BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sel Bahan Bakar (Fuel Cell) Sejak ditemukan oleh ilmuwan berkebangsaan Jerman Christian Friedrich Schönbein pada tahun 1838, sel bahan bakar telah berkembang dan menjadi salah satu
sumber
energi
alternatif.
Para
ahli
kimia
dari
industri
elektronik
mengembangkan sel bahan bakar sebagai pembangkit listrik yang dimulai pada tahun 1955. Pada tahun 1958, sel bahan bakar untuk pembangkit listrik secara komersial dikembangkan pertama kalinya. Pengembangan terus berlanjut hingga pada tahun 2009 diprediksikan akan dapat menghasilkan keluaran listrik hingga 400 KW (Awaludin, 2009). Sel bahan bakar adalah alat yang menghasilkan energi listrik secara elektrokimia. Seperti halnya sel elektrokimia, sel bahan bakar memiliki anoda dan katoda. Pada anoda terdapat bahan bakar gas hidrogen. Sedangkan pada katoda terdapat gas oksigen yang digunakan sebagai oksidator. Hidrogen yang berasal dari anoda diubah menjadi ion hidrogen dan elektron. Pada katoda, oksigen direduksi dengan adanya elektron. Perbedaan potensial yang terjadi pada anoda dan katoda inilah yang menghasilkan arus listrik (Awaludin, 2009). Secara sederhana sel bahan bakar memiliki prinsip kerja seperti pada baterai. Hanya bedanya, pada pemakaian waktu yang lama sel bahan bakar ini tidak semakin menurun energi listrik yang dihasilkan seperti halnya baterai. Jenis bahan bakar ini
6
7
juga tidak perlu diisi ulang untuk mengembalikan voltasenya. Selain itu bahan bakar ini juga akan menghasilkan energi dalam bentuk listrik dan panas selama persediaan bahan bakar (Republika, 1999). Sistem sel ini memanfaatkan berbagai bahan bakar berupa hidrokarbon dari gas alam seperti metanol karena bahan bakar bekerja dalam sebuah reaksi kimia bukan pada prinsip pembakaran, tentu saja gas emisi yang dihasilkan jauh lebih kecil ketimbang kinerja mesin yang berdasarkan pada proses pembakaran yang menghasilkan emisi seminim sekalipun. (Republika, 1999). Skema sel bahan bakar dapat diliha pada gambar II.1 di bawah ini :
Gambar II.1 Skema Sel Bahan Bakar (Sarisnatiti 2012)
2.2 Hidrogen sebagai Sel Bahan Bakar Hidrogen (bahasa Latin: hydrogenium, dari bahasa Yunani: hydro: air, genes: membentuk) adalah unsur kimia pada tabel periodik yang memiliki simbol H dan nomor atom 1. Pada suhu dan tekanan standar, hidrogen tidak berwarna, tidak berbau, bersifat non-logam, bervalensi tunggal, dan merupakan gas diatomik yang sangat
8
mudah terbakar. Dengan massa atom 1,00794 sma, hidrogen adalah unsur teringan di dunia. Hidrogen dapat dihasilkan dari air melalui proses elektrolisis, namun proses ini secara komersial lebih mahal daripada produksi hidrogen dari gas alam (Muliawati, 2008). 2.3 Reaksi Reformasi Kukus Metanol Sistem terintegrasi reformasi kukus metanol (methanol steam reforming atau SRM) untuk menghasilkan hidrogen biasanya melibatkan empat reaksi di dalam tiga reaktor, yaitu dekomposisi metanol (1) dan/atau reformasi kukus metanol (2), reaksi pergeseran gas air (3), dan oksidasi selektif CO (4) (Marsih dkk, 2006). CH3OH(g) CH3OH(g) + H2O(g)
CO(g) + 2H2(g) CO2(g) + 3H2(g)
H0= 90,64 kJ/mol (1) H0 = 49,47 kJ/mol (2)
CO(g) + H2O(g)
CO2(g) + H2(g)
H0 = - 41,17 kJ/mol (3)
CO(g) + ½O2(g)
CO2(g)
H0 = - 28,3 kJ/mol (4)
Saat ini terdapat kecenderungan pengembangan sel bahan bakar yang menggunakan hidrokarbon cair sebagai sumber gas hidrogen. Salah satu hidrokarbon cair yang dapat digunakan sebagai sumber hidrogen adalah metanol. Melalui reaksi terkatalisis pada suhu tidak terlalu tinggi (200 – 400oC), metanol dapat diubah menjadi gas yang kaya dengan hidrogen. Kelebihan lainnya, metanol mudah diperoleh dan dapat dihasilkan dari sumber terbarukan. Contoh proses pembuatan metanol dari hasil ekstrak dedaunan yang mengandung methanol. Proses produksi gas hidrogen secara langsung dari hidrokarbon cair harus memenuhi beberapa syarat agar dapat diterapkan pada sel bahan bakar. Proses tersebut harus efisien, praktis, dan gas
9
yang dihasilkannya mengandung CO sangat rendah. Pada konsentrasi beberapa ppm gas CO dapat meracuni sel bahan bakar dengan mendeaktifkan katalis (terutama Pt) pada anoda (Marsih dkk, 2006). Proses dekomposisi metanol dan oksidasi parsial metanol menghasilkan produk samping gas CO. Reformasi kukus metanol menjadi alternatif terbaik untuk sintesis gas hidrogen dari metanol. Reaksi ini menghasilkan gas H2/CO2 dengan rasio mol 3:1 dan tidak menghasilkan gas CO pada suhu reaksi di bawah 300 oC. Dengan demikian, reformasi kukus metanol menjadi proses yang cocok untuk produksi hidrogen secara langsung pada sel bahan bakar pada kendaraan (Marsih dkk, 2006). Reformasi kukus metanol merupakan kebalikan reaksi sintesis metanol dari campuran gas hidrogen dan CO2. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa katalis untuk sintesis metanol juga memiliki keaktifan yang tinggi dalam reaksi kebalikannya. Katalis CuO/ZnO/Al2O3 yang secara komersial telah digunakan dalam reaksi pergeseran gas suhu rendah (low-temperature gas shift) dan sintesis metanol telah digunakan dalam reaksi reformasi kukus metanol. Katalis CuO/ZnO/Al2O3 memiliki keaktifan tinggi namun memiliki ketahanan termal rendah dan mengalami pendeaktifan selama reaksi. Pada katalis Cu/ZnO/Al2O3 yang bertindak sebagai pusat aktif adalah logam Cu (Marsih dkk, 2006). 2.4 Metode Kopresipitasi Menurut Benny (2011) metode kopresipitasi merupakan salah satu metode sintesis senyawa anorganik yang didasarkan pada pengendapan lebih dari satu
10
substansi secara bersama–sama ketika melewati titik jenuhnya. Kopresipitasi merupakan metode yang menjanjikan karena prosesnya menggunakan suhu rendah dan mudah untuk mengontrol ukuran partikel sehingga waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat. Beberapa zat yang paling umum digunakan sebagai zat pengendap dalam kopresipitasi adalah hidroksida, karbonat, sulfat dan oksalat. Produk dari metode ini diharapkan memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dan lebih homogen daripada metoda solid state dan ukuran partikel yang lebih besar dari pada metoda sol-gel Bila suatu endapan memisah dari dalam suatu larutan, endapan itu tidak selalu sempurna murninya, kemungkinan mengandung berbagai jumlah zat pengotor, bergantung pada sifat endapan dan kondisi pengendapan. Kontaminasi endapan oleh zat-zat yang secara normal larut dalam cairan induk dinamakan Kopresipitasi 2.5 Katalis CuO/ZnO/Al2O3 Para peneliti pada umumnya menyarankan agar menggunakan Cu sebagai logam aktif. Permasalahan yang terpantau dari penggunaan Cu adalah bahwa Cu mudah terdeaktivasi pada suhu tinggi. Jika ini terjadi maka ketika digunakan dalam reaksi akan terbentuk produk samping yang tidak diinginkan. Sedangkan penggunaan logam lain seperti Pd harganya sangat mahal sehingga kurang ekonomis. Padahal diharapkan katalis yang dikembangkan selain murah, mudah diperoleh, memiliki stabilitas tinggi, dan juga dapat memproduksi hidrogen setinggi-tingginya dan menekan produk samping yang tidak diinginkan. Persoalan ini dapat dipecahkan dengan memodifikasi kadar Cu dengan ZnO serta menggunakan penyangga seperti
11
Al2O3. Jung dan Joo (2002) menyarankan agar Cu dan ZnO diberikan dalam jumlah yang proporsional sehingga dapat memberikan konversi metanol dan selektivitas hidrogen yang memuaskan. Selain itu, perlu diatur rasio steam/metanol dalam umpan untuk mendapatkan produk yang maksimum (Amphlett dkk, dalam Husni, 2010). Penggunaan Al2O3 selain dapat menebarkan fasa aktif juga berfungsi sebagai pelapis ketika katalis digunakan pada suhu tinggi untuk transportasi. Dengan demikian dapat diyakini bahwa katalis CuO/ZnO/Al2O3 akan menjadi katalis steam reforming metanol untuk memproduksi hidrogen sebagai energi alternatif masa depan (Husni, 2010). Kelebihan yang dimiliki oleh alumina adalah daya tahan termal yang tinggi, daya tahan terhadap tekanan tinggi, dan luas permukaan yang besar. Luas permukaan yang besar menyebabkan fasa aktif katalis yang terdapat pada permukaan alumina menjadi lebih efisien. Daya tahan termal yang tinggi dapat mencegah terjadinya sintering fasa aktif katalis pada temperatur yang tinggi. Daya tahan pada tekanan tinggi sangat berguna untuk reaksi terkatalisa yang menggunakan tekanan tinggi (Anson, 2008). 2.6 Karakterisasi dengan Menggunakan Metode Difraksi Sinar -X Sinar-X adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang sekitar 1 angstrom (10-10). Panjang gelombang kira-kira sama dengan jarak antara atom dalam kristal. Oleh karena itu, sinar-X dapat didifraksi oleh atom-atom dalam material berbentuk kristal. Dengan mengamati pola difraksi Sinar-X yang dihasilkan
12
dari gambar maka struktur kristal material tersebut dapat ditentukan (Mikrajuddin dan Khairurrijal, 2010). Apabila suatu bahan dikenai Sinar-X maka intensitas Sinar-X yang ditransmisikan lebih kecil dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh bahan dan juga penghamburan oleh atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar yang dihantarkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasenya berbeda dan ada juga yang saling menguatkan karena fasenya sama. Berkas Sinar-X yang saling menguatkan disebut sebagai berkas difraksi (Jamaluddin, 2010). Pola difraksi Sinar-X dapat dilihat pada Gambar II.2 berikut ini :
Grafik II.2 : Difraktogram katalis Cu/ZnO/ Al2O3 (Marsih dkk, 2010). 2.7 Penentuan Morfologi Permukaan dengan Menggunakan Metode Scanning Electron Microscopy (SEM) Scanning Electron Microscopy (SEM) adalah jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambar profil permukaan benda. Elektron berinteraksi dengan atom-atom yang membentuk sampel menghasilkan sinyal yang
13
berisi informasi tentang sampel yang meliputi permukaan topografi, komposisi dan sifat lain seperti konduktivitas listrik (Nur dan Rita, 2010). Pada saat dilakukan pengamatan, lokasi permukaan benda yang ditembak dengan berkas electron di-scan ke seluruh area pengamatan. Kita dapat mebatasi lokasi pengamatan dengan melakukan zoom-in atau zoom-out. Berdasarkan arah pantulan berkas pada berbagai titik pengamatan maka profil permukaan benda dapat dibangun menggunakan program pengolahan citra yang ada pada komputer (Mikrajuddin dan Khairurrijal, 2010). Pembesaran dalam SEM dapat dikendalikan rentang hingga 6 urutan magnitudo dari sekitar 10 sampai 500.000 kali. Tidak seperti transmisi elektron mikroskop dan optik, gambar perbesaran dalam SEM bukan merupakan fungsi dari kekuatan lensa objektif . SEM mungkin memiliki kondensor obyektif dan lensa, tetapi fungsi mereka adalah untuk fokus balok ke tempat, dan bukan untuk gambar spesimen. Sebuah SEM bisa di prinsip kerja seluruhnya tanpa kondensor atau lensa objektif, meskipun sangat tidak fleksibel atau mencapai resolusi sangat tinggi. (Nur dan Rita, 2010). Berikut contoh Gambar II.3 hasil SEM untuk katalis CuO/ZnO/Al2O3 yang memperlihatkan bentuk morfologi pada perbesaran 20 nm.
14
Gambar II.3 : Morfologi oksida logam dari Katalis CuO/ZnO/Al2O3 (Xin, 2005).