BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT BALI TERHADAP PROGRAM PENDIDIKAN IPS DI SEKOLAH A. Kelangsungan dan Perubahan Masyarakat dan Kebudayaan Bali: Suatu Analisis Strukturalisme Banyak pakar dan budayawan menyatakan bahwa masyarakat dan budaya Bali kini berada pada keadaan transisi dengan karakteristik dualisme antara masyarakat tradisional dan masyarakat modem. Masalahnya, bagaimanakah masyarakat dan kebudayaan Bali mengelola karakteristik dualisme kehidupan tersebut? Apakah dua karakteristik kehidupan tersebut (tradisional dan modern) dianut oleh dua kelompok masyarakat yang berbeda sehingga membentuk pola struktur yang berbeda pula: antara generasi tua dan generasi muda, misalnya; atau generasi terpelajar dan generasi yang kurang pendidikannya; atau antara masyarakat dengan budaya kota versus masyarakat dengan budaya desa; dan sejenisnya. Atau, adakah telah terjadi sinkritisme sistem sosial dan budaya antara yang tradisional dan yang modem sehingga tidak lagi jelas batas-batas di antara keduanya, tetapi tetap memperlihatkan kesinambungannya dengan karakteristik sistem sosial dan budaya Bali yang tradisional. Untuk memahami masalah ini, beberapa pakar menawarkan perlunya kajian terhadap struktur dalam (deep siructure) dari struktur sosial dan budaya masyarakat Bali sebagai kenyataan sosialnya dari pada menganalisis struktur sosial masyarakat Bali itu sendiri (Bagus. 1994; Gena. 1991; Widja, 1989, 1991). Ini penting karena masyarakat Bali cenderung mengedepankan peranan ideologi dalam menata sistem kehidupan sosial dan budayanya dalam rangka menciptakan sistem tatanan masyarakat dan kebudayaan yang harmonis, selaras, dan seimbang dari pada mengacu kepada aspek-aspek struktur ekonomi material. Sejalan dengan ini salah satu teori sosial yang dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mengkaji struktur sosial dan budaya masyarakat Bali adalah teori strukturalisme (Widja. 1989, 1991. 1993). Menurut pandangan strukturalisme, dengan Levi-Strauss sebagai tokoh sentralnya, fenomena sosial budaya yang beragam bentuk dan jumlahnya haruslah dikaji strukturnya. Yang dimaksud struktur oleh Levi-Strauss di sini adalah model yang dibuat oleh aliii antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain atau saling mempengaruhi. Jadi struktur adalah sistem relasi dari suatu kebudayaan (Ahirasa-Putra, 2001: 61). Dengan 25
kata lain yang dimaksud struktur di sini adalah struktur pikiran atau gagasan yang melandasi fenomena sosial dan budaya. Dalam analisis struktural, struktur ini dibedakan menjadi struktur lahir atau struktur permukaan {sutface slructure) dan struktur bathin atau dalam (deep structure). Dalam pandangan kaum strukturahs, struktur luar ini umumnya banyak mengalami transformasi sesuai dengan fenomena sosial budaya yang beragam yang dapat diamati. Struktur luar inilah yang memiliki relasi-relasi dalam kondisi diakronis sesuai dengan ikatan ruang, waktu, dan keadaan, yang dalam kaidah bahasa (linguistik struktural) dinilai memiliki struktur sintagmatis. Sebaliknya, struktur dalam cenderung disusun oleh relasirelasi dalam keadaan sinkronis yang dalam kaidah bahasa dinilai memiliki struktur paradigmatis. Struktur dalam inilah yang inenujukkan landasan berpikir atau nalar logis yang menjelaskan makna di balik fenomena sosial budaya. Karena itu, kajian sosial budaya, menurut pandangan kaum strukturahs, harus mengkaji struktur.dalam fenomena sosial budaya itu yang dapat dibangun dan diinterpretasi dari relasi-relasi struktur luar yang dapat dibangunnya untuk dapat menjelaskan makna yang cenderung tidak disadari yang terdapat di balik masalah-masalah sosial budaya yang fenomenal itu. Untuk mengetahui struktur dalam yang cenderung tidak disadari ini, Levi-Strauss menggunakan struktur bahasa (linguistik) sebagai alat bantunya. Penggunaan struktur atau sistem bahasa (linguistik) oleh Levi-Strauss dimungkinkan karena bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dalam hubungan bahasa dan kebudayaan seperti ini struktur sosial dan budaya masyarakat dapat dijelaskan dalam nalar logis yang mendasari masyarakat mengembangkan struktur sosial dan budayanya. Nalar logis yang dimaksud bisa berupa relasi-relasi logis, oposisi, korelasi, dan sejenisnya. Dari sudut pandang ini bahasa dapat dikatakan sebagai peletak fondasi bagi terbentuknya berbagai macam struktur yang lebih kompleks, lebih rumit, yang sesuai atau sejajar dengan aspek-aspek atau unsur-unsur kebudayaan yang lain. Dalam mengkaji berbagai fenomena sosial budaya dalam masyarakat yang kompleks, penggunaan struktur atau sistem bahasa dapat diperluas analoginya menjadi struktur atau sistem simbol budaya. Inilah yaug menjadi landasan bagi Levi-Straus untuk mengembangkan antropologi strukturahs (Ahimsa-Putra, 2001; Kurzweil, 2004; Ritzer dan Goodman, 2004; Sperber, 2004; Storey, 2003). Menurut Ahimsa-Putra (2001) sekurang-kurangnya ada ernpat asumsi besar yang melandasi kajian strukturalisme Levi-Strauss atas fenomena sosial budaya sebagai gejala bahasa Asumsi yang pertama adalah dalam strukturalisme ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosial budaya dan basilnya secara formal, semuanya,
dapat dikatakan atau 26
dianalogikan
sebagai sistem bahasa atau sebagai suatu perangkat sistem tanda atau
simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu (Ahimsa-Putra, 2001:67-68; Kurzweil, 2004; Ritzer dan Goodman, 2004; Sperber, 2004; Storey, 2003). Kedua, ada anggapan juga bahwa setiap manusia normal dikaruniai kemampuan genetis untuk membuat atau menyusun struktur atau menstruktur segala gejala-gejala yang diamati. Terhadap gejala-gejala yang diamati ini manusia mampu inenciptakan struktur luar dan struktur dalam, yang pada dasarnya menciptakan sistem relasi baik pada struktur luar dan struktur dalamnya maupun dalam relasi-relasi antara relasi struktur luar yang transformatif dan relasi struktur dalam yaug teratur dan taat azas (Ahimsa-Putra. 2001 ;68-69; Kurzweil, 2004; Ritzer dan Goodman, 2004; Sperber, 2004; Storey, 2003). Ketiga, mengikuti jejak kaum linguistik struktural, dalam menganalisis fenomena budaya sebagai sistem bahasa/simbol, pandangan strukturalisme Levi-Strauss cenderung mengutamakan analisa relasi-relasi sinkronis dari fenomena budaya dari pada analisa relasi-relasi diakronisnya. Ini tidak berarti bahwa relasi-relasi diakronis diabaikan, karena baik relasi-relasi sinkronis maupun diakronis adalah saling bertergantungan (AhimsaPutra, 2001:69-70; Kurzweil, 2004; Ritzer dan Goodman. 2004; Sperber, 2004; Storey, 2003). Keempat, memahami makna struktur dalam yang bekeija atas suatu fenomena sosial budaya, menurut pandangan strukturalis. dapat diperas atau digeneralisasikan secara abstrak dalam bentuk relasi-relasi oposisi biner/berpasangan baik yang bersifat eksklusif maupun yang tidak eksklusif (Aliimsa-Putra, 2001; 70-72; Kurzweil, 2004; Ritzer dan Goodman, 2004; Sperber, 2004; Storey, 2003). Menggunakan cara berpikir analisis strukturalisme Levi-Strauss ini dalam mengkaji struktur atau sistem sosial budaya masyarakat Bali dalam dinamikanya dapat dilakukan pertama dengan melihat struktur dalam (deep siructure) yang melandasi struktur sosial budaya masyarakat Bali yang berfenoinena. Struktur dalam ini akan dijelaskan dalam abstraksi oposisi biner dan sistem relasi-relasi yang dapat dijelaskan baik pada tataran relasi sinkronis maupun diakronisnya. Penemuan gagasan atau pemikiran yang menggambarkan struktur dalam sistem sosial dan budaya Bali ini didasarkan pada beberapa pendapat para ahli tentang masyarakat dan kebudayaan Bali (Bagus, 1994; Geria ,1991; Widja, 1989,1991,1993; Sujana. 1994, 2004).
27
1. Arti penting konsep rwa-bhineda dalam kehidupan masyarakat Bali Orang Bali sangat percaya bahwa kehidupan sosial di dunia ini diatur dan terikat oleh hukum rwa-bhineda. Konsep berpikir ini menjelaskan bahwa kehidupan manusia di dunia ini selalu terikat dengan dua klasifikasi yang beroposisi (oposisi biner). Tetapi, ini tidak sepenulmya menunjukkan hubungan yang eksklusif melainkan sebagian bersifat komplementer; dalam arti bahwa masing-masing sisi kehidupan itu adalah bagian dari keseluruhan untuk meiiciptakan keseimbangan dalam kehidupan sosial dan tatanan jagad raya ini (Swellengrebel, 1960:41). Dengan cara berpikir seperti ini orang Bali percaya bahwa kehidupan ini tidak lepas dari ikatan-ikatan: buana agung-buana alit, hulu luanteben, suci-leleh, purusa-predana, baik-buruk, dharma-adharma, bahagia-menderita, hidup-mati, sehat-sakit, dan sebagainya (Widja, 1989,1991). Pola berpikir seperti ini ternyata membentuk pola struktur sosial dan budaya masyarakat Bali. Pertama, orang Bali meyakini bahwa hidup sebagai manusia di jagad raya ini tidak lepas dari ikatan konsep buana agung dan buana alit. Kedua unsur dunia ini diyakini ikut mempengaruhi sifat karakter dan tindakan manusia. Buana agung dalam hal ini melambangkan kekuatan alam semesta yang lebih besar karena kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang ffyang Widhi Waca). Sedangkan buana alil melambangkan kekuatan unsur-unsur dalam diri manusia. Karena kekuatan unsur alam semesta (kosmik) ini manusia haruslah selalu mengliidupkan kekuatan dua unsur dunia ini agar memperoleh rahmat keliidupan yang baik, bahagia, sehat, dan sejahtera. Mengabaikan salah satu di antaranya dipercaya akan menimbulkan ketidakseimbangan yang bermuara pada penderitaan, mala petaka, penyakit, dan ketidakbahagiaan (Atmadja, 1998). Pada tingkat struktur permukaan adanya dua kekuatan kosmik ini mengatur hubungan manusia Bali dengan lingkungannya, dengan dirinya sendiri, dengan masyarakatnya, dan dengan kekuasaan supranatural, kekuasaan para dewaIbetara, kekuasaan adikodrati, Yang Maha Tunggal, yakni kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hubungan-hubungan ini di tingkat struktur permukaan, relasi-relasi yang terbentuk secara konsisten menunjukkan adanya oposisi biner ini. Perlu diketahui juga bahwa dalam pemikiran seperti ini sifat hubungan manusia Bali yang rwa-bhineda dengan lingkungan buana aki dan buana agung, di samping memiliki relasi yang sejajar karena masing-masing bersifat komplementer, tetapi tidak dapal dipungkiri pula bahwa hubungan antara buana alit dan buana agung juga bisa bersifat subordinasi. Artinya, hubungan manusia dengan kekuasaan buana agung dianggap lebih utama/superior dari pada hubungannya dengan kekuasaan buana alil. 28
Dalam hal ini buana agung dianggap dapat menguasai buana alit dan tidak sebaliknya. Sifat relasi-relasi seperti inilah yang nanti tampak akan dijelaskan konsistensinya pada adanya hubungan konsep-konsep kaja-kelod (utara-selatan) atau kangin-kauh (timurbaral), hulu-leben (atas-bawah), suci-leleh (suci-kotor), segara-gunung (laut-gunung), purusa-predam, laki-laki-perempuan, dharma-adharma (kebajikan-kejahatan), cubhaacubha karma (perbuatan baik-buruk), dan sejenisnya yang mengatur tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat Bali. Secara geografis, daratan pulau Bali didominasi oleh daerah pegunungan yang membentang di bagian tengah pulau Bali dari barat sampai ke timur. Membentangnya daerah pegunungan ini telah membagi dua wilayah pulau Bali yaitu wilayah Bali selatan sebagai daerah pertanian dan pantai yang subur dan wilayah di balik pegunungan yang disebut dengan daerah Den Bukit (daerah kabupaten Buleleng). Kondisi ini memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam konsep rwa-bhmeda pembagian daerah dataran rendah dan daerah pegunungan ini telah memunculkan konsep kaja dan kelod. Konsep kaja mengacu pada daerah gunung/bukit dan daerah kelod mengacu pada daerah pantai. Di samping itu, masyarakat Bali juga mengenal konsep kangin-kauh. Kangin merupakan arah matahari terbit, dan kauh mengacu pada arah matahari terbenam. Keadaan ini berimplikasi pada perbedaan penataan lingkungan fisik, sosial, dan religius antara masyarakat Bali selatan dengan masyarakat Den Bukil. Ini karena masyarakat Bali menempatkan gunung sebagai daerah hulu luan karena sebagai tempat bersemayamnya para dewa; dan daerah pantai sebagai daerah leben. Dua konsep ini menimbulkan pula konsep suci dan leleh serta berbagai dampak yang ditimbulkannya. Karena itu, arah kaja-kangin (utara-timur/timur laut) dianggap sebagai arah daerah yang suci, sedangkan arah kelod-kauh (selatan-barat/barat daya) sebagai arah yang profan/tidak suci. Tidak mengherankan kemudian bahwa dalam struktur keluarga dan masyarakat desa/banjar adai di Bali, tempat suci atau pura keluarga dan pura desa umumnya diletakkan di bagian kaja-kangin dari lingkungan keluarga atau desa adat sebagai daerah /w/w/suci. Sebaliknya, wilayah untuk kepentingan profan seperti pembuatan wilayah peternakan atau pertanian, atau kuburan, dan di lingkungan keluarga sebagai tempat beternak, dapur, dan kamar mandi umumnya diletakkan di bagian kelod-kauh lingkungan keluarga atau desa adat sebagai daerah leben leleh. Sesuai dengan konsep hulu-leben ini juga orang Bali umumnya memandang daerah atau wilayah sebatas kepala orang dewasa ke atas dianggap sebagai daerah huluisuci, dan daerah sebatas perut ke bawah dianggap sebagai wilayah lebenleleh. Karena itu, dianggap menyalahi aturan jika orang Bali 29
meletakkan barang-barang atau benda-benda yang profan berada di atas kepala manusia. Begitu pula sebaliknya, dilarang untuk menempatkan benda-benda suci atau sakral berada di bawah. Konsep hulu dan teben ini juga memiliki implikasi pada penataan hubungan di dalam keluarga antara anak dan orang tua, antara anggota keluarga yang masih hidup dengan leluhur-Ieluhumya, hubungan antar stratifikasi sosial (kasta), dan hubungan antara perempuan dan laki-laki. Secara lebih luas hubungan-hubungan ini bahkan menjelaskan hubungan-hubungan antara keluarga (ku re n) dengan dadia, hubungan dadia dengan sorohiV\m\, hubungan keluarga dengan banjar!desa adat, hubungan desa adat dengan desa dinas, hubungan masyarakat lokal Bali sebagai satu kesatuan dengan masyarakat bangsa Indonesia, hubungan masyarakat dengan lingkungannya, dan hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global. Dalam hubungan antara anak dengan orang tuanya, orang Bali meyakini bahwa antara anak dan orang tua, di samping menjalin hubungan kesejajaran yang bersifat komplementer, hubungan itu juga bersifat sub-ordinalif. Dalam hal ini anak haruslah setia, hormat, dan patuh kepada orang tuanya, karena orang tua adalah guru rupaka yang sama kedudukannya dengan para dewa bagi anak. Apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan orang tua pada dasarnya haruslah dianggap baik oleh anak dan menjadi kewajiban anak untuk menjaga kehormatan orang tuanya. Hubungan subordinatif dan komplementer antara anak dan orang tua seperti ini tampak secara sosial dan religius dalam pelaksanaan upacara daur kehidupan. Orang tua, dalam hal ini, berkewajiban menyelenggarakan seluruh upacara yadnya daur kehidupan hingga anak-anaknya mencapai tingkat kedewasaan. Melalui upacara yadnya ini sesungguhnya orang tua mendidik anak-anaknya untuk menjadi dewasa, cerdas, berkepribadian, dan terampil baik secara pribadi, sosial, maupun religius. Sebaliknya, anak berkewajiban menyelenggarakan upacara ngaben bagi orang tuanya yang sudah meninggal. Melalui upacara ini ditanamkan konsep anak membayar hutang kepada orang tuanya dan menyembah serta mendoakan orang tuanya agar dapat kembali bersatu dengan Sang Paruma A iman. Tujuan ini akan lebih mudah dicapai jika anak benar-benar bisa menjadi siipulra bagi orang tuanya. Hubungan antara anak dengan orang tua tidak sebatas pada saat orang tua masih hidup. Hubungan tersebut terus berlangsung bahkan setelah orang tua meninggal. Di sini, orang tua yang sudah meninggal beserta leluhur-leluliur terdahulunya dipersonifikasikan dalam kehidupan di alam nirwana (alam para dewa). Untuk menjaga hubungan antara 30
anak dengan orang tua yang sudah meninggal dan para Ieluhur-Iduhur sebelumnya dibuatkanlah tempat persemayaman roh mereka yang telah disucikan di tempat pemujaan keluarga baik di purai sanggah keluarga atau di pura dadia atau di pura kawitan. Hubungan yang terus berlanjut seperti di atas secara niskala (transenden), menjelaskan pula terbentuknya level hubungan geneologis keluarga-keluarga di Bali dari struktur keluarga sebagai satu kureti (keluarga inti), keluarga Iunggalin sanggahfnaiah (keluarga luas dalam satu kompleks lingkungan keluarga), keluarga tunggalin dadia (keluarga luas, gabungan dari beberapa keluarga tunggc.Un nataksanggah), keluarga iunggalin kawitan (keluarga luas dari satu garis leluhur), dan keluarga iunggalin soroh'wangsa (keluarga luas dari satu garis leluhur yang membedakan kasta). Keseluruhan tingkatan keluarga inilah sesunggulmya pula yang membentuk sistem kekerabatan di Bali yang berkembang umumnya menurut garis keturunan laki-laki (patrilinial). Susunan seperti ini juga yang merupakan salah satu pembentuk organisasi sosial di Bali yang kompleks berdasarkan sistem kekerabatan, di samping adanya orgamsasi sosial berdasarkan wilayah teritorial adat (banjar adat dan desa adat) serta organisasi sosial secara sukarela atas dasar kepentingan tertentu yang disebut seka. Adanya hubungan kekeluargaan dalam tingkatan-tingkatan keluarga menurut garis keturunan patrilinial ini jelas masih menunjukkan adanya hubungan konsep hulu dan teben dalam praktik sistem kekerabatan dan sistem sosial di Bah. Di sini kawilan (asal mula) dapat dipandang sebagai hulu dari keluarga-keluarga inti di Bali. Sebaliknya, keluarga-keluarga inti adalah tekennya. Karena hulu mengandung konsep kesucian (menjadi bagian dari kekuasaan buana agung) dan leben mengandung konsep profan dan menjadi bagian kekuasan buana alit, maka hubungan yang terbentukpun konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Di sini keluarga-keluarga inti menunjukkan hubungannya dengan kawitan melaui upacara-upacara suci dan pewarisan tulai-nilai keutamaan keluarga. Sebaliknya, keluarga-keluarga inti menerima warisan peninggalan-peninggalan keluarga (umumnya tanah dan beberapa bentuk kekayaan keluarga lainnya) untuk kepentingan kelangsungan hidup keluarga-keluarga inti tersebut. Dengan sistem kekerabatan dan pewarisan yang mengandung unsur hubungan hulu dan ieben seperti ini, masyarakat Bali juga tidak bisa dihindarkan dari klasifikasi dan stratifikasi sosial menurut wangsa atau kasla. Secara liistoris, agama Hindu Jawa yang mempengaruhi sistem sosial dan budaya masyarakat Bali telah melahirkan sistem kasta itu yang menggolongkan masyarakat Bali menjadi dua kelompok kasta, yaitu kelompok masyarakat iri wangsa (brahmana. ksairya, dan waisya) sebagai kelompok kasta/wangsa 31
hulu dan kelompok masyarakat sudra wangsa sebagai kelompok wangsa leben. Walau ajaran Hindu di dalam Weda sendiri sesungguhnya tidak mengajarkan adanya sistem kasta ini, melainkan sebagai sistem warna (pengelompokan berdasarkan swadliarma atau bidang profesi), adanya sistem kekerabatan dan pewarisan nilai-nilai keluarga dengan sistem relasi-relasinya sebagaimana digambarkan di atas tidak bisa menghindarkan masyarakat Bali dari penerapan sistem kasta ini. Ini adalah penciptaan stratifikasi dan status sosial berdasarkan azas karma dan kelahiran {karma and jali-based). Hubungan patron-klien yang menunjukkan relasi hulu-leben antara kelompok sudra dengan kelompok iri wangsa ini juga tampak dan makin diperkuat dengan penggunaan bahasa Bali dalam komunikasi sosial di Bali di mana bahasa Bali menganut sistem sor-singgih bahasa (Beralha, 1993). Konsep rwa-bhineda yang memberikan makna relasi-relasi yang ambivalen juga mendasari praktik relasi gender dalam struktur sosial dan budaya masyarakat Bali. Di sini kali-laki dan perempuan tidak saja dibedakan secara fisik biologis, tetapi juga dibedakan secara sosio-budaya dan religius. Laki-laki di sini adalah representasi para Dewa (kekuatan purusa) yang berkuasa di kahyangan (buana agung hulu luhur), sedangkan perempuan adalah representasi para dewi (kekuatan predana) yang berkuasa di bumi (buana ulit teben leleh). Walau relasi Dewa/Dewi, begitu pula representasinya: lakilaki/perempuan, menunjukkan relasi komplementer, relasi hulu-leben (purusa dan predana) juga menjadi karakteristiknya. Laki-laki sebagai representasi Dewa (purusa) adalah sebagai penguasa, pemimpin, dan penerus; sedangkan perempuan sebagai representasi para Dewi (predana) adalah pemelihara, perawat, dan pemberi cinta kasili (Branson dan Branson, 1988). Secara fisik biologis, laki-laki dan perempuan dibedakan. Laki-laki adalah pemberi benih kepada perempuan. Sebaliknya, perempuan mengalami menstruasi yang dinilai sebagai darah yang kotori leleh. Di samping itu, perempuan juga melaksanakan peran-peran biologis yang lain, vaifu: mengandung benih laki-laki, melahirkannya, menyusui, dan merawatnya. Berpadunya relasi-relasi fisik biologis antara laki-laki dan perempuan yang bersifat komplementer seperti ini dengan relasi-relasi gender dalam representasi dewa-dewi di atas telah menciptakan perbedaan peran gender pada laki-laki dan perempuan di Bali dalam relasi-relasi superordinasi untuk laki-laki dan subordinasi untuk perempuan (Pusat Studi Wanita UNUD (1996). Sebagai representasi para Dewa yang berkuasa di kahyangan, laki-laki dapat mempunyai peran sebagai pemimpin agama karena dua alasan. Pertama, laki-laki sebagai 32
representasi para dewa adalah simbol kebijaksanaan. Hanya orang-orang bijaksana yang bisa menjadi pemimpin agama. Kedua, hanya laki-lakilah yang bisa memediasi kepentingan manusia di bumi dengan kekuasaan para Dewa di kahyangan suci, karena laki-laki menjadi simbol kesucian (tidak mengalami menstruasi). Perempuan tidak bisa menjadi pemimpin agama, dan, karena itu, tidak bisa memediasi kepentingan manusia dengan kekuasaan
para dewa di kahyangan
suci, karena dianggap memiliki
ke/eie A Wketidaksucian akibat menstruasi (darah kotor) yang dikandungnya (Pusat Studi WanitaUNUD, 1996). Teori ini memang tidak berlaku sepenulmya, karena hanya laki-laki yang memenuhi persyaratan yang dapat menjadi pemimpin agama. Sebaliknya, jika tidak ada laki-laki yang dapat memneuhi syarat menjadi pemimpin, perempuan tertentu yang memuhi syarat juga bisa menggantikan peran laki-laki. Laki-laki, secara sosial politik, juga bisa menjalankan tugas-tugas sebagai pemimpin masyarakat, karena laki-laki adalah representasi para dewa yang bijaksana dan penguasa alam semesta. Menjadi kewajiban laki-lakilah untuk memimpin dunia ini sebagai perpanjangan tangan kekuasaan para dewa di bumi. Sebaliknya, perempuan sebagai representasi para Dewi di bumi mempunyai tugas-tugas pelayanan, perawatan, pemeliharaan, penerus keturunan, dan pemberi cinta kasih (Branson dan Branson, 1988). Masyarakat Bali modern sekarang ini tidaklah terstruktur hanya dalam sistemsistem kekerabatan, sistem stratifikasi sosial dalam sistem kasta, dan sistem gender saja, melainkan
juga
terstruktur
dalam
organisasi-organisasi
sosial
kemasyarakatan
berdasarkan wilayah teritorial adat, organisasi sistem pertanian (subak), dalam struktur sosial politik kenegaraan dan pemerintahan, dan dalam organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan modem berdasarkan profesi Dalam hal-hal inipun konsep rwa-bhinneda tidak bisa diabaikan dalam menciplakan relasi-relasi makna. Dalam hubungannya dengan organisasi adat, masyarakat Bali mengenal banjar dan desa adat. Umumnya organisasi banjar adalah bagian dan desa adat. Secara kosmologi, Swellengrebel (1960) menilai bahwa konsep desa adat merupakan wilayah hutukaja, sedangkan konsep banjar merupakan wilayah teben kelod. Dengan hubungan seperti ini organisasi banjar umumnya lebih mengacu kepada kegiatan administratif gotong royong, dan aktivitas sosial ekonomi, karena pengaruh administratif kekuasaan raja-raja Bali-Jawa di masa lampau. Sedangkan organisasi desa adat lebih mengacu kepada aktivitas-aktivitas sosio-religius. Ini karena desa adat juga menyungsung pura kahyangan tiga (pura Desa/Bale Agung, Puseh, dan Dalem) sebagai pusai aktivitas ritual keagamaan desa adat. Hubungan antara banjar yang lebih berorientasi pada aktivitas-aktivitas keduniawian dan desa adat yang 33
lebih berorientasi kepada aktivitas-aktivitas sosial religius inilah menunjukkan bahwa keduanya tampak saling melengkapi tetapi juga mengandung makna relasi ordinasi, di mana banjar menjadi sub-ordinasi dari desa adat. Begitu pula yang terjadi pada organisasi sosial subak di Bali. Secara organisasi, subak berada di luar banjar atau desa adat. Karena itu, organisasi subak bisa melibatkan orang-orang atau petani-petani dari beberapa banjar atau desa adat. Sebagai satu organisasi adat, subak juga memiliki klian subak, cfHvg-tfw/g/aturan subak, dan pura sungsungan subakfyw*. bedugul. Secara sekala, organisasi ini memang merupakan organisasi yang mengelola sistem irigasi pada lahan-lahan pertanian di Bali. Tetapi, secara niskala, organisasi subak juga memiliki pusat aktivitas sosio-religius pada purapura subabbedugukiydL. Akhirnya, sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, masyarakat Bali juga adalah masyarakat Indonesia. Secara sosial politik masyarakat Bali tampaknya juga mengembangkan relasi-relasi kekuasaan sosial politik yang sama dengan model yang telah dijelaskan terdahulu. Bagi masyarakat Bali, secara sosial politik dapat dikatakan bahwa mereka umumnya menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok, suku, dan agama. Widja (1991), mengutip Last, menyatakan bahwa masyarakat Bali menempatkan kepentingan Indonesia pertama dan kepentingan Bali sebagai kedua. Dalam kerangka pemikiran strukturalisme, masyarakat Bali dalam wilayah kekuasaan buwana alit menempatkan wacana kepentingan nasional sebagai bagian dari wilayah kekuasaan buwana agung, dan, karena itu, nilai-nilai nasionalisme memberikan nilai-nilai transendental yang merupakan nilai-nilai supranatural yang diyakini dalangnya dari nilai-nilai kesucian para dewa. Nilai-nilai ini harus ditempatkan di hulwluan kepentingannya untuk diimplementasikan dibandingkan kepentingan masyarakat Bali sendiri yang cakupannya lebih kecil, yang dianggap berada di wilayah leben, agar menciptakan keseimbangan pada tataran kesemestaan yang lebih luas (makrokosmos). Memang ini bukanlah satu-satunya penjelas mengapa orang Bali menempatkan kepentingan nasional berada di atas kepentingan masyarakat lokal Bali sendiri. Secara historis, berpindahnya orientasi kekuasaan sosial politik dari tangan rajaraja di Bali sebagai wakil atau manifestasi kekuasaan para dewa kepada pemerintahan nasional yang telah disepakati bersama dalam pembentukan negara dan pemerintahan Indonesia, telah menyebabkan masyarakat Bali memposisikan nilai-nilai utama keawalaraan Wisnu dalam penjelmaanNya di dunia sebagai raja-raja menjadi nilai-nilai keutamaan nasionalisme sebagai nilai-nilai transendental yang dapat menyatukan dan 34
menciptakan keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan dalam tata bermasyarakat dan berbangsa Indonesia. Pola berpikir seperti ini tampaknya terjadi pula dalam menempati orang Bali dalam tatanan kehidupan global di mana nilai-nilai lat iwam asi menjadi cerminan nilai-nilai utama dalam upaya menjalin hubungan yang harmonis antara masyarakat Bali sebagai kekuatan buwana alit dengan kekuasaan nilai-nilai global yang mencerminkan kekuatan kekuasaan buwana agung (Widja, 1989,1991). Dari berbagai penjelasan di atas tampaklah bahwa secara struktural masyarakat Bali terikat pada berbagai jenis dan tingkatan kategori sosial yang makin kompleks. Semua jenis kategori lingkungan sosial yang telah dijelaskan di atas pastilah telah dimasuki oleh masyarakat Bali dalam kehidupan sosialnya. Dengan kata lain, secara tradisional, seorang manusia Bah sejak lahir haruslah mengorientasikan dirinya pada sejumlah kategori sosial baik secara geneologis, teritorial, maupun karena kekuasaan sosial politik. Ini tentu memainkan peranan yang besar dalam dialektika dan dinamika masyarakat Bali dalam membentuk proses identifikasi dirinya sesuai dengan dinamika konsep rwa-bhinedu. Sebagai McKean (1973:32) menyatakan: "for a Balinese, personal identity i s ihe sum lolal o fall 'terikal' (bortd), relaiionships, of affinittes and bonds lo kin, lemple, volunlary association, hamlel, tille group, andso on. 2. Ideologi Tri Hita Karam sebagai Core Values Masyarakat Hindu Bali Di samping bentuk-bentuk relasi oposisi biner yang membagi kategori sosial menjadi dua klasifikasi yang saling bertentangan tetapi juga saling komplementer dalam menciptakan hukum keseimbangan alam semesta dan kehidupan sosial seperti telah dijelaskan di atas, masyarakat Bali juga memiliki cara pandang yang membagi kategorikategori sosial menjadi tiga klasifikasi sebagai satu kesatuan yang juga bersifat komplementer. Pembagian tiga kategori ini karena masyarakat Bali memasukkan satu kategori yang memediasi pertentangan yang terjadi antara dua kutub oposisi biner untuk landasan
mencapai
titik
keseimbangan
tersebut.
Namun
demikian
ini
tidak
menghilangkan sifat hukum ma-bhineda itu sendiri dalam rangka menciptakan keseimbangan dan harmoni tersebut. Seperti di dalam konsep dualitas rua-bhtneda di atas, pembagian tiga kategori ini juga menemukan ekspresinya dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Salah satu konsep yang paling utama adalah ideologi Tri Hiia Karana.
35
Ideologi Tri Hiia Karana secara historis merupakan warisan ajaran Maha Mpu Kuturan yang secara tradisi dipahami sebagai peletak dasar desa pakraman (desa adat di Bali) dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali sejak abad ke 11 (SARAD, 2002). Dari konsep desa pakraman inilah, yang kemudian dikaitkan pula dengan konsep pura kahyangan liga atau pura kahyangan desa, melahirkan konsep Tri Hila Karana sebagai tatanan harmoni hidup manusia dengan alam lingkungan, sesama, dan Tuhan Yang Maha Esa. Konsep ini juga merupakan konsep keseimbangan antara pemenuhan kepentingan materi dan
kepentingan individu dengan kepentingan sosial dan kepentingan spiritual
yang disiapkan Mpu Kuturan sebagai proteksi terhadap kepentingan eksistensi agama Hindu di Bali (Titib, 2002). Secara terminologi, konsep Tri Hila Karana berasal dari kata iri yang berarti tiga; hiia yang berarti sejahtera, bahagia, rahayu; dan karana yang berarti sumber penyebab. Jadi iri hila karana berarti tiga sumber penyebab adanya kesejahteraan, kebahagiaan, dan kerahayuan daJain hidup dan kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan (Sudarma, 1971; Kaler, 1983). Ketiga penyebab kebaliagiaan hidup itu adalah apabila dapat terwujud hubungan yang harmonis antara manusia dengan penciptanya (Tuhan Yang Maha Esa), manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungan alanuiya. Tri Hila Karana ini kemudian berkembang menjadi ajaran keserasian, keselarasan, keseimbangan, dan sekaligus juga tentang ketergantungan satu sama lainnya dalam satu sistem kehidupan. Dikatakan demikian, karena, dalam pandangan masyarakat Hindu Bali, masyarakat selalu berusaha bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya. Hal itu dilandasi oleh satu kesadaran bahwa alam semesta adalah kompleksitas unsur-unsur yang satu sama laiiuiya terkait dan membentuk suatu sistem kesemestaan. Dengan demikian nilai utama masyarakat Hindu Bali adalah keseimbangan atau keselarasan itu sendiri (Dharmayudha dan Cantika, 1991:6). Prinsip utama keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dan dengan lingkungan alamnya ini menjadi pandangan dunia masyarakat Bali, baik dalam mengembangkan sistem pengetahuannya, pola-pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, seni, dan sebagainya. Pandangan ini sangat berguna bagi masyarakat Bali dalam usaha memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi baik dalain hubungan antar individu maupun kelompok. Karena prinsipprinsip utama ini menjadi dasar bagi pembinaan dan pengembangan sikap, nilai-nilai, perilaku, serta pola hubungan sosial masyarakat Bah, dan prinsip-prinsip ini terinternalisasi serta terinstitusionalisasi dalam struktur sosial kehidupan masyarakat Bah, 36
maka dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai dari ideologi Tri Hila Karma ini menjadi core values dalam kehidupan budaya masyarakat Bali itu sendiri. Core velues ini dapat juga menjadi basis bagi standar yang digunakan institusi-institusi utama seperti keluarga, kelompok kekerabatan, dan desa adai di Bali mengevaluasi anggota-anggotanya. Standar inilah yang menjadi kriteria untuk memberikan kesempatan kepada setiap insan manusia Bali mencapai kemajuan dan memperoleh reward dari sikap dan tindakannya di masyarakat. Implikasi dari adanya pandangan yang mengandung core values seperti di atas, unsur-unsur dalam struktur sosial yang membangun masyarakat Bali menerapkan prinsipprinsip Tri Hila Karana itu sesuai dengan lingkungan keludupannya. Pada tataran individu, manusia Bali sebagai lingkungan dunia mikrokosmos (buana alit), misalnya, diyakini bahwa kehidupan manusia merupakan wujud yang dinamis dari gerak hubungan unsur-unsur alman (jiwa), prana (tenaga, kekuatan), dan sarira (unsur badan kasar) (Kaler, 1983). Berdasar dan setangkup dengan itu maka pranata-pranata sosial masyarakat Bali yang lebih luas sebagai lingkungan dunia makrokosmosnya, dari organisasi keluarga sebagai pranata sosial yang terkecil, kelompok kekerabatan (klen), desa adat, organisasi subak, liingga masyarakat Bali secara keseluruhan, menerapkan pola yang sama dalam menciptakan hubungan yang harmonis dari ketiga unsur di atas dalam membangun pola aktivitas budaya sehari-hari melalui peneguhan pelaksanaan konsep-konsep parhyangan, pawongan, dan palemahan (Gorda, 1996). Melalui konsep parahyangan, manusia dan masyarakat Bali meyakini bahwa segala yang ada di dunia ini termasuk manusia adalah bersumber dari dan, karena itu, pasti akan kembali menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran ini mendorong manusia dan masyarakat Bali untuk meningkatkan c rada dan bhakti (iman dan taqwa) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca sesuai dengan ajaran-ajaran agama, keyakinan, serta tradisi yang dianutnya. Tidak mengherankan karena itu pada setiap lingkungan pranata sosial di Bali selalu ada di bangun tempat suci untuk memuliakan Tuhan sebagai wahana bagi manusia berhubungan dengan Tuhan. Begitu pula diyakini bahwa segala produk budaya dan peradaban manusia dan masyarakat Bali diciptakan adalah sebagai persembahan kepada Tuhan atau kepada para Dewa yang seiing disebut dengan yadnya. Ini dapat kita lihat, misalnya, dari makna-makna simbolik yang religius dominan bersembunyi dan terkandung pada pelaksanaan yadnya, aktivitas tradisi atau adat, serta hasil-hasil karya budaya dan kesenian Bali (Dhannayudha dan Cantika, 1991; Gorda, 1996; Sudiasa, 1992). 37
Melalui konsep pawongan, selanjutnya, manusia dan masyarakat Bali meyakini bahwa pada hakikatnya manusia itu sama sebagai makhluk dan hamba Tuhan yang berbudaya, dan, karena itu, perlu dikembangkan sikap saling usah, asih, dan asuh serta bekerja sama demi tujuan hidup manusia bersama sebagai makhluk sosial (Abdulsyani, 1987). Prinsip ini relevan dengan ajaran Hindu dalam Weda yang menjadi dasar keyakinan masyarakat Hindu Bali, yaitu ajaran tentang Tai Twam Asi yang secara harfiah berarti "ia adalah kamu juga". Dengan ajaran Tai Twam Asi ini dimaksudkan bahwa sesungguhnya semua manusia itu adalah satu dan sama sebagai makhluk Tuhan. Karena itu, diyakini bahwa menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri pula (Mantra, 1993; Parisada Hindu Dhanna, 1968). Dalam praktiknya, terutama di lingkungan keluarga, ajaran ini terefleksi dalam pelaksanan upacara manusa yadnya, pitra yadnya, dan rsi yadnya. Dengan upacara manusa yadnya, orang tua mewujudkan rasa syukurnya kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena telah dikarunia anak-anak, dan, karena itu, mereka memiliki kewajiban untuk membesarkan dan mendidik anak-anak mereka sehingga menjadi anak-anak supuira (anak-anak yang baik). Sebaliknya, anak-anak memiliki kewajiban untuk hormat dan membayar hutang terakhir kepada orang tua melalui upacara piira yadnya yang diyakini orang Bali dapat mengantarkan a/man/jiwa orang tua mereka menuju kesatuan dengan Tuhan yang Maha Esa (moksa). Upacara rsi yadnya, selanjutnya, merupakan bentuk penghormatan seluruh anggota keluarga kepada para rsi dan guru karena mereka telah memberikan ilmu pengetahuan suci yang digunakan utuk kepentingan keluarga dan kepentingan masyarakat seluruhnya (Gorda, 1996). Hubungan harmonis sebagai aplikasi ajaran Tai Twam Asi ini tidaklah hanya terjadi di lingkungan keluarga saja. Dalam kehidupan sosial masyarakat Bali pada umumnya pun juga dikembangkan azas-azas hubungan sosial dalam hidup bermasyarakat, seperti azas suka duka; paras paras (hidup rukun); salunglung sabayantaka (baik buruk, mants pahit dirasakan bersama); dan azas saling asah asih, dan asuh; serta kehidupan gotong royong yang kental mewarnai aktivitas kemasyarakatan di desa adai dan pranatapranta sosial lainnya (Dharmayudha dan Canlika, 1991). Unsur yang ketiga dari ajaran Tri Hita (Carana adalah palemahan. Melalui konsep ini, manusia dan masyarakat Bali meyakini perlunya hubungan yang harmonis antara manusia dengan unsur-unsur dan kekuatan alam lainnya. Hubungan seperti ini disimbolkan dengan ungkapan "kadi manik ring cecepu" (seperti janin dalam raliim 38
ibunya) (Putra, 1973; Kaler, 1983). Dengan ini manusia Bali mengembangkan kesadaran bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari alam, karena alamlah yang memberi manusia kesejahteraan. Bahkan manusia Bali meyakini bahwa unsur-unsur dan kekuatan alam ini adalah saudara manusia juga seperti disimbolkan bahwa setiap bayi yang Ialtir selalu bersama empat saudaranya (ari-ari, air ketuban, lamas/perabungkus ari-ari dan air ketuban, dan darah). Wujud cinta kasih manusia Bali terhadap unsur-unsur dan kekuatan alam semesta ini diekspresikan dalam bentuk upacara korban kepada para bhula (butha yadnya), di samping secara aktif memelihara dan melestarikan alam lingkungannya (Gorda, 1996; Atmadja, 1996.). Deskripsi di atas tentu masih bersifat supel. Ada banyak elaborasi yang dapat dijelaskan
yang menggambarkan aktivitas
riil
budaya masyarakat Bali
yang
mencerminkan pelaksanaan unsur-unsur core values di atas, baik pada tataran individu, keluarga, kelompok kekerabatan, seka, subak, desa adat, organisasi fungsional, maupun pada kelompok masyarakat Hindu Bali secara keseluruhan Pada level manapun ideologi ini dipraktikkan, dasarnya adalah hubungan harmonis antara ketiga eksistensi di atas haruslah tetap dijalankan. Di lingkungan sekolah, misalnya, sekolah yang memiliki komitmen
untuk melaksanakan ideologi Tri Hiia Karana
ini, pada struktur
permukaannya, setidak-tidaknya, sekolah haruslah memiliki parahyangan sekolah sebagai tempat warga sekolah berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa; hubungan antar civitas sekolah haruslah demokratis dan harmonis: serta adanya upaya pemeliharaan lingkungan fisik sekolah baik secara sekala maupun niskala. Setangkup dengan gagasan Tri Hiia Karana di atas, konsep klasifikasi tiga dimensi juga tampak dalam penerapan pada kehidupan sosial budaya masyarakat Bali adalah konsep Iriangga, irimandala, dan iriloka. Dikatakan setangkup karena konsepkonsep iiu juga merupakan manifestasi dari adanya relasi oposisi biner pada hubungan antara manusia sebagai unsur buana alil dengan lingkungan kosmiknya sebagai buana agung. Konsep iriangga menjelaskan bahwa manusia haruslah memperlakukan struktur diri dan masyarakatnya sesuai dengan kedudukan hulu-leben (atas-bawah/suci-leteh) dari masing-masing unsurnya. Konsep ini menjelaskan adanya tiga unsur badan (diri, bangunan, organisasi, sistem nilai) sesuai dengan kedudukan hulu-leben, yaitu: utama angga, madta angga, dan nisla angga. Konsep irimandala, selanjutnya, menjelaskan penataan atau pengaturan lingkungan (rumah, pura, desa) sesuai dengan kedudukan hulutehennyu menjadi tiga bagian, yaitu: ulama mandala, madia mandala, dan nista mandala. Akhirnya, konsep iriloka menjelaskan
kepercayaan masyarakat Bali
bahwa alam 39
semesta kosmik ini sesunggulmya terdiri dari tiga bagian sesuai kedudukan huluiebenuya, yaitu dunia swah loka (dunianya para Dewa), dunia bhwah loka (dunianya manusia), dan dunia bhur loka (dunianya tumbuh-tumbuhan, binatang, dan roh-roh yang lebih rendah derajatnya dari manusia). Hubuugan ketiga konsep ini dengan konsep mabhinneda dalam konsep hubungan buana alil dan buana agung dapat digambarkan sebagai berikut. Tabel 01: Bagan Hubungan Konsep Rwa-Bltineda dengan Triloka, Trimandala, dan Triangga Bhuwana Agung (Hulu/Suci/Kaja/Kangin) Tri Mandala Desa i Perumahan Swah loka Utama j Utama (dunia mandala j mandala para (wilayah j (wilayah Dewa) pura) : sanggah) Bhwah Madya Madya Madya loka mandala mandala mandala (dunia (jaba(bangunan (wilayah manusia) tengah) jjemukiman) rumah) Bhur Nista Nista Nista /oAo(dunia mandala mandala mandala hewan + (jaba!luar) (pertanian (halaman tumbuhrumah, teha) pasar, tumbuhan) kuburan Tri Loka
Pura Utama mandala (jeroan)
Bhuwana Alit j (Teben/Kelod) Tri Angga Badan Bangunan Utama angga Utama (kepala) j angga (atap rumah) Madya angga (badan)
Madya angga ; (badan) |
Nista angga (dasar)
Nista angga 1 (kaki) j i
Sepeiti pada penggunaan konsep rwa-bhnineda, penggunaan konsep klasifikasi tiga dimensi ini juga tidak terbatas hanya pada aspek-aspek dalam bagan di atas. Konsepkonsep ini ternyata banyak digunakan juga, misalnya, dalam klasifikasi nilai-nilai {utama, madya, dan nista), tingkatan upacara agama {utama, madya, nista), penggunaan dalam tingkatan bahasa {smggth, madya, sar\ tingkatan perbuatan (saiwam, rajas, tamas), dan sebagainya. Sesuai dengan nilai-nilai yang terkadung dalam setiap pandangan, setiap individu haruslah memahami aplikasi relasi-relasi sistem sosial di atas pada berbagai aspek kehiduan sosial budaya di Bali dan bertindak yang relevan dengan bentuk relasirelasi yang ada untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan hidup di dalam masyarakat dan dalam upaya mendapat kebaikan dan kesejahteraan. Widja (1991:4)) menyatakan: '7/ is perceived as desirable that everyone should ramai n cognizant of the.se three complemeniary elemenls and. in turn, act acvordmgly in order ta mainlain balance and harmony and gain goodness and welfare
40
3. Pembahan Struktur Sosial Budaya Masyarakat Bali Mengkaji
struktur
sosial
budaya
masyarakat
Bali
dengan pendekatan
strukturalisme seperti di alas seakan-akan tampak bahwa masyarakat Bali ada dalam keadaan statis tanpa pembaitan. Memang demikianlah adanya bahwa pendekatan strukturalisme banyak dinilai para ahli cenderung gagal menjelaskan aspek-aspek dinamika masyarakat. Kecenderungan reduksionis pendekatan strukturalisme dalam kajian sistem bahasa/simboliknya melalui deskripsi relasi-relasi oposisi biner yang menjelaskaivstniktur dalam dan struktur sosial masyarakat melalui temuan-temuan aspek sinkronis dalam sistem relasi-relasi memang menyebabkan seakan-akan masyarakat dikaji dalam keadaan diam atau statis tanpa perubahan. Ini adalah konsekuensi logis dari tujuan analisis strukturalisme ini memang adalah untuk menemukan nalar logis atau makna abadi di balik fenomena kajian warna warni bahasa atau struktur sosial budaya masyarakat. Tetapi, sesungguhnya tidaklah demikian persisnya. Bagaimanapun masyarakat yang tumbuh dengan struktur sosial budaya yang semakin kompleks tentu mengalami perubahan-perubahan. Hanya saja pembahan dalam kajian strukturalisme cenderung tidaklah dimaknai sebagai keadaan revolusioner atau perubahan dalam makna diskontinuitas
sosial
budaya
sebagaimana
pandangan
pasca-strukturalisme
dan
postmodernisme, melainkan hanya sebatas berlakunya hukum-hukum transformatif atau semacam alih rupa atau alih kode dalam sistem bahasa yang stmklur dalanuiya tetap mempertahankan nalar logis ulama yang melandasi fenomena transformatif itu. Dalam pandangan strukturalisme, perubahan dalam makna transformasi, dengan demikian, memang dapat leijadi pada struktur luar dunia simbol-simbol secara empirik. Tetapi, simbol-simbol budaya secara empirik tidaklah mempunyai maknanya sendiri tanpa memahami relasi-relasi sintagmatis dan relasi-relasi paradigmatisnya dalam keseluruhan sistem simbol-simbol sosial budaya itu. Dengan begitu transformasi itu tidaklah dapat dilepaskan dari kontinuitas sistem sosial budaya yang mendasari. Jadi, dalam perubahan sosial budaya sualu masyarakat, walau terjadi transformasi bentukbentuk simbol budaya, tetap dapat dipahami (walau sering tidak disadari) segi-segi esensi atau entitas sistem budaya yang menjaga kontinuitas atau pelestarian sislem sosial budaya tersebut. Di samping relasi-relasi homologi seperti di atas, perubahan sosial budaya dalam pandangan strukturalisme juga dapat dipahami dalam relasi-relasi oposisi biner yang melandasi relasi-relasi strukturalisme. Dstem ha! ftatart» ml^i^i ioi Kincir ->nforo Kn/^ov^» Uki
Jwaaa
l V1MUI
i
1
v/ .> • .) .
i/ • t a w a
u n v u ' U
i / u u u j u
>Ul im
perubahan dapat dipandang sebagai »1-JM Kiuliuo tiorn anf-ar-o tmAic• > * " !i
.' l i u u J u
>... « L. ,
UI l i a t i u
u U u i ^ l
i , w * (
A?
dan tradisi besar, antara yang tradisional dan klasik dan yang modern, dan lain-lain. Keadaan antara tesis dan antitesis ini ternyata memunculkan sintesis yang memungkinkan terjadinya sinkritisasi budaya. Yang dimaksud adalah upaya untuk mengolah, menyatukan, mengkombinasikan dan menyelaraskan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu sistem prinsip baru, yang berbeda dengan sistem prinsip-prinsip sebelumnya, yang dengannya dapat digunakan sebagai suatu kerangka penafsiran baru yang lebih komprehensif dan utuh (Aliiir^a-Putra, 2001:355). Dari sisi pandangan manapun dilihat, perubahan sosial budaya masyarakat Bali dapat dipahami secara strukturalisme. Widja (1993) memahaminya dengan konsep pelestarian budaya. Dalam hal ini, pelestarian budaya lebih diarahkan pada upaya menjaga semangat atau jiwa kualitas esensi nilai-nilai fundamental bangsa dari pada wujud fisik/luar budaya yang lebih terbuka
bagi perubahan sesuai selera zaman.
Pelestarian budaya juga menekankan kesadaran akan keterkaitan antara kualitas esensi budaya dan kemantapan jati diri sebagai dasar tumbulmya daya hidup seseorang atau kelompok untuk mngembangkan ketahanan diri dan kelompoknya dari kemungkinan dominasi kultural kelompok/bangsa lain. Tetapi, pelestarian budaya tidak mengharamkan terjadinya perubahan (termasuk yang ditimbulkan oleh penerimaan unsur-unsur budaya luar), asal pengaruh budaya luar itu tidak sampai mengguncang struktur kerangka dasar suatu sistem budaya (Widja, 1993:50). Untuk menjelaskan konsep pelestarian budaya tanpa mengabaikan adanya perubahan tersebut, Widja (1993) menjelaskannya dengan mengkaji pandangan kesemestaan masyarakat Bali dalam menjaga keseimbangan, yaitu konsep rwa-bhineda yang ditautkan pula dengan konsep desa, kala, patra (tempat-waktu-keadaan). Konsepkonsep ini telah dimanifestasikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali, termasuk dalam pandangannya tentang hakikat kehidupan sosial budayanya. Dalam pandangan konsep rwa-bhmneda untuk menciptakan keseimbangan, maka harus ada relasi oposisi biner dari suatu keadaan yang tetap. Jika ada kebudayaan Bah", maka dapat diterima adanya pengaruh budaya luar sebagai imbangannya. Maka, jika ada kebudayaan lama, haruslah ada pula kebudayaan baru sebagai pelengkap. Dengan begitu perubahan sosial budaya dimungkinkan terjadi, tetapi perubahan sosial budaya itu adalah dalam rangka pencapaian titik atau keadaan keseimbangan (equilibrium), keselarasan, dan keharmonisan semesta alam dengan seluruh isinya; dan bukan untuk menciptakan diskontinuitas (lihat Swellengrebel, 1960). 42
Bagaimana masyarakat Bali memanifestasikan konsep rwa-bhimeda tersebut, ternyata konsep desa-kala-palra itulah yang mewujudkannya. Di sini aplikasi konsep rwa-bhinneda akan bergantung pada tautan sejarah (konteks tempat, waktu, dan keadaan tertentu). Inilah yang memungkinkan terjadinya warna warni praktik kehidupan sosial budaya masyarakat Bali yang dalam bahasa strukturalisme disebut dengan hukum transformasi (alih kode) dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain, dan dari satu keadaan ke keadaan yang lain (Ahimsa-Putra, 2001; Barker, 2004). Dube, sebagai dikutip oleh Widja (1993:51) menjelaskan: "pengertian itu memungkinkan adanya variabilitas kontekstual dalam menu lili nilai-nilai dan mengizinkan aneka ragam oposisi menurut situasi". Pandangan seperti ini dibenarkan oleh Bateson (1973:98) yang antara lain menyebutkan*. "motion is essential to balance". Lebih lanjut, ia juga mengatakan: "this lasi poinl gtves us, 1 believe, a parlial answer to (he question of why Ihe sociely nol only conlinues lo funclion bui funclions rapidly and bwily". Tidak jauh berbeda dengan pandangan ini, McKean (1973:10) dalam studinya tentang pengaruh pariwisata terhadap kebudayaan Bali, antara lain menyatakan bahwa "although socioevonomic change is indeed laking p/ace in Bali, I wi/l argue in ihis wriling (hal U goes hund in hund wilh ihe conservalion of the iraditioml cullure in both Us 'liltle' and 'greai' a\pecl". Lebih jauh juga dinyatakan: "...ihere is a (simullamous) lendency lowards tunservalion as well as lowards change, a irend lowards 'resioration and reformalion' as well as lowards 'pmgress and modernizalion(McKean, 1973:32). Dari kajian strukturalisme di atas, jelaslah bahwa masyarakat Bali sebagai subjek kajian dapal dan lelah mengalami proses transformasi sosial budaya dalam suatu kerangka pandangan kesemestaan yang menjalin perubahan-perubahan sosial budaya yang dilakukan lelap berada dalam kerangka pemikiran keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan. Dengan begitu tetap pula dapat dipertahankan kontinuitasnya. Hal ini telah diakui banyak ahli dan budayawan bahwa masyarakat Bali kini memang telah mengalami proses transformasi sosial dan budaya ke arah pembentukan masyarakat modem tetapi dengan tidak melepaskan diri dari akar budayanya sendiri (Bagus, 1994; Widja, 1993). Dalam proses transformasi ini, sejak jaman pengaruh Hindu hingga kini, diakui bahwa banyak faklor-faktor eksogen memberi slimuli terhadap proses perubahan sosial di Bali (Ardhana, 1994; Creese, 1992; Vickers, 1989). Seiring dengan proses interaksi masyarakat Bali dengan duma luar, fungsi adaptasi masyarakat Bali memenuhi kebuluhan-kebutuhan masyarakat Bali dalam mengembangkan sistem sosial budayanya melalui kemampuan local genius (Artadi,
1993; Koentjaraningrat, 1986) dalam 43
memanfaatkan ikatan jaringan-jaringan sosial dan budaya yang telah ada (Geertz, dalam Taufik Abdullah, 1979). Ini berarti bahwa proses diferensiasi masyarakat Bali yang dimotori oleh elit-elit masyarakatnya dalam niengakoinodasi tantangan-tantangan eksternal tidak menyebabkan mereka terdisintegrasi dari keselumhan sistem sosial budaya masyarakat Bali yang dilandasi oleh core values Tri Hita Karana (Artadi, 1993; Noronha, 1979; Bagus, 1994). Memahami gerak perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali, karena itu, relevan dikaitkan dengan konsep keterkaitan antara tradisi kecil dan tradisi besar (Murray da-J Wax, 1971; Redfield, 1985). Dalam konteks perubahan sosial dan budaya yang pernah berlangsung pada masyarakat Bali, sekurang-kurangnya ada tiga tradisi yang liidup dan pernah saling berinteraksi, yaitu tradisi kecil kebudayaan asli masyarakat petani yang agraris dan komunal, tradisi besar kebudayaan Hindu yang berasal dari Jawa, dan tradisi besar global. Dari interaksi ketiga tradisi inilah dapat dikatakan bahwa telah terjadi siskritisme yang harmonis airtara tradisi masyarakat Bali asli dengan tradisi Hindu dan tradisi global yang mewarnai gambaran masyarakat dan budaya Bali kini (Geertz, 1992; Santeri, 1992). Meminjam konsep Geertz, masyarakat Bali telah melakukan kreasi dari ortodoksi menuju ortopraksis dalam kaitannya dengan tradisi kecil yang dimilikinya untuk menghadapi tradisi besar yang dihadapinya, yaitu mencoba mengungkap maknamakna simbolik di balik dogma yang dimiliki melalui penafsiran umum, penilaian, dan menemukan hakikat dasarnya.untuk kemudian dihayati, mengembangkan kepribadian, dan pada akhirnya merupakan sarana untuk menuntun kehidupan manusia Bali dalam mencapai tujuan liidupnya. Mungkin inilah sebabnya mengapa, kemudian, masyarakat Bali dewasa ini dikatakan berada pada fase transisi perkembangan antara masyarakat tradisional menuju masyarakat modem, tetapi dengan tetap berpegang pada core values Trt Hita Karana (Ardhana, 1994; Bagus, 1994; Neben, 1994; Pitana, 1994, Sujana, 1994; Triguna, 1994). Dalam perkembangan transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern ini telah diidentifikasi oleli beberapa pakar di atas tentang karakteristik kehidupan masyarakat Bali modern kini Di satu sisi, masyarakat Bali masih mencerminkan kehidupan masyarakat yang religius, percaya pada klenik, komunal, paternalistik, dan bergantung pada alam; di sisi lain telah tnuncu! puia - walau belum atau tidak seluruhnya terlembagakan secara kuat - karakteristik kehidupan masyarakat yang modem, yang cenderung sekuler, materialistik, hedonistik, terikat pada
waktu, demokratis dan egalitarian, dan
44
mengeksploitasi alam. Perubahan sosial dan budaya yang telah diidentifikasi oleh pakar ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan Bali, antara lain adalah sebagai berikut. Sujana (1994: 54-58) mengatakan bahwa manusia dan masyarakat etnik Bali sekarang sedang dalam transisi budaya, yaitu dari budaya yang berkarakter agraris, tradisional konservatif, domestik, klasik spiritual, monokultur, teknologi klasik, feodal, konvergen, estetik klasik, komunal, religius, simbolik, magis, kuat etnisitasnya, komunikasi klasik, dan keseimbangan kosmologis menuju orientasi nilai budaya yang berkarakter industri, modern progresif, budaya publik, komersial, multikultur, teknologi kontemporer, demokratis egalitarian, divergen, estetik modern, individual, modem, materislistik, dan sekuler, tidak jelas kebaliaiuiya, komunikasi sekunder, dan dipengaruhi oleh rekayasa makro (kekuasaan ekonomi dan politik). Secara historis, Ardhana (1994:17-37) menyatakan bahwa masyarakat Bali yang dulu cenderung feodal dan kuat dipengaruhi oleh budaya istana (puri) kini telah mengembangkan sikap dan pola hidup yang demokratis dan egalitarian (Bagus, 1994). Dari segi agama, Triguna (1994:73-92) mengatakan bahwa masyarakat Bali sekarang lelah pula berubah dari sikap dan pola prilaku keagamaan yang cenderung mengutamakan upacara (upakara), menuju konsepsi keagamaan vang menyeimbangkannya dengan prinsip tatwa dan susila. Secara ekonomi, Nehen (1994:93-108) mengatakan masyarakat Bali kini telah berubah dari masyarakat primer ke masyarakat tersier. Secara kelembagaan sosial, masyarakat Bali kini juga telah meningkatkan peran seka dari sekasaku yang bersifat tradisional agraris ke seka-seka yang modern (Aslika. 1994:109-136). Akhirnya, dalam dualisme antara kepemimpinan desa adat dan desa dinas ada kecenderungan dewasa ini bahwa, karena pengaruh modernisasi kelembagaan di tingkat desa yang diintervensikan oleh pemerintahan
pusat,
mulai
ada
pergeseran dimaua peran
kepemimpinan desa adat cenderung menjadi subordinasi kepemimpinan desa dinas (Pitana, 1994). Widja (1994: v) mengatakan: "...as we loak more deeply at whal happened beneath Ihe stirjace, we jind ihe realtly that shows a iendency lowurd subordinaiive relalionship among them (desa dinas and desa adai heads). In this case, we see ihe dominani role of kepala desa dinas upon pimpinan desa adat. even oti maiters wiihin adai domain " Pernyataan Widja ini ternyata mendapat penguatan dari studi disertasi Atmadja (1998) yang antara lain menemukan terjadinya perubahan atau pergeseran kekuasaan desa adat alas proses demokrasi politik dan ekonomi di desa adai Julah, dimana kekuasaan desa adat dewasa ini berada pada subordinasi kekuasaan organisasi politik pemerintahan nasional yang bersifat modem. 45
Dari pendapat dan temuan para ahli di atas jelaslah bahwa masyarakat Bali kini telah mengalami proses perubahan sosial budaya melalui proses modernisasi menuju karakteristik masyarakat dan manusia etnik Bali yang modem. Tetapi, diakui pula oleh para pakar bahwa perubahan sosial budaya masyarakat Bali bukanlah perubahan sosial budaya yang lepas atau tercabut dari akar budaya Balinya. Dikatakan demikian karena masyarakat Bali bukanlah masyarakat yang anti perubahan. Perubahan sosial budaya disadari betul oleh masyarakat Bali melalui keyakinannya akan konsep desa. kala, dan palra dan konsep nvu bhtnmda. Dengan konsep--lesa, kala, putra ini masyarakat Bali percaya bahwa aktualisasi keyakinan, nilai-nilai, tradisi, atau norma-norma menjadi organisasi tata laku dalam hubungan sosial dan budaya di masyarakat haruslah tetap bersumber pada nilai-nilai dasar keseimbangan antara dunia mikrokosmos (buana alit) dan makrokosmos (buana agung). Ini berarti pula harus ada keseimbangan dalam konsep hubungan unsur-unsur iri hita karana dan unsur-unsur rwa bhtneda. Namun, dalam praktiknya keyakinan, nilai-nilai, tradisi, dan norma-norma itu haruslah direintepretasi untuk disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat baru. Ini membawa implikasi, di satu sisi masyarakat Bali dapat beradaptasi dengan tuntutan dan tantangan masyarakat baru, di sisi lain, masyarakat Bali tidak perlu harus tercabut dari akar budayanya (Atmadja, 1998). B. Peranan Agama Hindu dalam Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Bali Secara teoritis dan dengan dukungan beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa agama memiliki fungsi dan peran dalam perubahan sosial budaya masyarakat. Kesimpulan ini memang masih bisa diperdebatkan. Tetapi, Lauer (1989) pernah menyatakan bahwa bahkan walaupun ada beberapa segi agama dapat menjadi penghambat
bagi proses
perubahan sostal budaya masyarakat, sangatlah tidak
bijaksana untuk menyatakan bahwa agama tidak penting peranannya dalam proses perubahan sosial budaya tersebut. Ini berarti bahwa agama tentu lebih banyak memberikan kemaslahatan bagi manusia dalam proses perubahan sosial budayanya. Di antara para teoritisi sosial sejak jaman klasik hingga modern banyak yang mencuralikan perhatiannya pada masalah peranan agama dalam proses perubahan sosial budaya masyarakat. Comte (Coser, 197}; Johnson, 1994), misalnya, dengan gagasan agama humanitasnya menjelaskan antara lain bahwa dari lintasan historis telah diketahui bahwa agama di masa lampau sudah menjadi satu tonggak keteraturan sosial yang utama. Karena itu, agama merupakan dasar untuk konsensus universal dalam masyarakat, dan 46
juga mendorong identifikasi emosional individu dan meningkatkan altniismfc.&T gagasan agama humanitasnya, Comte kemudian mengajukan suatu meningkatkan keteraturan sosial dalam masyarakat dengan agama humanitas s e b a g ^ a f f i cita normatifnya. Dengan agama humanitas ini, Comte sesungguhnya mengajuk gagasan utopis untuk mereorganisasi masyarakat baru secara sempurna yang membuat mereka berliasil menciptakan keteraturan sosial yang dapat disumbangkan oleh pemikiran ilmiah para ilmuwan (sosiolog) yang dilandasi oleh perasaan, cinta, dan sistem moral. Selanjutnya, Durklieim (1965; Coser, 1971; Johnson,-?994) juga ada menjelaskan tentang makna agama dalam kehidupan masyarakat. Dengan meneliti kehidupan religi masyarakat primitif terutama hubungan antara tipe kelompok sosial dengan tipe totemik, Durkheim berkesimpulan bahwa corak dari agama apa saja berhubungan dengan suatu dunia yang suci (sacred realm) yang berbeda dengan dunia profan dalam kehidupan yang biasa sehari-hari. Lebih lanjut dikatakan bahwa ide tentang dunia yang suci itu juga sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari kenyataan sosial, yaitu kehidupan kelompok sosial, dan sebenarnya mewakili kenyataan kelompok itu dalam bentuk simbol (totem). Dengan basis ini, jelaslah bahwa Durkheim sesungguluiya mencari akar munculnya kehidupan religi itu dari keliidupan kelompok masyarakat itu sendiri. Dengan hubungan antara againa dan kehidupan masyarakat seperti itu, sesungguhnya Durkheim memiliki concern dalam menjelaskan fungsi agama dalam kehidupan masyarakat yang menurut klasifikasi Alpert (Coser, 1971: 139) dapat berfungsi "as disciplinary, cohesive, vitalizing, and euphoric social forces". Dalam tataran yang paling umum, againa sebagai institusi sosial berguna untuk memberikan makna kepada hakikat penderitaan manusia dengan mengikatkan individu pada nilai-nilai transenden supra-individu yang sesungguJmya akar utamanya berada pada kehidupan masyarakatnya tersebut. Berikutnya, di antara para pemikir klasik, tampaknya Weberlah yang lebih intens mengkaji hubungan agama dengan proses perubahan sosial dalam masyarakat modern, khususnya dalam terbentuknya masyarakat kapitalis modern terutama di negara-negara barat. Weber dengan konsep asketisme dalam-dunia Protestan berhasil menjelaskan hubungan antara asketisme dengan perubahan sosial masyarakat menuju dunia kapitalis (Coser, 1971; Johnson, 1994). Studi Weber tentaug etika Protestan dan semangat kapitalisme menunjukkan bahwa ideologi agama, khususnya agama Protestan dapat mempermudah perubahan (Abraham, 1991; Goldthorpe, 1992; Horton dari Hunt, 1991; Lauer, 1989;). Menurut 47
Weber - dengan merasionalisasikan doktrin teologis Protestan, khususnya Calvinisme pemikiran Protestan membentuk kepribadian pengusaha yang aktivitasnya beipengaruh terhadap perkembangan kapitalisme. Adalah asketisme Protestan sebagai sumber pendekatan rasional dan sistematis yang mendorong kapitalisme, karena unsur modern kapitalisme ~ prilaku rasional berdasarkan ide panggilan - diturunkan oleh asketisme Protestan. Menurut asketisme Protestan, individu didorong oleh perhatian untuk mencapai kesejahteraan spiritual dirinya sendiri; dan ia dapat memastikan dirinya berada di dalam keadaan kasih sayang Tuhan melaui tindakan asketisme dalam--unia (Hasan, 1986; Lauer, 1989). Studi Weber ini mendapat dukungan beberapa peneliti lain. Geertz dalam studinya di Indonesia: "Penjaga dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia", membandingkan dua kota di Indonesia yang berbeda sosial budayanya, yaitu Mojokuto di Jawa Timur dengan penduduk beragama Islam yang berorientasi pasar, dan kota Tabanan di Bali yang penduduknya beragama Hindu bergerak di bidang ekonomi firma yang berasal dari usaha kelompok iri wangsa di Bali. Ia menemukan bahwa baik agama Islam modem maupun agama Hindu ortodok mempunyai peranan yang penting dalam proses perubahan sosial ekonomi masyarakat ke arah modernisasi (Bagus, 1987; Hasan, 1986; Lauer, 1989). Begitu pula studi Bellah, dalam bukunya "Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang" (1992), yang bertujuan mencari akar budaya Jepang pramodern yang mendukung modernisasi di Jepang, menemukan bahwa kehidupan religi jaman Tokugawa mempunyai peranan penting dalam proses modernisasi di Jepang. Agama Hindu sebagai salah satu agama besar di dunia dengan jumlah umat di tahun 1980 sekitar 583 juta jiwa, dan diproyeksikan akan berjumlah lebih dari satu miliar di tahun 2000an (Horton dan Hunt, .1991) mempunyai peranan yang vital dalam proses perubahan sosial masyarakat, baik untuk kepentingan umat Hindu sendiri maupun utnuk ketertiban, perdamaian, dan kemajuan peradaban seluruh umat manusia. Kenyataan sejarah telah menunjukkan tanda-tanda ini (Bagus, dalam Setia, 1992). Bagaimanakah model peranan agama Hindu dalam proses transformasi sosial budaya masyarakat? Geria (1991) menjelaskan model peranan agama Hindu (peranan normatif) dalam proses transformasi masyarakat sebagai tertera pada gambar berikut. Pertama, agama Hindu dapat berperan dalam memberikan motivasi, sehingga masyarakat bukan saja dinamis melainkan juga kreatif dalam perubahan. Untuk peran motivatif dan kreativitas, ajaran dan konsepsi agama Hindu yang relevan adalah 48
Gambar 01: Model Normatif Peranan Agama Hindu dalam Proses Transformasi Budaya Masyarakat Bali
Sumber: Geriya, Wayan. (1991). Peranan Agama Hindu dalam Transformasi Budaya. Denpasar: Institut Hindu Dharma: Mal. 5.
menyangkut ajaran Karma Phala, Yadnya, dan Etika Keija serta Catur Purushu Artha. Kedua, agama Hindu dapat berperan memberikan payung dan tuntunan moral bagi manusia dan masyarakat yang tengali berubah dan berkembang. Tuntunan moral ini penting untuk tetap terjenjangnya keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual. Untuk peran tuntunan moral ini, ajaran dan konsepsi yang amat relevan adalah dharma, iri guna, iri warga, iri kaya parisudha, dan iri marga. Ketiga, agama Hindu juga dapat berperan dalam memberikan pegangan dan simpul-simpul pengikat untuk tetap utuhnya jati diri. Untuk peran ini, ajaran dan konsepsi yang relevan adalah tal twarn asi dan yadnya. Empat, agama Hindu juga dapat berperan memberikan orientasi dan arah bagi perubahan yang ingin dituju seperti yang digariskan dalam tujuan kehidupan beragama. Untuk peranan memberikan arah dan tujuan hidup ini, ajaran dan konsepsi yang relevan adalah tentang moksarthatn jagadhiiu ya ca t u dharmah (Geria, 1991, Mantra, 1991). Keempat peranan normatif di atas tidaklah bekei j a secara sendiri-sendiri, melainkan bersifat
komprehensif yang dengan ketiadaan peran yang satu akan menimbulkan
ketidakkonsistenan pada peran aspek-aspek yang lain. Gorda (1996), senada dengan Geriya. dalam studinya tentang Etika Hindu dan Perilaku Organisasi juga telah mengembangkan kerangka konseptual yang tidak jauh berbeda dalam menjelaskan peran agama Hindu dalam proses modernisasi masyarakat 49
Bali. Menurutnya, againa Hindu memiliki nilai-nilai rasional yang turut menyumbang dan menjadi dasar bagi pembentukan etika perilaku wirausaha wan Hindu di Bali yang memiliki peran besar dalam pembangunan atau modernisasi ekonomi di Bali. Nilai-nilai rasional yang dimaksud diderivasi dari ajaran keyakinan masyarakat Hindu Bali, antara lain ajaran Panca C.radha yang memberi dasar bagi penetapan tujuan liidup manusia Hindu, yaitu Moksariham Jagadhila Ya Ca lii Dharma (kebaliagiaan lahiriah di dunia dan kebahagian abadi di sorga). Yang lain adalah ajaran tentang iri hila karana yang memberikan pemikiran kepada manusia Bali bahwa dalam pembangunan ekonomi sebagai basis untuk modernisasi, manusia (idak hanya harus memanfaatkan kualitas sumber daya manusia (pawongan) dan sumber daya alam (palemahan) seperti yang digunakan oleh modernisasi di negara-negara barat, tetapi juga perlu memberdayakan sumber daya spiritual atau sumber daya brahman (parahyangan). Integrasi ketiga sumber daya ini diyakini tidak saja memiliki sumber energi pendorong yang maha dahsyat, tetapi juga mampu membuat keseimbangan dan menjadikan usaha-usaha modernisasi suci secara niskala atau spiritual. Ajaran berikutnya adalah tentang tri kaya parisudha, yaitu kayika (berbuat yang baik), wacika (berkata-kata yang baik), dan manacika (memiliki pikiran dan pengetahuan suci). Bekerjanya modal dasar sumber daya manusia ini secara sinergis diyakini menjadi modal utama dalam pengembangan sumber daya manusia Hindu yang berkualitas. Ajaran berikutnya adalah tentang karma phala (hukum karma/perbuatan) dari samsara/'punarbawa (keialiiran atau penderitaan kembali). Dikatakan bahwa, penafsiran yang benar atas kedua ajaran ini untuk tujuan-tujuan medernisasi masyarakat Bali memberikan landasan kepada masyarakat Bah" untuk selalu berupaya berbuat yang baik dan benar untuk memperoleh pahala yang baik dan benar pula, sehingga diharapkan mampu mengantarkan manusia pada pencapaian tujuan hidup tertinggi, yaitu dalam bahasa lokalnya disebut suka lan mawali duka (kebahagian abadi yang tidak menyebabkan kembali pada kesengsaraan).
Dalam dunia bisnis materi (liidup
keduniawian), ajaran ini mengajarkan manusia Bali untuk mengumpulkan harta dan kama (memenuhi keinginan) yang sebesar-besarnya berlandaskan ajaran dharma (kebajikan), sehingga tidak akan kembali pada kemiskinan yang akan membawa pada penderitaan. Sedangkan, dalam makna spiritual, ajaran ini mengajarkan untuk berbuat baik dalam upaya mencapai moksa, yaitu tercapainya kehidupan bahagia yang kekal abadi di sorga. Tuntunan Hindu dalam Weda (Rgveda 1.41.6 dan 111.29.5 dan Samaveda 502), seperti dikutip oleh Gorda (1996:151), juga memberikan orientasi nilai rasionalitas 50
kepada masyarakat Bali bahwa untuk mencapai sukses dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, seorang manusia Bali haruslah: (1) aktif mengambil prakarsa, bekeija keras, dan meninggalkan tradisi yang sudah ketinggalan jaman; dan (2) kreatif-inovatif; dan (3) berorientasi ke masa depan. Akhirnya, beberapa nilai lokal Hindu Bali yang juga dinilai menjadi dasar bagi perilaku modem masyarakat Bah dewasa ini, antara lain adalah: nilai puputan (pengorbanan sebesar-besarnya secara tulus iklas tanpa pamerih), nyalanang jengah (mewujudkan cita-cita menjadi kenyataan), metaksu (berkarisma dalain profesi), mulai sarira (introspeksi diri), dan nilai-nilai sosial seperti paras paros sarpanaya (belajar seiring dan sejalan bagi kepentingan bersama), segifik seguluk sebuyantaka (baik dan buruk dirasakan bersama), dan saling asah (membelajarkan), saling asih (saling mengasihi), lan saling asuh (selalu memberikan kontrol satu sama lian). Nilai-nilai modem masyarakat Bali seperti digambarkan di atas, bukanlah hanya sebagai idealisme filosofis belaka. Penelitian-penelitian yang lelah dilakukan oleh Geriya (1996), Geertz (1977), Bagus (1994), dan Gorda (1996) menunjukkan bahwa temuan nilai-nilai rasionalitas Hindu yang memberikan sumbangan bagi proses modernisasi masyarakat Hindu adalah sejalan dengan pemikiran dan hasil penelitian ilmuwan dunia seperti Weber (1958) tentang hubungan antara Etika Protestan dan modernisasi di Eropa, Bellah (1992) tentang modernisasi masyarakat Jepang, Geertz (1977) tentang modernisasi masyarakat muslim di Jawa Timur, dan Redding (1994) yang meneliti peranan nilai-nilai Konfusianisme, Taoisme, dan Budha yang menjiwai kapitalisme di Cina. C. Pariwisata dan Pengembangan Kebudayaan Bali Aktivitas pariwisata di Bali telah ada sejak tahun 1920an melalui kunjungan wisatawan Eropa ke Bali atas propaganda perusahaan perkapalan Belanda. Kunjungan wisatawan Eropa ini diikuti pula oleh para seniman, peneliti, penulis, dan budayawan asing yang tertarik datang ke Bali dan makin mempopulerkan nama Bali di manca negara. Di antara mereka, antara lain adalah: Covarrubias, Arie Sinith, Antonio Blanco, Han Snel, dan sebagainya. Sejak tahun 1960an kemudian pariwisata di Bali berkembang pesat menjadi pariwisata yang bersifat massa (Erawan, 1993). Kehadiran
pariwisata di Bali ibarat ga\omg bersambut dengan perkembangan
kebudayaan Bali. I Merak asi masyarakat dan kebudayaan Bali dengan pariwisata telah melahirkan interaksi simbiosis mutualisme yang menurut McKean merupakan hubungan yang saling mengharapkan. Pada satu pihak, wisatawan mengharapkan kepuasan yang 51
bersifat estetis; dan pada pihak lain, masyarakat Bali mengharapkan kesempatan bagi pengembangan kebudayaan yang berimplikasi pula pada kesempatan ekonomis yang akan memacu pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan kebudayaan Bali itu sendiri. Pengharapan timbal balik dan saling melengkapi itu merupakan suatu struktur komunikasi dalam bentuk partialei/uiva lence slruciure (McKean, 1973; Walace, 1970). Dari hubungan timbal balik tersebut jelas bahwa antara pariwisata dan perkembangan masyarakat dan kebudayaan (dalam hal ini Bali) mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan yang erat ini dipertegas o'eh Mantra (1991) sebagai dikutip oleh Erawan (1993: 286-287) dengan menyatakan bahwa: Basically, ivurism remuins a cullurai phenomenon. By bringing cullura/ heriiage in ihe toumi circuii, tourism will be bemfitted and both tourism and cullure will mutually support each other. Tourism then, i/ well managed ix a dynamic factor thai cati bring social progress and a: (he same time can also be agreal vehicle of culture. which could foster goodwill between countnes. Kemampuan
masyarakat
Bali
mengembangkan
kebudayaan,
terutama
keseniannya, untuk kepentingan pariwisata dapat dijelaskan melalui konsep Maquet (seorang ahli antropologi) dan Wimsatt (seorang ahli estetika). Menurut Maquet, seperti dikutip oleh Soedarsono (1993:111-112), dengan hadirnya masyarakat wisata ke suatu daerah maka akan lahir satu bentuk kesenian yang lain di samping bentuk seni yang sudah ada. Kategori seni yang telah ada merupakan produk masyarakat setempat yang hasilnya dipergunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Seni kategori ini oleh Maquet disebut sebagai ari by deslinalton. Kategori seni yang kemudian dikembangkan masyarakat setempat untuk kepentingan wisatawan oleh Maquet dikategorikan sebagai seni akulturasi (ari of ucculiurulion). Kategori seni ini juga sering disebut sebagai seni wisata (tourisi ari). Keberadaan seni wisata inilah yang oleh W imsatt digambarkan sebagai pertemuan antara kehidupan kesenian masyarakat lokal yang cenderung bersifat religius dengan kepentingan pengembangan industri pariwisata yang dapat digambarkan dalam diagram di halaman berikut. Bagi masyarakat Bali sendiri sesunggulinya pembedaan dua bentuk seni ini telah berkembang sejak awal sesuai dengan konsep ma bhintda. yaitu adanya seni wah, yang umumnya untuk kepentingan kegiatan ritual keagamaan sebagai persembahan, dan seni bebulthan, yang umumnya bersifat profan untuk kepentingan pertunjukan (Dhannayudha dan Cantika, 1991). Bagi masyarakat Bali. seni bebulthan yang bersifat profan inilah yang mengilhami masyarakat Bali untuk mengembangkan seni akulturasi atau seni wisata untuk disuguhkan bagi kepentingan wisatawan Kalaupun ada seni wali yang diminati 52
Gambar 02: Diagram Wimsatt tentang Hubungan antara Seni Tradisi, Industri Pariwisata, dan Seni Wisata
Sumber: Soedarsono, R. M 1993. Industri Pamvisaia.Sebuah Tantangan dan Harapan bagi Negara Berkembang. Dalam Sudhanha. T.R. et ai (ed). Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar; Upada Saslra. Hal: I03-! !5.
wisatawan, masyarakat Bali bisa mengembangkan bentuk mini dan imitasinya yang tidak bersifat sakral (Ardika, 2004; Geriya, 1993, Soedarsono, 1993). Persoalan hubungan pariwisata dengan kebudayaan bukanlah persoalan kehidupan seni semata. Memang diakui bahwa aspek keindahan (estetika) dan kenangan adalah yang paling utama dikembangkan. Tetapi, banyak pakar juga mengatakan bahwa pembangunan pariwisata akan banyak berkaitan dengan sektor-sektor lain yang melibatkan interaksi antara masyarakat daerah wisata dengan wisatawan (Ardika, 2004; Naisbitt, 1994; Pitana, 2004). Karena itu, di setiap daerah wisata paling tidak akan berkembang kegiatan eksplorasi daerah atau objek-objek wisata dengan tetap memperhatikan kemampuan daya dukung dan kelestarian lingkungan wisata, pelestarian dan pengembangan kebudayaan dan seni lokal, pengembangan industri wisata yang disertai pengembangan seni wisata atau seni akulturasi, serta pemanfaatan dan pengembangan daya dukung sektor-sektor terkait dalam pengembangan industri pariwisata baik dalam pengembangan industri barang maupun jasa-jasa (Erawan, 1993; Geriya, 1993). Pariwisata memang memungkinkan membawa implikasi pada pengembangan kebudayaan bagi masyarakat Bali. Dengan potensi locul genius dan karakteristik yang dimiliki masyarakat Bali, secara historis masyarakat Bali memang terkenal sebagai masyarakat yang terbuka terhadap masuknya pengaruh budaya asing, tetapi masyarakat Bali tetap dapat mempertahankan jali dirinya dan berkembang menjadi masyarakat modem. Ini karena masyarakat Bali mengembangkan konsep tri matra dalam strategi kebudayaannya, yang menurut Geriya (1993). Mantra (1991), dan Widja (1993,1991) mencakup kemampuan pemantapan jati diri, menjaga kesinambungan unsur-unsur dasar kebudayaan, dan kempuan adaptasi pada perubahan dan kemajuan (lihat juga Universitas Udayana, 1976, 1973) melalui membangun satu konfigurasi budaya yang memadukan 53
budaya ekspresif (dominannya nilai-nilai solidaritas, estetis, dan religius) dengan budaya progressif (dominannya nilai-nilai ekonomi dan iptek). Usaha pemantapan jati diri dau menjamin kesinambungan unsur-unsur dasar kebudayaan bagi masyarakat Bali dikembangkan melalui pengembangan konsep iri hila karana yang secara struktur sosial dan budaya memungkinkan keterikatan masyarakat Bali pada sistem dan stuktur sosialnya
serta keterikatan dengan sistem budayanya.
Manifestasi dan implementasi dari nilai-nilai iri hila karana inilah yang terwujud dalam pengembangan beragam aktivitas upacara ritual dan aktivitas keseuiaii yang didukung oleh pemantapan peran-peran kelembagan sosial dan religius tradisional masyarakat Bali dalam keluarga, dadia, banjar, desa adat, pura kahyangan tiga, seka, dan subak serta desa dinas sebagai wadah partisipasi aktif masyarakat Bali dari anak-anak, remaja, orang tua, laki-laki maupun perempuan. Keunikan masyarakat Bali yang seperti inilah yang dinilai sebagai daya tarik Bali bagi para wisatawan. Selanjutnya, dengan kedatangan wisatawan, lebih-lebih setelah perkembangan pariwisata massal di Bah sejak lahun 1960an, masyarakat Bali mengembangkan kemampuan adaptif terhadap perubahan dan kemajuan pariwisata melalui pengembangan sektor industri pariwisata. Ini dinilai adalah yang paling relevan bagi masyarakat Bali dan bagi kepentingan pengembangan pariwisata itu sendiri yang dinilai akan membantu masyarakat Bah dalam pengembangan devisa daerah dan negara serta memungkinkan masyarakat Bali mendatangkan modal dari luar negeri untuk kepentingan pembangunan daerah dan pembangunan nasional, sementara masyarakat Bali dapat mengembangkan kebudayaannya sendiri (Ardika, 2004; Erawan, 1993; Pitana, 2004). Industri pariwisata yang dikembangkan masyarakat Bali adalah seluruh aktivitas industri untuk kepentingan pariwisata yang mencakup bidang-bidang akomodasi (perhotelan dan restoran), travel atau transportasi, informasi dan komunikasi, atraksi, pengembangan objek wisata, inovasi industri kerajinan untuk souvenir, pengembangan industri agrowisata, dan pengembangan industri jasa-jasa kepariwisataan. Semua bidang pengembangan industri pariwisata ini ternyata tidak lepas dari landasan nilai-nilai religi, estetika, dan etika Hindu Bali. Inilah yang disebut banyak kalangan kemudian sebagai pengembangan industri kebudayaan masyarakat Bali dalam perkembangan pariwisata di Bali (Geriya, 1993). Dikatakan demikian karena dalam aktivitas industri yang bertumpu pada industri pariwisata dan industri kerajinan, masyarakat Bali tetap ada dalam kesinambungan struktur dan kultur. Begitu pula kebudayaan dan kesenian tradisional hidup berlanjut di tengah-tengah perubahan dan kemajuan. Proses industrialisasi 54
masyarakat Bali seperti ini dinilai tetap berada pada proses conlinuily in changes. Inilah juga yang menyebabkan mengapa pariwisata di Bali di era proses industrialisasi ini dinilai telah memperkuat gerakan revitalisasi kebudayaan Bali (Geriya, 1993; McKean, 1973; Widja, 1993,1991). Di sini pariwisata berkembang, masyarakat Bah' dan kebudayaannya juga berkembang. Inilah yang dikatakan McKean (1973) sebagai terjadinya pola hubungan yang saling mengharapkan. Interaksi yang dinamis dan positif ini digambarkan oleh Geriya (1993) dalam satu model interaksi kebudayaan dan industri pariwisata dan kerajinan serta dampaknya bagi orang Bali sebagai diagram berikut. Gambar 03: Diagram Model Interaksi Kebudayaan dan Industri Pariwisata dan Kerajinan serta Dampaknya bagi Orang Bali PARTISIPASI AKTIF
ORANG BALI
M engembangkan
Menunjang • INDUSTRI PARIWISATA DAN KERAJINAN
Kepuasan Balhin
Revitalisasi
p KEBUDAYAAN
KEPUASAN MATERIAL Sumber: Geriya. W. 1993 Model Interaksi Kebudayaan dan Industri Pariwisata pada Masyarakat Bali. Daiam Sudhartha, T. R. et ai., (ed). Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa Denpasar: Upada Saslra. Hal. 90-101.
Sebagai konsekuensinya, tentu tidak dapat dihindari adanya interaksi yang semakin intensif antara masyarakat Bali dengan wisatawan — domestik maupun mancanegara - baik yang bersifat interaksi sosial (dari persahabatan liingga perkawinan), seni dan budaya (dari menikmati hingga pertukaran seni dan budaya), ekonomi (kerja sama ekonomi dan bisnis jual beli), maupun interaksi religius (dari menikmati pengalaman religius hingga pindah agama dan keyakinan) (Danles, 1989; Sukadi, 1994). Tidak dapat dipungkiri pula, karena itu, telah terjadi shuring pengalaman, pengetahuan, bahasa, gagasan, bahkan saling mempengaruhi sikap, keyakinan, nilai-nilai, ideologi, kebiasaan, dan pola tindakan tertentu baik oleh dan kepada masyarakat Bali sendiri maupun oleh dan kepada wisatawan (lihat Naisbitt, 1994). Dilihat dari interaksi kebudayaan secara luas tentunya dapat dikatakan telah terjadi kontak budaya antara masyarakat Bali yang berkarakter! stik religi Lisi las Hindu Bali dengan wisatawan yang 55
membawa orientasi budaya global. Kontak Budaya itu dapat digambarkan sebagai tertera pada gambar 04 berikut. Gainbar 04: Pola Kontak Budaya antara Kebudayaan Lokal Masyarakat Bali dan Peradaban Global Masyarakat Wisatawan Mancanegara di Bali Peradaban Masyarakat VVisatawan:(ModerB - Global)
j
Peradaban Masyarakat Bali: (Religiusitas Hindu Bali) a. Agama Hindu b. Budaya c. Seni d. Tradisi Kecenderungan - sakral, bercorak Hindu Bali - total, integral - kebersamaan, komunal - keseimbangan kosmis (lahir dan bathin)
a. b. c. d.
Sains dan Teknologi Sistem Pendidikan Formal Pranata Ekonomi GlobaJ Sistem administrasi dan orGanisasi dengan birokrasi e. Media masa Kecenderungan: Sekulerisasi Pragmentasi Individualisasi Materialisme Hedonisme
Sumber: Diadaptasi dari Dharmayudha, (1995). Kebudayaan Bah Pra-Huuiu. Masa Hindu dan Pasca Hindu. Denpasar Kayumas Agung: Ha!. 17,
Pariwisata merupakan suatu industri yang sangat kompleks, tidak berdiri sendiri, dan selalu berkaitan bahkan secara global dengan sektor-sektor pembangunan lainnya. Pengembangan kepariwisataan secara tepat merupakan salah satu faktor yang dapat merangsang pertumbuhan sektor-sektor terkait (Naisbitt, 1994). Di samping itu pariwisata merupakan industri yang sangat peka terhadap perubahan-perubahan. Young (1973) mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata dapat memberi pengaruh positif maupun negatif terhadap masyarakat dengan segala atribut sosial, kultural, maupun psikologis. Karena itu, kehidupan aktivitas kepariwisataan di Bali juga tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh positif dan negatifnya, balikan menjadi salah satu pendorong yang cukup dominan bagi pembahan sosial di Bali. Ini karena pariwisata dapat dikatakan telah menjadi konteks sosial yang dominan bagi aktivitas keseharian masyarakat Bali. Efek positif langsung yang dirasakan masyarakat Bali adalah peningkatan
kesejahteraan
material
masyarakat
karena
meningkatnya
kegiatan
komersialisasi (Grabum, 2000) dan terdiferensiasinya sektor lapangan kerja baik secara formal maupun informal yang mendatangkan devisa bagi masyarakat Bali. Efek positif lainnya, antara lain adalah: peningkatan pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel, restoran, arishop, transportasi, komunikasi, pasar seni, sarana hiburan dan fasilitas 56
lainnya; dipertahankannya beberapa tradisi masyarakat yang luhur (aktivitas subak, seka, keliidupan gotong royong, pesta seni, rehabilitasi dan pembangunan tempat-tempat ibadah, dsb.); pengembangan kreativitas seni dan kerajinan; pengembangan sekolah kejuruan dan lembaga studi / kajian budaya dan pariwisata (SLTA, diploma, SI, S2, S3 dan LSM); usaha reservasi situs-situs budaya yang bersejarah; pengembangan Bali sebagai pulau taman dan pulau surga (ihe island of paradise)\ berkembangnya pengetahuan dan kesadaran global pada masyarakat yang memungkinkan pengembangan kemampuan
dan
kepribat'-m
untuk
berkompetisi
dalam
perekonomian
global;
mengembangkan etos dan produktivitas kerja yang baru; dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri pula tentunya bahwa pariwisata juga telah memberi efek yang negatif terhadap masyarakat dan kebudayaan Bali seperti adanya peniruan (demonstration effeci) terhadap kebudayaan Bali, koinodifikasi, penurunan kualitas kesenian, profanisasi kesenian sakral, profanisasi kegiatan ritual dan tempat suci (Ardika, 2004), perusakan lingkungan di beberapa daerah (Pitana, 2004), memudarnya minat generasi muda terhadap bahasa daerah Bali, munculnya dan maraknya praktik gigolo dan prostitusi di beberapa daerah wisata, berkembangnya sikap individualistik, materialistik, dan hedonistik, menurunnya minat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di beberapa daerah wisata karena faktor kerja yang mendatangkan uang atau dolar, perkawinan campuran yang merugikan masyarakat Bali, dan sebagainya. D. Konflik Kepentingan Masyarakat Lokal, Nasional, dan Global: Pengaruhnya terhadap Pendidikan IPS di Sekolah serta Dampaknya terhadap Siswa Pendidikan sosial sebagai tujuan yang lebih luas dari pendidikan IPS di sekolah sangat peka terhadap kepentingan dan pengaruh masyarakat sekitarnya. Ini disebabkan karena, pada dasarnya, sekolah - tennasuk pendidikan IPSnya —juga merupakan subsistem dari sistem masyarakat yang lebih luas, baik sebagai subsistem sosial, subsistem budaya, maupun subsistem teknologi (Koentjaraningrat, 1986). Di samping itu, tentunya masyarakat juga adalah subjek bagi studi IPS tennasuk tempat dimana pendidikan IPS itu diajarkan (Nelson, 1991). Sebagai subsistem dari sistem sekolah dan sistem masyarakat yang lebih luas, karena itu, pendidikan IPS memiliki misi dan tujuan yang bersifat normatif bagi kepentingan masyarakatnya (Somantri, 2001; Stopsky dan Lee, 1994). Karena itu, nilainilai yang positif dalam masyarakat tentu akan terekspresikan dalam studi PIPS, begitu
57
pula nilai-nilai yang kritis dan mengalami konflik akan dieksplorasi dalam PIPS (Stradling, Noctor, dan Baines, 1984). Dilihat dari kepentingan tersebut, PIPS tidak saja berfungsi sebagai proses sosialisasi dan transmisi budaya bagi kepentingan kelestarian masyarakatnya, tetapi juga dapat berperan menjadi agen perubahan sosial budaya dalam masyarakat itu sendiri (Waterworth dan Supriatna, 1997). Dalam generalisasi Engle dan Ochoa (1988) dijelaskan bahwa adanya kepentingan masyarakat yang berkompetisi, tidak saja hal itu akan mendorong kri'ik sosial yang diperlukan bagi proses kemajuan masyarakat, tetapi juga akan mendorong masyarakat untuk memelihara tradisi-tradisi budayanya. Konflik kepentingan masyarakat inilah tentunya yang akan merupakan subjek utama dalam pendidikan IPS dan menjadikannya sebagai objek studi yang berupa isu-isu kontroversial (Apple, 1979). Begitulah maksud-maksud normatif yang mencerminkan harapan-harapan dari komponen-komponen dalam masyarakat menuntun kepada pemilihan berdasarkan kepentingan ideologis dari nilai-nilai, konsep, data, sikap, dan perilaku yang boleh dan tidak boleh diajarkan dalam PIPS. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan sosial (PIPS) itu merupakan wahana kontes kepentingan dari berbagai kelompok masyarakat (Apple, 1979; Giroux, 1988; Stanley, 1981). Konsep masyarakat yang menjadi subjek dan sekaligus objek bagi studi IPS tersebut memiliki berbagai dimensi, yang masing-masing dimensi itu mengandung muatan unsur budaya dan valensi serta pembahan sosialnya (Cohen, 1985; Nelson, 1991). Setiap dimensi masyarakat ini tentunya mengandung muatan unsur sistem sosial, budaya, dan sistem teknologinya sendiri (Koentjaraningrat, 1986), atau menjadi subsistem dari sistem budaya yang lebih luas. Muatan-muatan unsur budaya itu antara lain adalah ideologi, sistem keyakinan/religi, ritual, upacara, bahasa, tradisi, sistem simbol, pola prilaku hubungan sosial, dan sebagainya. Masyarakat yang dipelajari dalam IPS ini tentu bukanlah masyarakat yang statis, melainkan dinamis dalam gerak evolusi atau perubahan sosialnya yang membawa serta perubahan valensi nilai yang dapat berubah ke arah nilai yang positif, atau sebaliknya, menjadi negatif Berbagai dimensi masyarakat dalam muatan unsur-unsur budaya dan perubahan valensinya inilah yang diakui para ahli turut mewarnai kebijakan program, proses, dan produk pendidikan sosial (IPS) di sekolah. Dan, di sinilah konflik kepentingan itu bisa terjadi. Sesuai dengan bentuk-bentuk konflik kepentingan yang mewarnai pendidikan IPS seperti telah dijelaskan di atas, setidak-tidaknya ada konflik kepentingan tiga level 58
kelompok masyarakat yang sangat perlu diidentifikasi dan dieksplorasi lebih lanjut dalam pengaruhnya terhadap pendidikan IPS di sekolah, yaitu konflik kepentingan antara masyarakat lokal/etnik, kepentingan nasional dan masyarakat multikultural, serta kepentingan masyarakat global (Banks, 1981; Stopsky dan Lee, 1994). Beberapa literatur Pendidikan IPS dewasa ini juga telah memasukkan pentingnya pendidikan etnisitas, pendidikan multikultural, dan pendidikan perspektif global (Banks, 1981; Nelson, 1991; Stopsky and Lee, 1994). Banks (1981:135), misalnya, menggambarkan pentingnya pendidikan multietnik melalui pengembangan tipologi jenjang etnik ke dalam enam tingkatan yang dapat digambarkan sebagai tertera pada halaman 60 berikut. Senada dengan Banks, Tilaar (1999:90) dalam bukunya Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam perspektif Abad 21 juga menyarankan pentingnya mengakomodasi konflik kepentingan masyarakat lokal, nasional, dan global agar menjadi dasar dalam pengembangan program pendidikan di sekolah yang dapat digambarkan sebagai tertera pada gambar 06 di halaman 61. Harapan-harapan dari adanya konflik kepentingan dalam masyarakat pada tiga level tersebut jujur harus diakui belum dapat dikonstruksi dan distmkturisasi dalam program-program pendidikan IPS secara jelas, seimbang, sisitematis, berencana, dan terorgam'sir, apalagi di Indonesia. Selama ini harapan-harapan tersebut barulah mempengaruhi berkembangnya gagasan-gagasan pendidikan IPS yang inovatif serta mempengaruhi kurikulum tersembunyi (Nelson, 1991). Pengembangan pemikiran inovatif untuk mengakomodasi dan turut memecalikan konflik kepentingan masyarakat lokal, nasional, dan global (multikultural) dalam dimensi pendidikan dinilai amat relevan dengan tuntutan perkembangan masyarakat abad ke-21. Hal ini memungkinkan pengembangan SDM unggul menghadapi tantangan masyarakat kompetitif era globalisasi serta pengembangan SDM dengan karakteristik belajar secara terus menerus dan tetap menghargai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai indigeneous (Gafiar, 1996, 1999; Tilaar, 1999). Hal terakhir ini sejalan dengan penilaian komisi UNESCO (dalam Tilaar, 1999) yang menyatakan bahwa dalam mempersiapkan pendidikan manusia abad ke-21 belajar haruslah didasarkan kepada empat pilar utama, yaitu: learning to ihink, learning to do, learning to be, Jati learning to live logether. Pilarpilar pendidikan seperti ini tentu dapat dikatakan sebagai model belajar berbasis budaya dan ini tentu sangat penting dan relevan diterapkan dalam program pendidikan IPS di sekolah.
59
Gambar 05: Tipologi Enam Jenjang Etnik dalam rangka Pendidikan Muttietnik menurut James A. Banks. Globalism and Global Competency
Stage6
Multiethnicity ait
Stage S
i
\
Biethnicity
Stage4
Ethnic Identity Clarification
Stage 3
i
k
Ethnic Eacapsulation
Stage 2
i L
ethnic Psychotogical Captivity
Stage 1
Sumber; Banks. J A 19SI. Mulliethnic Educalion. Theory and Practice. Boston. Allyn and Bacon. Hal: 135.
Pentingnya paradigma IPS berbasis budaya lokal, nasional, dan global (multikutural) juga dapat dinilai dari pentingnya inenciptakan SDM masa depan yang mampu berpikir global namun dapat bertindak secara lokal (think globally, act locally). Menurut isiilah Wertheitn, sosiolog berkebangsaan Belanda, disebut "plain living and high thinking".
60
Sumber: Tilaar. H A R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Hal: 90
Penerapan pendidikan budaya tokai, nasional, dan perspektif global dalam IPS ternyata bukanlah harapan masyarakat Indonesia semata. Di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Australia, negara-negara Eropa, bahkan di negara-negara Asia lainnya ketiga jenis pendidikan di atas ternyata telah diintegrasikan dalam pendidikan IPS (Social Sluciies atau Social Educatkm) mereka (Banks, 1981; Stopsky and Lee, 1994; Waterworth, 1999; Welton and Mailan, 1996; White, 1985). Demikianlah bahwa di setiap negara vang mengintegrasikan
pendidikan
budaya loka!,
nasional, dan global
(multikultural) kc dalam Pendidikan IPS, mereka menilai bahwa mereka telah menghadapi masalah dan tantangan yang sama di masa depan karena saling ketergantungan masyarakat global. 61
Berkembangnya pemikiran-pemikiran dan harapan-harapan seperti di atas ternyata dapat berpengaruh pula terutama pada apa yang disebut hidden curriculum di sekolah. Hal ini terutama juga berkaitan dengan ideologi yang berkembang yang berpengaruh kepada program-program sekolah. Sebagai salah satu contoh, Apple (1979) mengidentifikasi bahwa Pendidikan IPS
(Social Siudies) merupakan subjek yang secara ideologis
didominasi oleh kurikulum tersembunyi yang membatasi siswa pada pandanganpandangan konservatif normatif tentang dunianya. Begitu juga Giroux dan Penna (1979), misalnya, mendefinisikan kurikulum tersembunyi dalam pendidikan IPS merupakan keyakinan-keyakinan,
nilai-nilai,
dan
norma-norma
yang
tersembunyi
yang
ditransmisikan kepada siswa melalui struktur makna yang mendasari. Peneliti-peneliti lain seperti Gilbert (1984) dan Nelson (1991) antara lain juga menyatakan bahwa pendidikan sosial dan politik umumnya ditujukan untuk mengajarkan pandangan-pandangan kelompok dominan dalam masyarakat, menanamkan ideologi-ideologi ekonomi dan pemerintalian nasional, serta membatasi konflik-konflik kepentingan dari pengkajian. Jika pernyataan-pernyataan di alas benar dapatlah diyakini bahwa program Pendidikan IPS tidak dapat dilepaskan dari adanya konflik kepentingan dalam masyarakat dalam rangka mewujudkan adagium thinkglobaily, aci locally, undcommit naiiomlly. Di samping konflik kepentingan pada ketiga level masyarakat di atas, menurut Stopsy dan Lee (1994), Pendidikan IPS perlu pula mengeksplorasi konflik kepentingan antar kelas sosial (social class) dalam masyarakat dan konflik kepentingan gender. Konflik-konflik kepentingan ini dinilai mengandung muatan unsur-unsur budaya yang utama seperti ideologi, bahasa, sistem simbol, pandangan terhadap iptek, sistem religi dan ritual, orientasi nilai, perilaku hubungan sosial, dominasi distribusi kekuasaan politik dan ekonomi, dan sebagainya. Pengaruh berbagai kepentingan masyarakat yang mewarnai program dan proses pendidikan IPS di sekolah ini tentu memiliki produk atau ouipui serta dampaknya pada siswa (Nelson, 1991). Sebagai contoh, Litt (1963) menemukan bahwa siswa yang diberi pelajaran civics di sekolah cenderung lebih menghargai nilai-nilai dan cita-cita demokrasi dan kurang bersifat chauvinistik. Lebih lanjut, Litt (1963) juga menemukan bahwa ada perbedaan keyakinan dan sikap politik siswa yang terekspresi dalam pelajaran civics dilihat dari tiga kelompok kelas sosial dan harapan-harapan pemimpin masyarakatnya. Labov(1987) menemukan bahwa teijadi polaritas sosial pada siswa yang terekspresi dalam penggunaan bahasa dan konsep literasi sebagai yang diadopsi oleh sekolah. Polarisasi itu teijadi antara siswa kulit putih dan siswa Afrika-Amerika, siswa pria dan 62
wanita, dan antara kelompok kelas menengah dan kelas pekerja. Selanjutnya, Ogbu (1987) menemukan adanya bentuk identitas oposisi di antara siswa kelompok minoritas di Amerika yang muncul dari perbedaan budaya dan bahasa yang berkomplikasi dengan bentuk dan persepsi yang berbeda terhadap pendidikan sosial. Bemstein (1976) juga menemukan perbedaan berdasarkan kelas sosial dan penggunaan bahasa sebagai bentuk kontrol sosial bagi siswa. Penelitian Sukadi (1994) menunjukkan bahwa siswa yang memiliki frekuensi yang tinggi dalam berinteraksi dengan wisatawan asing sebagai dampak pembelajaran bahasa a?;ng menggunakan pendekatan komunikatif dapat meningkatkan kadar nilai modem siswa SMTA di Bali, tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap tingkat religiusitas mereka. E. Pendidikan IPS sebagai Proses Pelestarian Budaya melalui Proses Enkulturasi dan Akulturasi Budaya Pendidikan di sekolah, termasuk pendidikan IPSnya, sebagai telah dijelaskan di atas dapat dilihat sebagai suatu proses pelestarian budaya, yaitu proses enkulturasi dan akulturasi budaya. Dalam hal ini tentu sekolah tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat yang melingkupinya. Pendidikan IPS sebagai suatu proses enkulturasi budaya dapat diartikan di sini sebagai proses pengalihan sistem pengetahuan, ideologi, keyakinan dan ritual, nilai-nilai, sistem simbol, sikap, dan beberapa keterampilan hidup (life skill) yang fundamental yang mencerminkan karakteristik budaya suatu masyarakat diwariskan kepada generasi muda (siswa) melalui proses pendidikan di sekolah termasuk melalui pendidikan IPS (Pai, 1990). Dalam definisi ini jelas bahwa pendidikan IPS dapat juga dipandang sebagai proses sosialisasi dan transmisi budaya masyarakatnya (Cohen, 1971.19-50). Pendidikan IPS sebagai proses enkulturasi budaya di sini tidaklah hanya berarti apa yang yang secara formal ada di dalam kurikulum dan tindakan guru di kelas dalam mengajarkan muatan atau materi budaya masyarakat (pengetahuan, nilai-nilai, sikap, dan keterampilan hidup). Dalam pengertian ini juga akan termasuk bagaimana kebijakan diambil, iklim belajar diciptakan atau dikondisikan, aktivitas (kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler) dilakukan, dan keteladanan guru dicontohkan yang memungkinkan unsur-unsur sistem sosial, sistem budaya, dan sistem teknologi masyarakat dapat dipelajari oleh siswa untuk kepentingan proses pelestarian budaya masyarakat tersebut. Meminjam konsep Cohen (197!: 19-50), proses enkulturasi budaya dalam pendidikan IPS dapat dilakukan baik melalui proses sosialisasi maupun proses pendidikan. Melalui kedua 63
prosedur inilah siswa belajar di lingkungan sekolah bagaimana ideologi masyarakatnya, keyakinan
dan ritualnya, orientasi
nilainya,
bahasa dan
prosedur serta cara
berkomunikasinya, simbol-simbol identitasnya, rasa estetisnya, tata susilanya, dan sebagainya. Perlu juga dipahami bahwa proses enkulturasi budaya ini teijadi hanya dalam satu lingkungan pendukung budaya tertentu. Contonya adalah terjadinya proses enkulturasi budaya Bali di lingkungan masyarakat Bali yang mendukung budaya Bali tersebut. Aspek inilah yang salah satunya membedakan konsep enkulturasi budaya dengan proses akulturasi budaya. Pendidikan IPS sebagai suatu wahana proses akulturasi budaya, selanjutnya, dapat diartikan sebagai proses di mana siswa dengan kebudayaan tertentu yang dimiliki belajar menerima pengaruh budaya tertentu yang datang dari luar yang turut mendominasinya (Koentjaraningrat, 1986). Bisa juga teijadi proses akulturasi budaya jika siswa dari kelompok minoritas yang mendukung suatu budaya tertentu belajar menerima pengaruh budaya dari kelompok mayoritas yang dominan (Pai, 1990). Di sini dapat terjadi proses integrasi budaya antara budaya lokal dengan budaya nasional atau dengan budaya asing; atau antara budaya kelompok minoritas dengan budaya kelompok mayoritas. Ada dua kemungkinan yang terjadi dari proses integrasi budaya ini, yaitu apa yang disebut dengan local genius dan akulturasi yang ekstnm (Wales, 1948-1949). Suatu proses
local
genius terjadi apabila unsur budaya asli suatu masyarakat masih dominan
didukung oleh masyarakat pendukungnya walaupun telah terjadi penyerapan unsur-unsur budaya asing di dalamnya. Sebagai contoh adalah terjadinya penyerapan unsur-unsur kebudayaan India yang tidak kentara oleh pendukung kebudayaan nusantara pada masa kerajaan-kerajan Hindu, seperti oleh pendukung kebudayaan Jawa dan Bali. Beberapa unsur kebudayaan India yang diserap oleh pendukung kebudayaan Jawa dan Bali, antara lain adalah unsur bahasa Sansekerta; teknologi arsitektur dan bangunan irigasi; organisasi sosial
sistem
kasta;
sistem
pengetahuan
pengobatan
usada,
ilmu
hukum
ManawaJharmasasira, dan seksuologi kamasulra; agama sinkritisme Hindu, Ciwa, Buda, dan Bhairawa; serta beberapa unsur seni pahat, lukis, tari, sastra, dan seni bangunan (Koentjaraningrat,
1986:80-90:
Poespowardojo,
1986:28-38). Di sini, walaupun
pendukung kebudayaan Bali dan Jawa sama-sama menerima pengaiuh kebudayaan India, sama sekali tidak menunjukkan bahwa kebudayaan Bali dan Jawa itu sama penampakannya; apalagi dengan kebudayaan India. Ini terjadi karena baik pendukung kebudayaan Bali maupun Jawa sama-sama memiliki local genius untuk menyerap kebudayaan India dan mengintegrasikannya dengan kebudayaan masing-masing. 64
Berbeda dengan proses local genius, proses akulturasi budaya yang ekstrira menunjukkan sebaliknya. Di sini masyarakat lokal atau kelompok masyarakat minoritas nampak dikuasai oleh pengaruh budaya asing atau budaya kelompok mayoritas yang mendominasinya. Sebagai contoh adalah terjadinya proses Amerikanisasi dalam proses pendidikan formal di Amerika terhadap siswa-siswa kelompok minoritas dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20 (Pai, 1990; Etziom-Halevy, 1981; Thomas and Wahrfiaftig, 1971:230-251). Dalam konteks akulturasi budaya seperti ini siswa-siswa dari kelompok minoritas Negro, Asia, dan Indian harus mau menerima pengaruh seluruh unsur budaya Anglo-Saxon yang mayoritas dan dominan secara seragam demi kesatuan Amerika. Karena itu siswa-siswa kelompok minoritas ini harus mau menerima apa yang menjadi vore values budaya WASP (While Anglo~Saxon Pro les tani) yang dikenal dalam lima kategori umum, yaitu: puritan moralUy, work-success elhic, individualism, achtevemenl oriental ton, dan future-lime orieniation (Spindler, 1963:134-136). Contoh lain dari proses akulturasi budaya bentuk ini adalah proses Singapuranisasi yang tejjadi dalam sistem pendidikan terhadap kelompok-kelompok etnik Malay, India, dan China di Singapura dalam rangka proses integrasi nasionalnya sejak tahun 1960-an. Melalui proses pendidikan seperti ini telah menghasilkan integrasi masyarakat Singapura baik secara struktural, dari dimensi sikap, komunikasi, maupun pembentukan identitas nasionalnya (lihat Chiew Seen-Kong, 1978: 130-146). F. Ideologi, Hegemoni, dan Budaya Memahami praktik pendidikan di sekolah - termasuk Pendidikan IPSnya — sebagai proses budaya (enkulturasi dan akulturasi) tidak dapat dilepaskan dari hubungan konsep-konsep ideologi, hegemoni, dan budaya. Di sini akan dikaji bagaimana praktik pendidikan sekolah sebagai proses budaya menunjukkan kompleksitas yang antagonis dalam hubungan-hubungan kekuasaan (power) dan perjuangan (struggle) antara kelaskelas dengan budayanya yang dominan dan kelas yang didominasi (Giroux, 1981). Ideologi, karena itu dapat berfungsi sebagai kesadaran sejarah yang memberikan cara pandang kepada masyarakat bagaimana prinsip-prinsip yang objektif harus ditegakkan demi kelangsungan masyarakat itu sendiri (Althusser, 1984; Larrain, 1996). Di sisi lain, ideologi juga menjadi kesadaran yang palsu karena menjadi alat bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan status quo /hegemoninya (Ritzer, 1992). Tetapi realitas sosial juga menunjukkan adanya tindakan politis dalam hubungan-hubungan kekuasaan yang memungkinkan budaya masyarakat melakukan transformasi. 65
Ideologi didefinisikan oleh Lefebvre, sebagai dikutip oleh Ritzer (1992:70), adalah sebagai sistem ide yang terintegrasi yang berada di luar manusia tetapi memiliki kekuasaan yang memaksa. Memiliki kekuasaan yang memaksa di sini dapat diartikan sebagai yang menetukan cara pandang manusia terhadap sistem pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai dan tindakan moral, serta hubungan sosial yang secara keseluruhan membentuk sistem sosial di dalam masyarakat. Memandang ideologi dalam hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat seperti itu, karena itu, tidak dapat dilepaskan dari kritik terhadap kesadaran, dan kemungkinan-kemungkinan yang inheren di dalam kesadaran ideologi itu sendiri. Di satu sisi ideologi melambangkan bentuk-bentuk kesadaran dan wacana yang palsu dibuat oleh kondisi sosial dan material diniana ideologi itu muncul; di sisi lain ideologi dipandang sebagai suatu sistem ide yang mengubah realitas untuk melayani kepentingan-kepentingan kelompok kelas yang dominan di dalam masyarakat (Giroux,, 1981). Mengikuti konsep Marx tentang ideologi, Ritzer (1992:71) menyimpulkan bahwa setidak-tidaknya ada tiga gagasan yang saling berhubungan terlibat dalam konsep ideologi. Pertama adalah ideologi itu menggambarkan kepentingan kelompok dan budaya yang berkuasa tennasuk dampaknya terhadap kepentingan-kepentingan material. Kedua, ideologi merupakan refleksi yang terbalik dan memotong realitas yang ada. Ketiga, ideologi memiliki eksistensinya yang independen dan memaksa. Dari tiga karakteristik ini dapat dipahami bagaimana ideologi berperan dalam memperoleh persetujuan dari kelompok dan budaya yang tertindas dan tereksploitasi. Lefebvre (1968:76) menegaskan bahwa ideologi merampas dari kaum tertindas, tidak saja yang bersifat kesejahteraan materi, tetapi juga penerimaan mereka secara spiritual atas situasi yang dikondisikan ideologi itu, dan balikan dukungan-dukungan mereka. Untuk mengenali fungsi-fungsi ideologi seperti di atas dalam proses pendidikan di sekolah perlu dikembangkan gagasan ideologi yang menyediakan pisau analisis tentang bagaimana sekolah memelihara dan memproduksi ideologi dan bagaimana individuindividu dan kelompok di dalam hubungan-hubungan yang konkrit di sekolah melakukan negosiasi, bertalian, atau menerima ideologi itu sendiri. Ini berarti menganalisis cara-cara yang menyembunyikan dominasi pada level institusi sekolah. Ini menyarankan pula untuk mengkaji bagaimana ideologi yang dominan dikesankan dalam, antara lain: bentuk dan isi dari materi-materi di kelas, organisasi sekolah, hubungan sosial sehari-hari di kelas, prinsip-prinsip yang menstruktur pemilihan dan organisasi kurikulum, sikap para stafif sekolah, setta wacana dan praktik dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan untuk 66
rnempenetrasikan logikanya. Dengan analisis ini semua memungkinkan untuk memahami bagaimana ideologi disituasikan di dalam bubungan sekolah dengan masyarakat, negara, dau bahkan dengan institusi-institusi lain yang memiliki kekuasaan di dalam proses kontrol sosial dan dominasi kelas. Di sisi lain akan di lihat kedudukan ideologi dalam eksistensinya dalam praktik dan kesadaran para individu dau kelompok-kelompok yang terkait dengan sekolah yang menghasilkan dan mengalami hubungan-hubungan sosial mereka dalam struktur yang hanya sebagian mereka buat (Giroux, 1981:22). Tentu saja ideologi tidak berfungsi dalam satu kevakuman Jdeologi beroperasi melalui agen-agen yang melaksanakan dominasi mereka, misalnya kelompok pengawas, kepala sekolah, birokrasi, dan sebagainya. Ideologi itu akan mempengaruhi tindakan para agen dari kelas yang berkuasa dan pada gilirannya mempengarulii pula cara berpikir dan bertindak kelompok dan budaya yang dikuasai, misalnya guru dan siswa (Ritzer, 1992:71). Atas dasar milah perlu dipahami konsep tentang hegemoni. Hegemoni dinyatakan oleh Gramsci, sebagai dikutip oleh Giroux (1981:23), mempunyai dua makna. Pertama adalah mengacu kepada suatu proses dalam masyarakat sipil yang memungkinkan kelompok kelas yaug fundamental melakukan kontrol bagimanapun kepemimpinan moral dan intelektualnya terhadap kelompok atau kelaskelas aliansi. Dalam perspektif ini satu aliansi dibentuk di antara ihe ruling groups sebagai hasil dari kekuasaan dan kemampuan satu kelas untuk mengartikulasikan kepentingan dari kelompok-kelompok sosial yang lain kepada kepentingannya. Ini tidak berarti
bahwa kepemimpinan
intelektual dan moral kelompok 'dominan harus
memaksakan ideologinya kepada aliied groups (kelompok sekutu), melainkan melalui proses transformasi secara paedagogis dan politik kelompok atau kelas dominan mengartikulasikan prinsip hegemonik yang membawa bersama elemen-elemen umum dari pandangan dunia dan kepentingan-kepentingan dari aliied groups. Makna yang kedua menunjukkan bahwa hegemoni itu terjadi dalam hubungan antara kelas dominan dengan kelas yang didominasi. Dalam hal ini kelas dominan berhasil menggunakan kontrolnya atas sumber-sumber negara dan masyarakat sipil melalui penegakan ideologi/pandangan dunia bersama yang cenderung dianggap berlaku universal dan disosialisasikan melalui sistem pendidikan. Dengan dua kekuatan, kekuasaan dan persetujuan umum, kelas dominan menggunakan kepemimpinan intelektual, moral, dan politiknya membentuk dan menjadikan pandangan, kebutuhan, dan kepedulian kelompok-kelompok subordinasi taken-for-granied. Dalam melaksanakan itu semua tidak saja kelompok dominan mempengaruhi kepentingan-kepentingan dan 67
kebutuhan-kebutuhan dari kelompok yang terdominasi, tetapi juga membatasi wacana dan praktik kehidupan yang bersifat oposisi. Dalam hal terakhir, ideologi yang memegang kendali hegemoni berupaya membatasi wacana dengan menetapkan agenda politik, mendefinisikan isu dan terminologi dalam wacana, serta mengeluarkan gagasan-gagasan yang bersifat oposisi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hegemoni nampak di dalam kekuatan simbol-simbol dan makna-makna yang melegitimasi kepentingan dominan dan dalam praktik yang menstruktur pengalaman sehari-hari. Dalam praktik pendidikan di sekolah, seperti yang terjadi pula pada institusi lain, adanya produksi ideologi yang dominan dan bersifat hegemonik cenderung bersembunyi di balik sejumlah bentuk-bentuk legitimasi, beberapa di antaranya disebutkan oleh Giroux (1981:24) adalah adanya klaim dari kelas dominan bahwa kepentingan mereka mencerminkan kepentingan semua kelompok; konflik dianggap terjadi berada pada tataran kepentingan nonpolitis; dan presentasi bentuk-bentuk kesadaran tertentu, keyakinan, sikap, nilai-nilai dan prilaku yang dianggap bersifat alamiah, universal, dan etemal. Hubungan antara ideologi dan hegemoni seperti di atas tidaklah harus ditafsirkan bahwa bentuk dan proses hegemoni menggambarkan kekuasaan yang kohesif; artinya, hegemoni tidaklah semata-mata berarti bahwa kelompok dominan memproyeksikan ideidenya kepada kelompok subordinasi. Seperti Grainsci lebih lanjut menyatakan bahwa dalam hubungan-hubungan kekuasaan seperti itu selalu ada kesadaran yang kontradiksi {conlradiclory consciousness) yang membuat manusia memandang dunia ini dari dua perspektif; yaitu adanya bentuk hegemoni dari berpikir dan adanya mode berpikir kritis. Melalui dua perspektif itu kemudian hubungan kekuasaan berproses dalam dialektika budaya antara upaya mempertahankan bentuk dan isi kepentingan yang mendapat legitimasi dari ideologi di satu sisi dengan upaya transformasi budaya untuk menyelaraskannya dengan perubahan tuntutan sejarah di sisi Jam (Giroux, 1981). Karena itu, dalam hubungan ideologi dan hegemoni di atas, budaya haruslah dipandang sebagai sejumlah hal yang divergen d i mana kekuasaan dijalankan secara tidak seimbang untuk menghasilkan perbedaan makna dan praktik yang akhirnya akan menghasilkan satu tipe masyarakat yang berfungsi dalam kepentingan kelas yang dominan. Sejalan dengan pengertian budaya tersebut, maka, di samping penting mengidentifikasi spesifikasi konten, mekanisme, dan prinsip yang mendasari praktik hegemoni di sekolah, perlu juga untuk mensituasikannya dalam hubungan kehidupan sekolah yang kontradiktif yang mewarnai kehidupan budaya di sekolah itu sendiri. Seperti 68
di katakan oleh Giroux (1981:29) lebih lanjut, kepentingan perspektif ini karena memungkinkan: 1) melihat kekuatan dan kelemahan dalam praktik hegemoni di sekolah, 2) melihat bagaimana bahasa, gaya, estetika, keterampilan, serta simbol-simbol dan makna dijadikan mediasi bagi alat hegemoni dan tranfomiasi, 3) melihat hubungan kekuasaan antara kepentingan negara, institusi-institusi masyarakat yang lain, dan kepentingan sekolah mewarnai praktik hubungan civitas sekolah (terutama guru dan siswa) sehari-hari di sekolah, 4) menyediakan pendidik melihat bagaimana kontradiksi kapital terekspresi tidak saja dalam wacana hubungan guru dan siswa, tetapi juga di dalam struktur kebutuhan-kebutuhan dan disposisi-disposisi yang hidup dan berperan di luar kelas, dan 5) memungkinkan mengembangkan praktik paedagogi yang menggunakan pengalaman
keliidupan
siswa
itu
sendiri
sebagai
satu
siuriing point
untuk
mengembangkan pengalaman di kelas di mana siswa menemukan bagaimana mereka memberi makna terhadap dunia dan bagaimana makna seperti itu dapat digunakan secara reflektif untuk menemukan sumber-sumber dan keierbatasanya. G. Filosofi dan Ideologi Pendidikan Berbicara tentang pendidikan sebagai suatu proses budaya tidak dapat dipisalikan dari kajian tentang ideologi-ideologi pendidikan. Hal ini penting karena ideologi sebagai pandangan filosofis pendidikan akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, antara lain tentang hakikat pendidikan, eksistensi pendidikan dalam keliidupan masyarakat dengan sistem budayanya, menentukan sasaran-sasaran dan tujuan pendidikan bagi masyarakat, kriteria-kriteria yang dikembangkan untuk mencapai sasaran tersebut, serta pertanyaan mendasar tentang hubungan pendidikan dengan masyarakat dalam hubungamiya dengan peranan pendidikan untuk melegitimasi atau melanggengkan sistem dan struktur sosial masyarakat yang ada atau berperan kritis dalam melakukan proses pembaharuan masyarakat dan transfonnasi budayanya menuju dunia yang lebih adil (Faqih, 2001). Praktik pendidikan di masyarakat dengan demikian tidaklah vacuum (vakum) dari pemikiran-pemikiran besar masyarakatnya atau dari para pemikir-pemikir besar pendidikan dunia yang dengan generalisasi-generalisasinya memungkinkan pendidikan itu dikaji esensi-esensinya, dialahkan sasaran-sasaran dan tujuan-tujuannya, dimantapkan fungsi-fungsi dan peranannya di dalam masyarakat, dikembangkan kriteria-kriteria keberhasilannya, diuji validitas pemikirannya, serta dikritisi dan direfleksikan asumsi-
69
asumsi, premis-premis, proposisi-proposisi, dan konsep-konsep yang melandasinya secara koheren, sistematis, logis dan rasional (O'neil, 2001). Dari penjelasan di alas dapat pula diketahui bahwa pemikiran-pemikiran filosofis pendidikan memunculkan berbagai ideologi pendidikan. Di sini pemikiran filisofis pendidikan memberikan kepada seseorang kemampuan mengkaji masalah-masalah yang muncul dari fenomena pendidikan secara keseluruhan dengan mendalam, tuntas, komprehensif, sampai tingkat eksistensi dan esensinya, antara lain berkenaan dengan konsep-konsep dan argumen pendidikan dan nilai-nilai yang beraiakna yang muncul dari sasaran, tujuan, dan objektif-objektif pendidikan. Pemikiran filosofi, dengan demikian, diaplikasikan dalam dunia pendidikan dimaksudkan untuk menjelaskan konteks, proses, dan produk pendidikan sebagai suatu sistem yang utuh dan komprehensif, begitu pula dimensi-dimensi usaha pendidikan baik secara individual, sosial, moral, kultural, dan religius. Filosofi pendidikan dewasa ini ada yang bersifat normatif dan ada pula yang bersifat analitis. Van Scotter, et al. (1985; 50) menjelaskan bahwa sebagai pendekatan analitis, filosofi pendidikan concern pada makna substantif dari konsep-konsep pendidikan serta logika dari teori-teori dan wacana pendidikan. Sebagai pendekatan normatif, selanjutnya, filosofi pendidikan concern pada nilai-nilai utaina yang ada di balik konteks, program, tujuan, dan dampak-dampak pendidikan secara utuh dan komprehensif serta pada fundamen-fundamen utama pertimbangan sosial, religius, moral, dan kultural yang implisit ada pada keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan kebijakan pendidikan. Hubungan antara filosofi dan filosofi pendidikan yang melaliirkan pemikiran-pemikiran pendidikan seperti ini sebagai dijelaskan oleh Kneller (1974: 3) adalah: "jusi as general philosophy ailempts lo understand realily as a whole by explaining it in the mosi general and syslemalic manners, so educational philosophy seelcs lo comprehend educalion in ils entirety, interpreling it by means of general concepts ihal will guide the choice of educational ends andpolicies.'" Ada tiga posisi pemikiran filosofi utama yang dapat digunakan untuk menjelaskan berkembangnya ideologi-ideologi pendidikan pada umumnya. Ketiga posisi tersebut adalah idealisme yang jejaknya dapat dilacak dari pemikiran-pemikiran seperti Plato dan ideologi-ideologi agama, realisme yang jejaknya dapat diturunkan dari pemikiranpemikiran seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas, dan pragmatisme yang dapat dilacak dari pemikiran-pemikiran seperti C.S. Peirce, W. James, dan J. Dewey (Van Scotter, et
70
al. 1985:51). Sinopsis dari ketiga pemikiran filosofi pendidikan ini dapat digambarkan oleh Van Scotter, et al. (1985:53) sebagai tertera berikut. Tabel 02: Sinopsis Pemiidan Filosofi Pendidikan Idealisme, Realisme, dan Pragmatisme —
Reality Idealisme
Realism
Pragmatism
—
—
—
—
—
.
Knowledge
—
Value
Logic
Reality i s Knowledge is The Value is ihe remind And idea, vis• a-vis ihe fleclion of and form. idea imitation of ihe ideal mind and idea Reality is Knowledge is ihe Value i s Ihe ethings, corresponde.nct of mulation of nature objecls, ideas lo obser- and natu ral law matter vable facls
Formaldeductive and scientific inductive
Reality is Knowledge is ihe human consequen ces of experience an idea that can be ac~ ted on
Scientific/ inductive and formal/ deductive
Value is derived from experience Valuing ytelds criteria which can be used to evaluate experience
Formal/ deductive
Sumber Van Scotter, R. D., et ai. 1985. Social Foundations of Education. Second Edition New Jereey: Prentice-Hal!, Inc. Hal: 53.
Dari ketiga pemikiran filosofi pendidikan di atas serta dengan melihat sejarah perkembangan pemikiran-pemikiran besar pendidikan, Theodore Brameld, sebagai ahli filosofi pendidikan, dalam bukunya antara lain: Philosophies of Educalion in Cultural Perspcctive (1955) mengklasifikasikan empat aliran filosofi pendidikan, yaitu: perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme (O'neil, 2001; Van Scotter, et al. 1985). Bagi aliran perenialisme, menurut Brameld, pendidikan haruslah mampu meningkatkan dan memajukan nilai-nilai keutamaan leluhur di masa lalu dan mempertahankan karakteristik nilai-nilai utama zaman klasik dengan kebesaran pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, dan Tliomas Aquinas. Keyakinan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa manusia pada hakikatnya memiliki pola-pola perilaku yang konstan yang memiliki kemampuan — yang membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lain - yaitu kemampuan berpikir atau bernalar (the abiiity lo reason). Karena itu, pendidikan juga haruslah memajukan kemampuan berpikir tersebut untuk melahirkan manusia-manusia yang rasional. Pendidikan dan pembelajaran, menurut kaum perenialis adalah seni untuk membantu anak didik menggunakan potensi berpikir rasionalnya, dengan memberikan nasehat, eksplikasi, wacana sokratik, dan eksposisi oral. Kurikulum 71
dalam pandangan perenialis haruslah berpusat pada pengajaran tujui) liberal aris, yaitu: grammar, retorika, dialektika, aritmatika, geometri, astronomi, dan musik serta pengajaran karya-karya besar pemikir dan filosof dalam sejarah kemanusiaan (Van Scotter, et al., 1985). Lebih jauh dikatakan bahwa cara pandang budaya menyeluruh dalam perenialisme cenderung berusaha memulihkan tolok ukur-tolok ukur mutlak yang mengatur dunia zaman klasik dan pertengahan dan mengandung sifat menentang demokrasi yang mumi (O'neil, 2001). Dengan demikian pendidikan bagi masyarakat cenderu?3 menjadi sarana transmisi budaya, yaitu merekrut generasi muda ke dalam pola struktur sosial dalam masyarakat yang sudah mapan dengan memberikan status dan peranan-peranan sosial yang relevan dalam struktur sosialnya diikuti dengan upaya menanamkan nilai-nilai keutamaan yang berkembang dalam lingkungan sosio-kultural dalam masyarakat (Widja, 1991). Dapat dikatakan bahwa posisi pemikiran kaum perenialisme cenderung merupakan paham fiolosofi pendidikan yang menekankan konservatisme pendidikan. Pemikiran esensialisme, tidak jauh berbeda dari pemikian perenialisme, adalah berpegang pada pernyataan utama bahwa alam semesta beserta segala unsurnya diatur oleh hukum yang mencakup semuanya serta tatatanan yang sudah mapan sebelumnya. Tugas ulama manusia karena itu menemukan dan memahami struktur hukum-hukum alam dan sosial yang telah tertata sehingga memungkinkan manusia menghargainya untuk kepentingan menyesuaikan diri dengan tatanan hukum alam dan sosial budaya yang telah teratur itu. Relevan dengan tugas manusia seperti itu, tugas pendidikan haruslah ineniimbulikembangkan kemampuan intelektual individu manusia dengan sudut pandang idealisme dan realisme yang objektif. Pendidikan, sejalan dengan itu, juga mempunyai fungsi dalam melestarikan dan mewariskan tradisi-tradisi budaya utama masyarakat modern yang telah berakar sebelumnya pada pemikiran-pemikiran besar para filosof dalam rangka pertumbuhan peradabannya. Program pendidikan, karena itu, haruslah menyediakan kurikulum yang dapat membantu anak mengembangkan kemampuan intelektual dengan subjek-subjek pelajaran yang esensial yang mampu menguatkan kecakapan-kekapan dasar (basic sktlls) manusia. Dalam hal pendidikan nilai, pandangan esensial mengajukan pentingnya mengajarkan nilai-nilai tradisi yang lelah dihargai oleh kelas-kelas dominan dalam masyarakat. Jadi pembelajaran adalah upaya transmisi yang efektif dan efisien atas pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan esensial dalam masyarakat (Van Scotter, 1985). Sebagai sebuah filosofi sosial yang utuh, esensialisme menampilkan sebuah kebijakan kontemporer serta program-program 72
pelestarian budaya yang memantulkan humanisme klasik yang telah dan terus berkembang (0,neil, 2001). Jika esensialisme lebih dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filosofi idealisme dan realisme yang objektif, progresivisme kemudian muncul di akhir abad XIX lebih dipengaruhi oleh filsafat pragmatisme. Progresivisme meyakini bahwa pendidikan adalah proses yang tumbuh dan berkembang dengan merekonstruksi pengalaman secara terus menerus sebagai suatu proses belajar. Pendidikan menurut progresivisme bukanlah upaya menyiapkan anak untuk kehidupan orang dewasa, melainkan sebuah proses keliidupan yang berdinamika. Ini hanya bisa dilakukan dalam kondisi keliidupan sosial masyarakat yang demokratis yang memungkinkan setiap orang berpartisipasi dan terlibat aktif dalam keliidupan masyarakatnya yang terus mengalami proses transformasi. Pendidikan haruslah menyiapkan anak untuk aktif dalam proses belajar yang mencerminkan struktur sosial masyarakat yang demokratis untuk menuntun subjek didik mengubah prilaku-prilakunya. Atas dasar itu, program pendidikan haruslah menyediakan kurikulum pendidikan yang bersumber dari kebutuhan siswa dan masyarakat serta memanfaatkan aplikasi inteligensi pada permasalahan-permasalahan manusia dalam masyarakatnya. Belajar yang relevan dengan program kurikulum seperti di atas adalah belajar yang melibatkan secara aktif peran subjek didik dalam proses belajar partisipatif, kerja kooperatif, learning by doing, dan proses inkuiri. Dari uraian ini tampak jelas bahwa aliran pemikiran progresivisme cenderung mengembangkan pola pikir liberalisme pada umumnya dalam proses pendidikan
dibandingkan
dengan
perenialisme
dan
esensialisme
yang
lebih
mengembangkan pola pikir konservatisme pendidikan (O'neil, 2001; Van Scotter, et al., 1985). Pemikiran filosofis yang lebih kritis dari pada progresivisme dalam klasifikasi filosofi pendidikan Brameld adalah pemikiran filosofis pendidikan rekonstruksionisme. Dengan berakar kuai pada pandangan-pandangan intelektual dan sosiologis dari pemikiran pragmatisme, pemikiran filosofi pendidikan rekonstruksionisme cenderung menjadikan pendidikan sebagai wahana transformasi sosial bagi dan dipengaruhi pula oleh transformasi sosial budaya dalam masyarakat. Menurut keyakinan kaum rekonstruksionisme, pendidikan haruslah memimpin masyarakat untuk merealisasikan nilai-nilainya melalui tujuan-tujuan utama dan program-program pendidikan yang mengarahkan masyarakat pada kehidupan yang lebih baik dan adi! dari sebelumnya. Pendidikan sekolah karena itu diharapkan dapat menjadi agen-agen perubahan dan reformasi sosial budaya. Relevan dengan itu kurikulum pendidikan haruslah berbasis pada 73
cita-cita ideal masyarakat di masa depan. Pelaksanaan program pendidikan dengan basis kurikulum seperti ini tidak hanya menjadikan program pendidikan memiliki misi sosioandragogis dan sosio-akademis, tetapi juga memiliki misi sosio-kultural. Belajar haruslah aktif dan partisipatif dalam keterlibatan subjek didik pada program-program reformasi sosial melalui tindakan sosial politik warga negara. Karena itu, seluruh komponen sekolah dengan seluruh civitasnya haruslah mampu memodelkan cita-cita masyarakat yang lebih adil, demokratis, sempurna, dan berkesejahteraan. Sama dengan aliran pemikiran progresivisme, dapat dikatakan bahwa pemikiran filosofi pendidikan rekonstruksionisme cenderung lebih mengembangkan pola pikir liberalisme pada umumnya dalam pengembangan proses dan program pendidikan tetapi dalam posisi yang lebih kritis atau liberasionis (O'neil, 2001; Van Scotter, et al., 1985). Jika diiktisarkan keempat pandangan filosofi pendidikan di atas, maka dapatlah digambarkan kategori-kategori konsep utama dari keempat pemikiran besar pendidikan di atas sebagai tertera di halaman berikut. Dari
keempat
aliran
filosofi
pendidikan
di
atas,
tampaknya
posisi
rekonstruksionisme pendidikan lebih sesuai dengan tuntutan kritis era perubahan sosial masyarakat menuju masyarakat yang demokratis. Pengembangan program-program pendidikan di Indonesia di era demokratisasi dan era reformasi sosial ini tampaknya dapat pula berbasis pada ideologi rekonstruksionisme. Pertama, rekonstruksionisme ini masih dapat menerima keunggulan-keunggulan pemikiran filosofis yang lain yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan masyarakat (Somantri, 2001). Kedua, posisi pemikiran rekonstruksionisme dalam hubungan antara pendidikan dan masyarakat telah memberikan status yang jelas pada program pendidikan untuk menjadi agen perubahan sosial menuju kehidupan sosial budaya yang lebih baik. Jadi pendidikan haruslah berbasis pada kebutuhan masyarakat luas. Pendidikan tidak boleh terisolasi dari kepentingan masyarakat, jika masyarakat hendak menuju perubahan yang lebih baik, dan pendidikan mempunyai peran dalam proses perubahan masyarakat itu sendiri. Hal ini relevan dengan kebijakan pembaharuan pendidikan di Indoesia dewasa ini yang mengembangkan paradigma broud-hased educaiion (BBE). Ketiga, dalam keterpurukan masyarakat dan kualitas pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan masyarakat di negara-negara maju, bahkan dengan negara-negara tetangga, program-program pendidikan yang dikembangkan dengan menempatkan partisipasi sosial politik setiap warga belajar sebagai anggota warga negara, sesuai dengan keyakinan rekonstruksionisme, berarti meningkatkan 74
Tabel 03: Sinopsis Empat Filosofi Pendidikan: Perenialisme, Esenstalisme, Progresivisme, dan Rekonstruksionisme T
PERENIALISME
'
j
1. Meningkatkan dan memajukan superioritas m asal alu dan keajegan jaman kias J k 2. Meyakini bahwa manusia pada hakikatnya ajeg dengan kemampuan utama berpikir secara rasional 3 Memajukan dan mengembangkan manusiamanusia rasional
ESENSIAL1SME
j I. Melestarikan tradisi budaya terbaik dari I masyarakat tertentu dan memajukan peradaban ! 2. Memajukan pertumbuhankemampuan intelekj tual secara individu
1
j 3. Menyediakan kurikulum dengan komposisi subjek-subjek yang esensial dengan substansi intelektual dan kscakapan-kecakapan dasar 4. Mengajar adalah seni membantu para siswa 4. Pengajaran nilai-niiai secara eksplisit terutama menggunakan kemampuan berpikir rasionalnya nilai-nilai yang dihargai oleh kelompok melalui pemberian nasehat, eksplikasi. debat dominan dalam mas\iarakat sokratik. dan eksposisi lisan. 5. Memusatkan kurikulum pada tujuh liberal arts: : 5. Pengajaran adalah proses transmisi yang yaitu: grammar, retorika, dialektika, aritmatika, efektif dan efisien tentang subjek-subjek geometri, astronomi, dan musik serta esensial di atas. pengajaran karya-karya besar pemikir dan filosof dalam sejarah kemanusiaan.
PROGRESIVISME
REKONSTRUKSIONISME
1. Meyakini bahwa pendidikan adalah proses pertumbuhan dan perkembangan, proses rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, suatu proses belajar dan bukan hanya mempersiapkan dunia kehidupan orang dewasa. 2 Menciptakan kehidupan sosial yang demokratis termasuk pendidikan demokrasi untuk meningkatkan partisipasi dan keterlibatan dalam proses pendidikan dan masyarakat 3. Belajar harus aktif dan menuntun kepada perubahan perilaku 4. Kurikulum muncul dari kebutuhan siswa dan masyarakat dan melibatkan aplikasi inteligensi pada masalah-masalah kehidupan manusia 5. Mengajarkan tuntunan melakukan inkuiri
1
Pendidikan harus menuntun masyarakat untuk merealisasikan nilai-nilai melalui tujuan-tujuan dan program perbaikan sosial,
2, Sekolah menjadi agen perubahan dan reformasi sosial 3. Mendasarkan kurikulum pada citra masyarakat yang ideal 4. Belajar secara aktif yang menuntun kepada keterlibatan dalam program-program reformasi sosial melalui tindakan politik warga negara 5. Sekolah dan seluruh komponennya harus mampu memodelkan masyarakat yang lebih baru, sempurna, dan demokratis
Sumber: Van Scotter, R.D. et al. 1985. Social Fondaiion of Education. Second Edition. Englewood Cliffs, New Jersey. Prentice-HalL Inc. Hal: 61.
kepedulian dan tanggung jawab sosial dan kewarganegaraan setiap individu untuk kemajuan masyarakat, bangsa, dan negaranya. Jika ini dapat diwujudkan, tentunya citacita ideal masyarakat madani Indonesia dapat diwujudkan melalui pengembangan program pendidikan yang relevan, tidak saja pada tataian ideologis, tetapi balikan sampai tingkat kebijakan strategis dan teknis operasional. Di sinilah pentingnya dikaji cita-cita masyarakat yang menjadi idealismenya, yang kemudian diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi dalam mengembangkan visi, misi, dan tujuan-tujuan bersama antara masyarakat dan program pendidikan. Selanjutnya akan dikembangkan sampai ke tingkat kebijakan strategis
dan
operasional,
bahkan
sampai
kepada
penetapan
kriteria-kriteria 75
keberhasilannya yang dapat digunakan untuk menjadi standar keberhasilan programprogram pendidikan dalam perannya sebagai agen reformasi sosial budaya di dalam masyarakat. H. Kajian Teori tentang Hubungan antara Budaya dan Peranan Sekolah Sekurang-kurangnya ada empat perspektif teori yang perlu menjadi landasan dalam membahas tentang hakikat peranan sekolah dalam hubungannya dengan konteks sosial budaya yang mempengaruhi peran ^koiah tersebut I. Teori Fungsional Teori fungsional, kliususnya struktural fungsional, dalam menjelaskan hubungan antara pendidikan sekolah dengan kepentingan proses sosial budaya di masyarakat, umumnya melihat sekolah sebagai sarana yang memungkinkan siswa belajar mengambil tempat mereka di dalam masyarakat dan berkontribusi dalam saling ketergantungan yang diperlukan untuk mempertahankan
tatanan sosial dan menyempurnakan kebutuhan
anggota-anggotanya. Sekolah, dengan demikian, dapat dianggap sebagai pentransmisi nilai-nilai tradisional dan sebagai sarana stabilitas sosial serta pemeliharaan tatanan sosial yaug ada (Hallinan, dalam Ballantine, 1985: 33-34; Collins, dalam Ballantine, 1985:6087). Seperti banyak dikutip oleh Pai (1990), ada tiga tokoh utama sebagai pendukung teori ini yang menjelaskan tentang peran sekolah dalam kaitannya dengan konteks sosial budaya yang melingkupinya, yaitu Durkheim (1985a; 1985b), Parsons (1985), dan Dreeben (1968). Menurut para pendukung teori fungsional ini sekolah sebagai salah satu institusi sosial di masyarakat tidak dapat dilepaskan perannya dari upaya menyangga berfungsinya sistem dalam masyarakat secara keseluruhan. Salah satu peran sekolah dalam melestarikan sistem masyarakat ini, karena itu, adalah mensosialisasikan kepada generasi muda pengetahuan intelektual, nilai-nilai etis, norma-norma budaya, dan keterampilan hidup yang dibutuhkan masyarakat untuk keberlangsungannya (Durkheim, I985a:21). Meminjam konsep Parsons (1985: 180), sosialisasi adalah proses pembentukan komitmen dan kemampuan esensial dalam diri individu-individu anggota masyarakat sebagai prasyarat utama untuk dapat berperan dalam kehidupan masyarakat ke depan. Komitmen-komitmen itu terdiri atas kemampuan mengimplementasikan nilai-nilai
76
kemasyarakatan yang umum dan luas; suatu unjuk perbuatan dari tipe peran dalam struktur masyarakat. Inilah yang disebut dengan ftingsi edukasi.
(T
'
Ada dua hal yang terjadi dalam proses sosialisasi seperti ini. Pertami proses perekrutan
generasi muda sebagai anggota-anggota baru masyarakat ti^ijSpa^jji
memasuki sistem sosio-kultural yang (elah ada di masyarakat serta menduduki sta t"
J
peran-peran yang relevan dalam struktur sosial budaya yang ditentukan oleh sistem sosial budayanya. Di sini generasi muda belajar memasuki status dan peran barunya berdasarkan struktur masyarakat dalam kelompok-kelompok masyarakat seperti kelompok lapisan umur, lapisan kasta, jenis kelamin, kelompok organisasi-organisasi sosial, dan lain-lain. Kedua, adanya proses penanaman pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai dan sikap, serta keterampilan-keterampilan sosial yang memungkinkan sistem budaya tetap diyakini keberadaannya dan berfungsi sebagaimana mestinya sesuai yang diharapkan para pendahulu (Widja, 1993:53). Ini tidak berarti bahwa sekolah harus memberikan kemampuan yang sama kepada setiap individu generasi muda. Memang setiap anggota masyarakat perlu memiliki seperangkat keyakinan umum, pengetahuan, dan nilai-nilai untuk kepentingan kesatuan dan kekohesifan masyarakat. Tetapi, sekolah juga harus menyediakan pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai yang berbeda-beda untuk kepentingan spesialisasi di dalam masyarakat, karena setiap anggota masyarakat harus memiliki peran yang berbeda-beda bagi masyarakatnya (Durkheim, 1985a:21; Parsons, 1985: 180-182). Pendek kata sekolah harus berfungsi menyediakan kesempatan kepada pebelajar untuk dapat berperan sebagai orang dewasa di dalam masyarakat; termasuk di dalamnya berperan sesuai dengan latar belakang kemampuan, gender, tingkat usia, kelompok kepentingan, dan sebagainya. Jadi sekolah adalah bentuk mikrokosmos dari keliidupan masyarakat yang lebih luas. Untuk fungsi seperti itu sekolah mereproduksi dan melanggengkan struktur dan norma-norma sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sudah mapan di dalam masyarakat. Dreeben (1968) mengukuhkan pentingnya empat norma esensial yang harus menjadi canccrn sekolah untuk mendidikkamtya kepada generasi muda agar masyarakat tetap dapat berlangsung, yaitu independensi (independence), prestasi (achievement), universalitas (universalism), dan kekhususan (.specijtciiy). Norma independensi yang dikembangkan di sini adalah norma tentang kemandirian. Sekolah dalam hal ini mendidikkan agar setiap siswa dapat belajar mandiri; tidak saja berarti mengerjakan segala sesuatu secara sendiri, tetapi mengandung makna mengembangkan tanggung jawab mandiri. Ini berkaitan dengan kehidupan kerja di lingkungan masyarakat yang lebih luas 77
^^
memang banyak membutuhkan manusia-manusia yang memiliki kemandirian dalam inisiatif, kreativitas, dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara mandiri pula. Berkaitan dengan prestasi, yang dimaksudkan di sini adalah dimulai dari motivasi berprestasi dan prestasi dalam aspek personal, sosial, inteletual dan akademis, dan vokasional. Penekanan sekolah pada pencapaian prestasi yang unggui atau yang tinggi dinilai merupakan syarat keberhasilan dalam kehidupan di lingkungan masyarakat yang kompleks, dinamis, serta bercirikan kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekolah menyediakan fasilitas dan mengembangkan prestasi ini umumnya, baik melalui kegiatan kurikuler, kokurikuler, maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler. Selanjutnya, berkaitan dengan universalisme dan kekhususan dimaksudkan di sini adalah apakah perlakuan terhadap seseorang akan dipertimbangkan pada aspek-aspek kesamaan dan keadilan pada semua orang tanpa kecuali, atau perlu mempertimbangkan perlakuan-perlakuan khusus yang dapat diberikan mengingat situasi dan kondisi tertentu yang dihadapi atau dimiliki seseorang. Kemampuan setiap sekolah dalam membina dan mengembangkan ke empat norma di atas kepada setiap individu siswa akan menentukan tingkat keberhasilan mereka nantinya setelah terjun di dalam masyarakat. Jadi akan ada korelasi antara keberhasilan di sekolah dengan keberhasilan di masyarakat (Ballantine, 1985; Etzioni-Haievy, 1981). Keberhasilan itu akan ditentukan bagaimana setiap individu diliargai atau diberi reward sesuai dengan pemilikan keempat norma di atas baik di sekolah maupun di masyarakat. Tentu saja keberhasilan sekolah dalam membina dan mengembangkan keempat norma di atas tidaklah semata-mata ditentukan oleh kurikulum formal yang berlaku di sekolah, melaiiikan pula akan diwarnai oleh berfungsinya hidden curriculum yang secara tersembunyi merefleksikan nilai-nilai dan norma-norma budaya yang berlaku di dalam masyarakat (Pai, 1990). 2. Teori Konflik Dari perspektif teori konflik, berbeda dengan pandangan teori stnikturalfungsional, sekolah lebih dilihat sebagai agen-agen konflik dan perubahan. Teori Dahrendorf (1959), misalnya, berfokus pada dominasi dan subordinasi di sekalah dan pada tujuan-tujuan yang berkonflik di antara kepentingan-kepentingan siswa, orang tua, pendidik, dan masyarakat pada umumnya. Perjuangan kekuasaan yang ada di dalam dan tentang sekolah menuntun kepada perbaikan dan perubahan. Ketika kekuasaan telah diasumsikan oleh suatu kelompok tertentu, maka kekuasaan itu cenderung dipertahankan 78
melalui pendidikan. Analis-analis kelas seperti Bowles dan Gintis (1977) dan Caraoy (1972) menganalisis sekolah melalui perspektif ini dan menginterpretasikan status quo, termasuk kesempatan-kesempatan pendidikan yang tidak sama dan tidak adil untuk kelompok minoritas dan kelompok perempuan, sebagai upaya-upaya dari kelas yang memiliki hak-hak istimewa di masyarakat untuk mempertahankan kekuasaan dan superioritas mereka atas kelas-kelas yang tidak memiliki hak-hak istimewa (Hallinan, 1985:34). Menurut Pai (1990) ada dua aliran teori konflik, yaitu teori konflik Marxist dan Neo-Marxist. Kedua aliran ini umumnya tidak sependapat dengan pendukung teori fungsional bahwa sekolah telah memberikan kesempatan yang adil bagi individu untuk melaksanakan perannya dalam keliidupan masyarakat kapitalis yang kompleks dengan kemampuan memilih posisi yang memiliki status dan reward yang tinggi berdasarkan keberhasilan pendidikannya.
Menurut aliran Marxist,
sebaliknya, sekolah pada
masyarakat kapitalis bahkan telali melanggengkan struktur sosial yang tidak adil dimana dominasi oleh kelas yang berkuasa atas kelas pekerja telah terjadi secara terus menerus. Ini teijadi karena sekolah berfungsi melayani kepentingan kelas dominan untuk tetap menguasai kelas pekerja melalui proses transmisi budaya kelas dominan itu sendiri yang mencerminkan struktur kelas dalam mengontrol jenis pengetahuan, keterampilan, nilainilai, sikap, dan nonna-norma budaya kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat. Karena itu, anak-anak dari kelas yang berkuasa (dominan) dididik untuk mengarahkan diri (self-direct) dan mengonrol orang lain, sementara anak-anak dari kelas pekeija diajar untuk selalu sejalan (conform) dengan norma-norma tempat keija sebagai diciptakan oleh kelompok dominan. Dalam hal ini, Bowles dan Gintis (1977:142) mengatakan sebagai berikut. The suciai relations of ihe educaiional process ordinarily mirror the social relations of the work roles into which mosi students are likely to move. Dtfferences in rules, expected modes of behavior and opportunities for choice are mosi glaring when we compare levels of schooling. No(e the wide range of choice over cumadum, life style, and attocation of time afforded to college students, compared with ihe ohedience and respect for authority expected in high school. Lebih lanjut dikatakan bahwa perbedaan kelas di sekolah dilanggengkan melalui kapasitas kelompok dominan untuk mengontrol prinsip-prinsip utama dalam pembiayaan sekolah, evaluasi murid, dan penetapan tujuan-tujuan khusus pendidikan (Bowles dan Gintis,!977:142). Atas dasar premis-premis seperti di atas, para pendukung teori konflik berkeyakinan bahwa sekolah tidak saja melegitimasi sistem sosio-ekonomi masyarakat kapitalis, teLapi sekolah juga melegitimasi keberadaan kelompok pemilik kapital ini 79
(Apple and Weis, 1983:6). Dengan begitu kesamaan dan keadilan dalam pendidikan tidak dapat dicapai secara sederhana lianya dengan mengubah sistem sekolah. Strategi yang mungkin adalah lianya dengan mengekspose hakikat ketidaksamaan / ketidakadilan dalam sistem sekolah dan menghancurkan ilusi mobilitas melalui pendidikan yang semu. Pendapat Mancist yang lain mengatakan bahwa sekolah tidak mungkin dapat direformasi kecuali fungsi mereka sebagai instrumen yang melanggengkan seleksi posisi sosial yang liirarkis dihancurkan (Rossanda, Cini, and Berlinguer, 1977:653). Agak berbeda dengan aliran Marxist, para pendukung Neo-Marxist, seperti .Collins (1985) menjelaskan bahwa struktur kelas secara sosial ekonomi bukanlah satu-satunya pvRvMVV reward dalam masyarakat. Collins berkeyakinan bahwa sekolah juga mengajarkan kepada siswanya budaya status (status culiure). Dan ini adalah unit dasar dari masyarakat yang memungkinkan kelas atas yang memiliki hak-hak istimewa mengontrol kelas-kelas yang didominasi melalui cara-cara dominasi nonekonomi. Jadi menurut Collins (1985:71) sekolah lebih berperanan dalam mensosialisasikan budaya pada umumnya, siyle bahasa, topik-topik pembicaraan, etika berperilaku, pandangan dan nilai-nilai, serta segala hal termasuk rasa terhadap status sesuai dengan partisipasi masingmasing dalam konteks budaya masyarakat pada umumnya. Di sini setiap siswa akan masuk dalam kelompok-kelompok status tertentu dengan status budayanya sendiri-sendiri yang tersosialisasi melalui proses pendidikan di sekolah; dan ini akan lebih menentukan status dan posisi siswa di masyarakat dari pada berdasarkan pengetahuan dan keterampilan teknis yang dimilikinya. 3. Teori Kritis Teori kritis ini terutama dikembangkan oleh aliran Fratikftirt yang dewasa ini didukung oleh beberapa ahli seperti Stanley Arnowitz, Pauio Freire, Henry Giroux, dan lain-lain (Giroux, 1983). Pemikiran teori ini dalam menjelaskan peranan sekolah bertumpu pada sintesa pemikiran atas hubungan masalah bagaimana struktur sosial direproduksi dan bagaimana dominasi kelas itu dipertahankan dalam masyarakat. Fokusnya umumnya lebih pada mereevaluasi model kapitalisme dan penjelasan Marais tentang dominasi kelas dan mere formulasi tentang gagasan emansipasi manusia. Tetapi, teori kritis tidak sepenuhnya sejalan dengan teori Maraisl yang menjelaskan dominasi kelas lebih sebagai dominasi struktur ekonomi oleh kelompok dominan kepada kelas pekerja. Teori kritis, tampaknya lebih sejalan dengan pandangan pendukung-pendukung Weber tentang rasionalisasi struktur kelas dalam masyarakat. 80
Menurut Weber, masyarakat modern berkembang menjadi organisasi spesialis dan pemerintahan modem menjadi satu birokrasi yang dilaksanakan oleh ahli. Untuk kepentingau keberlanjutan masyarakat
seperti
ini,
pendidikan
lebih
berfungsi
menghasilkan orang-orang spesialis dari pada orang-orang terlatih. Karena itu, sekolahsekolah modem berperan mengajarkan pengetahuan, nilai-nilai dan norma, serta keterampilan untuk menghasilkan para spesialis dengan posisi yang memiliki prestise yang tinggi. Inilah yang disebut budaya status. Para spesialis ini, terutama mereka yang duduk di birokrasi, tidak saja kemudian mengontrol kehidupan masyarakat, tetapi juga mengontrol sekolah untuk mempertahankan dominasi mereka atas kelas-kelas pekerja termasuk kontrol mereka atas kelompok gender, kelompok ras, kelompok suku minoritas, dan bahkan pada kelompok umur. Pemikiran teori kritis ini, sejalan dengan pandangan Weberian, meyakini bahwa dominasi kelas di masyarakat tidaklah semata-mata ditentukan oleh dominasi ekonomi kelas berkuasa kepada kelas pekerja. Memang, seiring dengan pembaitan masyarakat ke arah pembentukan masyarakat industri, peranan spesialisasi menjadi sangat penting. Namun, individualitas, keunikan, serta kreativitas seseorang sering dihapuskan oleh budaya masa. Budaya masa ini (seperti sinetron, pertujukan TV, balikan acara komersial) ternyata membawa serta norma-norma dan nilai-nilai budaya kelompok dominan yang dengan demikian telah mendistorsi realitas dengan melanggengkan kepentingan kepentingan kelas dominan ini. Konsekuensinya adalah bahwa individu-individu tidak dapat berpikir kritis tentang status dan kedudukan mereka serta tentang hubugan kekuasaan dalam masyarakat mereka. Begitu pula makin banyaknya peranan negara dalam menentukan cara berpikir, bersikap, dan berprilaku warga negara dalam masyarakat yang cenderung menerapkan otoritas kaum teknokrat, akibat dari perkembangan spesialisasi, membuat dimensi berpikir kritis didefinisikan sesuai dengan kepentingan kelas dominan yang berkuasa. Karena itu, jika manusia ingin dibebaskan dari penindasan oleh otoritarian ahli, "kita perlu mereafmnasi kebutuhan untuk refleksi diri, inquiri kritis, dan self-underslanding" (Pai, 1990: 144). Freire (1985) juga menambahkan bahwa seiring dengan munculnya berbagai bentuk hubungan sosial di masyarakat, berbagai bentuk penindasan juga muncul, seperti: penindasan yang bersifat gender, penindasan terhadap kelompok, etnis, agama, balikan karakteristik individu tertentu, dan lain-lain. Pendidikan ternyata juga ikut ambil bagian terhadap praktik penindasan seperti itu Oleh karena itu, menurut Freire lebih lanjut, pendidikan haruslah bersifat self-emancipation. 81
Pendidikan haruslah menjadi alat perjuangan melawan penindasan dalam berbagai bentuknya, sehingga memungkinkan setiap orang memetik makna dari eksistensi personal setiap orang dan untuk kehidupan masa depannya. Pendidikan tidaklah memerlukan pengetahuan ilmiah yang dianggap telab diverifikasi. Yang dibutuhkan adalah pengetahuan kritis dan radikal yang memungkinkan setiap orang memilih alternatif cara berpikir, alternatif praktik kebudayaan, dan alternatif tatanan sosial (Giroux, 1983; Aronowitz dan Giroux, 1981). Tujuan pendidikan seperti itu a^.lah dalam rangka pengembangan keterampilan literasi kritis, yang menurut Giroux (1983:231) memungkinkan siswa: "to recognize what this society has made of them and how n mus/, in pari, be analyzed and recomtituted so Ihat U can generale ihe conditions for crilicai reflection and aciion ralher ihan passivtly and indignation". Lebih lanjut, Giroux (1983:62) juga menyatakan: "Teachers and other educators need to reject educational theories that reduce schooling either to the domain of learning theory or io forms of technocratic rationality ihat ignore the central concerns of social change, power rvlaiiotis, and confltcls both wtlhin and outside of schools". Hanya dengan cara seperti ini sekolah akan dapat mencerahkan potensi dan peijuangan manusia dan membongkar kesenjangan di antara masyarakat seperti adanya dan seperti yang diimpikan bersama. 4. Teori Interpretivis Berbeda dengan ketiga teori sebelumnya, pemikiran teori interpretivis ini dalam membahas hubungan antara sekolah dan masyarakat lebih bertumpu pada interaksi sosial yang terjadi antar siswa, guru, administrator, pejabat birokrasi, orang tua siswa, kelompok masyarakat, dan berbagai kelompok sejenis lainnya yang memberikan interpretasi makna atas pola-pola hubungan antar kelompok tersebut, kurikulum, dan prestasi sekolah. Dengan begitu, dalam studi, pendukung teori interpretivis mengintegrasikan
kajian
struktural masyarakat dengan kajian analitis tentang interaksi di antara siswa dan personil sekolah, hakikat dan muatan kurikulum sekolah, dan begitu pula pengaruh langsung atau tersembunyi dari pola-pola pembelajaran di kelas. Pendekatan studi yang digunakan kaum interpretivis umumnya adalah interaksi simbolik, etnometodologi, dan fenomenologi (Karabel & Halsey, 1985: 125-140). Pendukung teori ini antara lain adalah Bemstein 4an Bourdieu (Pai, 1990). Menurut para pendukung teori interpretivis, struktur sosial di masyarakat terdiri dari sistem ketidaksamaan kelas yang dilanggengkan dalam keluarga melalui proses o
transmisi kode-kode linguistik dan pola komunikasi kepada anak (Kapabel dan Halsey, 1977:63). Keluarga, karena itu sesungguhnya, menjadi institusi sosialisasi pertama bagi anak. Dalam mempelajari hakikat keliidupan ini, anak belajar dalam keluarga memainkan peranan dengan menginterpretasikan makna berbagai aturan perilaku, sanksi, gaya hidup, dan berbagai norma kehidupan yang lain melalui pola-pola komunikasi yang ditentukan oleh posisi atau status sosial keluarga. Status kelas anak di masa depan di masyarakat, karena itu, pada gilirannya dipengaruhi oleh pola komunikasi yang diperoleh dalam kelu?'»a tersebut. Sekolah sebagai agen sosialisasi kedua setelah keluarga tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh budaya keluarga yang pada umumnya mencerminkan dominasi budaya kelas-kelas atas. Tidak mengejutkan, karena itu, sekolah, baik langsung maupun tidak langsung, sesungguhnya berharap semua siswa belajar kode-kode linguistik dan kompetensi budaya kelas dominan, yaitu yang dihasilkan oleh keluarga-keluarga dari kelompok kelas dominan (Pai, 1990). Anak-anak dari status kelas yang rendah, kemudian, diharapkan berfungsi menurut pola-pola bahasa dan budaya yang asing bagi mereka. Bourdieu (1977:494) menuliskan situasi ini: "The educalional system demands of exeryone alike ihal they have what U does not gtve. This consisLs mainly of linguislic and cultural compelencies and that relationship of familiarity with cidture which can only be produced by family upbringing when it tmnsmits the dominani culture. " Karena sekolah mereproduksi budaya kelompok dominan, kondisi ini menciptakan kesenjangan yang tajam antara apa yang diketahui oleh anak-anak dari keluarga kelas rendah dengan norma-norma di sekolah (Bernstein, 1977; Bourdieu, 1977). Tidaklah mengherankan pula, karena itu, anak-anak dari keluarga status sosial ekonomi yang rendah mengalami banyak kesulitan belajar di sekolah, karena mereka tidak mampu mengembangkan kemampuan-kemampuan lingustik dan budaya kelompok atas yang diperlukan bagi pengembangan kesuksesan di bidang prestasi akademis dan prestasi sosio-ekonomis. Menurut Bernstein (1977:476), proses sosialisasi merupakan proses pembudayaan anak. Sosialisasi adalah proses yang kompleks yang memberikan bentuk dan isi/makna yang berbeda kepada komponen kognisi, afeksi, dan kecenderungan moral anak. Dari berbagai faktor, menurut Bernsteui, status sosial ekonomi keluarga memberikan pengaruh yang paling kuai dalam menentukan pendidikan dan masa depan kerja anak. Ini berkaitan dengan sistem kelas yang mengontrol distribusi pengetahuan di dalam masyarakat, sehingga pengetahuan dan mode berpikir yang tersedia bagi masyarakat kelompok atas 83
belum tentu dapat diakses oleh individu-individu dari masyarakat kelompok rendah. Kontrol pengetahuan seperti ini telah menyebabkan masyarakat tergradasi dalam kelompok-kelompok kelas berdasarkan kelas sosial ekonominya. Untuk alasan ini polapola komunikasi dan perilaku dari masyarakat kelompok bawah sering dianggap inferior terhadap pola-pola budaya masyarakat kelompok atas. Menurut Bernstein (1977) lebih lanjut, pola komunikasi anak dari keluarga kelas bawaii/kelas pekerja umumnya memiliki keterbatasan dan maknanya sering spesifik pada situasi tertentu; berbeda dengan anak-anak keluarga kelas menengah dan atas yang umumnya bersifat lebih elaboratif, universal, dan global (dalam arti juga lebih abstrak dan memiliki makna general). Pendidikan di sekolah umumnya menjadikan kode-kode linguistik, pola komunikasi, dan kompetensi budaya kelompok kelas yang meadominasi (kelompok masyarakat kelas menengah dan atas) sebagai standar program dan hasil pendidikan. Tidak mengherankan kemudian jika anak-anak dari kelas bawah gagal dalam proses sosialisasi menggunakan pola komunikasi dan kompetensi budaya kelas dominan. Kondisi ini jelas menyebabkan ketidakseimbangan kelas dalam struktur sosial masyarakat ikut terlestarikan oleh program-program pendidikan sekolah. Karena itu, jika sekolah ingin menciptakan keadilan dalam perlakuan terhadap siswa, program sekolah haruslah lebih dapat menyesuaikan antara kebutuhan dan keterampilan yang siswa miliki dengan harapan atau tuntutan masyarakat yang Jebih Juas dalam konteks pendidikan sekolah (Bernstein., 1977; Pai, 1990:148-] 49). I. Temuan Penelitian Terdahulu Pendidikan IPS diyakini tidak berlangsung daiain kondisi yang vakum melainkan terikal dan sangat sensitif terhadap konteks yang melingkupinya (Corableth, 199.1; Nelson, 1991). Karena itu berbagai konteks sosial yang menyertai proses pendidikan TPS tentu memiliki j)engaruh dan dipengaruhi pula oleh pendidikan JPS. Berbagai konteks, seperti kelompok .siswa, lingkungan keluarga, kelompok kepentingan, pengarah media masa. sistem evaluasi, kepentingan masyarakat dari lokal hingga global ideologi dan nolilik- perkembangan sains dan teknologi, interaksi sosial dan bndava. dan sehagainva dirinya memiliki efek yang penting terhadap kebijakan perencanaan, nraktek. dan evaluasi nroeram nendidikan IPS Beberapa penelitian telah dilakukan berkenaan dengan efek konteks tersebut terhadap pendidikan IPS dan hasil-hasilnya Dari berhaeai hasil nenelitian itu. baik dengan pendekatan empiris, interpretivis. maupun pendekatan kritis dapat disimpulkan 84
bahwa pada dasarnya pendidikan IPS tidak dapat dilepaskan dari pengaruh konteks yang melingkupinya. Sunal (1991:290-299) yang telah melakukan meta analisis terhadap berbagai penelitian tentang pengaruh lingkungan keluarga terhadap beberapa segi pendidikan IPS, seperti: peningkatan motivasi berprestasi, kompetensi sosial, perkembangan moral, sosialisasi politik, dan pengaruh TV keluarga terhadap aspek belajar sosial, antara lain menyimpulkan bahwa dalam program pendidikan IPS diinana pengaruh-pengaruh positif strategi pendidikan keluarga dimasukkan di sekolah dapat menjadikan pendidikan IPS Kuprogram autoritatif diinana penalaran induksi digunakan untuk membangun self-reliance, standar yang tinggi diciptakan, dan prestasi dengan standar yang tinggi diberi reward. Cusick (1991:276-289) yang mensintesiskan beberapa hasil penelitian deskriptif tentang pengaruh kelompok sebaya siswa terhadap struktur sekolah, antara lain menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok sebaya ketika beroperasi di sekolah, secara kuat merefleksikan perbedaan konteks sosial dan budaya yang dibawa siswa ke sekolah dan membatasi cara-cara anggota-anggota mereka berinteraksi dengan sekolah. Hasilhasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa kelompok sekolah yang berbeda memberikan kesempatan yang berbeda pula kepada kelompok-kelompok sebaya siswa dalam belajar beberapa hal tertentu berkenaan dengan kewarganegaraan. Mereka umumnya dapat belajar tnempraktikkan sikap sosial dan cara-cara berpartisipasi, membuat keputusan, mengkaji nilai-nilai, dll. Selanjutnya, Splaine (1991:300-309), yang mengkaji beberapa hasil penelitian tentang pengaruh mass media terutama TV terhadap proses sosialisasi dan dampaknya terhadap program pendidikan IPS antara lain menyimpulkan bahwa mass media terutama TV sebagai sarana proses sosialisasi telah menjadi sumber informasi, mempengaruhi materi komunikasi politik, memberi gambaran yang salah tentang peran gender dan kelompok minoritas, menampilkan berbagai tindakan kekerasan, dan sebagainya. Disimpulkan juga bahwa para orang tua dan pendidik IPS perlu menyeleksi apa yang dipelajari siswa lewat televisi serta dapat mendidik siswa secara kritis memanfaatkan informasi TV untuk menghindari dampak negatifnya serta meningkatkan manfaat positifnya. Nelson
(1991:332-341)
selanjutnya
mengidentifikasi
beberapa
pengaruh
masyarakat, dari tingkat masyarakat lokal hingga masyarakat global, terhadap program pendidikan IPS khususnya pendidikan kewarganegaraan, antara lain menunjukkan: adar.ya pengaruh masyarakat dar, ideologi terhadap proses (terutama berlangsungnya 85
hidden curriculum) dan hasil pendidikan kewarganegaraan (civic dari ciiizenshp education), adanya pengaruh berbagai agensi formal seperti legislatif, ekskutif, administratif sekolah, birokrasi pemerintahan, asosiasi profesional, dan kelompok kepentingan terhadap kebijakan program pendidikan IPS; adanya pengaruh kepentingan nasional terhadap PIPS; adanya pengaruh bisnis terhadap sekolah dan penyelenggaraan program PIPS; serta timbulnya upaya sensor terhadap materi PIPS sebagai konsekuensi adanya pengaruh negatif perkembangan masyarakat terhadap perkembangan anak. Giese, Parisi, dan Bybee (1991:559-566) telah pula menunjukkan pentingnya tema STS dimasukkan ke dalam program dan materi IPS di sekolah sebagai konsekuensi adanya pengaruh IPTEK terhadap perkembangan masyarakat. Kesimpulan ini terutama diperoleh dari berbagai penelitian deskriptif tentang pendapat para pendidik termasuk pendidik IPS, pendapat para pakar, serta pendapat ilmuwan tentang perlunya tema dan isu-isu sosial aktual dimasukkan dalam kurikulum sekolah (termasuk kurikulum IPS) sebagai konsekuensi adanya pengaruh perkembangan IPTEK terhadap masyarakat. Gagasan dan hasil penelitian ini ternyata mendapat dukungan dari hasil penelitian Lasmawan (2002) tentang pengembangan model pembelajaran IPS dengan model UmuTeknologi-Masyarakat (ITM) yang dari hasil studinya antara lain merekomendasikan penggunaan ITM dalam pembelajaran IPS di sekolah untuk meningkatkan kemampuan literasi sosial budaya peserta didik. Akhirnya, dalam satu rev/e»nya terhadap studi-studi etnografi dalam IPS, White (1985:215-307) antara lain menemukan bahwa keberhasilan dan kegagalan siswa dalam belajar IPS sebagian dapat dijelaskan, antara lain oleh tingkat defisiensi budaya anak, diskontinuitas budaya, konflik budaya pada level interaksi sehari-hari, serta antagonisme budaya dan sistem nilai yang saling berkompetisi. Sayangnya, upaya-upaya penelitian yang sama belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian Sukadi (1994) tentang kontribusi faktor-faktor konteks lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan interaksi remaja siswa SMTA dengan wisatawan mengindikasikan bahwa baik secara sendiri-sendiri maupun secara simultan ketiga konteks lingkungan di atas memiliki kontribusi yang signifikan dalam menjelaskan tingkat variabilitas religiusitas dan nilai modem siswa SMTA di Bali. Siregar (1992) juga menemukan bahwa konteks lingkungan keluarga dan sekolah juga dapat menjelaskan variabilitas sikap dan perilaku siswa SMTA etnis Cina dalam melakukan proses asimilasi budaya. Jika hasil kedua penelitian ini benar tentu dapat disimpulkan pula bahwa konteks 86
lingkungan keluarga, sekolah, dan interaksi siswa dengan dunia pariwisata akan turut mewarnai praktik dan hasil program pendidikan IPS di sekolah. J. Kerangka Model Penelitian yang Diajukan Sesuai dengan permasalahan, tujuan, kajian teori, serta temuan hasil penelitian terdahulu yang diajukan dalam penelitian ini, maka kerangka model penelitian ini dapat digambarkan sebagai tertera dalam diagram pada halaman 91 di bagian akhir bab ini. Berdasarkan gambar tersebut diasumsikan bahwa proses Pendidikan IPS, khususnya di SMU Negeri Ubud Bali, tidak dapat dilepaskan dari konteks pengalaman budaya para pendukungnya, karena tnereka tidak pula dapat dilepaskan dari pengaruhpengaruh konteks masyarakat lebih luas yang melingkupinya. Pertama, sebagai bagian dari masyarakat Ubud dan masyarakat Bali pada umumnya, para pendukung program Pendidikan IPS di sekolah (kepala sekolah, pengawas, guru-guru, dan para siswa) tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kepentingan ikatan-ikatan sosial dan ikatan-ikatan budaya masyarakat Bali yang tercennin dalam hubungan antara keluarga, desa adat subak, dan pura dengan ideologi Tri Hita Kararumya. melalui kepentingan proses transmisi dan enkulturasi budaya Balinya sesuai dengan konsep desa, kala, patra. Sebagai Subagia (2000) mengatakan bahwa pendidikan di sekolah tentu tidak dapat lepas dari konteks bagaimana cara pandang tentang dunia, keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan disposisi dari masyarakatnya. Ikatan-ikatan sosial budaya (struktur dan kultur) ini bagi program Pendidikan IPS yang dibawa oleh kepala sekolah, guru-guru, dan siswa tentu tidak selalu haras ikatan yang bersifat kepentingan kurikuler semata. Di sini pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan keterampilan-keterampilan sosial lokal yang mencerminkan gerak atau dinamika masyarakat dan kebudayaan Bali mungkin akan turut mempengaruhi persepsi dan cara pandang komponen-komponen sekolah dalam memberi makna pada hakikat dan tujuan Pendidikan IPS sebagai landasan filosofis, ideologis, dan sosio-budayanya yang relevan dengan konteks lokal implementasi program pendidikan IPS itu sendiri. Dalam hal ini, tidak dapat dilepaskan pula peranan berbagai kebijakan lokal serta pengaruh agen-agen dalam masyarakat lokal untuk program pendidikan budaya lokal dalam rangka pelestarian budaya Bali mungkin akan turut mewarnai
bagaimana
program
Pendidikan
IPS
itu
akan
dikembangkan
dan
diimplementasikan. Kedua, sebagai konsekuensi dari adanya pengaruh masyarakat terhadap sekolah, para pendukung program Pendidikan IPS di sekolah juga dipengaruhi oleh kepentingan8?
kepentingan agensi-agensi formal baik dari pihak legislatif, eksekutif; maupun dari birokrasi depdiknas dan dinas pendidikan kabupaten. Di samping itu pengaruh kelompokkelompok kepentingan dan media massa tentu tidak bisa diabaikan. Hal ini berkaitan dengan program Pendidikan IPS sebagai bagian dari pelaksanaan sistem pendidikan dan kurikulum nasional, di mana program Pendidikan IPS diduga memang cukup kental membawa misi pendidikan demokrasi dalam rangka nation and characier building dan dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional berazaskan Pancasila (Soinantri, 2001; Wahab, 2002, Winataputra, 2001). Sejalan dengan ini, di samping masyarakat Bali terikat dengan ideologi Tri Kita Karana, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, masyarakat Bali tentu tidak dapat lepas dari ikatan ideologi Pancasila. Karena itu, logikanya, dalam rangka pengembangan sistem pendidikan nasional dan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional, maka landasan ideologi Pancasila tetap pula menjadi landasan pengembangan dan pelaksanaan program Pendidikan IPS di Bali. Dengan landasan struktur dan kultur pada ruang lingkup kepentingan nasional ini dapat dipastikan bahwa pelaksanaan program Pendidikan IPS di Bali pun tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan nasional yang dibawa oleh kepentingan negara dan pemerintah melalui agensi-agensi fonnal atau melalui pesan ideologis dan nilai-nilai yang terkandung dalam kurikulum di sekolah itu sendiri. Ini karena landasan ideologis pendidikan di Ittdonesa adalah Pancasila. Ketiga, masyarakat Ubud pada khususnya, dan Bali pada umumnya, sebagai konteks masyarakat yang mengembangkan pembangunan sektor pariwisata alam dan budaya sebagai sektor dominan, diduga pula turut mewarnai iklim dan pengambilan kebijakan pendidikan di Bali pada umumnya, temasuk dalam pelaksanaan program Pendidikan IPS di SMU Negeri 1 Ubud. Ini relevan dengao kenyataan bahwa pelaksanaan program pembangunan pariwisata di Bali ternyata terkait erat dan turut mempengarulii pelaksanaan sektor-sektor dan program-program pembangunan terkait, termasuk dengan pelaksanaan program pendidikan fonnal di sekolah, terutama yang terkait dengan pengembangan kesadaran
generasi
muda
Bali
dalam
rangka
pelestarian
dan
pengembangan kebudayaan lokal dan nasional, serta mempersiapkan generasi muda menjadi manusia-manusia modern yang mampu turut mengembangkan kemajuan pembangunan pariwisata di Bali. Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan pariwisata ternyata membonceng serta ideologi dan sistem budaya global yang terutama bercirikan rasional, bertumpu pada modal kapital yang didukung oleh penguasaan iptek, nilai-nilai universal, sekuler, kritis, 88
pragmatis, materialistis, dan hedonistis (Poespowardojo, 1989). Jika keseluruhan konteks interaksi dengan pariwisata membawa implikasi sosial, ekonomi, dan budaya pada masyarakat lokal seperti nilai-nilai di atas, ini tentu diduga membawa implikasi pula pada pengambilan kebijakan dai pengembangan iklim pendidikan di sekolah pada umumnya dan pengembangan program Pendidikan IPS pada khususnya di Ubud. Selanjutnya, ketiga konteks lingkungan di atas, di samping dapat berkontribusi secara sendiri-sendiri terhadap pengembangan iklim dan pengambilan kebijakan dalam pengembangan program Pendidikan IPS di sekolah, diduga pula akan mewarnai pembentukan visi dan misi masyarakat Bali dalam usalia pengembangan pendidikan sosial di Bali pada umumnya, dan pengembangan program Pendidikan IPS di sekolah pada khususnya. Dalam pengembangan visi, misi, dan tujuan pendidikan sekolah serta pelaksanaan program Pendidikan IPS sesuai dengan pengaruh ketiga konteks lingkungan tersebut, diyakini akan teijadi keselarasan dan keseimbangan dalam menetapkan landasan dan orientasi pengembangan kebudayaan lokal, nasional, dan global yang melandasi program Pendidikan IPS, serta antara misi pengembangan keimanan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengembangan kesadaran budaya yang berbasis budaya lokal, nasional, dan global tersebut. Inilah landasan utama yang digunakan sekolah untuk merumuskan tujuan Pendidikan IPS pada khususnya dan tujuan pendidikan sekolah pada umumnya dalam rangka pembentukan generasi muda modem berwatak Bali yang bercirikan memiliki keimanan yang tinggi, cerdas dalam penguasaan ihnu pengetahuan dan teknologi, serta menghargai dan mampu turut mengembangkan dan melestarikan kebudayaan lokal Bali, nasional, dan global secara selaras dan seimbang, sehingga mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat di tingkat lokal, nasional, dan global. Dengan visi, misi, dan tujuan seperti itu, pada gilirannya keseluruhan konteks tersebut akan turut menentukan karakteristik yang unik dari pelaksanaan program pendidikan IPS di SMU Negeri I Ubud yang dapat dilihat dari model interaksi antara kepala sekolah, guru, siswa, dan kurikulum Pendidikan IPS di sekolah, baik dalam pelaksanaan tradisi Pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan, pendidikan ilmu sosial, pendidikan inkuiri reflektif, pendidikan sosial berbasis partisipasi masyarakat, maupun sebagai program imegraled leurntng (Stanley, 1985). Di samping itu, akan dilihat juga pengaruhnya dalam pembentukan iklim pendidikan di sekolah dan di kelas, terutama dalam pembentukan iklim pendidikan demokrasi yang menghargai adanya pluralisme budaya
serta pengaruhnya terhadap efektivitas pelaksanaan kegiatan kurikuler, 89
kokurikuler, dan ekstrakurikuler di sekolah yang mencerminkan visi, misi, dan pencapaian tujuan yang dirumuskan di atas. Semua ini tentunya dapat dijelaskan melalui pandangan-pandangan pendidik dan siswa tentang status program Pendidikan IPS; reformulasi hakikat belajar dan tujuan Pendidikan IPS sebagai hasil rekonstruksi pengalaman budaya; pelaksaan program Pendidikan IPS yang menyangkut pemilihan materi, strategi, sumber-sumber belajar, dan penciptaan iklim secara unik; konflik-konflik yang timbul sebagai proses budaya; serta alternatif-alternatif pemecahan konflik yang dilakukan. Pelaksanaan program Pendidikan IPS secara unik seperti di atas sebagai hasil rekonstruksi pengalaman budaya para pendukungnya diyakini akan dapat mencapaikan tujuan program Pendidikan IPS pada khususnya, dan tujuan pendidikan di SMU Negeri I Ubud pada umumnya dalam rangka penciptaan generasi muda modem berwatak Bali. Hal ini terutama dirumuskan melalui karakteristik orientasi nilai modem para siswa; tingkat pengetahuan sosial budaya dan agama Hindu mereka; pemahaman, orientasi nilai, dan praktik tri hita karana mereka di lingkungan sekolah; pandangan dan sikap mereka dalam masalah-masalah konflik antar level kepentingan (lokal, nasional, dan global); serta aspirasi mereka setelah tamat antara melanjutkan ke perguruan tinggi, melamar menjadi pegawai atau karyawan, atau berorientasi menjadi wiraswastawan. Keseluruhan proses-proses di atas tidak akan dikaji dalam hubungan-hubungan konsep yang bersifat linear melalui pendekatan empiris semata, melainkan juga sebagai hubungan-hubungan kekuasaan, ideologi, dan kebudayaan sebagai suatu proses kebudayaan yang akan melahirkan tindakan politis dalam pengembangan program pendidikan IPS di sekolah dalam rangka memenuhi harapan-harapan masyarakat Bah membentuk generasi muda modern berwatak Bali (SARAD, 2000; Sujana, 1994). Di sinilah kemungkinan untuk menerapkan beberapa perspektif teoritis ilmu-ilmu sosial dan pendidikan seperti pendekatan strukturalisme, pendekatan kajian agama, strukturalfungsionalisme, konflik, kritis, dan interpretivis dalam mengkaji permasalahan konteks Pendidikan IPS sebagai rekonstruksi pengalaman budaya dapat dilakukan (Combleth, 1991).
90