25
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Lapindo Lapindo
Brantas
Inc. adalah
salah
satu
perusahaan
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) ditunjuk BPMIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saham Lapindo Brantas dimiliki 100% oleh PT. Energi Mega Persada melalui anak perusahaannya yaitu PT Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Saat ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa
Timur, Indonesia.
Selain
Lapindo, participating
interest Blok Brantas juga dimiliki oleh PT Medco E&P Brantas (anak
perusahaan
dari MedcoEnergi)
sebesar
32
persen
dan Santos sebesar 18 persen. Dikarenakan memiliki nilai saham terbesar, maka Lapindo Brantas bertindak sebagai operator. PT. Energi Mega Persada sebagai pemilik saham mayoritas Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan Grup Bakrie. Grup Bakrie memiliki 63,53% saham, sisanya dimiliki komisaris EMP, Rennier A.R. Latief, dengan 3,11%, Julianto Benhayudi 2,18%, dan
26
publik 31,18%[1]. Chief Executive Officer (CEO) Lapindo Brantas Inc. adalah Nirwan Bakrie yang merupakan adik kandung dari pengusaha dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik
Indonesia pada Kabinet
Indonesia
Bersatu, Aburizal
Bakrie.22 Lapindo adalah perusahaan pengeboran minyak yang bertanggungjawab atas terjadinya kebocoran sumur pengeboran di desa Kedung Bendo Tanggulangin yang mengakibatkan keluarnya lumpur panas sejak 28 Desember 2006 yang lalu hingga saat ini. 2. Kronologis Lumpur Lapindo Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: 1. Genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman 2. Total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa 22
http://id.wikipedia.org/wiki/Lapindo
27
3. Rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit 4. Areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha 5. Lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang 6. Tidak berfungsinya sarana pendidikan 7. Kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi 8. Rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon) 9. Terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya
yang
berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker.4 Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal. Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah
28
lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis
yang
bertubi-tubi,
krisis
sosial
mulai
mengemuka.
Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo,6 rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran 1 (menggunakan snubbing unit) dan 2 (pembuatan relief well) mengalami kegagalan. Akhirnya, yang muncul adalah konflik horisontal. Berbagai bantuan telah diberikan oleh pihak Lapindo untuk mengurangi dampak sosial pada kondisi darurat, baik yang terjadi karena dampak semburan maupun penurunan tanah, serta melaksanakan tindakan berjaga-jaga sebagai bentuk kesiapsiagaan apabila terjadi bencana A. Bantuan Sosial Bantuan sosial ditujukan untuk mengurangi dampak sosial pada kondisi darurat, baik yang terjadi karena dampak semburan maupun penurunan tanah, serta melaksanakan tindakan berjaga-jaga sebagai
bentuk
kesiapsiagaan
apabila
terjadi
bencana.
29
Kesiapsiagaan ini perlu terus dikembangkan dengan mengingat bahwa hingga kini sumber bencana masih belum berhenti. Berdasar
Perpres
14/2007,
kegiatan-kegiatan
yang
dilaksanakan oleh berkaitan dengan kegiatan Bantuan Sosial adalah sebagai berikut: 1. Melaksanakan pengawasan pemberian bantuan sosial Pemberian bantuan sosial dilaksanakan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Besaran bantuan sosial yang diberikan kepada warga desa terdampak adalah (1) jaminan hidup per jiwa sebesar Rp. 300.000.00 selama 9 bulan (2) uang evakuasi per kepala keluarga sebesar Rp. 500.000.00 dan (3) uang kontrak per kepala keluarga sebesar Rp. 5.000.000.00 untuk 2 tahun. 2. Melaksanakan pemantauan pelaksanaan evakuasi warga korban luapan lumpur Menurut data Timnas pelaksanaan evakuasi korban lumpur ke Pasar Porong Baru dilaksanakan dalam tiga tahap. Pengungsi tahap pertama, periode bulan Juni s/d Oktober 2006 yang berasal dari
Kelurahan
Siring,
Jatirejo,
Desa
Kedungbendo,
dan
Renokenongo berjumlah 3080 KK/11.456 jiwa. Pengungsi tahap kedua, periode November 2006 s/d April 2007 berasal dari Desa
30
Kedungbendo (Perumtas I, Perum Citra Pesona), Ketapangkeres, Kalitengah, dan Glagaharum, berjumlah 4.350 KK/16.525. Dari jumlah ini sebanyak 210 KK/1758 jiwa merupakan penduduk musiman. Setelah mendapatkan bantuan sosial yang berupa uang kontrak rumah, jaminan hidup dan biaya pindah, kecuali penduduk musiman tidak diberikan jaminan hidup, mereka bersedia meninggalkan Pasar Porong Baru. Namun pengungsi tahap ketiga, periode April s/d 8 Juni 2008 yang berasal dari Desa Renokenongo, berjumlah 867 KK/2924 Jiwa tidak bersedia menerima bantuan sosial, mereka memilih untuk tetap tinggal di Pasar Porong Baru, serta menolak skema penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang dituangkan dalam Perpres No. 14 tahun 2007. Kewajiban untuk memberikan bantuan sosial sebenarnya tidak tercantum dalam Perpres No. 14 Tahun 2007. Bantuan sosial yang diberikan kepada warga di dalam peta area terdampak oleh PT. Lapindo Brantas/ PT Minarak Lapindo Jaya merupakan bentuk dari Corporate Social Responsibility (CSR) dari badan usaha tersebut. 3. Bantuan Sosial Berdasarkan Perpres 48 / 2008 Bantuan sosial yang diamanahkan oleh Perpres 48 / 2008 adalah bantuan sosial untuk warga di 3 Desa yaitu Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan. Bantuan sosial untuk
31
warga di tiga desa di atas diberikan karena adanya rencana pemerintah untuk memanfaatkan desa tersebut sebagai kolam penampung lumpur sebelum dialirkan ke sungai Kali Porong. Sesuai dengan jadwal waktu yang ditetapkan, proses pencairan dana bantuan sosial telah dapat diselesaikan pada tanggal 28 September 2007 sehingga bantuan sosial yang berupa bantuan kontrak rumah dan biaya pindah telah diberikan kepada 1.666 Kepala Keluarga di tiga desa yaitu Kedungcangkring 151 KK, Besuki 1.066 KK dan Pejarakan 449 KK dengan dana bantuan yang berjumlah Rp. 4.998.000.000,-. Sedangkan bantuan sosial yang berupa jaminan hidup diberikan kepada semua warga desa yang namanya tercantum dalam Kartu Keluarga sebanyak 6.094 Jiwa, dengan nilai uang sebesar Rp. 1.828.200.000. 4. Bantuan Air Bersih Bantuan air bersih diberikan kepada warga di 12 desa/kelurahan yang sumber airnya tercemar, yaitu Siring, Jatirejo, Renokenongo, Kedungbendo, Ketapang, Kalitengah, Gempolsari, Glagaharum, Besuki, Kedungcangkring, Pejarakan dan Mindi. Pelaksanaan pekerjaan dimulai tanggal 14 April 2008. Bantuan air
32
bersih ditujukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dengan jatah tiap jiwa 20 liter/hari.23 B. Perlindungan Sosial Pokok kegiatan Perlindungan Sosial adalah mengupayakan terlindunginya hak-hak warga atas harta benda miliknya yang hilang atau berkurang karena dampak luapan lumpur. Perlindungan ini diberikan dalam rangka pelaksanaan ganti rugi/jual beli tanah dan bangunan, kompensasi atas hilangnya pendapatan baik yang disebabkan oleh hilangnya pekerjaan, sawah atau usaha yang tidak dapat dilanjutkan lagi. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan meliputi: 1. Pengawasan Dan Fasilitasi Ganti Rugi/Jual Beli Tanah Dan Bangunan Pemberian ganti rugi/jual beli tanah dan bangunan milik warga di dalam peta area terdampak, dilaksanakan oleh PT. Lapindo Brantas /PT. Minarak Lapindo Jaya. Dalam hal ini warga adalah
23
http://www.bpls.go.id/bantuan-sosial
33
pihak penjual dan PT. Lapindo Brantas/PT. Minarak Lapindo Jaya sebagai pembeli. Dalam rangka memfasilitasikan penyelesaian ganti rugi/jual beli tanah dan bangunan Deputi bidang Sosial menyiapkan sarana/prasarana perkantoran, membentuk Tim Verifikasi Tanah dan Bangunan milik warga dalam wilayah peta area terdampak, serta tenaga pendukung administrasi. Tim verifikasi ini merupakan sebuah tim yang dibentuk berdasar hasil konsultasi dan koordinasi dari berbagai pihak/instansi yang terkait dengan penyelesaian masalah-masalah verifikasi yang sangat kompleks. Sesuai dengan arahan Presiden, target yang harus dicapai dalam penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang terkait dengan ganti rugi adalah terselesaikannya pemberian ganti rugi/pembayaran uang muka sebesar 20% terhadap 10.000 KK terdampak pemilik tanah dan bangunan dalam waktu 10 minggu, terhitung mulai Bulan Juni 2007. Proses jual beli tanah dan bangunan yang diperkirakan sebanyak 14.000 bidang, pemberian kompensasi gagal panen, pabrik dan buruh, serta pemberian bantuan sosial kepada 34.000 jiwa di 12 desa di dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas/
34
Minarak Lapindo Jaya. Setelah dilakukan pendataan dan verifikasi secara seksama oleh Tim, jumlah bidang/berkas jual beli tanah dan bangunan
yang
harus
diproses
seluruhnya
adalah
13.237
bidang/berkas, yang semula diperkirakan berjumlah 14.000 bidang/berkas. Perkembangan pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan oleh PT. Lapindo Brantas/ PT. Minarak Lapindo Jaya. 2. Penanganan Kompensasi Gagal Panen Dalam rangka mengupayakan terwujudnya kompensasi yang adil, Bapel BPLS telah melaksanakan langkah-langkah mediasi dan konsultasi sehingga terbentuknya Tim Survey Kondisi Sawah yang dibentuk oleh Gubernur Jawa Timur yang beranggotakan Dinas Pertanian
Propinsi
Jawa
Timur/Kabupaten
Sidoarjo,
Dinas
Pengairan Propinsi Jawa Timur/Kabupaten Sidoarjo, Balitbang Propinsi Jawa Timur, Camat Tanggulangin, Porong, dan Jabon, PT Minarak Lapindo Jaya dan BPLS. 3.Kompensasi Perusahaan yang Berhenti Beroperasi Kompensasi
terhadap
perusahaan
yang
tidak
dapat
melanjutkan beroperasi dilaksanakan melalui proses Business to Business (B to B). Jumlah perusahaan yang terdampak sebanyak 25
35
unit. Dari 25 ini 14 diantaranya sudah menerima ganti rugi, sisanya 11 unit masih dilakukan negoisasi antara PT.MLJ dengan pihak pengusaha. Hingga kini belum terdapat perkembangan dalam penyelesaiannya. 4. Kompensasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Kelompok ini terdiri atas pemilik stan, pedagang-pedagang mikro yang menggelar dagangannya di depan rumah masing. Pemilik stan berjumlah 393 orang dan pedagang mikro sebesar 347 orang. Para Pemilik stan menuntut kompensasi sesuai dengan harga beli stan yang menurut keterangan dari wakil mereka rata-rata sudah di atas Rp. 4.500.000,-/m2. Jadi jauh di atas harga ganti rugi yang ditetapkan PT. Lapindo Brantas/PT Minarak Lapindo Jaya. Pedagang-pedagang mikro hanya menuntut penggantian modalnya yang telah habis. Pedagang buah di Pasar Buah Jatirejo menuntut ganti rugi atas tanah dan bangunannya. Bapel
BPLS
mengadakan sarasehan, sosialisasi
dan
penyebaran informasi tentang BPLS dan Perpres 14 tahun 2007 sebagai dasar pemecahan masalah. Pendekatan individual kepada tokoh atau perwakilan mereka, serta mempertemukan kepada pejabat PT. Lapindo Brantas/PT. Minarak Lapindo Jaya yang
36
berwenang,
serta
menyampaikan
aspirasi
mereka
kepada
pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Para pedagang di Pasar Kedungbendo pada akhirnya dapat mencapai kesepakatan dengan PT Minarak Lapindo Jaya. Disamping itu mereka juga menerima bantuan Presiden yang alokasi pembagiannya dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. 5. Penanganan Unjuk Rasa Warga
sangat
sering
melakukan
demo
untuk
memperjuangkan hak-hak mereka. Demo adalah setiap warga negara, akan tetapi warga terasa memaksakan kehendak. Misalnya dalam masalah ganti rugi slogan “cash and carry” harga mati. Dalam menghadapi para pengunjuk rasa Bapel-BPLS membentuk jaringan kerja sama dengan pihak-pihak terkait yang dimaksudkan untuk mengkoordinasikan, memantau, maupun mediasi, yaitu: 1. Polresta Sidoarjo dalam rangka mengantisipasi unjuk rasa agar tidak terjadi perbuatan yang anarkis serta meminta jaminan keamanan dalam melakukan pekerjaannya 2. Instansi Pemerintah setempat terutama Pemkab Sidoarjo, Propinsi dan DPRD Kab. Sidoarjo khususnya Pansus Lumpur Sidoarjo dalam rangka pemecahan masalah atau hambatan-
37
hambatan yang timbul dalam permasalahan ganti rugi tanah dan bangunan 3. PT. Lapindo Brantas dan PT Minarak Lapindo Jaya untuk kelancaran dan ketepatan waktu proses pembayaran 4. Memfasilitasikan warga untuk dapat melakukan dialog dengan PT. Lapindo Brantas/Minarak Lapindo Jaya dalam rangka menyampaikan tuntutannya 5. Bapel-BPLS menampung semua permasalahan yang terjadi untuk disampaikan/dilaporkan ke Dewan Pengarah BPLS karena Bapel BPLS hanya sebagai badan pelaksana dari Badan Pengarah BPLS. Selain langkah-langkah di atas BPLS juga melaksanakan kegiatan-kegiatan tokoh/ketua
atau
pendekatan
kelompok-kelompok
informal
warga
untuk
kepada
para
memberikan
berbagai penjelasan atau klarifikasi atas maksud dan tujuan mereka berunjukrasa sehingga unjuk rasa dapat dibatalkan apabila dapat dicapai kesepakatan untuk berunding dengan para pihak yang terkait, dan atau untuk berlangsungnya sebuah musyawarah dalam suasana kekeluargaan. Apabila komunikasi dengan tokoh-tokoh tidak mencapai suatu hasil maka BPLS menghimbau dan memantau sehingga unjuk rasa dapat terlaksana dengan tertib, aman, dan tidak
38
ada perilaku anarkis; serta mengarahkan pengunjuk rasa pada instansi atau sasaran unjuk rasa yang tepat. 6. Penanganan Pengungsi di Pasar Porong Baru Setelah dilakukannya pendekatan persuasif dan memberikan pemahaman kepada warga pengungsi untuk segera menyerahkan berkas permohonan ganti rugi kepada tim verifikasi agar dapat segera diproses sesuai dengan ketentuan di dalam Perpres No. 14 tahun 2007, maka warga pengungsi di PPB mulai lebih kooperatif, dan bersedia mengikuti penanganan masalah sosial melalui jual beli dengan skema uang muka 20% dan tahap akhir 80%, dan mulai tanggal 14 Juli 2008 mereka mulai menyerahkan berkasnya kepada Tim Verifikasi Bapel BPLS. Namun di sisi lain, mereka masih menentukan persyaratan yang sepihak yaitu: keinginan untuk cepatnya lolos verifikasi, dan baru akan pindah bila sudah menerima pembayaran uang muka 20%.24 C. Pemulihan Sosial Tantangan kegiatan Pemulihan Sosial adalah warga yang mengalami kepanikan karena kehilangan tempat tinggal, warga
24
http://www.bpls.go.id/bantuan-sosial
39
yang kehilangan mata pencaharian, anak-anak warga yang mengalami gangguan proses belajarnya, lingkungan yang tidak lagi kondusif karena udara yang tercemar, serta trauma akibat bencana yang
hingga
kini
sumber
bencananya
masih
terus
aktif
menyemburkan lumpur. Sasaran yang ingin diwujudkan dalam kegiatan Pemulihan Sosial adalah pulihnya kemampuan individu/ kelompok dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya baik sebagai individu, anggota keluarga maupun masyarakat, melalaui penyebaran informasi, penyuluhan sosial, dan pendidikan. Selain itu juga dilaksanakan konseling bagi individu yang mengalami kegoncangan psiko-sosial, dan ventilasi yaitu kesempatan untuk melepaskan segala
bentuk
tekanan
psikologis.
Kegiatan-kegiatan
yang
dilaksanakan antara lain: 1. Sosialisasi dan Sarasehan Kegiatan sosialisasi dan sarasehan lebih diarahkan pada penyebaran informasi yang berkaitan dengan pada penyelesaian jual beli
tanah
dan
Kedungcangkring,
bangunan dan
milik
Besuki,
warga
sehingga
Desa
Pejarakan,
informasi
banyak
diarahkan ke tiga desa ini. Selain itu juga ada yang mengenai pemberian bantuan air bersih serta pemberdayaan pelatihan.
40
2. Observasi dan Pengumpulan Informasi BPLS melaksanakan observasi secara periodik terhadap situasi dan kondisi sosial masyarakat di 12 desa, yaitu (1) Desa Kedungbendo (2) Desa Glagaharum (3) Desa Renokenongo (4) Desa Besuki (5) Desa Pejarakan (6) Desa Kedungcangkring (7) Desa Gempolsari (8) Kelurahan Mindi (9) Kelurahan Jatirejo (10) Kelurahan Siring (11) Kelurahan Ketapang (12) Kelurahan Kalitengah. Observasi ini juga dimaksudkan untuk memantau dinamika perubahan lingkungan, gerak individu dan masyarakat, dan fenomena-fenomena baik alam maupun sosial yang berkembang di luar peta area terdampak. 3. Penanganan Masalah Pendidikan Anak-anak sekolah dari keluarga yang mengungsi di Pasar Porong Baru disediakan alat pengangkutan berupa kendaraan roda 4 untuk antar jemput mereka ke sekolah oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, TNI AD dengan dukungan biaya dari PT. Lapindo Brantas/ PT. Minarak Lapindo Jaya. Dalam penanganan masalah pendidikan ini, BPLS telah menjalankan peran-peran sebagai penerima dan penerus pengaduan
41
masyarakat, konsultan dalam usulan permohonan ganti rugi, dan memfasilitasi
pertemuan
wakil
yayasan
pendidikan/pondok
pesantren dengan PT. Lapindo Brantas/ PT. Minarak Lapindo Jaya. 4. Penanganan Masalah Kesehatan Penanganan
masalah-masalah
kesehatan
dilaksanakan
dengan terus berkoordinasi dengan Dinas Kabupaten Sidoarjo yang membuka Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Porong selama 24 jam. 5. Penanganan Masalah Mental Spiritual Penanganan masalah mental spiritual bertujuan sebagai langkah mendeteksi adanya penderita gangguan ketidakstabilan emosional pada warga korban. Kelompok-kelompok relawan baik psikiater maupun psikolog dan konselor telah menyumbangkan keahliannya untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut. Disamping itu, BPLS juga telah melaksanakan pendekatanpendekatan penyembuhan sosial secara individual dan kelompok kecil warga yang diindikasikan mengalami gangguan emosional. Kontribusi para relawan tersebut serta semakin jelasnya arah penanganan masalah sosial kemasyarakatan telah membawa pada perbaikan kondisi emosional para warga. Hal ini tampak dari
42
adanya warga yang semakin kooperatif dalam pelaksanaan program BPLS. 6. Pemberdayaan Pemberdayaan dilaksanakan melalui pelatihan ketrampilan yang siap pakai atau mampu bekerja mandiri. Adapun beberapa jenis pelatihan yang dilaksanakan antara lain: persepatuan, pangan olahan, dan pertukangan. Penyelenggaraan pelatihan keterampilan bekerjasama dengan Indonesian Footwear Service Centre (IFSC), dan Industri Kerajinan Emas “PT Untung Bersama Sejahtera” di Surabaya.25 IFSC sendiri berpusat di desa Kedensari tepatnya di kawasan Pasar Wisata. Anggota pelatihan yang di rekrut di IFSC adalah korban lumpur Lapindo yang tersebar di seluruh wilayah di Sidoarjo, mereka diberikan keterampilan menjahit sepatu kemudian diberikan sertifikat yang mempermudah mereka untuk melamar kerja di pabrik-pabrik sepatu yang ada di Sidoarjo tanpa harus mencantumkan ijazah SMA, karena lulusan SD yang mengikuti program ini bisa langsung di terima pabrik sepatu tanpa tes.
25
http://www.bpls.go.id/pemulihan-sosial.
43
B. Kerangka Teoritik 1. Teori Fungsionalisme Struktural Teori ini menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Menurut teori ini mayarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pola terhadap bagan lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya.26 Bahasan tentang fungsionalisme struktural Parsons dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistem tindakan. Terkenal dengan skema AGIL. Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang diajukan kea rah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Agar tetap bertahan (survive) suatu sistem harus memiliki empat fungsi ini: a. Adaptation
(Adaptasi)
menanggulangi
26
:
sebuah
sistem
harus
situasi eksternal yang gawat. Sistem
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009) Hal 21
44
harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. b. Goal Attainment (Pencapaian Tujuan) : sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. c. Integration (Integrasi) : sebuah sistem harus mengatur antar
hubungan
komponennya.
bagian-bagian
Sistem
ini
yang
juga
menjadi
harus
mengelola
antarhubungan ketiga fungsi lainnya (A,G,L). d. Latency (Latenci atau pemeliharaan pola) : sebuah sistem
harus
memperlengkapi,
memelihara
dan
memperbaiki, baik motivasi individual maupun polapola
kultural
yang
menciptakan
dan
menopang
motivasi.27 Organisme
perilaku
adalah
sistem
tindakan
yang
melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan
mengubah
lingkungan
ekternal.
Sistem
kepribadian
melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan mobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sistem
sosial
mengendalikan
menanggulangi bagian-bagian
fungsi
yang
integrasi
menjadi
dengan
komponennya.
Terakhir, sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola
27
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2004) Hal 121
45
dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak. Parsons
menemukan
jawaban
problem
di
dalam
fungsionalisme struktural dengan asumsi sebagai berikut: 1. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung. 2. Sistem cenderung bergerak kearah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan. 3. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur. 4. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain. 5. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya. 6. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem. 7. Sistem cenderung menuju kearah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan angtara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan
lingkungan
yang
berbeda-beda
dan
46
mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam. Asumsi-asumsi ini menyebabkan Parsons menempatkan analisis struktur keteraturan masyarakat pada prioritas utama. Dengan demikian ia sedikit sekali memperhatikan masalah perubahan sosial.28 Jackson Toby (1977:4) membahas persyaratan fungsional Parsons dalam hubungannya dengan sistem bertindak sebagaimana terlihat diawah ini. Apa yang disebut parsons dengan tingkat “teori bertindak yang umum”, ialah bahwa perilaku cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis : a. Pencarian pemuasan psikis b. Kepentingan dalam menguraikan pengertian-pengertian simbolis c. Kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organisfisis
28
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2004) Hal 123
47
d. Usaha untuk berhubungan dengan anggota makhluk manusia lainnya.29 C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Peneliti menggunakan rujukan hasil penelitian tentang korban lumpur Lapindo. Hal ini dilakukan sebagai bahan pertimbangan dan referensi dalam penulisan laporan penelitian. Adapun rujukan hasil penelitian yang dimaksud adalah: Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizqi Masykuriyah NIM B07303008 IAIN Sunan Ampel Surabaya Prodi Psikologi 2007 dengan judul Hubungan antara harga diri dengan tingkat harga diri dengan tingkat depresi pada pengungsi korban lumpur Lapindo Porong Sidoarjo. Dalam penelitian skripsi ini, peneliti membahas tentang hubungan antara harga dengan tingkat depresi para pengungsi korban lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo. Dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah ada hubungan antara harga diri dengan tingkat depresi pada pengungsi korban lumpur Lapindo di Porong? Dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui adanya korelasi antara harga diri dengan tinkat depresi pada pengungsi korban lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo. 29
Poloma. Sosiologi Kontemporer.(Jakarta:Pt. Raja Grafindo Persada,2010) Hal. 183
48
Penelitian di atas mengkaji tentang kondisi psikologis yaitu korelasi antara harga diri dengan tingkat depresi korban lumpur Lapindo yang masih dalam tahap pengungsian di pasar baru Porong. Sementara penelitian kali ini membahas tentang kehidupan masyarakat korban lumpur Lapindo yang telah mendapatkan dana kompensasi.