BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1. Pengertian Cooperative Learning Pembelajaran cooperative learning merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antara siswa, sehingga terjalin interaksi positif dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Slavin (2009: 4) mengemukakan pendapatnya bahwa pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Hal ini bertujuan agar proses pembelajaran tidak didominasi oleh satu orang, melainkan setiap anggota kelompok memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam menyelesaikan masalah kelompoknya. Sehingga proses pembelajaran yang terjadi dapat berperan dalam mengaktifkan semua siswa dan lebih berpusat kepada siswa. Senada dengan pernyataan Anita Lie (2003: 12) bahwa pembelajaran cooperative learning adalah sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa lainnya dalam tugas-tugas terstruktur. Pendapat Lie tersebut diperkuat dengan pernyataan yang dilontarkan Etin Solihatin dan Raharjo (2005: 4), yang menyatakan bahwa: “Cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai suatu struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok.” Pengertian tersebut, sejalan dengan yang diungkapkan I Wayan Lasmana (dalam Mustikasari, 2007: 18) bahwa pembelajaran cooperative adalah model pembelajaran yang kegiatan belajar mengajarnya berpusat pada siswa (student oriented), mengaktifkan seluruh siswa, yang pada awalnya tidak dapat bekerjasama menjadi peduli dan agresif. Begitu pula dengan pendapat Karli dan Sri (dalam Mustikasari,
6
7
2007: 17) yang mengatakan bahwa cooperative learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok. Sehingga pengelompokan siswa merupakan salah satu ciri dari pembelajaran kooperatif. Pembelajaran
kooperatif
merupakan
salah
satu
pembelajaran
yang
dikembangkan dari teori kontruktivisme karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional (Rustaman et al., 2003: 206). Pembelajaran kooperatif bergantung pada kelompok-kelompok kecil si pebelajar. Meskipun isi dan petunjuk yang diberikan oleh pengajar mencirikan bagian dari pengajaran, namun pembelajaran kooperatif secara berhati-hati menggabungkan kelompok-kelompok kecil sehingga anggota-anggotanya dapat bekerja bersama-sama untuk memaksimalkan pembelajaran dirinya dan pembelajaran satu sama lainnya. Masing-masing anggota kelompok bertanggungjawab untuk mempelajari apa yang disajikan dan membantu teman anggotanya untuk belajar. Ketika kerjasama ini berlangsung, tim menciptakan atmosfir pencapaian, dan selanjutnya pembelajaran ditingkatkan (Karen Medsker L.&Holdsworth, 2001: 287). Cooperative Learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Kebanyakan melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri dari 4 (empat) siswa yang mempunyai kemampuan yang berbeda (Slavin, 2001), dan ada yang menggunakan ukuran kelompok yang berbeda-beda (Cohen, 2001; Johnson & Johnson, 2003; Kagan, 2001; Sharan & Sharan, 2002). Model pembelajaran cooperative learning didasarkan atas falsafah manusia sebagai homo homini socius, yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial (Lie, 2008: 28). Slavin (dalam Solitahin dan Raharjo, 2005: 5), menambahkan bahwa cooperative learning berangkat dari asumsi mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu getting better together atau raihlah yang lebih baik secara bersamasama. Kerjasama dalam kelompok merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri lagi pada kenyataan bahwa manusia tidak dapat hidup secara individual tanpa bantuan dari orang lain.
8
Sehingga dalam proses belajar juga manusia diusahakan dapat saling bekerja sama untuk memperoleh tujuan belajar yang sesuai dengan harapan. 2.1.1. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Tujuan model pembelajaran tersebut menurut Eggen dan Kauchak (dalam Winayarti, 2010: 12), adalah sebagai berikut: 1)
Meningkatkan partisipasi peserta didik
2)
Memfasilitasi peserta didik agar memiliki pengalaman mengembangkan kemampuan kepemimpinan dan membuat keputusan kelompok
3)
Memberi kesempatan kepada mereka untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama
dengan
teman
yang
seringkali
berbeda
latar
belakangnya. Jadi, dengan demikian seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim dkk (dalam : Abin Syamsuddin. 2003:12), bahwa inti tujuan dari model pembelajaran tersebut meliputi tiga aspek penting yaitu aspek hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan ketrampilan sosial. 2.1.2. Ciri Pembelajaran Kooperatif Pada dasarnya, tidak semua kerja kelompok dapat dikatakan sebagai cooperative learning. Terdapat ciri khusus kelompok yang disebut sebagai kelompok pembelajaran cooperative learning. Menurut Lie (2003: 30) ada lima unsur yang harus diterapkan dalam pembelajaran kelompok, agar pembelajaran tersebut dapat dikatakan sebagai pembelajaran cooperative learning. Kelima unsur itu meliputi: 1) Saling ketergantungan positif Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup secara individual dan sangat tergantung terhadap pertolongan sesamanya. Prinsip tersebut diimplementasikan dalam pembelajaran di kelas untuk membangkitkan rasa kebersamaan. Pembentukan kelompok-kelompok
9
kerja dalam pemberian tugas terstruktur di kelas memberikan nilai lebih untuk menanamkan kerjasama demi mencapai tujuan yang sama. Slavin (2009: 8-9), mengungkapkan bahwa inti dari pembelajaran cooperative learning ialah mereka saling mendukung untuk berhasil, mereka akan mendorong anggota kelompoknya untuk lebih baik dan akan membantu mereka melakukannya. Seringkali para siswa mampu melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam menjelaskan gagasangagasan yang sulit satu sama lain dengan menerjemahkan bahasa yang digunakan guru ke dalam bahasa anak-anak. Di samping itu, semua anggota kelompok berusaha untuk saling menguntungkan, sehingga semua anggota kelompok bisa memperoleh makna dari kebersamaan. Adapun makna yang diperoleh seperti berikut: a) Merasakan keuntungan dari setiap usaha teman lainnya, secara harafiah ini berarti kesuksesan anda bermanfaat bagi saya dan keberhasilan saya bermanfaat untuk anda. b) Menyadari bahwa semua anggota kelompok mempunyai nasib yang sama, artinya tenggelam dan mengapung kita bersama. c) Tahu bahwa prestasi seseorang ditentukan oleh orang lain dalam satu kelompok, artinya kami tidak dapat melakukan tanpa anda. d) Merasa bangga dan merayakan bersama ketika salah satu anggota kelompok mendapatkan keberhasilan, sebagai contoh: kami semua merasa sukses atas kesuksesan anda. Peranan pengajar sangatlah menentukan keberhasilan sistem pengajaran ini. Lie (2003: 32) menambahkan untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa, sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar lain bisa mencapai tujuan mereka. Dengan cara ini, setiap anggota merasa bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugasnya agar yang lain bisa berhasil. Di samping itu, penilaian yang dilakukan oleh pengajar harus dilakukan dengan cara yang unik. Setiap siswa
10
mendapat nilainya sendiri dan nilai kelompok. Nilai kelompok dibentuk dari “sumbangan” setiap anggota kelompok, untuk menjaga keadilan. 2) Tanggungjawab perseorangan Menurut Slavin (2009: 10), tanggungjawab individual maksudnya ialah bahwa kesuksesan kelompok bergantung pada pembelajaran individual dari semua anggota kelompok. Tanggungjawab difokuskan pada kegiatan anggota kelompok dalam membantu satu sama lain untuk belajar dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok siap untuk mengerjakan tugas, tanpa bantuan teman sekelompoknya. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran cooperative learning memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pembelajaran siswa apabila kelompok dihargai berdasarkan pembelajaran individual dari tiap anggotanya. Unsur tanggungjawab perseorangan merupakan akibat langsung dari unsur saling kebergantungan positif. Karena itu, Lie (2003: 33) mengatakan bahwa jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran cooperative learning, setiap siswa akan merasa bertanggungjawab untuk melakukan yang terbaik. Pada akhirnya, siswa akan dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam kelompoknya. Hal ini dikarenakan bahwa guru tidak hanya memberikan tugas untuk kelompoknya saja, tetapi siswapun secara individu memiliki tugas yang harus dikerjakan. 3) Tatap muka Dampak positif dari penerapan model pembelajaran cooperative learning adalah terciptanya interaksi positif antara sesama anggota kelompok
untuk
memudahkan
transformasi
informasi
anggota
kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Lie (2003: 33-34), bahwa kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk siap membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan-perbedaan yang
11
dimiliki oleh setiap anggota kelompok menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok. 4) Komunikasi antar anggota Proses interaksi antar anggota kelompok akan berjalan lancar, jika komunikasi berjalan baik. Untuk itu, setiap anggota kelompok perlu memiliki ketrampilan berkomunikasi. Menurut Lie (2003: 34), sebelum menugaskan siswa dalam kelompok, pengajar perlu mengajarkan caracara berkomunikasi kepada siswa, karena tidak setiap siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok dalam pembelajaran cooperative learning juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapatnya. 5) Evaluasi proses kelompok Setiap proses perlu mengadakan evaluasi sebagai refleksi untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam proses tersebut, sehingga proses berikutnya akan berjalan lebih baik lagi. Karena itu, agar evaluasi ini dapat memberikan arahan serta informasi terhadap hasil pekerjaan siswa dan kegiatan proses belajar mengajar berlangsung, maka informasi diberikan ini harus meliputi tujuan yang dicapai kelompok, bagaimana mereka melakukan kerjasama saling membantu dengan teman satu kelompok, dan bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku positif agar baik setiap siswa maupun kelompok menjadi berhasil dan kebutuhan apa saja yang harus dilengkapi agar tugas selanjutnya dapat dilaksanakan dengan baik. Agar hal ini terjadi, menurut Lie (2003: 35), menyatakan bahwa pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka, agar selanjutnya bisa bekerjasama lebih efektif. Format evaluasi disesuikan dengan tingkat pendidikan siswa. Waktu evaluasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi siswa.
12
2.1.3. Karakteristik Pembelajaran kooperatif Adapun karakteristik pembelajaran cooperative learning antara lain: 1. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis. 2. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi. 3. Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin. 4. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu. 2.1.4. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif Selain ciri-ciri pembelajaran cooperative learning, yang penting untuk diingat dalam pembelajaran cooperative learning adalah prinsip dari pembelajaran cooperative learning itu sendiri. Lungdern (dalam Mustikasari, 2007: 22), mengemukakan ada tujuh prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif. Ketujuh prinsip itu antara lain: 1) Siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka tenggelam dan berenang bersama (we sink and swim together). 2) Siswa memiliki tanggungjawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya, di samping memiliki tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi. 3) Siswa harus memiliki pandangan bahwa mereka memiliki tujuan yang sama. 4) Siswa harus berbagi suatu penghargaan atau hukuman yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok. 5) Siswa akan diberi suatu penghargaan atau hukuman yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok. 6) Siswa
berbagi
kepemimpinan,
sementara
mereka
memperoleh
ketrampilan bekerjasama selama belajar. 7) Siswa akan diminta mempertanggungjawabkana secara individual materi yang dipelajari dalam kelompok kooperatif.
13
2.2. Metode Cooperative Learning Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) 2.2.1. Pengertian Cooperative Learning Tipe Stundent Teams Achievement Divisions (STAD) Stundent Teams Achievement Divisions atau STAD merupakan salah satu dari beberapa jenis pembelajaran kooperatif. Dalam STAD siswa akan dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok terdiri dari individu-individu yang mempunyai latar belakang berbeda-beda baik dari tingkat prestasi, jenis kelamin maupun suku. Pada kelompok tersebut, siswa akan belajar bekerjasama. Mesikpun sama dengan pembelajaran cooperative learning pada umumnya, ada perbedaan antara pembelajaran tipe STAD ini dengan lainnya. Dalam pelaksanaan pembelajaran, langkah pertama yang dilakukan adalah penyampaian materi pembelajaran kepada siswa, selanjutnya siswa diminta untuk berlatih bekerjasama dengan anggota lain dalam kelompoknya. Selanjutnya seluruh siswa diberikan tes untuk dikerjakan masing-masing. Skor siswa tersebut dibandingkan dengan skor siswa terdahulu. Poin diberikan pada siswa yang mampu menyamai atau melampaui skor yang diperoleh sebelumnya. Seperti dipaparkan oleh Nurhadi (2004) bahwa cooperative learning tipe STAD merupakan model pembelajaran dimana siswa di dalam kelas dibagi ke dalam beberapa kelompok atau tim yang masing-masing terdiri atas 4 sampai 5 orang anggota kelompok yang memiliki latar belakang kelompok yang heterogen, baik jenis kelamin, ras etnik, maupun kemampuan intelektual (tinggi, rendah, sedang). Tiap anggota tim menggunakan lembar kerja akademik dan kemudian saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota tim. Dari paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan cooperative learning tipe STAD adalah salah satu dari beberapa jenis pembelajaran kooperatif dimana siswa akan dibagi dalam
14
kelompok-kelompok kecil yang heterogen; dimana setelah pembagian kelompok tersebut, guru memberikan materi dan meminta siswa bekerjasama dengan cara berdiskusi dan bertanya jawab dengan anggota dalam satu kelompok; selanjutnya siswa diminta untuk mengerjakan soal yang diberikan guru. Siswa yang mendapat poin adalah siswa yang mampu menyamai atau melampaui skor yang telah diperoleh sebelumnya. 2.2.2. Langkah-langkah Cooperative Learning Tipe STAD Menurut Slavin (2009) langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri dari lima langkah, yaitu: penyajian kelas, belajar kelompok, kuis, skor, perkembangan individu dan penghargaan kelompok. Kelima langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD tersebut diuraikan dalam kegiatan pembelajaran sebagai berikut: a. Kegiatan pendahuluan Pada kegiatan pendahuluan, hal-hal yang perlu dilakukan guru antara lain: 1) Guru memberikan apersepsi dan motivasi tentang materi pelajaran yang akan diberikan 2) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan diberikan 3) Guru membagi siswa ke dalam kelompok kecil yang heterogen b. Kegiatan inti Pada kegiatan inti, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: 1) Guru memberikan materi pelajaran yang dibahas pada hari itu 2) Guru memberikan tugas untuk dibahas secara berkelompok oleh masing-masing kelompok 3) Masing-masing kelompok diberikan tugas untuk menemukan jawaban pada tugas yang diberikan 4) Kelompok mempresentasikan hasil diskusinya 5) Tanggapan dari kelompok lain (tanya jawab) c. Kegiatan penutup 1) Guru menyimpulkan materi pelajaran yang diberikan 2) Guru memberikan tes yang dikerjakan secara individual.
15
3) Guru memberikan penghargaan terhadap individu ataupun kelompok yang aktif di dalam berdiskusi pada tugas yang diberikan Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa cooperative learning tipe STAD menempuh 5 langkah pembelajaran yaitu penyajian kelas, belajar kelompok, kuis, skor, perkembangan individu dan penghargaan kelompok. 2.3. Hasil Belajar 2.3.1. Pengertian Belajar dan Hasil Belajar a. Pengertian Belajar Joko Susilo (2009: 23) mengatakan bahwa belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Dalam pengertian ini, belajar adalah merupakan suatu proses, satu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan penguasaan dan latihan, melainkan perubahan kelakuan. Menurut Omar Hamalik (2002:154), belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif mantap berkat latihan dan pengalaman. Hilgard dan Bower (Purwanto 2002: 84), dalam Purwanto 2002: 84), mengatakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman yang berulang-ulang, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungannnya berupa respon bawaan, kematangan atau keadaan sesaat seseorang. Beberapa pendapat di atas tersebut menegaskan bahwa belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh pengalaman berulang-ulang. Dari berbagai pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar sesungguhnya mengandung tiga unsur, yaitu: 1)
Belajar berkaitan dengan perubahan tingkah laku.
2)
Perubahan perilaku itu terjadi karena didahului oleh proses pengalaman.
16
3)
Perubahan perilaku karena belajar bersifat relatif permanen.
b. Pengertian Hasil Belajar Sudjana (2002) menjelaskan bahwa hasil belajar sebagai kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar. Masih menurut Sudjana (2002) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah upaya atau tindakan untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai atau tidak. Bloom (dalam Sudjana, 2002) membagi hasil belajar dalam tiga ranah yaitu hasil belajar pada ranah kognitif, hasil belajar pada ranah afektif, dan hasil belajar pada ranah psikomotor. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa karena memiliki pengalaman belajar, dimana hasilnya dapat dilihat pada perubahan pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Meskipun demikian, dalam penelitian ini hasil belajar lebih dimaksudkan sebagai kemampuan yang dimiliki siswa karena telah memiliki pengalaman belajar pada mata pelajaran IPA, dimana perubahannya lebih dibatasi hanya pada ranah kognitif. 2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut Merson (dalam Tu’u, 2004: 78), faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar adalah sebagai berikut: a. Faktor dalam, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar yang berasal dari siswa yang sedang belajar. Faktor dalam meliputi: 1) Kondisi fisiologis Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Seorang siswa dalam keadaan segar jasmaninya akan berpengaruh terhadap hasil belajarnya, sebaliknya siswa yang fisiknya lelah juga akan mempengaruhi hasil belajarnya. Di samping kondisi tersebut yang tidak kalah pentingnya adalah kondisi panca indera, terutama penglihatan dan pendengaran. Sebagian besar yang dipelajari manusia adalah dengan membaca, melihat contoh atau model,
melakukan
observasi,
mengamati
hasil
eksperimen,
17
mendengarkan keterangan guru, mendengarkan ceramah keterangan orang lain. Jadi jelaslah di antara seluruh panca indera mata dan telinga mempunyai peranan yang sangat penting. Seperti yang dipaparkan oleh Edgar Dale (dalam Tu’u 2004: 40), bahwa pengalaman belajar manusia itu 75% diperoleh melalui indera lihat, 13% melalui indera dengar, dan 12% melalui indera lainnya. 2) Kondisi psikologis Semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja berpengaruh terhadap proses belajar yang juga bersifat psikologis. Beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap proses dari hasil belajar yaitu: a)
Kecerdasan Seorang siswa yang cerdas umumnya akan lebih cepat mampu belajar jika dibandingkan dengan siswa yang kurang cerdas, meskipun fasilitas dan waktu yang diperlukan untuk mempelajari materi atau bahan pelajaran sama. Hasil pengukuran kecerdasannya biasa dinyatakan dengan angka yang menunjukkan perbandingan kecerdasan yang dikenal dengan istilah IQ (Intelligence Quotion). Berbagai hasil penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara IQ dengan hasil belajar di sekolah. Tinggi rendahnya kecerdasan yang dimiliki seorang siswa sangat menentukan keberhasilannya mencapai prestasi belajar, termasuk prestasi-prestasinya lain sesuai macam-macam kecerdasan yang menonjol yang ada pada dirinya. Hal itu dapat kita ketahui umumnya tingkat kecerdasan yang baik dan sangat baik cenderung lebih baik angka nilai yang dicapai siswa.
b)
Bakat Di samping Intelegensi, bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. Bakat adalah kemampuan yang ada pada seseorang yang dibawanya sejak lahir, yang diterima sebagai warisan dari orang tua. Bagi seorang siswa bakat bisa berbeda dengan siswa lain. Ada siswa
18
yang berbakat dalam bidang ilmu sosial, dan ada yang di ilmu pasti. Karena itu, seorang siswa seorang siswa yang berbakat di bidang ilmu sosial akan sukar berprestasi tinggi di bidang ilmu pasti, dan sebaliknya. Bakat-bakat yang dimiliki siswa tersebut apabila diberi kesempatan dikembangkan dalam pembelajaran, akan dapat mencapai prestasi yang tinggi. Sebaliknya, seorang siswa ketika akan memilih bidang pendidikannya, sebaiknya memperhatikan aspek bakat yang ada padanya. Untuk itu, sebaiknya bersama orang tuanya meminta jasa layanan psikotes untuk melihat dan mengetahui bakatnya. Sesudah ada kejelasan, baru menentukan pilihan. c)
Motivasi dan perhatian Minat adalah kecenderungan yang besar terhadap sesuatu. Perhatian adalah melihat dan mendengar dengan baik dan teliti terhadap sesuatu. Minat dan perhatian biasanya berkaitan erat. Apabila seorang siswa menaruh minat pada satu pelajaran tertentu, biasanya cenderung memperhatikannya dengan baik. Minat dan perhatian yang tinggi pada mata pelajaran akan memberi dampak yang baik bagi prestasi belajar siswa. Oleh karena itu, seorang siswa harus menaruh minat dan perhatian yang tinggi dalam proses pembelajaran-pembelajaran di sekolah. Dengan minat dan perhatian yang tinggi, kita boleh yakin akan berhasil dalam pembelajaran.
d)
Motivasi Motivasi adalah kondisi psikologi yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi belajar kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Motivasi selalu mendasari dan mempengaruhi setiap usaha serta kegiatan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam belajar, kalau siswa mempunyai motivasi yang baik dan kuat, hal itu akan memperbesar usaha dan kegiatannya mencapai prestasi yang
19
tinggi. Siswa yang kehilangan motivasi dalam belajar akan memberi dampak kurang baik bagi prestasi belajarnya. e)
Emosi Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam proses belajar seorang siswa akan terbentuk suatu kepribadian tertentu, atau tipe tertentu, misalnya siswa yang emosional dalam belajar, akan mudah putus asa. Hal ini mau tidak mau akan mempengaruhi bagaimana siswa menerima, menghayati pengalaman yang didapatnya dalam suatu pembelajaran.
f)
Kemampuan kognitif Yang dimaksud dengan kemampuan kognitif yaitu kemampuan berpikir, menalar yang dimiliki siswa. Jadi kemampuan kognitif berkaitan erat dengan ingatan dan berfikir seorang siswa.
b. Faktor luar, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar. Faktor tersebut adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan dibedakan menjadi dua yaitu: 1)
Lingkungan alami, yaitu yaitu kondisi alami yang dapat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar, termasuk dalam lingkungan alami yaitu suhu, cuaca, udara, pada waktu itu dan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung.
2)
Lingkungan sosial , dapat berwujud manusia, wujud lain yang berpengaruh langsung terhadap proses dan hasil belajar. Misalnya hubungan murid dengan guru, orang tua dengan anak, dan lingkungan masyarakat di luar sosial yang baik, mesra dapat membantu terciptanya prestasi belajar siswa.
2.4. Motivasi Belajar 2.4.1. Pengertian Motivasi Sebelum membahas motivasi belajar, terlebih dahulu akan dibahas mengenai motivasi. Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin, yakni “movere” yang berarti “menggerakkan” (,Tu’u, Tulus 2004). Menurut (Oemar
20
Hamalik2002:205) motivasi adalah kondisi-kondisi atau keadaan yang mengaktifkan atau memberi dorongan kepada mahluk untuk bertingkah laku mencapai tujuan yang ditimbulkan oleh motivasi tersebut. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa motif dan motivasi memiliki pengertian yang sama yaitu menunjukkan suatu dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut mau bertndak melakukan sesuatu guna tujuan yang diinginkan. 2.4.2. Motivasi Belajar Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan oleh seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkintas melakukan aktivi belajar. Hal ini merupakan suatu pertanda ysang akan dikerjakan itu tidak menyentuh kebutuhannya. Segala sesuatu yang menarik minat orang lain belum tentu dapat membangkitkan minatnya sejauh apa yang ia lihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingannya sendiri. Seseorang yang melakukan aktivitas secara terus menerus tanpa motivasi dari dirinya merupakan motivasi intrinsik yang sangat penting dalam aktivitas belajar. Namun seseorang yang tidak mempunyai keinginan belajar, dorongan dari luar
merupakan motivasi ekstrinsik yang diharapkan. Oleh
motivasi intrinsik dperlukan bila motivasi intrinsik tidak ada dalam diri seseorang sebagai subyek belajar. Menurut Sardiman AM (2003) mengatakan motivasi mengatakan motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak didalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dan kegiatan belajar siswa dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar tercapai. Dari pengertian motivasi belajar, dapat disimpulkan 3 fungsi motivasi sebagi berikut: a. Mendorong manusia untuk berbuat (motivasi sebagai motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dilakukan). b. Menyeleksi sesuatu perbuatan (menentukan perbuatan-perbuatan) yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan).
21
c. Menentukan arah perbuatan (kearah tujuan yang hendak dicapai) (Usman Samantowo. 2006. Berdasarkan kutipan, maka dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan motivasi belajar adalah dorongan yang timbul dalam diri individu untuk melakukan sesuatu tindakan, sehingga mencapai hasil yang lebih baik dari pada hasil sebelumnya, menyeleksi dan menentukan arah suatu perbuatan serta memelihara semangat kerja yang tinggi. 2.4.3. Macam-Macam Motivasi Belajar Dalam membicarakan macam-macam motivasi belajar, hanya dibahas dari dua sudut pandang yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang yang disebut “motivasi intrinsik” dan motivasi yang berasal dari luar diri seseorang disebut “motivasi ekstrinsik” Djamarah (dalam Syamsuddin. 2003). a. Motivasi Intrinsik Motivasi Intrinsik adalah motiv-motif yang menjadi aktif dan berfungs tidak perlu dirangsang dari luar, karena setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Bila seseorang memiliki motif intrinsik dalam dirinya, maka ia sadar akan melakukan sesuatu kegiatan yang tidak menimbulkan motivasi dari luar dirinya. Dalam aktivitas beklajar, motivasi intrinsik diperlukan terutama belajar sendiri. Seseorang yang memiliki motivasi intrinsik selalu ingin maju sulit sekali melakukan aktifitas belajar terus menerus. Sedangkan seseorang yang memiliki motivasi intrinsik selalu ingin maju dalam belajar. Keinginan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran yang positif, bahwa semua mata pelajaran yang dipelajari sangat dibutuhkan dan sangat berguna kini dan mendatang. Motivasi memang berhubungan dengan kebutuhan seseorang yang memunculkan kesadaran untuk melakukan aktifitas atau kegiatan. Siswa yang memiliki motivasi intrinsik cenderung akan menjadi seseorang yang terdidik, berpengetahuan yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu. Untuk mendapatkan semuanya itu perlu belajar. Belajar adalah suatu cara untuk mendapatkan suatu ilmu pengetahuan dan ketrampilan.
22
Dorongan untuk belajar bersumber pada kebutuhan yang berisikan keharusan untuk menjadi orang terdidik dan berpengetahuan. Jadi motivasi intrinsik muncul berdasarkan kesadaran dengan tujuan esensial, bukan kesadaran atribut dan seremonial. b. Motivasi Ekstrinsik Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yag aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar. (Djamarah, 2003). Motivasi ekstrinsik diperlukan agar siswa mau belajar. Guru harus dapat membangkitkan minat siswa dengan motivasi ekstrinsik dalam berbagai bentuknya. Kesalahan dalam menggunakan motif-motif ekstrinsik bukan menjadi pendorong, tetapi menjadikan siswa malas belajar. Untuk itu guru harus tepat dan benar dalam memotovasi siswa dalam rangka proses interaksi belajar mengajar. Dalam pendidikan dan pengajaran, guru bukan hanya berperan menjadi administator, demonstrator, pengolola kelas, mediator, fasilitator, supervisor dan evaluator, tetapi juga sebagai motivator dan pembimbing. Sebagai motivator guru berperan untuk mendorong siswa agar giat belajar. Usaha ini dapat diusahakan guru dengan memanfaatkan bentuk – bentuk motivasi sekolah agar dapat membangkitkan gairah belajar siswa.Menurut Djamarah (Syamsuddin 2003) ada enam hal yang dapat diusahakan guru yaitu: 1) Membangkitkan dorongan kepada siswa agar belajar. 2) Menjelaskan secara konkrit kepada siswa apa yang dapat di lakukan pada akhir pengajaran. 3) Memberikan ganjaran kepada terhadap prestasi yang dicapai siswa sehingga dapat merangsang untuk mendapat prestasi yang lebih baik di kemudian hari. 4) Membentuk kebiasaan belajar siswa secara individual maupun kelompok. 5) Membantu kesulitan belajar siswa secara individual maupun kelompok. 6) Menggunakan metode yang bervariasi.
23
Berdasarkan uraian, dapat dipahami bahwa guru dalam membangkitkan gairah belajar siswa dengan motivasi ekstrinsik dalam proses interaksi belajar mengajar. Motivasi ekstrinsik adalah suatu alat yang cukup ampuh yang senantiasa gunakan guru untuk membangkitkan gairah belajar siswa. Kadangkala ada guru yang keliru dalam menggunakan motivasi ekstrinsik, sehingga siswa tidak berminat untuk belajar, dan bahkan guru tersebut dibenci oleh siswa. Guru yang memaksa siswa dengan kekerasan, tidak akan berhasil dalam memotivasi siswa, malah guru yang merusak jati dirinya itu akan kehilangan wibawanya di depan siswanya. Oleh sebab itu penggunaan motivasi ekstrinsik terkadang menjadi momok bagi setiap siswa. Untuk itulah seluruh aspek dari kehidupa guru merupakan cermin dari kepribadian guru sebagai idola anak didik, yang secara keseluruhan dari kepribadian guru adalah suri tauladan bagi setiap siswa baik di sekolah maupun di masyarakat. Terkait dengan proses interaksi belajar mengajar, baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik diperlukan untuk mendorong siswa agar tekun melakukan aktivitas belajar. Motif ekstrinsik sangat diperlukan bila ada siswa yang kurang berminat mengikuti pelajaran dalam jangka waktu tertentu. 2.5. Pembelajaran IPA 2.5.1. Landasan Pengembangan Pendidikan IPA di Sekolah Dasar Secara formal, pendidikan dimulai dari sekolah dasar. Dengan demikian sekolah dasar memegang peranan penting dalam meletakan fondasi bagi terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas. Menurut Sukmadinata (2006), sekolah dasar sebagai satuan pendidikan memiliki fungsi menyiapkan lulusannya untuk mencapai tigas sasaran. Sasaran pertama adalah pengembangan kepribadian siswa. Sebagai lembaga pendidikan formal pertama, sekolah dasar berfungsi untuk memberikan dasar-dasar yang kuat dan kemampuan dasar bagi pemenuhan kebutuhan, keamanan dan kesejahteraan pribadinya. Sasaran kedua adalah pengembangan potensi dan kemampuan untuk menjalin hubungan dalam masyarakat. Siswa sekolah dasar merupakan calon warga masyarakat, namun sebenarnya sekarang mereka sudah menjadi
24
warga masyarakat anak-anak. Sebagai anak-anak, siswa sekolah dasar harus dapat berinteraksi, menjalin hubungan dan kerjasama dengan sessamanya serta mampu mematuhi aturan dan nilai-nilai yang ada dilingkungannya. Sasaran ketiga adalah pengembangan potensi dan kemampuan untuk melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya. Dengan demikian, sekolah dasar harus memberikan dasar-dasar pengetahuan, kemampuan, ketrampilan, motivasi bagi siswanya untuk melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya. Dengan ketiga sasaran ini, maka sekolah dasar dituntut untk memberikan landasan yang kuat dalam segi kognitif, afektif dan psikomotor. Hal ini diperlukan dalam memberikan landasan yang kuat untuk selanjutnya diperkaya dan diperluas pada tahap perkembangan berikutnya. Sasaran-sasaran pendidikan dasar diatas, dapat dicapai dengan baik, apabila kompetensi peserta didik dapat dimunculkan secara optimal melalui sistem pendidikan itu sendiri. Sukmadinata (2006) mengelompokkan lima macam kompetensi yang harus dimiliki manusia, yaitu: kompetensi dasar, kompetensi umum, kompetensi akademis, kompetensi vokasional, dan kompetensi professional. Siswa dalam usia sekolah dasar setidaknya dapat memiliki tiga kompetensi dari lima kompetensi yang disebutkan di atas, yakni: kompetensi dasar, kompetensi umum dan kompetensi akademis. Kompetensi dasar merupakan kompetensi atau kecakapan awal yang perlu dikuasai anak untuk menguasai kompetensi-kompetensi yang lebih tinggi. Berbicara, menulis, membaca dan berhitung merupakan kompetensi dasar yang diajarkan sejak kelas satu sebagai bekal untuk penguasaan kompetensi yang lebih tinggi di kelas berikutnya, terutama dalam memahami dan menguasai bidang studi yang diajarkan. Termasuk ke dalam kompetensi dasar adalah kemampuan untk menjaga dan memelihara diri, berinteraksi dengan orang lain dan mengenali lingkungan.
Kompetensi
umum
merupakan
penguasaan
kecakapan,
kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan di keluarga dan masyarakat sekitar. Contoh tindakan yang termasuk ke dalam kecakapan umum untuk siswa sekolah dasar misalnya: menyebrang zebra cross; menghidupkan dan mematikan barang-barang elektronik seperti misalnya televisi, radio, komputer,
25
dll; naik dan turun dari kendaraan umum, merawat benda-benda miliknya sendiri; mengendarai sepeda; menggunakan alat-alat telekomunikasi seperti telepon rumah, handphone dan telepon umum. Kompetensi akademis merupakan kecakapan dan kemampuan berkenaan dengan aplikasi konsep, prinsip, dan pengetahuan dalam kehidupan peserta didik. Dengan memiliki kecakapan akademis atau disebut pula kemampuan operasional peserta didik tidak hanya tahu dan mengerti pengetahuan yang terdiri dari konsep, prinsip dan hukum dalam berbagai bidang studi yang mereka pelajari (seperti misalnya: IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia, dsb), tetapi lebih jauh dari itu, mereka dapat menerapkan atau menggunakannya dalam kehidupan keseharian mereka. Peserta didik yang memiliki kompetensi akademik misalnya dalam bidang IPA yang berkaitan dengan tekanan air dapat menerapkan pengetahuannya untuk memindahkan benda-benda berat di darat dan di air. Siswa yang memiliki kompetensi akademik dalam bidang bahasa Indonesia yang berkaitan dengan penyusunan kalimat, dapat berbicara dengan struktur yang baik dan benar dan membuat karangan. Sependapat dengan Sukmadinata, Parkay (2006), menyatakan bahwa pendidikan di sekolah dasar dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang dirinci menjadi duabelas tujuan, yaitu: (1) membantu peserta didik mengembangkan rasa percaya diri dan percaya terhadap orang lain serta meningkatkan keinginan untuk berinisiatif; (2) mengenalkan organisasi dan struktur tanpa menghalangi kreativitas dan ekspresi diri; (3) mengembangkan kecakapan sosial melalui belajar kelompok besar maupun kecil dan aktivitas individu; (4) membangun fisik peserta didik yang sehat; (5) dalam pendidikan dasar diajarkan hal-hal yang fundamental dalam aspek komunikasi dan menghitung; (6) membangun keinginan untuk belajar berbagai bidang pelajaran dengan mengenalkan mereka terhadap beragam bidang pengetahuan; (7) mengembangkan rasa percaya diri dan memperoleh rasa aman dengan menyediakan kesempatan pada setiap anak untuk mencapai kesuksesan; (8) menyediakan kesempatan bagi peserta didik untuk mengalami bagaimana mencapai kepuasan; (9) mengembangkan apresiasi terhadap hal-hal yang
26
berharga dan apresiasi terhadap perbedaan yang dimiliki setiap orang; (10) mengembangkan proses konseptualisasi, pemecahan masalah, pengarahan diri dan berkreasi; (11) membangun rasa peduli peserta didik terhadap lingkungan, masyarakat lokal maupun global, masa depan dan kesejahteraan orang lain; dan (12) membantu peserta didik untuk memiliki dan mengembangkan nilai-nilai moral. Menurut England Parliament Office of Science and Technology (2004), secara umum, sasaran pendidikan IPA di sekolah dasar dikelompokkan dalam dua kategori yaitu: (1) untuk menstimulasi rasa ingin tahu siswa dengan dunia di sekitar mereka dan mendorong cara berpikir kritis serta berpikir kreatif; (2) menciptakan landasan bagi pembelajaran IPA di sekolah menengah. Untuk memenuhi tujuan ini, maka peserta didik selain perlu pengetahuan IPA, juga memiliki
kemampuan
menggunakan
metode
ilmiah
yang
meliputi:
mengindetifikasi pernyataan yang diajukan secara ilmiah, merencanakan dan melakukan penelitian, mengevaluasi data dan mengenali keterbatasan dari pekerjaan yang mereka lakukan dan yang dilakukan orang lain. Dengan demikian, maka pendidikan IPA yang dilangsungkan di sekolah dasar, memiliki target tidak hanya menekankan pada penguasaan konsep-konsep IPA, tetapi juga mengembangkan metode ilmiah dan sikap-sikap ilmiah dalam memahami fenomena alam sesuai hakekat IPA. Dengan karakteristik tersebut, maka landasan pengembangan pembelajaran IPA tidak dapat dipisahkan dari hakikat IPA, yaitu: proses, produk, dan nilai. Pembelajaran IPA merupakan “proses aktif” yang tidak hanya melibatkan aktivitas mental (minds-on), tetapi juga melibatkan aktivitas fisik (hands-on). Pembelajaran IPA harus melibatkan siswa dalam berinvestigasi melalui kegiatan inkuiri, dimana siswa berinteraksi satu sama lainnya dan dengan guru. 2.5.2. Tujuan Pendidikan IPA Sekolah Dasar Suatu tujuan pendidikan ditetapkan untuk menentukan arah dan kegiatan pendidikan yang dilaksanakan. Menurut Johnson, D & Johnson, R.
27
(2003), tujuan pembelajaran IPA di sekolah dasar adalah membangun rasa ingin tahu siswa, ketertarikan siswa tentang alam dan dirinya dan menyediakan kesempatan untuk mempraktekan metode ilmiah serta mengkomunikasikannya. Tujuan pendidikan IPA di Indonesia dinyatakan dalam tujuan kurikuler mata pelajaran IPA Sekolah Dasar yang dinyatakan dalam Peraturan Menteri (PERMEN) No 22 tahun 2006 Tentang Standar Isi sebagai cakupan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi “kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/SDLB dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan perilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri” Tujuan kurikuler tersebut diuraikan secara rinci dalam lampiran standar isi PERMEN No 22 Tahun 2006. Berdasarkan PERMEN No. 22 Tahun 2006, mata pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: a. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; c. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat d. Mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar memecahkan masalah dan membuat keputusanl; e. Meningkatkan kesadaran untuk berperan dalam mememilhara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam; f.
Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam semesta dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan;
g. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan ketrampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
28
Tujuan yang tertuang dalam PERMEN No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dirumuskan untuk mencapai kompetensi lulusan yang memiliki kemampuan sebagai berikut: a. Dapat melakukan pengamatan terhadap gejala alam dan menceritakan hasil pengamatannya secara lisa dan tertulis; b. Memahami penggolongan hewan dan tumbuhan, serta manfaat hewan dan tumbuhan bagi manusia, upaya pelesatariannya dan interaksi antara mahkluk hidup dengan lingkungannya; c. Memahami bagian-bagian tubuh pada manusia, hewan dan tumbuhan serta fungsinya dan perubahan pada mahkluk hidup; d. Memahami beragam sifat benda hubungannya dengan penyusunnya, perubahan wujud benda dan kegunaannya; e. Memahami berbagai bentuk energi, perubahan dan kemanfaatannya; f.
Memahami matahari sebagai pusat tata surya, kenampakan dan perubahan permukaan bumi dan hubungan peristiwa alam dengan kegiatan manusia.
2.6. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Efektivitas Penerapan Model Cooperative Learning Tipe STAD dalam Pembelajaran Sains pada Peningkatan Aktivitas Belajar Siswa dan Penguasaan Konsep Pencemaran Lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan aktiviats belajar dan penguasaan konsep siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada konsep pencemaran lingkungan efektif meningkatkan aktivitas belajar siswa dan penguasaan konsep pencemaran lingkungan. Joko, S.M. 2009. Peningkatan Hasil Belajar Menerapkan Dasar-dasar Elektronika Melalui Pembelajaran Cooperative Learning Tipe STAD (Student Team Achievement DivisionsO di SMKN 5 Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan hasil belajar pada pokok pembahasan kompetensi dasar menjelaskan sifat-sifat elektronik pasif dan aktif di SMNK 5. Penelitian ini menggunakan strategi Pembelajaran Cooperative Learning Tipe STAD. Dalam pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dapat disimpulkan bahwa pendekatan peningkatan hasil belajar
29
melalui pembelajaran cooperative learning tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Karena itu, strategi pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran ini dapat diterapkan sebagai variasi strategi pembelajaran mata pelajaran menerapkan dasar-dasar elektronika. 2.7. Kerangka Berpikir Penelitian ini dilakukan didasarkan pada fakta pada kondisi awal sebelum tindakan, motivasi dan hasil belajar siswa sangat rendah. Fakta ini disebabkan karena penerapan metode pembelajaran yang masih berorientasi pada guru yang hanya menekankan ceramah. Berdasarkan fakta ini, maka diperlukan metode pembelajaran lain, yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa kelas III pada mata pelajaran IPA. Melalui penelitian tindakan ini, peneliti menawarkan model cooperative learning tipe STAD sebagai alternatif mode pembelajaran. Diharapkan dengan model cooperative learning tipe STAD, motivasi dan hasil belajar siswa dapat meningkat. Penerapan metode ini menggunakan siklus yaitu siklus I dan siklus II. Artinya, setelah pembelajaran melalui tindakan pada siklus I dan siklus II dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa kelas III pada mata pelajaran IPA. Adapun kerangka tersebut digambarkan pada skema kerangka berpikir berikut ini:
30
Gambar 2. 2 Skema Kerangka Berpikir Guru menerapkan metode ceramah dalam pembelajaran IPA pada siswa kelas III
Hasil belajar siswa sebagian belum mencapai KKM
Siswa menjadi tidak termotivasi, menjadi malas mendengarkan dan menjadi mengantuk serta menjadi jenuh mengikuti pembelajaran
Dilakukan tindakan perbaikan dengan menggunakan model cooperative learning tipe STAD Kelebihan model cooperative learning tipe STAD:
1. Semua anggota kelompok wajib mendapat tugas 2. Ada interaksi langsung antar siswa dengan siswa dan siswa dengan guru 3. Siswa dilatih untuk mengembangkan ketrampilan sosial 4. Mendorong siswa untuk menghargai pendapat orang lain 5. Dapat meningkatkan kemampuan akademik siswa 6. Melatih siswa untuk berani berbicara di depan kelas
Motivasi belajar siswa menjadi meningkat
Hasil belajar IPA siswa menjadi meningkat dengan mencapai KKM 80%
2.8. Hipotesis Tindakan Berangkat dari kerangka berpikir tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah penerapan model cooperative learning tipe STAD diduga dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar pada mata pelajaran IPA siswa kelas III SD Negeri Ledok 02 Salatiga semester II tahun pelajaran 2011/2012.