BAB II KAJIAN TEORI A.
Motivasi Kerja Guru 1.
Konsep Motivasi Kerja Guru Individu biasanya memiliki kondisi internal yang turut berperan
dalam aktivitas dirinya sehari-hari, salah satu kondisi internal tersebut adalah motivasi. Berbicara tentang motivasi perlu pemahaman yang mendalam tentang konsep motivasi itu sendiri, dimana motivasi berasal dari kata motif yang berartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan atau pembangkitan tenaga munculyan suatu tingkah laku tertentu ( Uno, 2012: 3 ). Reksohadiprojo dan Handoko ( 2000: 252 ) mengemukakan bahwa Motivasi adalah kebutuhan pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan - kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Sedangkan menurut Wexley dan Yuki ( 1992: 113 ) Motivasi adalah suatu keadaan yang melatar belakangi individu untuk mencapai tujuan tertentu. Batasan pengertian ini memandang motivasi dari sudut kepentingan individual.
Motivasi juga dapat dikatakan sebagai perbedaan antara dapat melaksanakan dan mau melaksanakan. Motivasi lebih dekat pada mau melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan. Motivasi adalah kekuatan baik dari dalam maupuan dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Atau dengan kata lain, motivasi dapat di artikan sebagai dorongan mental terhadap perorangan atau orang-orang sebagai anggota msyarakat. Motivasi dapat juga diartikan sebagai proses untuk mencoba mempengaruhi orang atau orang-orang yang dipimpinnya agar melakukan pekerjaan yang di inginkan sesuai dengan tujuan tertentu yang ditetapkan lebih dahulu (Uno, 2012: 4). Motivasi juga dapat di nilai sebagai suatu daya dorong ( driving force ) yang menyebabkan orang dapat berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini, motivasi menunjuk pada gejala yang melibatkan dorongan perbuatan terhadap tujuan tertentu. Jadi, motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yaitu tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculanya karena rangsangan atau dorongan oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini menyangkut soal kebutuhan ( Uno, 2012 : 5). Purwanto ( 2012: 64 ) Mengatakan bahwa fungsi motivasi bagi manusia adalah: 1). Sebagai motor penggerak bagi manusia, ibarat bahan bakar pada kenderaan, 2). Menentukan arah perbuatan, yakni kearah perwujudan suatu tujuan atau cita-cita, 3). Mencegah peyelewengan dari jalan yang lurus di tempuh untuk mencapai tujuan, dalam hal ini makin
jelas tujuan, maka makin jelas pula bentangan jalan yang harus di tempuh, 4). Menyeleksi perbuatan diri, artinya menentukan perbuatan mana yang harus
di
lakukan,yang
serasi
guna
mencapai
tujuan
dengan
menyampingkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu. pengertian motivasi menurut para ahli di atas dapat di simpulkan bahwa motivasi adalah proses dorongan dari diri seseorang ataupun orang lain dalam mencapai suatu tujuan. Menurut
Stooner
(
dalam
Notoatmodjo
2009:115
)
Mendefinisikan bahwa motivasi adalah sesuatu hal yang menyebabkan dan yang mendukung tindakan atau perilaku seseorang. Callahan dan Clark ( dalam Sudirman 2000: 120 ) Mengemukakan bahwa motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah tujuan tertentu. Maslow ( Sondang 2004: 120 ) Mengemukakan bahwa motivasi adalah tenaga pendorong dari dalam yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu atau berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah hal yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Sudirman ( 2000: 71 ) motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan. Hersey dan Blanchard ( 1989: 82 ) menyatakan motivasi adalah kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu kegiatan.
Mclleland ( dalam Mulyasa 2006:121 ) menyatakan bahwa motivasi adalah unsur penentu yang mempengaruhi perilaku yang terdapat dalam setiap indivudu. Motivasi adalah gaya penggerak aktif, yang terjadi pada saat tertentu, terutama jika kebutuhan untuk mencapai tujuan sempat dirasakan atau mendesak. Berdasarkan pengertian motivasi yang dikutip di atas, dapat disimpulkan motivasi adalah keinginan yang menggerakkan atau mendorong seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu. Pandangan tentang motivasi sebagai mana di sebutkan di atas, semuanya di arahkan pada munculnya dorongan untuk mencapai tujuan jika hal tersebut dikaitkan dengan dorongan setiap personal dalam melakukan kegiatannya maka tujuan yang ingin dicapai tidak dapat di lepaskan dengan konsep apa yang di kehendaki pimpinan. Itulah sebabnya Gibson ( 1985: 64 ) memberikan pandangannya tentang motivasi, sebagai suatu konsep yang dapat di gunakan ketika menggerakkan individu untuk memulai dan berperilaku secara langsung, sesuai dengan apa yang di kehendaki pimpinan. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan kepala sekolah yang ingin menggerakkan gurunya untuk mengerjakan tugas, harus lah mampu memotivasi guru tersebut sehingga guru akan memusatkan seluruh tenaga dan perhatiannya untuk mencapai hasil yang telah di tetapkan. Senada dengan pendapat tersebut, motivasi juga di artikan sebagai keinginan untuk mencurahkan segala tenaga untuk
mencapai tujuan yang di inginkan. Proses ini di rangsang oleh kemampuan untuk memenuhi kebutuhan individu. Pengertian motivasi yang dikutip di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan seseorang maupun diri sendiri dalam berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan. Berdasarkan pandangan beberapa konsep tentang motivasi diatas, menurut Uno ( 2012: 47 ) terdapat tiga unsur yang merupakan kunci dari motivasi, yaitu: 1) upaya, 2) tujuan organisasi, dan 3) kebutuhan. Unsur upaya merupakan ukuran intensitas. Dalam hal ini apabila seseorang termotivasi dalam melakukan tugasnya ia mencoba sekuat tenaga, agar upaya yang tinggi tersebut menghasilkan kinerja yang tinggi pula. Oleh karena itu,dalam pemberian motivasi terhadap seseorang diperlukan pertimbangan kualitas kuantitas yang dapat membangkitkan upaya dan diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Unsur lain adalah unsur tujuan organisasi. Unsur ini begitu penting, sebab segala upaya yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang semuanya diarahkan pada pencapaian tujuan. Tujuan dalam suatu organisasi haruslah di tetapkan secara jelas. Kejelasan tujuan akan mengarahkan segala aktivitas dan perilaku personal untuk mencapai tujuan organisasi. makin jelas perumusan tujuan organisasi, maka makin mudah setiap personal untuk memahaminya.
Unsur terahir yang terdapat dalam motivasi adalah kebutuhan. Kebutuhan adalah suatu keadaan internal yang menyebabkan hasil-hasil tertentu tampak menarik. Suatu kebutuhan yang tidak terpuaskan menciptakan keinginan yang merangsang dorongan-dorongan dalam diri individu untuk mencapainya. Dorongan inilah yang menimbulkan prilaku pencarian untuk menemukan tujuan-tujuan tertent. Dengan demikian, pemberian motivasi tidak dapat dipisahkan dengan kebutuhan manusia. Maslow ( dalam Sondang 2004: 134 ) Seorang ahli psikologi ini telah mengembangkan teori motivasi yang mendasarkan pada kebutuhan manusia di bedakan antara kebutuhan biologis dan kebutuhan psikologis, atau disebut kebutuhan materil (biologis) dan kebutuhan non materi (psikologis). Maslow mengembangkan teori ini setelah ia mempelajari kebutuhan-kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat atau sesuai dengan “hierarki” dan manyatakan bahwa: 1. Manusia adalah suatu makhluk sosial “berkeinginan”, dan keinginan ini menimbulkan kebutuhan yang perlu di penuhi. Keinginan atau kebutuhan ini bersifat terus-menerus, dan selalu meningkat. 2. Kebutuhan yang telah terpenuhi (dipuaskan), mempunyai pengaruh untuk menimbulkan keinginan atau kebutuhan lain dan yang lebih meningkat. 3. Kebutuhan manusia tersebut tampaknya berjenjang atau bertingkat-tingkat. Tingkatan tersebut menunjukan urutan kebutuhan yang harus di penuhi dalam suatu waktu tertentu. Satu motif yang lebih tinggi tidak akan dapat mempengaruhi atau mendorong tindakan seseorang, sebelum kebutuhan
dasar terpenuh. Dengan kata lain, motif-motif yang bersifat psikologis tidak akan mendorong perbuatan seseorang, sebelum kebutuhan dasar (biologis) tersebut terpenuhi. 4. Kebutuhan yang satu dengan kebutuhan yang lain saling kait mengait, tetapi tidak terlalu dominan keterkaitan tersebut. Misalnya, kebutuhan untuk pemenuhan kebutuhan berafiliasi dengan orang lain, meskipun kedua kebutuhan tersebut saling berkaitan. Menurut McClelland ( dalam Notoatmodjo. 2009: 115 ) Mengatakan bahwa dalam diri manusia ada dua motivasi atau motif, yakni motif primer atau motif yang tidak dipelajari, dan motif sekunder atau motif yang di pelajari melalui pengalaman serta interaksi dengan orang lain. Oleh karena motif sekunder timbul karena interaksi dengan orang lain, maka motif ini sering juga di sebut motif sosial. Motif primer atau motif yang tidak di pelajari ini secara alamiah timbul pada setiap manusia secara biologis. Motif ini mendorong seseorang untuk terpenuhinya kebutuhan biologisnya misalnya makanan, minuman, seks dan kebutuhankebutuhan biologis lainnya. Sedangkan motif sekunder adalah motif yang ditimbulkan karena dorongan dari luar akibat interaksi dengan orang lain atau interaksi sosial. Selanjutnya motif sosial ini oleh Clevelland yang di kutip oleh Notoatmodjo ( 2009: 116 ) dibedakan menjadi tiga motif, yakni: (1). Motif
untuk berprestasi (need for achievement), (2). Motif untuk
berafiliasi (need for affiliation), (3). Motif untuk berkuasa (need for power) Selanjutnya Frederick Herzberg adalah seorang ahli psikologi dari Universitas Cleveland, Amerika Serikat Pada Tahun 1950 telah mengembangkan teori motivasi “Dua faktor” (Herzberg’s Two Factors Motivation Theory). Dikutip dalam buku Notoatmodjo ( 2009: 119 ) Menurut teori ini, ada dua faktor yang mempengaruhi seseorang dalam tugas atau pekerjaannya, yakni: 1.
Faktor-faktor penyebab kepuasan (satisfierr) atau faktor motivasional Faktor penyebab kepuasan ini menyangkut kebutuhan psikologis
seseorang, yang meliputi serangkaian kondisi intrinsik. Apa bila kepuasan kerja dicapai dalam pekerjaan, maka akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat bagi seorang pekerja, dan akhirnya dapat menghasilkan kinerja yang tinggi. Faktor motivasional (kepuasan) ini mencakup antara lain: (a). Prestasi (achivement), (b). Penghargaan
(recognation), (c). Tanggung
Jawab (responsibility), (d). Kesempatan untuk maju (posibility of growth), (e). Pekerjaan itu sendiri ( Work ) 2.
Faktor-faktor penyebab ketidakpuasan (dissatisfaction) atau faktor
higiene Faktor-faktor ini menyangkut kebutuhan akan pemeliharaan atau maintenance factor yang merupakan hakikat manusia yang ingin memperoleh kesehatan badaniah. Hilangnya faktor-faktor ini akan menimbulkan ketidak puasan bekerja (disatisfaction). Faktor higienes yang
menimbulkan ketidakpuasan kerja ini antara lain: (a). Kondisi kerja fisik (physical enviroment), (b). Hubungan interpersonal (interpersonal relationship), (c). Kebijakan dan administrasi perusahan (Company and administration policy), (d). Pengawasan (supervision), (e). Gaji (salary), (f). Keamanan kerja (job securit ) ( Notoatmodjo. 2009: 118 ) Berdasarkan beberapa pandangan para ahli tentang motivasi di atas, maka dikemukakan inti dari pandangan tersebut sebagai berikut: a.
Para ahli teori menyajikan penafsiran yang sedikit berbeda dan menekankan pada faktor yang berbeda-beda. Hal ini menunjukan bahwa tidak terdapat suatu rumusan yang baku tentang motivasi, di mana terdapat perbedaan pada faktor yang bervariasi.
b.
Motivasi erat hubungannya dengan prilaku dan prestasi kerja. Hal ini memberi arti bahwa makin baik motivasi seseorang dalam melakukan pekerjaannya maka makin baik pula prestasi kerjanya, atau sebaliknya.
c.
Motivasi diarahkan untuk mencapai tujuan. Pemberian motivasi haruslah
diarahkan
untuk
mencapai tujuan.
Itulah
sebabnya
perumusan tujuan dalam suatu organisasi haruslah jelas dan rasional. Hanya dengan kejelasan tujuan maka semua personal yang terlibat dalam
organisasi
melaksanakannya.
dapat
dengan
mudah
memahami
dan
d.
Perbedaan fisiologis, psikologis dan lingkungan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan pimpinan dalam memotivasi karyawan atau bawahan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa setiap karyawan atau bawahan memiliki perbedaan fisiologis, psikologis, serta berasal dari lingkungan yang berbeda. Selanjutnya, bagaimana pandangan tentang motivasi kerja? Untuk
membahas motivasi kerja, terlebih dahulu dikemukakan pandangan kerja itu sendiri. Pandangan kerja dan bekerja dewasa ini, bukanlah seperti pandangan konservatif yang menyatakan bahwa kerja jasmaniah adalah bentuk hukuman sehingga tidak disukai orang. Akan tetapi dewasa ini, kerja dan bekerja sudah menjadi kebutuhan. Oleh karena itu, visi moderen melihat kerja sebagai: (1). Aktivitas dasar dan dijadikan bagian esensial dari kehidupan manusia. Seperti bermain bagi anak-anak, maka kerja selaku aktivitas sosial bisa memberikan kesenangan dan arti sendiri bagi kehidupan orang dewasa, (2). Kerja memberikan status dan mengikat seseorang kepada individu lain dan masyarakat, (3). Pada umumnya, wanita maupun pri menyukai pekerjaan, jadi mereka suka bekerja, (4). Moral pekerja dan pegawai tidak mempunyai kaitan langsung dengan kondisi fisik atau material dari pekerjaan, (5). Insentif kerja banyak sekali bentuknya, di antaranya ialah uang, dalam kondisi normal merupakan insentif yang paling tidak penting.
Berbagai ciri yang dapat diamati bagi seseorang yang memiliki motivasi kerja, antara lain sebagai berikut: 1). Kinerjanya tergantung pada usaha dan kemampuan yang dimilikinya dibandingkan kinerja melalui kelompok, 2). Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang sulit, dan 3). Seringkali terdapat umpan balik yang konkret tentang bagaimana seharusnya ia melaksanakan tugas secara optimal, efektif dan efisien. Mengacu pada uraian teoritis di atas, dapat didefinisikan bahwa motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang turut menentukan kinerja seseorang. Besar atau kecilnya pengaruh motivasi pada kinerja seseorang tergantung pada seberapa banyak intensitas motivasi yang di berikan. Selanjutnya dipaparkan devenisi operasional dari motivasi kerja sebagai berikut. Motivasi kerja adalah dorongan dari dalam diri dan luar diri seseorang, untuk melakukan sesuatu yang terlihat dari dimensi internal dan dimensi eksternal. Wahjosumidjo ( 1992: 177 ) Motivasi kerja adalah Dorongan kerja yang timbul pada diri seseorang untuk berprilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Motivasi kerja adalah keseluruhan proses pemberian motivasi bekerja kepada para bawahan sedemikian rupa, sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis ( Siagian, 2004: 106 ). Sedangkan menurut (Usman, 2002 : 28) Motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif
menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan
mencapai tujuan atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan. Motivasi kerja guru adalah keseluruhan proses pemberian motif atau dorongan kerja pada para guru sebagai agen pendidikan dan pengajaran, agar tujuan pendidikan dan pengajaran dapat tercapai sesuai dengan rencana apa yang diharapkan. Dengan demikian, Motivasi kerja guru adalah suatu proses yang dilakukan untuk menggerakkan guru agar perilaku mereka dapat di arahkan pada upaya-upaya yang nyata untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Variabel motivasi kerja yang telah di uraikan dalam pembahasan ini, hampir sama dengan variabel lain yang sangat berpengaruh pada kinerja guru di sekolah ( Uno. 2012: 72 ). 2.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Guru Yunus ( 2007: 45 ) mengemukakan sejumlah faktor-faktor dalam
pekerjaan yang mempengaruhi motivasi kerja individu sebagai berikut: a). Rasa aman (security), yaitu adanya kepastian untuk memperoleh pekerjaan tetap, memangku jabatan di organisasi selama mungkin seperti yang mereka harapkan. b). Kesempatan untuk maju (type of work), yaitu adanya kemungkinan untuk maju, naik tingkat, memperoleh kedudukan dan keahlian. c). Tipe pekerjaan (type of work), yaitu adanya pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan, pengalaman, bakat, dan minat. d). Nama baik tempat bekerja (company), yaitu perusahaan (sekolah) yang memberikan kebanggaan karyawan bila bekerja di perusahaan atau sekolah tersebut. e). Rekan kerja (Co worker), yaitu rekan kerja yang sepaham,
yang cocok untuk kerja sama. f). Upah (pay), yaitu penghasilan yang diterima. g). Penyelia (Supervisor), yaitu pemimpin atau atasan yang mempunyai hubungan baik dengan bawahannya, mengenal bawahannya, dan mempertimbangkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh bawahannya. h). Jam kerja (work hours), yaitu jam kerja yang teratur atau tertentu dalam sehari. i). Kondisi kerja (working condition), yaitu seperti kebersihan tempat kerja, suhu, ruangan kerja, ventilasi, kegaduhan suara, bau, dan sebagainya. j). Fasilitas (benefit), yaitu kesempatan cuti, jaminan kesehatan, pengobatan dan sebagainya. 3.
Upaya Meningkatkan Motivasi Kerja Guru Kepala sekolah perlu meningkatkan kemampuan dan keterampilan
para pelaksana pendidikan. Sebagai pemimpin dalam suatu lembaga pendidikan hendaknya kepala sekolah memiliki pengetahuan yang luas dan keterampilan kepemimpinan. Hal itu perlu dimiliki agar mampu mengendalikan, mempengaruhi dan mendorong bawahannya dalam menjalankan tugas dengan jujur, tanggung jawab, efektif dan efesian, ( Suyanto & Djihad H. 2000: 26 ) Kepala sekolah dalam meningkatkan motivasi kerja guru dengan: a.
Menetapkan sistem manajemen terbuka yaitu kepala sekolah menerima saran, kritik yang muncul dari semua pihak lingkungan baik dari guru, karyawan serta siswa. Manajemen terbuka ini memberikan kewenangan kepada para guru untuk memberika saran bahkan kritik yang membangun bagi sekolah.
b.
Kepala sekolah juga menerapkan pembagian tugas dan tanggungjawab dengan para guru agar guru yang terlibat lebih memahami tugasnya masing-masing dan diharapkan adanya kerjasama dalam rangka mencapai tujuan bersama.
c.
Kepala sekolah menerapkan hubungan vertikal ke bawah yaitu kepala sekolah menjalin hubungan baik terhadap semua bawahan yaitu kepada guru dan karyawan hal ini dilakukan agar mereka bersedia melaksanakan tugas-tugas dengan sebaik-baiknya, memupuk kesetian dan tanggung jawab kepada pimpinan, tugas dan tempat kerja. Kepala sekolah juga melakukan pendekatan-pendekatan untuk meningkatkan daya kreasi, inisiatif yang tinggi untuk mendorong semangat bawahannya.
d.
Kepala sekolah melakukan pemetaan program-program kegiatan untuk meningkatkan motivasi kerja guru seperti: kegiatan briefing, penghargaan bagi guru yang berprestasi, peningkatan kesejahjetraan guru, peningkatan SDM, memberikan pelatihan untuk para guru, memberikan perhatian secara personel, workshop, outbond. Melalui program-program tersebut maka diharapkan guru-guru mampu mengembangkan proses kerjanya dan mampu menghasilkan output yang baik sesuai program yang diselenggarakan.
e.
Kepala sekolah melakukan pengawasan yang bersifat continue dan menyeluruh yaitu pengawasan yang meliputi seluruh aspek antara lain: personel, pelaksanaan kegiatan, material dan hambatan-
hambatan. Pengawasan yang dilakukan kepala sekolah berdasarkan pada tujuan sekolah, agar pekerjaan atau kegiatan dapat berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan untuk mengetahui hambatan ataupun kesalahan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan f.
Kepala sekolah melakukan evaluasi meliputi evaluasi terhadap uraian tugas dan evaluasi bukti-bukti dokumen, dengan cara melihat langsung terhadap bukti-bukti tugas yang telah dilakanakan oleh guru kemudian memberikan masukan apabila terdapat kesalahan atau kurang sesuai dengan kriteria yang diharapakan. Kepala sekolah memberikan solusi terhadap hambatan-hambatan yang dihadapi oleh guru dalam melakukan tugasnya. Menurut Yunus ( 2007: 40 ) Terdapat beberapa prinsip yang dapat
diterapakan kepala sekolah untuk mendorong guru agar mau dan mampu meningkatkan motivasi kerja yaitu: 1). Kegiatan yang dilakukan menarik dan menyenangkan. 2). Tujuan kegiatan perlu disusun dengan jelas dan diinformasikan tentang hasil setiap pekerjaannya. 3). Pemberian hadiah lebih baik dari ada hukuman, maupun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan. 4). Memperhatikan kondisi fisiknya, rasa aman, menunjukkan bahwa kepala sekolah memperhatikannya, sehingga setiap pegawai memperoleh kepuasaan dan penghargaan.
B.
Kepemimpinan Transaksional Kepala Sekolah 1.
Kepemimpinan Tansaksional Kepala Sekolah Mulyasa ( 2006: 107 ) Kepemimpinan merupakan suatu hal yang
sangat penting dalam manajemen sekolah. Kepemimpinan berkaitan dengan masalah kepala sekolah dalam meningkatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan secara efektif dengan para guru dalam situasi yang kondusif. Perilaku kepala sekolah harus dapat mendorong kerja para guru dengan menunjukan rasa bersahabat, dekat, dan penuh pertimbangan terhadap para guru, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Perilaku pemimpin yang positif dapat mendorong kelompok dalam mengarahkan dan memotivasi individu untuk bekerja sama dalam kelompok dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Kepemimpinan diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Sutisna ( 1993: 112
) kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi
kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha kearah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Soepardi ( 1988 : 76 ) Mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan,
menasehati,
membimbing,
menyuruh,
memerintah,
melarang dan bahkan menghukum (kalau perlu), serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisien.
Wahyudi ( 2009: 119 ) Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk memperdayakan (empowering)
bawahan atau anggota sehingga
timbul inisiatif untuk berkreasi dalam berkerja dan hasilnya lebih bermakna bagi organisasi dengan sekali-kali pemimpin mengarahkan, menggerakkan, dan mempengaruhui anggota. Inisiatif pemimpin harus direspon sehingga dapat mendorobg timbulnya sikap mandiri dalam bekerja dan berani mengambil keputusan dalam rangka percepatan pencapaian tujuan organisasi. Mc Farland ( dalam Sagala 2008: 145 ) Mengemukakan bahwa kepemimpinan dalah sebagai suatu proses di mana pemimpin digambarkan akan memberi perintah atau pengarahan, bimbingan atau mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Masaong & Ansar ( 2011: 237 ) Kepemimpinan adalah proses untuk mengarahkan, menggerakkan dan mempengaruhi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengana tuga-tugas anggota kelompok/organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggerakkan, mengarahkan, sekaligus mempengaruhi pola pikir, cara kerja setiap anggota agar bersikap mandiri dalam bekerja terutama dalam mengambil keputusan untuk kepengtingn percepatan pencapaian tujuan yang telah ditetapka ( Wahyudin. 2009: 120 ).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas di tarik suatu kesimpulan bahwa
kepemimpinan
adalah
kemampuan
dalam
memperdayakan
bawahan atau anggota kelompok agar ada inisiatif dalam bekerja untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan bersama. Kemampuan mempengaruhi prilaku orang lain karena tujuan tertentu sebagai indikator keberhasilan seorang pemimpin. Selanjutnya sebagai
perbandingan
kita
kemukakan
beberapa
pendapat
yang
dikemukakan oleh penulis buku prilaku organisasi antara lain, Robert ( 1982: 132 ) Mengartikan kepemimpinan sebagai keterlibatan yang dilakukan secara sengaja untuk mempengaruhi prilaku orang sebagaimana dikemukakan berikut: Leadership involves intentionally exercising on the behavior of others people “. Hal senada dikemukakan oleh Billick, B. & Peterson, J.A. ( 1999: 2 ), “leadership can be defined as the ability to influence the behavior and actions of others to achieve an intended purpose”. George R. Terry ( dalam Hersey & Blanchard. 1977: 84 ) Mengatakan bahwa kepemimipinan adalah aktivitas mempengaruhi orangorang untuk berusaha mencapai tujuan kelompok secara suka rela. Koontz dan O’Donnel, C. Mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah upaya mempengaruhi orang-orang untuk ikut dalam pencapaian tujuan bersama.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat di simpulkan bahwa kepemimpinan adalah kepemimpinan adalah suatu proses atau upaya mempengaruhi
dan
mengarahkan
orang-orang
untuk
ikut
dalam
pencapaian tujuan bersama. Masaong & Ansar ( 2011: 237 ) Implikasi kepemimpinan ini antara lain: 1). Kemepimimpinan menyangkut orang lain, bawahan atau pengikut, 2). Kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan yang tidak seimbang di antara para pemimpin dan anggota kelompok, 3). Selai dapat menggerakkan dan memberikan pengarahan kepada para bawahan atau pengikut, pemimpin juga menggunakan pengaruh, dan 4). Kepemimpinan merupakan
kemampuan
yang
dimiliki
seorang
pemimpin
untuk
mengarahkan dan mempengaruhi pegawai atau anggota kelompok agar bekerja untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditetapkan. Dari beberapa pengertian para ahli di atas dpat di simpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi atau mengajak dan mengarahkan orang lain atau kelompok untuk bekerja dalam mencapai tujuan yang di ingin kan organisasi. Berdasarkan konsep kepemimpinan yang telah dikemukakan, menurut Komariah dan Triatna ( 2005: 75 ) Kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang menekankan pada tugas yang di emban bawahan. Pemimpin adalah seorang yang mendesain pekerjaan beserta
mekanismenya, dan staf adalah seseorang yang melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan dan keahlian. Kepemimpinan transaksional, hubungan antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas tawar menawar
antar
keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional adalah contingent reward dan management by exception. Pada contingent reward dapat berupa penghargaan dari pimpinan karena tugas
telah dilaksanakan,
berupa bonus atau bertambahnya penghasilan atau fasilitas. Hal ini dimaksudkan untuk memberi penghargaan maupun pujian untuk bawahan terhadap upaya upayanya. Selain itu, pemimpin bertransaksi dengan bawahan, dengan memfokuskan pada aspek kesalahan yang dilakukan bawahan,
menunda
keputusan
atau
kemungkinan mempengaruhi terjadinya
menghindari
hal-hal
yang
kesalahan. Management by-
exception menekankan fungsi managemen sebagai kontrol. Pimpinan hanya melihat dan mengevaluasi apakah terjadi kesalahan untuk diadakan koreksi, pimpinan memberikan intervensi pada bawahan apabila standar tidak dipenuhi oleh bawahan. Praktik management by exception, pimpinan mendelegasikan tanggungjawab kepada bawahan dan menindak lanjuti dengan memberikan apakah bawahan dapat berupa pujian untuk membesarkan hati bawahan dan juga dengan hadiah apabila laporan yang dibuat
bawahan
memenuhi
standar.
Burns
(1978)
http://kppnrantauprapat.net/files/artikel/Kepemimpinan_Transaksional.pdf
Kepemimpinan
transaksional
memungkinkan
pemimpin
memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara mempertukarkan reward dengan kinerja tertentu. Artinya, dalam sebuah transaksi bawahan dijanjikan untuk diberi reward bila bawahan mampu menyelesaikan tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Alasan ini mendorong
Burn ( dalam Masaong & Arfan A. 2011:163 )
Mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tertentu jika bawahan mampu menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Pola hubungan yang dikembangkan kepemimpinan transaksional adalah berdasarkan suatu sistem timbal balik (transaksi) yang sangat menguntungkan (mutual system of reinforcement),
yaitu pemimpin memahami kebutuhan dasar para
pengikutnya dan pamimpin menemukan penyelesaian atas cara kerja dari para pengikutnya tersebut. Pemimpin transaksional merancang pekerjaan sedemikian rupa yang disesuaikan jenis dan jenjang jabatan dan melakukan interaksi atau hubungan mutualistis. Menurut Bycio ( 1995: 104 ) kepemimpinan transaksional adalah gaya
kepemimpinan
di
mana
seorang
pemimpin
menfokuskan
perhatiannya pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan. Jadi, kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk
memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak yang telah mereka setujui bersama. Pada hubungan transaksional, pemimpin menjanjikan dan memberikan penghargaan kepada bawahannya yang berkinerja baik, serta mengancam dan mendisiplinkan bawahannya yang berkinerja buruk. Apakah penghargaan yang dijanjikan atau terhindarnya dari hukuman itu mampu memotivasi bawahannya untuk meningkatkan kinerjanya? Hal ini tergantung pada apakah pemimpinnya mampu mengendalikan penghargaan dan hukuman tersebut, serta apakah bawahan menginginkan penghargaan atau takut terhadap hukuman tersebut. Arfan A (
2011: 164 ) Kepemimpinan transaksional juga
dipandang sebagai contingent reinforcemet atau dorongan kontingen dalam bentuk reward yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja, yaitu manakalah para staf menunjukan keberhasilan atau kemajuaan dalam dalam pencapaian sasaran target yang diharapkan, mereka mendapatkan kontingen posotif berupa imbalan. Namun, apabila staf menunjukan kinerja yang sebaliknya, yaitu kegagalan dalam berbagai kesalahan, maka dorongan kontingen negatif atau aversif dapat dikenakan berupa hukuman sesuai yang telah disepakati. Pemimpin bercirikan transaksi, enggan membagikan
pengetahuannya
kepada
staf
karena
menganggap
pengetahuan tersebut dapat dijadikan alat koreksi atau menjadi pengkritik moral yang kuat bagi berbaikan iklim kerja yang terlalu berorientasi tugas dan sedikit mengabaikan aspek kepribadian manusia.
Sedangkan Bass ( dalam Komariah 2005: 214 ) mendefinisikan kepemimpinan transaksional adalah sejumlah langkah dalam proses transaksional yang meliputi: pemimpin transaksional memperkenalkan apa yang diinginkan bawahan dari pekerjaannya dan mencoba memikirkan apa yang akan bawahan peroleh jika hasil kerjanya sesuai dengan transaksi. Pemimpin menjanjikan imbalan bagi usaha yang dicapai, dan pemimpin tanggap terhadap minat pribadi bawahan bila ia merasa puas dengan kinerjanya. ( Masaong & Arfan A. 2011:162 ) Kepemimpinan transaksional lebih di fokuskan pada peranannya sebagai manajer karena ia sangat terlibat dalam aspek-aspek prosedural manajerial yang metalogis dan fisik. Dikarenakan sistem kerja yang jelas merujuk kepada tugas yang diemban dan imbalan yang diterimah sesuia dengan derajat pengorbanan dalam pekerjaan maka kepemimpinan transaksional yang sesuai diterapkan ditengah-tengah staf yang belum matang, dan menekankan pada pelaksanaan tugas untuk mendapatkan intensif bukan pada aktualisasi diri. Oleh karena itu, kepemimpinan transaksional dihadapkan pada orangorang yang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dari segi sandang, pangan dan papan.
Masaong ( 2011: 162 ) Kepemimpinan transaksional tidak mengembangkan pola hubungan laissez faire atau membiarkan personel menentukan sendiri pekerjaannya karena dikhawatirkan dengan keadaan personel yang perlu pembinaan, pola ini dapat menyebabkan mereka menjadi pemalas dan tidak jelas apa yang dikerjakannya. kepemimpinan transaksional digantikan dengan bekerja bersama perorangan atau kelompok, menyiapkan dan mendefinisikan perjanjian atau kontrak kerja untuk mencapai tujuan pekerjaan secara spesifik, menemukan kecakapan individual, dan menspesifikasikan kompensasi dan hadiah yang dapat diharapkan atas keberhasilan pemenuhan tugas. Dalam bentuk korektif, kepemimpinan transaksional berfokus pada penyiapan standard secara aktif. Dalam bentuk pasifnya, kepemimpinan ini melibatkan
menunggu
kesalahan-kesalahan
harus
terjadi
sebelum
mengambil tindakan. Dalam bentuknya yang aktif, ada monitoring secara dekat untuk terjadinya kesalahan. Baik dalam bentuk aktif maupun pasif, kepemimpinan transaksional berfokus pada mengidentifikasi kesalahan. Banyak konsultan yang menggunakan MLQ telah menemukan bahwa kepemimpinan jenis ini berguna untuk memberikan label Contingent Reward (CR) dan Management-by-Exception: Active (MBEA) sebagai Kepemimpinan Transaksional dan Management-by-Exception: Passive (MBEP) dan Laissez faire sebagai Kepemimpinan Pasive/Penghindaran (Avolio and Bass, 2004). Akses di Internet.
Karakteristik Kepemimpinan Transaksional
Pengadaan Imbalan, pemimpin menggunakan serangkaian imbalan untuk memotivasi para anggota, Imbalannya berupa kebutuhan tingkatfisiologis.
Eksepsi/pengecualian,
d ima na
pe m imp in
akan
me mber i
t indaka n koreksi atau pembatalan imbalan atau sanksi apabila anggota gagal mencapai sasaran prestasi yang ditetapkan. 2.
Fungsi Kepemimpinan Fungsi artinya jabatan (pekerjaan) yang dilakukan atau kegunaan
sesuatu hal. Sedangkan fungsi kepemimpinan adalah serangkaian tugastugas atau pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Fungsi kepemimpinan merupakan gejala sosial, karena harus diwujudkan dalam interaksi antar individu di dalam situasi suatu kelompok/organisasi. Menurut Rivai ( 2006:53 ) fungsi kepemimpinan memiliki dua dimensi yaitu: (a). Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin. (b). Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) orang-orang yang
dipimpin
kelompok/organisasi.
dalam
melaksanakan
tugas-tugas
pokok
Rivai ( 2006:53 ) mengemukakan fungsi pokok kepemimpinan adalah: a. Fungsi Instruksi Fungsi ini bersifat komunikasi satau arah. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang menentukan apa, bagaimana,bilamana dan dimana perintah itu dikerjakan agar keputusan dikerjakan secara efektif. Kepemimpinan yang efektif merupakan kamampuan untuk menggerakkan dan memotivasi staf agar mau melaksanakan perintah. b.
Fungsi Konsultasi Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap pertama dalam
usaha menetapkan keputusan, pemimpin kerapkali memerlukan bahan pertimbangan, yang mengharuskannya berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinya yang dinilai mempunyai berbagai bahan informasi yang diperlukan dalam menetapkan keputusan. Tahap berikutnya konsultasi dari pemimpin pada orang-orang yang dipimpin dapat dilakukan setelah keputusan ditetapkan dan sedang dalam pelaksanaan. Konsultasi itu dimaksudkan untuk memperoleh masukan berupa umpan balik (feed back) untuk memperbaiki dan menyempurnakan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. c.
Fungsi Partisipasi Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan
orang-prang yang dipimpinnya, baik dalam keikut sertaan mengambil keputusan maupun dalam melaksanakannya. Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semuanya, tetapi dilakukan secara terkendali dan terarah berupa
kerja sama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain. d. Fungsi Delegasi Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang membuat/menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tampa persetujuan pemimpin. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Orang-orang menerima delegasi itu harus diyakini merupakan pembantu pemimpin yang memiliki kesamaan prinsip, persepsi dan aspirasi. e.
Fungsi pengendalian Fungsi
pengendalian
bermaksud
bahwa
kepemimpinan
yang
sukses/efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam kordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama sacara maksimal. Fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi dan pengawasan. Delapan Fungsi Kepemimpinan Kepala Sekolah, Kepala Sekolah sebagai seorang pemimpin dalam praktik sehari-hari harus selalu berusaha memperhatikan dan memperaktikkan delapan fungsi kepemimpinan didalam kehidupan sekolah 1.
Menciptakan kebersamaan diantara guru dan orang-orang yang menjadi bawahanya.
2.
Menciptakan rasa aman didalam lingkungan sekolah sehingga para guru dan orang-orang yang menjadi bawahan dalam melaksanakan tugasnya meraka merasa aman, bebas dari segala perasaan gelisah,
kekhawairan, serta memperoleh jaminan keamanan (providing security) 3.
Memberikan saran, anjuran dan sugesti untuk memlihara serta meningkatkan semangat para guru, staff dan siswa, rela berkorban demi menumbuhkan rasa kebersamaan dalam melaksanakan tugas masing- masing.
4.
Bertanggung jawab memenuhi dan menyediakan dukungan yang diperlukan oleh para guru.
5.
Sebagai
katalistor,
dalam
arti
mampu
menimbulkan
dan
menggerakkan semangat para guru, staf dan siswa dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 6.
Selalu menjaga penampilan dan integritas sebagai kepala sekolah, selalu terpercaya,
di hormati baik
sikap, prilaku
maupun
perbuatannya. 7.
Membangkitkan semangat, percaya diri terhadap para guru sehingga mereka menerima dan memahami tujuan sekolah secara antusias, bekerja secara bertanggung jawab kearah tercapainya tujuan sekolah (inspiring).
8.
Selalu dapat memperhatikan, menghargai apa pun yang dihasilkan oleh para mereka yang menjadi tanggung jawabnya.
3.
Kepemimpinan Kepala Sekolah Yang Efektif Mulyasa ( 2006:121 ) Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif
dapat dilihat berdasarkan kriteria berikut : (a). Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif. (b). Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. (c). Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan. (d). Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah. (e). Bekerja dengan tim. (f). Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Menurut Sagala ( 2008: 143 ) pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang anggotanya dapat merasakan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi, baik kebutuhan pekerjaan, motivasi, rekreasi, kesehatan, sandang, pangan, tempat tinggal, maupun kebutuhan lainnya yang pantas didapatkan. Wahyudi ( 2009: 122 ) Pemimpin yang efektif harus belajar dari kesalahan pada masa lalu dan berusaha memperbaiki dengan cara yang bijak dan memberikan kritik dan saran perbaikan. Karyawan yang selalu belajar tahu akan tugas dan kewajiban untuk menjadikan organisasi lebih kompetitif.
Hersey dan Blanchard ( Rivai, 2006: 149 ) Mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang efaktif itu berbeda-beda sesuai dengan “kematangan” bawahan. Kematangan atau kedewasaan menurutnya bukan dalam arti usia atau stabilitas emosional melainkan keinginan untuk berprestasi, kesediaan untuk menerima tanggung jawab, dan mempunyai kemampuan serta pengalaman yang berhubungan dengan tugas. Dengan demikian tingkat kematangan bawahan, dan situasi tempat sangat berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkan. Dikemukakan oleh Surya ( 1994: 231 ) Bahwa sifat-sifat tertentu yang membantu seseorang lebih mampu memimpin orang lain, dan sifatsifat dari sebagian besar pemimipin bukan pembawaan dari lahir, akan tetapi dipelajari dan dikembangkan. Karakteristik yang harus dipunyai seorang pemimpin agar berhasil menjalankan tugas adalah: 1). Mempunyai kematangan spiritual, sosial dan fisik, 2). Menunjukan keteladanan, 3). Kesanggupan untuk memecahkan masalah secara kreatif, 4). Mimiliki kejujuran, 5). Mempunyai keterampilan berkomunikasi, 6). Memiliki motivasi yang kuat untuk memimpin, 7). Disiplin, 8). Mempunyai rasa tanggung jawab, 9). Mempunyai banyak relasi, 10). Mempunyai kestabilan emosi, 11). Cepat dalam mengambil keputusan, 12). Berani mengambil resiko. Dengan demikian, studi perbandingan sifat-sifat pemimpin dan bukan pemimpin menyimpulkan bahwa, pemimpin mempunyai kelebihan kecerdasar berpikir, mempunyai keahlian, semangat bekerja, mempunyai motivasi tinggi, lebih percaya diri, mempunyai kemampuan komunikasi,
lebih cepat dalam mengambil keputusan, mempunyai kestabilan emosi, dan banyak mempunyai relasi. C.
Hubungan Kepemimpinan Transaksional Kepala Sekolah Dengan Motivasi Kerja Guru Aktivitas organisasi pendidikan merupakan hubungan antara kepala sekolah dan guru dan interaksi antara anggota organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan keseharian sering terjadi terjadi hubungan yang kurang harmonis antara individu dalam organisasi, hal ini disebabkan komunikasi kurang lancar atau di karenakan tujuan individu berbeda dengan tujuan organisasi. karena itu untuk menjalin kerja sama yang baik perlu diciptakan hubungan secara harmonis di antara anggota organisasi ( Wahyudi. 2009: 71 ). Secara lebih khusus, Sutisna ( 2009: 36 ) Mengartikan keterampilan hubungan manusia dalam organisasi pendidikan adalah kemampuan kepala sekolah untuk mendirikan sistem komunikasi dua arah yang terbuka dengan personal sekolah dan anggota masyarakat lainnya untuk menciptakan suasana kepercayaan terhadap sekolah dan meningkatkan unjuk kerja guru. Dengan demikian, keterampilan hubungan manusia dalam organisasi pendidikan adalah kemampuan kepala sekolah untuk bekerja sama, berkomunikasi dengan personel sekolah dalam rangka menciptakan suasana saling percaya terhadap program sekolah dan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan unjuk kerja guru.
Pendapat Campbell yang dikutip oleh Wahyudi ( 2009:73 ) Menjelaskan perilaku kepala sekolah yang berkaitan dengan keterampilan hubungan manusia di sekolah sebagai berikut: a). Menunjukan semangat kerja dan memberikan bimbingan dan bantuan dalam pekerjaan, b). Berprilaku menyenangkan, menghormati guru, mempunyai integritas yang tinggi dan tegas dalam mengambil keputusan, c). Memberi penghargaan pada guru yang berprestasi, d). Memberikan dukungan semangant/moral kerja guru dan bersikap tegas pada persinel sekolah, e). Mengatur sekolah secara baik, f). Menggunakan otoritasnya sebagai kepala sekolah dengan penuh keyakinan dan teguh penderian, g). Memberikan bimbingan secara individu pada guru dalam pekerjaan, h). Menyelesaikan permasalahan, i). Mengikut sertakan guru dalam merumuskan pengambilan keputusan, j). Menghormati
peraturan
sekolah,
mendisiplinkan
siswa
dan
tidak
membebani tugas berat pada guru. Dengan demikian menjalin hubungan kerja sama yang baik antara kepala sekolah dengan guru, maka tujuan sekolah dapat di capai dengan mudah dan efektif. D.
Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah telah dirumuskan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data ( Sugiono, 2010:64 ).
Hipotesis dalam penelitian ini didasarkan atas teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta yang empiris, oleh sebab itu yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah “Terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan transaksional kepala sekolah dengan motivasi kerja guru di sekolah menengah kejuruan negeri 1 Kota Gorontalo. Di mana kepemimpinan transaksional kepala sekolah sebagai variabel X dan motivasi kerja guru variabel Y.