BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Hakikat Peran Istilah "peran" kerap diucapkan banyak orang. Sering kita mendengar kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Atau "peran" dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu drama. Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa kata "peran", atau role dalam bahasa Inggrisnya, memang diambil dari dramaturgy atau seni teater. Dalam seni teater seorang aktor diberi peran yang harus dimainkan sesuai dengan plot-nya, dengan alur ceritanya, dengan lakonnya. Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” mempunyai arti pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat (Depdiknas, 2005:854). Menurut Amran (2005:449) peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Peran adalah perangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di dalam masyarakat, atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam sesuatu peristiwa. Menurut Natawidjaya (2007:40), peran adalah kesediaan mental individu yang mempengaruhi, mewarnai bahkan menentukan kegiatan-kegiatan individu yang bersangkutan dalam memberikan respons terhadap obyek atau situasi yang mempunyai arti baginya. Kesediaan ini mungkin dinyatakan dalam kegiatan (perbuatan ataupun perkataan) atau merupakan kekuatan laten yang kadang-kadang tersalurkan. Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka seseorang yang diberi (atau mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh pekerjaan tersebut. Karena itulah ada yang disebut dengan role expectation. Harapan mengenai peran seseorang dalam posisinya, dapat dibedakan atas harapan dari si pemberi tugas dan harapan dari orang yang menerima manfaat dari pekerjaan/posisi tersebut. Peran tidak lepas hubungannya dengan tugas yang diemban seseorang. Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dijalankan (Depdiknas, 2008:667).Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok. Dalam kehidupan berkelompok tadi akan terjadi interaksi antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya. Tumbuhnya interaksi diantara mereka ada saling ketergantungan. Dalam kehidupan bermasyarakat itu munculah apa yang dinamakan dengan peran (role). Peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan seseorang, apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang yang bersangkutan menjalankan suatu peranan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka terlihat bahwa dalam peran terdapat unsur individu sebagai subyek yang melakukan peranan tertentu. Selain itu, dalam peran terdapat pula adanya status atau kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat, artinya jika seseorang memiliki kedudukan (status) maka yang bersangkutan menjalankan peran tertentu pula. 2.2 Hakikat Guru 2.2.1 Pengertian Guru Pengertian guru menurut konteks pendidikan secara umum adalah orang yang memikul tanggung jawab di sebuah lembaga pendidikan atau sekolah dalam upaya mengajar, membimbing, mengarahkan dan menuntun siswa dalam belajar sehingga siswa dapat menguasai setiap materi yang diajarkan sesuai dengan bidang ilmu yang diajarkan. (E. Mulyasa, 2006:18)
Menurut Daradjat (2006:39), secara umum guru dapat diartikan sebagai pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul dipundak orang tua. Ketika mereka menyerahkan anaknya di sekolah, berarti telah
melimpahkan sebagian tanggung jawab
pendidikan anaknya kepada guru. Hal itupun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang guru atau sekolah karena tidak sembarang orang dapat menjabat guru. Berdasarkan uraian di atas dapat dimaknai bahwa, dalam konteks pendidikan secara umum guru merupakan salah satu komponen manusia dalam proses belajar mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Dengan demikian guru merupakan salah satu unsur dibidang kependidikan dan pembangunan dan harus berperan aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. 2.2.2 Tugas Guru Menurut Moh. Uzer Usman (2005:6) pada prinsipnya tugas guru harus meliputi bidang profesi multi sainsitis, bidang kemanusiaan dan bidang kemasyarakatan. Guru sebagai profesi/jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus dan tidak bisa dilakukan sembarang orang di luar bidang
kependidikan, menuntut guru memiliki tiga profesi yaitu
mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai–nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan pada anak. Dalam bidang kemanusiaan di sekolah, guru harus mampu menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia akan menjadi idola bagi semua
anak. Jika seorang guru penampilannya tidak menarik, maka kegagalan pertama ialah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajaran. Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat guru menempati tempat terhormat, yang semua sifat dan sikapnya dapat dijadikan teladan atau digugu dan ditiru oleh semua orang. Berdasarkan uraian di atas, maka kedudukannya guru harus relevan dengan kebutuhan semua orang. Karena prestise dan prestasi guru senantiasa harus benar-benar teruji dan terpuji serta sekaligus sebagai tantangan, tidak hanya di depan kelas, tidak saja di batas–batas pagar sekolah, tetapi juga di tengah–tengah masyarakat. Di samping itu, guru sebagai pendidik bertanggung jawab mewariskan nilai moral dan norma etika kepada generasi berikutnya sehingga terjadi proses konservasi nilai prilaku terpuji yang dapat mengatarkan kebaikan anak di masa depan. Berikut ini penulis paparkan bagan tugas seorang guru sebagai berikut: Bagan Tugas Guru Tugas Guru
Profesi
Mendidik
Meneruskan dan mengembangkan nilainilai hidup
Mengajar
Meneruskan dan mengembangkan Iptek dan Imtaq
Melatih
Mengembangkan keterampilan dan penerapannya
Menjadi orangtua kedua
Kemanusiaan
Auto Pengertian kedua: - Homoludens - Homopuber - Homosapiens
Transformasi diri Autoidentifikasi
Mendidik dan mengajar masyarakat untuk
Sumber:( Danim,2006:18)
Berdasarkan skema tersebut dapat dipahami, bahwa pada prinsipnya tugas akhir dari seorang pendidik adalah mencerdaskan perkembangan jiwa dan mental anak didik. Karena begitu pentingnya tugas dalam rangka menunjang aktivitasnya sebagai seorang tenaga pendidik, maka kiranya perlu melakukan upaya peningkatkan kompetensi guru itu sendiri secara terus menerus baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah guna mengikuti laju perkembangan zaman. Menurut Hadirja Praba (2009:84) guru merupakan aparat fungsional yang secara langsung melaksanakan tugas mengajar ajaran kenabian di semua lembaga pendidikan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang telah ditetapkan. Itulah sebabnya, guru harus dapat mengoptimalkan tugasnya melalui cara membina, melatih, membiasakan, dan memberi contoh keteladanan. Hal ini dimaksudkan pula agar dapat memberikan manfaat penting di antaranya: 1. Untuk meningkatkan wawasan dan kemampuan profesional guru dalam melaksanakan tugas dan kegiatan sehari hari. 2. Untuk menyamakan visi, misi dan persepsi yang diberikan di sekolah. 3. Untuk penyegaran dan mengurangi kejenuhan kerja guru yang sehari-hari hanya berhadapan dengan anak. Peningkatan wawasan bagi seorang guru sangatlah penting. Oleh karena itu, guru senantiasa terus pula belajar demi meningkatkan kemampuan pribadi sehingga guru tidak hanya berpegang teguh pada satu pedoman buku saja, namun lebih dari itu guru harus mampu menampilkan sosok yang dapat membantu anak dalam menyelesaikan problem baik dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Untuk dapat melakukan itu semua, maka guru dituntut agar dapat membekali diri dengan sebaik-baiknya.
Hal ini seiring dengan pendapat dan pandangan Rostiati (2008:182), bahwa guru adalah seorang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, guru memiliki salah satu tugas untuk melakukan transfer ilmu pengetahuan atau dapat merealisasikannya dalam bentuk menjawab dan memecahkan masalah yang timbul di dalam kelas sehingga pada akhirnya memunculkan motivasi dan rasa simpati dari anak dalam mengikuti seluruh kegiatan proses pembelajaran. Selain itu, guru dituntut pula harus memiliki visi dan misi tentang nilai-nilai agama, sehingga apa yang disampaikan oleh guru tersebut tidak hanya sebatas retorika belaka, namun yang lebih penting adalah apa yang disampaikan oleh guru tersebut dalam proses pembelajar dapat memperoleh hasil baik dari segi kecakapan, keterampilan maupun adanya perubahan sikap dan tingkah laku dari para anak. Guru harus mengetahui bahwa belajar adalah suatu proses, hal ini seperti yang dinyatakan bahwa belajar merupakan proses orang memperoleh kecakapan, keterampilan dan sikap. Karena belajar merupakan suatu proses maka harus diketahui bahwa yang mengikuti proses belajar ini adalah para anak yang memiliki kemampuan dan latar belakang yang berbeda sehingga dapat menimbulkan kendala bagi seorang guru. Oleh karena itu, untuk menghindari hal ini guru harus memiliki visi dan misi pendidikan yang komprehensif sehingga seorang guru tidak akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas keguruannya. Sehubungan dengan peranannya sebagai pendidik dan pengajar, guru harus menguasai ilmu, antara lain memiliki pengetahuan yang luas, menguasai bahan pelajaran serta ilmu-ilmu yang bertalian dengan mata pelajaran/bidang studi yang diajarkannya, menguasai teori dan praktek mendidik, teori kurikulum metode pengajaran, tekhnologi pendidikan, teori evaluasi dan psikologi belajar, dan sebagainya.
Menurut Munandir (2008:3) untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas, maka seorang guru dituntut untuk memiliki beberapa keterampilan, di antaranya: a. terampil dalam menyiapkan bahan belajar. b. terampil menyusun satuan pelajaran. c. terampil menyampaikan ilmu kepada murid. d. terampil mengarahkan semangat belajar murid. e. terampil memilih dan menggunakan alat peraga pendidikan. f. terampil melakukan penilaian hasil belajar murid. g. .terampil menggunakan bahasa yang baik dan benar. h. terampil mengatur disiplin kelas, dan berbagai keterampilan lainya. Sealnjutnya Munandir (2008:4) menambahkan, agar peran guru memenuhi syarat-syarat kepribadian dan syarat penguasaan ilmu tertentu, maka guru harus bersikap terbuka, tidak bertindak secara oteriter, tidak bersikap angkuh, bersikap ramah tamah terhadap siapapun, suka menolong dimanapun dan kapan saja, serta simpati dan empati terhadap pimpinan, teman sejawat, dan para siswa. Agar guru mampu mengembangkan pergaulan dengan masyarakat, dia perlu menguasai psikologi sosial, khususnya mengenai hubungan antar manusia dalam rangka dinamika kelompok. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa, tugas yang diemban oleh seorang guru bersifat multikompleks. Guru tidak hanya bertugas sebagai pengajar yang bisa menjejali anak dengan segenap pengetahuan dan pengalaman, tetapi dapat mengarahkan dan membekali semua manusia dengan segala keperluan hidupnya. 2.3 Hakikat Membudayakan Mengucapkan salam 2.3.1 Pengertian Budaya
Budaya dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. (Kartika, 2005:12) Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. (Hermawan, 2006:7) Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Budaya dapat didefinisikan bermacammacam tergantung pada sudut pandang setiap ahli. Beberapa pengertian dibawah ini akan mendefinisikan budaya dari beberapa ahli dan pakar. a. Menurut Lehman, Himstree dan Baty, (dalam Suwardoyo, 2006:14), Budaya diartikan sebagai sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka sendiri. Pengalaman hidup masyarakat tentu saja sangatlah banyak dan bervariatif, termasuk di dalamnya bagaimana perilaku dan keyakinan atau kepercayaan masyarakat itu sendiri
b. Menurut Hofstede, (dalam Suwardoyo, 2006:14), budaya adalah pemrograman kolektif atas pikiran yang membedakan anggota-anggota suatu kategori orang dari kategori lainnya. c. Menurut Boove dan Thill, (dalam Suwardoyo, 2006:15), budaya adalah system sharing atas simbol-simbol kepercayaan, sikap, nilai-nilai, harapan dan norma-norma untuk berperilaku. Dalam hal ini, semua anggota dalam budaya memiliki asumsi yang serupa tentang bagaimana seseorang berpikir, berperilaku dan berkomunikasi serta cenderung untuk melakukan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut. d. Menurut Murphy dan Hildebrant, (dalam Suwardoyo, 2006:15), budaya diartikan sebagai tipikal
karakteristik
perilaku
dalam
suatu
kelompok.
Pengertian
tersebut
juga
mengindikasikan bahwa komunikasi verbal dan nonverbal dalam suatu kelompok juga merupakan tipikal dari kelompok tersebut dan cenderung unik atau berbeda dengan yang lainnya. e. Menurut Mitchell, (dalam Suwardoyo, 2006:15), budaya mrupakan seperangkat nilai-nilai inti, kepercayaan, standar, pengetahuan, moral, hukum dan perilaku yang disampaikan seseorang dalam bertindak, berperasaan dan memandang dirinya serta orang lain Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. 2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai Budaya
Menurut Munandar Sulaiman (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan perkembangan nilai budaya adalah :
A. Jarak komunikasi antara kelompok etnis. Masih terdapat jarak komunikasi antara kelompok etnis, hal yang sering menimbulkan konflik budaya seseorang yang bergerak dari satu kelompok etnis ke kelompok etnis yang lain. Contoh migdrasi ke kelompok etnis yang berbeda mungkin menimbulkan pergeseran sistem nilai budaya yang sudah ada di daerah kelompok etnis penduduk asli, misalnya menganggap rendah status etnis pendatang (negatif), tetapi mungkin juga etnis pendatang menjadi penggerak pembangunan di daerah kelompok etnis penduduk asli (positif). Sehingga disinilah pentingnya budaya mengucap salam di laksanakan,agar tidak terjadi jarak antar sesam,serta tidak ada yang saling merendahkan. B. Pelaksanaan pembangunan, Pelaksanaan pembangunan yang terus menerus akan dapat merubah sistem nilai ke arah yang positif dan negatif. Adapun sistem nilai yang bersifat positif dan negatif tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini: 1) Pergeseran sistem nilai yang mengarah ke perbaikan antara lain : a) Pola hidup tradisional, dan bertaraf lokal yang berbau mistis, berubah menjadi pola hidup modern bertaraf nasional-internasional yang berbasis ilmu pengetahuan dan teklnologi. b) Pola hidup sederhana yang hanya bergantung pada alam lingkungan, meningkat menjadi pola hidup modern yang mampu menguasai alam lingkungan dengan dukungan prasarana dan sarana serta teknologi.
c) Pola hidup makmur yang hanya kecukupan sandang, pangan, dan perumahan meningkat menjadi pola hidup makmur dan juga sehat, teratur, bersih dan senang serta aman sesuai dengan standar menurut ilmu pengetahuan dan teknologi. d) Kemampuan kerja yang hanya berbasis kekuatan fisik dan pengalaman, meningkat menjadi kemampuan kerja berbasis keahlian, dan ketrampilan yang didukung teknologi. 2) Pergeseran sitem nilai yang mengarah negatif antara lain : a) Penggusuran hak milik seseorang untuk kepentingan pembangunan tanpa prosedur hukum yang pasti dan tanpa ganti kerugian yang layak, bahkan tanpa ganti kerugian sama sekali. b) Mengurangi atau meniadakan arti kemanusiaan seseorang memandang manusia sebagai obyek sasaran yang selalu dikenai penertiban, serta hak asasinya tidak dihargai. c) Tindakan sewenang-wenang dan tidak ada kepastian hukum dalam hubungan antara penguasa/pejabat/majikan dengan rakyat bawahan/ buruh. C. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menimbulkan konflik dengan tata nilai budaya yang sudah ada, perubahan kondisi kehidupan manusia, sehingga manusia bingung sendiri terhadap kemajuan yang telah diciptakan. Hal ini merupakan akibat sifat ambivalen teknologi yang selain memiliki segi positif, juga memiliki segi negatif.Sebagai dampak negatif teknologi, manusia menjadi resah. Keresahan manusia muncul akibat adanya benturan nilai teknologi modern dengan nilai-nilai tradisional (konvensional). Ilmu pengetahuan dan teklnologi berpihjak pada suatu kerangka budaya. Kontak budaya yang ada dengan budaya asing menimbulkan perubahan orientasi budaya yang mengakibatkan perubahan sistem nilai budaya. 2.3.3 Budaya Salam
Mengucapkan salam dan menjawabnya merupakan adab kepada saudara sesama muslim. Adab ini begitu penting sebab ia menjadi sebab meningkatkan rasa persaudaraan dan menentramkan hati di antara mereka. Berkaitan dengan adab bermu’amalah dengan sesamanya, Rasulullah SAW bersabda: “Hak seorang Muslim kepada saudara Muslim lainnya ada lima yaitu; menjawab salam, mendo’akan ketika bersin, memenuhi undangannya, menjenguk ketika sakit dan mengantarkan jenazah.” (Bahrisy, 2005:29). Syeikh Nawawi bin Umar al-Bantani (2007:98) menegaskan, bahwa menyebarkan salam di antara sesama saudara Muslim dapat melanggengkan rasa cinta di antara mereka dan merupakan penghormatan terhadap agama. Itulah sebabnya, agama Islam menganjurkan kepada umatnya, apabila memasuki suatu majelis atau bertemu sejumlah rombongan saudara muslim, disunnahkan untuk memulai mengucapkan salam. Hikmahnya adalah, agar tetap ada rasa persaudaraan yang dapat mereduksi rasa permusuhan., dan orang yang dapat meredam rasa permusuhan adalah salah satu ciri orang yang memiliki kecerdasan spritual yang tinggi. Rasulullah SAW. mengingatkan: “Ucapkaan salam, sebelum engkau memulai pembicaraan.” (Bahrisy, 2005:72). Terkadang dalam suatu majelis atau rombongan orang banyak, terjadi interaksi komunikasi atau perdebatan. Jika tidak disadari oleh rasa Ukhuwah Islamiyah, setan mudah mengadu-domba. Dalam teori psikologi massa, (Al Farabi, 2006:79) pada saat seseorang berada dalam kelompok massa, nalar bisa berkurang. Dan orang mudah disulut rasa dendam dan marahnya. Di sinilah pentingnya etika mengucapkan salam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. agar disunnahkan mengucapkan salam kepada saudara muslim baik berjumlah perseorangan maupun secara berkelompok, agar persaudaraan Islamnya tetap terjaga. Tidak direduksi oleh tendensi-tendensi ego pribadi.
Sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW., ketika seorang muslim mengendarai kendaraan disunnahkan memulai mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, dan jika berjalan ia disunnahkan mengucapkan kepada saudaranya yang sedang duduk, sedangkan jika dua rombongan bertemu, rombongan yang jumlahnya kecil disunnahkan memulainya (Bahrisy, 2005:74). Di samping memperkuat rasa ke-Islamannya, salam merupakan terapi untuk menghilangkan sifat sombong, melatih diri untuk bersikap tawadlu’. Menurut Syeikh Nawawi alBantani (2007:110), inti sikap tawadlu’ adalah memulai salam. Berdasarkan hal itu, maka tidak ada keharusan seorang guru menunggu ucapaan salam muridnya, atau seorang pemimpin menanti bawahannya memulai mengucapkan salam. Jika mereka bertemu, seorang guru hendaknya tidak segan untuk memulai mengucapkan salam. Begitu pula seorang pemimpin. Rasulullah SAW telah memberi contoh hal tersebut, ia mengucapkan salam kepada seorang anak kecil jika bertemu. Adapun kelebihan-kelebihan dalam mengucapkan salam menurut hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Buchari dan Muslim dari Abu Huraira R.A, (Bahrisy, 2005:78) di antaranya: 1.
Allah satukan hati mereka yang mengucapkan salam sehingga tumbuhlah rasa cinta dan kasih sayang serta hilanglah kebencian dan murkah Allah. Sabda Nabi, “Demi Dzat yang diriku dalam genggamanNya, mereka tidak masuk surga sehingga mereka beriman, dan mereka tidak beriman sehingga mereka saling menyinta. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang jika kamu mengerjakannya kamu saling menyinta? Sebarkan salam di kalangan kamu.”
2.
Salam yang merupakan alat penghormatan kaum muslimin, bahkan lebih menegaskan bahwa agama mereka adalah agama damai dan aman, serta mereka adalah penganut salam (perdamaian) dan pencinta damai. Dalam hadis Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah menjadikan salam sebagai penghormatan bagi umat kami dan jaminan keamanan untuk kaum zimmah kami.”
3.
Terhindar dari sifat sombong, Sabda Nabi: "Orang-orang yangg mendahului salam terlepas daripada sifat sombong, congkak dan tinggi diri.
4.
Menjadi umat Nabi Muhammad penghuni surga. Sabda Rasulullah SAW.:"Sesungguhnya di dalam syurga itu terdapat kamar yang bermacam-macam, semuanya boleh dilihat dari luar isi dalamnya dan dari dalam boleh lihat diluar. Di dalam syurga itu terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata, yang belum didengar oleh telinga dan tidak pernah dibayang oleh hati manusia."Lalu bertanya pula sahabat: "Ya Rasulullah, untuk siapakah kamar-kamar itu?" Sabda Rasulullah saw: "Baginya disedikan khusus orang-orang yang menyampaikan salam. Di samping kelebihan-kelebihan dari mengucapkan salam, ada pula kekurangannya di
antaranya: 1. Mengucapkan salam tidak boleh dilakukan disembarangan tempat, misalnya; di WC/Kamar mandi, di saat orang sedang sholat, atau kepada orang yang bukan muslim. 2. Salam tidak boleh diucapkan dengan suara teriakan atau bermain-main, atau dengan ucapan-ucapan yang kurang sempurna. 3. Salam merupakan do’a keselamatan. Itulah sebabnya tidak boleh diucapkan ketika menyaksikan orang yang sedang berbuat kejahatan atau kemaksiatan. Sebab hal itu sama
saja dengan menyetujui perbuatan maksiat yang sedang mereka lakukan. (Bahrisy, 2005:81) Memulai mengucapkan salam adalah sunnah sedangkan menjawabnya adalah wajib. Budaya salam ini merupakan budaya sunnah yang melahirkan nilai-nilai hikmah, nilai-nilai moral dan potensi spiritual anak, menguatkan rasa ukhuwah sesama muslim dan melatih diri anak-anak untuk beriskap tawadlu’. Itulah sebabnya, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (2006:67) menjelaskan aturan salam tersebut. Bahwa memulai mengucapkan salam adalah sunnah, kecuali kepada orang musyirk dan kafir. Juga salam kepada wanita yang bukan muhrim dimakruhkan karena dikhawatirkan akan menimbukan fitnah. Salam adalah ungkapan do’a kepada sesamanya, makanya tidak diperkenankan diucapkan kepada orang kafir. Salam itu sebuah konsep yang khusus berlaku untuk sesama Muslim. Rasulullah SAW melarang mengucapkan salam kepada non-Muslim “Janganlah kamu memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani,” Bersabda Rasulullah SAW. sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim. Di tempat yang lain beliau memberi arahan: “Apabila ada Ahlul Kitab mengucapkan salam kepadamu maka, jawablah dengan; “alaykum”. (Bahrisy, 2005:75). Jawaban ‘alaykum’ saja memberi arti bahwa, kita tidak mendoakan kepadanya. Padahal bila sesama muslim yang mengucapkan salam, diutamakan kita menjawab dengan tambahan doa, misalnya wa’alaykum salam ‘warahmatullahi wabarakatuh’, atau cukup dengan ‘wa’alaykum salam warahmah’. Bahkan kita bisa menambah dengan kalimat doa lainnya, misalnya, wa’alaykum salam warahmatullahi wabarakatuh wamaghfiratuhu’. Hal ini memberi petunjuk, bahwa memang salam itu adalah konsep Islam yang bertujuan untuk menguatkan rasa persaudaraan sesama muslim. Itulah sebabnya, biasakanlah memberi salam kepada saudara sesama muslim di manapun berada, terutama membiasakannya pada usia masih anak-anak.
Sebab dengan menebarkan salam, hidup akan terasa saling mencintai dan memiliki solidaritas sesamanya. Hal inilah yang ingin peneliti tanamkan pada anak usia dini agar dalam jiwa mereka akan tertanam rasa persaudaraan dan solidaritas yang tinggi serta merupakan salah satu langkah bagi pengembangan potensi spritual anak. Berdasarkan uraian di atas dapatlah dipahami, bahwa salam bukan sekedar ungkapan kasih-sayang, tetapi memberikan juga alasan dan logika kasih-sayang yang di wujudkan dalam bentuk doa pengharapan agar orang tersebut selamat dari segala macam duka-derita. Oleh karenanya, mengucapkan salam harus dibiasakan pada anak usia dini, sehingga akan memberikan pengalaman belajar yang lebih baik ke arah pendidikan religi dan moral bagi anak. Dalam teori behavioristik (Laxwin, 2008:43) menyebutkan bahwa perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman dan pembiasaan. Dengan demikian, salah satu upaya meningkatkan kecerdasan spritual anak adalah dimulai dari membudayakan mengucapkan salam. Hal ini dimaksudkan agar sejak dini anak sudah belajar dari pengalaman yang didapatinya di lingkungan tempat tinggalnya atau dari pembiasaan yang dicontohkan oleh orang tua di rumah dan diajarkan oleh guru di sekolah. Pembiasaan harus dimulai dari sejak dini agar pembentukan prilaku anak dapat terwujud secara maksimal. Membangun pondasi kecerdasan spritual anak yang kuat dapat dimulai dengan hal yang paling sederhana, seperti membudayakan mengucapkan salam. Sebab dalam kehidupannya anak akan selalu berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, bahkan pola-pla interaksi yang berkembang pada masa usia dini akan menjadi kerangka dasar bagi perkembangan dan perilaku anak selanjutnya (Tridhonanto, 2010:15) Salam mengingatkan kita bahwa kita semua bergantung kepada Allah SWT. Tak satupun makhluk yang bisa mencelakai atau memberikan manfaat kepada siapapun juga tanpa perkenan
Allah SWT. Karena itu, Nabi Muhammad
SAW, sangat
menekankan penyebaran
pengmengucapkan salam antar sesama Muslim dan beliau menyebutnya sebagai perbuatan baik yang paling utama di antara perbuatan-perbuatan baik yang bisa kerjakan oleh manusia. Hal inilah yang harus dibiasakan oleh orang tua dan guru, agar tercipta anak usia dini yang tidak hanya berperilaku baik, namun yang lebih penting adalah dekat dengan penciptanya. Dengan demikian, melalui pembiasaan salam anak akan belajar mengawali interaksi yang baik dengan sesamanya. Ada beberapa hadits Nabi Muhammad SAW, yang menjelaskan pentingnya mengucapkan salam antar seluruh Muslim, di antaranya: Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Kamu tidak dapat memasuki Surga kecuali bila kamu beriman. Imanmu belumlah lengkap sehingga kamu berkasih-sayang satu sama lain. Maukah kuberitahukan kepadamu sesuatu yang jika kamu kerjakan, kamu akan menanamkan dan memperkuat kasih-sayang di antara kamu sekalian? Tebarkanlah mengucapkan salam satu sama lain, baik kepada yang kamu kenal maupun yang belum kamu kenal." (Muslim) Abdullah bin Amr RA mengisahkan bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah amalan terbaik dalam Islam?” Rasulullah SAW menjawab: Berilah makan orang-orang dan tebarkanlah mengucapkan salam satu sama lain, baik kamu saling mengenal ataupun tidak.” (Sahihain) Abu Umammah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Orang yang lebih dekat kepada Allah SWT adalah yang lebih dahulu memberi Salam.” (Musnad Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi).Abdullah bin Mas’ud RA meriwayatkan Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Salam adalah salah satu Asma Allah SWT yang telah Allah turunkan ke bumi, maka tebarkanlah salam. Ketika seseorang memberi salam kepada yang lain, derajatnya ditinggikan
dihadapan Allah. Jika jama’ah suatu majlis tidak menjawab mengucapkan salamnya maka makhluk yang lebih baik dari merekalah (yakni para malaikat) yang menjawab mengucapkan salam.” (Musnad Al Bazar, Al Mu’jam Al Kabir oleh At Tabrani) Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang kikir yang sebenar-benarnya kikir ialah orang yang kikir dalam menyebarkan Salam.” Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 86: “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan maka balaslah dengan penghormatan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah akan memperhitungkan setiap yang kamu kerjakan. Demikianlah Allah SWT memerintahkan agar seseorang membalas dengan ucapan yang setara atau yang lebih baik. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hathim. Suatu hari ketika Rasulullah SAW sedang duduk bersama para sahabatnya, seseorang datang dan mengucapkan, “Assalaamu’alaikum.” Maka Rasulullah SAW pun membalas dengan ucapan “Wa’alaikum salaam wa rahmah” Orang kedua datang dengan mengucapkan “Assalaamu’alaikum wa rahmatullah” Maka Rasulullah membalas dengan, “Wa’alaikum salaam wa rahmatullah wabarakatuh”. Ketika orang ketiga datang dan mengucapkan “Assalaamu’alaikum wa rahmatullah wabarakatuhu.” Rasulullah SAW menjawab: ”Wa’alaika”. Orang yang ketiga pun terperanjat dan bertanya, namun tetap dengan kerendah-hatian, “Wahai Rasulullah, ketika mereka mengucapkan salam yang ringkas kepadamu, Engkau membalas dengan salam yang lebih baik kalimatnya. Sedangkan aku memberi Salam yang lengkap kepadamu, aku terkejut Engkau membalasku dengan sangat singkat hanya dengan wa’alaika.” Rasulullah SAW menjawab, “Engkau sama sekali tidak
menyisakan ruang bagiku untuk yang lebih baik. Karena itulah aku membalasmu dengan ucapan yang sama sebagaimana yang di jabarkan Allah di dalam Al-Qur’an.” Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, membalas salam dengan tiga frasa (anak kalimat) itu hukumnya Sunnah, yaitu cara yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Kebijaksanaan membatasi salam dengan tiga frasa ini karena salam dimaksudkan sebagai komunikasi ringkas bukannya pembicaraan panjang. Oleh karena itu, sudah sepatutnya salam itu diajarkan pada anak sejak dini sebagai upaya meningkatkan kecerdasan spritual mereka. Sebab di samping bahasa dan pengucapannya yang ringkas dan sederhana serta sesuai dengan tahap perkembangan anak, salam merupakan salah satu cerminan nilai moral yang sangat tinggi. Hal ini seperti yang tercantum dalam firman Allah SWT di dalam Surat An-Nur ayat 27: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuk ke dalam rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Demikianlah yang baik untukmu agar kamu selalu ingat meminta izin dan memberi salam” Di dalam ayat ini Allah SWT menggunakan kalimat yang sederhana namun mulia. Dengan demikian Al-Qur’an mengajarkan etika saling menghormati. Disini secara tidak langsung kita diperintah untuk saling memberi salam. Tidak adanya subyek menunjukkan bahwa hal saling memberi salam adalah kebiasaan normal dan wajar yang selalu dilakukan oleh orangorang beriman. Tentu saja yang mengawali mengucapkan salamlah yang lebih dekat kepada Allah SWT sebagaimana sudah dijelaskan diatas. Hal seperti inilah yang ingin peneliti harapkan tumbuh dalam jiwa anak usia dini agar mereka dekat dengan pencipatnya, serta secara tidak langsung kecerdasan spritual anak akan tumbuh tanpa disadari oleh anak itu sendiri.
Hasan Basri mengatakan bahwa, mengawali mengucapkan salam sifatnya adalah sukarela, sedangkan membalasnya adalah kewajiban” Disebutkan di dalam Muwattha’ Imam Malik, diriwayatkan oleh Tufail bin Ubai bin Ka’ab bahwa, Abdullah bin Umar RA biasa pergi ke pasar hanya untuk memberi salam kepada orang-orang disana tanpa ada keperluan membeli atau menjual apapun. Ia benar-benar memahami arti penting mengawali mengucapkan salam. Pada bagian kalimat terakhir Surat An-Nisa ayat 86, Allah SWT berfirman: “… Sesungguhnya Allah akan memperhitungkan setiap yang kamu kerjakan. Disini, mendahului memberi salam dan membalasnya juga termasuk yang diperhitungkan. Maka kita hendaknya menyukai mendahului memberi salam. Sama halnya kita harus membalas salam demi menyenangkan Allah SWT dan menyuburkan kasih-sayang di antara kita semua”. Rasulullah SAW selanjutnya memberikan arahan bahwa etika memberi salam adalah sebagai berikut: 1. Orang yang berkendaraan harus memberi salam kepada pejalan-kaki. 2. Orang yang berjalan kaki memberi salam kepada yang duduk. 3. Kelompok yang lebih sedikit memberi salam kepada kelompok yang lebih
banyak
jumlahnya. 4. Yang meninggalkan tempat memberi salam kepada yang tinggal. 5. .Ketika pergi meninggalkan atau pulang ke rumah, ucapkanlah salam meski tak seorangpun ada di rumah (malaikat yang akan menjawab). 6. Jika bertemu berulang-ulang maka ucapkan salam setiapkali bertemu.
Pengecualian kewajiban menjawab salam:
1. Ketika sedang salat. Membalas mengucapkan salam ketika salat membatalkan salatnya. 2. Khatib, orang yang sedang membaca Al-Qur’an, atau seseorang yang sedang mengumandangkan Adzan atau Iqamah, atau sedang mengajarkan kitab-kitab Islam. 3. Ketika sedang buang air atau berada di kamar mandi. Selanjutnya, Allah SWT menerangkan keutamaan salam di dalam surat Al-An’aam ayat 54: “Jika orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami (Al-Qur’an) datang kepadamu, ucapkanlah “Salaamun’alaikum (selamat-sejahtera bagimu)”, Tuhanmu telah menetapkan bagi diri-Nya kasih-sayang. (Yaitu) Bahwa barangsiapa berbuat kejahatan karena kejahilannya (tidak tahu/bodoh) kemudian ia bertaubat setelah itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Berdasarka ayat Al Qur’an di atas dapat dipahami bahwa, Allah SWT memerintah Nabi Muhammad SAW sehubungan dengan orang-orang beriman yang miskin, yang hampir semuanya menumpang tinggal di tempat para sahabat. Walaupun orang-orang kafir yang kaya meminta agar Rasulullah SAW mengusir para dhuafa’ itu supaya orang-orang kaya itu bisa bersama Rasulullah, Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyambut para dhuafa’ Muslim itu dengan ‘Assalamu ‘alaikum’ pada sa’at kedatangan mereka. Hal ini mengandung dua arti: Pertama, menyampaikan penghormatan dari Allah SWT kepada mereka. Ini adalah kehormatan dan penghargaan yang tinggi bagi Muslim yang miskin dan tulus hati. Perlakuan ini menguatkan hati dan menambah semangat mereka. Arti ke-dua, menyampaikan sambutan yang baik yang pantas mereka terima, atas izin Allah SWT, dengan nyaman, damai dan tenang, meskipun jika mereka membuat beberapa kesalahan.
Salam merupakan ucapan Islam antara sesama kaum muslimin. Anak akan bertemu dengan semua orang dengan umur yang berbeda. Maka, ia perlu mengenal bagaimana dapat membuka pembicaraan dengan mereka. Dapat kita simak beberapa cara yang lembut dari Rasulullah saw. Dan para sahabat beliau dalam menanamkan sunnah salam ini dalam jiwa seorang anak. Imam bukhari dan muslim meriwayatkan bahwa ia pernah melintasi sekumpulan anak kecil lalu memberi salam kepada mereka. sesudah itu Ibnu Abbas berkata,”Rasulullah beliau juga melakukan hal yang demikian.” Baru saja kita sebutkan hadits Anas ra. Yang mengatakan ,” Rasulullah SAW. datang dan member salam kepada anak-anak kecil yang sedang bermain.” AlHadits Ibnu Hajar mmberikan komentar dan penjelasan tentang hadits di atas sebagai berikut: Hadits
ini
diriwayatkan
oleh
Nasa’i
melalui
jalur
Ja’far
Bin
Sulaiman
dengan
redaksi,”Rasulullah SAW. Mengunjungi kaum Anshar lalu beliau mengucapka salm kepada anak-anak mereka. Mengusap kepala mereka dan mendoakan kebaikan buat mereka. Kejadian ini benar-benar terasa dan terjadi lebih dari sekali, berbeda dengan konteks hadits yang mengatakan,”Rasulullah SAW. Melewati sekumpulan anak kecil lalu memberi salam kepada mereka.” Imam Muslim, Nasa’I dan Abu Dawud meriwayatkan melalui jalur Sulaiman Bin Mughirah dengan menggunakan kata Ghilman sebagai ganti dari kata Shibyan ( anak-anak). Sedangkan Ibnu Sunni, dalam kitab ‘Amalul Yaum Wal Lailah. Menampilkan hadits melalui Utsman
Bin
Mathar
dari
Tsabit
dengan
lafalnya.
Lalu
beliau
mengucapkan
“Assalamu’alaikum,wahai anak-anak.” Sedangkan dalam riwayatAbu Dawud melalui Humaid dari Anas disebutkan,”Rasulullah sampai kepada kami,sedangkan waktu itu kami masih kanakkanak. Beliau memberi salam kepada kami dan menyuruhku hingga aku datang.” Al-Hafz
selanjutnya mengatakan,”dikecualikan jika salam kepada anak itu dikhawatir justru menimbulkan fitnah. Dalam keadaan seperti ini salam tidak disyariatkan. Lebih lagi jika anak yang diberi salam itu sendirian dan sudah baligh. Adapun salam seorang anak kepada kedua orang tua atau kepada orang-orang dewasa justru mesti dibiasakan agar ia memberikan salam terlebih dahulu. Khusus jika masuk ke dalam rumah. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah bersabda,”yang berkendaraan member salam kepada yang berjalan kaki,yang berjalan kaki kepada yang duduk, dan yang sedikit kepada yang banyak.” Dalam riwayat lain, yang muda member salam kepada yang tua. Tirmidzi meriwayatkan dari Anas ra. Bahwa ia berkata , Rasulullah bersabda, “wahai anakku , jika engkau masuk ke dalam rumah orang tuamu maka ucapkanlah salam, karena hal itu menjadi berkah bagimu dan juga bagi keluargamu.” (Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih) Langkah-langkah yang perlu dilakukan guru dalam membudayakan mengucap salam menurut Jalaluddin (2008:78) terdiri dari tiga tahapan. Pertama, tahap persiapan, dengan sub kegiatan; (a) menyampaikan mengucapkan salam yang benar, (b) menyampaikan tujuan khusus mengucapkan salam, (c) menjelaskan makna mengucapkan salam, dan (d) menyampaikan hukum memberi dan menjawab salam. Kedua, pelaksanaan demonstrasi, dengan sub kegiatan; (a) mengenalkan mengucapkan salam dari yang paling sederhana (Assalamu ‘Alaikum) sampai pada tingkat kesempurnaan (Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh), (b) menyuruh anak mengucapkan salam dengan benar baik secara kelompok maupun peorangan, dan (c) memperbaiki ucapan-ucapan salam anak yang belum sempurna. Ketiga, mengakhiri kegiatan demonstrasi anak dalam mengucapkan salam.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dipahami, bahwa agar mengucapkan salam ini dapat membudaya di tengah-tengah masyarakat muslim khususnya kepada anak-anak usia dini/TK, maka sangat diperlukan kompotensi guru untuk menanamkan pembiasaan salam kepada anak. Hal ini sudah dilakukan secara profesional oleh guru, sehingga ucapan salam ini sudah membudaya pada anak,khususnya anak di TK Negeri Pembina Kecamatan Dungingi.