BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Kajian Teori 2.1.1. Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam Menurut BNSP (2006) “Ilmu Pengetahuan Alam berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa faktafakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan”. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekiar secara ilmiah. Purwadi dan Hadisubroto, (dalam Septyan, 2008:18) menyatakan bahwa pengertian IPA dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang yang pertama lebih melihat IPA sebagai produk. Produk tersebut berupa pengetahuan mengenai alam yang diperoleh melalui metode ilmiah. Pengetahuan yang dihasilkan ini akan menjadi dasar bagi penemuan pengetahuan baru. Sudut pandang kedua melihat IPA sebagai proses, cara, atau metode. Proses yang khas dalam Ilmu Pengetahuan Alam adalah penyelidikan (inquiry). Proses penyelidikan ini terdiri dari dua tahap utama yaitu: (1) tahap pengumpulan data dan berupa pengamatan atau pengukuran suatu fenomena alam, dan (2) tahap analisis terhadap data yang terkumpul. Subiyanto (1988:14) mendefinisikan bahwa “Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) muncul dari lain-lain aktivitas progresif manusia sedemikian hingga muncul konsep-konsep baru dari berbagai eksperimen dan observasi, dan konsep-konsep baru itu kemudian akan mendorong kepada dilakukannya eksperimen-eksperimen dan observasi-observasi lebih
6
7
lanjut”. Dapat dikatakan bahwa IPA tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan mengenai alam, tetapi juga mencakup proses penyelidikan dari pemerolehan ilmu tersebut. Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan pengetahuan dari hasil kegiatan manusia yang diperoleh dengan menggunakan langkah-langkah ilmiah yang berupa metode ilmiah dan didapatkan dari hasil eksperimen atau observasi yang bersifat umum sehingga akan terus disempurnakan.
2.1.2. Hakikat Pembelajaran IPA Pembelajaran IPA pada hakikatnya mencakup beberapa aspek antara lain: (1) Faktual; (2) Keseimbangan antara proses dan produk; (3) Aktif melakukan investigasi; (4) Berpikir deduktif dan induktif; dan (5) Pengembangan sikap. IPA merupakan ilmu empirik yang membahas tentang fakta dan gejala alam maka dalam pembelajarannya harus faktual, artinya tidak hanya secara verbal sebagaimana terjadi pada pembelajaran secara tradisional. Di samping itu karena hakikat Sains kecuali sebagai produk juga sebagai proses maka dalam pembelajarannya siswa juga perlu dilatih keterampilan proses, yaitu proses bagaimana cara produk IPA tersebut ditemukan. Keterampilan proses yang perlu dilatihkan meliputi keterampilan
proses
dasar
misalnya
mengamati,
mengukur,
mengklasifikasi, mengkomunikasikan, mengenal hubungan ruang dan waktu,
mengenal
hubungan
antar
angka,
menyimpulkan
dan
memprediksi, serta keterampilan proses terintegrasi misalnya merancang dan melakukan eksperimen yang
meliputi menyusun hipotesis,
menentukan variabel, menyusun definisi operasional, menafsirkan data menganalisis dan mensistensis data.
8
Pembelajaran IPA seyogyanya diciptakan kondisi agar siswa selalu aktif untuk ingin tahu sehingga pembelajaran merupakan kegiatan investigasi terhadap permasalahan alam sekitar. Dengan melakukan investigasi akan terungkap fakta atau diperoleh data. Dari data investigasi yang biasanya bersifat khusus tersebut perlu digeneralisir agar siswa memiliki pemahaman konsep yang esensial. Untuk itu siswa perlu diajak untuk berpikir secara induktif. Di samping itu pada beberapa proses IPA yang dilakukan, siswa perlu menerapkan atau memverifikasi suatu hukum atau prinsip. Dengan demikian dalam pembelajaran IPA siswa kecuali berpikir secara induktif juga secara deduktif. Dari kegiatan dalam berproses IPA seperti tersebut diharapkan beberapa sikap ilmiah dapat terbentuk dalam diri siswa. Operasional pembelajaran IPA seperti dimaksud di atas pada setiap jenjang pendidikan sangat dipengaruhi oleh apa tujuan dari pembelajaran IPA. Sedang tujuan pembelajaran IPA dimaksud telah dirumuskan dalam suatu kurikulum yang sedang berlaku. Dalam suatu Kurikulum pendidikan, kecuali dirumuskan tentang Tujuan Pembelajaran, Ruang Lingkup Pembelajaran juga Prinsip-prinsip Pembelajaran yang perlu dikembangkan guna tercapainya tujuan pembelajaran. Untuk itu dalam setiap kegiatan pendidikan formal harus mengacu pada apa yang telah digariskan dalam kurikulum tersebut (Asy’ari, 2006:21-23).
2.1.3. Tujuan Pembelajaran IPA Dalam KTSP mata pelajaran IPA SD dijabarkan tujuan pelaksanaan pengajaran dan ruang lingkup IPA di Sekolah Dasar sebagai berikut.
9
Tujuan dari mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (BNSP, 2006) adalah: a.
Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaanNya.
b.
Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep Ilmu Pengetahuan Alam yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c.
Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya
hubungan
yang
saling
mempengaruhi
antara
Ilmu
Pengetahuan Alam, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. d.
Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
e.
Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
f.
Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
g.
Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan Ilmu Pengetahuan Alam sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
Sedangkan ruang lingkup dari mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam adalah : a.
Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan, dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
b.
Benda/ materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi : cair, padat, dan gas.
c.
Energi dan perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya, dan pesawat sederhana.
d.
Bumi dan alam semesta meliputi : tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.
10
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pada Kelas V, Semester II adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas V Semester II Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Energi dan Perubahannya 5. Memahami 5.1 Mendeskripsikan hubungan antara gaya, hubungan antara gerak dan energi melalui percobaan (gaya gaya, gerak, dan gravitasi, gaya gesek, pembentukan tanah) energi, serta 5.2 Menjelaskan pesawat sederhana yang dapat fungsinya membuat pekerjaan lebih mudah dan lebih cepat 6. Menerapkan sifat- 6.1 Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya sifat cahaya 6.2 Membuat suatu karya/model, misalnya melalui kegiatan periskop atau lensa dari bahan sederhana membuat suatu dengan menerapkan sifat-sifat cahaya karya/model Bumi dan Alam Semesta 7. Memahami 7.1 Mendeskripsikan proses pembentukan tanah perubahan yang karena pelapukan terjadi di alam 7.2 Mengidentifikasi jenis-jenis tanah dan hubungannya 7.3 Mendeskripsikan struktur bumi 7.4 Mendeskripsikan proses daur air dan dengan kegiatan manusia yang dapat penggunaan sumber daya alam mempengaruhinya 7.5 Mendeskripsikan perlunya penghematan air 7.6 Mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan dampaknya bagi makhluk hidup dan lingkungan 7.7 Mengidentifikasi beberapa kegiatan manusia yang dapat mengubah permukaan bumi (pertanian, perkotaan, dsb) 2.1.4. Hasil Belajar Siswa yang belajar akan mengalami perubahan sebagai hasil belajar yang telah dilakukan. Sadiman (2004:512) mendefinisikan “hasil belajar sebagai sesuatu yang diperoleh, didapatkan atau dikuasai setelah proses
11
belajar yang biasanya ditunjukkan dengan nilai atau skor”. Slameto (2003:4) menjelaskan “hasil belajar adalah perubahan yang terjadi secara sadar, bersifat kontinyu dan fungsional setelah mengalami pelatihan dan pengalaman
dalam
kegiatan
pembelajaran”.
Sedangkan
Sudjana
(1995:32) menyatakan “hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya”. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang didapat melalui pengalaman belajar setelah mengalami aktivitas belajar. Dapat mengartikan hal-hal yang mereka dapatkan serta kemudian diterjemahkan, ditafsirkan dan dibuat kesimpulan atau rangkuman dan dapat menjelaskan dengan kata-kata atau bahasa siswa sendiri. Penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasilhasil belajar yang dicapai siswa dalam kriteria tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa objek yang dinilai adalah hasil belajar. Hasil belajar pada hakekatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari proses belajar mengajar. Perubahan ini berupa pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap yang biasanya meliputi ranah kognitif, afektif dan psikimotorik. Dimyati dan Mudjiono (2002:174-176) serta Arikunto (2001:116-118) menjelaskan ranah-ranah tersebut sebagai berikut: 1. Ranah kognitif (Cognitive domain) Berkaitan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri atas enam aspek, yaitu pengetahuan atau ingatan (kognitif tingkat rendah) dan pemahaman, aplikasi, analisis dan evaluasi (kognitif tingkat tinggi). 2. Ranah afektif (Affective domain) Berkenaan dengan sikap yang terdiri atas lima aspek, yaitu; penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. 3. Ranah psikomotorik (Psychomotor domain) Berkenaan dengan hasil keterampilan dan kemampuan bertindak meliputi; gerakan refleks, keteraturan gerakan dasar, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks dan gerakan ekspresif.
12
Hasil belajar siswa dapat ditunjukkan dengan semakin bermutunya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang diketahui dari hasil pengukuran. Tes hasil belajar merupakan salah satu alat ukur yang banyak digunakan untuk menentukan keberhasilan belajar siswa. Dalam penelitian ini hasil belajar kognitif dan afektif siswa yang diukur, berdasarkan selisih skor antara pre-test dan post-test untuk hasil belajar kognitif sedangkan motivasi belajar siswa untuk hasil belajar afektif.
2.1.5. Hasil Belajar Kognitif Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Menurut Sudjana (1995) ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan
menghafal,
memahami,
mengaplikasi,
menganalisis,
mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup
kemampuan
intelektual
yang
lebih
sederhana,
yaitu
mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
13
2.1.6. Hasil Belajar Afektif Menurut Sudjana (1995) “ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, motivasi, aktivitas, sikap, emosi, dan nilai”. Beberapa pakar
mengatakan
bahwa
sikap
seseorang
dapat
diramalkan
perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya terhadap mata pelajaran, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran disekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru dan sebagainya. Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang diukur adalah: menerima (memperhatikan),
merespon,
menghargai,
mengorganisasi,
dan
karakteristik suatu nilai. Skala yang digunakan untuk mengukur ranah afektif seseorang terhadap kegiatan suatu objek diantaranya skala sikap. Hasilnya berupa kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Ada tiga komponen sikap, yakni kognisi, afeksi, dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang objek yang dihadapinya. Afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi objek tersebut, sedangkan konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat terhadap objek tersebut. Oleh sebab itu, sikap selalu bermakna bila dihadapkan kepada objek tertentu. Salah satu skala sikap yang sering digunakan adalah skala Likert. Dalam skala Likert, pernyataan-pernyataan yang diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subjek dengan sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju.
14
2.1.7. Motivasi Belajar Dalam penelitian ini hasil belajar afektif yang akan diukur adalah motivasi belajar siswa. Motivasi belajar adalah keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu tersebut untuk melakukan belajar untuk mencapai suatu tujuan Suryabrata (dalam Indriaswati, 2010:6). Motivasi belajar adalah dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia untuk belajar dalam rangka memenuhi harapan Koeswara (dalam Indriaswati, 2010:6) . Motivasi belajar merupakan suatu kekuatan potensial yang ada pada diri seseorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri, atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar (Winardi 2001: 207 ). Dari berbagai pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa motivasi belajar adalah suatu dorongan yang mengarahkan perilaku seseorang untuk belajar demi tercapainya tujuan tertentu.
2.1.8. Aspek-aspek Motivasi Belajar Hurlock dalam Hamalik (2000: 172) mengemukakan 4 (empat) aspek motivasi belajar pada individu: 1.
Perasaan senang yaitu merasa tertarik terhadap suatu mata pelajaran dan menerima pelajaran tersebut bukan karena terpaksa.
2.
Konsentrasi atau perhatian yaitu berusaha memperhatikan dan mengikuti proses pembelajaran.
3.
Kesanggupan dalam mengikuti pelajaran yaitu mencatat tugas, mendengar dan mengerjakan tugas.
4.
Kerajinan dalam belajar yaitu masuk sekolah dengan rutin, bertanya atau mengajukan pertanyaan ketika ada yang kurang jelas.
15
2.1.9. Faktor yang Mempengaruhi Hasil belajar Hasil belajar dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu keberhasilan belajar, ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa digolongkan menjadi dua, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini. a. Faktor Intern Faktor intern yang ada dalam diri siswa. Faktor intern dapat dikelompokkan, yaitu faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan. 1) Faktor jasmaniah Faktor jasmaniah meliput faktor kesehatan dan cacat tubuh. Proses kegiatan seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu juga ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, ngantuk jika badannya lemah. Agar seseorang dapat belajar dengan baik, kesehatan badanya harus tetap terjamin. Keadaan cacat tubuh mempengaruhi belajar. Siswa yang cacat belajarnya juga terganggu. 2) Faktor pikologis Faktor psikologis yang mempengaruhi hasil belajar siswa, yaitu intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kesiapan. Faktor intelegensi atau kecerdasan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar siswa. Siswa yang intelegensinya rendah, sulit untuk mencapai hasil belajar yang baik. Siswa yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi umumnya memiliki perhatian yang lebih baik, belajar lebih cepat, kurang memerlukan latihan, mampu menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu yang singkat, mampu menarik kesimpulan dan melakukan
abstraksi.
Sebaliknya
siswa
yang
kurang
cerdas
menunjukkan ciri-ciri belajar lebih lamban, memerlukan banyak
16
latihan, membutuhkan waktu yang lama untuk maju, tidak mampu melakukan abstraksi (Hamalik, 2001 : 59). Faktor Perhatian adalah pemusatan energi psikis yang tertuju kepada suatu objek pelajaran atau dapat dikatakan sebagai banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar (Sardiman, 1992: 44). Adanya perhatian siswa terhadap pelajaran yang dihadapi, sangat penting untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik. Bahan pelajaran yang tidak menarik perhatian siswa, akan membosankan. Karena bosan siswa tidak ingin belajar dan sebagai akibat, hasil belajarnya menjadi rendah atau menurun. Untuk menimbulkan perhatian diperlukan dorongan atau moivasi. Dalam hal ini orang tua di rumah, sangat diharapkan peranannya. Jika kebosanan terjadi di sekolah, maka guru dapat mengarahkan siswa untuk memperhatikan pelajaran. Minat belajar sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar, memiliki pengaruh yang besar. Minat sangat besar pengaruhnya dalam mencapai hasil belajar dalam suatu pekerjaan atau jabatan tertentu. Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan pendorong bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat motif-motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring). Dari manipulasi dan explorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan akan timbul minat terhadap sesuatu. Apa yang menarik minat seseorang mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik (Purwanto, 1990 : 56). Jika bahan yang dipelajari siswa sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajar lebih baik karena ia senang belajar dan pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajar. Motif yang kuat sangatlah perlu didalam belajar, didalam membentuk motif yang kuat dapat
17
dilaksanakan dengan adanya latihan-latihan dan pengaruh lingkungan yang memperkuat, jadi latihan sangat perlu dalam belajar. 3) Faktor kelelahan Kelelahan mempengaruhi hasil belajar, agar siswa dapat belajar dengan baik haruslah menghindari jangan sampai terjadi kelelahan dalam belajar.
b. Faktor Ekstern Faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar diri siswa. Faktor ekstern dikelompokkan menjadi tiga faktor yaitu : faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat. Keluarga lingkungan yang paling dekat dalam kehidupan siswa. Salah satu faktor penentu dalam keluarga adalah orang tua. Orang tua harus dapat menciptakan suatu keadaan dimana si anak berkembang dalam suasana ramah tamah, kejujuran dan kerjasama yang diperlihatkan oleh masing-masing anggota keluarga dalam hidup mereka setiap hari. Faktor yang sangat mempengaruhi hasil belajar anak dalam keluarga, meliputi cara mendidik, hubungan orang tua dengan anak dan ekonomi keluarga. Sekolah sebagai tempat dimana siswa menuntut ilmu juga ikut menentukan hasil belajar siswa. Hubungan siswa dengan guru, hubungan siswa dengan siswa lain, kurikulum, metode pembelajaran, sarana dan prasarana yang tersedia dan lain-lain. Masalah-masalah yang ada di sekolah dan kurang menarik bagi siswa akan mengurangi minat belajar siswa di sekolah. Dan hasil belajar yang diperoleh tidak akan maksimal. Kehidupan masyarakat di sekitar siswa berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Jika masyarakat di sekitar siswa melakukan kebiasaan yang tidak baik, akan berpengaruh jelek pada siswa yang ada di lingkungan itu. Akibatnya belajarnya terganggu dan bahkan siswa kehilangan semangat belajar. Sebaliknya jika lingkungan siswa adalah orang yang baik-baik, siswa terpengaruh ke hal-hal baik. Pengaruh itu
18
dapat mendorong siswa untuk belajar lebih giat, dan hasil belajar yang diperoleh akan baik.
2.1.10. Metode Pembelajaran Metode berasal dari kata metode yang berasal dari bahasa Greeka (Yunani) yakni Metha yang berarti melalui atau melewati dan Hodos yang berarti jalan. Dalam bahasa Inggris dijumpai istilah Method yang berarti metoda, cara, jalan. Jadi metode adalah jalan atau cara untuk mencapai tujuan tertentu (Rahardja, 2002: 9-10). Tujuan yang hendak dicapai adalah tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran adalah jalan atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran tentu ada berbagai macam metode yang dapat digunakan, namun perlu diketahui oleh guru, bahwa metode yang digunakan dalam proses pembelajaran haruslah metode yang tepat. Metode yang tepat dalam konteks ini berpijak pada konsep pendidikan baru lateral transmission dimana di dalamnya ada proses pertukaran pengalaman dan saling memberi informasi serta pendekatan pembelajaran
yang
melibatkan
siswa
dalam
proses
mendapat
pengetahuan/proses belajar serta tidak lagi berpatokan pada konsep pendidikan
tradisional
yang
tidak
melibatkan
siswa.
Metode
pembelajaran tersebut juga harus sesuai dengan pendekatan pembelajaran aktif cooperatif serta sesuai dengan karakteristik pendidikan di SD yang mana siswa sedang mengembangkan abilitas dengan kelompoknya. Oleh karena itu, metode yang dirasa tepat dipilih untuk diterapkan adalah metode diskusi/sarasehan/musyawarah.
19
2.1.11. Metode Diskusi Metode diskusi adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dimana guru memberikan kesempatan pada siswa di dalam kelompok (±3-7 orang) untuk mengadakan perbincangan secara ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau mencari berbagai alternative pemecahan terhadap suatu masalah. Metode diskusi juga dapat diartikan sebagai suatu kegiatan dimana sejumlah orang membicarakan secara bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik/masalah berdasarkan semua fakta yang memungkinkan untuk itu, pendapat tersebut dikemukakan Gilstrap dan Martin (dalam Rahardja, 2002:59). Jadi, dapat dikatakan bahwa metode diskusi adalah suatu cara yang dapat digunakan guru dalam proses pembelajaran dimana sejumlah siswa secara bersama-sama atau dalam kelompok bertukar pikiran untuk membicarakan bahan pelajaran sesuai dengan topik yang ada. Metode diskusi juga memiliki beberapa jenis yaitu diskusi kelas dan diskusi kelompok. Beberapa macam jenis diskusi kelas yaitu whole group, brain storming group dan colloqium, sedangkan diskusi kelompok yaitu buzz group, syndicate group, informal debate dan fish bowl, dan juga gabungan dari keduanya yaitu diskusi kelas dan kelompok yaitu panel (Rahardja, 2002: 62-63). a. Diskusi Kelas Jenis-jenis diskusi kelas yang sering dilakukan dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) Whole group Suatu kelas merupakan satu kelompok diskusi dengan anggota tidak lebih dari 15 anggota.
20
2) Brain Storming group Merupakan suatu diskusi di mana anggota kelompok bebas menyumbangkan ide-ide baru terhadap suatu masalah tertentu, di bawah seorang ketua. Semua ide yang sudah masuk dicatat untuk kemudian diklasifikasikan menurut suatu urutan tertentu. Suatu saat mungkin ada diantara ide baru tersebut yang dirasa menarik untuk dikembangkan. 3) Colloqium Merupakan suatu kegiatan dimana siswa dihadapkan pada nara sumber
untuk
mengajukan
pertanyaan.
selanjutnya
mengandung
pertanyaan-pertanyaan tambahan dari siswa yang lain. Pelajaran dengan maksud untuk memperjelas bahan pelajaran yang telah diterima.
b. Diskusi Kelompok Menurut Rahardja (2002: 63-65) diskusi kelompok dibedakan menjadi: 1) Buzz group Suatu kelas yang besar dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil 4 atau 5 orang. Tempat duduk diatur sedemikian rupa sehingga siswa saling berhadapan untuk memudahkan pertukaran pendapat. Diskusi ini dapat diadakan di tengah-tengah atau akhir pembelajaran. 2) Syndicate group Suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang terdiri dari 3-5 orang. Guru menjelaskan garis besar masalah dengan aspekaspeknya. kemudian tiap kelompok bertugas membahas suatu topik yang berbeda antar kelompok dan membuat kesimpulan untuk dilaporkan dalam sidang pleno serta didiskusikan lebih lanjut. 3) Informal debate Kelas dibagi menjadi dua team yang agak sama besarnya unluk memperdebatkan suatu bahan yang problematis, tanpa memperhatikan peraturan diskusi panel.
21
4) Fish bowl Diskusi terdiri dari beberapa orang peserta yang dipimpin oleh seorang ketua. Tcmpat duduk diatur setengah lingkaran dengan dua atau tiga kursi kosonu menghadap peserta, seolah-olah menjaring ikan dalam sebuah mangkuk (fish bowly). Kelompok pendengar yang ingin menyumbangkan pikiran dapat duduk di kursi kosong tersebut. Ketua mempersilahkan berbicara dan setelah selesai kembali ketempat semula. Demikianlah beberapa jenis metode diskusi yang dapat digunakan dalam pembelajaran, serta salah satunya dalam konteks penelitian ini adalah metode diskusi kelompok jenis syndicate group. Metode diskusi memiliki kebaikan dan kelemahan, kebaikannya adalah: a) Setiap
siswa
dapat
berperan
serta
secara
langsung
baik
kedudukannya sebagai ketua kelompok atau sebagai anggota dalam proses belajar. b) Setiap siswa mendapat kesempatan yang sama secara terbuka untuk mengemukakan pendapatnya, sehingga memungkinkan adanya keterlibatan secara intelektual, mental dan sosioemosional dalam proses belajar. c) Setiap siswa dapat ditumbuhkembangkan cara berfikir yang kritis, demokratis, dan ilmiah serta sikap social dan kerjasama. d) Dapat menumbuhkan keberanian berbicara sehingga mempunyai kepercayaan diri dan sikap toleransi. e) Setiap siswa dapat menguji tingkat penguasaan pengetahuan, menguji tingkat penguasaan pengetahuan, menguji pandangan terhadap nilai tertentu dan melatih mengambil keputusan secara tepat terhadap masalah yang dihadapi.
22
f) Dapat membantu siswa yang belum memahami penjelasan guru di kelas, sehingga di kelompok bisa memperoleh keterangan dari teman sebaya. Kelemahan metode diskusi dapat ditunjukan dari uraian berikut, yaitu: a) Berhasil tidaknya/tercapai tidaknya tujuan belajar sulit diramalkan karena tergantung pada kepemimpinan ketua kelompok dan anggotaanggotanya dalam peran serta proses belajar. b) Menyita waktu yang cukup banyak, sehingga bila bahan belajar masih banyak maka kurang tepat. c) Kecenderungan siswa ramai, maka perlu tempat yang khusus sehingga tidak mengganggu kelas lain. d) Dapat didominir oleh siswa yang menonjol dan yang tidak pandai bicara menjadi pasif/minder dan hanya menyetujui saja terhadap hasil diskusi. e) Apabila siswa belum memiliki pengetahuan dasar terhadap bahan yang didiskusikan maka akan merasa sulit dan hanya menjadi penonton saja. f) Guru sering enggan memanfaatkan metode diskusi, karena kurang menyadari manfaatnya disamping sulit mengatur/pengelolaan kelas dan menyita waktu yang cukup banyak (Rahardja, 2002: 60-61). Selain itu kelemahan metode ini adalah siswa yang tidak terbiasa berbicara di depan forum cenderung apatis (Yamin, 2007: 146). Namun, karena metode ini dirasa cocok untuk mengaktifkan siswa dan juga di dalamnya menuntut adanya partisipasi siswa untuk kebaikan bersama, maka metode ini dapat dipilih sekalipun memiliki kelemahan.
23
2.1.12. Metode Diskusi Kelompok Jenis Syndicate Group Metode diskusi kelompok jenis syndicate group pada hakikatnya adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dimana guru membagi kelas dalam beberapa kelompok yang terdiri 3 – 5 siswa, yang tiap kelompok ditugasi membahas sub – sub topik (aspek tertentu) yang berbeda dari topik yang sama pada akhirnya akan diadakan diskusi kelas, agar setiap kelompok melaporkan hasilnya di forum kelas untuk ditarik suatu kesimpulan dari satu topik itu (Rahardja, 2002: 59-62). Keberadaanya juga sesuai dengan hakikat metode diskusi kelompok dimana siswa dapat menyatakan pendapat dan memperoleh informasi tentang topik yang menjadi perhatian belajar dari anggota kelompok lainnya (Surjadi, 1989: 63). Metode diskusi kelompok jenis syndicate group ini juga sesuai dengan konsep lateral transmission yang mana siswa dalam kelompok dituntut untuk melakukan aktivitas melalui proses menemukan, menyelidiki, menciptakan dan membuat hal baru dalam proses pembelajaran, maka tepatlah jika metode tersebut diterapkan. Metode diskusi kelompok jenis syndicate group juga sesuai dengan pembelajaran kooperatif dimana siswa satu dengan yang lainnya dapat saling menggantikan jika ada anggota kelompoknya yang tak mampu salain itu pengaruh positif terhadap efektivitas perilaku sesamanya muncul ketika semua anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama yaitu menjadi kelompok yang terbaik maka kerjasama akan muncul, keterbukaan pengaruh antar partisipan yang tinggi dimana mereka saling bertukar pikiran dan juga belajar memberi dan menerima pendapat kepada dan dari orang lain.
24
2.1.13. Langkah-langkah Metode Diskusi Kelompok Jenis Syndicate Group Metode diskusi kelompok jenis syndicate group memiliki langkahlangkah yang sesuai dengan tahapan pada pembelajaran kooperatif, pola mengajar dari Morrison Plan dan unsur – unsur dari pembelajaran kooperatif (Hamalik, 2009:60-61). a) Proses forming (pembentukan)/ tahap eksplorasi dan presentasi Siswa diberi kesempatan untuk membentuk kelompok sesuai norma yang berlaku dan kemudian guru memberi arahan untuk menghubungkan dengan topik /subtopik yang akan dibahas dengan harapan tumbuh sikap saling ketergantungan positif. b) Proses functioning (pengaturan)/tahap asimilasi Dimana
diadakan
pembagian
tugas
untuk
menyelesaikan
topik/subtopik yang akan dibahas siswa, dan juga siswa diberi kesempatan mempelajari masalah dan mempelajari bahan-bahan dari berbagai sumber serta berusaha menguasainya hingga menjadi miliknya dan menumbuhkan tanggungjawab perseorangan untuk mendukung kelompoknya karena subtopik yang dibahas tiap kelompok berbeda. c) Proses formatting (perumusan)/tahap organisasi Siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan, baik lisan maupun tertulis, materi yang telah dikuasainya kemudian disusun dalam satu kesatuan melalui ketrampilan memahami bahan pelajaran khususnya dalam bentuk rangkuman yang di dalamnya dilandasi proses komunikasi yang tumbuh antar anggota kelompok.
25
d) Poses fermenting (penyerapan)/ tahap resitasi, Setelah proses perumusan selesai maka diperlukan sarana pengujian bagi hasil belajar kognitif dan afektif siswa melalui proses fermenting (penyerapan)/ tahap resitasi, kegiatan yang dilakukan adalah resitasi atau penilaian performance (penampilan) masing-masing kelompok melalui presentasi mengkomunikasikan buah pemikiran kelompok pada subtopiknya masing-masing di kelas dan ditanggapi kelompok yang lain untuk ditarik suatu kesimpulan serta guru memberikan tambahan pemahaman dan penajaman materi yang telah dipelajari. Performance kelompok seperti pendapat Mager digunakan untuk merumuskan konsep tujuan pembelajaran yang menitikberatkan pada tingkah laku siswa atau perbuatan (performance) sebagai output (keluaran) pada diri siswa, yang dapat diamati. Output tersebut menjadi petunjuk, bahwa siswa telah melakukan kegiatan belajar. Mulanya siswa belum menunjukan tingkah laku tertentu, tetapi setelah belajar dia dapat menunjukkan tingkah laku tersebut (Hamalik, 2008:77).
2.2. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Kajian publikasi hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini tidak banyak, hal ini menunjukkan bahwa masih minimnya penelitian tentang penggunaan metode diskusi kelompok jenis syndicate group terhadap hasil belajar kognitif dan afektif IPA siswa Kelas V SD. Tentunya hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong penelitianpenelitian berikutnya untuk melakukan kajian serupa. 1.
Penelitian Adi Nugroho Sutejo (2010/2011) menyatakan ada pengaruh penerapan metode diskusi kelompok jenis syndicate group sebagai upaya untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di kelas VII D Semester Gasal 2010/2011
26
SMP Bhakti Mulia Wonosobo. Dalam penelitian ini, Selama penerapan metode diskusi kelompok jenis syndicate group aktivitas belajar siswa dapat muncul. Hal ini terlihat keaktifan siswa meningkat dan hasil belajarnya juga meningkat yaitu semula nilai rata-rata 50,95 pada pra siklus menjadi 90,48 pada siklus 1 dan 97,38 pada siklus 2. 2.
Penelitian Mochamad Aswadi Syukur (2009/2010) dalam skripsi yang berjudul “Upaya meningkatkan prestasi belajar siswa IPA dengan penerapan metode diskusi kelompok jenis syndicate group pada siswa kelas IV semester II SD Negeri I Tempel Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Tahun Pelajaran 2009/2010“. Penerapan metode diskusi kelompok jenis syndicate group ini secara perlahan menimbulkan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat sehingga aktivitas dalam proses pembelajaran dapat ditingkatkan. Dan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran IPA dapat meningkat. Hal ini dapat dilihat pada tes pembelajaran siklus I dan siklus II. Rata-rata nilai siswa saat kondisi awal adalah 43,40 saat siklus I rata-rata nilainya meningkat sebanyak 66,54 dan saat siklus II rata-rata nilai siswa menjadi 75.
2.3. Kerangka Berfikir Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru mata pelajaran IPA dalam hal ini bertujuan supaya siswa dapat berpikir kritis dan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran atau proses mendapat pengetahuan pada materi pembelajaran tentang pembentukan tanah. Oleh karena itu diperlukan metode pembelajaran yang tepat dimana siswa dapat terlibat secara aktif di dalamnya. Pada konteks ini metode pembelajarannya disesuaikan dengan karakteristik pendidikan SD yang mana siswa sedang menumbuhkembangkan abilitas dalam kelompok kecil dan menanamkan jiwa kebersamaan. Metode yang tepat adalah diskusi kelompok jenis syndicate group.
27
Dengan menggunakan metode diskusi kelompok jenis syndicate group dapat meningkatkan hasil belajar kognitif dan afektif siswa. Sehingga dalam kegiatan belajar tidak hanya monoton mendengarkan ceramah dari guru saja, tetapi siswa dapat belajar secara berkelompok. Jadi siswa dalam kelompok dituntut untuk melakukan aktivitas melalui proses menemukan, menyelidiki,
menciptakan
dan
membuat
hal
baru
dalam
proses
pembelajaran. Dengan demikian pemahaman terhadap materi pelajaran dapat secara optimal, sehingga hasil belajar kognitif dan afektif siswa pun menjadi optimal. Adapun bagan kerangka berpikir dapat dilihat sebagai berikut.
Metode Diskusi Kelompok
Syndicate Group
Forming (pembentukan)
Functioning (pengaturan)
Formatting (perumusan)
Gambar 2.2 Hasil belajar kognitif dan afektif Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
Fermenting (penyerapan)
28
2.4 Hipotesis Penelitian Menurut Sugiyono (2007) hipotesis dalam statistik merupakan dugaan keadaan populasi dengan menggunakan data sampel. Hipotesis akan diuji di dalam penelitian dengan pengertian bahwa uji statistik selanjutnya yang akan membenarkan atau menolaknya. Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu : 1) Ho1 : µ1 = µ2
Metode diskusi kelompok jenis syndicate group tidak efektif terhadap hasil belajar kognitif bagi siswa kelas
Ha1 : µ1 ≠ µ2
V SD. Metode diskusi kelompok jenis syndicate group efektif terhadap hasil belajar kognitif bagi siswa
2) Ho2 : µ3 = µ4
kelas V SD. Metode diskusi kelompok jenis syndicate group tidak efektif terhadap hasil belajar afektif bagi siswa
Ha2 : µ3 ≠ µ4
kelas V SD. Metode diskusi kelompok jenis syndicate group efektif terhadap hasil belajar afektif bagi siswa kelas V SD
Keterangan: μ1 = Rata-rata hasil belajar kognitif siswa yang belajar menggunakan metode konvensional. μ2 = Rata-rata hasil belajar kognitif siswa yang belajar menggunakan metode diskusi kelompok jenis syndicate group. μ3 = Rata-rata hasil belajar afektif siswa yang belajar menggunakan metode konvensional. μ4 = Rata-rata hasil belajar afektif siswa yang belajar menggunakan metode diskusi kelompok jenis syndicate group.