BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1
Pengertian Diaspora Diaspora secara istilah, berasal dari bahasa Yunani yaitu diasperio yang
berarti (penyebaran atau penaburan benih). Istilah diaspora di gunakan oleh orangorang Yunani merujuk kepada warga suatu kota kerajaan yang bermigrasi ke wilayah jajahan, dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan wilayah itu kedalam kerajaan. Dari sisi historis lainnya, kata “diaspora” digunakan untuk merujuk secara khusus kepada penduduk Yahudi yang di buang dari Yudea pada 586 SM oleh Babel, dan Yerusalem pada 135 M oleh kekaisaran Romawi. Istilah ini digunakan berganti-ganti untuk merujuk kepada gerakan historis dari penduduk etnis Israel yang tersebar, perkembangan budaya penduduk itu, atau penduduk itu sendiri.1
Lebih lanjut dalam kamus besar bahasa Indonesia mendifinisikan, (Depdiknas 2012 : 325) bahwa diaspora adalah masa tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara, misalnya bangsa Yahudi sebelum negara Israel berdiri pada tahun 1948.2
1
2
Eman Surachma, Jurnal SPATIAL (Edukasi Migran Berkualitas Dan Diaspora Indonesia : Dimensi Kependudukan Dalam Berkelanjutan Pembangunan), Volume 9 Nomor 1, 2011, hlm. 50-51. Departemen Pendidikan Nasional. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke Empat). PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2012. hlm. 325.
Namun demikian, secara akademis studi tentang diaspora baru dikaji dan menjadi perhatian para ahli pada akhir abad ke-20, yang di awali oleh Jacob Riis. Isu sentralnya pada abad ke-20 khususnya telah terjadi krisis pengungsi etnis besar-besaran, karena peperangan dan bangkitnya nasionalisme, fasisme, komunisme, dan rasisme, serta karena berbagai bencana alam dan kehancuran ekonomi. Pada paruh pertama dari abad ke-20 ratusan juta orang terpaksa menggungsi di seluruh Eropa, Asia dan Afrika Utara. Banyak dari para pengungsi yang tidak meninggal (karena kelaparan atau perang), pergi ke Benua Amerika.
Di bidang akademik dari studi diaspora terbentuk pada akhir abad ke-20, sehubungan dengan meluasnya arti 'diaspora'.Dapat disimpulkan bahwa diaspora terbentuk pada pertengahan abad ke-20, namun pada kenyataannya makna diaspora yang diperluas baru disediliki pada akhir abad ke-20.
Menurut Laevi dan Swedenburg 1991, (Arie Setyaningrum 2004 : 182) diaspora merupakan suatu migrasi secara massifkelompok-kelompok orang kulit berwarna (non-kulit putih/Eropa) ke „jantung pusat Eropa‟selama dan sesudah kolonialisme barat.
Lebih lanjut, menurut Wang Gung Wu (Arie Setyaningrum 2004 : 182) diaspora Cina memiliki setidaknya empat pola migrasi, yakni : sebagai kuli (Huagong), sebagai pedagang (Huangshang), sebagai perantauan (Huaqio), dan
sebagai keturunan perantauan Cina yang bermigrasi ke tempat yang lainnya (Huayi).3
Dalam pola-pola migrasi tersebut, terdapat berbagai karakteristik yang berbeda dan juga sejarah yang khusus. Pola migrasi sebagai kuli (the cooliepattern/Huagong), pada awalnya muncul sebagai akibat dari dihapusnya perbudakan di Barat pada saat banyak etnis perantauan Cina dipekerjakan sebagai buruh-buruh bagi perkebunan, pertambangan, pembangunan konstruksi jalan raya dan rel kereta api, di Amerika Utara, Asia Tenggara, dan Australia. Sebagai uapaya untuk dapat bertahan baik secara fisik maupun secara psikologis, etnis perantau Cina ini berupaya untuk mempertahankan bahasa mereka serta mempraktekan ritual dan kebudayaan mereka dalam suatu komunitas terbatas yang ikut mempengaruhi terbentuknya wilayah-wilayah pemukiman orang-orang Cina seperti Chinatown.
Pola migrasi sebagai pedagang (Huangshang) merujuk pada sekelompok etnis perantauan Cina yang bekerja sebagai pedagang atau sebagai pekerja yang memiliki keahlian tertentu yang mendiami wilayah seperti pelabuhan ataupun pusat-pusat perdagangan.Kelompok pedagang ini menggunakan norma-norma Cina dalam mengelola hubungan bisnis mereka termasuk dalam bernegosiasi, sementara mereka juga mulai menerima bahasa dan norma-norma sosial setempat. Menurut Wang Gu Wu, dalam pola kedua ini, berlansung asimilasi budaya antara
3
Arie Setyaningrum, Op.cit.,hlm. 182-185.
sense sebagai orang Cina maupun nilai-nilai (khusunya Barat) yang dianut masyarakat setempat.
Sementara itu pola ketiga,yakni sebagai perantauan (Huaqiao) berlaku bagi seluruh etnis Cina yang tersebar di seluruh dunia di luar daratan Cina (Mainland China), apapun jenis pekerjaan mereka. Lebih jauh Wang Gung Wu melihat bahwa „Huaqiao’ menjadi sebuah fenomena migrasi yang amat terkenal khususya sejak terjadinya kekacauan politik yang berlangsung di daratan Cina antara tahun 1900-1911 sebagai akibat dari pergerakan nasionalisme yang dipimpin oleh jenderal Sun Yat Sen. Sedangkan pola migrasi keempat (Huayi), merupakan pola migrasi yang dilakukan oleh keturunan etnis Cina yang sudah lama menetap di suatu tempat seperti misalnya di Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia), dan melakukan migrasi ke Negara-negara lain seperti ke Kanada, Eropa Barat dan Australia.
Pergerakan diasporik dari tipe ke empat ini sudah merupakan kecenderungan yang terus berlangsung selama tiga puluh tahun terakhir ini. Dalam tipe terakhir inilah kita menemukan sekelompok orang yang benar-benar terdidik dan memiliki budaya yang unik, bahkan mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai „Cosmopolitant Chinese’. Pola-pola tersebut menjelaskan latar belakang sejarah dari berbagai bentuk migrasi orang-orang Cina ke berbagai tempat dalam kurun waktu yang berbeda.
2.1.1
Pengertian Etnis
Makna etnis yang paling sederhana dan yang paling dekat cenderung dilihat dari penampakan fisik yakni tubuh.Ciri khas fisik berfungsi sebagai penanda identitas yang seketika itu menegaskan “siapa kita” dan “siapa mereka yang bisa membangkitkan rasa solidaritas.
Joseph R. Rudolf mengemukakan (Ubed Abdillah : 2002:15), Etnik atau ethnosdalam bahasa Yunani pada suatu pengertian identik dengan dasar geografis dalam suatu batas batas wilayah dengan sistem tertentu.4
Lebih lanjut Abdilah (Ayu Windy Kinasih : 2007:13) mengemukakan etnis adalah sebuah pola relasi antar manusia. Dalam hal ini pola yang diwarnai adanya pembatasan atas dasar ciri-ciri dan menampilkan fisik kasar manusia, warna kulit, warna rambut, agama, bahasa, dan adat istiadat.5
Erikson 1993, (Ayu Windy Kinasih : 2007:14) mengatakan bahwa syarat kemunculan etnisitas atau suatu kelompok etnis adalah bahwa kelompok tersebut paling tidak telah menjalin hubungan atau kontak dengan etnis lain, dan masingmasing menerima gagasan ide-ide perbedaan di antara mereka.
4
5
Ubed Abdilah S. Politik Identitas Etnis, (Pergulantan Tanda Tanpa Identitas),Yayasan IndonesiaTera : Magelang, 2002. hal.15 Ayu Windy Kinasih.Ibid.hal. 13-14.
Karakteristik yang melekat pada satu kelompok entis adalah tumbuhnya perasaan dalam suatu komunitas (sense of community) diantara para anggotanya sehingga terselenggaralah rasa kekerabatan.
2.1.2
Asimilasi Asimilasi dapat di definisikan sebagai suatu proses sosial yang telah lanjut
dan ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi berkurangnya perbedaan perbedaan yang terdapat antara individu-individu, kelompok-kelompok manusia, dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.
Lebih lanjut asimilasi dapat dikatakan sebagai satu proses sosial yang telah lanjut yang ditandai oleh makin kurangnya perbedaan antara individu-individu dan antara kelompok-kelompok serta makin eratnya persatuan aksi sikap dan proses mental yang berhubungan dengan kepentingan dan tujuan yang sama. Asimilasi merupakan salah satu hubungan antar etnik atau ras dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh upaya mengurangi perbedaan-perbedaan di antara mereka demi meningkatkan kesatuan tindak sikap untuk mencapai tujuan bersama. Apabila kelompok etnik mengadakan asimilasi, maka mereka akan mengidentifikasi dirinya sebagai satu kelompok baru proses asimilasi itu ditandai oleh pengembangan sikap-sikap yang sama, yang walaupun terkadang bersifat
emosional, bertujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit mencapai integrasi dalam organisasi atau tindakan6. Bentuk hubungan antarras atau antaretnik yang dikategorikan sebagai asimilasi ini penting untuk diperhatikan dalam masyarakat multikultur, karena tipe masyarakat ini tersusun oleh beragam etnik yang memiliki latar belakang kebudayaan ketika beragam etnik itu berkumpul, maka jadilah masyarakat campuran (mixed society), yang dalam perkembangannya membentuk suatu masyarakat dengan kebudayaan baru. Konsep ini pada awalanya dikenal dengan melting pot dan dalam perkembangannya berubah makna karena timbulnya kesadaran multikulturalisme dan pluralisme budaya7.
Analisis sosiologi-antropologi membagi beberapa jenis asimilasi, yaitu 8:
1. Asimilasi Budaya: proses mengadopsi nilai, kepercayaan, dogma, ideology, bahasa, dan sistem simbol suatu kelompok etnik bagi terbentuknya sebuah kandungan nilai, kepercayaan, dogma, ideology, mapun system symbol dari kelompok etnis yang lain. 2. Asimilasi Struktural: proses penetrasi kebudayaan dari suatu kelompok etnik ke dalam kelompok etnik lain melalui kelompok primer, seperti keluarga, teman dekat, klik dalam kelompok. 6
Alo Liliweri. Prasangka dan Konflik, (Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural). Yoyakarta, PT LKIS Pelangi Aksara : 2005, hal. 137. 21 Alo Liliweri,Op.cit., hlm. 137-139.
3. Asimilasi perkawinan: sering juga disebut asimilasi fisik, yang terjadi karena perkawinan antaretnik atau antarras untuk melahirkan kelompok etnik atau ras baru. 4. Asimilasi Identifikasi, yakni proses identifikasi individu-individu dari suatu kelompok etnik dengan menciptakan identitas personal mereka sendiri agar dapat berpartisipasi atau menanamkan pengaruhnya dalam institusi sosial etnik lain. 5. Asimilasi sikap represional merupakan bentuk asimilasi yang dilakukan oleh satu kelompok etnik dengan mengurangi sikap diskriminasi atau mengurangi stereotip, stigma, dan labelterhadap etnik lain. 6. Asimilasi perilaku resepsional adalah salah satu bentuk asimilasi antar etnik, yang ditunjukan oleh etnik tertentu yang tidak mau terlibat dalam tindakan diskriminasi terhadap etnik lain. 7. Asimilasi kewarganegaraan merupakan asimilasi yang dilakukan oleh kelompok etnik atau ras tertentu dengan memasukan nilai-nilai dasar kebudayaannya ke dalam arena politik, pemerintahan, dan kehidupan berbangsa-bernegara.
2.1.3
Definisi Masyarakat Konsep masyarakat yang dipakai dalam penelitian ini dimaksud agar
mendapat pengertian dan pemahaman mendalam tentang pola tingkah laku kehidupan masyarakat dalam suatu komunitas tertentu, serta kesatun kolektif, dalam hal ini pengaruh diaspora etnis cina terhadap masyarakat Gorontalo dalam penelitian ini.
Istilah masyarakat paling lazim dikatakan sebagai kesatuan-kesatuan sosial, atau kelompok-kelompok manusia yang memiliki tujuan hidup bersama. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah societyyang berasal kata latin “socius” yang berarti kawan. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti “ikut serta, partisipasi”.
Robert M. Mac Iver dan Charles H. Page (Dewi Wulansari : 2009:17), mengemukakan: “Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan golongan dari pengawasan tingkah laku, serta kebiasaan-kebiasaan manusia yang selalu berubah.9 Aguste Comte (Abdul Syani, 1998 : 46) mengemukakan: “Masyarakat merupakan kelompok-kelompok mahluk hidup dengan realitas baru yang berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri dan berkembang menurut perkembangan yang tersendiri. Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang khas bagi manusia, sehingga tanpa kelompok manusia tidak akan mampu untuk dapat berbuat banyak dalam kehidupannya.10
Ralph Linton (Dewi Wulansari : 2009:18) mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri
9
Dewi Wulansari. (Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung, Refika Aditama : 2009), hal. 17-19. Abdul Syani. (Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Jakarta, Pustaka Jaya : 1998),hal. 46.
10
mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
Lebih lanjut Selo Soemardjan (Dewi Wulansari : 2009:18) mengatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
P.J. Bouman (Dewi Wulansari : 2009:18) mengemukakan masyarakat adalah suatu bentuk pergaulan hidup yang akrab antara manusia, dipersatukan dengan cara tertentu oleh hasrat-hasrat kemasyarakatan mereka.
Berdasarkan definisi-definisi di atas Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan masyarkat itu mencakup beberapa unsur yaitu:
1. Adanya manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada, akan tetapi secara teoritis, angka minimalnya adalah dua orang yang hidup bersama. 2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati, seperti meja, kursi dan sebagainya. Oleh degan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti;
mereka juga
memiliki
keinginan-keinginan untuk
menyampaikan kesan-kesan atau perasaannya. Sebagai akibat hidup
bersama itu timbulah sistem komunikasi peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar-manusia dalam kelompok tersebut. 3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan. 4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.
Menurut Soerjono Soekanto (Dewi Wulansari : 2009:19) Istilah masyarakat di atas, menunjuk pada sejumlah manusia yang telah hidup bersama dengan mereka menciptakan peraturan-peraturan pergaulan. Dengan terciptanya sistem pergaulan, kemudian diciptakan pula keadaan-keadaan pergaulan yang akhirnya menciptakan kebudayaan masyarakat tersebut.
Berdasarkan kriteria tersebut definisi masyarakat (society) sebagai kesatuan manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Contoh masyarakat suatu kota, masyarakat suatu desa, masyarakat suatu Negara seperti halnya Indonesia dan lain sebagainya. Dengan demikian berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang anggotanya satu sama lain berhubungan erat dan memiliki hubungan timbal balik. Dalam interaksi tersebut terdapat nilai-nilai sosial tertentu, yang menjadi pedoman untuk bertingkahlaku bagi anggota suatu masyarakat biasanya memiliki kebiasaan, taradisi sikap dan perasaan tertentu yang sama dan seluruhnya menciptakan cirri tersendiri bagi
masyarakat tersebut. Dapat dirumuskan bahwa masyarakat merupakan suatu kesatuan manusia yang berpola menyangkut semua aspek kehidupan.
2.1.4
Kelompok Sosial dan Perkembangan Kehidupan Masyarakat Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan
manusia yang terdiri dari dua atau lebih individu yang hidup bersama saling berhubungan, saling mempengaruhi dengan suatu kesadaran untuk saling tolongmenolong.
Selanjutnya Thomas Hylland Eriksen (Ethnicity And Nationalism, Antropological Perspectives; 1993) menjelaskan pula tentang bagaimana suatu proses penyatuan dari kelompok-kelompok etnik dengan tanpa membedakan adanya kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Menurut Eriksen, apabila suatu kelompok minoritas dalam mengadakan suatu kontak dengan kelompok etnik yang mayoritas, maka kelompok minoritas tersebut agar dapat berpartisipasi dalam sistem sosial yang lebih luas dan untuk mendapatkan nilai baru, maka kelompok minoritas tersebut haruslah menerima status minoritasnya dan berusaha mengatasi dan mengurangi minoritasnya dengan cara membatasi budayanya hanya pada kegiatan kelompoknya sendiri dan bukan pada kegiatan yang dilakukan bersama, sehingga akan tercipta suatu proses interaksi yang harmonis.11
11
Thomas Hylland Eriksen, 1993. Ethnicity And Nationalism. Pluto Pres: London,hlm. 2-3.
Berkaitan dengan konsep diatas Soerjono Soekanto (dalam Dewi Wulansari 2009 : 43-44) menjelaskan bahwa yang disebut dengan kelompok sosial apabila telah memenuhi beberapa persyaratan tertentu, yaitu: 12
1. Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagaian dari kelompok yang bersangkutan. 2. Ada hubungan timbal-balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya, dalam kelompok itu. 3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. 4. Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku.
Harold Lasswell (Dewi Wulansari 2009 : 54) mengatakan bahwa unsurunsur integritas anggota kelompok terhadap kelompoknya dapat diukur menurut derajat
keterlibatannya
dalam
kelompok
melalui
perasaanya
terhadap
kelompoknya.
Selanjutnya Ridwan Halim (Dewi Wulansari 2009 : 17) bahwa masyarakat adalah: “sekelompok orang-orang tertentu yang mendiami suatu daerah atau wilayah tertentu dan tunduk pada peraturan-peraturan hukum tertentu pula. Emile Dhurheim (laurer 1988 : 85-86) mengatakan: “beberapa perkara yaitu: pertama, adalah mengenai asal usul masyarakat primitive sebagai petunjuk
12
Dewi Wulansari.Ibid., hlm. 43-54.
yang mempunyai kondisi pertumbuhan dan perkembangan dari suatu masyarakat. Ketua, mengenai tingkat perkembangan sosial masyarakat”.
Lebih lanjut L.T. Hobhouse (Dewi Wulansari : 2009 : 149) menyebutkan bahwa terdapat empat kriteria perkembangan sosial yaitu, skala efisiensi (yang dikaitkan dengan adanya diferensiasi, serta spealisasi dari struktur sosial), kebebasan, dan mutalitas. Keempat kriteria ini menurut Hobhouse saling berhubungan atau terjadi hubungan timbal balik.13
Secara teoritis perkembangan mengatakan bahwa pada dasarnya pola evolusi manusia dan masyarakat berlangsung dan pasti akan menuju kearah yang lebih baik. Teori-teori yang mendukung antara lain terori unilinear theoritis bahwa masyarakat dan kebudayaan berkembang mulai dari tahap permulaan sampai pada tahap yang sempurna. Dalam teori ini dapat dikatakan bahwa perkembangan masyarakat seperti lingkaran.
13
Dewi Wulansari. Ibid.,hlm. 149.