8
BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1
Pengertian Gerabah The Concise Colombia Encyclopedia 1995, kata “keramik” berasal dari
bahasa Yunani (greeak) “keramikos” menunjuk pada pengertian gerabah; ”keramos” menunjuk pada pengertian tanah liat. “keramikos” terbuat dari mineral non metal, yaitu tanah liat yang dibentuk, kemudian secara permanen menjadi keras setelah melalui proses pembakaran pada suhu tinggi. Sedangkan menurut Malcolm G. Mc Laren dalam Encyclopedia Americana (1996) disebutkan keramik adalah suatu istilah yang sejak semula diterapkan pada karya yang terbuat dari tanah liat alami dan telah melalui perlakuan pemanasan pada suhu tinggi (http://makalah-gerabah.html). Keramik gerabah adalah benda yang terbuat dari tanah liat plastis yang mudah dibentuk menggunakan tangan dengan suhu pembakaran sekitar 1000°c. Keramik gerabah tradisional biasanya hanya dibuat dari tanah lempung setempat ditambah pasir atau kapur dengan suhu pembakaran di bawah 1000°c. Gerabah yang dibakar dengan suhu di bawah 1000°c disebut gerabah lunak, dibakar pada suhu 1000°c disebut gerabah keras, dan yang dibakar dengan suhu 1200° disebut gerabah padat (Mulyadi Utomo, 2007: 22-23). Perbedaan tinggi-rendahnya suhu pembakaran bisa dijadikan dasar dalam mengetahui kualitas suatu jenis gerabah. Menurut Suwardono (2002: 28), pembakaran 1000°c merupakan suhu pembakaran yang ideal bagi produk gerabah, sementara pembakaran di bawah
9
suhu 1000°c menghasilkan gerabah berkualitas rendah. Ciri kualitas hasil bakaran yang baik dan tidak baik dapat dikenali melalui bunyi gerabah setelah dibakar (nyaring atau tidak), warna (mengkilap atau kusam muda) struktur dan tekstur gerabah itu (kasar, rapuh, berpori sehingga tidak kedap air atau sebaliknya halus, keras, dan tidak berpori). Dari beberapa penjelasan mengenai pengertian gerabah di atas, dapat disimpulkan bahwa gerabah merupakan kerajinan tradisional yang berbahan baku tanah liat yang kemudian dibentuk baik menggunakan alat manual (tangan) atau menggunakan alat putar, setelah itu dibakar pada suhu 1000°c. 2.2
Kerajinan Gerabah Berdasarkan Simposium Internasional UNESCO/ITC “Craft and the
International Market Trade and Custom Codification” tahun 1997 di Manila (Philipina), Kerajinan didefinisikan sebagai industri yang menghasilkan produkproduk, baik secara keseluruhan dengan tangan atau peralatan biasa. Peralatan mekanis juga dimungkinkan namun kontribusi pengrajin tetap lebih substansial pada produk akhir. Produk kerajinan bisa berupa produk fungsional, estetik, artistik, kreatif, pelestarian budaya, dekoratif, tradisional, religius dan simbolsimbol sosial. Produk kerajinan dibuat dari raw material (bahan mentah atau dasar) dalam jumlah tidak terbatas (Sudana, 2011: 7-8) Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:922) istilah kerajinan berasal dari bahasa jawa yang berarti (1) hal (sifat dan sebagainya); kegetolan (2) industri; perusahaan membuat sesuatu; kerajinan tangan; pekerjaan tangan bukan dengan mesin; barang-barang kerajinan, barang-barang hasil kerajinan tangan.
10
Menurut Rifki T.G, kerajinan gerabah adalah kerajinan tradisional yang memerlukan keterampilan-keterampilan khusus yang harus dikuasai untuk mengolah tanah liat sedemikian rupa sehingga menghasilkan karya-karya yang mempunyai nilai ekonomis (http://kerajinanindonesiaku.com/gerabah). Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa inti dari kerajinan terletak pada besarnya peran keterampilan tangan pengrajin dalam proses pembuatan produk, sementara peralatan hanya sebagai penunjang dan untuk kerajinan gerabah merupakan kerajinan yang menggunakan keterampilan khusus untuk mengolah tanah menjadi suatu produk kerajinan yang memiliki bentuk-bentuk yang sangat menarik dan merupakan kerajinan tradisional yang sudah ada sejak turun temurun. 2.3
Bahan Baku Keramik Gerabah dan Pengolahannya
Suwardono (2002: 20-28), lempung merupakan bahan baku tanah liat yang digunakan untuk membuat keramik gerabah yang terdiri dari, lempung residual yaitu lempung asli yang belum berpindah dari tempat asalnya dan bersifat kasar dan tidak plastis dan lempung Illuvial yakni lempung yang mengendap dan telah berpindah tapi tidak jauh dari tempat asalnya, misalnya di kaki bukit. Lempung alluvial adalah lempung yang diendapkan oleh aliran sungai, biasanya setelah terjadi banjir. Lempung rawa adalah lempung yang mengendap dirawa, biasanya berwarna hitam. Lempung danau yakni lempung yang mengendap di dasar danau (air tawar). Lempung marin adalah lempung yang endapannya terjadi di laut yang terbawa oleh aliran sungai, biasanya sangat halus dan mengandung kapur. Perbedaan jenis lempung berkaitan dengan tempat pengambilan lempung. Masing-masing memiliki karakteristik dan kualitas berbeda-beda, yang dapat dikenali dari warna, tekstur, kandungan bebatuan, dan tingkat keplastisannya yang merupakan sifat-sifat fisik dari bahan bersangkutan. Jenis-jenis lempung yang dikemukan diatas dapat dijadikan acuan dalam menetukan jenis lempung yang terdapat dan digunakan oleh pengrajin keramik gerabah di Desa Moahudu.
11
Cara pengambilan tanah liat menurut Suwardono (2002: 11) apabila akan menggunakan lahan sawah atau kebun
yang masih subur, sebaiknya
penggaliannya diatur. Lapisan tanah bagian atas yang merupakan lapisan tanah yang subur hendaknya dipisahkan/ disimpan dan tidak dipergunakan sebagai bahan lempung untuk keramik. Setelah penggalian pada suatu areal dianggap habis, tubuh tanah yang dipisahkan tadi dikembalikan atau untuk menguruk bekas galian-galian. Sehingga areal tersebut akhirnya tetap bisa dipergunakan sebagai lahan pertanian atau perkebunan. Dari cara pengambilan tanah liat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengambilan tanah liat harus diatur dan perlu memperhatikan bagian-bagian tanah yang masih produktif agar tidak merusak lingkungan. Sementara teknik pengolahan tanah liat dilakukan melalui proses penumbukan atau penggilingan, perendaman, dan penyaringan. Menurut Suwardono (2002: 20-28) untuk menghasilkan hasil olahan tanah liat yang baik, pengrajin minimal memiliki alat penggilingan silinder yang digerakkan motor kecil 2-3 pk. Teknik dalam menentukan kualitas bahan baku keramik gerabah yang dikemukakan di atas dapat dijadikan suatu acuan dalam mencermati jenis, karakteristik, dan cara pengolahan bahan baku keramik gerabah yang digunakan pengrajin di Desa Moahudu. Sistematika tahapan pembuatan keramik gerabah dari pengolahan bahan bahan baku tanah liat, pembentukan, pengeringan, hingga finishing dapat dilakukan dengan beberapa cara. Sambudi (2004: 21), menunjukkan sejumlah teknologi atau cara pembuatan keramik gerabah yang lazim dilakukan oleh para
12
pengrajin berpengalaman, yaitu: teknik pilin, teknik seleb atau lempengan, teknik putar (manual/mesin), dan teknik cetak. Kualitas bentuk keramik gerabah yang dihasilkan dari masing-masing teknik tersebut sangat tergantung dari keterampilan atau keahlian dari para pengarajin dalam mengaplikasikannya, baik keterampilan penggunaan alat maupun keterampilan pembentukan hingga finishing dan pewarnaan. Teknologi pembuatan keramik gerabah yang dikemukakan di atas merupakan suatu pembanding dalam mengamati dan mengungkap fakta mengenai teknik-teknik produksi dan keterampilan dasar pembuatan keramik gerabah yang dilakukan oleh para pengrajin di Desa Moahudu yang menjadi subjek kajian, pada saat mereka melakukan kegiatan produksi. Dari teori tersebut dapat juga dimanfaatkan untuk mengetahui teknologi produksi yang diterapkan para pengrajin dalam keberlanjutan produksinya. 2.4
Produktifitas, Minat dan Pendidikan Sudana (2011: 27) dalam melakukan produktifitas untuk berbagai kegiatan
atau pekerjaan, usia sangat berpengaruh pada kekuatan fisik seseorang. Sementara jika dihitung dari usia produktif, semakin tua umur seseorang maka semakin berkurang produktifitasnya. Pandangan ini menunjukkan bahwa produktifitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat fisik seseorang dalam melakukan pekerjaan. Chitaru Kawasaki (dalam Sudana, 2011: 27-28) untuk membangkitkan minat generasi muda pada kerajinan tradisional pertama yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kebanggaan, membangun rasa percaya diri terhadap profesi
13
pengrajin yang ditekuni, serta memupuk kesadaran melalui bimbingan teknis dan desain yang telaten dan menantang. Kurangnya pendidikan para pengrajin tradisional menyebabkan pewaris kerajinan tradisional di Indonesia semakin berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa dalam melakukan suatu pekerjaan haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan rasa percaya diri sehinggan akan tumbuh minat pada diri pekerja dengan didukung referensireferensi yang ada. Sementara menurut Sudana (2011: 29) Tidak hanya pada pendidikan saja tetapi juga dapat mengatasi masalah umur, dan jumlah pengrajin yang semakin langka sehingga dengan sendirinya kita akan mampu meningkatkan citra pengrajin yang awalnya dikenal hanya orang tua, tidak berpendidikan, dan miskin, yang akhirnya dapat digantikan oleh generasi muda yang berpendidikan dan memiliki masa depan dengan demikian profesi sebagai seorang pengrajin akan lebih diminati oleh berbagai kalangan. Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan, umur, dan jumlah pengrajin merupakan faktor pendukung dalam suatu pekerjaan yang dilakukan secara turun temurun agar lebih diminati oleh berbagai kalangan khususnya generasi muda.