BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG MUJAHADAH DAN PENGENDALIAN EMOSI

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG MUJAHADAH DAN PENGENDALIAN EMOSI

2.1. Konsep Mujahadah dalam Islam Mujahadah merupakan salah satu dari bentuk dakwah islamiyah. Sedangkan dakwah itu sendiri memiliki arti mendorong manusia untuk berbuat baik dan menurut petunjuk dan perintahkan untuk berbuat baik dan mencegah mereka dari perbuatan munkar agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dakwah Islamiyah yaitu semua aktivitas manusia muslim di dalam berusaha merubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT. (Drs.H.M.Hafi Anshari 1993:11).

2.1.1. Pengertian Mujahadah Banyak sekali orang mengatakan bahwa Mujahadah di artikan sebagai jihad dan Jihad diartikan sebagai Mujahadah. Untuk lebih jelasnya akan kami definisikan makna Jihad dan Mujahadah. Kata Jihad terambil dari kata Jahd yang berarti letih/sukar, ada juga yang berpendapat jihad berasal dari kata “juhd” yang berarti kemampuan, ini karena jihad menuntut kemampuan dan harus dilakukan sebesar kemampuan. (Shihab,1996: 501) Mujahadah mempunyai arti mengarahkan kemampuan dan bersungguhsungguh dalam beraktivitas. Mujahadah berasal dari kata Jahd (sukar, sulit) atau Juhd (kemampuan, daya) yang juga menjadi akar kata Jihad dan Ijtihad. Jadi dari akar kata Jahd dan Juhd muncul tiga istilah dalam Islam yaitu : Jihad, Ijtihad dan

23

24

Mujahadah. Ketiga istilah tersebut hampir memiliki makna yang berdekatan, namun mengacu kepada aktifitas yang berbeda, Jihad kendati jarang tidak di identikan dengan mujahadah, biasa pula di pakai sebagai pengerahan kemampuan fisik dan penegakan Agama. Itu berbeda dengan ijtihad yang dititik beratkan pada pengarahan kemampuan intelektual dalam memecahkan berbagai permasalahan umat. Sedangkan Mujahadah lebih banyak berorientasi pada pengerahan kemampuan ruhani untuk mencapai ridha Tuhan. Istilah mujahadah berasal dari kata jahada-yujahidu-mujahadah-jihad yang berarti mencurahkan segala kemampuan. Dalam konteks ahlaq mujahadah adalah mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah SWT,baik hambatan yang bersifat internal maupun eksternal. Hambatan yang bersifat internal datang dari jiwa yang mendorong untuk berbuat keburukan (nafsu ammarah bi as-sui), hawa nafsu yang tidak terkendali, dan kecintaan kepada dunia. Sedangkan hambatan ekxternal datang dari syaitan, orang-orang kafir, munafik, dan para pelaku kemaksiatan dan kemungkaran (Ilyas:2004:109) Menurut kaum sufi, “mujahadah” adalah bersungguh-sungguh untuk mencapai kedekatan dengan Allah dan untuk menaklukan segala hambatan yang dapat merintangi tujuan tersebut. Jadi mujahadah merupakan perjuangan panjang orang-orang yang menempuh jalan keruhanian menuju Ilahi, karena sepanjang jalan ia akan senantiasa menemukan berbagai hambatan dan rintangan yang harus dihadapinya dengan penuh kayakinan dan kesabaran. Dalam keyakinan sufi, sebagai dikutip Al-Qusyayri (W.465 H/1072 M) dan gurunya, Abu Ali al-Daqaq (W. Antara

25

405-412 H) bahwa tujuan tasawuf tidak akan tercapai tanpa melalui mujahadah, ”Barang siapa yang awal perjalanan ruhaninya tidak di mulai dengan mujahadah dia tidak akan mendapatkan pelita di jalan ini (tasawuf)”.

2.1.2. Dasar Hukum Mujahadah Istilah mujahadah diangkat dari janji Allah dalam kitab suci Al Quran Surat Al-Ankabut ayat 69.

‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺴِﻨ‬ ِ‫ﺤ‬  ‫ﻊ ﺍﹾﻟﻤ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﷲ ﹶﻟ‬ َ ‫ﻭِﺍﻥﱠ ﺍ‬ ‫ﺎ‬‫ﺒﹶﻠﻨ‬‫ﺳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻳﻨ‬‫ﻬ ِﺪ‬ ‫ﻨ‬‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﻴﻨ‬‫ﻭﺍ ِﻓ‬‫ﻫﺪ‬ ‫ﺎ‬‫ﻦ ﺟ‬ ‫ﻳ‬‫ﺍﱠﻟ ِﺬ‬‫ﻭ‬ “Dan orang-orang yang bermujahadah menuju kami,niscaya kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami,sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Depag.RI,1977: 638). Jadi setiap upaya sungguh-sungguh di jalan tuhan untuk mencapai kedekatan dengannya, Tuhan telah menjanjikan hidayah bagi orang-orang yang menempuh jalan itu. Sehubungan dengan ayat di atas.Ibn Katsir menyampaikan sebuah riwayat yang bersumber dari Ibn Abi Hatim, bahwa ayat tersebut mengandung makna” Orang-orang yang mengamalkan ilmu yang telah di perolehnya,niscaya Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum dimilikinya”.(Yunasril Ali, 2003:11) Para sufi berkeyakinan bahwa kesungguhan untuk dekat dengan Allah memang pekerjaan berat, tetapi mereka yakin pula tuhan akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang berupaya berada bersama-sama.

2.1.3. Tujuan dan Fungsi Mujahadah Telah disebutkan pada bab I bahwa banyak manusia yang mengalami kegoncangan dalam hidupnya, stress, frustasi, kecewa, hal ini yang banyak melatar belakanginya. Di dalam mujahadah terdapat bacaan-bacaan dan ritual-ritual sebagai

26

misal adalah do’a, tahlil dan wirid yang di dalamnya memuat ayat-ayat yang dapat memberikan suasana hati yang tenteram, sehingga dengan hati yang tenteram membuat perilaku dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi lebih baik. Secara terperinci, obyek mujahadah ada enam yaitu : 1. Jiwa yang selalu mendorong seseorang untuk melakukan kedurhakaan atau dalam istilah Al-Qur’an Fujur. Di dalan Al-Qur’an di jelaskan bahwa Allah SWT megilhamkan kepada jiwa jalan kefasikan dan ketakwaan.

() ‫ﺎ‬‫ﺯﻛﱠﺎﻫ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺢ‬ ‫ﺪ ﹶﺍ ﹾﻓﹶﻠ‬ ‫ﺎ )( ﹶﻗ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺗ ﹾﻘﻮ‬‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺭﻫ‬ ‫ﻮ‬‫ﺎ ﹸﻓﺠ‬‫ﻤﻬ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺎ )( ﹶﻓﹶﺎﹾﻟ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺳﻮ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺲ‬ ٍ ‫ﻧ ﹾﻔ‬‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺩﺳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺏ‬  ‫ﺎ‬‫ﺪ ﺧ‬ ‫ﻭﹶﻗ‬ “Dan jiwa serta penyempurnaanya,maka Allah mengilhankan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaanya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah oranh yang mengotorinya,” (Q.S. asy-Syam 91:7-10) Jiwa yang mendorong manusia untuk melakukan kejahatan itulah yang dalam tempat lain di sebut oleh Al-Qur’an dengan nafsu ammarah bi-sui (QS.Yusuf 12:53).Jiwa inilah yang mendorong kepada keinginan-keinginan yang rendah yang menjurus kepada hal-hal yang negatif. 2. Hawa nafsu yang tidak terkendali, yang menyebabkan seseorang melakukan apa saja untuk memenuhi hawa nafsunya itu tanpa mempedulikan larangan-larangan Allah SWT, dan tanpa mempedulikan mudharat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Manusia memang memerlukan hawa nafsu, bahkan manusia tidak dapat bertahan hidup kalau tidak memiliki hawa nafsu. Tapi memperturutkan hawa nafsu (nafsu makan, minum, seks, mengumpulkan harta, berkuasa dan lain sebagainya) tanpa kendali akan merusak manusia itu sendiri. Untuk

27

mengendalikan hawa nafsu di perlukan sebuah perjuangan yang tidak mengenal lelah. Karena perang melawan hawa nafsu sendiri jauh lebih berat dari perang menghadapi musuh dari luar sebelum dia dapat mengalahkan musuh dari dalam dirinya sendiri. 3. Syaitan yang selalu menggoda umat manusia untuk memperturutkan hawa nafsu sehingga mereka lupa kepada Allah SWT dan untuk selanjutnya lupa kepada diri sendiri. Banyak cara di lakukan oleh syaitan untuk menggoda umat manusia, baik dengan cara menjungkirbalikkan nilai-nilai kebenaran, mencampur adukkan hak dan batil, maupun dengan menakut-nakuti manusia untuk menyatakan kebenaran. 4. Kecintaan terhadap dunia yang berlebihan sehingga mengalahkan kecintaan kepada akhirat, padahal keberadaan manusia di dunia hanya bersifat sementara, secara individual sampai maut datang menjemput, dan secara umum sampai kiamat datang. Kecintaan yang berlebihan kepada dunia menyebabkan orang takut mati, dan selanjutnya tidak berani terjun ke medan jihad berperang melawan musuh. 5. Orang-orang kafir dan munafik yang tidak pernah berpuas hati sebelum orangorang yang beriman kembali menjadi kufur. 6. Para pelaku kemaksiatan dan kemungkaran, termasuk dari orang-orang yang mengaku beriman sendiri, yang tidak hanya merugikan mereka sendiri, tapi juga merugikan masyarakat. Perbuatan mereka dapat mengganggu dan menghambat orang lain melakukan ibadah dan amal kebajikan. Untuk itulah orang orang yang beriman di perintahkan oleh Allah SWT untuk melakukan nahi munkar, di samping amar makruf.

28

Bentuk mujahadah orang awam atau kebanyakan yang tingkat ibadahnya pemula ialah berupaya menyempurnakan amal-amalnya sehingga sesuai dengan yang diperintahkan oleh agama. Adapun bentuk mujahadah orang khas (yang tingkat ibadahnya sudah tinggi) lawan orang awam disamping memperbaiki amal tersebut juga membersihkan mentalnya dengan jalan menghilangkan sifat-sifat tercela dari dalam hati dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji. Dengan usaha demikian secara berangsung-angsur nafsu akan dapat ditundukkan. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang mengisyaratkan perlunya orang bermujahadah dalam mengendalikan nafsunya, antara lain disebutkan dalam firman Allah SWT Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 53 yang berbunyi:

‫ن‬ ‫ِا ﱠ‬

‫ﻗﻠﻰ‬

‫ﺣ َﻢ َر ِﺑّﻰ‬ ِ ‫ﺴ ْﻮ ِء ِا ﱠﻻ ﻣَﺎ َر‬ ‫ﺲ َ َﻻﻣﱠﺎ َر ٌة ﺑِﺎﻟ ﱡ‬ َ ‫ن اﻟ ﱠﻨ ْﻔ‬ ‫ﺴﻰ ج َا ﱠ‬ ِ ‫ئ َﻧ ْﻔ‬ ُ ّ‫َوﻣَﺎ ُا َﺑ ِﺮ‬ (53 :‫ﺣ ْﻴ ٌﻢ )ﻳﻮﺳﻮف‬ ِ ‫ﻏ ُﻔ ْﻮ ُر ﱠر‬ َ ‫َر ِﺑّﻰ‬

Artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku”. Jadi ayat diatas menjelaskan jahatnya nafsu, karena nafsu senantiasa membawa kepada keburukan, kecuali nafsu yang dirahmati Allah SWT yaitu nafsu mutmainnah (nafsu yang tentram). Dengan demikian tujuan mujahadah adalah untuk dapat mengontrol hawa nafsu yang buruk, karena nafsu senantiasa membawa kepada keburukan, karena nafsu itu tidak dapat dilihat oleh mata. Fungsi mujahadah adalah mengendalikan daya rohani agar tetap berada dalam sinar Allah dalam hal ini berpegang teguh pada Al-Qur’an dan al-Hadits.

29

Menurut Abu Qasim Abdul karim Al-Qusairi: pada dasarnya mujahadah ialah menceraikan nafsu dari yang di sukainya dan membawanya kepada yang tidak di sukainya dalam bagian terbesar dari waktu yang di jalani, karena nafsu itu mempunyai dua sifat yaitu : pertama, suka bergelimang dalam kelezatan,dan kedua menjauhkan diri dari ketaatan.Apabila ia berontak tak mau tunduk, bahkan ingin terus memperturutkan kehendaknya, wajiblah ia di kekang dengan ketakwaan. Apabila ia bersikeras untuk meninggalkan ketaatan, wajiblah ia di paksa agar dapat melakukan ketaatan itu (Vanhoe: 287-288). Jadi tujuan mujahadah adalah untuk dapat mengontrol nafsu diri, dan fungsinya adalah mengendalikan daya rohani agar tetap berada dalam sinar Allah. 2.2. Pengendalian Emosi 2.2.1. Pengertian Emosi Pengertian emosi sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli, yaitu sebagai berikut: 1. Menurut Purwadarminta (1976: 272) menyebutkan bahwa “emosi adalah perasaan batin yang keras timbul dari hati”. 2. Mahmud berpendapat (1990:163) bahwa “emosi adalah keadaan bergejolak, gangguan kejiwaan, gangguan keseimbangan terjadi respon kuat yang tidak beraturan terhadap stimulus”. 3. Sarwono (1976:51) mengatakan bahwa “emosi adalah setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas atau mendalam dan bersifat subyektif”.

30

4. Shaleh dan Wahab (2004: 151) berpendapat bahwa emosi pada umumnya merupakan “perbuatan manusia sehari-hari disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau tidak senang, dan yang selalu menyertai perbuatan ini kadang kuat dan kadang lemah. Dalam warna efektif yang kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas dan lebih terarah, peristiwa semacam ini disebut emosi”. 5. Emosi adalah suatu keadaan yang terangsang dari organisme yang mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku ( J. P. Caplin, 2002; 165). 6. Menurut English and English, emosi adalah : “A complex filing state accompanied by characteristic motor and glandular activiesi”, yang berarti satu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris (Yusuf, 2004: 114). Jadi emosi adalah perasaan yang timbul melebihi batas sehingga tidak dapat menguasai diri dan menyebabkan hubungan pribadi dengan dunia luar putus. Sehingga daapat disimpulkan bahwa emosi merupakan suatu aktifitas pribadi, di mana pribadi ini tidak dapat dipisahkan dalam jasmani dan psikis sebagai substansi yang terpisah. Emosi berkembang sejak individu dilahirkan. Walaupun reaksi emosi merupakan pengalaman yang tumbuh sendiri, tetapi pada perkembangan santri ia haruslah mendapatkan pendidikan mengenai bagaimana santri harus berusaha mengekang, mengekspresikan (mewujudkan), atau memodifikasi reaksi emosinya. Beberapa pola emosi kadang relatif tetap pada usia santri-santri, namun pada

31

perkembangan selanjutnya mulai berkembang. Namun semakin usianya bertambah variasi, variasi makin lengkap. Perasaan dan emosi biasanya disifatkan sebagai suatu keadaan (state) diri organisme atau individu pada suatu waktu misalnya, orang merasa sedih, senang, terharu dan sebagainya bila melihat sesuatu, mendengar sesuatu mencium bau dan sebagainya. Dengan kata lain perasaan disifatkan sebagai suatu keadaan jiwa sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang pada umumnya datang dari luar dan peristiwa-peristiwa

tersebut

pada

umumnya

menimbulkan

kegoncangan-

kegoncangan pada individu-individu yang bersangkutan.

2.2.2. Ciri-ciri Emosi Sebelum membahas lebih lanjut mengenai ciri-ciri emosi akan penulis sampaikan beberapa hal mengenai emosi. Emosi tidak hanya bergantung dari faktor external saja tetapi tergantung pada: 1. Keadaan jasmani individu yang bersangkutan kalau keadaan jasmani kurang sehat misalnya, hal ini dapat mempengaruhi soal perasaan yang ada pada individu itu. Pada umumnya orang yang dalam keadaan sakit sifatnya lebih perasa di bandingkan dengan keadaan jasmani yang sehat. Suatu peristiwa tidak menimbulkan sesuatu perasaan yang waktu sehat, tetapi dapat menimbulkan sesuatu perasaan pada waktu individu itu sakit. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara keadaan jasmani dengan keadaan psikis individu. 2. Keadaan dasar individu. Hal ini erat hubunganya dengan struktur pribadi individu, misalnya ada orang yang mudah marah, sebaliknya ada orang yang

32

sukar, sehingga dengan demikian struktur pribadi individu akan turut menentukan mudah tidaknya seseorang mengalami suatu perasaan. 3. Keadaan individu pada suatu waktu, atau keadaan temporer seseorang, misalnya orang yang ada pada suatu waktu sedang putus asa perasaan puas. Dadang Hawari mengemukakan bahwa kecerdasan emosional yang tinggi adalah sumber daya manusia yang mampu mengendalikan diri, sabar, tekun, tidak emosional tidak reaktif serta positif thinking. Untuk memperoleh ini seseorang harus melalui pendidikan sejak dini, sebagai contoh suri tauladan orang tuanya, sebagai misal mengadakan mujahadah secara berjamaah dalam keluarga. (Hawari, 2003: 20). Seseorang di katakan sehat jiwanya apabila ia mampu mengendalikan dirinya. Pada hakekatnya mengendalikan diri terhadap dorongan-dorongan hawa nafsu dirinya sendiri, agar yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan diri sendiri atau orang lain. Dalam sebuah hadist dinyatakan bahwa: ”Sesungguhnya peperangan terbesar (di muka bumi ini) adalah peperangan melawan hawa nafsu dirinya sendiri “(H.R.At Tabrani). Ada beberapa ciri emosi sebagai suatu peristiwa psikologis secara garis besar yaitu : 1. Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainya, seperti pengamatan dan berfikir. 2. Bersifat Fluktuatif (tidak tetap) 3. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera. Selain mempunyai ciri-ciri tersebut ciri-ciri emosi dapat juga di bedakan antara emosi santri, orang dewasa dan orang tua:

33

1. Emosi Anak a. Berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba b. Terlihat lebih hebat atau kuat c. Bersifat sementara atau dangkal d. Lebih sering terjadi e. Dapat di ketahui dengan jelas dari tingkah lakunya. 2. Emosi orang dewasa dan orang tua a. Berlangsung lebih lama dan berakhir dengan lambat b. Tidak terlihat hebat atau kuat c. Lebih mendalam dan lama d. jarang terjadi e. Sulit di ketahui karena lebih pandai menyembunyikanya. Emosi dapat di kelompokkan kedalam dua bagian, yaitu emosi Sensoris dan emosi kejiwaan (psikis). 1. Emosi sensoris, yaitu emosi yang di timbulkan oleh rangsangan dari luar tubuh, seperti: rasa dingin, manis, sakit lelah, kenyang dan lapar, 2. Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan. Yang termasuk emosi ini, di antaranya adalah: a. Perasaan intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini di wujudkan dalam bentuk, rasa yakin dan tidak yakin terhadap suatu karya ilmiah, rasa gembira karena mendapat suatu kebenaran, rasa puas karena dapat menyelesaikan persoalan-persoalan ilmiah yang harus di pecahkan.

34

b. Perasaan sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain. Baik bersifat perorangan maupun kelompok, wujud perasaan ini seperti, Rasa solidaritas, Persaudaraan (ukhuwah), simpati, kasih sayang dan lain sebagainya. c. Perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika moral seperti, rasa tanggung jawab (responsibility), rasa bersalah apabila melanggar norma dan rasa tenteram dalam menaati norma. d. Perasaan keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian. e. Perasaan ketuhanan. Salah satu kelebihan manusia sebagai mahluk tuhan, dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya. Dengan kata lain manusia dikaruniai insting religius(naluri beragama), karena memiliki fitrah ini, kemudian manusia dijuluki sebagai “Homo divinans” dan “Homo Religius”, yaitu mahluk yang berketuhanan atau mahluk beragama. (Dr.H. Syamsu Yusuf Ln:2004:117).

2.2.3. Faktor Penyebab Timbulnya Emosi Dalam kehidupan sehari-hari terlihat bermacam-macam tingkah laku manusia dalam menjalankan aktivitas mereka masing-masing dan kesemuanya memiliki tujuan yang berbeda dalam mencapai apa yang menjadi impian dan cita-citanya demi kelangsungan hidupnya. Sehingga aktivitas yang dilakukannya sangat berkaitan dengan manusia yang satu dengan yang lain. Pola interaksi yang terjadi menimbulkan berbagai macam dampak, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan dari sebelah pihak ataupun keduanya, yang pada akhirnya proses tersebut

35

memberikan nuansa kehidupan yang relatif kompleks terhadap beragamnya cultur budaya manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain. Dampak yang bakal menimpa pada kondisi mereka mengakibatkan munculnya berbagai macam penyakit sosial dan gejala-gejala sosial yang mengarah pada kondisi jiwa (mental) dan fisik yang tidak seimbang. Setelah sekian lama manusia mengalami perubahan-perubahan hidup, berbagai problem kemanusiaan timbul beserta penyebab-penyebabnya. Di antara penyakit manusia modern adalah gangguan psikologis yang diderita oleh manusia yang hidup dalam lingkungan peradaban modern. Manusia modern idealnya adalah mereka yang berfikir logis dan mampu menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Dengan kecerdasan dan bantuan teknologi, mereka semestinya lebih bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak dari mereka yang kualitas kemanusiannya lebih rendah dibanding kemampuan berfikir dan teknologi yang dicapainya. Akibat dari ketidakseimbangan itu, menimbulkan sikap patologis dan gangguan-gangguan emosi. Emosi berkembang sejak individu di lahirkan. Walaupun reaksi emosi merupakan pengalaman yang tumbuh sendiri tetapi pada perkembanganny ia haruslah mendapatkan pendidikan mengenai bagaimana Emosi yan tidak baik itu timbul, mengekspresikan mewujudkan atau memodifikasi reaksi emosinya. Beberapa pola emosi kadang relatif tetap pada usia santri-santri,namun pada perkembangan selanjutnya mulai berkembang. Namun semakin usianya bertambah variasi makin lengkap.

36

Untuk lebih memahami tentang emosi yang muncul akibat gangguan kejiwaan atau sebab-sebab ketidak sehatan mental. Kartono (2000: 30-34) menjelaskan bahwa konflik-konflik batin yang serius terhadap perilaku yang emosional biasanya terjadi oleh sebab-sebab sebagai berikut : 1. Terbenturnya pada standar-standar dan norma-norma tertentu Sebagian orang-orang dan kelompok sosial tertentu, peraturan, larangan dan norma-norma sudah dibakukan secara syah itu dirasakan mengikat dan membelenggu dirinya. Bahkan justru dirasakan sebagai himpitan beban yang mengakibatkan tekanan batin, stress dan penderitaan lahir batin. Karena dengan adanya norma-norma tersebut kebutuhan biologis kadang dikekang, kesenangan pribadi kadang dikurangi demi kebahagiaan manusia atau demi kesejahteraan bersama. Sebagai contohnya: banyak kita saksikan orang tua juga bisa konflik dengan

santri-santri

remaja

dan

adolensi.

Karena

masing-masing

mempertahankan pola hidup, gaya hidup dan norma hidup. Inilah yang menyebabkan tekanan batin dan lambat laun kejadian tersebut berkembang menjadi gangguan penyakit mental. 2. Adanya konflik kebudayaan Di tengah kemelut bertemunya kebudayaan yang beraneka ragam, baik yang berasal dari negara luar atau kebudayaan suatu bangsa sendiri yang penuh konflik. Hal ini membuat muncul semacam tekanan, paksaan dan ancaman yang menindas, baik terhadap kelompok-kelompok sosial maupun perorangan sehingga sering muncul orang menjadi ketakutan dan mengalami ketegangan batin yang tidak bisa diintegrasikan dalam kehidupan batiniahnya.

37

3. Masa transisi Pada masa transisi terjadi perubahan dari satu periode ke periode lain, ditandai dengan kegoncangan-kegoncangan sebagai akibat dari tidak berlakunya norma-norma sosial yang lama, belum diakuinya norma-norma sosial yang baru dan bahkan belum ada norma-norma sosial yang baru. Sehingga kontrol sosial dan sanksi sosial menjadi kendor. Hal ini disebabkan pula oleh arus urbanisasi, karena pada umumnya rakyat desa itu kurang mempunyai keahlian dan mentalnya belum siap untuk menghadapi godaan-godaan dan kesulitan-kesulitan kehidupan kota. Maka timbulah konflik batin dan masalah-masalah baru di kota besar. Sebagai akibat urbanisasi memicu munculnya pengangguran, kriminalitas, pelacuran, perjudian dan lain-lain yang kesemuanya di warnai unsur ketegangan, kecemasan, ketakutan dan emosi yang tidak terkendali. 4. Menanjaknya tingkat aspirasi terhadap kemewahan materiil Hal tersebut terjadi karena berbagai macam media misalnya; film, koran, majalah, bioskop, dan iklan. Bisa juga melalui pendidikan yang formal maupun yang tidak formal. Pada masa sekarang ini orang berusaha meningkatkan standar kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan hidup modern yang bersifat materiil dengan kualitas super, tanpa ditopang dengan penghasilan yang tinggi, kebutuhan dan keinginan itu pun tidak akan tercapai sehingga muncul ketegangan, konflik batin, kecemasan, ketakutan, emosi dan penyakit lainnya. Timbul pula masalah atau gejala cross boyisme, gank-gank, banditisme, pemberontakan-pemberontakan, immoralitas seks, penghianatan, kriminalitas, korupsi dan gangguan sosial patologis lainnya di tengah masyarakat.

38

Keterangan lebih luas tentang gangguan emosi selain pendapat yang dikemukakan di atas, ada lagi yaitu pendapat yang dikemukakan oleh Dadang Hawari. Menurutnya gangguan emosi ditimbulkan oleh berbagai macam sebab. Untuk mempermudah pemahaman, Hawari (1999: 47) membagi penyebab emosi pada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini lebih ditekankan pada diri sendiri atau dapat juga dikatakan dari keturunan atau bawaan sejak lahir. Faktor dari dalam diri sendiri dapat berupa faktor organis/fisik dan psikis. Faktor organis dapat berupa penyakit, kecelakaan, operasi/pembedahan atau cidera fisik yang lain. Faktor psikis dapat berupa stress, cemas dan depresi serta kondisikondisi kejiwaan yang lain. Sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan yang mempengaruhi seseorang di mana ia berinteraksi. Faktor lingkungan ini dibagai menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: 1. Lingkungan keluarga Dalam hal ini akan penulis contohkan yaitu dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan, peran ibu atau orang tua dalam mendidik santri akan terganggu sehingga besar kemungkinan selama pertumbuhannya santri akan kehilangan haknya untuk dibina, dibimbing, diberi kasih sayang, perhatian dan sebagainya oleh orang tua. Padahal untuk menciptakan keluarga yang sehat dan bahagia, terdapat beberapa sarana atau prasarana utama dalam pengendalian emosi, yaitu: a. Kehidupan beragama dalam keluarga b. Waktu bersama dalam keluarga c. Komunikasi yang baik sesama anggota keluarga

39

d. Saling harga menghargai sesama anggota keluarga. e. Masing-masing anggota keluarga terikat satu dengan yang lainnya dalam ikatan kelompok yang kuat, tidak longgar dan tidak rapuh f. Dalam mengatasi berbagai krisis yang mungkin timbul, sepakat untuk menyelesaikannya secara positif dan konstruktif (Hawari, 1999: 215). 2. Lingkungan pendidikan (sekolah) Pendidikan harus menyangkut tiga hal pokok yaitu aspek kognitif (kemampuan

untuk

menyerap

ilmu

pengetahuan

yang

diajarkan

atau

berhubungan dengan tarap kecerdasan santri didik), aspek afektif (kemampuan untuk merasakan dan menghayati apa yang diajarkan) dan aspek motorik (kemampuan untuk merubah sikap dan perilaku sesuai dengan apa yang dipelajari) (Hawari, 1999: 196). Apabila ketiga aspek tersebut tidak dijalankan dengan baik maka perilaku santri akan menyimpang dan muncul emosi yang melonjak dan tidak terkendali. 3. Lingkungan Masyarakat Lingkungan masyarakat sangat mempengaruhi kepribadian seseorang, kondisi masyarakat yang emosional atau rawan dapat menyebabkan emosi yang tidak stabil. Pada saat sekarang ini masyarakat banyak menawarkan berbagai macam perkembangan yang tidak sesuai dengan syari’at Islam, hal ini disebabkan makin berkembangnya ilmu dan teknologi. Ironisnya, hal semacam ini justru sangat disukai para generasi muda yang memang dalam keadaan labil dan dalam rangka pencarian eksistensi dirinya. Padahal sifat, kebisaaan, karakter

40

dan keperibadian manusia kini lebih dipengaruhi atau dibentuk oleh lingkungan sosialnya (Kartono, 2000: 195).

2.2.4. Urgensi Mujahadah bagi Pengendalian Emosi Sebelum membahas tentang urgensi tentang mujahadah bagi pengendalian Emosi santri, akan penulis definisikan makna urgensi itu sendiri: menurut Poerwadarminta urgensi berarti : perlunya atau pentingnya tindakan yang cepat atau segera ( Poerwadarminta,1976:1134) Jadi urgensi mujahadah bagi pengendalian emosi adalah bagaimana mujahadah yang di dalamnya terdapat aspek-aspek ritual berupa do’a, wiridan dan ritual-ritual lainnya dapat membuat hati seseorang akan tenang, sehingga dengan hati yang tenang dalam setiap melakukan aktivitas akan berjalan dengan baik. Mujahadah sebagai salah satu sarana untuk mengkaji ilmu keagamaan dan juga sebagai dakwah islamiyah sangat berperan penting dalam merekonstruksi dan menanamkan pribadi manusia kepada pribadi manusia yang di cita-citakan. Sehingga dengan latar belakang, watak, sikap, perilaku, kepribadian dan pola pikir santri yang mengikuti mujahadah ini di harapkan mampu mengarahkan kondisi internalnya dalam upaya pengendalian emosi santri, karena dengan dasar akhlak yang berahlakul karimah seseorang akan mantap dalam menjalani kehidupan ini. Seperti telah dikemukakan di depan bahwa berjuang melawan hawa nafsu merupakan tingkat perjuangan paling tinggi dan terberat. Di ceritakan dalam kitabkitab sejarah, ketika Rasulullah SAW, baru pulang dari perang Badar Al- Kubra, para sahabat banyak merasa bangga den gan kemenangan mereka dalam peperangan itu,karena dengan jumlah sedikit mereka dapat mengalahkan tentara musuh yang

41

jumlahnya lebih banyak,tetapi Rasulullah SAW dengan sedikit ucapan menyadarkan para sahabatnya.Katanya: ”Kita kembali dari peperangan yang kecil menuju peperangan yang amat besar yaitu berjuang melawan hawa nafsu”. Ibnu Qayyim Al-jauziyah meletakkan perjuangan melawan hawa nafsu sebagai tingkat paling tinggi dalam tingkatan-tingkatan jihad. Tingkat paling bawah adalah perjuangan melawan kafir. Tingkat kedua perjuangan melawan munafik, tingkat ketiga perjuangan melawan setan, tingkat keempat baru perjuangan melawan hawa nafsu. Perjuangan melawan kafir di katakan paling rendah tingkatanya kerena musuh yang di hadapi jelas kelihatan dan senjata yang di gunakannya pun dapat di lihat dengan mata kepala. Menurut Al-Ghazali beratnya melawan hawa nafsu di sebabkan oleh empat hal : 1. Nafsu tidak dapat dilihat dengan mata. 2. Nafsu tidak pernah berhenti melakukan perlawanan sepanjang hayat di kandung badan 3. Nafsu ada di dalam diri kita sendiri. 4. Nafsu tidak boleh di bunuh. Karena nafsu dan setan adalah musuh yang menggoda setiap individu manusia, maka menghadapinya harus dilakukan secara individual pula. Hukum Mujahadah melawan nafsu dan setan menurut Ibnu Qayyim adalah Fardu ’ain atau kewajiban pribadi bagi setiap muslim.