BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Fenomenologi Menurut Husserl, fenomenologi adalah pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal; atau suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Fenomenologi memiliki riwayat cukup panjang dalam penelitian
sosial,
termasuk
psikologi,
sosiologi,
dan
pekerjaan
sosial.
Fenomenologi adalah pandangan berpikir yang menekankan pada fokus interprestasi dunia. Dalam hal ini, para peneliti fenomenologi ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain.1 Fenomenologi menyelidiki pengalaman kesadaran yang berhubungan dengan pertanyaan, seperti bagaimana pembagian antara subjek dan objek muncul dan bagaimana suatu hal didunia ini diklasifikasikan. Para fenomenolog juga berasumsi bahwa kesadaran bukan dibentuk karena kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu yang lainnya dirinya sendiri. Ada tiga yang memengaruhi pandangan fenomenologi, yaitu Edmund Husserl, Alfred Schultz, dan Weber. Weber memberi tekanan verstehen, yaitu pengertian dari interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomenologi dengan demikian merupakan salah satu teori yang menentang paradigma yang menjadi mainstream dalam sosiologi, yakni struktural fungsional. Filsuf Edmund Husserl (1859-1938) yang dikenal sebagai founding 1
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif (Dalam perpektif Rancangan Penelitian), Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011 hal-28
8
father fenomenologi mengembangkan ide tentang dunia kehidupan (lifeworld). Ia menggunakan filsafat fenomenologi untuk mengetahui bagaimana sebenarnya struktur pengalaman yang merupakan cara manusia mengorganisasi realitasnya sehingga menjadi terintegrasi dan autentik. Bagi Husserl, dunia kehidupan menyediakan dasar-dasar harmoni kultural dan aturan-aturan yang menentukan kepercayaan-kepercayaan yang diterima apa adanya (taken forgranted) dalam sebuah tata kelakuan sistematik.2 Fenomenologi secara esensial merupakan perspektif modern tentang manusia dan dunianya. Gerakan filsafat sangat dekat berhubungan dengan abad 20. Perspektif ini seperti semua gerakan-gerakan filsafat lainnya dapat ditelusuri dari naskah-naskah kuno dan yang lebih penting lagi berakar dari filsafat skolastik abad pertengahan. Meskipun demikian, para teori fenomenologi, ada umumnya berkiblat pada karya-karya Edmund Husserl sebagai titik pijakan (point of departure), dan Husserl mengulangi apa yang menjaadi perhatian Rene Descrates dan filsafat sebelumnya sebagai permulaan perspektif fenomenologi secara meyakinkan.3 Fenomenologi memfokuskan studinya pada masyarakat berbasis makna yang dilekatkan oleh anggota. Apabila filsafat Edmund Husserl yang memfokuskan pada pemahaman fenomena dunia, fenomenologi yang diterapkan dalam sosiologi, khususnya Alfred schutz (1962) yang bekerja sama dengan teori yang memegang teguh pragmatisme Mead, dan menjelaskan mengenai sosiologi
2
3
Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial (Dari Klasik hingga Postmodern), Jogjakarta: Ar-Ruzz Meia, 2012, hal-129
Ibid hal-134
9
kehidupan sehari-hari. Schutz dan Mead, keduanya memfokuskan pada proses sosialisasi yang menjadi “cadangan pengetahuan umum” (common stock of knowledge) dari anggota masyarakat, kemampuan mereka berinteraksi (perspektif resiprositas), dan relevansi pemahaman makna yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. 4 Fenomenologi merupakan perspektif sosiologi yang concern pada kehidupan sehari-hari selain interaksionisme simbolik, dramaturgi, teori labeling, ethnometodologi, sosiologi eksistensial, dan sosiologi postmodern. Di antara persepektif-perspektif teoritis tersebut terdapat ide yang sama, yakni dengan mempertahankan integritas fenomena. Peneliti harus mencurahkan waktu dengan anggota masyarakat yang ditelitinya untuk memperoleh sebuah pemahaman tentang bagaimana pandangan kelompok dan menjelaskan kehidupan sosial tempat anggota masyarakat menjalani kehidupan sehari-hari mereka. Peneliti tidak boleh menyertakan asumsi teoritis dalam studinya akan tetapi menderivikasikan ide-ide yang berasal dari anggota masyarakat. Jadi, seluruh sosiologi kehidupan sehari-hari menggunakan observasi partisipan, wawancara mendalam, atau keduanya dan juga penalaran induktif untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan meminimalkan distorsi dari fenomena yang ditelitinya.5 Tugas utama fenomenologi sosial adalah mendemonstrasikan interaksiinteraksi resiprokal di antara proses-proses tindakan manusia, penstrukturan situasional, dan konstruksi realitas. Tidak seperti kaum positivis yang melihat setiap aspek sebagai suatu faktor kasual, fenomenolog melihat bahwa semua 4 5
Ibid hal-136 Ibid hal-137
10
dimensi sebagai pembentuk realitas. Biasanya, para fenomenolog menggunakan istilahrefleksivitas untuk menandai cara ketika dimensi-dimensi unsur pokok berfungsi, baik sebagai fondasi maupun konsekuensi dari seluruh aspek kehidupan manusia.
Tugas
fenomenologi
kemudian
adalah
untuk
mengungkapkan
(menjadikan sebagai suatu yang manifes) refleksivitas tindakan, situasi, dan realitas dalam berbagai modal dari “ sesuatu yang ada di dunia” (being in the world). Fenomenolog memulai dengan suatu analisis sikap alamiah (natural attitude), hal ini dipahami sebagai cara pada umumnya individu berpartsipasi dalam kehidupan sosial, menggunakan pengetahuan yang diterima apa adanya (taken for granted), mengasumsikan objektivitasnya, dan melakukan tindakan yang sebelumnya telah ditentukan (direncanakan). Bahasa, budaya, dan common sense
yang muncul dalam sikap alamiah merupakan ciri objektif dari dunia
eksternal yang dipelajari aktor dalam proses kehidupannya.6 Fenomenologi merupakan teori sosiologi yang mempunyai pengaruh yang luas. Dalam sosiologi kontemporer, pengaruhnya dapat dilihat dari meningkatnya humanisasi, baik dalam kerangka teori, metodologi riset, serta prosedur penilaian, dan model-model instruksional dalam pendidikan. Pemikiran fenomenologi juga mempunyai
pengaruh
terhadap
teori
postmodern,
poststrukturalisme,
situasinalisme, dan revleksivitas, yang menjadi core fenomenologi juga dikena; dalam teori-teori di atas.7 Pendekatan Fenomenologi adalah metode yang biasa diterapkan dalam kajian sosiologi untuk memahami dan menerangkan sebuah fenomena sosial. 6 7
Ibid hal-139 Ibid hal-158
11
Ditegaskan bahwa
tugas utama sosiologi, adalah berupaya memahami dan
menjelaskan tetapi bukannya menghakimi aspek baik dan buruk maupun benar atau salah. 2.2 Subkultur Pemuda Makna subkultur, dengan demikian selalu dipersaingkan, dan gaya adalah wilayah tempat definisi-definisi yang saling bertentangan ini bertarung dengan sangat dramatis.8Dalam hal ini, gaya hidup geng motor selalu dibicarakan oleh masyarakat luas karena gaya hidup geng motor hanya selalu identik dengan balapan liar, minuman keras, sex bebas dan lain sebagainya. Ini menjadi budaya pemuda yang sifatnya sebagai posisi sosial atau posisi yang berada dimana saja, dan posisi tersebut berdampak pada institusi keluarga, pendidikan, karena dalam fase ini mereka dimungkinkan akan bergabung dengan dunia orang dewasa.Kultur adalah suatu konsep yang sangat tidak jelas seperti tampak pada definisi di atas. Disarikan dari berabad-abad pemakaian, kata ini telah mendapat sejumlah makna yang sangat berbeda-beda, malahan sering sampai bertentangan satu sama lain. Bahkan sebagai istilah sekalipun, ia mengacu baik pada proses (penumbuhan buatan organisme renik) maupun produk (organisme yang diproduksi dengan cara demikian). Apa lagi, sejak lahir abad kedelapan belas, kultur telah dipakai para intelektual dan tokoh sastra untuk mengangkat secara kritis kisaran luas isu-isu kontrovesial. Perkembangan kultur pemuda selayaknya dipandang sebagai bagian dari proses pengetuhan ini.9
8
Dick hebdige, Asal-usul & Ideologi subkultur Punk, Yogyakarta, Penerbit Buku Baik, 1999, hal14 9 Ibid
12
Subkultur mempresentasikan “derau” (sebagai lawan dari suara): mengganggu keteraturan sekuen yang bergerak dari peristiwa dan fenomena nyata menuju representasi di media. Sebab itu kita tak boleh meremehkan daya pemaknaan yang dimiliki subkultur tontonan bukan saja sebagai metafora untuk potensi anarkhi “di luar sana” tapi sebagai mekanisme aktual dari kekacauan semantik: semacam blokade temporer dalam sistem representasi. Kalau berbicara tentang Geng Motor tentu bahasa yang dipakai atau digunakan untuk membingkai berbagai manifesto ini dipastikan berwatak “ kelas pekerja “ (tegasnya, dengan santai ditaburi dengan kata makian), sedang kesalahan ketik dengan tata bahasa, salah eja, dan kacau-balaunya paginasi dibiarkan tak terkoreksi dalam proof akhir. Secara sosiologis, sebuah subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka. Subkultur dapat terjadi karena perbedaan usia anggotanya, ras, etnisitas, kelas sosial, dan/atau gender, dan dapat pula terjadi karena perbedaan aesthetik, religi, politik, dan seksual; atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Anggota dari suatu subkultur biasanya menunjukan keanggotaan mereka dengan gaya hidup atau simbol-simbol tertentu. Karenanya, studi subkultur seringkali memasukan studi tentang simbolisme (pakaian, musik dan perilaku anggota sub kebudayaan) dan bagaimana simbol tersebut diinterpretasikan oleh kebudayaan induknya dalam pembelajarannya. Secara harfiah, subkultur terdiri dari dua kata. Sub yang berarti bagian, sebagian dan kultur kebiasaan dan pembiasaan Tapi secara konseptual, subkultur
13
adalah sebuah gerakan atau kegiatan atau kelakuan (kolektif) atau bagian dari kultur yang besar. Yang biasanya digunakan sebagai bentuk perlawanan akan kultur mainstream tersebut Geng motor, musik underground, anak jalanan dan perilaku amoral lainnya. Padahal, kalaulah kita tahu dan sadar akan arti dan tujuan kata tersebut dialamatkan, maka kita akan sadar dengan sendirinya bahwa subkultur tidakselalu ditujukan untuk hal yang negatif. 2.3 Youth Studies Anak muda dalam studi ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu mereka yang bersifat apatis terhadap persoalan politik di dalam negeri atau mereka juga bisa disebut sebagai apolitis. Mereka adalah anak-anak muda yang memiliki kesamaan berupa selera, aspirasi, dan gaya hidup yang ingin selalu berubah pada umumnya mengacu pada perkembangan yang terjadi di luar negeri, terutama barat. Jenis yang lain pada mereka yang memiliki kesadaran yang lebih tinggi akan persoalan bangsanya seperti persoalan korupsi, sistem politik, dan lain-lain. Pemahaman tentang orang tua dan anak muda itu tidak dapat dilepaskan dari konstruksi budaya dan sejarah indonesia. Istilah anak muda atau pemuda itu sendiri merupakan sebuah konsep yang baru sejalan dengan ditemukannya istilah “masa kanak-kanak”.10 Di sisi lain, 1970-an para remaja Indonesia juga tengah mengalami euforia kebebasan menjiplak semua kebudayaan yang berbau kebarat-baratan. Hal itu terjadi karena saat itu sistem politik Indonesia baru saja lepas dari kendali Soekarno, yang tatkala puncak politik luar negeri ganyang Malaysia dan anti10
Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong (Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an), Tangerang: Marjin Kiri, 2010
14
nekolim (neokolonialisme-neoimperialisme) di tahun 1960-an sempat melarang kebudayaan apa pun yang berbau kebarat-baratan. Termasuk di dalamnya adalah music ‘ngak-ngik-ngok’ (sebutan untuk lagu pop dan rock), rambut gondrong, celana napoleon (panjangnya hanya sampai sedikit di bawah lutut) ataupun celana yang menyempit di ujungnya sebagaimana yang dipakai Mick Jagger (Rolling stones).11 Meski konsep remaja telah mengerangkakan banyak diskursus popoler tentang pemuda, cultural studies lebih banyak tertarik pada konsep subkultur. Konsep subkultur adalah suatu konsep yang terus bergerak yang membangun objek studi. Ini adalah suatu terminologi klasifikatoris yang mencoba memetakan dunia sosial dalam suatu tindakan representasi. Subkultur tidak hadir sebagai objek autentik meainkan dikemukakan oleh para teoritisi subkultur. Jadi, kita mungkin tidak terlalu banyak bertanya tentang apa itu subkultur ketimbang tentang bagaimana istilah ini digunakan.12 Bagi cultural studies, budaya dalam subkultur mengacu kepada seluruh ‘cara hidup’ atau ‘peta makna’ yang menjadikan dunia ini dapat dipahami oleh anggotanya. Kata ’sub’ mengandung konotasi suatu kondisi khas dan bebrbeda dari masyarakat dominan atau mainstream. Jadi, istilah subkultur autentik tergantung pada pasangan biner ini, yaitu tentang budaya dominan atau budaya mainstream yang diproduksi massal dan tidak autentik.13 Kebanyakan orang
11
Sidik Jatmika, M.Si, Genk Remaja ;Anak Haram Sejarah ataukah Korban Globalisasi?; Kanisius 2010;hal -47 12 Chris barker, Cultural Studies Teori Dan Praktik, Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta, 2004 13
Ibid hal-337
15
berpendapat bahwa ‘kumpulan dari sepeda motor, kebisingan pengendara yang tengah bergerak’ mengekspresikan budaya, nilai dan identitas para pengendara motor tersebut. ‘Soliditas, daya tanggap, keniscayaan, kekuatan sepeda motor cocok dengan sifat nyata dan penuh percaya diri dari dunia anak-anak itu terhadap hal-hal yang bersifat fisik, ketangguhan dan kekuatan, sehingga ‘kejutan dari akselerasi kasarnya, agresivitas kedahsyatannya dari orang-orang yang tidak mengenal rasa takut, menjelaskan sepenuhnya, cocok dan menyimbolkan kekuatan maskulin, persahabatan yang kuat, kekerasan bahas, gaya interaksi sosial mereka.14 Subkultur melakukan berbagai kritik penting dan mengemukakan sejumlah pandangan tentang kapitalisme kontemporer dan kebudakannya. Sebagai contoh, kaum hippies menentang dan menata ulang pandangan kapitalisme industri tentang waktu yang linear, tertata dan disiplin. Cara anak-anak pengendara motor itu ‘dalam menjinakkan brutalnya industri demi mencapai tujuan manusia secara simbolis ‘menunjukkankepada kita ‘teror teknologi raksasa’ kapitalisme. Dia mengekspresikan alienasi dan banyaknya kerugian yang diderita pada skala manusia. Walhasil, Karya subkultur yang kreatif ekspresi dan simbolis bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan. Pemuda atau remaja adalah suatu kategori sosial yang muncul bersamaan dengan perubahan peran keluarga yang tumbuh
dariperkembangan
kapitalisme.Pada
masyarakat
prakapitalis,
katanyakeluarga memenuhi semua fungsi reproduksi sosial secara biologis, ekonomis dan budaya.
14
Ibid hal-340
16
Transisi dari kanak-kanak ke usia dewasa ditandai dengan ritus peralihan dan bukan merupakan satu periode pemuda atau raja yang diperpanjang. Seiring dengan kemunculan peran orang dewasa dalam masyarakat kapitalis yang terspesialisasi, universal dan rasional berdasarkan atas pekerjaannya, ada satu diskontinuitas antara keluarga dengan masyarakat yang lebih luas yang perlu disi oleh suatu masa transisi dan pelatihan bagi orang-orang berusia muda. Ini menandai bukan hanya kategori pemuda namun juga suatu moratorium dari ‘tiadanya tanggung jawab yang terstrukur’ antara kanak-kanak dan orang dewasa yang memungkinkan kebudayaan pemuda muncul dan fungsinya pada dasarnya adalah untuk mensosialisasikan. Ciri khas pemuda sebagai posisi sosial antara ketergantungan anak-anak dengan tanggung jawab orang dewasa bisa dilihat dalam institusi keluarga, pendidikan dan kerja. Sebagai contoh, pemuda dipandang mengalami persiapan bagi keniscayaan meninggalkan rumah dan bergabung dengan dunia orang dewasa. Pemuda mendapakan lebih banyak tanggung jawab daripada anak-anak namun masih terikat pada kontrol dewasa. Pandangan ini mengarah pada sejumlah asumsi dan klafikasi pemuda oleh agensi kontrol sosial-politisi, pembuat kebijakan dan para profesional muda15. Pemuda telah terbentuk di dalam dan di berbagai diskursus tentang ‘gangguan’ (pemuda sebagai gangguan : pemuda
yang sedang mengalami
gangguan) dan atau ‘senang-senang’. Sebagai contoh melalui sosokhooligan sepak bola, pengendara motor, geng sudut jalan, pemuda diasosiasikan dengan
15
Ibid hal 334-335
17
kejahatan,
kekerasan,
dan
penyimpangan.
Sebagai
alternatif,
pemuda
dipresentasikan sebagai konsumen uang menyenangkan dari fashion, gaya dan berbagai aktivitas hiburan. Ini digambarkan dengan sosok orang yang suka pergi ke pesta, suka bergaya dengan fashion, dan diatas itu semua, adalah konsumen ‘remaja’. Remaja terimpit antara
anak-anak dengan orang dewasa. Dia
mempresentasikan komodifikasi pemuda, penciptaan pasar konsumen pemuda ygn terbentuk dibalik keebihan uang dianggap masih dimiliki oleh pemuda dari kelas pekerja.16 Cultural studies tidak memiliki suatu wilayah subjek yang didefinisikan secara jelas dan terang. Ia hanya bertitik-pijak pada sebuah gagasan tentang budaya yang sangat luas dan yang mencakup beraneka macam praktik keseharian manusia. Tak mengherankan jika ia berada dengan disiplin-disiplin ilmu yang konvensional, seperti sosiologi, filsafat, dan fisika, yang masing-masing memiliki wilayah subjek atau objek kajian yang memiliki garis-garis batasan yang cukup jelas. Cultural studies tak memiliki subjek studi atau afiliasi disiplin ilmu yang tunggal. Oleh karena itu, kajian ini merambah hampir seluruh wilayah pengetahuan. Ia hanya bisa berfungsi dengan secara bebas meminjam berbagai disilin ilmu sosial, humaniora, dan seni. Ia mengambil teori-teori dari antropologi, psikologi, linguistik, kritik sastra, filsafat, politik dan lain-lain. Semua disiplin akam diambil dan diadopsi sesuai dengan tujuannya. Yang menjadi tujuannya adalah bisa dikatakan bersifat politis dan para pendirinya tidak keberatan disebut
16
Ibid hal-337
18
sebgai “gerakan politis”. Di awal perkembangannya, pendekatan filsafatnya bisa dilihat sangat berakar dari pendekatan teori kritis (critical theory) dan kritik sastra marxis. Ia merupakan intelektual yang memberikan perhatian besar pada watak politis dari kebudayaan kontemporer. Itulah yang membedakannya dengan antroologi budaya dan kajian etnis yang memiliki wilayah kajian dan metode sendiri. Para peneliti dan ilmuwan cultural studies umumnya banyak berkonsentrasi pada bagaimana media dan pesan-pesan berisi ideologi, kepentingan kelas sosial, berhubungan dengan nasionalitas, etnisitas, seksualitas, dan atau gender. Menjadi anak muda merupakan keadaan yang senantiasa harus memikul beban berat di pundaknya. Setidaknya itu yang terjadi di Indonesia. Biasanya di saat menuju dewasa inilah seseorang diperiapkan untuk menerima tongkat estafet kebrlangsungan jalanya sebuah proses. Idealisasi anak muda sebagai “harapan bangsa” merupakan wacana yang serig dibicarakan selain soal pembangunan pada saat Orde Baru berhasil dibicarakan selain soal pembangunan pada anak muda secara ideologis didefinisikan menjadi harapan untuk dapt melanjutkan nilai-nilai perjuangan yang melandasi Orde baru. Oleh sebab itu mereka haru di control, dibina, serta diselamatkan agar sesuai dengan gagasan orang-orang tua. Sikap yang ditunjukan para orang tua tersebut tidak terlepas dari tindak-tanduk ank-anak muda, mulai dari gaya hidup remaja yang senang hura-hura sampai aktivitas mahasiswa yang sering mengkritik pemerintah. Berbagai pernyataan bermunculan terutama dari pejabat daerah, baik sipil maupun militer, serta kalngan pendidik tentang mengapa anak-anak muda bertindak yang dinilai “mencemaskan” dan
19
bagaimana seharusnya bersikap. Serta mereka membandingkannya dengan anakanak muda dari generasi sebelumnya, yang tak lain adalah diri mereka sendiri.17 Pembicaraan mengenai persoalan anak muda sebenarnya sudah menjadi pembicaraan, namun masalah tersebut baru menjadi serius setelah orang tua di dalam keluarga yang membicarakannya. Mereka tidak puas dengan tingkah laku anak-anaknya.
Pada
pokoknya
ketidakpuasan
tersebut
bermuara
pada
kekhawatiran akan masa depan bangsa. Anak-anak muda kala itu dipandang telah direcoki oleh kebudayaan barat yang matrelialistis, sehingga menjadi pragmatis dan ingin memperoleh hasil yang besar. Mereka dinilai tengah terjebak dalam kegoncangan budaya akibat ketidaksiapan menerima desakan budaya luar dan hal tersebut akan berakibat buruk bagi masa depan bangsa.18 Dalam analisis ini kebudayaan pemuda dieksplorasi sebagai bentuk perlawanan penuh gaya terhadap budaya hegemonic. Pemuda dibentuk melalui ‘artikulasi ganda’ oleh budaya kelas pekerja orang tua dan oleh budaya dominan. Budaya kelas pekerja orang tua dikatakan berkembang menurut caranya yang khas dalam mengada dan memaknai dirinya dalam kaitannya dengan dan dalam melawan budaya hegemoni. Meski perlawanan kelas pekerja terikat pada ikatan dan arus sejarah, tapi ia tidak pernah musnah karena ia ditempatkan dalam posisi bertahan dan melawan secara struktural terhadap budaya hegemoni. Budaya pemuda dikatakan memiliki persoalan dasar yang sama dalam kaitannya dengan budaya dominan sebagiana budaya kelas pekerja orang tua, sementara itu dia secara simultan membedakan 17 18
Aria Wiratma Yudhistira,2010. Opcit. hal-64 Ibid hal-75
20
diri dari budaya ini. Subkultur terdiri dari ekspresi perbedaan dan kehidupan generasi yang spesifik dengan seperangkat institusi dan pengalaman yang berbeda dengan budaya orang tua.19
19
Ibid hal-341
21
22