BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kepatuhan Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes R.I.,2011). Dalam hubungan dengan terapi ARV pada ODHA, bahwa “kepatuhan” lebih dimaksudkan sebagai proses kerjasama antara klien dengan penyedia layanan. Pasien dikondisikan untuk berperan lebih aktif mengikuti pengobatan dan berkomitmen untuk mengikuti pengobatan yang diberikan sebaik mungkin. Kepatuhan pada pasien menurut Sackett yaitu “Sejauh mana perilaku individu sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan” (Notoatmodjo, 2004). Kepatuhan sebagai suatu proses yang dinamis, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak berdiri sendiri, memerlukan suatu kombinasi strategi promosi, memerlukan sebuah tim yang terdiri dari multidisiplin profesi yang terintegrasi dan dapat bekerjasama dengan baik dalam memberikan perawatan komprehensif berkesinambungan. Perawatan komprehensif berkesinambungan adalah perawatan yang melibatkan suatu tim/ jejaring sumberdaya dan pelayanan dukungan secara holistik untuk ODHA dan keluarganya, baik di dalam rumah sakit maupun di luar rumah sakit sepanjang perjalanan penyakitnya dan seumur hidup (Kemenkes RI, 2011). Tim yang terdiri dari berbagai disiplin profesi memiliki persepsi yang sama
dalam penanggulangan HIV/AIDS, sehingga derajat kesehatan dikalangan pasien ODHA dapat optimal. Pelayanan holistic meliputi perawatan yang dibutuhkan pasien, meliputi pencegahan, pengobatan, dan dukungan pelayanan komprehensif dan berkesinambungan. Terdapat beberapa data statistik tentang tingkat kepatuhan pasien ODHA dalam pengobatan ARV. Dalam penelitian tentang kepatuhan di Kabupaten Mimika Propinsi Papua tahun 2012, yakni yang “tidak patuh” sebanyak 41 (55,41%) yang “patuh” terhadap pengobatan sebanyak 33 (44,59%), dari total 74 responden, (Ubra, 2012). Pengukuran kepatuhan dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara dan penghitungan sisa obat. Selanjutnya dilakukan perhitungan persentase tingkat kepatuhan. Persentase tingkat kepatuhan dibedakan menjadi kepatuhan ≤ 80%, dn kepatuhan < 80%. Penelitian tentang kepatuhan ODHA juga telah dilakukan di RSU. dr. Pirngadi Medan tahun 2012. Dengan jumlah sampel 59 responden hasil uji statistik univariat diketahui bahwa responden memiliki pengetahuan baik (52.5%), persepsi baik (76.3%), pelayanan kesehatan baik (71.2%). Selain itu dukungan sosial termasuk dalam kategori sedang (57.6%) dan kepatuhan ODHA tergolong tinggi (57.6%). Hasil bivariat diketahui bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang ARV terhadap kepatuhan (p=0.648) serta tidak ada hubungan antara persepsi terhadap kepatuhan (p=0.231). Selain itu diketahui juga bahwa ada hubungan antara dukungan sosial terhadap kepatuhan (p=0.047) serta ada hubungan antara pelayanan kesehatan terhadap persepsi ODHA dalam menjalani ARV (p=0.040).
2.2 Faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan Blum
(dalam
Notoatmodjo,
2007)
menjelaskan
4
faktor
yang
mempengaruhi derajat kesehatan yakni: lingkungan, perilaku kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan keturunan. Perilaku merupakan faktor terbesar kedua yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok atau masyarakat. Proses adopsi perilaku akan lebih langgeng apabila didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru akan diawali dengan proses yang secara umum akan melewati urutan seperti di bawah ini, yaitu : 1. Awareness (kesadaran), yakni orang menyadari adanya stimulus, 2. Interest, yakni orang tertarik terhadap stimulus, 3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidak baiknya stimulus tersebut bagi dirinya), sikap merespon sudah lebih baik, 4. Trial, orang sudah mulai mencoba perilaku baru, 5. Adoption, subyek sudah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Upaya untuk merubah perilaku pada individu/masyarakat dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu dengan tekanan (enforcement), yaitu upaya merubah perilaku dengan cara-cara tekanan, paksaan atau koersi dan upaya merubah perilaku melalui pendidikan (education), yaitu merubah perilaku dengan cara persuasi, bujukan, himbauan, ajakan, memberi informasi, memberi kesadaran dan
sebagainya melalui kegiatan pendidikan atau promosi kesehatan (Notoatmojo, 2007). 2.3 Persepsi dan perilaku kesehatan. Pada kenyataannya di dalam masyarakat terdapat beraneka ragam konsep sehat-sakit yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan konsep sehat-sakit yang diberikan oleh provider atau penyelenggara pelayanan kesehatan. Sering terdapat persepsi yang berbeda tentang “sakit” dan “penyakit” antara masyarakat dan provider. Batasan dari kedua istilah “sakit” dan “penyakit” akan dibahas berikut ini. Penyakit (disease) adalah suatu bentuk reaksi biologis terhadap suatu organime, benda asing atau luka (injury), yang ditandai oleh adanya perubahan fungsi tubuh sebagai organism biologis. Sedangkan sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung dialaminya, yang ditandai dengan adanya perasaan tidak enak (Notoatmodjo : 2007). Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu suatu stimulus yang diterima oleh individu melalui alat reseptor yaitu indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya. Persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera. Gibson, dkk (1989) dalam buku Organisasi Dan Manajemen Perilaku, memberikan definisi persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya (terhadap obyek).
Gibson juga menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu. Oleh karena itu, setiap individu memberikan arti kepada stimulus secara berbeda meskipun objeknya sama. Cara individu melihat situasi seringkali lebih penting daripada situasi itu sendiri. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa “ persepsi” merupakan suatu proses penginderaan, stimulus yang diterima oleh individu melalui alat indera yang kemudian diinterpretasikan sehingga individu dapat memahami dan mengerti tentang stimulus yang diterimanya tersebut. Proses menginterpretasikan stimulus ini biasanya dipengaruhi umur, jenis kelamin pengetahuan , pengalaman dan proses belajar individu. Persepsi terhadap stimulus juga dipengaruhi oleh factor-faktor antara lain : kondisi fisiologis, perhatian, minat, kebutuhan yang searah, pengalaman, ingatan, suasana hati, penempatan dari obyek atau stimulus, keunikan, dan kekuatan dari stimulus. Demikian pula persepsi masyarakat terhadap infeksi HIV/AIDS yang kemungkinannya akan berbeda-beda pada setiap individu. Banyak contoh nyata yang terjadi di masyarakat, khususnya pada pasien yang sudah terdiagnosa terjangkit infeksi HIV sering mencari pelayanan pengobatan alternative seperti pergi ke dukun dan pertolongan dengan memanfaatkan pengobatan herbal. Dalam banyak kasus pada pasien HIV yang datang ke rumah sakit, sebagian besar mereka datang setelah terjadi beberapa infeksi oportunistik (infeksi yang timbul mengikuti perjalanan penyakit HIV karena penurunan kekebalan tubuh) pada pasien tersebut. Padahal sudah banyak diinformasikan melalui penyuluhan atau
melalui media masa bahwa sudah ada obat yang dapat mengendalikan virus HIV, yang dapat diperoleh melalui tempat-tempat pelayanan kesehatan di klinik Voluntary Conseling and Test (VCT). Di Klinik VCT dapat diperoleh pelayanan kesehatan berupa pelayanan konseling dan pengobatan untuk orang yang terinfeksi oleh virus HIV. Kegiatan pelayanan di klinik VCT diawali dengan kegiatan konseling dan test HIV secara sukarela, dilanjutkan dengan kegiatan post test, pengobatan dan konseling lanjutan. Salah satu kegiatan konseling yang lebih fokus dibahas adalah konseling kepatuhan minum obat anti retro viral (ARV) pada pasien ODHA. ARV sering juga disebut anti retroviral therapy (ART). Kegiatan promosi kesehatan melalui intervensi konseling kepatuhan di klinik VCT pada pasien ODHA merupakan intervensi melalui pendidikan terhadap faktor perilaku yang mempengaruhi derajat kesehatan pada pasien ODHA. Lawrence Green, (Notoatmodjo, 2007), menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan yang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni factor perilaku (behavior causes), dan factor di luar perilaku (non behavior causes). Perilaku merupakan refleksi berbagai gejala kejiwaan yang dipengaruhi oleh : pengalaman, keyakinan, sosial budaya, pengetahuan, persepsi, sikap, keinginan, kehendak, motivasi. Sedangkan factor di luar perilaku yang juga berperan dalam hal ini adalah : kebijakan pemerintah, ketersediaan sarana, prasarana, dan ketersediaan tenaga. Peran yang paling penting dalam pelayanan pasien di klinik VCT adalah ketersediaan tenaga yang sudah terlatih dalam memberikan konseling serta dapat memberikan pelayanan yang berkelanjutan pada pasien ODHA. Pelayanan di klinikVCT berbeda dengan pelayanan pasien di klinik lain (selain klinik VCT).
Biasanya pasien ODHA hanya mau terbuka tentang identitas dirinya hanya kepada konselornya. Selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk oleh 3 faktor yaitu: 1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Hal ini dapat dicontohkan pada seseorang yang tidak mau melakukan sesuatu karena orang tersebut tidak mengetahui manfaatnya. 2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya sarana dan fasilitas kesehatan, seperti: RS, Puskesmas, obat-obatan, jamban dan sebagainya. Contohnya pada daerah yang tidak ada fasilitas kesehatan, atau fasilitas yang ada jaraknya sangat jauh dan sulit ditempuh oleh masyarakat. 3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok panutan dari perilaku masyarakat. Misalnya petugas kesehatan atau masyarakat sekitarnya tidak pernah memanfaatkan fasilitas kesehatan. Green juga menjelaskan agar sebuah intervensi yang akan dilakukan dapat lebih efektif, maka perlu dilakukan diagnosis atau analisis terhadap masalah perilaku tersebut. Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku dipengaruhi 3 faktor utama seperti sudah diuraikan diatas, yaitu: a. Faktor predisposisi : yaitu factor yang mencakup sikap individu terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan individu/ masyarakat terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan masalah kesehatan, system nilai yang dianut oleh individu/ masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat social ekonomi, dan sebagainya. b. Faktor pemungkin : yaitu faktor yang mencakup ketersediaan sarana dan prasarana yang tersedia untuk kepentingan masyarakat yang mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan yang positif pada masyarakat. c. Faktor penguat : yaitu faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan kesehatan. Dengan demikian disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari seseorang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan dapat mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Kepatuhan minum obat sebagai sebuah bentuk perilaku pada pasien ODHA, maka salah satu intervensi atau upaya yang dapat dilakukan adalah promosi kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan dapat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan secara individu, berkelompok maupun kegiatan penyuluhan massa. Namun dalam penyuluhan yang berfokus pada individu dapat dilakukan melalui kegiatan konseling berkelanjutan tentang kepatuhan minum obat pada pasien ODHA agar perubahan perilaku positif, bersifat langgeng, dan seumur hidup bisa dilakukan terhadap pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan pada pasien ODHA.
Faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan digambarkan seperti bagan pada gambar 2.1 dibawah ini.
-
-
-
Faktor predisposisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, persepsi, keyakinan, nilai-nilai, dsb. Faktor pendukung lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya sarana dan fasilitas kesehatan, seperti: RS, Puskesman, obat-obatan, jamban dsb.
Perilaku Kesehatan
Faktor pendorong sikap dan perilaku petugas kesehatan
Gambar 2.1: Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan (Lawrence Green, 1980)
Skiner (dalam Notoatmodjo, 2007) membuat batasan tentang perilaku kesehatan sebagai suatu respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Dari batasan ini perilaku kesehatan diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu : 1. Perilaku pemeliharaan kesehatan yang meliputi : a. pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, serta pemulihan setelah sembuh dari sakit. b. Perilaku peningkatan kesehatan agar mencapai tingkat kesehatan optimal. c. Perilaku gizi berpengaruh terhadap kondisi kesehatan seseorang, atau bahkan dapat mendatangkan penyakit.
2. Perilaku pencarian fasilitas pengobatan (health seeking behavior): tindakan seseorang saat menderita penyakit, mulai dari mengobati sendiri, sampai mencari fasilitas pengobatan. 3. Perilaku
kesehatan
lingkungan:
bagaimana
seseorang
merespon
lingkungannya, baik lingkungn fisik maupun lingkungan sosial budaya dan sebagainya, sehingga tidak berpengaruh buruk terhadap kesehatannya. Dalam kegiatan konseling di klinik VCT diharapkan terjadinya perubahan perilaku pada klien yang berkunjung di klinik VCT. Perubahan perilaku yang terjadi pada pasien biasanya mengikuti tahapan-tahapan yang berbeda pada setiap individu. Model perubahan perlaku yang dikemukakan oleh Rosenstock (dalam Sarwono, 2007) adalah Health Belief Model (HBM) yang menyatakan bahwa perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaan. Model kepercayaan mencakup lima unsur utama yaitu: kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility), keseriusan yang dirasakan (perceived seriuosness), besarnya ancaman penyakit yang dirasakan (perceiverd threat of disease), manfaat dan rintangan yang dirasakan (perceived benefits barriers), faktor pencetus (cues to action). Dalam konsep ini diasumsikan bahwa seseorang akan melakukan tindakan bila merasakan efek negative dari situasi yang dialaminya, mempunyai harapan akan adamya perbaikan dan ada keyakinan akan keberhasilan suatu tindakan. Dalam kerangka Healt Belief Model terdapat 3 katagori utama dalam pelayanan kesehatan yakni: persepsi individu (individual perception), faktor-
faktor modifikasi (modifying factor), dan kemungkinan
tindakan (likelihood
action). Ketiga katori utama pelayanan pelayanan kesehatan yang dimaksud dapat digambarkan seperti yang terlihat dalam kerangka HBM di bawah ini. Bagan: Health Belief Model ( Katagori Pelayanan Kesehatan)
Persepsi individu
Faktor modifikasi
-
-Variabel demografis (umur, kelamin, etnis) -Variabel sosial dan psikologis (kepribadian, pendidikan, pengalaman) -Variabel struktur (kelas social, akses ke pel.kes).
-
Prsepsi kerentanan terhadap suatu penyakit Persepsi tentang keparahan suatu penyakit
Kemungkinan Tindakan
-
Persepsi besarnya tindakanpencegahan Persepsi basarnya hambatan tindakan
Persepsi besarnya ancaman yang dilihat tentang penyakit
-
Faktor pendorong untuk bertindak (media masa, nasehat dokter, tulisan dalam surat kabar, majalah: Internal Eksternal
Kemungkinan mengambil tindakan yang tepat u/ perilaku sehat/sakit
Gambar 2.2 : Kerangka teori Health Belief Model Rossenstock dalam Glanz et al., (1997)
2.4 Faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien ODHA 2.4.1 Perilaku Kepatuhan. Kepatuhan minum obat ARV merupakan bentuk sebuah perilaku kesehatan pada pasien ODHA. Green menjabarkan terjadinya perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa factor seperti dijelaskan di bawah ini:
a. Factor predisposisi : yaitu factor yang mencakup sikap individu/ODHA terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan individu/ODHA terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah kesehatan, system nilai yang dianut oleh individu/ODHA, tingkat pendidikan, tingkat social ekonomi, dan sebagainya. b. Faktor pemungkin : yaitu faktor yang mencakup ketersediaan sarana dan prasarana yang tersedia untuk kepentingan para ODHA yang mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan yang positif pada pasien ODHA. c. Faktor penguat : yaitu faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan terhadap pasien ODHA, termasuk juga undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan kesehatan. Paterson dan koleganya (dalam UNAIDS, 2004) : Penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar menyatakan bahwa dalam mencapai kesuksesan terapi HIV memerlukan kepatuhan minum obat ARV minimal 95% dari dosis terapi. Kegagalan mencapai tingkatan kepatuhan yang kurang dari 95% akan menurunkan penekanan terhadap replikasi virus HIV. (UNAIDS, 2004). Chesney (dalam UNAIDS, 2004) : Beberapa studi sudah menunjukan bermacam-macam tingkat kepatuhan minum ARV. Lebih dari 10% pasien melaporkan tentang kehilangan dosis harian mereka dalam minum ARV, dan lebih dari 33% pasien melaporkan kehilangan dosis minum obat ARV dalam dua sampai empat minggu. (UNAIDS,
2004). Chesney memperkirakan bahwa
ketidakpatuhan terapi ARV di Amerika Serikat berkisar antara 50 sampai 70
persen. Ketidakpatuhan diartikan sebagai kehilangan satu atau lebih dari dosis pengobatan yang telah ditentukan, tidak mematuhi interval waktu antar tablet yang diminum, tidak mentaati instruksi atau aturan yang berkenaan dengan aturan makan. Secara umum ketidakpatuhan digambarkan sebagai kehilangan/ tidak minum obat lebih dari 10% dosis obat harian atau lupa minum obat. Penyedia layanan tidak mudah menilai apakah pasien adalah orang yang patuh atau tidak patuh dalam menjalankan terapi ARV. Penyedia layanan memantau kepatuhan melalui laporan dari klien itu sendiri, melalui daya ingat klien tentang hari keberapa obat tidak diminum/lupa meminum obat. Ketidakpatuhan minum ARV akan mengakibatkan menurunnya penekanan terhadap replikasi virus yang pada gilirannya akan terjadi pemusnahan sel CD4, sehingga terjadi kemunduran yang progresif dari kemajuan penyakit dan virus akan menjadi kebal. 2.4.2 Dukungan Keluarga Dukungan keluarga didefinisikan oleh Gottlieb (1983) dalam Zainudin (2002) yaitu informasi verbal, sasaran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku penerimaannya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Menurut Sarason (1983) dalam Zainudin (2002) : Dukungan keluarga adalah keberatan, kesedihan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan,
menghargai dan menyayangi kita, pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb (2002) mendefinisikan dukungan keluarga sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondisinya, dukungan keluarga tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok. Dukungan keluarga merupakan salah satu bentuk terapi keluarga, melalui keluarga berbagai masalah kesehatan bisa muncul sekaligus dapat diatasi. Menurut Friedman (2000) disebutkan ada empat jenis dukungan keluarga yaitu : dukungan instrumental, dukungan informasi, dukungan penilaian, dan dukungan emosional. Dukungan instrumental adalah bantuan yang diberikan secara langsung, bersifat fasilitas atau materi. Dukungan informasi yaitu memberikan penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi individu, yang dapat berupa nasehat, petunjuk, masukan atau penjelasan bagaimana seseorang bersikap. Dukungan appraisal atau penilaian, bisa berbentuk penilaian positif, penguatan
(pembenaran)
untuk
melakukan
sesuatu,
umpan
balik
atau
menunjukkan perbandingan sosial yang membuka wawasan seseorang yang sedang dalam keadaan stress. Dukungan emosional meliputi ekspresi empati misalnya mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang dan perhatian yang menyebabkan individu merasa berharga, nyaman, aman, terjamin dan disayangi.
2.5 Mengukur dan memonitor kepatuhan berobat. Mengukur dan memonitor kepatuhan pada ODHA dapat dilakukan di klinik VCT. Peterson dan koleganya (dalam UNAIDS, 2004) menemukan bahwa tingkat kepatukan minum ARV diatas 95 % pada klien dibutuhkan untuk keberhasilan yang maksimal dalam menekan replikasi virus HIV. Layanan di klinik VCT dapat memberikan dukungan kepada ODHA dalam hal kepatuhan minum ARV. Klinik VCT merupakan pintu masuk ke seluruh layanan HIV/AIDS, menawarkan keuntungan baik bagi yang hasil testnya positif maupun negatif, dengan fokus pada pemberian dukungan atas kebutuhan klien seperti perubahan perilaku untuk kepatuhan, dukungan mental, dukungan terapi ARV, pemahaman faktual dan terkini tentang HIV/AIDS. Kegiatan konseling juga berdampak pada terkikisnya secara bertahap adanya stigma dan diskriminasi di kalangan ODHA. Klinik VCT merupakan klinik pelayanan konseling dan test secara sukarela terhadap klien yang diduga terjangkit oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Model pelayanan klinik VCT yang ideal ditawarkan sebagai salah satu unit pelayanan jasa kesehatan yang mandiri, jauh dari fasilitas kesehatan, namun ia mempunyai hubungan dengan pelayanan perawatan dan dukungan lain. Mengukur kepatuhan sangatlah sulit. Tidak ada metode yang pasti dalam mengukur kepatuhan dengan teliti. Berbagai pendekatan harus diusahakan untuk menilai kepatuhan pasien dalam terapi ARV. Pengukuran yang bisa digunakan adalah laporan dari pasien. Dalam hal ini pasien diminta untuk melaporkan kepatuhan mereka dalam berobat. Cara yang berjalan saat ini adalah pasien melaporkan kepatuhan mereka minum obat setiap bulan ketika mereka mengambil
obat lanjutan di klinik VCT. Kepatuhan minum obat ini dapat ditingkatkan dengan menanyakan kenyataan minum obatnya, adakah hari terakhir pasien lupa minum obat. Penelitian Kosasih, dkk (dalam Ramadian, 2010), yang dilakukan di Jakarta menemukan bahwa kenyamanan dan efek samping obat merupakan faktor penentu utama adherens antiretroviral pada ODHA. Efek samping obat antiretroviral merupakan kejadian yang cukup sering terjadi pada pasien HIV dan umumnya terjadi dalam tiga bulan pertama setelah inisiasi ARV, walaupun efek samping jangka panjang juga kerap didapati sesudahnya. Antiretroviral lini pertama yang digunakan di Indonesia adalah kombinasi AZT/d4T dengan 3TC dan NVP/EFV. Dalam Ramadian dkk,
(2010), dalam laporan tentang efek
samping yang sudah pernah diteliti antara lain anemia AZT (20%; Karjadi, 2005), hipersensitivitas
NVP
(27.6%;
Yunihastuti,
2006),
peningkatan
enzim
transaminase (20,8%; Yunihastuti, 2007) dan neuropati d4T (22%; Suemarni, 2006). Namun, penelitian yang memantau berbagai efek samping obat tersebut belum banyak dilakukan di Indonesia. Ketelitian tentang kepatuhan klien dapat dimaksimalkan secara rutin ketika jadwal kunjungannya mengambil obat di klinik VCT dengan cara : menanyakan hari paling terakhir lupa minum obat, menanyakan tentang luput/ kehilangan dosis, penggunaan daftar minum obat untuk membantu kepatuhan. Banyak hal yang dapat diupayakan untuk membantu kepatuhan ODHA untuk minum obat seperti :
1. Setiap saat mengingatkan pasien agar tidak lupa minum obat. Setiap ODHA sebaiknya memiliki pendamping minum obat yang bisanya adalah teman/ keluarga dekat pasien yang setiap saat mengingatkan ODHA untuk minum obat. 2. Menyediakan buku harian untuk minum obat. 3. Menyediakan kotak obat yang mudah dibawa kemana-mana. 4. Adanya dukungan dari teman, keluarga, panutan. 5. Pemberian perangsang (makanan, transport, dll) 6. Alat pengingat elektronik (SMS, alarm, dll). Cara lain yang juga dapat meningkatkan kepatuhan ODHA yaitu menekankan kepatuhan minum ARV sebagai kunci keberhasilan dari proses kesembuhannya yang dapat disampaikan secara rutin ketika mengingatkan kepatuhan pasien minum obat setiap bulan pada saat pengambilan obat. Hal-hal yang ditekankan dalam konseling kepatuhan : 1. Pengetahuan : tentang HIV, CD4, pengobatan dan efek samping 2. Tingkah laku meliputi : kepercayaan dan persepsi positif, kepercayaan diri dan komitmen 3. Sistem pelatihan dan dukungan : keterbukaan, dukungan teman sebaya, dukungan keluarga. 4. Mengidentifikasi dan menempatkan diri pada posisi sebagai konselor 5. Mengintegrasikan jenis pengobatan kepada pasien secara rutin setiap hari 6. Mendorong keterlibatan keluarga. 2.6 Terapi ARV ( Anti Retro Virus)
Tujuan terpi ARV adalah untuk mencapai penekanan jangka panjang dan seumur hidup terhadap replikasi virus HIV, yang pada gilirannya akan dapat mengurangi pembinasaan sel CD4 oleh virus HIV. Jumlah sel CD4 dalam tubuh ODHA merupakan ukuran nilai keberhasilan dari program terapi ARV yang sedang dilakukan oleh ODHA. Jika terjadi kegagalan terapi yang disebaban oleh ketidak patuhan dalam terapi ARV, maka harus menjalankan terapi kombinasi tambahan yang akan menambah lebih tingginya biaya yang dibutuhkan dalam program terapi, serta akan menambah tantangan yang lebih besar bagi ODHA dalam melaksanakan terapinya. Terapi ARV walaupun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara dramatis menunjukkan penurunan angka kematian dan kesakitan, peningkatan kualitas hidup ODHA, dan peningkatan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan (Dep.Kes.RI, 2007). Salah satu upaya untuk menghindari resistensi terhadap obat adalah dengan mentaati pedoman terapi dan teratur minum obat. Layanan konseling kepatuhan untuk memastikan pasien telah siap menerima dan meneruskan pengobatan dan dapat diberikan bersama pendampingan dan kelompok dukungan sebaya (KDS) (Dep.Kes.RI, 2007). Kegagalan terapi dapat terjadi karena ketidakteraturan dari klien minum obat atau adherence yang buruk dari ODHA. Untuk mencapai penekanan terhadap
perkembangan virus diperlukan kepatuhan yang sangat tinggi dalam minum obat ARV. Penekanan perkembangan virus akan maksimal apabila kepatuhan minum obat ARV mencapai 95% dari semua dosis dan tidak boleh terlupakan. (Dep.Kes.RI, 2007). Peterson dan koleganya (dalam UNAIDS, 2004) menemukan bahwa tingkat kepatukan minum ARV diatas 95 % pada klien dibutuhkan untuk keberhasilan yang maksimal dalam menekan replikasi virus HIV. Terapi ARV juga dibutuhkan
pada ODHA yang sedang hamil untuk
meminimalkan penularan virus HIV kepada bayinya. Belum diketahui secara pasti cara penularan HIV dari ibu ke bayi. Namun kebanyakan penularan terjadi saat persalinan dan menyusui. Salah satu faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan HIV dari ibu ke janin adalah besarnya jumlah virus yang ada dalam darah ibu. Dengan terapi ARV akan dapat meminimalkan jumlah virus HIV dalam tubuh. 2.7 Pengetahuan Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan indrawi. Pengetahuan muncul ketika manusia menggunakan indera dan akal budinya untuk mengenali dan merasakan benda atau kejadian yang belum pernah dilihat sebelumnya. Rogers (dalam Notoatmodjo, 2003) mengungkapkan bahwa seseorang mengadopsi perilaku baru sesuai proses yang berurutan seperti: Awarenes: seseorang menyadari adanya stimulus, Interest: orang tertarik pada stimulus, Evaluation: mulai menimbang-nimbang baik buruknya stimulus tersebut untuk
dirinya, Trial: mulai mencoba perilaku baru, Adaption: mulai berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan. Pengetahuan seseorang Pengalaman,
dipengaruhi oleh Intelegensi, Pendidikan,
Informasi, Kepercayaan, Umur,
Sosial budaya,
Status sosial
ekonomi (Notoatmodjo:2003).
Intelegensi:
merupakan
kemampuan
yang
dibawa
sejak
lahir
yang
memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu.
Pendidikan
:
bersifat
memberikan
atau
meningkatkan
pengetahuan,
menimbulkan sifat positif, meningkatkan kemampuan individu dalam segala aspek sehingga memungkinkan masyaraakat untuk berkemmbang.
Pengalaman: seseorang berperilaku tertentu disebabkan karena adanya pemikiran dan perasaan dalam diri seseorang yang terbentuk dalam pengetahuan,persepsi, sikap, dan kepercayaan-kepercayaan dan penilaianpenilaian seseorang terhadap objek tersebut dimana seseorang mendapatkan pengetahuan baik dari pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain.
Informasi : media masa memiliki peranan yang sangat penting dalam proses perubahan.
Kepercayaan: komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang, sekali kepercayaan itu telah terbentuk maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang diharapkan dari objek tertentu.
Umur : secara normal semakin cukup umur maka tingkat kemampuan orang semakin matang dalam berfikir dan menerima informasi.
Sosial budaya termasuk didalamnya pandangan agama dapat mempengaruhi proses pengetahuan.
Status sosial ekonomi : berpengaruh terhadap tingkah laku individu. Sosial ekonomi yang baik dimungkinkan memiliki sikap positif memandang diri dan masa depan dibandingkan mereka yang dengan sosial ekonomi rendah. Pengetahuan ODHA tentang terapi ARV dapat mempengaruhi kepatuhan
dalam mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati dalam terapi ARV. Memberikan informasi secara rinci tentang ARV perlu dijelaskan pada pasien ODHA dan pendamping minum obatnya (PMO). Kepatuhan yang tinggi diperlukan untuk keberhasilan program terapi. Aturan minum obat ARV harus ditaati dengan baik, efek samping yang mungkin terjadi, serta mencari pertolongan bila terjadi efek samping pada pasien. Hal ini sangatlah penting untuk menghindari teradinya putus obat ataupun ketidakpatuhan dalam menjalankan terapi ARV. 2.8 Persepsi Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkannya (Notoatmodjo, 2010). Persepsi merupakan pemberian makna kepada stimulus yang diterima oleh setiap orang. Pemberian makna terhadap stimulus atau objek yang sama dapat berbeda-beda pada masing-masing individu. Dengan demikian persepsi individu terhadap penyakit yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda-beda. Mungkin sebagian orang mempersepsikan sebagai penyakit, tetapi bagi sebagian yang lain mungkin mempersepsikan bukan sebagai penyakit. Apa yang dirasakan sehat oleh seseorang, bisa saja dirasakan tidak sehat bagi orang
lain. Pada kenyataannya dimasyarakat terdapat konsep yang beraneka ragam tentang sehat-sakit yang kadang-kadang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan konsep sehat-sakit yang diarahkan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan. Adanya perbedaan persepsi ini dapat mempengaruhi perilaku individu ketika sakit, yang kadang-kadang cenderung untuk membuat keputusan sendiri. Selanjutnya tahap-tahap pembuatan keputusan pada individu yang dikemukakan oleh Suchman (dalam Notoatmodjo, 2010) seperti berikut: a.
Tahap pengalaman atau pengenalan gejala (the symptom experience), pada tahap ini individu membuat keputusan bahwa dalam dirinya sudah ada gejala penyakit, adanya rasa tidak enak yang dirasakan sebagai ancaman bagi hidupnya.
b.
Tahap asumsi peranan sakit (the assumption of the sick role), individu berkeputusan bahwa dia sakit dan memerlukan pengobatan. Kemudian dia berusaha mengobatai sendiri dengan caranya sendiri, mulai mencari informasi dari tetangga atau anggota keluarga yang lain, minta pengakuan dari orang lain bahwa dia sakit, bahkan minta dibebaskan sementara dari tugasnya sehari-hari.
c.
Tahap kontak dengan pelayanan kesehatan (the medical care contact), pada tahap ini individu mulai berhubungan dengan fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, serta informasi yang ada pada dirinya tentang fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu fasilitas pelayanan kesehatan yang dipilih bisa dukun, fasilitas kesehatan swasta, dokter dan lain-lain.
d.
Tahap ketergantungan pasien (the dependent patient stage), pada tahap ini individu menyerahkan dirinya sebagai pasien, maka untuk kembali sehat ia harus mematuhi apa yang diperintahkan agar ia sehat kembali.
e.
Tahap pemulihan atau rehabilitasi (the recovery of rehabilitation). Pada tahap ini individu melepaskan diri dari peran pasien. Dapat terjadi dua kemungkinan yaitu individu pulih kembali seperti sebelum ia sakit, atau ia menjadi cacat, tidak sempurna dan tidak dapat melakukan fungsinya seperti ketika belum sakit. Kelima tahap ini tidak selalu terjadi hal yang sama pada setiap individu,
dan berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain. 2.9 Kondisi ODHA di daerah lain Gambaran kondisi HIV/AIDS di beberapa daerah di Indonesia adalah sebagai berikut : Jumlah komulatif HIV dan AIDS di beberapa daerah di Indonesia dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 2.1 Jumlah Kumulatif Kasus HIV dan AIDS Berdasarkan Provinsi Sampai bulan Maret 2013 N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Provinsi Papua Jawa Timur DKI Jakarta Jawa Barat Bali Jawa Tengah Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Banten Riau Sumatera Barat DI Yogyakarta Sulawesi Utara
HIV
AIDS
10,881 13,599 23,792 7,621 6,819 5,021 3,724 3,116 2,761 1,549 739 1,693 1,794
7,795 6,900 6,299 4,131 3,344 2,990 1,699 1,467 885 859 802 782 693
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Jambi Kepulauan Riau Nusatenggara Barat Maluku Kalimantan Timur Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung Papua Barat Sulawesi Tenggara Bengkulu Kalimantan Selatan Maluku Utara NAD/Aceh Sulawesi Tengah Kalimantan Tengah Gorontalo Sulawesi Barat Jumlah Total
6,781 1,331 490 3,176 574 956 1,878 1,254 357 777 1,896 134 159 214 194 98 185 136 27 33 103,75 9
515 420 384 382 379 343 332 322 258 192 187 161 160 134 123 130 127 93 56 3 43,347
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI Tabel 2.2 Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Berdasarkan Faktor Risiko sampai bulan Maret 2013
Faktor Risiko Heteroseksual Homo-Biseksual IDU Transfusi Darah Transmisi Perinatal Tidak Diketahui Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI
AIDS 25,907 12,500 7,788 86 1,181 7,124