Bismillahi- sun pitutu (r) Pitutur laku basuki Ing donya tum‟keng delaha (n) Mung samungkem mring Ilahi Hasirik laku duraka Asih tresno mring sasami Artinya: Bismillahi aku memberi wejangan Wewejang merupakan laku selamat Di dunia sampai akhirat Hanya taat kepada Tuhan Pantang melakukan perbuatan durhaka Kasih sayang kepada sesama manusia33 Islam telah memberikan acuan moral (akhlak) bagi para penyair untuk membela agama, menonjolkan nilai-nilai yang baik, melawan musuh-musuh kaum muslimin dengan kata-kata dan membantah setiap tipu daya para pendusta. AlQur’an juga mencela cara-cara yang dilakukan para penyair sesat, yang membuat kalimat-kalimat tak berakhlak dan berisi khayalan, mimpi-mimpi dan tipu daya yang menjauhkan pembacanya dari hakikat kebenaran. Seperti firman Allah QS. Asy-Syu’ara: 224-227) Bahkan, Rasulullah Saw mendukung syair-syair yang menyerukan pada keutamaan dan nilai-nilai yang terpuji. Sebuah riwayat yang menyebutkan: beliau bersabda, “Sesungguhnya dari syair itu terdapat hikmah” juga “Dengan syair itu,
33
Nawari Ismail, Filsafat Dakwah: Ilmu Dakwah dan Penerapannya, (PT. Bulan Bintang, Jakarta: 2004), h. 113-114.
40
kalian laksana melempar busur-busur panah ke mereka” (Bukhari, Al-Jami‟ AshShahih, juz 7, hal. 107).34 E. Semiotik dalam Syair 1. Semiotika Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan
(to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda
(Barthes, 1988:179; Kurniawan,
2001:53). Sobur mengutip bahwa Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda (Littlejohn, 1996:64). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika. Chalrles Sanders Peirce (dalam Littlejohn, 1996:64)
34
Muhammad Amahzun, Manhaj Dakwah Rasulullah, (Qisthi Press, Jakarta: 2004), h.201-202.
41
mendefinisikan semiosis sebagai “a relationship among a sign, an object, and a meaning (suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna)”. Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti “tanda” (Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau seme, yang berarti “penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999:4). Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001:49). “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant)
dalam
kaitannya
dengan
pembaca.
Pembaca
itulah
yang
menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra, misalnya,
kerap
diperhatikan
hubungan
sintaksis
antara
tanda-tanda
(strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantik). Sebuah teks, apakah itu surat cinta, makalah, iklan, cerpen, puisi, pidato presiden, poster politik, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi “tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni, suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi.35 2. Semiotika dalam Studi Sastra (Narasi) Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Narasi 35
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (PT Remaja Rosdakarya: 2009) h. 15-17.
42
berusaha menjawab pertanyaan “Apa yang telah terjadi?” Ada narasi yang hanya bertujuan untuk memberi informasi kepada para pembaca, agar pengetahuannya bertambah luas, yaitu narasi ekspositoris. Di samping itu, ada juga narasi yang disusun dan disajikan sekian macam, sehingga mampu menimbulkan daya khayal para pembaca. Ia berusaha menyampaikan sebuah makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya. Narasi semacam ini adalah narasi sugestif. Di antara kedua ekstrim ini terjalinlah bermacam-macam narasi dengan tingkat informasi yang semakin berkurang menuju tingkat daya khayal yang semakin bertambah. d. Narasi Ekspositoris Narasi ekspositoris bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu berupa perluasan pengetahuan para pembaca sesudah membaca kisah tersebut. Narasi menyampaikan informasi mengenai berlangsungnya suatu peristiwa. Narasi ekspositoris dapat bersifat khas atau khusus dan dapat pula bersifat generalisasi. Narasi ekspositoris yang bersifat generalisasi adalah narasi yang menyampaikan suatu proses yang umum, yang dapat dilakukan siapa saja, dan dapat pula dilakukan secara berulang-ulang. Sementara narasi yang bersifat khusus adalah narasi yang berusaha menceritakan suatu peristiwa yang khas, yang hanya terjadi satu kali. Peristiwa yang khas adalah peristiwa yang tidak dapat diulang kembali, karena ia merupakan pengalaman atau kejadian pada suatu waktu tertentu saja.
43
e. Narasi sugestif Seperti halnya dengan narasi ekspositoris, narasi sugestif juga pertamatama bertalian dengan tindakan atau perbuatan yang dirangkaikan dalam suatu kejadian atau peristiwa. Seluruh rangkaian kejadian itu berlangsung dalam suatu kesatuan waktu. Tetapi tujuan atau sasaran utamanya bukan memperluas pengetahuan seseorang, tetapi berusaha memberi makna atas peristiwa atau kejadian itu sebagai suatu pengalaman. Karena sasarannya adalah makna peristiwa atau kejadian itu, maka narasi sugestif selalu melibatkan daya khayal (imajinasi). Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan sekian macam sehingga merangsang daya khayal para pembaca. Pembaca menarik suatu makna baru di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit. Narasi tidak bercerita atau memberikan komentar mengenai sebuah cerita, tetapi ia justru mengisahkan suatu cerita atau kisah. Seluruh kejadian yang disajikan menyiapkan pembaca kepada suatu perasaan tertentu untuk menghadapi peristiwa yang berada di depan matanya. Kesiapan mental itulah yang melibatkan para pembaca bersama perasaannya, bahkan melibatkan simpati atau antipati mereka kepada kejadian itu sendiri. Supaya memudahkan dan lebih jelas perbedaannya, maka di table berikut akan dikemukakan secara singkat perbedaan Narasi Ekspositoris dan Narasi Sugestif.36
36
138.
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 135-
44
Table 2.1 Perbedaan Narasi Ekspositoris dan Sugestif Narasi Ekspositoris Narasi Sugestif 1. Memperluas pengetahuan. 1. Menyampaikan suatu makna atau suatu amanat yang tersirat. 2. Menyampaikan informasi 2. Menimbulkan daya khayal mengenai suatu kejadian. 3. Didasarkan pada penalaran 3. Penalaran hanya berfungsi untuk mencapai kesepakatan sebagai alat untuk menyampaikan rasional. makna, sehingga kalau perlu penalaran dapat dilanggar. 4. Bahasanya lebih condong ke 4. Bahasanya lebih condong ke bahasa informative dengan titik bahasa figuratif dengan menitikberat pada penggunaan kataberatkan penggunaan kata-kata kata denotatif. konotatif. Dalam papernya, Nasrullah mengutip bahwa, semiotika naratif bisa diartikan sebagai upaya penghitungan (recounting) atau pembacaan kembali terhadap dua atau lebih situasi yang secara logikal terhubung, baik dari segi waktu maupun tempat, dan terkait dengan konsistensi sebuah subjek dari keseluruhan teks atau pesan untuk melihat narasi atau perubahan cerita dari tanda; termasuk untuk mengungkap makna tersembunyi dari tanda (lihat Stam, Burgoyne, & Flitterman-Lewis, 1992:70; Prince, 1987). Bagi Greimas (1965) semiotika naratif adalah “the orientation towards a goal, and therefore a sense of closure and wholeness, as a crucial determinant of naarative”.37 Sobur juga menulis, bahwa dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan (Santosa, 1993:36). Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika. Dari dua tataran (level)
37
Rulli Nasrullah, Jurnal Semiotika Naratif Graimas dalam Iklan Busana Muslim, (www.kangarul.com), h. 3.
45
antara mimetik dan semiotik (atau tataran kebahasaan dan mitis) sebuah karya sastra menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati. Wawasan semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi (Aminuddin, 1997:77). 1) Karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan (i) pengarang, (ii) wujud sastra sebagai sistem tanda, dan (iii) pembaca. 2) Karya sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem tanda (system of sign) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu. 3) Karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam literasi semiotics, karya sastra disikapi dengan literary discourse. Sasaran kajian sastra secara ilmiah bukan pada maujud konkret wacananya, melainkan pada metadiscourse atau bentuk dari ciri kewacanaan yang tidak teramati secara konkret. Maka, menyikapi karya sastra sebagai literary discourse, berarti juga menyikapi karya sastra sebagai wacana ataupun sebagai gejala komunikasi. Namun, berbeda dengan gejala komunikasi pada umumnya, komunikasi dalam wacana sastra ditujukan untuk membuahkan efek keindahan tertentu. Efek keindahan tersebut bukan merujuk pada dunia di luar wacana sastranya, melainkan unsur-unsur yang secara potensial teremban dalam karya sastra itu sendiri secara internal. Karena itulah komunikasi dalam wacana sastra juga dapat disebut sebagai bentuk komunikasi dalam wacana sastra juga dapat disebut sebagai bentuk komunikasi puitik (Aminuddin, 1997:71). Dalam bukunya
46
Language in Literature, Jakobson (1987:71) menggambarkan keberdaan karya sastra sebagai gejala komunikasi puitik melalui bagan sebagai berikut:
Referensial Puitik Fatis
Emotif
Konotatif
Gambar 2.1 Gejala Komunikasi Puitik Pada dasarnya, penyusunan spesifikasi di atas didasarkan pada sistem komunikasi verbal yang mengandung komponen: (i) pembicara (addreser), (ii) konteks perututran, (iii) pesan, (iv) kontak, (v) kode sebagai wahana encoding, dan (vi) pendengar (addressee). Dalam komunikasi tersebut, pembicara dan pendengar berada dalam hubungan langsung. Dikaitkan dengan komponenkomponen komunikasi tersebut, bahasa sebagai wahana memiliki fungsi yang berbeda-beda. Setelah dihubungkan dengan karakteristik komunikasi sastra, fungsi bahasa ditentukan meliputi fungsi (Jakobson, 1987:71-76): (i) emotif, (ii) referensial, (iii) puitik, (iv) fatis, (v) metalingual atau metabahasa, dan (vi) konatif.38 E. Komunikasi Naratif dan Sastra 1. Karakteristik Narasi Ada beberapa syarat dasar narasi. Pertama, adanya rangkaian peristiwa. Sebuah narasi terdiri atas lebih dari dua peristiwa, di mana peristiwa satu dan peristiwa lain dirangkai. Kedua, rangakaian (sekuensial) peristiwa tersebut tidaklah random (acak), tetapi mengikuti logika tertentu, urutan atau sebab akibat
38
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Rosdakarya: 2009), h. 141-143.
47
tertentu sehingga dua peristiwa berkaitan secara logis. Jika peristiwa tersebut tidak disusun menurut logika tertentu, maka tidak bisa disebut sebagai narasi. Kemudian ketiga, narasi bukanlah memindahkan peristiwa ke dalam sebuah teks cerita. Dalam narasi, selalu terdapat proses pemilihan dan penghilangan bagian tertentu dari peristiwa. Bagian mana yang diangkat dan bagian mana yang dibuang dalam narasi, berkaitan dengan makna yang akan disampaikan atau jalan pikiran yang hendak ditampilkan oleh pembuat narasi (Eriyanto, 2013: 2-3). Kutipan Eriyanto di atas diperjelas dengan pertanyaan mengapa analisis naratif? Jawabanannya adalah, analisis naratif melihat teks berita, sebuah cerita, sebuah dongeng yang mana di dalamnya ada plot, adegan, tokoh, dan karakter. Narasi adalah bentuk teks yang paling tua dan paling dikenal, karena sesuai dengan pengalaman hidup manusia. Kitab suci, selain berisi tentang ajaran agama, juga berisi tentang cerita-cerita (lihat Eriyanto, 2013: 8-9). Nampaknya ini seperti yang disajikan dalam Kitab Bula Malino. Narasi merupakan penceritaan. Menurut Ricoeur (1981) yang dikutip oleh Sobur, sesungguhnya sebuah narasi masih harus disatukan sebagai sebuah keseluruhan dan dikembalikan ke dalam komunikasi naratif. Narasi menjadi wacana (discourse) yang disampaikan narator kepada audiens. Ricoeur juga memandang bahwa model linguistik bisa dialihkan kepada teori narasi, sepenuhnya menegaskan: sekarang ini, penjelasan bukan lagi sebuah konsep yang dipinjam dari ilmu-ilmu alam dan kemudian ditransfer pada bidang-bidang artefak tertulis yang asing melainkan berasal dari ruang lingkup bahasa itu
48
sendiri. Juga melalui pemindahan analogis dari unit-unit yang lebih besar daripada kalimat, seperti narasi, cerita rakyat, dan mitos.39 Ahmad Mubarok dalam Psikologi Dakwah menyatakan bahwa kegiatan dakwah adalah kegiatan komunikasi, di mana da’i mengomunikasikan pesan dakwah kepada mad’u baik secara perseorangan maupun kelompok. Secara teknis, dakwah merupakan komunikasi da’i (komunikator) dan mad’u (komunikan). Perbedaan anatara kegiatan-kegiatan lahiriah, anatara komunikasi dan dakwah nyaris tidak Nampak sebab memang tidak begitu tajam. Justru, sangat terasa persamaannya dengan beberapa bentuk aktivitas komunikasi yang dikenal selama ini (lihat Ilaihi, 2010: 24). Dalam komunikasi dakwah Ilaihi juga mengutip bentuk-bentuk etika komunikasi atau pendekatan komunikasi yang terkandung dalam qawl/kata dalam Al-Qur’an yaitu salah satunya dengan qawlan maisura (kata yang muda). Lebih lanjut dalam komunikasi dakwah dengan menggunakan qwlan maisura dapat diartikan bahwa dalam menyampaikan pesan dakwah, da’i harus menggunakan bahsa yang ringan, sederhana, pantas, atau yang muda diterima oleh mad’u (mitra dakwah) secara spontan tanpa harus melalui pemikiran yang berat. Namun, menurut Zaimar (lihat Sobur, 2014: 12) sesuai tekanan bahasa yang digunakan pada waktu tuturan (komunikasi verbal), maka fungsi bahasa bisa dikelompokkan menjadi enam:
39
Sobur, Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikasi (Rosdakarya Bandung, 2014), h. 4.
49
a. Fungsi emotif (ekspresif), yakni apabila bahasa digunakan untuk menekan pikiran dan perasaan penutur (pengirim) b. Fungsi konatif, apabila tekanan tutur ada pada si penerima, yaitu apabila di dalam penuturan terdapat suruhan yang harus dilakukan penerima atau ada usaha penutur untuk memengaruhi penerima. c. Fungsi referensial, apabila dalam tuturan ada penonjolan acuan, misalnya berbagai peristiwa diceritakan. Di sini, baik penutur maupun penikmat tidak menonjolkan dirinya. d. Fungsi fatik, fungsi ini akan muncul apabila dalam tuturan ada penonjolan saluran komunikasi. Dalam teks tertulis akan tampak pada huruf besar semua, atau huruf miring, atau yang lainnya, sementara pada lisan akan nampak pada perubahan suara seperti perubahan suara dalang, peranan musik, tarian, dan sebagainya. e. Fungsi puitik, tampak bila penonjolan tuturan ada pada pesan, misalnya dengan ritme tertentu atau verifikasi seperti pada puisi. Dalam bahasa daerah, banyak sekali penggunaan fungsi ini. f. Fungsi metalinguistik, muncul apabila dalam tuturan ada tekanan yang ingin menonjolkan kode, misalnya dengan suatu kata atau unsur bahasa lain. Keenam fungsi di atas menurut Sobur bisa digunakan dalam penelitian karya sastra atau tradisi lisan. Dengan penelitian fungsi bahasa yang
50
digunakan, maka tujuan masing-masing penutur dalam berkomunikasi akan lebih jelas.40 Bagian yang penting dalam analisis naratif menurut Nick Lacey dan Van Dijk adalah cerita (story) dan laur cerita (plot). Kedua aspek tersebut berperan dalam memahami suatu narasi, bagaimana narasi bekerja, bagian mana dari suatu peristiwa yang ditampilkan dalam narasi, dan bagian mana yang tidak ditampilkan. Cerita aliur (plot) berbeda, ia adalah suatu yang ditampilkan secara eksplisit dalam sebuah teks. Sementara cerita (story) adalah urutan kronologis dari suatu peristiwa, di mana peristiwa tersebut bisa di tampilkan dalam teks juga tidak ditampilkan dalam teks (lihat Eriyanto, 2013: 15-16). F. Aktan Algirdas Greimas dalam Narasi Narasi sering disamakan dengan cerita dongeng. Narasi berasal dari kata Latin narte, yang artinya “membuat tahu”. Dengan demikian, narasi berkaitan dengan upaya untuk memberitahu sesuatu peristiwa. Tetapi tidak semua informasi atau memberitahu peristiwa bisa dikategorikan sebagai narasi. Papan penunjuk jalan, jadwal kereta api di surat kabar, dan iklan lowongan pekerjaan meskipun berisi informasi tetapi tidak bisa disebut sebagai narasi (cerita).41 Karakter dalam narasi yang dikemukakan Greimas banyak dipakai dalam analisis narasi. Greimas menganalogikan narasi sebagai suatu struktur makna (semantic structure). Mirip sebuah kalimat yang terdiri atas rangkaian kata-kata, setiap kata dalam kalimat menempati posisi dan fungsinya masing-masing 40
Sobur, Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikasi, (Rosdakarya Bandung, 2014), h. 12-13. 41 Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media, (KENCANA Jakarta, 2013), h. 1.
51
(sebagai subjek, objek, predikat, dan seterusnya). Kata yang satu juga mempunyai relasi dengan kata yang lain sehingga membentuk kesatuan yang koheren dan mempunyai makna. Narasi menurut greimas juga harus dilihat seperti sebuah semantik dalam kalimat. Berbeda dengan Propp, Greimas mengembangkan penelitiannya dari dasa oposisi dan kontradiksi, kemudian dasar tersebut digunakan untuk menganalisis struktur kemasyarakatan seperti pada fiksi media populer (Sobur, 2014: 229). Karakter dalam narasi menempati posisi dan fungsinya masing-masing. Lebih penting dari posisi itu adalah relasi dari masing-masing karakter. Sebuah narasi dikarakterisasi
oleh enam peran, yang disebut oleh Greimas sebagai aktan
(actant) di mana aktan tersebut tersebut berfungsi mengarahkan jalannya cerita. Karena itu, analisis Greimas ini kerap juga disebut sebagai model aktan (Eriyanto, 2013:95-96). 1. Enam Aktan Greimas Ada enam peran yang berfungsi untuk mengarahkan jalannya cerita. Keenam peran tersebut bisa digambarkan sebagai berikut. a. Subjek, menduduki peran utama sebuah cerita, tokoh utama yang mengarahkan jalannya cerita. Posisi subjek ini bisa diidentifikasi dengan melihat porsi terbesar dari cerita. b. Objek. Merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Objek bisa berupa orang, tetapi bisa juga sebuah keadaan atau kondisi yang dicita-citakan.
52
c. Pengirim (destinator). Merupakan penentu arah, memberikan aturan dan nilai-nilai dalam narasi. Pengirim umumnya tidak bertindak secara langsung, ia hanya memberikan perintah atau aturan-aturan kepada tokoh dalam narasi. d. Penerima (receiver). Karekter ini berfungsi sebagai pembawa nilai dari pengirim (destinator). Fungsi ini mengacu kepada objek tempat di mana pengirim menempatkan nilai atau aturan dalam cerita. e. Pendukung (adjuvant). Karekter ini berfungsi sebagai pendukung subjek dalam usahanya mencapai objek. f. Penghalang (traitor). Karakter ini berfungsi sebaliknya dengan pendukung, di mana karakter ini menghambat subjek dalam mencapai tujuan. Greimas melihat keterkaitan antara satu karakter dengan karakter yang lain. Dari fungsi-fungsi karater dalam sebuah narasi, secara sederhana bisa dibagi ke dalam tiga relasi struktural. a. Relasi struktural antara subjek versus objek. Relasi ini disebut juga sebagai sumbu hasrat atau keinginan (axis of desire). Objek adalah tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Menurut Cohan dan Shires, hubungan antara subjek dan objek adalah hubungan langsung yang bisa diamati secara jelas dalam teks. Relasi antara subjek dan objek ini bisa berupa hubungan yang dikehendaki oleh kedua belah pihak (misalnya, seorang pahlawan sebagai subjek yang ingin membebaskan putri dari penculikan penjahat) atau tidak dikehendaki (seorang
53
penculik ingin menyekap korbannya). Objek ini tidak harus selalu berupa orang, tetapi juga bisa berupa keadaan. Misalnya keinginan dari pahlawan (subjek) untuk membebaskan suatu negeri dari raja yang kejam (objek). b. Relasi antara pengirim (destinator) versus penerima (receiver). Relasi ini disebut juga sebagai sumbu pengirim (axis of transmission). Pengirim memberikan nilai, aturan, atau perintah agar objek bisa dicapai. Sementara penerima adalah manfaat setelah objek berhasil dicapai oleh subjek. Sebagai misal, seorang raja (pengirim) memberikan perintah kepada prajurit agar membebaskan putri (objek) yang ditawan oleh seorang penyihir. Objek dari cerita ini adalah membebaskan putri, yang menjadi inti atau tujuan dari keseluruhan cerita. Sementara penerima (receiver) adalah putri. c. Relasi struktural antara pendukung (adjuvant) versusu penghambat (traitor). Relasi ini disebut juga sebagai sumbu kekuasaan (axis of power). Pendukung melakukan sesuatu untuk membantu subjek agar bisa mencapai objek. Sebagai misal, dalam suatu cerita, pahlawan mendapat bantuan dari orang pintar, pedang, kuda. Sementara pahlawan juga mendapat halangan dari penyihir, naga, dan sebagainya.
54
Ketiga relasi struktural tersebut, bisa digambarkan ke dalam sebuah model seperti berikut:
Pengirim (Destinator)
Objek
Penerima (Receiver)
Pendukung (Adjuvant)
Subjek
Penghambat (Traitor)
Gambar 2.2 Relasi-relasi dalam Model Aktan Greimas melihat, bagian terpenting dari suatu narasi adalah keterkaitan di antara karakter satu dengan karakter lain. Menurut Luc Herman and Bart Vervaeck (dikutip Eriyanto, 2013:98), model aktan dari Greimas ini mempunyai kelebihan sekaligus kelemahan. Kelebihan dari model ini adalah menekankan interaksi di antara karakter yang satu dengan yang lain. Tetapi kelemahannya adalah mereduksi kompleksitas karakter dari suatu narasi hanya menjadi enam karakter saja.42
42
Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media, (KENCANA Jakarta, 2013), h. 95-98.
BAB III KITAB KABANTIBULAMALINO
A. Penulis Kabanti (Syair) BulaMalino Sultan Muhammad Idrus adalah Sufi ternama dari Buton (Sulawesi). Ia diperkirakan lahir pada akhir abad ke-18, karena ia menduduki jabatan sebagai Sultan Buton pada tahun 1824 atau sekitar berusia 40 tahun. Di masa kecilnya, ia menerima pendidikan Islam dari kakeknya, La Jampi, yang juga pernah menjadi Sultan dengan gelar Sultan Qa’im al-Din Tua (1763-1788). Sampai pada tahun 1974, orang Buton masih menemukan jejak tempat ia dibina oleh kakeknya dalam pengetahuan agama, khususnya tasawuf. Tempat itu dikenal dengan Zawiyah.1 Guru Muhammad Idrus yang lain adalah Syekh Muhammad bin Syais Sumbu al-Makki. Dari ulama inilah ia menerima tarekat Khalwatiyyah Sammaniyah. Tulisan-tulisannya yang khusus membahas tentang tasawuf antara lain: Jauharana Manikamu, Mu’nisah al-Qulub fi Dzikr wa Musyahadah, Diya alAnwar fi Tashfiyah al-Akdar, dan Kasif al-Hijab fi Muraqabah al-Wahhab.2 Perlu dipahami bahwa karya-karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin bersifat sufistik.3
1
La Ode Muh. Syukur, Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (CV. Shadra: 2009), h. 86. 2 La Niampe, Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin AlButhuni, (Kendari, FKIP Unhalu/UHO 2009), h. 9. 3 La Ode Muh. Syukur, Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (CV. Shadra: 2009), h. 90.
55
56
B. Mengenal Syair BulaMalino Masyarakat Buton menyadari bahwa Kabanti (Syair) merupakan peninggalan budaya tak benda dari masa kesultanan.4 Tidak sedikit yang masih memegang teguh dan mempercayai kandungan kabanti secara tekstual. Belum lagi berbicara latar belakang dan sejarah mengapa kabanti dibuat dan membuming di masa itu. Begitu banyak paham yang berbeda mengenai profil Kabanti Bula Malino. Syair BulaMalino adalah nasihat Sultan Muhammad Idrus kepada dirinya. Mengawali nasihatnya, Sultan Muhammad Idrus mengatakan bahwa kelak ia akan menghadapi kematian. Hal ini sudah merupakan takdir Tuhan kepadanya sebagai hamba-Nya.Tidak ada satupun hamba Tuhan semata. Oleh karena itulah, di kala kematiannya tiba, ia memohon kepada Tuhan agar senantiasa diberi kekuatan iman serta dapat mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan teguh.5 Semua jenis kabanti mengandung ajaran baik-buruknya tingkah laku kita dan mengetahui jati diri kita.Termasuk sejarah dan keadaan Benteng Buton ini tersimpan dalam kabanti.Seperti kabanti-kabanti lainnya juga merupakan ajaran untuk menuju pada kesalehan dan beradab bagi manusia itu sendiri.6Dalam kamus
4
www.baubaupos.com/page.php/diakses 10 September 2014. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menghimbau ada Penyuluh Budaya dan mengharapkan agar kebudayaan yang belum tersentuh bisa diselamatkan. Serta memotivasi masyarakat akan pentingnya melestarikan suatu kebudayaan bagi bangsa dan negara. 5 La Niampe, Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin AlButhuni, (Kendari, FKIP Unhalu, 2009), h. 20. 6 Al Mujazi, wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya, Sambali, Baubau, Sulawesi Tenggara).Al Mujazi adalah seorang pemerhati dan penjaga naskahnaskah asli Wolio. Aktivitas hariannya menjaga Museum Kebudayaan Woliodi Badhia.Ia juga menyimpan dan memelihara peninggalan kebudayaan Wolio yang benda dan tak benda dengan rapihdan terjaga. Ia adalah putra dari pasangan Abdul Mulku Zahari dan Syamsiah Ma Faoka.
57
wolio (wolio dictionary) oleh J.C. Anceaux, kabanti bermakna puisi syair, nyanyian, sajak.7 Beberapa pendapat yang diutarakan oleh Tokoh Adat lainnya bahwa narasi dari KabantiBulaMalinoadalah sistim pemahaman di dalam pelaksanaan tasawuf.Salah satu tarekat yang digemari oleh orang tua dahulu.Pemahaman narasi kabanti oleh Guru, dalam arti mengajarkan langsung kepada Murid atau memberikan petunjuk makna dari naskah oleh Guru kepada Murid.Begitulah sistim tata cara pelaksanaan pemahaman daripada narasi kabanti tersebut. Kabanti adalah sistim pengamalan tarekat.Sebab itulah mengapa KabantiBulaMalino ini mengandung nilai-nilai tarekat. BulaMalinojuga mengandung etika Islam, yang mana ajarannya termasuk ajaran tasawuf.Kabanti dipakai setiap kali oleh masyarakat, di samping untuk pengkajian nilai-nilai keislaman, mereka juga langsung mengamalkan isi dari pada kabantitersebut.Karena cerita dalam kabanti mengenai bagaimana pengarang berupaya tidak berpisah dengan Penciptanya. Objek atau kunci akhir daripada kabanti ini adalah untuk betul-betul menjadi seorang insan kamil di hadapan Allah swt.Pada waktu itu kabanti merupakan pendidikan informal yang tertuju kepada ketinggian tauhid seseorang.Sehingga, kabanti tidak salah jika dikategorikan sebagai media dakwah.8
7
J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, (Foris Publication Holland: 1987), h. 51. 8 Syafiuddin, wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya Bataraguru, Baubau, Sulawesi Tenggara).Syafiuddin adalah seorang Tokoh Adat Kebudayaan Wolio. Selain mengkaji kabanti, ia sekaligus pemerhati budaya pernikahan wolio (buton) dalam hal ini oleh masyarakat disebut Boka. IaGuru Besar di Universitas Dayanu Ihsanuddin Baubau.
58
Banyak hal yang dapat dipelajari dari kebudayaan Syair BulaMalino.Mudamudi, bahkan pendidikan kebudayaan seluruh sekolah di Buton, selayaknya menempatkankabanti sebagai materi pelajaran.Sebab, budaya kabanti kini sudah tergantikan dengan dangdut, serta nyanyian modern lainnya.Saat ini,kita kita bisa melihat akidah sebagian masyarakat buton sudah mulai longgar. Masyarakat patut berhati-hati karena longgarnya akidah itu akhirnya kabanti akan menjadi hal yang tidak penting lagi. Mulai dari kurangnya mencintai al-Qur’an hingga sudah tidak peduli lagi dengan peninggalan budaya islam ini. Seperti halnya, banyak manusia yang belajar ilmu berenang tapi melupakan ilmu menyelam. Sehingga, pemanfaatan pendidikan di sekolah menjadi media yang tepat untuk melestarikan kabanti dalam bentuk formal. Salah satu penyebab mengapa kabanti sudah tidak dilestarikan lagi adalah berkurangnya orang wolio asli.“Orang Wolio sudah berkurang tapi Orang di Wolio sudah semakin banyak”.Karena memang masyarakat Buton sekarang sudah kurang mengerti berbahasa (daerah) wolio.9 C. Bentuk Pengamalan Kabanti 1. Masa Kesultanan Di satu sisi, fungsikabanti bagi orang tua, ketika ingin membacakan atau menyanyikannya, mereka mengumpulkan keluarganya dan beberapa sanak saudara lainnya dalam satu forum informal. Kemudian, yang membaca
9
Lambalangi, wawancara tanggal 25 Maret 2014, (dikediamannya, Tarafu, Baubau, Sulawesi Tenggara).Ia memutuskan menjadi penyalin kabanti dan membukukan kabanti setelah pensiun pada 1992 sebagai upaya melestarikan budaya kabanti. Ia menulis kabanti dengan tulisan woilo dan tulisan latin.
59
kabantiakan menjelaskan makna dari kandungannya sesuai judul dan tema kabanti yang akan dikaji. Semua akan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sejauh mana masyarakat memahami.10 Penulis merasakan bagaimana masyarakat sangat menghargai peninggalan atau ungkapan-ungkapan orang tua terdahulu. Lebih-lebih tertulis seperti kabanti. Bahkan mereka menilai hal tersebut sangat sakral. Sehingga, masyarakat kadang tidak memandang pentingnya mengetahui latar belakang Ulama dan Sultan mengarang kabanti. Di sisi lain, Kabanti yang dibuat kadang dinyanyikan pada waktu masyarakat sedangberaktivitas.
Bahkan,saat
sedang
pestahamar
dan
berjudi
serta
perilakuyang menyimpang lainnya.Penyairkabanti saat itu tidak menegur secara langsung orang-orang yang telah menyimpang dari norma-norma agama tersebut. Akan tetapi, justru mereka menyindir dengan caramenyanyikan kabanti (syair) agama tesebut di tengahaktivitas mereka.11 2. Masa Pasca Kesultanan (Modern) Kabanti sering dibaca pada hajatan-hajatan keislaman tertentu seperti, Maulid, Pernikahan, Syukuran Rumah Baru yang akan dihuni, dan sebagainya. Sepertiyang dilakukan oleh Siti Surah pada pernikahan putri mantan Walikota
10
Al Mujazi,wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya, Sambali, Baubau, Sulawesi Tenggara). 11 Lambalangi, wawancara tanggal 25 Maret 2014 (dikediamannya, Tarafu, Baubau, Sulawesi Tenggara).
60
Baubau tahun 2012. Selain itu, saat ini kabanti dibaca pada pertemuan-pertemuan terntu oleh Majelis Taklim Lingkungan Batu Poaro.12 Selain itu, saat ini belum ada lagiaktivitas kabanti di buton.Kabanti ini memang tidak rutin lagi pelaksanaannya.Dalam hal ini, bagi siapa saja yang melakukan
aktivitas
atau
menyanyikan
kabanti
dalam
acara
adat,
dipersilahkan.Tidak ada jadwal acara rutin atau yang ditetapkan untuk melaksanakannya.13 Naskah asli Kitab Bula Malino tidak ditemukan oleh peneliti. Karena keterbatasan waktu dan kondisi naskah yang memang sulit ditemukan sehingga Al-Mujazi hanya memperlihatkan tulisan dari Ayahnya bernama Abdul Mulku Zhari,14 seperti pada gambar berikut:
12
Siti Surah, wawancara di kediamannya, Kaobula (Maret, 2013). Ia melantukan kabantiMomondona Ruamiaana (Terjalinnya dua sejoli). Syair ini menceritakan tentang hukum dan syarat nikah dan membangung rumah tangga. 13 Syafiuddin, wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya Bataraguru, Baubau, Sulawesi Tenggara). 14 (http://myrepositori.pnm.gov.my/bitstream/123456789/1627/1/PAMM2014_Pa per09.pdf). Ayah dari Abdul Mulku Zahari adalah La Wungu, dan buyutnya bernama Ma Zahari sebagai pejabat kerajaan Buton yang dikenal suka menulis. Nama belakang Muluku diambil dari buyut yang diyakini mewariskan bakat menulisnya itu. Karena hobi menulis itulah Abdul Mulku Zahari mendapat warisan untuk memelihara berbagai jenis arsip dan naskah kerajaan. Jabatan Mulku Zahari yang terakhir sebagai pembantu utama (semacam asisten pribadi) Sultan Falihi 1960 memberi kesempatan luas baginya untuk menghimpun naskah. Abdul Mulku Zahari kerap kali menyalin beberapa naskah dan menerjemahkannya.
61
Gambar 3.1, Tulisan Tanga Abdul Mulku Zahari
Gambar 3.2, Tulisan Abdul Mulku Zahari (Baris 332-383)
62
D. Naskah-naskah Kabanti yang Sudah Ada/Diperoleh Saat penulis mewawancarai Lambalangi, sebagai Tokoh Kabanti sekaligus penulis transliterasi naskah Wolio, tercatat beberapa syair Buton yang telah diperoleh adalah sebagai berikut: Syair Jilid I 1. Bula Malino 2. Tazkiri Momampodo 3. Nuru Molabi 4. Jauharana Amala 5. Maiyati 6. Kaokabi 7. Kaokabi Mainawa 8. Pakeana Arifu Syair Jilid II 1. Kamainawa Arifu 2. Kalipopo Mainawa 3. Kaluku Panda Sayir Jilid III 1. Jagugu/Kanturuna Mohelana 2. Anaana Maelu Undu-undu 3. Anaana Maelu Bula Baani 4. Tula-tulana Nabi
63
5. Paiyasa Mainawa Syair Jilid IV 1. Wa Iyati/Wahadini 2. Bunga Malati 3. Bunga Dalima 4. Jauhara Manikamu Molabi 5. Wafatina Nabi saw Syair Jilid V 1. Bunga-bungana Wameo 2. Taguna Nua 3. Bunga Cengkeh 4. Lele Matapa 5. Kalipopo Niyzani 6. Kanturuna Mohelana 7. Wafatina Nabi saw 8. Qoburu Kemudian, ada syair yang paling tebal di antara syair-syair lainnya yaitu Kabanti Ajonga Indaa Malusa (Pakaian yang Tidak Pernah Kusut).15 Penelitian ini hanya fokus pada syair Jilid I nomor 1 yaitu Bula Malino (Purnama yang Cerah) Karya Muhammad Idrus Kaimuddin dan pembatasan masalahnya hanya pada baris 332-383.
15
Data yang diperoleh dari Lambalangi, sebagai penulis transliterasi sejumlah Kabanti Wolio (Buton), (25, Maret 2014).
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS Analisis dengan Model Aktan Greimas ini akan dilakukan dengan cara melihat struktural narasi yang terangkai dalam baris-baris melalui petanda (aktan) yang mengarahkan jalannya cerita. Pada bab ini peneliti akan memaparkan pesanpesan dakwah yang terkandung dalam Kitab tersebut khususnya pada baris 332383. A. Analisis Narasi Model Aktan Greimas 1. Aktan Subjek
Subjek menduduki peran utama sebuah cerita, jika subjek adalah manusia, maka ia merupakan tokoh utama yang mengarahkan jalannya sebuah cerita.1 Subjek yang terdapat dalam baris yang dibahas ini yaitu pada peringatan kematian. Narator mengirim sebuah tema tentang kematian agar manusia mempersiapkan bekal selama hidupnya.2 Perhatikan tabel berikut: Tabel 4.1 Aktan Subjek Terjemahan
Baris
Transliterasi
332
Ee karoku mate pada aumbamo Ngalu hela padaaka atumpumo Pamondomea kasangkana sawikamu Pentaaka wakutuuna helamu Matemo yitu hela yindaa
333 334 335 336 1
Wahai diriku, kematian akan datang Angin berlayar akan berhembus Siapkan kelengkapan tumpanganmu Menantikan waktu berlayarmu Mati itu pelayaran yang tidak
Eriyanto, Aanalisis Naratif, (Jakarta: 2013), h. 96. Lihat baris 377 dan 383. Kematian dalam hal ini terbagi menjadi dua, bisa husnul khatimah bisa juga mati dalam keadaan su’ul khatimah. 2
64
65
337 338 339 340 341
mobancule Osiitumo bose mosatotuuna
kembali Dan itulah pelayaran yang hakiki Indamo ambuli paimia Tidak kembali semua yang telah molingkana pergi Moporopena i dala incia Yang menuju di jalan itu siitu Matemo itu intaana alimu Mati itu yang dinantikan orang alim Itoku-tokuna paimia saalihi Yang diharap-harapkan orang saleh
Kalimat pernyataan pada baris 332-333 dibentuk dari kata ee, karoku, mate, pada, aumba, -mo, ngalu, hela, padaaka, atumpu, dan – mo. Ee artinya wahai, menandakan sebuah seruan. Pada kata karoku membayangkan adanya dua zat yaitu karo dan aku (jiwa dan jasad). Kata mate artinya kematian yang merupakan peristiwa terpisahnya ruh dan jasa (karoku). Pada mengandung makna masa mendatang (future). Akhiran –mo pada kata aumbamo (akan tiba) mengaskan tibanya waktu kematian. Kata ngalu artinya angin, yang secara stilistik bermakna tanda-tanda berlayar. Sebab, ia menyatu dengan kata hela berarti menarik (ngalu hela) yang membayangkan adanya sesuatu yang ditarik yaitu kapal. Sehingga, secara sintaksis ia berarti berlayar. Kata padaaka sama maknanya dengan padaa di atas. Kata tersebut menganalogikan kematian dengan ngalu hela (berlayar). Akhiran –mo pada kata atumpumo secara stilistik maknanya adalah menggambarkan tentang waktu (masa).3
3
Pada kalimat baris 333 merupakan analogi dari kalima pada baris 333 yaitu mate=ngalu hela pada=padaaka, aumbamo=atumpumo.
66
Kalimat pada baris 334-335 dibentuk dari kata pamondo, wakutu, na, hela, kasangka, -na, sawika, -mu, pentaa, -ka, wakutu, -na, hela, dan –mu. Pada kata pamondo (selesaikan) menggambarkan seorang yang tengah bersiap untuk melakukan sesuatu. Akhiran –na pada kata wakutuna (waktunya) yang menyatu dengan kata hela mengekspresikan makna berlayar. Akhiran –na pada kata kasangkaana (perlengkapan) menegaskan sebuah perlengkapan. Sawika berarti tumpangan (kapal). Mu adalah kata gantu dari kamu (komunikan). Akhiran –ka pada kata pentaaka bermkana menantikan sesuatu. Kata wakutu dan akhiran –na menjelaskan sebuah waktu yang dinantikan tersebut. Hela seperti dijelaskan di muka, secara stilistik bermakna berlayar. Mu adalah kata pendek dari ngko (kamu). Metaforis kalimat pada baris 336-337 tersusun dari kata mate, -mo, yitu, hela, iinda, mo-, bancule, osiitu, -mo, bose, mo-, satotu, dan –na. Akhiran –mo pada kata matemo menegaskan (menyebutkan dengan tegas) tentang kematian. Kata yitu artinya itu, maksudnya adalah kematian. Ia (yitu), juga berperan sebagai kata analogi. Kata hela (berlayar) merupakan analogi dari mate (kematian). Iinda artinya tidak, berkorelasi dengan hela. Awalan mo- dalam kata mobancule mengambarkan sebuah pelayaran yang tidak pernah kembali lagi (kata analogi). Akhiran mo- pada kata osiitumo menunjukkan secara tegas makna
hela
(berlayar).
Kata
bose
artinya
mendayung,
ia
membayangkan adanya sebuah perahu (kapal) dan seorang yang sedang
67
mendayung. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata mosatotuna (yang hakiki) menegaskan makna berlayar yang hakiki adalah kematian. Kalimat pernyataan pada baris 338-339 dibangun dari kata iinda, mo, ambuli, paimia, mo-, lingka, -na, mo-, porope, -na, i, dala, incia, dan siitu. Akhiran –mo pada kata iindamo (tidal bakal) menegaskan tentang hela (mate). Kata ambuli artinya pulang atau kembali, ia membayangkan seorang yang tidak akan kembali. Paimia berarti siapa yang, maknanya menunjuk pada sejumlah manusia (jamak). Awalan mo- dan akhiran –na pada kata molingkana (yang telah pergi) mengekspresikan sejumlah yang telah pergi ke sebuah tempat yaitu hela (mate). Awalan mo- dan akhiran –na pada kata moporopena artinya menuju, ia menegaskan sebuah pelayaran yang telah bertolak dan mengarah pada tujuannya. Kata
i berarti di dan dala berarti dala
menggambarkan sebuah tujuan yang makna sintaksisnya kembali kepada jalur mate (kematian). Siitu berarti itu, menunjuk pada dala atau mate.4 Kalimat pada baris 340-341 dibentuk dari kata mate, -mo, yitu, intaa, -na, aalimu, itoku-toku, -na, paimia, dan salihi. Akhiran –mo pada kata matemo mengandung makna penegasan kematian. Kata yitu (itu) kata ganti dari (berkorelasi dengan) kematian. Akhiran –na pada kata intaana mengekspresikan upaya menunggu. Kata aalimu berarti orang-orang alim yang berupaya menunggu sesuatu yaitu mate 4
Penulis memaknai kata dala sebagai mate (kematian). Sebab, secara logika, sebuah jalan yang di mana manusia tidak akan bisa kembali ke belakang, sangat lekat dengan makna kematian. Sehingga, sintaksis dari pada dala adalah kematian.
68
(matemo). Akhiran –na pada kata kerja itoku-tokuna berarti diharapharapkan. Secara stilistik makna toku adalah menunggu (Anceaux: 182). Kata paimia membayangkan adanya sejumlah manusia (jamak). Salihi artinya orang saleh berkorelasi dengan kata paimia. Retoris kalimat tersebut menjelaskan bahwa kematian, oleh orang-orang beserta orang-orang salih akan disambut tidak dengan ketakutan. Secara semantik, justru orang-orang alim dan orang-orang saleh menunggu kematian tersebut. 2. Aktan Objek Menurut Greimas, objek merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Objek bisa berupa orang, tetapi bisa juga sebuah keadaan atau kondisi yang dicita-citakan.5 Objek yang dicapai dalam narasi ini adalah harapan seorang hamba agar mati dalam keadaa husnul khatimah sehingga dapat berhadapan langsung dengan Zat Penciptanya (Allah SWT). Perhatikan tabel berikut: Tabel 4.2 Aktan Objek Terjemahan
Baris
Transliterasi
380 381
Ee waOpu patotapua incaku Poaroku kutonto maka zatumu Oiimani motopenena karosa Kapupuaku tee husnul khatimah
382 383
Wahai Tuhan, kuatkan hatiku Hadapku menatap zat-Mu Keimanan yang kuat dalam diri Akhirkanlah aku dengan husnul khatimah
Kalimat pernyataan pada baris 380-381 dibangun dari kata ee, waopu, pa-, tumpu, -a, inca, -ku, opoaro, -ku, kutonto, maka, zatu, dan 5
Eriyanto, Aanalisis Naratif, (Jakarta: 2013), h. 96.
69
–Mu. Kata ee merupaka seruan artinya wahai. Waopu atau Opu artinya adalah tuhan. Kata wa disebabkan adanya kata ee di depan Opu.6 Awalan pa- dan akhiran –a pada kata patumpua membayangkan adanya permintaan seorang hamba pada Tuhannya artinya tetakanlah. Kata inca-ku artinya hatiku yang secara stilistik ia menggambarkan makna iman. Sebab, kata incaku berhubungan dengan permintaan hamba pada Tuhan. Kata opoaro (arah hadap) maksdunya adalah kiblat yang terhubung dengan kata ganti dari yaku (aku) yaitu -ku. Kutonto (kusaksikan) membayangkan adanya seseorang sedang menyaksikan sesuatu. Kata maka sama dengan –aka, kutontomaka= kutontoaka. –a dan –ka dua akhiran yang sering didapatkan pada akhiran kata kerja, ia menjelaskan makna agar dan supaya. Akhiran –Mu pada kata zatMu mengekspresikan zat Allah SWT. Kalimat tersebut menggambarkan permohonan seorang hamba pada Tuhannya agar ditetapkan imannya dan kelak memberinya kesempatan berhadapan langsung dengan-Nya untuk menyaksikan zat-Nya. Metaforis kalimat pada baris 382-383 tersusun dari kata tee, iimani, mo-, topene, -na, karosa, ka-, pupu, -a, -ku, tee, husnul, dan hatima. Kata tee (juga) menunjukkan sebuah hubungan dengan kalimat sebelumnya. Iimani berarti iman yang meyakini ketauhidan Allah SWT serta memahami Rukun Iman. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata 6
Pemakaian kata wa pada Opu dalam bahasa wolio seperti kata Allah yang pasti menggunakan kata yaa dalam bahasa arab. Yang benar adalah Yaa Allah bukan Yaa Ilaahu dan jika menggunakan Yaa Ilaah maka harus ditambah dhamir anaa yaitu Yaa Ilaahii. Apabila wa dihilangkan dari Opu namun di depannya ada kata ee (wahai), ia mengandung makna lancang. Sehingga, wa pada Opu mengekspresikan makna mengagungkan.
70
motopenena (yang kuat/tingkat atas) menegaskan makna iman yang kuat. Kata karosa sama dengan karosii yang berasala dari kata karo dan sii (diri dan ini). Ia membayangkan adanya seseorang yang menunjuk dirinya. Awalan ka- dan akhiran –a-ku pada kata kapupuaku mengekspresikan
sebuah
akhir
dari
kehidupan
(mati)
artinya
penghabisan. Kata tee artinya juga, ia terhubung dengan kedua kata husnul hatima. Kedua kata yang diadopsi dari bahasa arab tersebut merupakan
kesatuan
makna
yang
artinya
husnul
khatimah
(akhir/kematian yang baik). Kalimat tersebut adalah permohonan seorang hamba (lanjutan dari kalimat sebelumnya) pada Tuhannya agar dikaruniai keimanan yang kuat agar mengakhiri hidupnya dengan husnul khatimah. 3. Destinator (Pengirim) Pengirim berandil sebagai penentu arah, memberikan aturan dan nilai-nilai narasi. Menurut Greimas, pengirim pada umumnya tidak bertindak secara langsung, ia hanya memberikan perintah-perintah atau aturan-aturan kepada tokoh dalam narasi.7 Dalam Kitab Bula Malino ini, Idruslah (Narator) sebagai destinator yang ditandai pada kata Ee Karoku (Wahai Diriku) Ia merangkai struktur narasi untuk tujuan mengajar dan menasehati dirinya dalam bentuk syair aksara arab-wolio. Perhatikan tabel berikut:
7
Eriyanto, Analisis Narasi, (Jakarta: 2013), h. 96.
71
Tabel 4.3 Aktan Destinator Terjemahan
Baris
Transliterasi
332
Ee karoku mate pada Wahai diriku, kematian akan aumbamo datang Ee waOpu patotapua Wahai Tuhan, kuatkan hatiku incaku
380
Pada baris 332, dibangun dari kata, Ee artinya wahai, menandakan sebuah seruan. Pada kata karoku membayangkan adanya dua zat yaitu karo dan aku (jiwa dan jasad). Kata mate artinya kematian yang merupakan peristiwa terpisahnya ruh dan jasa (karoku). Pada mengandung makna masa mendatang (future). Akhiran –mo pada kata aumbamo (akan tiba) mengaskan tibanya waktu kematian. Dan pada baris 380, dibentuk dari kata ee merupaka seruan, artinya wahai. Waopu atau Opu artinya adalah tuhan. Kata wa disebabkan adanya kata ee di depan Opu.8 Awalan pa- dan akhiran –a pada kata patumpua membayangkan adanya permintaan seorang hamba pada Tuhannya artinya tetakanlah. Kata inca-ku artinya hatiku yang secara stilistik ia menggambarkan makna iman. 4. Receiver (Penerima) Greimas mengakatan bahwa karakter ini berfungsi sebagai pembawa nilai dari dari pengirim (destinator). Fungsinya mengacu
8
Pemakaian kata wa pada Opu dalam bahasa wolio seperti kata Allah yang pasti menggunakan kata yaa dalam bahasa arab. Yang benar adalah Yaa Allah bukan Yaa Ilaahu dan jika menggunakan Yaa Ilaah maka harus ditambah dhamir anaa yaitu Yaa Ilaahii. Apabila wa dihilangkan dari Opu namun di depannya ada kata ee (wahai), ia mengandung makna lancang. Sehingga, wa pada Opu mengekspresikan makna mengagungkan.
72
kepada objek tempat di mana pengirim menempatkan nilai atau aturan dalam cerita.9 Sehingga, dalam kajian ini, yang menjadi penerima adalah bisa seorang narator sendiri, bisa juga untuk manusia yang lain (pembaca). Sekalipun pada rangkaian cerita tidak didapati kata manusia atau hamba, namun, beberapa kata perintah dan larangan seperti
Berzikirlah,
Tawakallah,
Jangan
turunkan
layarnya,
menunjukkan adanya upaya narator agar kitab yang ditulis bisa dibaca oleh orang lain selain dirinya. Perhatikan tabel berikut: Tbel 4.4 Aktan Receiver Terjemahan
Baris
Transliterasi
361
Tawakalamo poaromu I Opumu Zikiriillahu laa ilaaha illallahu Patotomea poropena Bangka yitu Pangaawana boli ataurakea
367 370 371
Tawakallah menghadap Tuhanmu Berzikirlah laa Ilaaha Illallah Tetapkan haluan perahu itu Jangan turunkan layarnya
Pada baris 361 disusun dari kata tawakala diadopsi dari bahasa arab artinya tawakal atau berserah diri. Akhiran –mo bermakna penegasan pada kata tawakala. Kata poaro berasasl dari kata aro artinya hadap, awalan po- berfungsi pada awalan kata kerja, sehingga, poaro menjelaskan sebuah arah tujuan yang lurus (menghadap) ke depan. Akhiran –mu membayangkan adanya (kamu) pendengar sebagai komunikan. Kata i secara stilistik artinya kepada, Opu-mu (Opumu) menegaskan sosok Tuhan pada komunikan.
9
Eriyanto, Analisis Narasi, (Jakarta: 2013), h. 96.
73
Pada baris 367 kata zikirillahu menegaskan makna berzikir atas nama Allah SWT. Kata laa, ilaaha, Illa, dan Allah merupakan kesatuan kalimat tentang ucapan zikir yang artinya tiada Tuhan Selain Allah.10 Interpretasi pada kalimat tersebut menegaskan untuk mengambil keputusan yang tetap saat hendak melakukan pelayaran. Keputusan tersebut didasari dengan lafaz Laa Ilaaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah). Kalimat pada baris 370-371 dibentuk dari kata patoto, -mea, porope, -na, bangka, yitu, pangaawa, -na, boli, utaurake, dan -a. Akhiran –mea pada kata patotomea merupakan kata perintah berkenaan dengan pernyataan pada baris sebelumnya. Kata porope artinya haluan dan –na makasudnya kapal (haluan kapal). Kata bangka artinya perahu (kapal) dari kayu, berhubungan dengan kata
poropena. Yitu
menegaskan kembali kata poropena bangka. Pada kata pangaawa artinya layar, yang membayangkan sebuah kapal layar. –na dimaksudkan untuk kapal. Kata boli merupakan larangan yang artinya jangan. Kata taurakea secara stilistik artinya adalah menurunkan.11 Akhiran –a mengekspresikan sebuah pangaawa (layar). Interpretasi dari kalimat tersebut bahwa, jika setan mulai menghasud saat sedang 10
Hubungan lafaz Laa Ilaaha Illallah sangat lekat dengan makna sebuah keputusan seorang manusia saat hendak menyatakan kalimat syahadat. Selain itu, ia juga diucapkan saat manusia menjelang sakratulmaut. Seorang yang mengucapkan lafaz tersebut akan memutuskan dirinya untuk meyakini dan mempelajari Islam. Jadi, cukup relevan ketika Idrus membuat analogi bahwa jika telah siap waktu berlayar (mati) ucapkanlah lafaz tersebut sebagai keputusan husnul khatimah. 11 Taurakea berasal dari kata tauraka lekat dengan tauaka artinya (menurunkan untuk). Pada Wolio Dictionary tertulis, arti kata dari tauraka adalah; menurunkan, menaruh, menempatkan, meninggalkan (juga warisan), dan mas kawin atau mahar (Anceaux: 179).
74
berlayar, jangan sekali-kali menyerah atau kalah dari muslihat setan hingga memutuskan untuk menurunkan layar sebagai tanda pelayaran tidak lagi berlanjut. 5. Adjuvant (Pendukung) Greimas mengatakan bahwa karakter ini berfungsi sebagai pendukung subjek dalam usahanya mencapai objek.12 Dalam kitab, khususnya pada baris 332-383, dicantumkan pada kata yang menyimbolkan ketaatan (seperti iman, tasdiq, zuhud, kona’at, riyadhat, khauf, tawadhu’ dll). Narasi yang dibangun dalam baris-baris tersebut dapat dilihat bahwa kata-kata yang disebutkan merupakan pendukung untuk mencapai objek yang diinginkan. Perhatikan tabel berikut:
Baris
Transliterasi
342
Kasawika motopenena Dan kapal yang paling baik kalape Oimani tasdiiki Iman dan tasdiq yang teguh momatangka Kokombuna ala akea haufu Tiang perahu itu ambilkan khauf Pangaawana bakea-kea Layarnya bentangkan rajaa rijaa Tawadhu betao kapabelona Tawadhu’ dijadikan layar depan Mosaahida betao para Musyahid untuk para bosena pendayungnya Riyadhati kamondona Riyadhat kelengkapan talirabutana temalinya Kina’ati kasangkana Kona’at kelengkapan kabokena pengikatnya
343 344 345 346 347 348 349
12
Tabel 4.5 Aktan Adjuvant Terjemahan
Eriyanto, Analisis Narasi, (Jakarta: 2013), h. 96.
75
350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360 361 362 363 364 365 366 367
Ulina yitu mopatotona porope Oihilasi totona inca mangkilo Opadomana mosusuakana dala Oquruaani tee hadisina Nabii Obanderana sulaakea zuhudu Tombi-tombina zikir tee tasubehe Juru batuna sara’i zaahiri Juru mudina ilimu batiini Mopolumena madadi mina I guru Anakodana hidayatina Opu
Kemudinya meluruskan haluan Keihlasan tulus hati yang bersih Sebagai kompas penunjuk arah Qur’an dan Hadits Nabi Benderanya pasangkan zuhud Fandelnya zikir dan tasbih
Juru batunya sara’i yang zahir Juru mudinya ilmu batin Yang menimba air ilmu dari guru Nahkodanya hidayah dari Tuhan Asangkaaka kamondona Jika telah lengkap kesiapan hela yitu berlayar itu Tawakalamo poaromu I Tawakallah menghadap Opumu Tuhanmu Adikaaka ngali ihelaakamu Kapan angina berlayar sudah bertiup Patotomea poropena Luruskan haluan perahu Bangka yitu Botukimea lipu mbooresa Putuskan negeri tempat tinggalmu Masirahamu tee antona Sahabat, kenalan, dan seisi banuamu rumahmu Pepuu mea kambotu Mulailah dengan keputusan motopenena yang tetap Zikiriillahu laa ilaaha Berzikirlah laa Ilaaha Illallah illallahu Metaforis kalimat pada baris 342-343 tersusun dari kata kasawika,
mo-, topene, -na, kalape, oimani, tasdiiki, mo-, dan matangka. Pada kata kasawika berarti tumpangan, secara stilistik menggambarkan makna sebuah kapal. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata motopenena mengekspresikan keunggulan yang sangat pada kasawika. Kata kalape artinya baik, menjelaskan bahwa keunggulan sawika sangat
76
luar biasa bagusnya. Kata oimani artinya adalah sebuah iman, yang mengekspresikan status sawika adalah dengan sebuah iman. Tasdiiki masih berkorelasi dengan iimani. Keduanya adalah maksud dari pada motpenena kalape (yang luar biasanya baiknya). Kata matangka menegaskan status tasdiiki (kepercayaan) harus kuat. Kalimat tersebut menginterpretasikan bahwa kapal yang paling baik adalah dengan keimanan serta keyakinan yang kuat. Kalimat pernyataan pada baris 344-345 dibangun dari kata kokombu, -na, alakea, haufu, pangaawa, -na, bakea, -kea, rijaa. Pada kata kokombu secara berarti tiang pada kapal. Akhiran -na kata ganti dari kapal. Kata alakea merupakan kata kerja perintah artinya ambilkan untuk sesuatu. haufu (khauf) adalah yang dimaksud dari ambilkan berarti rasa ketakutan. Maknanya adalah, rasa ketakutan (khauf) dijadikan sebagai tiang kapal. Pada kata pangaawa artinya adalah layar. Akhiran –na kata ganti dari kapal. Kata tersebut membayangkan adanya ciri-ciri kapal tradisional (kapal layar). Bakea merupakan kara kerja, artinya bentang. Kata -kea mengekspresikan bahwa yang dibentang adalah layar. Kata rijaa merupakan analogi yang artinya raja yaitu pribadi yang senantiasa hanya mengharapkan keridhaan Allah dalam hidupnya. Kalimat tersebut menginterpretasikan bahwa layar kapal adalah rajaa.13 Kalimat pada baris 346-347 dibentuk dari kata tawadhu’, betao, kapabelo, -na, mosaahida, betao, parabose, dan -na. Kata tawadhu’ 13
Kata hauf dan rijaa diadopsi dari bahasa arab yaitu kahuf dan rajaa.
77
diadopsi dari bahasa arab yang berarti rendah hati. Betao berarti untuk. Kata kapabelo merupakan sebuah alat yang digunakan untuk membelokkan kendaraan. Jika pada kapal tradisional, alat tersebut ada pada layar terdepan. Akhiran -na adalah kata ganti dari kapal. Kata mosaahida artinya para musyahid. Kata tersebut membayangkan seorang yang berjiwa Jihad di jalan Allah SWT. Betao artinya telah dijelaskan di muka (untuk). Kata parabose artinya para pendayung (jamak). Akhiran –na bermakna kapal. Kata tersebut membayangkan adanya sejumlah orang yang bertugas sebagai pendayung. Secara analogi, kalimat pada baris tersebut menginterpretasikan bahwa layar kapal yang berfungsi sebagai setir diibaratkan sebagai tawadhu’. Para pendayung kapal diiabartkan seolah-olah mereka sedang berjihad di jalan Allah SWT. Retoris kalimat pada baris 348-349 tersusun dari kata riyadhati, kamondo, -na, rabuta, -na, kina’ati, kasangka, -na, kaboke, -na. Pada kata riyaadhati diadopsi dari bahasa arab yaitu riyaadhotu yang artinya menggembleng diri, menempa diri, dan mengkaji diri (selalu muhasabah). Kata kamondo aritinya kelengkapan yang menjelaskan kelengkapan pada kapal (akhiran –na). Rabuta artinya temali atau tali berkorelasi dengan kamondo. Maksdunya adalah kelengkepan talitemali kapal adalah riyadhati. Pada kata kina’ati juga diadopsi dari bahasa arab yaitu qonaa’ah yang artinya adalah mersa cukup dari apa yang telah dikaruniakan Allah SWT sehingga mampu menghindar dari sifat tamak. Kata kasangka merupakan sintaksis dari kamondona
78
artinya pelengkap atau kelengkapan. Akhiran -na maksudnya adalah kapal. Kata kaboke berarti pengikat yang membayangkan adanya tali (berhubungan denga temali). Maksudnya adalah, kelengkapan pengikat pada kapal adalah kina’ati. Pada kalimat pernyataan baris 350-351 dibangun dari kata uli, -na, yitu, mo-, patoto, -na, porope, oihilasi, toto, -na, yinca, dan mangkilo. Kata uli-na menegaskan seorang kemudi kapal. Kata yitu berarti itu, maksdunya adalah kapal. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata mopatotona (yang menentukan) mengekspresikan tugas dari seorang uli (kemudi) sebagai penentu jalannya kapal. Kata porope artinya arah tujuan yang mana ditentukan oleh sang kemudi kapal. Awalan o- pada kata oihilasi (sebuah ikhlas) menegaskan bahwa sang kemudi harus menyandang sifat keikhlasan. Toto-na artinya status atau kedudukan berkorelasi dengan ihilasi. Kata inca berarti hati atau perasaan pada manusia. Kata mangkilo menyatu dengan kata yinca yaitu hati yang bersih. Interpretasi dari kalimat tersebut adalah, status hati yang bersih dan ikhlas harus dimiliki oleh sang pengemudi (kemudi) kapal yang akan menentukan ke mana arah tujuan berlayar. Kalimat pada baris 352-353 dibentuk dari kata opadoma, -na, mosusaka, -na, dala, okuru’ani, tee, hadisi, -na, dan Nabii. Kata opadoma menyebutkan makna sebuah (kompas). Akhiran –na adalah kata ganti dari kapal. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata mosusuakana (penunjuk) menegaskan fungsi dari padoma (kompas). Kata dala berarti jalan, maksudnya adalah arah. Kata okuru’ani
79
(sebuah qur’an) menegaskan adanya makna adalah (adalah sebuah qur’an). Tee menunjukkan makna dengan atau dan. Kata hadisi artinya hadis atau sunnah Rasul. Nabii (Nabi) mengekspresikan sebuah korelasi antara
hadis
dan
Nabi
(hadis
Nabi).
Kalimat
tersebut
menginterpretasikan bahwa al-Qur’an dan Hadis Nabi digunakan sebagai kompas penentu arah berlayar. Begitupun dalam kehidupan, hendaknya manusia berpegang teguh pada keduanya (Qur’an dan Hadis). Metaforis kalimat pada baris 354-355 tersusun dari kata obenderai, -na, sulaake-a, zuhudu, tombi-tombi, -na, zikiri, tee, dan tasubehe. Pada kata obendera (bendera) terdapat awalan o- yang menegaskan makna sebuah. Akhiran –na maksudnya adalah kapal (bendera kapal). Sulaakea adalah kata kerja perintah yang berarti topandkan dengan akhiran –a yang menegaskan sebuah bendera. Kata zuhudu diadopsi dari bahasa arab yaitu zuhud yang artinya adalah sifat berpaling dan meninggalkan sesuatu yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akhirat. Kata tombi-tombi artinya bendera umbul-umbul (fandel).14 Akhiran –na mengekspresikan makna kapal. Kesatuan kata zikiri tee tasubehe maknanya adalah zikir dan tasbih. Interpretasi dari kalimat tersebut bahwa kibarkan zuhud
14
Kata tombi-tombi berasal dari kata tombi artinya bendera umbul-umbul. Karena yang dipakai oleh Idrus adalah kata yang berulang maka ia membayangkan adanya jumlah umbul-umbul yang lebih dari satu (jamak).
80
sebagai bendera kapal beserta zikir dan tasbih sebagai sebagai bendera umbul-umbulnya. Kalimat pernyataan pada baris 356-357 dibangun dari kata juru, batuna, syara’i, zaahiri, juru, mudina, ilimu, dan baatini. Pada kata juru dan batu merupakan kesatuan kata yaitu jurubatu. Dalam kapal tradisional istilah jurubatu (juru batu) bertugas di depan kapal untuk memantau kondisi rute yang diarungi.15 Kata syara’i diadopsi dari bahasa arab yaitu syaraa’i jamak dari syariat. Zahiri adalah zahir, kata yang menyatu dengan syaraa’i (syaraa’i zahiri) yang lebih familiar dengan sebuta zahir syari’at.16 Kemampuan ilmu zahir pada seorang juru batu akan membantu dalam melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Zahir syariat Juru dan mudi merupakan kesatuan kata (jurumudi) yang mengekspresikan pemegang kendali (kemudi) di bagian belakang kapal.17 Maksud dari ilmu baatini adalah ilmu batin yang juga disebut sebagai ilmu ma’rifat. Batin lebih peka terhadap isyarat alama seperti jika akan terjadi bencana atau kejadian masa depan
15
Pengguna bahasa wolio memaknai jurubatu sebgai mojaganina rope (yang menjaga kapal di bagian depan) atau petugas bagian luar depan kapal. Tugasnya adalah untuk memastikan keselamatan kapal dari benturan batu karang dan kemungkinan menabrak kapal lain. Selain itu, jurubatu juga bertugas untuk memantau rute agar tidak salah arah. 16 Zahir syariat merupakan ilmu zahir yaitu tentang perintah dan larangan serta hukum-hukum. Zahir secara terminologi berhubungan dengan yang nyata atau terlihat. Sehingga, zahir lebih fokus terhadap pandangan mata (bukan mata batin), sebab manusia memiliki keduanya zahir dan batin. 17 Jurumudi bertugas untuk mengemudikan kapal. Ia selalu berkonfirmasi dengan jurubatu jika ingin membelokkan kapal (kapal tradisional). Berbeda dengan kapal modern yang dilengkapi dengan alat teknologi. Bahkan, sesekali jurumudi akan diintruski oleh jurubatu untuk memutar balik arah.
81
di sekitarnya.18 Ilmu batin mampu menjadikan juru mudi akan memiliki firasat yang baik. Kalimat tersebut menginterpretasikan bahwa, seorang juru batu harus memiliki zahir syariat. Begitu juga pada seorang juru mudi, ia harus menyandang ilmu batin. Kalimat pada baris 358-359 dibentuk dari kata mo-, polume, -na, madadi, mina, i, guru, anakoda, -na, hidayati, -na, dan Opu. Mopolumena dari kata lume menimbah (mengeluarkan) air dari dalam kapal. Banyaknya air yang masuk dalam kapal akan menyebabkan ia tenggelam. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata mopolumena menggambarkan adanya Objek. Kata madadi dari kata dadi artinya orang mengkuti perintah. Mina artinya dari berkorelasi dengan kata i guru artinya dari guru. Kalimat tersebut menginterpretasikan bahwa perintah dari guru merupakan perintah yang dengan patuh diaplikasikan oleh
murid
yang
baik.
Akhiran
–na
pada
kata
anakodana
mengekspresikan seorang nakhoda atau kapten kapal. Kata hidayati diadopsi dari bahasa arab artinya hidayah. –na merupakan pernyataan untuk kata Opu (Tuhan). Interpretasi dari kalimat tersebut adalah, seorang yang mengeluarkan air dari dalam kapal harus konsisten bagai
18
Chy Rohmanah menulis, bahwa ilmu tersebut mempelajari bagaimana mengubah batin agar lebih dekat dengan Allah SWT hingga mendapatkan ketenangan serta membangkitkan hal positif dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menguatkan iman agar lebih yakin terhadap kehadiran Tuhan serta menjadikan-Nya tuntunan kehidupan (blogging.co.id/ilmu-kebatinan. diakses pada 25-08-2014).
82
seorang murid yang baik diperintah oleh gurunya.19 Nakhoda kapal diibaratkan sebuah hidayah dari Allah SWT. Metaforis kalimat pada baris 360-361 tersusun dari kata asangkaa, -ka, ka-mondo, -na, hela, yitu, tawakala, -mo, poaro, -mu, i, Opu, dan – mu. Pada kata asangkaa artinya sempurna. Akhiran –ka kata pendek dari jika yang mengandung makna sudah. Awalan ka- pada kata kamondo menggambarkan sebuah kelengkapan (kesiapan). Akhiran –na mengekspresikan kata hela yaitu kapal (berlayar). Kata yitu artinya itu, menegaskan kata hela atau berlayar. Kata tawakala diadopsi dari bahasa arab artinya tawakal atau berserah diri. Akhiran –mo bermakna penegasan pada kata tawakala. Kata poaro berasasl dari kata aro artinya hadap, awalan po- berfungsi pada awalan kata kerja, sehingga, poaro menjelaskan sebuah arah tujuan yang lurus (menghadap) ke depan. Akhiran –mu membayangkan adanya (kamu) pendengar sebagai komunikan. Kata i secara stilistik artinya kepada, Opu-mu (Opumu) menegaskan sosok Tuhan pada komunikan. Interpretasi pada kalimat tersebut menegaskan bahwa, jika telah siap dengan segala peralatan kapal untuk melakukan pelayaran maka itulah saatnya meluruskan haluan kapal dan bersiap untuk berlayar. Kalimat pernyataan pada baris 362-363 dibangun dari kata adikaa, -ka, ngalu, ihelaaka, -mu, patoto, mea, porope, -na, bangka, dan yitu.
19
Selazimnya, air laut bisa setiap detik masuk ke dalam kapal apalagi diterpa gelombang yang besar. Keuletan dan kesabaran mopolumena sangat dipertaruhkan dalam aktifitas ini. Sehingga secara sintaksis, relevanlah analogi modadi mina i guru dengan kata mopolumena.
83
Kata adikaa secara stilistik artinya bukanlah menyimpan, tapi lebih menggambarkan makna telah siap (memungkinkan). Akhiran –ka seperti dijelaskan di atas artinya jika. Kata ngalu artinya angin, karena terdapat pada pembahasan kapal, ia bermakna waktu berlayar.20 Awalan i- dan akhiran –ka pada kata ihelaakamu menegaskan makna berlayarmu. Kata patoto dan mea mengekspresikan makna perintah artinya luruskanlah. Porope berarti haluan, menggambarkan kapal siap berlayar. Akhiran –na adalah kata ganti untuk persona (tunggal). Kata Bangka artinya perahu (kapal). Yitu berarti itu (yang di sana). Interpretasi dari kalimat tersebut menegaskan bahwa jika telah sesuai angin laut dengan arah tujuan berlayarmu maka luruskanlah haluan kapal mu. Kalimat pada baris 364-365 dibentuk dari kata botu-ki, mea, lipu, mbooresa, musiraha, -mu, tee, anto, -na, banua, dan –mu. Akhiran –imea pada kata botukimea merupakan kata perintah yang artinya adalah putuskanlah. Kata lipu berarti negeri atau kampung. Pada konteks lain, lipu berarti dunia. Kata mbooresa membayangkan adanya tempat tinggal, yang dihuni, tempat manusia berpopulasi. Musiraha artinya kenalan, teman, dan orang lain entah laki-laki atau perempuan. Akhiran –mu kata pendek dari ingko (kamu) entah laki-laki atau perempuan. Kata tee artina juga (dan). Anto artinya isi dan akhiran –na artinya nya, mengekspresikan isi sesuatu. Akhiran –mu pada kata banuamu
20
Kapal yang diceritakan dalam syair adalah kapal layar. Kata angina sangat relevan dengan kapal layar. Jika arah angin laut sudah bagus dan sesuai dengan arah tujuan berlayar, maka bersipalah untuk berlayar.
84
menegaskan pada komunikan (pembaca) yang artinya rumahmu. Isi rumah bisa berupa manusia maupun benda mati (materi). Kalimat tersebut menginterpretasikan penegasan analogi, agar memutuskan atau memisahkan diri dengan kampung (kehidupan dunia), termasuk para kolega serta isi dalam rumah.21 Retoris kalimat pada baris 366-367 tersusun dari kata pepuu, mea, kambotu, mo-, topene, -na, zikrillahu, laa, ilaaha, illa, Allah. Pada kata pepu artinya mulai dihubungkan dengan kata mea sebagai akhiran kata kerja perintah yaitu mulailah. Kata kambotu berarti keputusan, yang menjelaskan bahwa yang dimulai adalah sebuah keputusan. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata motopenena mengekspresikan bahwa kambotu (keputusan) tersebut harus topene (tetap) atau tidak mudah berubah. Kata zikirillahu menegaskan makna berzikir atas nama Allah SWT. Kata laa, ilaaha, Illa, dan Allah merupakan kesatuan kalimat tentang ucapan zikir yang artinya tiada Tuhan Selain Allah.22 Interpretasi pada kalimat tersebut menegaskan untuk mengambil keputusan yang tetap saat hendak melakukan pelayaran. Keputusan tersebut didasari dengan lafaz Laa Ilaaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah).
21
Begitupun saat berlayar, ia membayangkan sebuah kejadian terpisahnya manusia dengan pulau tempat tinggalnya beserta rekan (family) beserta isi rumahnya. 22 Hubungan lafaz Laa Ilaaha Illallah sangat lekat dengan makna sebuah keputusan seorang manusia saat hendak menyatakan kalimat syahadat. Selain itu, ia juga diucapkan saat manusia menjelang sakratulmaut. Seorang yang mengucapkan lafaz tersebut akan memutuskan dirinya untuk meyakini dan mempelajari Islam. Jadi, cukup relevan ketika Idrus membuat analogi bahwa jika telah siap waktu berlayar (mati) ucapkanlah lafaz tersebut sebagai keputusan husnul khatimah.
85
6. Traitor (Penghambat) Karakter ini berfungsi sebaliknya dengan pendukung, di mana karakter ini menghambat subjek dalam mencapai tujuan.23 Pada kata jika kamu di datangi godaan setan, sementara kamu berlayar dan itulah angina topan yang kencang, yang mampu memecahkan kapal, adalah gambaran sebagai hambatan (ujian) seorang hamba dalam mencapai objek tersebut (Lihat baris 368-372). Perhatikan tabel berikut:
Baris
Transliterasi
368
Neakawako garurana seetani Tangasaana daangiiapo uhela Patotomea poropena Bangka yitu Pangaawana boli ataurakea Osiitumo uso imapasaaka
369 370 371 372 373 374 375 376 23
Tabel 4.6 Aktan Traitor Terjemahan Jika kamu didatangi godaan setan Semetara engkau sedang berlayar Tetapkan haluan kapal itu
Jangan turunkan layarnya Itulah angin topan yang pecahkan kapal poropena Jika perahumu salah haluan
Neatosala Bangka yitu Amapasaaka Bangka incia Kalau akhirnya pecah perahumu siitu Tokarugimu naile muri- Kelak kau akan rugi pada hari murina kemudian Osiitumu kampadaa Itulah penghabisan yang momadaki buruk
Eriyanto, Analisis Narasi, (Jakarta: 2013), h. 96.
86
377
Isarongimo suu’ul haatima
378 379
Alapamo beumatina Nabii Asala mea millati Isilamu
Itu pula namanya su’ul kahtimah Sudah lepas dari umat Nabi Telah menyalahi agama Islam
Kalimat pernyataan pada baris 368-369 dibangun dari kata nee, akawa, -ko, garura, -na, seetani, tangaasana, dangia, -po, dan uhela. Awalan nee- dan akhirna –ko pada kata neakawako menegaskan peringatan akan adanya sesuatu yang menghampiri –ko (seseorang). Akhiran –ko adalah kata ganti ingko sebagai objek (maf’uulunbih). Kata garura secara stilistik maknanya ada gangguan bisikan. Akhiran –na mengekspresikan sesuatu yang membawa gangguan tersebut. Kata seetani artinya setan, menegaskan dirinya sebagai sumber dari gangguan yang berupa bisikan. Kata tangaasana artinya di tengah atau sementara yang membayangkan adanya aktifitas. Ia berasal dari kata tanga yang berarti tengah. Akhiran –po pada kata dangiapo lekat artinya dengan tangaasana yaitu sedang melakukan sesuatu. kata uhela menggambarkan kata kerja aktif artinya adalah sedang berlayar. Kalimat tersebut menginterpretasikan peringatan apabila saat kamu (manusia) sementara dalam pelayaran kemduian gangguan dan bisikan setan mulai berdatangan. Perlu digarisbawahi bahwa kalimat ini masih terputus dan borkorelasi dengan kalimat berikutnya. Kalimat pada baris 370-371 dibentuk dari kata patoto, -mea, porope, -na, bangka, yitu, pangaawa, -na, boli, utaurake, dan -a. Akhiran –mea pada kata patotomea merupakan kata perintah berkenaan dengan pernyataan pada baris sebelumnya. Kata porope artinya haluan dan –na makasudnya kapal (haluan kapal). Kata bangka artinya perahu
87
(kapal) dari kayu, berhubungan dengan kata
poropena. Yitu
menegaskan kembali kata poropena bangka. Pada kata pangaawa artinya layar, yang membayangkan sebuah kapal layar. –na dimaksudkan untuk kapal. Kata boli merupakan larangan yang artinya jangan. Kata taurakea secara stilistik artinya adalah menurunkan.24 Akhiran –a mengekspresikan sebuah pangaawa (layar). Interpretasi dari kalimat tersebut bahwa, jika setan mulai menghasud saat sedang berlayar, jangan sekali-kali menyerah atau kalah dari muslihat setan hingga memutuskan untuk menurunkan layar sebagai tanda pelayaran tidak lagi berlanjut. Metaforis kalimat pada baris 372-373 tersusun dari kata osiitu, -mo, uso, i, mapasaa, -ka, nee, atosala, porope, -na, bangka, dan yitu. Akhiran –mo pada kata osiitumo menggambarkan makna penegasan yang artinya itulah. Kata uso artinya badai (angina rebut). Awalan i dan akhiran –a pada kata imapasaaka mengekspresikan efek dari badai artinya mampu memecahkan sesuatu. Maksud dari badai pada kalimat tersebut adalah gangguan dan bisikan setan. Pada kata neatosala artinya jika salah haluan, melekat dengan kata poropena yang berarti haluan kapal. Kedua kata tersbut membayangkan adanya kemungkinan menurunkan layar (tergoda oleh bisikan setan) sehingga haluan berubah. Kata bangka dan yitu sudah sering dijelaskan, artinya adalah kapal tersebut. Sehingga, maksud dari kalimat tersebut bahwa, godaan 24
Taurakea berasal dari kata tauraka lekat dengan tauaka artinya (menurunkan untuk). Pada Wolio Dictionary tertulis, arti kata dari tauraka adalah; menurunkan, menaruh, menempatkan, meninggalkan (juga warisan), dan mas kawin atau mahar (Anceaux: 179).
88
setan diibaratkan badai yang menerpa kapal. Kapal akan pecah jika layarnya tidak berkibar lagi dan haluan telah berubah. Pada kalimat pernyataan baris 374-375 dibangun dari kata amapasaa, -ka, bangka, incia, siitu, too, karugi, -mu, naile, muri-muri, dan na. Akhiran –ka pada kata amapasaaka mengandung makna jika telah yang artinya jika telah pecah. Bangka adalah yang dimaksud telah pecah artinya kapal. Kata incia menyatu dengan siitu, artinya yang itu (menunjuk sebuah kapal). Awalan to- dan akhiran –mu pada kata tokarugimu mengekspresikan makna kerugian jika kapal mulai pecah (oleh godaan setan). Kata naile artinya besok, berkorelasi dengan kata muri-murina yang menggambarkan makna hari kiamat. Kalimat tersebut menginterpretasikan bahwa, kapal pecah oleh godaan setan tersebut dianalogikan sebagai keberhasilan setan menghasud manusia meninggalkan ibadah. Sehingga, di hari akhir nanti, manusia akan merasa menyesal dan rugi tiada tara. Kalimat pada baris 376-377 dibentuk dari kata osiitu, -mo, kampadaa, mo, madaki, isarongi, -mo, suu’ul, dan haatimah. Akhiran – mo pada kata osiitumo menggambarkan makna penegasan yang artinya itulah. Kata kampadaa adalah gabungan dari dua kata yaitu kaa dan padaa. Kata ka- di sini merupakan awalan kata kerja yang dihubungkan dengan kata padaa (habis) menjadi penghabisan. Penghabisan yang dimaksud adalah kematian. Awalan mo- merupakan kata kerja untuk membuat parsitip aktif terhubung dengan kata madaki sehingga menegaskan sebuah penghabisan yang buruk (kematian yang bad
89
ending). Pada kata isaro-ngi artinya yang dinamakan.25 Kata suu’ul haatimah diadopsi dari bahasa arab, maksdunya adalah su’ul khatimah (bad ending). Kalimat menegaskan bahwa bagi siapa yang tidak mampu bertahan pada haluan (tujuan hidup) sehingga kapalnya pecah oleh badai (godaan setan), maka itulah tanda-tanda yang buruk menjelang kematian. Demikianlah sebuah akhir dari kehidupan yang su’ul khatimah. Retoris kalimat pada baris 378-379 tersusun dari kata alapa, -mo, be-, umati, -na, Nabii, asala, mea, millati, dan isilamu. Akihran –mo pada kata alapamo mengesakan adanya sesuatu yang terlepas. Kata umatina maksudnya adalah umat manusia. Kata Nabii menegaskan bahwa umatina adalah umat Nabi Muhammad saw. Kata asala berarti menyalahi, berkorelasi dengan kata mea yang mengisyaratkan sesuatu (menyalahi sesuatu). Kata millati artinya millah atau agama. Isilamu adalah agama islam, lebih mengekspresikan hukum-hukum serta syariat islam. Interpretasi dari kalimat tersebut adalah, jika umat manusia menjadi su’ul khatimah saat kematiannya tiba, maka ia dikategorikan telah lepas dari golongan umat Nabi Muhammad saw. Sebab, ia telah menyalahi aturan Islam seperti turunan muslim sejati lainnya. Sebagai batasan masalah, pada baris 332-383 peneliti menemukan bahwa narasi yang dibangun dalam kitab tidaklah random, ia relevan dengan logika kehidupan (tidak acak). Kemudian pada baris tersebut, Idrus telah menulis hal
Akhiran –i dan akhiran ngi memiliki makna yang sama yang berfungsi sebagai akhiran kata kerja transitif (Anceaux: 44). 25
90
yang penting dan tidak memasukkan hal yang tidak penting. Sebagai narator, Idrus menyusun narasi kitab tersebut mulai dengan peringatan kematian. Kemudian menampilkan fenomena kehidupan dunia yang terdiri dari amar ma’ruf nahi munkar atau ajakan kebaikan dan larangan keburukan. Baru setelah itu narator menggambarkan tentang kematian, kemudian kiamat dan kehidupan akhirat, yang di mana di akhirat narator juga menampilkan betapa inginnya seorang Idrus bertemu menghadap Zat Tuhannya. Syair tersebut menggambarkan perjalanan hidup manusia. Pengarang (Idrus/manusia), Kematian (Angin Berlayar), dan Tuhan, ketiganya adalah ikon dari baris tersebut. Realitas yang diceritakan dalam syair memang tidak tertuju pada wanita atau pria, tua atau muda, dan entah di mana tempatnya. Namun, susunan bait syair yang saling berkorelasi antara satu kalimat dengan kalimat lainnya sangat relevan dengan kehidupan manusia secara universal. Ikon juga merepresentasikan amal saleh dan amal fasik yang akan diperankan oleh manusia. Indeks dalam syair tersebut ditampilkan melalui tiga tanda, yakni melalui bait-bait (tema) yang berkaitan dengan peringatan berupa ajaran kebaikan (seperti; zuhud, khauf, raja, dan lain-lain), melalui bahasan tentang menjelang kematian yang husnul khatimah atau su’ul khatimah, dan juga pada baris yang menjelaskan harapan seorang hamba melihat Zat Tuhannya. Sementara simbol yang muncul dari syair adalah manusia yang meliputi kata-kata iman, tasdiq, kahuf, rajaa, tawadhu’, mujahid, riyadhat, kona’at, Qur’an, Hadits, zikir, tasbih, syara’i zahir, imlu batin, hidayah, dan tawakkal.
91
Kata- kata tersebut merupakan konatif dari sifat manusia, yang mana dalam hal ini dikonatifkan dengan perlengkapan berlayar. Tabel 4.7 Tanda-tanda dalam Baris 332-383 Jenis Tanda
Contoh Tanda
Ikon
Pengarang, Kematian (Kapal), dan Tuhan
Indeks
Dunia, husnul khatimah, su’u; khatimah, dan Melihat Zat Tuhan
Simbol
Manusia
Dalam karakteristik Greimasian, simbol pengarang “Muhammad Idrus Kaimuddin” yang merupakan pengarang kitab Kabanti pada dasarnya merupakan sender. Pengarang adalah aktan yang berperan menarasikan cerita syair tersebut. Semua ikon, indeks, maupun simbol pada syair tersebut merujuk pada pengarang. Penegasan melalui indeks kata diriku menunjukkan ada peran subjek dalam mengarahkan pemaknaan. Idrus (pengarang) menasihati dirinya (manusia) untuk menjadi pribadi yang baik dan mempersipakan dirinya untuk kematian dengan ditandai beberapa kata yang bermuara pada makna menasehati (menganjurkan). Indeks pada tema syair yang berkaitan dengan ajaran (nasehat) pada diri sendiri makusdnya adalah membersihkan hati. Sehingga, receiver dalam syair tersebut adalah bisa Idrus itu sendiri, bisa juga sebagai manusia (pembaca kitab) seperti dijelaskan di mukas. Idrus akan menerima segala macam ajaran dari subjek untuk memenuhi kebutuhan yang menjadi tujuan dari pengirim (sender). Kematian merupakan pelayaran yang tidak bisa lagi untuk kembali (ke dunia), ucapan baris 336 tersebut menandakan bahwa ada sepsifikasi yang dibutuhkan sender agar terbantu
92
untuk mencapai Objek yang diingikan. Objek dalam syair tersebut adalah sebuah harapan agar menjadi golongan yang husnul khatimah sehingga dapat melihat (bertemu) Zat Allah SWT. Ketika waktu pencapaian objek telah tiba, itu artinya manusia sudah menjelang kematiannya. Untuk mencapai objek tersebut, tidak akan muda bagi hamba yang bersarang di dunia yang penuh dengan tipu muslihat ini kecuali ia harus menelusri kehidupan dengan berada di jalan yang lurus hingga mencapai akhir yang husnul khatimah. Hal tersebut menjelaskan bahwa pendukung untuk mencapai objek (husnul khatimah/rahmat di sisi Allah) tersebut yaitu amal saleh yang ditandai oleh beberapa simbol sifat manusia (zuhud, khauf, raja, dll). Adjuvant (pendukung) bagi hamba yang ingin cenderung melakukan amal saleh tersebut adalah Ibadah meliputi iman, tasdiq, kahuf, rajaa, tawadhu’, mujahid, riyadhat, kona’at, Qur’an, Hadits, zikir, tasbih, syara’i zahir, imlu batin, hidayah, dan tawakkal. Artinya, untuk menjadi hamba yang husnul khatimah maka kualitas amal harus diperhatikan. Berkenaan dengan hal tersebut, penekanan untuk meninggalkan yang buruk dan lebih dekat kepada kebajikan pada dasarnya diperintahkan untuk seluruh umat manusia. Amal fasik yang cenderung dilakukan hamba selama di dunia berperan sebagai traitor (penghambat). Pertama, amal fasik akan menghambat manusia dalam konsistennya menjalankan kebaikan. Dalam baris 372, hal ini diibaratkan sebagai angina topan yang datang menerpa kapal hingga pecah. Jika manusia gampang tergodah dengan godaan setan tersebut, maka keputusan ia menurunkan
93
layar perjalanan hakikinya bisa menobatkan dia sebagai manusia yang su’ul khatimah atau bad ending. Adapaun subjek yang mengarahkan kepada objek adalah Syair Bula Malino yang ditulis oleh Idrus. Subjek berfungsi sebagai media tertulis yang mengandung ajaran-ajaran kegamaan. Nasihat-nasihat dan permisalan kehidupan di dunia akan menuntun hamba menjadi makhluk yang husnul khatimah (happy ending). Tanda-tanda dalam baris syair tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: Idrus Kaimuddin Pengirim
Amal Saleh Pendukung
Husnul Khatimah Objek
Syair Subjek
Pembaca Penerima
Godaan Setan Penghambat
Gambar 4.1 Model Aktan dari Narasi Bula Malino (Baris 332-383)
Gambar di atas merupakan ilustrasi dari objek, subjek, pengirim (destinator), penerima (receiver), pendukung (adjuvant) dan penghalang (traitor). Peran Idrus untuk menyiapkan bekal berlayarnya (kematian) agar dapat bertemu dengan Penciptanya melalui husnul khatimah. Seperti itulah urutan narasi sehingga menunjukkan sebuha makna dalam rangkaian yang koheren.
94
B. Pesan Dakwah dalam Syair Bula Malino pada Baris 332-383 Dalam QS Al-Nahl [16]: 125 disebutkan ada tiga macam metode dakwah yaitu Bil-hikmah, Al-Mau’idza Al-Hasanah, dan Mujadalah. Motode yang dilakukan Idrus melalui syair tersebut sangat relevan dengan yang kedua (AlMau’idza Al-Hasanah) yaitu dakwah dengan nasehat-nasehat dan bimbingan yang lembut melalui kisah-kisah dan sebagainya. Media yang digunakan oleh Idrus yaitu tulisan melalui kertas atau selebaran seperti yang disebutkan oleh Taufik AlWa’iy (2010:352) bahwa sarana dakwah di antaranya bisa melalui majalah, koran, buku, kertas, selebaran, dan lain-lain yang disebut sebagai saranan maqru’ah. Seperti yang disinggung peneliti di muka, peneliti membatasi dalam hal mengidentifikasi pesan-pesan dakwah dalam syair tersebut hanya pada tema terakhir saja. Peneliti menemukan 17 tema yang terbangun dari kitab tersebut. Sehingga, karena keterbatasan waktu yang membuat skripsi pesan dakwah dalam kitab ini, peneliti hanya bisa mengkaji pesan dakwah di satu tema saja yaitu pada baris 332-383. Untuk penelitian lebih lanjut, perlu adanya kritik dan penerjamahan naskah lebih mendalam lagi. 1. Pesan Dakwah pada baris 332-343 Pada baris 332 sampai baris 343 menjelaskan tentang kematian yang pasti akan datang bagai perjalanan berlayar. Kematian itu adalah pelayaran yang tidak bisa kembali lagi ke dunia atau ke pulau negerinya. Sehingga, wajib bagi hamba yang bernyawa untuk bersipa menghadapi kematian tersebut. Beberapa ayat AlQur’an yang kita sering dengar mengenai kematian sebagai berikut:
95
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula” (QS. Az-Azumar [39]: 30).
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian”. (QS. Ali-Imran [3]: 185). 2. Pesan Dakwah Pada baris 344-359 Pada baris 344-345 menganalogikan tiang kapal adalah khauf (ketaukutan kepada Allah SWT) serta layar kapal bagaikan raja.26 Ini merupakan ekspresi rasa takut kepada Allah SWT dan mengharapkan raja dan keridhoan kepada Allah SWT. Khauf dan Rajaa adalah dua tali kekang yang berguna untuk mengendalilkan orang yang masih belum nampak keindahan Ilahi dalam hatinya.27 Seperti beberapa ayat tersebut.
“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kamu (benar-benar) mencntai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosadosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali-Imran [3]: 31).
Lihat Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jkarta, 2012:431). Ar-Rajaa ialah merenungkan nikmat Allah SWT kepada manusia yang berupa kesehatan tubuh serta anggota tubuh yang berfungsi dengan baik. Lalu merenungkan sebab diutusnya para Nabi sebagai pemberi petunjuk dan diciptakannya makanan, minuman, dan obat-obatan yang semua itu demi untuk dirinya. 27 Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h. 432. 26
96
“Barang siapa yang takut kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan”. (QS. An-Nur [24]: 52). Pada baris 346-347 menegaskan bahwa layar depan harus dengan sifat rendah hati (tawadhu’) dan para pendayung bagaikan semangatnya para mujahidin. Rasulullah saw pernah ditanya, “Ya Rasulallah, dengan apa keselamatan itu diperoleh?” Beliau menjawab, “Dengan tidak melakukan ketaatan hanya kerena ingin dipuji orang.” (HR. Ahmad).28 Seperti dalam Al-Qur’an difirmankan sebagai berikut:
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (adalah) orangorang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orangorang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselematan”. (QS. Al-Furqan [25]: 63).
“Ingatlah (Muhammad) tatkalah Tuhanmu mewahyukan kepada Malaikat. Sesungguhnya Aku bersama dengan kalian, karenanya, tabahkanlah (hati/semangat) orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Anfal [8]: 12). Kemduian pada baris 348-349 menyebutkan bahwa tali-temali kapal harus dengan riyadhat dan pengikatnya harus dengan kinaa’at. Maksud riyadhat adalah mengoreksi diri (olah batin) atau menggembleng diri serta mengkaji diri. Manusia mempunyai dua cara untuk mengawasi dan mengoreksi diri yaitu dengan cara menegur diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan dan bermunajat kepada Allah
28
382.
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
97
SWT.29 Kinaa’at maksdnya merasa cukup atas apa yang diterima. Beberapa dalil yang menjelaskan tentang mengkaji diri, yaitu sebagai berikut:
“Dan tiada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat binatang yang berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata”. (QS. Huud [11]: 6). Pada bari 350-351 mengonotasikan seorang kemudi pada kapal bertugas untuk ke mana haluan kapal diarahkan. Untuk itu, agar haluan kehidupan tetap pada jalan yang lurus ia harus menyandang ketulusan hati yang bersih. Seperti dalam Hadits Riwayat Muslim, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dalam tubuh manusia ada segumpal daging yang jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan jika ia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, itulah hati”.30 Beberapa dalil juga menyebutkan sebagai berikut:
“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengarannya, dan penglihatannya telah dikunci oleh Allah SWT.” (QS. An-Nahl [16]: 108).
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Israa [17]: 9). 29
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
30
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
517. 273.
98
Pada baris 352-353 dikonotasikan bahwa kompas kapal yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Penunjuk haluan adalah Qur’an dan Hadits sebagaimana keduanya juga sebagai petunjuk kehidupan dunia. Sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah taatlah kepada Rasul-Nya dan Uli Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (AlQur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59). Pada baris 354-355 menggambarkan bendera kapal adalah zuhud dan bendera umbul-umbul kapal yaitu zikir dan tasbih. Menurut Al-Ghazali, hakikat zuhud adalah meninggalkan sesuatu dan menginginkan sesuatu yang lain. Orang yang meninggalkan dunia dan membencinya, lalu menghendaki akhirat, itulah orang yang zuhud terhadap dunia.31 Zikir dan tasbih bermakna berzikir dan bertasbih kepada Allah SWT. Sehingga, bendera yang dibawa oleh kapal berlandaskan zuhud. Sebagaimana dalil yang menyebutnya yaitu:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 7).
31
450.
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
99
“Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya.” (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 20).
“Maka apabilah kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan diwaktu berbaring.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 103). Pada baris 356-357 dikatakan bahwa Jurubatu kapal yaitu syara’i dan zahir yaitu terlatih secara mata zahir untuk melihat mana yang baik dan mana yang batil. Begitupun Jurumudi kapal, yaitu dengan ilmu batin yang ia miliki mampu marasakan secara firasat apa saja yang akan menempa kehidupan (kapal). Begitupun dalam alqur’an, ada makna zahir da nada makna batin. Sebagai mana dalil tersebut:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24).
“Dan Allah telah menyempurnakan bagimu nikmat zahir dan nikmat batin.” (QS. Luqman [31]: 20). Pada baris 358-359 menyatakan bahwa yang bertugas mengeluarkan air yang masuk ke dalam kapal harus memiliki semangat seolah dia sedang diperintah oleh gurunya. Nahkoda kapal diibaratkan sebuah hidayah dari Allah SWT yang menunjukkan jalan lurus. Seperti beberapa dalil berikut:
100
Rasulullah saw bersabda : “Kedudukanku bagi kalian seperti seorang Ayah bagi anaknya”. Maksudnya : Beliau (saw) sebagai guru adalah menyelamatkan manusia dari penderitaan jangka panjang yang abadi nanti di akhirat. Dan ia lebih penting dari pada tugas kedua orang tua yang menyelamatkan anaknya dari penderitaan di dunia belaka. Oleh karena itu, hak seorang guru lebih besar daripada hak kedua orang tua, karena orang tua sebagai sebab hadirnya seorang anak dalam kehidupan yang fana di dunia ini, sementara guru menjadi sebab untuk meraih kebahagian dalam kehidupan jangka panjang yang abadi di akhirat nanti (Al-Hadits).32
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada Ibu Bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di anatara mereka atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa’ [17]: 23).
"Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja dan memaksamu untuk beriman). Tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan." (QS. An-Nahl [16]: 93).
32
http://ssarifin.blogspot.com/2012/02/menghormati-orang-dan-guru.html (diakses 24 September 2014).
101
3. Pesan Dakwah Pada Baris 360-379 Pada baris tersebut dijelaskan agar senantiasa bertawakkal kepada Allah SWT saat semua perlengkapan berlayar telah siap. Hakikat tawakkal bisa diketahui dari berbagai ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi di antaranya:
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benarbenar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah [5]: 23). Begitupun pada QS. Ath-Thalaq [65]: 3, “Barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan kelular.” Serta dalam QS. Ali-Imran [3]: 159, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Nabi Muhammad saw bersabda, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka Allah pasti akan memberi rezeki sebagaimana Ia memberi rezeki kepada burung yang pada pagi hari pergi dengan perut kosong dan pulang pada sore hari dengan perut kenyang.” HR. Al-Bukhari.33 Maksud dari baris 361-364 adalah meninggalkan negeri tempat tinggal serta sanak saudara dan harta benda di dunia. Ini menggambarkan untuk tidak terlalu mencintai keduniaan. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa mencintai keduniaan itu tercela34 seperti firma Allah SWT dalam QS. Al-Munaafiqun [63]: 9 yang artinya; “Hai orang-orang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-
33
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
34
Lihat Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali (Jakarta, 2012:
457. 362)
102
anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”. Kemudian pada baris 365-366 menegaskan agar memulai keputusan untuk berlayar atau menelusuri kehidupan dengan berlandaskan syahadat dan senantiasa berzikir kepada Allah SWT bahwa tiada Tuhan selain Dia. Imam Al-Ghazali mengutip sebuah riwayat dikatakan, “Suatu kaum yang duduk (di suatu majelis), tetapi selama itu tidak pernah mengingat Allah SWT (berzikir) dan tidak pula bershalawat kepada Nabi saw, maka mereka akan merugi pada hari kiamat kelak.” HR. Ahmad.35 Pada baris 367-379 menegaskan bahwa akan ada godaan setan dalam perjalana hidup seorang hamba. Namun, dianjurkan dalam syair tersebut agar tetap pada haluan dan tidak tergoda oleh tipu daya setan. Jangan turunkan layar sebagai semangat raja sebab itulah godaan yang dahsyat yang datang dari mana saja dan tak henti menguji ketakwaan hamba. Jika haluan kapal
sudah berubah, itu tandanya
setan berhasil
menggoyahkan konsisten iman dan ketakwaan seorang hamba. Di hari kemudian, ia akan merugi, sebab telah tergolong sebagai orang-orang yang su’ul khatimah. Sehingga, hamba tersebut dinilai terputus dari ajaran agama Islam. Beberapa dalil yang berkaitan dengan pesan kalimat tersebut sebagai berikut:
35
168.
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
103
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raf [7]: 16-17).
“Katakanlah, apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orangorang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 103-104). 4. Pesan Dakwah Pada Baris 380-383 Pada baris tersebut, Idrus Kaimuddin memohon untuk ditetapkan hatinya pada garis-garis agama Islam sehingga bisa menghadap kepada Zat Allah SWT. Ia juga mengharapkan keimanannya meningkat agar mati dalam keadaan husnul khatimah. Imam Al-Ghazali mengutip sebuah kisah ketika Mu’awiyah mendekati ajal, beliau berkata, “Dudukkanlah aku,” maka beliau didudukkan. Lalu beliau mulai berzikir dan bertasbih. Setelah itu beliau menangis sejadi-jadinya, lalu berkata, “Ya Rabb, kasihanilah orang tua renta yang banyak dosa dan berhati keras. Ya Allah, kurangilah kekeliruanku, ampunilah … ampunilah dosaku dan berikanlah kelembutan-Mu pada orang yang tidak pernah berharap kepada selain
104
diri-Mu dan tidak percaya pada siapapun selain Engkau.”36 Seperti Firman Allah SWT berikut:
“Dan janganlah kamua mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nimat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (QS. Ali-Imran [3]: 169-171). C. Interpretasi Kitab dalam Gerakan Dakwah Masa Kini Seperti yang dilakukan Suhurah, salah satu pelantun kabanti wolio wanita, ia menyampaikan syair tersebut dengan metode nyanyian. Belum lagi kabanti telah direkam dalam bentuk audio (MP3) dan bahkan telah dikembangkan dalam bentuk karya ilmiah seperti buku hingga Ebook. Semua itu menunjukkan bahwa kabanti diterima oleh masyarakat sebagai karya yang urgent. Selain itu, kabanti juga dinobatkan sebagai nilai-nilai Islam dalam tradisi kesenian Buton.37 Narator menulis mengenai kebaikan dan keburukan yang bersarang di dunia seperti ungkapan amar ma’ruf nahi munkar. Beberapa tema dalam syair seperi kematian, larangan menfitnah, kewaspadaan akan muslihat dunia, serta 36
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
546. 37
Sastra tulisan dibuton identik dengan sastra dunia keraton. Lihat Supriyanto dalam Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (Kendari: 2009), h. 86.
105
cerita hari kiamat menjadi topik dominan dalam kitab tersebut. Seperti halnya para Ustadz atau Ulama saat ini, dakwah yang dilakukan tidak jauh berbeda substansinya dengan kandungan kabanti Idrus. Namun, gerakan dakwah masa kini, di mana metode dakwah telah sejalan dengan perkembangan teknologi dan komunikasi. Maksudnya, dakwah telah bertransformasi menjadi objek yang mudah diakses. Pada saat yang sama, seseorang bisa mendengar atau membaca subjek tentang dakwah di layar computer secara networking. Gerakan dakwah masa kini sudah sangat jauh dengan apa yang ditulis oleh Idrus. Tidak hanya dalam bentuk tulisan aksara Arab, namun kuantitas isinya yang cukup banyak akan tersaingi dengan dakwah melalui media televisi, radio, atau metode dan media kontemporerlainnya yang bersifat lisan dan tulisan. Namun, kreatifitas yang menjadi instrument kabanti ini bisa jadi senjata ampuh untuk mengalihkan kembali mitra dakwah masyarakat buton agar memahami bahwa kitab yang ditulis oleh Idrus bukan untuk disimpan dalam lemari buku tua kemudian hangus begitu saja. Instrument tersebut adalah nyanyian (nada) kabanti wolio secara khusus. Berkenaan dengan upaya Suhura, seorang praktisi kabanti wanita,
juga
sejumlah
praktisi
lainnya
yang memahami
kabanti
dan
melestarikannya dengan menguasai model nyayian syair tersebut. Syair-syair yang nadanya satu model tersebut, sadar atau tidak sadar telah bergerak sebagai dakwah, entah dalam bentuk kaset (audio) maupun karya ilmiah. Di satu sisi, pendengarnya “mungkin” memahami arti dan makna dari kabanti tersebut. Di sisi lain, masyarakat mengoleksinya hanya sebatas untuk identitas diri agar lebih merasa menjadi masyarakat buton dan sebagainya. Namun, menurut
106
peneliti, kedua konsumen atau mitra dakwah tersebut tidak akan memahami secara komprehensif maksud dan tujuan dakwah dalam syair tersebut jika tidak memiliki kecakapan dalam bahsa Wolio serta pengetahuan agama yang baik. Gerakan dakwah model syair tersebut akan diapresiasi di era digital ini kemudian dapat juga dikembangkan seiring perkembangan zaman. Untuk lebih menyadarinya, peneliti memberikan gambaran dua faktor pendukung dan penghambat Kitab Bula Malino atau syair lainnya dapat diformulasikan dengan gerakan dakwah saat ini, yaitu sebagai berikut: 1. Faktor Pendukung Kondisi kitab serta syair lainnya masih sangat perlu diteliti. Bentuk tulisan aksara Arab Wolio tentu akan sulit bagi masyarakat saat ini. Bukan hanya perkara budaya bahasa daerah (Wolio) yang mulai pudar, namun gaya hidup masyarakat yang konsumtif dan populer bisa menjadi motivasi kitab ini perlu dikaji serta diperbanyak. Selain transliterasi, peneliti menemukan sejumlah buku yang mengkaji Kitab Bula Malino seperti Membara di Api Tuhan (La Ode Malim: 1983) dan Nasiha Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (Laniampe: 2009). Berkenaan dengan gerakan dakwah masa kontemporer, seperti yang dilakukan La Ode Malim dalam Membara di Api Tuhan, sangat mendukung dalam pergerakan dakwah dengan sarana tulisan (al-mau’idza al-hasanah). Bukunya telah dikembangkan dalam bentuk Ebook (buku elektronik) dan dapat diakses serta didownload oleh siapa saja dan kapan saja. Begitupun yang dilakukan oleh Laniampe dan peneliti sendiri, secara
107
ilmiah, kitab tersebut akan menjadi topik populer di ruang diskusi pelajar, mahasiswa, serta ilmuan lainnya. Berhubungan dengan hal tersebut, peneliti menilai bahwa gerakan dakwah ini akan mendapat antusias khusus seperti halnya pada selera food, fashion, dan fun masyarakat saat ini. Tentunya jika formulasi yang dilakukan para penulis di atas didukung masyarakat serta pemerintah berandil sebagai pendukung utama. Sepeti yang dikatakan Munir Amin, bahwa media elektronik merupakan media efektif dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada khalayak atau mitra dakwah. Apalagi pada gerakan dakwah masa kini. Sebab, ciri utama media massa elektronik ialah keserempakan (simultanitas). Sehingga, khalayak bisa kapan saja menerima atau membaca kitab tersebut.38 Seirama dengan QS Ali Imran [3]: 104, Idrus sabgai da’i telah memasukkan esensi dakwah yaitu mengajak pada kebajikan dan mencegah dari yang munkar. Begitupun pada sasarannya, dakwah dalam kitab tersebut bisa secara fardiyah maupun jama’ah. Artinya, kandungan dakwah yang diekspresikan penulis dalam kitab Bula Malino tersebut bisa diterima oleh setiap kalangan. 2. Faktor Penghambat Jika upaya-upaya tersebut di atas tidak dikembangkan atau dalam katalain “terhenti”, maka untuk memaknai kitab syair Bula Malino dan syair lainnya yang harus dengan keahlian bahasa Wolio serta ruang waktu dan membutuhkan waktu yang lama, di mana pada era globalisasi ini gaya 38
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Sinar Grafika Offset, Jakarta:Amzah, 2009), h. 267-268.
108
seperti itu sudah tidak memungkinkan lagi. Sebab, Tokoh kabanti seperti Lambalangi, Almujazi, Syafiuddin serta Tokoh lainnya yang tidak disebutkan, pasti akan memerlukan generasi. Peneliti sebagai pengguna bahasa Wolio menemukan pendapat yang berbeda di buku La Niampe dengan tulisan Ayah dari Almujazi dalam Bula Malino. Belum lagi ditambah dengan fenomena bahasa wolio yang tidak lagi menjadi high culture. Fenomena tersebut tidak bisa disalahkan, justru itulah yang menjadi alasan mengapa para Tokoh Budaya memerlukan generasi untuk meneruskan dakwah ini. Berkenaan dengan dakwah di era digital saat ini, karya syair-syair agama tersebut akan musnah begitu saja jika para pemegang naskahnya tidak memahami dakwah dalam Islam secara universal. Seluruh naskah yang belum dikaji akan digerogoti hewan jika terus berdiam di dalam peti sampai akhirnya tidak satupun lagi yang bertahan. Kajian Islam yang dilakukan para ulama pendahulu (Sultan) akan menjadi rumor bahkan dongeng belaka jika apa yang dilakukan Nabi yaitu menyampaikan wahyu (naskah Al-Qur’an) tidak dipahami oleh masyarakat. Maksudnya, arus perkembangan metode dakwah akan terus bertransformasi dan akan sulit masyarakat bendung bahkan justru harus terbuka secara ilmiah. Sehingga, pemerintah harus mengerti bahwa beberapa Tokoh Adat dan Budaya di buton seharusnya juga didukung atas kesadaran ilmiah mereka memelihara naskah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menilai bahwa yang akan menghambat syair-syair tersebut bisa diformulasikan dengan gerakan
109
dakwah saat ini adalah jika masyarakat tidak mengembangkannya secara ilimiah. Bisa meniru seperti pada buku Membara di Api Tuhan yang telah berbentuk Ebook. Keterbukaan Almujazi sangat perlu didukung dari pemerintah agar naskah yang tersimpan dapat terjaga dan bisa bertahan lama. Sebab, jika tidak, itu akan menjadi penghambat besar kitab dakwah ini beradaptasi dengan zaman modern. Bukan perkara mereka tidak memberikan naskah tersebut, namun, tempat penyimpanan yang tidak layak akan saling kejar dengan upaya sejumlah peneliti atau mitra dakwah dalam menyetarakannya dengan gerakan dakwah masa kini. 3. Posisi Bula Malino dengan Manuskrip Lain Semua syair yang dibuat oleh orang tua dahulu masing-masing mempunyai tujuan khusus yaitu ajaran tentang agama. Misalkan pada acara nikah, kabanti yang berjudul Momondona Rua Miaana (Terjalinnya dua sejoli) nampaknya dikarang untuk hubungan rumah tangga. Ungkapan Suhura tersebut terlihat saat peneliti melakukan wawancara dengan Pak Lambalangi. Penulis transliterasi kabanti tersebut menunjukkan sejumlah tulisannya dengan bermacam-macam tema. Selain Bula Malino (Purna yang Cerah), syair yang tebal adalah Ajonga Indaa Malusa (Pakaian yang Tak Pernah Kusut). Namun, peneliti menemukan setiap buku mengenai sejarah buton dan mengandung tema keislaman, selalu terdapat bahasan Kabanti Bula Malino. Posisi Kitab Bula Malino memang cukup populer di kalangan masyarakat dan bisa dibilang sangat berlaku ucapan “siapa yang tidak tahu Kabanti Bula Malino?”. Tidak jarang ditemukan beberapa individu yang
110
familiar dengan nama Bula Malino namun tidak mengerti isi kitabnya bahkan belum pernah melihat bagaimana bentuk tulisannya. Memang sejumlah masyarakat telah menggenggam kaset VCD Bula Malino tapi nampaknya upaya nyanyian tersebut kurang produktif sebagai sarana dakwah jika pendengarnya (masyarakat) tidak memiliki kecakapan bahasa Wolio. Jika dilihat dari prespektif dakwah, tidak ada klasifikasi mana yang bagus dan mana yang tidak di antara semua kitab kabanti yang ada di Buton. Secara universal, ulama dahulu memang telah mencurahkan segenap pemikiran hingga menghasilkan karya tulis sastra agama. Itu terlihat dari struktur narasi penulisan kitab-kitab tersebut. Seperti ucapan Suhura, peneliti menilai bahwa, perlu adanya kajian berikutnya pada syair (kitab) lain selain Bula Malino. Dari seluruh Manuskrip yang ada di Buton, dalam hal ini berkaitan yang dengan syair agama, kitab yang dikaji oleh peneliti ini merupakan satu-satunya syair yang lebih dominan ditulis dan dikaji secara ilmiah. Namun demikian, sangat perlu bagi peneliti serta masyarakat untuk menjamahi manuskrip lain dan mengkajinya secara ilmiah pula.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Model Aktan Greimas dalam narasi Kitab Bula Malino khususnya pada baris 332-383 menunjukkan adanya rangkaian hubungan antar satu kalimat (bait) dengan kalimat lainnya. Dalam hal ini, Idrus sebagai destinator (pengirim) menulis sebuah kitab syair. Dalam baris tersebut mengandung pesan peringatan kematian. Topik kematina dikirim oleh Idrus dalam syair sebagai subjek agar manusia lebih bersiap menjalani kehidupan. Sehingga, sebagai receiver (penerima) adalah bisa seorang narator namun bisa juga manusia. Sebab, kitab ini akan dibaca oleh khalayak, secara tidak langsung, pesan yang dinaraskan dalam kitab tersebut ditujukan kepada manusia selain pengarang. Kemudian, yang diharapkan Idrus (narator) atau yang menjadi objek dalam kajian baris tersebut adalah harapan agar menjadi manusia yang husnul khatimah sehingga dapat melihat secara langsung Zat Tuhannya. Untuk mencapai objek tersebut maka wajib bagi hamba untuk membekali perjalanan hidupnya dengan keimanan dan tasdiq yang tetap. Kualitas amal saleh yang serta Qur’an dan Hadits yang dijadikan pedoman oleh hamba selama di dunia akan membentenginya dari godaan setan yang menerpa. Itulah yang dinamakan Adjuvant (pendukung) menurut Greimas. Dalam perjalanan hidup ini, sudah tentu ada yang namanya ujian dan cobaan. Dalam hal ini, cobaan dan ujian yang dimaksud adalah suatu yang menghambat manusia dalam konsistensinya mencapai objek tersebut. Dikatakan 111
112
bahwa, akan ada godaan setan bagai angin topan yang kencang datang menerpa hamba. Jika godaan tersebut mampu menggoyahkan konsistensi iman dan mampu meruntuhkan semangat ibadah, maka hamba tersebut akan tergolong orang-orang yang su’ul khatimah. Hal tersebut dinamakan traitor (penghambat) yang menghalai seorang hamba untuk mencapai tujuannya (objek) yaitu bertemu dengan Tuhan sebagai hamba yang husnul khatimah. Ada tiga rangkain cerita dalam kitab tersebut. Pertama, bagian awal yaitu dibuka dengan tema peringatan kematian. Kedua, bagian tengah yaitu menarasikan tentang keimanan dan konsistensi amal saleh. Ketiga, bagian akhir, narasi tentang kematian yang dalam perjalanannya akan menuju husnul khatimah dan bisa saja menuju pada su’ul khatimah. 332-383 (Tabel 4.17). Dalam gerakan dakwah masa kini, materi dakwah yang dinarasikan oleh Idrus merupakan topik-topik urgent bagi setiap kalangan. Sudah lazim bagi media dakwah, manuskrip tersebut dapat diformulasikan dengan gerakan dakwah masa kini. Dakwah secara tulisan (al-mau’idza al-hasanah) ilmiah tersebut tidak hanya didapati pada kitab Bula Malino. Masih banyak media dakwah berbentuk tulisan syair yang serupa dengan kitab Idrus tersebut. Tidak hanya pada masyarakat buton, secara umum, karya ilmiah ini dapat dibaca semua kalangan. Beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits berkaitan dengan item-item pesan dakwah tersebut seperti yang di tulis di bab sebelumnya. Pada batasan kajian dakwah yang ditentukan peneliti tersebut merupakan rangkuman dari rangkaian 16 tema lainnya. Artinya, perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai kitab Bula Malino ini.
113
Pesan dakwah yang takandung dalam baris 332 sampai baris 383 sangat terlihat dan meliputi beberapa hal yaitu: 1.
Mengenai kematian yang tak mungkin hamba bisa kembali lagi ke dunia. Kematian dinantikan oleh orang alim dan diharapkan oleh orang saleh.
2. Kelengkapan berlayar yang lekat dengan religionitas. Tiang kapal yaitu khauf dan layarnya adalah rajaa. Layar paling depan adalah tawaduh’ dan para pendayung laksana para Mujahid. Tali-temalinya adalah riyadhat dan pengikatnya adalah konaa’ah. Kemudi kapal harus berhati bersih dan tulus serta. Kompas kapal menggunakan Qur’an dan Hadits serta. Bendera kapal harus bernafaskan zuhud serta bendera umbul-umbulnya yaitu zikir dan tasbih. Jurubatu mempunyai ilmu zahir dan Jurumudinya harus memiliki ilmu batin. Petugas yang mengeluarkan air dalam kapal harus berjiwa seorang murid yang taat pada gurunya dan Nahkoda kapal harus seperti sebuah hidayah dari Allah SWT. 3. Perintah bertawakkal kepada Allah SWT saat siap melakukan sesuatu. meluruskan niat. Mulai melupakan kepentingan dunia serta diawali dengan keputusan yang baik dengan landasan Laa Ilaaha Illallaah yaitu semata-mata niatnya hanya mengharap ridha Allah SWT. 4. Menghadapi beragam godaan cobaan dengan tetap teguh pada pendirian. Tidak mengubah atau menggoyah keimanan atas niat yang telah dibentuk. Sebab, jika tidak bertahan, maka seorang hamba akan merugi di kemduian hari. Kerugian ini dinamakan su’ul khatimah.
114
Sehingga, seorang hamba harus menguatkan imannya agar menjadi hamba yang husnul khatimah dan melihat Zat Tuhannya. B. Saran Kitab atau buku adalah salah satu media dakwah dalam bentuk tulisan yang ditulis oleh seorang yang telah wafat ratusan tahun silam. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kandungan kitab tersebut ditulis berkenaan dengan corak kehidupan pada masa si pengarang. Sehingga, sebagai media dakwah, seharusnya kitab tersebut harus dikaji lebih tajam dengan pendekatan ilmiah yang berkembang agar mitra dakwah atau masyarakat buton khususnya menyadari bahwa gerakan dakwah Islam bukan baru lahir saat ini. Kabanti Bula Malino adalah kitab yang bukan satu-satunya membahas tentang ajaran agama. Kitab lain seperti Ajonga Inda Malusa, Momondona Ruamiana, dan kitab lainnya masih dalam bentuk transliterasi dan belum dikembangkan seperti Bula Malino dalam buku Membara di Api Tuhan serta yang diteliti oleh penulis lainnya. Sebagai upaya menambah khazanah kelimuan, perlu juga bagi kitab yang lain untuk dikaji dengan penelitian ilmiah. Tentunya itu akan mudah dilakukan jika didukung oleh sumber yang open minded (terbuka). Maksudnya, diharapakan kepada pemegang manuskrip atau naskah kitab tersebut agar mendukung penelliti secara profesional. Harapan
yang
sama
kepada
sejumlah
peneliti
agar
menjaga
profesionalisme karya ilmiah dengan menyatakan dari mana sumber (referensi) didapat. Dalam buku misalnya, atau karya ilmiah lainnya, penulis harus menghindari sifat egois atau lupa menulis bagaimana sumber (kitab) bisa didapat
115
atau dari manakah manuskrip tersebut ditemukan. Demikian itu telah menjadi sebab mengapa para pemegang naskah (manuskrip) buton enggan membuka (memberi) kepada tiap peneliti. Oleh Karen itu, perlu adanya dukungan dari masyarakat terutama pemerintah agar karya dakwah ini menjadi sumber yang dapat diakses semua orang dalam bentuk Ebook dan sebagainya. Sebab gerekan dakwah di era digital ini patut membutuhkan keselrasan perkembangan teknologi. Misalnya, kitab tersebut dapat diformulasikan menjadi aplikasi dalam telepon genggam (Android).
DAFTAR PUSTAKA Alifuddin, M. Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal, Badan Litbang dan Dilat Departemen Agama, 2007. Al-Bakri, Ahmad Abdurraziq. Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, Jakarta: PT. Sahara Intisais 2012. Amahzun, Muhammad. Manhaj Dakwah Rasulullah, Qisthi Press, Jakarta: 2004. Arifin, Anwar. Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi, Graha Ilmu, Yogyakarta: 2011. Arifin, M. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, Jakarta: Bumi Aksara, 2000. Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah, Penertib, Sinar Grafika Offset, Jakarta: Amzah, 2009. Yunus, Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, 2011. Al-Wa’iy, Taufik. “Da’wah Ilallah” Dakwah ke Jalan Allah: Muatan, Saran, dan Tujuan, Jakarta: Robbani Press, 2010. Aripuddin, Acep. Dakwah Antarbudaya, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung: 2012. ANCEAUX, J. C. Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, Foris Publication Holland: 1987. Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media, Kencana Pernada Media Group, Jakarta, 2013. Fang, Liaw Yock. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Jakarta Yayaysan Obor Indonesia, 2011. Hefni, Harjani. Pengantar Sejarah Dakwah, Kencana Prenada Meida Group: Jakarta, 2007. Ikram, Achadiati. Katalok Naskah Buto: Koleksi Abdul Mulku Zahari, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2002. Ilaihi, Wahyu. Komunikasi Dakwah, PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2010.
Ismail, Nawari. Filsafat Dakwah: Ilmu Dakwah dan Penerapannya, PT. Bulan Bintang, Jakarta: 2004. Ikram, Achadiati. Katalok Naskah Buto: Koleksi Abdul Mulku Zahari, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2002. Ikram, Achadiati, dkk:Mukhlis PaEni:Editor Umum, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra, dan Aksara, Rajawali Pers, Jakarta: 2009. Keraf, Gorys. Argumentasi dan Narasi Jakarta: PT. Gramedia, 1986. Lamra, Tarafu. Alih Aksara dan Bahasa, Buton La Niampe, Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin AlButhuni, Kendari, FKIP Unhalu, 2009. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, Gajah Mada University Press, Cetakan kesepuluh: Yogyakarta, 2011. Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992. Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2009. Sobur, Alex. Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikasi PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2014. Sobur, Alex. Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikasi, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2014. Syukur, La Ode Muh, dkk. Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, CV. Shadra, 2009. Syukur, Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, Tamam, Nurul Badru. Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005. Umar, Thoha Yahya. Imu Dakwah, Jakarta: CV. Al-Hidayah, 2002.
Sumber lain: blogging.co.id/ilmu-kebatinan. diakses pada 25-08-2014 http://ssarifin.blogspot.com/2012/02/menghormati-orang-dan-guru.html (diakses 24 September 2014).
Rulli Nasrullah, Semiotika Naratif Graimas dalam Iklan Busana Muslim, www.kangarul.com. http://myrepositori.pnm.gov.my/bitstream/123456789/1627/1/PAMM2014_Paper09. pdf (diakses 25 September 2014).
Naskah Kabanti Bula Malino (Tulisan Abdul Mulku Zahari) Ayah dari AlMujazi sebagai Pemegang naskah. Tulisan Kitab berbentuk Aksara Arab-Wolio (Bahasa Wolio)
Tulisan Tangan Muhammad Idrus Kaimuddin Diperoleh dari Al-Mujazi
Tulisan Al-Qur’an oleh Muhammad Idrus Kaimuddin
TRANSKIP WAWANCARA Narasumber
: Al Mujazi
Institusi
: Museum Kebudayaan Wolio
Jabatan
: Pemegang Naskah sekaligus (bisa dibilang) Pemilik Naskah
Hari, Tanggal : Kamis, 13 Maret 2014 Waktu
: 16.00-17.00 WITA
Alamat
: Jalan Labuke, Buton Sulawesi Tenggara (tepatnya di benteng keraton buton)
(T) Kabanti merupakan sarana dakwah, apakah perlu dibudayakan? (J) “Seharusnya apa yang telah kita awali dari kabanti tetap kita lanjutkan, jangan diputuskan.” (J) Apa sajakah isi kandungan kabanti wolio? Kabanti semua mengandung ajaran. Baik buruknya tingkah laku kita dan mengetahui jati diri kita. Termasuk sejarah dan keadaan benteng Buton ini tersimpan dalam kabanti. Seperti kabanti-kabanti lainnya juga merupakan ajaran untuk menuju pada kesalehan dan beradab bagi manusia itu sendiri. (T) Bagaimana fungsi kabanti sebenarnya? (J) “Bagi orang tua ketika ingin membacakan kabanti, mereka mengumpulkan keluarganya dan beberapa sanak saudaranya dalam satu forum informal. Kemudian, pembaca kabanti akan menjelaskan makna dari kandungan kabanti tertentu sesuai judul yang akan dikaji. Semua akan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sejauh mana dia memahami.”
(T) Mengapa sebagian manuskrip enggan dikasih oleh sumber atau pemegang naskah (manuskrip) tersebut? (J) “Pernah ada seorang peneliti yang datang ke Buton, kemudian sebagian yang memegang sumber naskah memberikannya untuk keperluan akademis. Namun, ternyata seorang peneliti tersebut hanya mementingkan kebutuhan tertentunya.” Mengetahui,
Al-Mujazi
TRANSKIP WAWANCARA Narasumber
: Syafiuddin
Institusi
: Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) Baubau Sulawesi Tenggara
Jabatan
: Dosen aktif Unidayan
Hari, Tanggal
: Minggu, 23 Maret 2014
Alamat
: Kelurahan Bataraguru, Baubau Sulawesi Tenggara
(T) Bagaimana metode pengajaran atau pengamalan kabanti di zaman dulu? (J) “Narasi dari Kabanti Bula Malino adalah sistim pemahaman di dalam pelaksanaan tasawuf. Salah satu tarekat yang digemari oleh orang tua dahulu. Pemahaman narasi kabanti oleh guru, dalam arti mengajarkan langsung kepada murid atau memberikan petunjuk makna dari naskah oleh guru kepada murid. Begitulah sistim tata cara pelaksanaan pemahaman daripada narasi kabanti itu. Kabanti adalah sistim pengamalan tarekat. Kabanti Bula Malino ini adalah tarekat. (T) Selain pemahaman tasawuf, apa lagi yang direpsentasikan kabanti? (J) “Bula Malino adalah etika Islam, yang mana ajarannya ini adalah ajaran tasawuf. Kabanti dipakai setiap kali oleh mereka di samping pengkajian, mereka langsung mengamalkan isi dari pada kabanti. Karena cerita dalam kabanti mengenai bagaimana Pengarang berupaya tidak berpisah dengan Penciptanya.”
(T) Apa yang Anda pahami dari seluruh nasehat pengarang kitab tersebut?
(J) “Objek atau kunci akhir daripada kabanti ini adalah untuk betul-betul menjadi seorang insan kamil di hadapan Allah SWT. Pada waktu itu kabanti merupakan pendidikan informal yang tertuju kepada ketinggian tauhid seseorang.” Mengetahui,
Syafiuddin
TRANSKIP WAWANCARA Narasumber
: Lambalangi
Pekerjaan
: Tokoh dan Praktisi Kabanti (menyalin dan menulis kabanti)
Jabatan
: Mantan Kepala Kantor Departemen Agama Kecamatan Wolio
Hari, Tanggal : Selasa, 25 Maret 2014 Waktu
: 19.45- 20.30 WITA
Alamat
: Kelurahan Tarafu, Kecamatan Betomabari, Kota Babau Sulwesi Tenggara
(T) Bgaimana gerakan kabanti yang dilakukan oleh masyarakat saat ini dan apa yang telah Anda lakukan? (J) “Salah satu penyebab mengapa kabanti sudah tidak dilestarikan lagi adalah berkurangnya orang Wolio asli. “Orang Wolio sudah berkurang tapi Orang di Wolio sudah semakin banyak”. Karena memang masyarakat Buton sekarang sudah kurang mengerti berbahasa Wolio. Oleh karena itu, setelah beberapa lama pensiun, pada tahun 1992 saya berpikir apa yang harus saya kerjakan? Pada saat yang sama saya dibayang-bayangi akan makin punahnya bahasa wolio. Sehingga, saya menyalin dan menyetak beberapa kabanti. Semua kabanti yang saya cetak ini ada tujuh buku, ada yang bertuliskan Wolio dan ada juga yang latin.” (T) Ada berapa jumlah “judul” kabanti? (T) “Kata para orang tua dulu ada 100 lebih judul kabanti yang tertulis. Namun, hingga saat ini sudah 21 tahun yang ditemukan baru 35 judul kabanti.
Apa latar belakang ditulisnya kabanti wolio?” (T) Bagaimana fungsi kabanti pada masa kesultanan? (J) “Pada 1824 di masa Diponegoro, karena pergaulan di Buton sudah jauh dari norma-norma agama sehingga Muhammad Idrus Kaimuddin membuat kabanti pada saat itu. Kabanti yang dibuat kadang dinyanyikan pada waktu masyarakat lagi meminum khamar dan berjudi serta aktivitas yang menyimpang lainnya. Aktivis kabanti saat itu tidak menegur secara langsung orang-orang yang telah menyimpang dari norma-norma agama. Akan tetapi justru mereka menyanyikan kabanti agama di saat aktivitas mereka.” (T) Bagaimana masyarakat menggunakan kabanti saat ini? (J) “Saat ini sudah longgar akidah, jadi cukup berhati-hati. Akhirnya kabanti akan menjadi hal yang tidak penting lagi. Masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan peninggalan budaya Islam ini. Seperti halnya, banyak manusia yang ingin belajar ilmu renang tapi melupakan Ilmu menyelam. Saati ini sudah banyak lagu dangdut dan itu sangat diminati daripada senandung kabanti.” Mengetahui,
Lambalangi
Bersama Bapak Al-Mujazi Praktisi Kabanti sekaligus salah satu pemegang manuskrip karya Muhammad Idrus Kaimuddin. Sejumlah manuskrip yang dimilikinya adalah warisan dari Ayahnya, Abdul Mulku Zahari (lihat Bab III, h. 60). Museum Kebudayaan Wolio, Baadhia, Baubau Sulawesi Tenggara. Bersama Al-Mujazi, usai wawancara (di kediamannya)
Bersama Al-Mujazi, usai mencari naskah asli Kabanti
Bersama Bapak Lambalangi (Mantan Kepala Kantor Departemen Agama Kecamatan Wolio) Beliau aktif menyalin dan mengoleksi naskah-naskah Buton. Kelurahan Tarafu, Baubau Sulawesi Tenggara.
Hasil Transliterasi oleh Lambalangi