14
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Tinjauan tentang Sosialisasi 1.
Pengertian Sosialisasi Di dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat sejumlah nilai dan norma
yang ingin diteruskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk melestarikan masyarakat serta nilai dan norma yang dianutnya. Oleh karena itu setiap masyarakat akan berusaha untuk mengajarkan nilai dan norma tersebut kepada setiap anggota masyarakatnya dengan suatu proses yang disebut sebagai sosialisasi agar setiap individu dapat hidup selaras dengan lingkungan tempat ia tinggal dan dapat menjalankan fungsinya serta berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Hal tersebut ditegaskan oleh Bunyamin Maftuh (1994 ) yang mendefinisikan sosialisasi sebagai : Proses yang mempelajari norma, nilai, peran, dan semua persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi efektif dalam kehidupan sosial dan merupakan proses yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup dan bagaimana cara berfikir kelompoknya, agar dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya. Norma-norma yang hidup di masyarakat sangat berpengaruh pada sikap seseorang dalam kehidupannya dalam kelompoknya itu. Proses sosialisasi sangat penting untuk menyampaikan norma-norma tersebut. Lebih jauh lagi, diharapkan dari proses sosialisasi yang dialami oleh anggota masyarakat, mereka dapat bertingkah laku dan mengembangkan tingkah lakunya tersebut sesuai dengan lingkungan dan yang biasa dilakukan oleh orang yang yang ada disekitarnya dan 14
15
kelompoknya. Hal senada ditegaskan lagi dengan pengertian sosialisasi menurut Michael Rush dan Phillip Althoff (1997 : 29) yang menyatakan bahwa: Sosialisasi yaitu pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah diantisipasikan….(dan yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari. Proses sosialisasi membuat seseorang menjadi tahu dan memahami bagaimana bersikap dan bertingkah laku di lingkungan masyarakatnya. Melalui proses ini, seseorang akan mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya berdasarkan peranan-peranan yang dimilikinya. Adapun pengertian sosialisasi yang dikemukakan oleh M. Sitorus (2000 : 56) yang mengatakan bahwa : Sosialisasi adalah proses pembelajaran masyarakat “menghantar” warganya masuk kedalam kebudayaan. Maka sosialisasi adalah proses yang dialami masyarakat untuk dapat mempelajari nilai, norma dan peran dalam masyarakat agar sesuai dengan cara berfikir dan cara hidup kelompoknya sehingga terbentuk suatu kepribadian sebagai dasar untuk berperan dan berfungsi sesuai dengan masyarakat tempat ia hidup. Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. Sosialisasi juga bisa dikatakan sebagai pemberitahuan atau pemaparan suatu hal yang akan diinformasikan kepada semua
16
pendengar bisa juga sebagai ajang promosi. Jadi sosialisasi itu sebagai penyebar luasan informasi agar dilaksanakan menjadi kebiasaan tetapi dapat juga sebagai pengenalan atas sesuatu kepada setiap orang. 2. Media Sosialisasi Agar sosialisasi dapat berjalan teratur dan intensif, masyarakat mempunyai media sosialisasi. Ada lima agen sosialisasi dalam yang utama yaitu : 1. Keluarga Keluarga merupakan agen sosialisasi pertama dan utama dalam mengenalkan nilai-nilai sosial dan kebidayaan kepada anak. Keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Lingkungan keluarga adalah unit sosial terkecil, namun memiliki peranan yang sangat penting. Dalam lingkungan keluarga memungkinkan seorang individu atau kelompok melakukan suatu identifikasi di lingkungannya, dan secara perlahan-lahan diinternalisasikan dalam kehidupannya. 2. Kelompok masyarakat Masyarakat sebagai sekelompok manusia yang terbesar mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan untuk hidup bersama. Proses sosialisasi menjadi tugas bersama bagi seluruh anggota masyarakat dalam di lingkungannya. Bila seorang anak melakukan hubungan pertemanan, maka hubungan atau interaksi sosial itu menunjukkan hubungan yang lebih luas. Mereka akan menerima berbagai pembelajaran nilai dan norma. Mereka juga menyerap berbagai pengetahuan dari lingkungannya, mendapatkan bimbingan, dan niali-nilai yang berkembang.
17
3. Lingkungan Sekolah Sekolah adalah sarana yang diciptakan oleh masyarakat yang berfungsi untuk
melaksanakan
pembelajaran.
Pembelajaran
tidak
hanya
menyampaikan pengetahuan saja yang berupa latihan untuk kecerdasan, melainkan untuk menghaluskan moral dan menjadikan akhlak yang baik. Para pendidik yang bertugas sebagai guru melakukan sosialisasi pengetahuan dan interaksi moral itu berdasarkan rancangan atau program yang disesuaikan dengan system pengetahuan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. 4. Lingkungan kerja Lingkungan kerja merupakan salah satu media sosialisasi, karena dalam lingkungan kerja telah terjadi proses sosialisasi antara rekan kerja yang satu dengan yang lainnya. 5. Media Massa Media massa adalah salah satu bagian dari masyarakat yang bertugas menyebarluaskan berita, opini, pengetahuan, dan sebagainya sehingga di sisni telah terjadi apa yang dinamakan dengan proses sosialisasi. Sifat media massa adalah mencari bahan pemberitaan yang actual (hangat), menarik, perhatian, dan menyangkut kepentingan bersama. Berdasarkan sifatnya, fungsi media massa yaitu sebagai media control bagi terjadinya berbagai penyimpangan dari nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat. Banyaknya informasi yang diberitakan oleh media massa dan dimuatnya berbagai pendapat mengenai berbagai masalah di lingkungan
18
masyarakat, maka secara langsung maupun tidak langsung akan memperluas wawasan para pembacanya. Melalui media massa terjalin hubungan atau kontak sosial secara tidak langsung antar anggota masyarakat. Jadi media massa merupakan agen sosialisasi yang cukup berpengaruh terhadap prilaku khalayaknya. Meningkatnya teknologi komunikasi yang memungkinkan peningkatan kualitas pesan serta peningkatan frekuensi penyerapan masyarakat atas pesan tersebut pun memberi peluang bagi media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting.
B. Kesadaran Masyarakat dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan 1. Kesadaran Hukum Masyarakat a. Pengertian Kesadaran Paham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada diri warga masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi sahnya hukum. pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul di dalam proses penerapan dari hukum tertulis. Di dalam kerangka proses tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran masyarakat) dengan kenyataan yang dipatuhinya (atau tidak ditaatinya) hukum tersebut.
19
Manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk berfikir, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan ketentuan dan keharusan yang berlaku dalam normanorma kemasyarakatan agar menjadi patokan bagi atau salahnya tindakan manusia dalam bermasyarakat. Jika manusia dapat bersikap dan bertindak sesuai dengan norma yang berlaku didalam masyarakat biasanya disebut dengan istilah manusia yang bermoral atau orang yang telah memiliki kesadaran moral, yaitu adanya keinsyafan dalam diri manusia bahwa manusia sebagai anggota dari masyarakat berada dibawah kewajiban untuk melakukan sesuatu. Pada hakekatnya kesadaran merupakan sesuatu yang sebenarnya telah dimengerti, akan tetapi kurang dipahami manfaatnya.
Kesadaran diartikan
sebagai kondisi terjaga atau mampu mengerti apa yang sedang terjadi. Kesadaran akan kepentingan atau keprihatinan bersama akan melahirkan organisasi atau perkumpulan. Kesadaran itu sendiri berakar dari kata sadar, kata sadar secara etimologi dapat diartikan sebagai ingat akan dirinya atau merasa dan insaf. Sedangkan secara terminologi kesadaran adalah keinsafan akan perbuatannya serta keadaan yang sedang dialaminya (realitas). Adapun Konsep Kesadaran yang dimaksud dalam studi ini adalah keinsafan dalam hal membayar pajak. Perihal kata atau pengertian kesadaran menurut A. Merriam-Webster yang dikutip lagi oleh Soerjono Soekanto (1982 : 150) mengatakan bahwa kesadaran itu memiliki 5 (lima) arti, yaitu : 1. Awarenessesp, of something within oneself; also; the state or fact of being conscious of an external object, state or fact 2. The state of being characterized by sensation, emotion, volition, and thought; mind
20
3. The totality of conscious states of an individual 4. The normal state of conscious life 5. The upper level of mental life as contrassed with unconscious processes.
Bahwa kesadaran itu merupakan sesuatu pada diri seseorang, yaitu adanya kesadaran dari pernyataan dan kenyataan dari luar, dimana kenyataan itu ditandai berupa sensasi, emosi, dan pikiran seseorang. Pernyataan kesadaran tersebut akan mewakili individu yang muncul dari kesadaran hidupnya, kemudian kesadaran ini merupakan tingkat tertinggi dari mental hidup yang dibanding dengan prosesproses yang tidak sadar. Sejalan dengan hal tersebut, dalam masyarakat kita belum ada kesadaran hukum yang cukup tinggi atau dikalangan-kalangan tertentu kesadaran hukum masyarakatnya masih rendah. Maka sebagai implikasi langsung, keadaan demikian menuntut adanya pembinaan dan peningkatan kesadaran hukum, disamping pengembangan sarana organisasinya. Diperkirakan ada korelasi positif antara usaha pembinaan itu dengan tingkat kesadaran hukum dan selanjutnya dengan penataan hukum. b. Pengertian Hukum 1. Arti hukum Menurut Purnadi Purbacaraka yang dikutip kembali oleh Soerjono Soekanto (1982 : 151) menjelaskan pengertian yang diberikan oleh masyarakat tentang hukum, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Hukum sebagai ilmu pengetahuan Hukum sebagai kaedah Hukum sebagai tata hukum Hukum sebagai petugas hukum Hukum sebagai ketentuan dari penguasa
21
6. Hukum sebagai suatu proses pemerintahan 7. Hukum sebagai pola-pola perikelakuan 8. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai
2. Sifat dari Hukum Tidak semua orang mau mentaati kaedah-kaedah hukum, dan agar supaya sesuatu peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaedah hukum, maka peraturan hidup kemasyarakatan itu harus diperlengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian hukum itu mempunyai unsur atau sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak patuh mentaatinya.
3. Tujuan Hukum Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macam hubungan antar anggota masyarakat, yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingankepentingan anggota masyarakat tersebut. Dengan banyaknya hubungan tersebut, para anggota masyarakat memerlukan aturan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan tersebut tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat. Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam hubungan antar anggota masyarakat, maka diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak dan keinsyapan tiap-tiap anggota masyarakat. Peraturan-peraturan
22
hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh dan mentaatinya,
menyebabkan
terdapatnya
keseimbangan
dalam
hubungan
masyarakat. setiap hubungan masyarakat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Setiap pelanggar peraturan hukum, akan dikenakan sanksi yang berupa hukuman sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum. Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan. Menurut Subekti ( Kansil, 1989 : 41 ) bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Lain halnya dengan pendapat Apeldoorn ( Kansil, 1989 : 41 ) bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai.
c. Pengertian masyarakat 1. Pengertian Masyarakat Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia, merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. Hidup bersama sebagai perhubungan antara individu berbeda-beda tingkatnya. Persatuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama itu lazim di sebut masyarakat. Masyarakat merupakan istilah yang diambil dari akar kata Arab “Syaraka” yang
23
berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Masyarakat adalh sekumpulan manusia yang saling bergaul atau dengan istilah ilmiah, saling berinteraksi. Menurut kodrat alam, manusia tak terdapat seorangpun yang hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dam keadaan terpaksa dan itupun untuk sementara waktu. Dalam diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam satu kelompok, hasrat untuk bermasyarakat.
Aristoteles (Kansil 29: 1979) menyatakan dalam ajarannya,
bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon artinya bahwa manusia ia sebagai mahluk pada dasarnya selain ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi manusia yang suka bermasyakat. Dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut mahluk sosial. Kansil ( 1989 : 30 ) menyatakan bahwa : Masyarakat itu terbentuk apabila ada dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup itu timbul berbagai hubungan atau pertalian yang mengakibatkan bahwa antara satu orang dengan yang lainnya itu saling kenal mengenal dan pengaruh mempengaruhi.
2. Bentuk Masyarakat Masyarakat sebagai bentuk pergaulan hidup bermacam-macam ragamnya, diantaranya : Berdasarkan hubungan yang diciptakan para anggotanya
24
1) Masyarakat paguyuban (gemeinschaft), apabila hubungan itu bersifat kepribadian dan menimbulkan ikatan batin, misalnya rumah tangga, perkumpulan kematian dan sebagainya. 2) Masyarakat patembayan (gesellschaft), apabila hubungan itu bersifat
tidak
kepribadian
dan
bertujuan
untuk
mencapai
keuntungan kebendaan. Berdasarkan sifat pembentukannya 1) Masyarakat yang teratur oleh karena sengaja diatur untuk tujuan tertentu. 2) Masyarakat yang teratur tetapi terjadi dengan sendirinya, oleh karena orang-orang yang bersangkutan mempunyai kepentinagn bersama. 3) Masyarakat yang tidak teratur Berdasarkan hubungan kekeluargaan Berdasarkan hubungan kekeluargaan meliputi : rumah tangga, sanak saudara, suku, bangsa, dan lain-lain. Berdasarkan peri kehidupan/ kebudayaan 1) Masyarakat primitive dan modern 2) Masyarakat desa dan masyarakat kota
25
3) Masyarakat teritorial, yang anggota-anggotanya bertempat tinggal dalam satu daerah 4) Masyarkat geneologis, yang anggota-anggotanya mempunyai pertalian darah (keturunan) 5) Masyarakat
teritorial-geneologis,
yang
anggota-anggotanya
bertempat tinggal dalam satu daerah dan mereka adalah seketurunan.
d. Pengertian kesadaran Hukum 1. Pengertian Kesadaran Hukum Paham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada diri warga masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi sahnya hukum. pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul di dalam proses penerapan dari hukum tertulis. Di dalam kerangka proses tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran masyarakat) dengan kenyataan yang dipatuhinya (atau tidak ditaatinya) hukum tersebut. Merupakan suatu keadaan yang di cita-citakan atau dikendaki, bahwa ada keserasian proposional antara pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum.
Pendapat tersebut mengarahkan persoalan pada masalah untuk siapa hukum di buat, siapa yang merasakan dan menerima hukum tersebut. Masalah yang sama juga terungkapkan oleh ajaran-ajaran yang berpendapat pokok, bahwa
26
sahnya hukum ditentukan oleh kesadaran dari kelompok sosial. Yang penting adalah kesungguhan daripada tekanan-tekanan sosial yang ada dibelakang peraturan-peraturan, dimana menyebabkan timbulnya faktor ketaatan terhadapnya. Kemudian dinyatakan, bahwa pembentukan hukum harus didasarkan pada tata kelakuan (= mores) yang ada dan agar pembentukan hukum mempunyai kekuatan, maka proses tersebut harus konsisten dengan tata kelakuan tersebut. Podgorecki pernah pula membahas masalah ini dengan mengkhususkan fokusnya terhadap pembentukan hukum dan masyarakat. Apabila pembentuk hukum menerbitkan peraturan-peraturan
yang tidak cocok dengan kesadaran atau perasaan
masyarakat, maka diharapkan akan timbul reaksi-reaksi yang negatif dari masyarakat. Semakin besar pertentangan antara peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit untuk menerapkannya. Sudah tentu bahwa pembentuk hukum dapat memberlakukannya dengan paksaan. Sebaliknya apabila peraturanperaturan tadi sesuai dengan kesadaran masyarakat, maka masalah-masalah di dalam penerapannya hampir tidak ada. Soerjono Soekanto (1982 : 152) mengatakan bahwa : “kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang di harapkan ada”. Dari keterangan-keterangan di atas kiranya jelas bahwa hukum merupakan konkretisasi daripada sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya kesesuaian antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau di lain pihak hukum harus
27
dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut. Dengan demikian masalah kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai. Maka kesadaran hukum merupakan konsepsikonsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Menurut Ahmad Sanusi (1991 : 227), kesadaran hukum ialah potensi memasyarakat dan membudaya dengan kaidah-kaidah mengikat dan dapat dipaksakan. Kesadaran hukum bersifat relatif dalam isinya maupun kekuatannya terhadap waktu dan tempat, ia berlangsung dalam proses pembentukannya, perkembangannya
dan
kestabilannya
untuk
kemudian
berubah
dengan
pembaharuan lagi. Sebagai batasan yang khusus dapat diartikan tentang kesadaran hukum itu sebagai potensi atau daya yang mengandung : 1. Persepsi pengenalan, ketahuan, ingatan, dan pengertian tentang hukum, termasuk konsekuensi-konsekuensinya; 2. Harapan, kepercayaan bahwa hokum dapat memberi sesuatu kegunaan serta memberi perlindungan dan jaminannya dengan kepastian dan rasa keadilan. 3. Perasaan perlu dan butuh akan jasa-jasa hukum, dank arena itu sedia menghormatinya 4. Perasaan khawatir dan takut melanggar hukum, karena jika dilanggar maka sanksi-sanksinya dapat dipaksakan 5. Orientasi, perhatian, kesanggupan, kemauan baik, sikap dan kesediaan serta keberanian mentaati hukum dalam hak maupun kewajibannya, karena kebenaran, keadilan dan kepastian hukum itu adalah kepentingan umum.
2.
Tingkatan-Tingkatan Kesadaran Pada hakekatnya setiap anggota masyarakat telah mempunyai kesadaran
hukum, akan tetapi masalahnya yaitu bahwa kesadaran hukum yang dimiliki oleh setiap orang tidaklah sama.
28
Ahmad Sanusi juga membedakan tingkatan nilai-nilai kesadaran hukum seseorang dan kepatuhannya pada hukum dalam enam pola yaitu : 1. Takut akan hukum Kesadaran hukum dan penataan hukum didasarkan pada rasa takut atau khawatir akan sanksi dan ancaman hukum jika tidak ditaati. Oleh karena itu orang taat pada hukum tertentu dikarenakan takut pada hukumnya secara fisik. 2. Pragmatisme Instrumental Kesadaran hukum dan penataan hukum didasarkan pada adanya peraturan umum atau ketentuan-ketentuan yang dinegosiasikan dan perjanjian. Hukum itu instrumental, bagaimanapun isinya, karena itu harus ditaati. 3. Rasa senasib Interpersonal Kesadaran hukum dan penataan hukum didasarkan pada ekspetasi dari kelompoknya terhadap yang bersangkutan. Orang mempertimbangkan dan menilik perbuatannya dari sudut kepatuhan sebagaimana kelompok itu yang menunjukkan keterkaitannya kepada moral tertentu 4. Konfirmasi Kemasyarakat Kesadaran hukum dan penataan hukum didasarkan pada sikap konformis pada kaidah-kaidah dan kebiasaan yang sedang menjadi preferensi dari penguasaan dan golongan elitbya. Disini kesadaran hukum dikaitkan pada nilai-nilai resmi yang disuarakan pada pejabat atau tokoh masyarakat 5. Kemajuan / Kepentingan umum Kesadaran hukum dan penataan hukum didasarkan pada kemajuan kepentingan umum, yaitu yang telah diuji standarnya dengan seksama secara dogmatis dan atas dasar keakuan. 6. Kesadaran Hukum dan penataan hukum didasarkan pada kaidah umum masyarakat bagi martabat manusia. Antara lain pendekatan, kesamaan, keadilan, dan lain-lain, di dalam konstitusi atau yang diajarkan oleh agama.
Apabila tingkat kesadaran hukum dikaitkan dengan tingkat kesadaran seseorang. maka kesadaran hukum dapatlah dibagi dalam tingkatan-tingkatan. Menurut NY Bull yang dikutip kembali oleh Kosasih Djahiri (1985 : 24) mengajukan tingkat kesadaran : 1) Kesadaran hukum bersifat anomous yakni kesadaran terhadap hukum yang berlaku dengan tidak dilandasi oleh alasan atau orientasi yang jelas, kesadaran hukum ini merupakan tingkat yang rendah. 2) Kesadaran hukum bersifat heteronomous, yakni kesadaran terhadap hukum yang berlaku dengan dilandasi oleh alasan atau orientasi atau motivasi
29
yang beraneka ragam atau berganti-ganti, kesadaran ini kurang mantap karena mudah berubah oleh situasi dan keadaan. 3) Kepatuhan yang bersifat Sosio-nomous yaitu yang berlaku berlandaskan pada kiprah umum atau karena khalayak ramai. 4) Kesadaran yang bersifat autonomous, yakni yang terbaik karena kesadaran hukum yang berlaku yang dilandasi oleh konsep atau kesadaran yang ada dalam diri seseorang, Kesadaran autonomous inilah yang diharapkan dimiliki oleh masyarakat karena kesadaran tersebut timbul didasari oleh pengetahuan dan pemahaman serta penghayatan terhadap hukum yang berlaku.
Tingkat dan tahap-tahap tersebut di atas dipandang sebagai ukuran kualitatif, semakin tinggi kesadaran hukum seseorang semakin baik kesadaran dan kepatuhan hukumnya. Jadi jelaslah bahwa apabila warga masyarakat yang mentaati peraturan dalam membayar pajak bumi dan bangunan, dan patuhnya itu karena ada petugas atau fiskus yang memungut iuran pajak bumi dan bangunan, maka anggota masyarakat tersebut dikategorikan sudah memiliki kesadaran hukum walaupun baru pada tahap kadar hukum tingkat anomous. Beberapa sarjana lain mengemukakan tingkat kesadaran sebagai berikut : 1. Patuh / sadar karena takut pada orang /kekuasaan/paksaan (authorityoriented) 2. Patuh karena ingin dipuji 3. Patuh karena kiprah umum / masyarakat 4. Taat atas dasar adanya aturan dan hokum serta untuk ketertiban (law & order oriented) 5. Taat karena dasar keuntungan atau kepentingan 6. Taat karena memang hal tersebut memuaskan baginya 7. Patuh karena dasar prinsip ethis yang layak universal (Universal Ethical Principle). Dari ungkapan-ungkapan tadi kiranya Nampak pertautan erat antara tingkat kepatuhan/kesadaran dengan motivasi/dasar ketaatan/kesadaran. 3. Indikator-Indikator Kesadaran Hukum
30
Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilainilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat. Validitas hukum diletakkan pada nilainilai yang berlaku dalam masyarakat. Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu : 1. Pengetahuan Hukum 2. Pemahaman hukum 3. Sikap hukum, dan 4. Pola perilaku hukum. Setiap indikator menunjuk pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu bahwa hukum yang dimaksud di sini adalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Pengetahuan hukum tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah di undangkan. Sebagaimana dikemukakan Kutchinsky yang di ungkapkan lagi oleh Otje Saliman (40 : 2007) : Traditional legislative procedure is based on the unquestioned assumptions that once bill has been passed in parliament and duly published, the
31
necessary knowledge about law is automatically disseminated among public.
Pemahaman hukum dalam arti di sini adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahamana hukum, tidak disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur sesuatu hal. Akan tetapi dilihat di sini adalah bagaimana persepsi mereka menghadapi berbagai hal dalam kaitannya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari. Pemahaman hukum ini dapat diperoleh bila peraturan tersebut dapat atau mudah dimengerti oleh warga masyarakat. Dengan demikian sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum tersebut ditaati. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat di masyarakat. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.
32
Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat. Terdapat kaitan antara kesadaran hukum dengan kebudayaan hukum. Keterkaitan tersebut dapat dilihat bahwa kesadaran hukum banyak sekali berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan yang sering kali dianggap faktor-faktor yang mempengaruhi hubugan antara hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat. Ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya ajaran kesadaran hukum lebih menitikberatkan kepada nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Sistem nilai-nilai akan menghasilkan patokan-patokan untuk berproses yang bersifat psikologis, antara lain pola-pola berfikir yang menentukan sikap mental manusia, sikap mental yang pada hakikatnya merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku, membentuk pola-pola perilaku maupun kaidah-kaidah. Bila dianggap bahwa hukum merupakan konkretisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut. Nyatalah bahwa kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai. Jadi kesadaran hukum adalah konsepsi
33
abstrak di dalam manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila indikator-indikator dari kesadaran hukum dipenuhi, maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, begitu pula sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum warga masyarakat mengakibatkan para warga masyarakat menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, begitu pula sebaliknya, apabila derajat kesadaran hukumnya rendah maka derajat ketaatan terhadap hukum juga rendah. Apabila dipandang secara sempit, konsepsi kesadaran hukum seakan mensyaratkan terdapatnya peraturan-peraturan hukum terlebih dahulu sebelum kesadaran hukum timbul. Pemikiran tersebut tentu tidak salah apabila memang suatu peraturan telah ada sebelumnya. Dalam sudut pandang yang lebih luas, konsepsi ini dapat diterapkan dari dua titik pusat. Apabila titik pusat kesadaran hukum adalah peraturan-peraturan hukum, melalui konsepsi ini dapat dilihat sampai sejauh mana efektivitas peraturan-peraturan hukum tersebut dalam masyarakat. Sementara bila titik pusat kesadaran hukum adalah fakta-fakta sosial melaui konsep ini dapat dilihat proses pembentukan hukum dari fakta-fakta sosial tersebut. 4. Kaitan Kesadaran Hukum dengan Kepatuhan Hukum Di dalam sosiologi, maka masalah kepatuhan terhadap kaedah-kaedah telah menjadi pokok permasalahan yang cukup banyak dibicarakan. Yang pada umumnya menjadi pusat perhatian adalah basis-basis atau dasar-dasar daripada
34
kepatuhan tersebut. Dalam hal ini, Bierstedt (Soerjono Soekanto 1982 : 225) membaginya kedalam 4 dasar yaitu : 1. Indoctrination Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi kaedah-kaedah adalah karena dia diindoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya, maka kaedah-kaedah telah ada waktu seseorang dilahirkan dan semula manusia menerimanya secara tidak sadar. Melalui proses sosialisasi manusia dididik untuk mengenal, mengetahui serta mematuhi kaedah-kaedah tersebut. 2. Habituation Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku. Memang pada mulanya adalah susah sekali untuk mematuhi kaedah-kaedah tadi yang seolah-olah mengekang kebebasan. Akan tetapi, apabila hal itu setiap hari ditemui, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhinya terutama apabila manusia sudah mulai mengulangi perbuatan-perbuatannya dengan bentuk dan cara yang sama. 3. Utility Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang, belum tentu pantas dan teratur bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut. Patokan-patokan tadi merupakan pedoman-pedoman atau takarantakaran tentang tingkah laku dan dinamakan kaedah. Dengan demikian, maka salah satu faktor menyebabkan orang taat pada kaedah adalah karena kegunaan dari pada kaedah tersebut. Manusia menyadari, bahwa kalau dia hendak hidup pantas dan teratur maka diperlukan kaedahkaedah. 4. Group Identification Salah satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaedah adalah karena kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mngadakan identifikasi dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam kelompoknya bukan karena dia menganggap kelompoknya lebih dominan dari kelompok-kelompok lain lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompoknya tadi. Bahkan kadang-kadang seseorang mematuhi kaedah-kaedah kelompok lain karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompok lain tersebut.
35
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat diartikan bahwa seseorang itu bersikap patuh atau taat pada kaidah-kaidah hukum bukan saja karena satu alasan akan tetapi karena dilatarbelakangi oleh berbagai alasan atau sebab. Untuk lebih menambah alasan mengapa seseorang itu patuh pada kaidah-kaidah hukum yang ada, penulis disini akan mengambil alasan-alasan yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Piaget (Soerjono Soekanto, 1982 : 229) mengemukakan : Seseorang individu taat pada kaidah-kaidah hukum karena ia mempunyai perasaan keadilan yang bersifat timbal balik. Hal ini timbul dan tumbuh sebagai akibat daripa partisipasinya dalam hubungan-hubungan sosial terutama dalam kelompok-kelompok seusianya. Kaidah-kaidah yang berlaku dalam kelompok tersebut merupakan konfigurasi kebudayaan yang diabsorbikan oleh anggota-anggota kelompok tersebut yang sekaligus menganggapnya sebagai referensi. Referensi tersebut sangat penting baginya, karena mnerupakan suatu sarana untuk berasimilasi dengan realitas sosial yang menolongnya untuk mengadakan akomodasi terhadap perikelakuannya.
Masalah Kepatuhan hukum sebetulnya menyangkut proses internalisasi (internalization) dari hukum tersebut
Proses internalisasi di mulai pada saat
seseorang dihadapkan oleh hukum, pada situasi tertentu. Awal dari pada proses inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar, di mana terjadi suatu perubahan pada pendirian seseorang. Masalah kepatuhan hukum merupakan suatu proses psikologis yang dapat dikembalikan pada tiga proses dasar seperti yang dikemukakan oleh H.C.Kelman ( Soerjono Soekanto 1982 : 230 ), yaitu : 1. Compliance yang diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaedah hokum yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya maka kepatuhan akan ada, apabila ada
36
pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaedah-kaedah hukum tersebut. 2. Identification, terjadi apabila kepatuhan terhadap kaedah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaedah-kaedah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubunganhubungan tersebut, sehingga kepatuhanpun tergantung pada buruk baiknya interaksi tadi. 3. Internalization, pada internalization seseorang mematuhi kaedahkaedah hukum oleh karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Pusat kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaedah-kaedah bersangkutan, terlepas dari perasaan atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya.
Di dalam sosiologi hukum teori-teori tentang kepatuhan hukum pada umumnya dapat digolongkan kedalam teori paksaan (dwang theorie) dan teori consensus (consensus Theorie). Salah seorang tokoh dari teori paksaan adalah Max Weber yang bertitik tolak pada asumsi bahwa penguasa mempunyai monopoli terhadap sarana-sarana paksaan secara fisik yang merupakan dasar bagi tujuan hokum untuk mencapai tata tertib atau ketertiban. Teori-teori selanjutnya berkisar pada penerapan sanksi-sanksi sebagai faktor yang menyebabkan kepatuhan hukum. Sanksi pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap pelanggaran kaedah-kaedah kelompok. Sanksi tersebut dapat berwujud sebagai sanksi positif dan negatif. Sanksi-sanksi positif adalah unsur-unsur yang mendorong terjadinya kepatuhan atau perikelakuan yang sesuai dengan kaedah-kaedah. Sebaliknya sanksi-sanksi negatif menjatuhkan kepada pelanggar-pelanggar.
37
Dengan demikian maka proses pemberian sanksi-sanksi mencakup suatu sistem imbalan dan hukuman, yang akibatnya adalah suatu dukungan yang efektif untuk mematuhi kaedah-kaedah. Selanjutnya Hoefnagels (Soerjono Soekanto 1982 : 234) membedakan bermacam-macam derajat kepatuhan hukum sebagai berikut : 1. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya bilamana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka yang berwenang. 2. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan. 3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan kaedah tersebut maupun pada nilai-nilai dari penguasa. 4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang. 5. Seseorang sama sekali tidak setuju kesemuanya dan diapun tidak patuh pada hukum.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa kesadaran hukum mencakup unsur-unsur pengetahuan tentang hukum, pengetahuan tentang isi hukum, sikap hukum dan pola perikelakuan hukum.
C. Pajak Bumi dan Bangunan 1. Latar belakang Perkembangan Pajak Pajak
sudah
ada
sejak
zaman
Romawi
kuno.
Namun
akibat
penyalahgunaan wewenang pihak penguasa pada waktuitu, maka iuran yang seharusnya untuk Negara itu tidak popular dan malah membuat orang sengsara. Pada zaman feudal, pajak merupakan pungutan untuk kepentingan pertahanan.
38
Dengan pungutan feodal ini tidaklah otomatis berarti bahwa setiap wajib pajak memperoleh perlindungan yang diperlukannya dari sang penguasa. Setelah merdeka, masalah perpajakan tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai sumber pendapatan Negara untuk membiayai proses pembangunan yang sedang berlangsung. Pengertian ini secara tidak langsung akan membawa pada aspek hukum tentang penerimaan Negara. Masalah perpajakan perpajakan pada dasarnya tidak bisa lepas dari kerangka Pancasila sebagai landasan idiologi. Pancasila pada hakikatnya mengandung sifat gotong royong dan mempunyai rasa kekeluargaan. Hal ini tersirat dalam sila keempay dan kelima, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dalam mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pengertian Pajak Banyak para ahli dalam bidang perpajakan yang memberikan pengertian atau definisi yang berbeda-beda mengenai pajak, namun demikian berbagai definisi tersebut mempunyai inti atau tujuan yang sama. Definisi yang diberikan oleh Rochmat Soemitro yang dikutip kembali oleh Mardiasmo ( 2004 : 1) menyatakan sebagai berikut : Pajak ialah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
39
Selanjutnya, dalam Undang-Undang ketentuan umum dan tata cara peerpajakan ( 2008 : 2), disebutkan bahwa pajak adalah : Konstribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: 1. Iuran dari rakyat kepada Negara Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa uang 2. Berdasarkan Undang-Undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timabal balik atau kontrapretasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontrapretasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
40
Jadi sangat jelas bahwa pajak itu merupakan iuran dari rakyat yang dilakukan berdasarkan Undang-Unadang yang berlaku.
3. Faktor-faktor keengganan masyarakat untuk membayar pajak Dipahami bahwa kebanyakan Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia kesadaran masyarakat untuk membayar pajak masih relatip rendah. Salah satu penyebabnya adalah pengeluaran pemerintah selama ini sebagian besar dibiayai dari sumber penerimaan dari luar pajak. Di samping itu terdapat gejala yang kurang baik, yakni adanya segolongan warga yang penghasilannnya berlebih tetapi enggan membayar pajak. Golongan ini sering tidak memikirkan kewajiban sebagai warga Negara yang baik. Mereka berfikiran bahwa pemerintah masih memiliki banyak uang untuk membiayai pembangunan. Mereka acuh tak acuh tanpa pemikiran bagaimana agar tetap diupayakan penerimaan Negara yang sebanyak-banyaknya untuk membiayai pembangunan. Ada juga, pandangan negatif atau trauma masyarakat terhadap peerpajakan masa lalu, tampaknya masih melekat dan menyulitkan aparat pajak dalam upaya pengumpulan penerimaan Negara dari sektor pajak. Untuk itu perlu dicari formula yang dapat mencipatkan suasana dimana wajib pajak ikhlas sebagian miliknya diserahkan kepada pemerintah dalam bentuk pajak. Selama ini, keengganan membayar pajak sebagaimana mestinya masih menonjol. Hal ini dikarenakan berbagai faktor, antara lain :
41
1) Pada umumnya para wajib pajak belum memahami, apalagi menghayati mekanisme bekerjanya bangsa atau Negara. Mereka tidak bisa membayangkan apa manfaat baginya dari pajak yang dipungut dan dihimpun oleh pemerintah. 2) Sarana dan prasarana fisik yang jelas dirasakan sebagai kenikmatan dan jelas disediakan oleh pemerintah dianggapnya sebagai sesuatu yang memang seharusnya ada dan memang wajar, tanpa bertanya pada diri sendiri, siapa sebenarnya yang harus mengeluarkan biaya tersebut. 3) Aparat pemerintah yang dibiayai oleh pajak tidak dirasakan manfaatnya, bahkan cenderung dirasakan mempersulit kehidupannya, atau usahanya. 4) Orang yang mengerti arti pajak sebagai pendapatan yang mutlak diperlukan oleh pemeintah guna membiayai pembangunan, sering kali enggan membayar pajak karena tahu bahwa penggunaannya sering bocor dan penuh penyelewengan. Mereka seakan tidak rela untuk membayar pajak sesuai peraturan. Menurutnya, apa gunanya membayar pajak sepenuhnya kalau akhirnya banyak yang jatuh pada pribadi-pribadi tertentu. 5) Masih ada prinsip-prinsip yang menghambat penerimaan Negara dari sector pajak antara lain : kompromi petugas pajak dengan wajib pajak ; permainan akuntan atau konsultan pajak dengan wajib pajak; dan kompromi wajib pajak dengan oknum instansi lain yang terkait, sehingga bisa lolos dari kewajiban membayar pajak.
42
4.
Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan). Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Yang termasuk kedalam bangunan adalah : 1) Jalan Lingkungan 2) Jalan Tol 3) Pagar mewah 4) Tempat Olahraga 5) Galangan Kapal, Dermaga 6) Taman Mewah 7) Tempat Penampungan atau kilang minyak, air, gas, pipa minyak. 8) Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
5. Objek Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Mardiasmo, objek pajak bumi dan bangunan yaitu : 1. Yang menjadi objek pajak adlah bumi dan bangunan 2. Yang
dimaksud
dengan
klasifikasi
bumi
dan
bangunan
adalah
pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terhutang.
43
Dalam menentukan klasifikasi bumi atau tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : a. Letak tanah/ bangunan b. Peruntukan tanah/ banguan c. Pemanfaatan d. Kondisi lingkungan dan lain-lain Pada faktor-faktor ini dapat ditambahkan : a. Luas tanah, bumi dan bangunan b. Kesuburan atau hasil tanah / bangunan Sedangkan dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktorfaktor sebagai berikut : a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa c. Letak d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
3. Pengecualian Objek Pajak Objek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan adalah objek pajak yang : a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain : 1) Di bidang ibadah, contohnya : masjid, gereja, vihara. 2) Di bidang kesehatan, contohnya : rumah sakit
44
3) Di bidang pendidikan, Contohnya : madrasah, pesantren 4) Di bidang sosial, contohnya: panti asuhan 5) Di bidang kebudayaan nasional, contohnya : museum. b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak d. Digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik e. Digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik f. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan. Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut.
45
4. Objek pajak yang digunakan oleh Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang dimiliki atau dikuasai atau digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Pajak bumi dan bangunan adalah pajak Negara yang sebagian besar penerimaannnya
merupakan
pendapatan
daerah
yang
antara
lain
dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh sebab itu wajar jika pemerintah pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran pajak bumi dan bangunan. 5.
Besarnya nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/ kota dengan besar setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak.
6. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Mardiasmo (2004 : 273) menyataan bahwa : 1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi,
46
dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran atau pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak. 2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak 3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksudkan dalam no. 1 sebagai wajib pajaknya. 4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no. 3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak bahwa ia bukan merupakan wajib pajak terhadap objek pajak yang dimaksud 5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no. 4 disetujui, maka Direktur Jendral Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dalam no. 3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud 6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alas analsannya. 7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dalam no. 4 Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.
47
7. Dasar Pengenaan, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) Apabila nilai jual objek pajak (NJOP) lebih besar atau sama dengan 1.000.000.000, maka persentase NJKP sebesar 40%. Sedangkan apabila NJOP kurang dari Rp 1.000.000.000, maka persentase NJKP sebesar 20%. Dalam menetapkan nilai jual, kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud dengan assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.
8. Cara Perhitungan, Pembayaran, dan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan
1. Cara Perhitungan PBB Rumus Perhitungan PBB adalah sebagai berikut : Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP, di mana besarnya tarif pajak bumi dan bangunan adalah 0,5%. Untuk lebih jelasnya lihat table berikut ini :
48
Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP = 0,5% x [Persentase NJKP x (NJOP-NJOPTKP)]
a. Jika NJKP = 40% x (NJOP- NJOPTKP) maka besarnya PBB = 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP) = 0,2% x (NJOP-NJOPTKP) b. Jika NJKP = 20% x (NJOP-NJOPTKP) maka besarnya PBB = 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP) = 0,1% x (NJOP – NJOPTKP)
Untuk lebih jelasnya, berikut penulis berikan contohnya : Wajib pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOPnya Rp 20.000.000,00. dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp 12.000.000,00. Maka besarnya pajak yang terhutang adalah…… Jawab : = 0,5% x 20% x (Rp 20.000.000,00 – Rp 12.000.000,00) = Rp 8.000,00. Contoh diatas merupakan contoh yang gampang, karena NJOP-nya sudah ada. Tetapi apabila NJOP-nya belum diketahui maka kita terlebih dahulu harus menghitungnya. Berikut ini adalah contohnya : Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa : Tanah seluas 1000 m2 dengan nilai jual Rp 400.000/m2 Bangunan seluas 500 m2 dengan nilai jual Rp 450.000/m2
49
Taman mewah seluas 250 m2 dengan nilai jual Rp 50.000/m2 Pagar mewah sepanjang 200 m dengan tinggi 1,5 m dengan nilai jual 175.000/m2 Dan NJOPTKP untuk daerah tersebut adalah Rp 8.000.000,00. Maka PBB dihitung secara terperinci sebagai berikut : 1. Nilai jual tanah 1000 m2 x Rp 400.000/m2
= 400.000.000
2. Bangunan
= 225.000.000
500 m2 x Rp 450.000/m2
3. Taman Mewah 250m2 x Rp 50.000m/2
=
12.500.000
4. Pagar mewah (200 x 1,5) x 175.000
=
52.500.000 +
Jumlah Nilai jual tanah dan rumah (NJOP)
Rp 690.000.000
Jika NJKP = 20% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya PBB = 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP) = 0,5% x 20% x (Rp 690.000.000 – Rp 8.000.000) = 0,1% x Rp 682.000.000 = Rp 682.000 Jadi beban PBB yang harus dibayar sebesar Rp 682.000 2. Cara pembayaran dan Penagihan PBB Menurut Mardiasmo ( 2004 : 277) dinyatakan bahwa : 1. Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi SPOP atau surat pemberitahuan objek pajak 2. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada Dirjen pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak 3. Dirjen pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya.
Adapun tata cara pembayaran dan penagihan yaitu:
50
1. Pajak yang terhutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambatlambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak 2. Pajak yang terhutang berdasarkan SKP atau surat ketetapan pajak harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak. 3. Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, dikenakan administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. 4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam no 3 di atas, ditambah dengan utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan surat tagihan pajak (STP) yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh wajib pajak 5. Pajak yang terhutang dapat dibayar di Bank, Kantor pos dan giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan 6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh menteri keuangan 7. Surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT), surat ketetapan pajak, dan Surat tagihan pajak(STP) merupakan dasar penagihan pajak 8. Jumlah pajak yang terhutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa.
D. Kesadaran Masyarakat Dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan
51
Upaya pemasyarakatan pajak oleh pemerintah di samping untuk mencapai sasaran jangka pendek yaitu pencapaian rencana penerimaan pajak sebagaimana yang dianggarkan dalam APBN, juga tidak kalah penting adalah mencapai sasaran jangka panjang yaitu menciptakan suasana yang mendukung peningkatan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan sebagai perwujudan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Tika Noorjaya dalam bukunya yang berjudul Sadar Pajak ( 1994 : 15 ) menyebutkan bahwa : Sadar pajak, berarti munculnya rasa tanggung jawab anggota masyarakat membayar iuran kepada Negara bukan hanya karena pajak itu merupakan kewajiban warga Negara, tetapi karena perlu untuk membiayai pembangunan, memang masih perlu ditumbuhkan dan ditanamkan. Sistem perpajakan di Indonesia sejak diadakannya reformasi perpajakan tahun 1993 adalah memberi kepercayaan seluas-luasnya kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri jumlah dari pajaknya yang terhutang. Sistem tersebut lazim kita kenal dengan “Self Assesment”. Sistem yang demikian ini bukannya tidak mengandung konsekuensi dalam mensukeskan pelaksanaannya. Diantara konsekuensi tersebut adalah sistem self assessment menuntut kesadaran wajib pajak yang tidak hanya menganggap sebagai suatu kewajiban saja melainkan lebih dari itu, membayar pajak merupakan tanggungjawab moral.
52
Sadar pajak ditumbuhkan terutama kepada masyarakat bukan hanya tanggungjawab pemerintah dalam hal ini derektorat Jenderal Pajak, tetapi seharusnya menjadi tanggungjawab badan-bdan pemerintah dan badan-badan swasta. Bahkan menumbuhkan sadar pajak juga menjadi tanggungjawab setiap warga Indinesia termasuk guru. Para guru, di dalam maupun di luar lingkuingan sekolah merupakan tokoh masyarakat yang selalu bertindak sebagai juru penerang dan sebagai tokoh yang menjadi panutan bagi peserta didik dan masyarakat lingkungannya. Para guru harus bertindak dan bertingkah laku benar. Para guru dalam berperan menumbuhkan sadar pajak kepada masyarakat tentu tidak sama dengan cara mengajar sperti dalam pendidikan formal di sekolah. Menanamkan
sikap-sikap
positif
kepada
masyarakat
lingkungannya
membutuhkan cara yang berbeda dengan pendidikan formal di dalam kelas. Hal ini perlu disadari dalam menumbuhkan sadar pajak pada masyarakat sekelilingnya. Pengaruh guru dalam menumbuhkan sadar pajak dilandasi oleh pendapat bahwa lingkungan mempunyai peranan dan pengaruh yang positif atau sebaliknya negative terhadap terbentuknya nilai-nilai. Guru yang mampu menciptakan suasana baik untuk bertumbuhnya sikap-sikap positif dalam masyarakat diharapkan akan mampu pula mempengaruhi masyarakat dalam hal sadar pajak. sadar pajak yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat lingkungan merupakan akibat dari terserapnya nilai-nilai hidup yang terpancar dalam dii guru yang menciptakan lingkungan yang bersifat kondusif itu.
53
Peranan guru dalam menumbuhkan sadar pajak pada masyarakat lingkungannya harus dibarengi usaha-usaha tertentu supaya berhasil. Seorang guru untuk bisa mendidik masyarakat sekitar, perlu selalu mendidik dirinya sendiri. Proses mendidik sendiri pada seorang guru harus berlangsung secara terus menerus sebagai proses yang panjang. Proses pembinaan seorang guru dalam menumbuhkan sadar pajak pada masyarakat supaya dapat merangsang maka harus berpijak pada tingkat kesepian mental orang-orang yang akan dipengaruhi. Sadar pajak merupakan sikap-sikap yang didasari oleh pemahaman bahwa seseorang yang menjadi warga Negara yang baik wajib membayar pajak kepada Negara. Membayar pajak yang merupakan pemberian iuran dari penduduk sebagai sumbangan wajib kepada pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, pembelian barang, dan sebagainya perlu disadari oleh setiap anggota masyrakat. Dan adalah tugas guru menanamkan sadar pajak pada para siswa di sekolah. Para siswa memang belum berkewajiban membayar pajak. Mereka, setelah lulus atau keluar dari sekolah serta terjun ke dalam kehidupan masyarakat barulah menjadi wajib pajak. Setelah menamatkan sekolah lanjutan atau kemudian menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, mereka akan memasuki dunia kerja atau dunia usaha. Seorang guru mempunyai tanggungjawab dalam menanamkan
sikap-sikap
moral,
sosial,
religious,
menumbuhkan
dan
mampertinggi budi pekerti serta memperkuat kepribadian pada para siswa. Sosialisasi perpajakan yang bertujuan memberikan pengetahuan perpajakan dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajiban membayar
54
pajak, dapat melibatkan semua unsur pamong desa. Akan tetapi lebih efektif jika melibatkan guru dalam menyampaikan penyuluhan. Di lain pihak, pemerintah dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak dengan memasang iklan layanan masyarakat tentang perpajakan, baik dilayar televisi, radio, maupun surat kabar. Dengan langkah-langkah tersebut maka pemerintah baik itu Dirjen pajak/kantor pajak kiranya akan mampu meningkatkan prestasinya, dan pada dasa warsa yang akan datang menjadi penyokong utama dana pembangunan nasional.