BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Teori Modernisasi Dove Budaya Tradisional dan Pembangunan di Indonesia Teori ini melihat interaksi antara kebijaksanaan pembangunan nasional Indonesia dan aneka ragam budaya lokal yang terdapat di Indonesia. Dove dengan tidak ragu-ragu menyatakan bahwa budaya tradisional tidak harus berarti terbelakang. Budaya tradisional sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi,social dan politik dari masyarakat pada tempat mana budaya tradisional tersebut melekat. Bagi Dove budaya tradisional selalu mengalami perubahan yang dinamis, dan oleh karena itu budaya tradisional tidak mengganggu proses pembangunan (Suwarsono, 1994:62). Dove menyarikan dengan singkat sikap dan pandangan yang salah dari kebanyakan ilmuwan sosial dan pengelola pembangunan di Indonesia.menurut Dove, mereka melihat budaya tradisional sebagai tanda keterbelakangan dan sebagai penghambat tercapainya kemajuan sosial ekonomis. Paling baik, budaya tradisional dilihatnya sebagai kekayaan nasional yang tidak berharga, dan yang lebih sering budaya tradisional sering dianggap sebagai faktor yang mengganggu proses modernisasi atau paling tidak budaya tradisional sering dianggap sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap kegagalan modernisasi. Jika demikian halnya, tidak heran jika kebanyakan ilmuwan sosial dan perencaan pembangunan Indonesia selalu berusaha melakukan devaluasi, depresiasi, atau bahkan eliminasi dari keseluruhan bentuk dan isi budaya tradisional.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kajian Dove menyatakan bahwa budaya tradisional sangat dan selalu berkait dengan proses pembangunan ekonomi, sosial dan politik dimana budaya tradisional tersebut melekat. Dalam penelitiannya Dove mengkategorikan dalam empat kelompok yaitu agama tradisional (ideologi), ekonomi, lingkungan hidup, dan perubahan sosial. Keempat aspek tersebut memberikan manfaat fungsional bagi masyarakat yang menganut sistem tradisional tersebut sehingga terkadang peraturan dan perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap masyarakat penganut sistem tradisional tersebut menjadi tidak tepat dan mengganggu kestabilan dan kelangsungan hidup masyarakat tersebut. Secara ringkas penelitian Dove menunjukkan bahwa budaya tradisional tidak harus selalu ditafsirkan sebagai faktor penghambat pembangunan. (http://setanflorescreativity.blogspot.com/2010/11/perubahan-sosial-danpembangunan.html diakses tanggal 28-01-2011 pukul 11.50) Sikap negatif pemerintah Indonesia tidak hanya terlihat pada pandangannya tentang sistem kepercayaan tradisional, seperti misalnya apa yang disebut dengan pertanian ladang, usaha mengumpulkan sagu dan usaha bertani berpindah-pindah. Pada dasarnya pemerintah Indonesia melihat ketiga jenis usaha ekonomis tersebut sebagai usaha yang tidak efisien, dank arena itu tidak dapat dikembangkan lebih jauh untuk keperluan mendukung proses modernisasi, dan jika demikian halnya maka tidak ada manfaat ekonomis yang diperoleh untuk mempertahankan model ekonomi tersebut. Pasar tradisional juga merupakan salah satu sistem ekonomi yang masih bersifat tradisional. Pemerintah merasa model seperti ini tidak akan membawa perkembangan kemajuan untuk sistem ekonomi di Indonesia. Apalagi keberadaanyya seringkali dirasa
Universitas Sumatera Utara
mengganggu sebab seringkali lokasinya berada di tempat yang tidak semestinya. Pasar tradisional dipandang sebagai daerah yang kumuh dan ruwet, yang telah menyebabkan rusaknya keindahan kota serta menimbulkan kemacetan lalu lintas perkotaan. Oleh karenanya, pasar tradisional ini harus disingkirkan jauh-jauh dari kota melalui proses relokasi. Namun seringkali upaya untuk merelokasikan pasar tradisional ke tempat yang telah direncanakan oleh pemerintah menuai kegagalan. Para pedagang yang telah direlokasikan tidak lama kemudian kembali lagi ke lokasi awal mereka berdagang. Hal ini merupakan salah satu hal dari kegagalan proses pembangunan yang sering terjadi di Indonesia. Biasanya yang menjadi penyebab kegagalan seperti itu adalah: 1. Pembangunan tidak membawa manfaat yang jelas bagi masyarakat dan orang banyak 2. Pembangunan itu bukan keinginan dan kebutuhan rakyat yang mendasar 3. Tidak ada perencanaan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang 4. Pembangunan itu lebih bersifat program untuk mencari keuntungan bagi para aparatnya, melalui program yang asal jadi. Pembangunan di Indonesia sebagaimana gejala umum yang terjadi di hampir semua Negara di dunia tidak lepas dari berbagai masalah pembangunan. Masalahmasalah pembangunan yang muncul tersebut menyebabkan banyak dampak yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pembangunan. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pembangunan. Dari sekian banyak penyebab yang ingin dikemukakan di sini adalah faktor kepemimpinan pemerintah dalam pembangunan. Kepemimpinan pemerintah yang buruk dalam menjalankan upaya pembangunan dalam masyarakat sudah tentu akan membawa masyarakat ke arah
Universitas Sumatera Utara
kegagalan pembangunan atas diri mereka. Dalam bidang politik tidak ada upaya pemberdayaan masyarakat untuk terlibat memberikan suara (aspirasinya) dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Dalam bidang pendidikan tidak ada upaya pelayanan pendidikan yang maksimal 2.2. Dampak Relokasi Pasar Tradisional bagi Pembangunan Pembangunan fisik biasanya menjadi prioritas utama dalam berbagai program pembangunan yang dilakukan. Sehingga berimplikasi pada tidak humanisnya suatu program pembangunan. Membangun dan menggusur menjadi dua hal yang tak terpisahkan dalam perkembangan kota dewasa ini. Pembangunan melalui penggusuran merupakan sebuah kebijakan yang tidak memperhatikan kaum marginal sebagai warga Negara yang berhak dilindungi. Sepertinya pembangunan dalam perspektif konvensional masih mendominasi berbagai kebijakan yang menyangkut kaum marginal saat ini. Walaupun pembangunan tipe itu sudah tidak relevan diterapkan dewasa ini. Tingginya angka kemiskinan dan meningkatnya tingkat urbanisasi di berbagai kota besar di Indonesia mendorong lahirnya PKL. Menjadi masalah karena keberadaan PKL menimbulkan dampak tersendiri dari aspek tata ruang kota. Ide penanganan PKL dengan relokasi menjadi salah satu solusi yang terbaik dalam penanganan PKL yang tidak mematikan hak hidup masyarakat miskin tetapi memberi ruang untuk hidup dalam bingkai keteraturan dan ketertiban. Pada dasarnya merelokasi kegiatan PKL ke suatu tempat merupakan hal yang sering dilakukan oleh pemerintah Kota/Kabupaten. Namun, keputusan relokasi ke tempat lain seringkali sepihak dari Pemerintah Kota sehingga setelah para pedagang pindah ke tempat yang baru pendapatan pedagang tersebut merosot. Akibatnya para pedagang
Universitas Sumatera Utara
kembali lagi ke tempat semula atau mencari lokasi lain yang dianggap dapat menggantikan lokasi yang lama. Hal ini menimbulkan masalah baru, karena para pedagang menciptakan kantong-kantong PKL yang baru yang tidak sesuai dengan kondisi tata ruang kota (Limbong, 2006:283). Di Indonesia, hal itu disebabkan karena penyebaran penduduk yang tidak merata dan tingkat urbanisasi yang sangat tinggi. Tingkat pendapatan buruh tani di pedesaan yang sangat rendah dan upah buruh di masyarakat industri yang belum mencapai UMR. Gulungtikarnya perusahaan-perusahaan besar telah menyebabkan angka pengangguran yang sangat tinggi. Ditambah lagi dengan oportunisme di kalangan elit politik, telah menyebabkan ketidak stabilan di bidang politik. Hal-hal ini telah menyebabkan terpuruknya ekonomi rakyat dan mempercepat pemerataan kemiskinan masyarakat Indonesia. Untuk perubahan sosial-ekonomi dibutuhkan aparatur negara yang bersih dan pendidikan masyarakat yang memadai. (http://gordonstevensijabat.wordpress.com/2009/03/27/sosiologi-pembangunan/
diakses
tanggal 22-12-2010 pukul 11.00) Pemerintah Kota/Kabupaten merelokasikan pasar tradisional dengan beberapa alasan. Alasan yang paling utama adalah untuk pembangunan yaitu demi terciptanya tata kota yang rapi dan indah. Namun perelokasian tersebut sudah pasti menuai pro dan kontra dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Apalagi banyak dampak yang bisa ditimbulkan dari dan selama proses relokasi tersebut. Dampak yang dirasakan bisa berupa dampak positif dan juga dampak negatif. Hal yang biasa terlihat dalam proses relokasi pasar tradisional adalah terjadinya konflik antara para pedagang dengan aparat yang
Universitas Sumatera Utara
merelokasi. Kebanyakan dari masyarakat tersebut masih berpikiran sempit dan tertutup makanya mereka sangat sulit untuk bisa menerima perubahan. Dari berbagai penjelasan di atas sangat masuk akal sekali apabila saat ini justru sektor informal ataupun pedagang kaki lima lah yang sangat banyak dilirik oleh masyarakat Indonesia. Itu sebabnya semakin banyak saja ketidakteraturan yang terjadi. Contohnya saja pasar-pasar tradisional yang keberadaannya seringkali mengganggu ketertiban dan juga tata ruang kota. Maka dari itu pemerintah merelokasikan pasar tradisional untuk mendukung pembangunan dalam tingkat kota atau kabupaten. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya sering lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagangnya sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional.
(http://indrakh.wordpress.com/2007/09/03/pasar-tradisional-di-tengah-
kepungan-pasar-modern/ diakses tanggal 20-12-2010 pukul 13.10) Di samping itu ada hal-hal lainnya yang menjadi faktor penyebab dari gagalnya proses relokasi pasar tradisional. Seperti yang dikemukakan oleh Hendi Yulianto dalam penelitiannya mengenai studi implementasi pengaturan dan pembainaan PKL dalam program relokasi PKL di wilayah Kecamatan Semarang Timur. Ia menyebutkan bahwa gagalnya program relokasi disebabkan karena: a. Di dalam implementasi suatu program, maka sosialisasi harus dilaksanakan oleh pihakpihak yang telah ditentukan, ini dapat dilihat dari kurang optimalnya sosialisasi yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dalam program Relokasi PKL ini dimana sosialisasi hanya dilakukan oleh pihak kecamatan. b. Media yang digunakan kurang beragam dimana hanya menggunakan selebaran dan menyebabkan perbedaan persepsi antara petugas dengan pedagang ditambah dengan kurangnya intensitas sosialisasi yang dilakukan sehingga pedagang tidak terlalu tahu tentang maksud dan tujuan program ini. c. Informasi yang disampaikan oleh petugas sampai pada setiap PKL kurang efektif untuk mempengaruhi PKL melaksanakan relokasi. d. Dalam hal program Relokasi PKL ini diketahui bahwa ada sebagian dari penerima menolak untuk direlokasi disebbkan tempat relokasi tidak sesuai dengan keinginan pedagang, selain itu masih minimnya sarana dan fasilitas pendukung di tempat lokasi yang baru. e. Kesadaran yang dimiliki oleh pedagang dalam melaksanakan program relokasi PKL masih kurang hal ini dapat dilihat pada dukungan yang mereka berikan untuk mensukseskan program ini masih kurang. f. Karena tindakan sosial bersifat menular maka tindakan tegas oleh petugas tersebut diatas
perlu
dijalankan
dengan
konsekuen.
(http://eprints.undip.ac.id/7652/1/D2A002034_Hendi_yulianto.pdf diakses tanggal 14-03-2011 pukul 12.50) Dampak yang muncul pasca relokasi pasar tradisional bisa berupa dampak sosial ekonomi, dampak sosial budaya dan juga dampak terhadap lingkungan. Dampak terhadap lingkungan biasanya selalu bersifat positif seperti misalnya tertatanya lingkungan menjadi lebih baik sehingga tidak ada lagi kesemrawutan; pengolahan limbah pasar; penghijauan sekitar pasar relokasi, sehingga lingkungan pasar menjadi asri dan tidak terlihat kesan kumuh.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dampak sosial ekonomi dan dampak sosial budaya ada yang bersifat positif dan ada juga yang bersifat negatif. Dampak yang bersifat positif seperti misalnya meningkatnya kelayakan dan kenyamanan usaha; terbukanya kesempatan kerja; perubahan status PKL menjadi pedagang legal; keamanan pasar lebih terjamin. Dampak negatifnya yaitu menurunnya modal dan pendapatan; meningkatnya biaya operasional; menurunnya aktifitas pasar; serta melemahnya jaringan sosial.
2.3. Pedagang Kaki Lima sebagai Salah Satu Bentuk Sektor Informal Konsep sektor informal pertama kali muncul di dunia ketiga, yaitu ketika dilakukan serangkaian penelitian tentang pasar tenaga kerja perkotaan di Afrika. Keith Hart dalam Damsar (1997:158), orang yang memperkenalkan pertama kali konsep tersebut pada tahun 1971, mengemukakan bahwa penyelidikan empirisnya tentang kewiraswastaan di Acca dan kota-kota lain Afrika bertentangan dengan apa yang selama ini diterima dalam perbincangan tentang pembangunan ekonomi. Sektor informal adalah aktifitas ekonomi yang mengambil tempat di luar norma formal dari transaksi ekonomi yang dibentuk oleh Negara dan dunia bisnis. Sector informal tidak berarti illegal. Secara umum, istilah sector informal mengacu pada usaha kecil atau mikro yang dikelola secara individual atau keluarga. (O’Hara, 2001). Karakteristik sektor informal 1. Mudah untuk dimasuki atau dilakukan 2. Bergantung pada sumberdaya asli/yang ada di sekitarnya 3. Kepemilikan usaha oleh keluarga 4. Lingkup usaha berskala kecil
Universitas Sumatera Utara
5. Padat kerja dan mengadopsi tekhnologi sederhana 6. Keahlian yang dibutuhkan bukan berasal dari system sekolah formal 7. Tidak mengikuti aturan dan pasar yang kompetitif 8. Unit kerja/usaha berada di luar jangkauan admistrasi formal yang mencakup sektor formal 9. Kebutuhan modal relatif kecil (http://blog.ui.edu/teguh1 diakses tanggal 12-09-2010) Penyebab munculnya sector informal 1. Sistem pengaturan yang berlebihan 2. Sistem pengawasan yang tidak efisien dan korup 3. Budaya kepatuhan pajak yang rendah 4. Tingginya tingkat pengangguran 5. Tingkat literasi yang rendah 6. Penghasilan yang rendah di sector public 7. Fasilitas infrastruktur yang buruk (Braun, 1994) Salah satu wujud dari sektor informal adalah kegiatan Pedagang Kaki Lima. Kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal yang mana kegiatan mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungannya dan sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya berbagai permasalahan. Menurut Mulyanto (2007), PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit) layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai cara tersendiri dalam mengelola usahanya agar mendapatkan keuntungan. PKL menjadi manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha, menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya, padahal fungsi-fungsi
Universitas Sumatera Utara
manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka dapatkan dari pendidikan formal. Kemampuan manajerial memang sangat diperlukan PKL guna meningkatkan kinerja usaha mereka, selain itu motivasi juga sangat diperlukan guna memacu keinginan para PKL untuk mengembangkan usahanya. (http://ssantoso.blogspot.com/2008/07/konsep-sektor-informal-pedagang-kaki_28.html Diakses tanggal 09-12-2010 pukul 11.40) Umumnya yang menjadi alasan mengapa seseorang menjadi PKL diantaranya karena tidak mempunyai keahlian lain selain berdagang, kemudian ada alasan lain yang cukup signifikan yakni karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Tidak adanya usaha pemerintah untuk mengembangkan kapasitas (capacity building) para tenaga kerja menyebabkan tenaga kerja yang tersedia sulit mencari alternative pekerjaan yang sesuai. Namun dengan keterampilan yang terbatas para tenaga kerja ini dapat masuk pada sektor informal sebagai penjual makanan jajanan, dan kegiatan PKL tersebut memberi secercah harapan. Pertumbuhan sektor informal yang cukup pesat tanpa ada penanganan yang baik dapat mengakibatkan ketidakaturan tata kota. Sebagaimana kita ketahui, banyak pedagang kaki lima yang menjalankan aktifitasnya ditempat-tempat yang seharusnya menjadi Public Space. Public Space merupakan tempat umum dimana masyarakat bisa bersantai, berkomunikasi, dan menikmati pemandangan kota. Tempat umum tersebut bisa berupa taman, trotoar, halte bus, dan lain-lain. Untuk mengatasi masalah sektor informal, diperlukan ketegasan dari pemerintah kota. Hal pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah kota adalah relokasi bagi para pedagang kaki lima. Pemerintah harus menyedikan tempat yang dapat digunakan mereka
Universitas Sumatera Utara
untuk berjualan. Hal tersebut ditujukan agar pedagang kaki lima tidak mengganggu kepentingan umum karena berjualan dilokasi Public Space. Selain itu, relokasi dapat menumbuhkan perasaan aman bagi pedagang karena mereka tidak perlu khawatir ditertibkan oleh aparat pemerintah. 2.4. Pasar Tradisional sebagai Pendongkrak Perekonomian Negara Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayursayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar (http://nindiyahpuspitasari.blogspot.com/2010/05/pasar-modern-dan-pasartradisional.html diakses tanggal 28-01-2011 pukul 12.35). Pasar tradisional merupakan pasar yang memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawarmenawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional. Selain keunggulan tersebut pasar tradisional juga merupakan salah satu pendongkrak perekonomian kalangan menengah ke bawah dan jelas memberikan efek yang baik bagi Negara.
Universitas Sumatera Utara
Di balik kelebihan yang dimiliki pasar tradisional ternyata tidak didukung oleh pihak pemerintah, salah satunya terlihat dari sikap pemerintah yang lebih membanggakan adanya pasar modern dari pada pasar tradisional, yaitu dengan melakukan penggusuran satu per satu pasar tradisional dengan cara dipindahkan dari tempat yang layak ke tempat yang
jauh
dan
kurang
refresentatif.
(http://njiee.blogspot.com/2010/04/pasar-
tradisional.html diakses tanggal 12-12-2010 pukul 14.10) Pasar tradisional memiliki beberapa kelemahan seperti misalnya kondisi pasar yang becek dan bau, harus melakukan tawar-menawar sebelum membeli barang yang kita inginkan, faktor keamanan yang lemah (copet, dsb), resiko pengurangan timbangan pada barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya. Tetapi pasar tradisional juga masih memiliki beberapa kelebihan seperti misalnya masih adanya kontak sosial saat tawar-menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok. Bagaimanapun juga pasar tradisional lebih menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari mulai para pedagang kecil,
kuli
panggul,
pedagang
asongan,
hingga
tukang
becak.
(http://indrakh.wordpress.com/2007/09/03/pasar-tradisional-di-tengah-kepungan-pasarmodern/ diakses tanggal 20-12-2010 pukul 13.10) 2.5. Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Penanganan PKL Upaya penggusuran terhadap PKL yang terjadi di kota Medan menimbulkan protes masyarakat bahkan melibatkan unsur mahasiswa dari perguruan tinggi negeri maupun swasta yang ada di kota ini. Para PKL mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Balai Kota Medan dengan mengancam akan menginap dengan
Universitas Sumatera Utara
membawa tikar dan berbagai alas tikar serta sarung untuk perbekalan menginap sebagai protes penggusuran PKL. Masyarakat dan unsur mahasiswa menuntut agar pemerintah mencabut Perda yang salah satunya adalah Perda No. 31 Tahun 1993 tentang Pemakaian Tempat Berjualan (Harian SIB, tanggal 27 Januari 2004). Ketentuan dalam beberapa pasal pada Perda No 31 Tahun 1993 terkesan kaku dan berpihak hanya pada pemerintah kota seperti yang terlihat dalam pasal 3 yang berbunyi: “Stand, kios atau bangunan Pemerintah Daerah baik yang pembangunannya dibiayai oleh Pemerintah Daerah maupun swadaya masyarakat yang berada di dalam kompleks pasar milik Pemerintah Daerah yang digusur, ditertibkan, dibongkar guna peremajaan Pasar atau Kota dan penertiban lainnya tidak akan diberian ganti rugi dalam bentuk apapun kepada penyewa dengan ketentuan kepada penyewa diberikan prioritas untuk memperoleh tempat berjualan di lokasi atau tempat yang diremajakan atau tempat lain yang dihunjuk oleh pemerintah daerah”. Untuk menciptakan suatu kota Medan metropolitan, maka Pemerintah Kota Medan telah menetapkan suatu Pola Dasar Pembangunan Kota Medan tahun 2001-2025 yang akan digunakan sebagai acuan dalam merencanakan kegiatan pembangunan. Pola Dasar Pembangunan Kota Medan tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 1 Tahun 2002. Kemudian, untuk pelaksanaan Perda No.1 Tahun 2002 tersebut telah ditetapkan suatu Keputusan Walikota Medan Nomor 188.342/070/K2002 tertanggal 20 Maret 2002. Pasal 2 Perda No.1 Tahun 2002 menyatakan bahwa pola dasar pembangunan Kota Medan tahun 2001-2025 merupakan pedoman dalam menetapkan peruntukan dan
Universitas Sumatera Utara
pemanfaatan tanah atau perencanaan kota bagi segenap aparatur Pemerintah Kota Medan, DPRD, Lembaga Sosial Kemasyarakatan (LSM), organisasi profesi, perguruan tinggi, dunia usaha, tokoh masyarakat, dan seluruh unsur dalam lapisan masyarakat lainnya di Kota Medan (Limbong, 2006:131). Dalam rangka menciptakan suatu pasar yang bersih yang memperhatikan aspek lingkungan maka pemerintah kota merasa perlu untuk menertibkan kegiatan berjualan di pasar-pasar yang dikelola oleh PD pasar. Penertiban ini diatur dengan menerbitkan Perda No. 31 Tahun 1993 tentang pemakaian tempat berjualan (Rahardjo, 1996:14-17).
2.6. Definisi Konsep Dalam
mengetahui penjelasan
maksud,
pengertian dan kesalahfahaman
penafsiran, maka diperlukan penguraian batasan konsep yang digunakan. Maka yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah: 1. Sektor Informal Sektor informal adalah aktifitas ekonomi yang mengambil tempat di luar norma formal dari transaksi ekonomi yang dibentuk oleh Negara dan dunia bisnis. 2. Pasar Tradisional Pasar tradisonal adalah tempat berjualan yang tradisional (turun temurun), tempat bertemunya penjual dan pembeli dimana barang-barang yang diperjual belikan tergantung kepada permintaan pembeli (konsumen), harga yang ditetapkan merupakan harga yang disepakati melalui sutau proses tawar menawar, pedagang selaku produsen menawarkan harga sedikit diatas harga standart. Pada umumnya pasar tradisional merupakan tempat penjualan bahan – bahan kebutuhan pokok (sembako).
Universitas Sumatera Utara
3. Pedagang Tradisional Yaitu pedagang atau orang yang berjualan secara tradisional atau sederhana dan lokasi berdagangnya juga di tempat-tempat yang masih sederhana seperti misalnya di pasar tradisional ataupun di lapak-lapak kaki lima. 4. Relokasi Relokasi adalah proses pemindahan suatu tempat dari lokasi yang satu ke lokasi yang lainnya dan biasanya jarak dari lokasi yang awal ke lokasi yang baru cukup jauh dan bisa mempengaruhi hal-hal yang ada di dalamnya. 5. Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah adalah sebuah keputusan yang diambil di luar pertimbangan hukum dan sifatnya mendesak. 6. Sosialisasi Sosialisasi berkaitan dengan kegiatan penyampaian informasi khususnya yang dilakukan aparat kepada masyarakat mengenai sebuah program yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu masyarakat perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan program tersebut supaya masyarakat dapat meresponnya dengan baik. Begitu juga yang terjadi dalam program relokasi pedagang, apakah karena kurang efektif dalam menyampaikan informasi tentang program yang menyebabkan pelaksanaan program mengalami hambatan.
Universitas Sumatera Utara