BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Rumah sakit sebagai organisasi publik diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat. Namun disisi lain rumah sakit secara umum dihadapkan pada masalah pembiayaan, dalam arti alokasi anggaran yang tidak memadai sedangkan pendapatan dari penerimaan masih rendah dan tidak boleh digunakan secara langsung.Kondisi ini akan memberikan dampak serius bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit karena sebagai organisasi yang beroperasi setiap hari, likuiditas keuangan merupakan hal utama dan dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan operasionalnya (Yudianto dkk, 2009). Sektor kesehatan memasuki abad ke-21 ditandai dengan globalisasi seperti meningkatnya jumlah penduduk, kemajuan ilmu dan teknologi dibidang kesehatan dan
meningkatnya
permintaan
terhadap
pelayanan
kesehatan.
Hal
ini
mengakibatkan biaya pelayanan kesehatan dari hari ke hari semakin tinggi. Disisi
7
8
lain terjadinya inflasi menyebabkan semakin tingginya biaya obat-obatan, biaya komponen medik dan non medik pelayanan kesehatan yang canggih seperti air conditioner (AC), karpet, telepon, televisi dan lain-lainnya. Anestesi sebagai salah satu komponen layanan kesehatan di rumah sakit juga tidak lepas berperanan dalam menentukan pembiayaan rumah sakit atau biaya yang harus dibayarkan pasien yang menerima jasa layanan anestesi. Berdasarkan hal tersebut, penting kiranya untuk seorang dokter ahli anestesi mengembangakan teknik-teknik terbaru berdasarkan perkembangan teknologi dan ketersediaan alat serta bahan. Idealnya, seorang dokter ahli anestesi selain menguasai teknologi mutakhir di bidangnya, juga memiliki kemampuan untuk menunjukkan angka ekonomis dari suatu teknologi yang baru tersebut. Anestesiologi pada awalnya hanyalah merupakan disiplin ilmu yang merupakan suatu divisi kecil dari bagian bedah, yang bertugas membantu kelancaran operasi dengan memfasilitasi pembiusan. Memfasilitasi pembiusan diharapkan dapat meniadakan rasa nyeri dari penderita sehingga memudahkan sejawat operator pemegang pisau untuk bekerja. Anestesiologi kemudian menjadi salah satu ilmu yang berkembang sangat pesat di dunia kedokteran. Untuk memberikan anestesia pada mulanya hanya digunakan alat sederhana berupa sungkup dietil eter yang dipresentasikan pertama kali oleh dokter gigi William Thomas GreenMorton (1819-1868) pada tahun 1846.William Thomas Green Morton bekerjasama dengan dokter ahli bedah kenamaan pada waktu itu yang bernama dr. John Collins Warren di Massachusets General Hospital
dan
berhasil
melakukan
pembedahan
tumor
rahang
tanpa
memperlihatkan gejala kesakitan. Peristiwa ini menjadi tonggak sejarah anestesi
9
dunia. Meskipun pada tahun 1849 dipublikasikan bahwa anestesia ether ternyata telah digunakan lebih dini, yakni pada tahun 1842 oleh Crawford Long (18151878). Oleh karena itu di dunia anestesia modern, sejarah perkembangan ether tidak terpisahkan dari dua nama tersebut, yakni Morton dan Long (Butterworth dkk, 2012). Sejalan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang fisika dan kimia, mulai diciptakan suatu mesin yang dapat membantu tindakan anestesia, yaitu mesin anestesi untuk fasilitasi teknik anestesi inhalasi. Mesin anestesi mengalami rangkaian metamorfosa dan pengembangan dari kelengkapannya. Sejalan dengan penemuan-penemuan alat dan obat anestesi yang baru, tehnik anestesi juga ikut mengalami perkembangan yang sangat pesat. Seiring dengan itu, tehnik anestesi regional mengalami perkembangan dan mulai mendapatkan tempat tersendiri, namun anestesi umum masih merupakan tehnik anestesi yang paling banyak dikerjakan dalam praktek klinis sehari-hari. Anestesi umum bertujuan memberikan efek analgesia, menghilangkan kecemasan, amnesia, hilangnya kesadaran, penekanan terhadap respon kardiovaskular, motorik serta hormonal terhadap stimulasi pembedahan. Obat anestesi intravena yang ideal haruslah menyediakan semua komponen tadi tanpa menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan terhadap sistem kardiovaskular. Obat anestesi intravena diharapkan menginduksi hilangnya kesadaran dengan cepat, stabilnya keadaan hemodinamik dan juga cepat dalam pemulihannya dengan tetap mempertahankan fungsi sistem saraf pusat seperti sebelum pembiusan.
10
2.1 Farmakoekonomi Farmakoekonomi merupakan salah satu cabang dalam bidang farmakologi yang mempelajari mengenai pembiayaan
pelayanan kesehatan, dimana
pembiayaan dalam hal ini mencakup bagaimana mendapatkan terapi yang efektif, bagaimana dapat menghemat pembiayaan, dan bagaimana dapat meningkatkan kualitas hidup. Farmakoekonomi adalah suatu metoda baru untuk mendapatkan pengobatan dengan biaya yang lebih efisien dan serendah mungkin tetapi efektif dalam merawat penderita untuk mendapatkan hasil klinik yang baik (cost effective with best clinical outcome) (Walley dkk, 1991; Gattani dkk, 2009; Areda dkk, 2011). Kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis. Empat metode analisis ini tidak hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya. Metode analisis dalam kajian farmakoekonomi meliputi : -
Analisis minimalisasi biaya (AMiB) dengan karakteristik analisis efek dua intervensi sama (atau setara), valuasi/biaya dalam rupiah
-
Analisis efektifitas biaya (AEB) dengan karakteristik analisis efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan diukur dalam unit alamiah/indikator kesehatan, valuasi/biaya dalam rupiah
11
-
Analisis utilitas biaya (AUB) dengan karakteristik analisis efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dalam quality-adjusted life years, valuasi/biaya dalam rupiah.
-
Analisis mamfaat biaya (AMB) dengan karakteristik analisis efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dinyatakan dalam rupiah, valuasi/biaya dalam rupiah (McGregor, 2003) Metode analisis minimalisasi biaya adalah analisis farmakoekonomi yang
paling sederhana. Analisis minimalisasi biaya digunakan untuk membandingkan dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan. Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda, dapat digunakan analisis efektivitas biaya. Analisis efektivitas biaya tidak mengukur hasil pengobatan dalam unit moneter, melainkan didefinisikan dan diukur dalam unit alamiah, baik yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat (misalnya, penurunan kadarLDL darah dalam mg/dL, penurunan tekanan darah diastolik dalam mm Hg)maupun hasil selanjutnya dari efek terapi tersebut (misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang tukak lambung yang tersembuhkan). Metode lain yang juga banyak digunakan adalah AUB. Seperti AEB, biaya pada AUB juga diukur dalam unit moneter
12
(jumlah rupiah yang harus dikeluarkan), tetapi hasil pengobatan dinyatakan dalam unit utilitas, secara teoritis AUB dapatdigunakan untuk membandingkan dua area pengobatan
yang
berbeda.
Analisis
manfaat
biaya
digunakan
untuk
membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memiliki tujuan berbeda atau dua program yang memberikan hasil pengobatan dengan unit berbeda. Pembandingan intervensi kesehatan dengan tujuan dan/atau unit hasil pengobatan berbeda ini dimungkinkan karena, pada metode AMB, manfaat (benefit) diukur sebagai manfaat ekonomi yang terkait (associated economic benefit) dan dinyatakan dengan unit yang sama, yaitu unit moneter. Namun demikian, karena alasan etika serta sulitnya mengkuantifikasi nilai kesehatan dan hidup manusia, AMB sering menuai kontroversi. Sebab itu, AMB juga agak jarang digunakan dalam kajian farmakoekonomi, bahkan dalam kajian ekonomi kesehatan yang lebih luas pun masih jarang sekali dilakukan. Pada penelitian ini akan memfokuskan bahasan pada medote yang sederhana yaitu analisis minimalisasi biaya (Walley dkk, 1991).
2.1.1 Analisis Minimalisasi Biaya (AMiB) Merupakan metode kajian farmakoekonomi paling sederhana, AMiB hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama,serupa, atau setara atau dapat diasumsikan setara. Karena hasil pengobatan dari intervensi (diasumsikan) sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya. Dengan demikian, langkah terpenting yang harus dilakukan sebelum menggunakan AMiB
13
adalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji. Tetapi, karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang setara atau dapat dengan mudah dibuktikan setara, penggunaan AMiB agak terbatas, misalnya untuk: 1.
Membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik bermerek dengan bahan kimia obat sejenis dan telah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas bioekuivalen (BA/BE). Jikatidak ada hasil uji BA/BE yang membuktikan kesetaraan hasil pengobatan, AMiB tidak layak untuk digunakan.
2.
Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara. Dalam hal ini, peneliti akan membandingkan agen inhalasi sevofluran yang standar digunakan dengan TCI propofol. Setiap perspektif analisis memiliki banyak jenis biaya yang harus
dimasukkan. Untuk menggunakan metode AMiB secara baik tetap diperlukan keahlian dan ketelitian (Walley dkk, 1991; Gattani dkk, 2009; Areda dkk, 2011).
2.2 Anestesi Inhalasi Tehnik anestesi inhalasi adalah tehnik yang paling sering digunakan untuk memberi pelayanan anestesi umum di RSUP Sanglah sebelum kemudian muncul berbagai macam obat anestesi intravena yang menawarkan alternatif dan juga keuntungan tersendiri. Obat-obat inhalasi juga merupakan obat yang digunakan pertama dalam anestesi sebelum dihasilkannya jarum hypodermic. Nitrous oxide (N2O), obat anestesi inhalasi pertama, disintesa pada tahun 1772 dan masih
14
digunakan hingga sekarang. Dalam perkembangannya, ditemukan kemudian gas berhalogenasi yang dipercaya lebih aman, lebih stabil, dan lebih poten anestesinya. Tenaga anestesi pada akhir tahun 1800-an menggunakan N2O, diethyl ether, dan chloroform untuk memfasilitasi pembedahan. Untuk memenuhi kebutuhan gas anestesi yang dapat bekerja cepat, diciptakan gas anestesi dengan kelarutan yang rendah: isofluran (1981), desfluran (1992), dan sevofluran (1995). Tenaga anestesi profesional mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap teknik anestesi mereka dengan menggunakan gas dengan kelarutan yang lebih rendah. Dua yang lebih baru, sevofluran dan desfluran, mempunyai keuntungan lebih banyak termasuk induksi yang lebih cepatjika dibandingkan dengan gas anestesi yang lebih lama, meskipun ditengarai lebih mahal. Menentukan biaya gas anestesi penting bagi suatu institusi karena akan berpengaruh besar pada harga pelayanan kesehatan dengan menggunakan obat
secara efektif (Meyer, 2010). Teknik
anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Ambilan dan distribusi gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh ambilan oleh paru, difusi gas dari paru ke darah, distribusi olehdarah ke organ target. Pembuangan gas anestesi sebagian besar melalui paru-paru. Sebagian lagi dimetabolisme oleh hepar dan ginjal dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Jumlah agen anestesi yang dikeluarkan dari tubuh melalui metabolisme lebih kecil dibanding jumlah yang dikeluarkan melalui cara ekspirasi (Butterworth dkk, 2013;Stoelting dkk, 2006).
15
Mekanisme kerja obat anestesi inhalasi sangat rumit dan masih merupakan misteri dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernafasan menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam dunia anestesiologi (Latief dkk, 2002).Anestesi inhalasi bekerja pada berbagai level sistem saraf pusat. Mengacaukan transmisi sinaptik normal dengan mempengaruhi pelepasan neurotransmitter
dari
ujung
saraf
presinaptik
(menekan eksitatori atau meningkatkan transmisi inhibitori), atau mengganggu re-uptake neurotransmitter, atau dengan mengubah ikatan neurotransmitter pada reseptor post sinaptik. Keduanya, baik itu efek pre dan postsinaptik dapat terjadi. Interaksi langsung dengan membran plasma neuronal lebih sering terjadi,tetapi selain itu kerja tidak langsung melalui second messenger juga memungkinkan. Adanya hubungan yang kuat antara kelarutan dalam lemak dan potensi anestesi menunjukkan agen anestesi inhalasi memiliki kerja pada sisi hidrofobik juga. Postulat hipotesis reseptor protein mengatakan bahwa susunan saraf pusat berperan terhadap kerjanya agen anestesi inhalasi. Bagaimanapun, masih belumjelas apakah agen inhalasi mengganggu aliran ion melalui saluran membran dengan cara kerja tidak langsungnya pada membran lipid melalui perantara seccond messenger. Atau secara langsung dan spesifik mengikat saluran protein. Teori lain menjabarkan mengenai aktivasi dari Gamma Aminobutyric Acid (GABA) reseptor oleh gen anestesi inhalasi. Agen volatile mengaktifkan GABA channel dan menghiperpolarisasikan membran sel. Sebagai tambahan, agen ini juga menghambat calcium channel yang pada akhirnya mencegah pelepasan neurotransmitter (Butterworth dkk, 2013; Stoelting dkk, 2006).
16
Sevofluran adalah fluorinated methyl isopropyl ether. Koefisien partisi darah gas sevofluran adalah 0,69 yang secara teoritis memungkinkan obat ini menginduksi dalam waktu singkat dan terjadi pemulihan yang cepat pula setelah obatnya dihentikan. Dibandingkan dengan isofluran, pemulihan dengan sevofluran bisa lebih cepat 3 sampai 4 menit. Minimum alveolar concentration (MAC) pada suku kamar 37ºC, pada tekanan 760 mmHg, usia 30-35 tahun adalah 1,8-2,0% (Aranake dkk, 2005; Eger dkk, 1965; Eger, 2002). Minimum alveolar concentration sevoflurane akan menurun sesuai dengan bertambahnya umur, pemberian N2O, opioid, barbiturat, benzodiazepine, alkohol, temperatur, obat yang mempengaruhi konsentrasi katekolamin sentral dan perifer (misalnya: reserpin, alpha metyl dopa). Minimum alveolar concentration sevoflurane adalah 2,5% untuk pasien yang berumur 6 bulan sampai 12 tahun dan 3,2-3,3% untuk dibawah umur 6 bulan (Eger, 2002). Sevofluran memiliki bau yang manis dan tidak iritatif terhadap saluran nafas bahkan dikatakan dapat menyebabkan bronkodilatasi sehingga merupakan salah satu obat volatil yang dapat digunakan untuk induksi inhalasi. Sekitar 3% sampai 5% obat ini mengalami biodegradasi, metabolitnya berupa fluorida anorganik dan hexafluoroisopropanol. Secara kimiawi, sevofluran tidak dimetabolisme menjadi acyl halide reaktif seperti pada halotan. Substansi tersebut yang bersifat hepatotoksik dan tidak dihasilkan oleh sevofluran sehingga sevofluran dikatakan tidak memiliki efek hepatotoksik. Namun reaksi antara sevofluran dengan absorber karbon dioksida akan menghasilkan fluoromethyl-2,2-difluoro-1-(trifluoromethyl) vinyl-ether atau yang juga dikenal sebagai compound A. Compound A ini bersifat nefrotoksik bila dalam
17
dosis besar yang diberikan pada binatang percobaan dimana terjadi kerusakan tubulus proximal ginjal. Namun dikatakan bahwa compound A yang terjadi dalam dosis normal sevofluran yang kita berikan pada pasien jauh lebih rendah dari dosis yang menyebabkan nefrotoksik walaupun aliran gas segar yang diberikan hanya 1 liter per menit. Efek sevofluran pada sistem kardiovaskular adalah depresi ringan terhadap kontraktilitas myokard. Resistensi vaskular sistemik serta tekanan darah arterial menurun sedikit namun tidak sehebat pada isofluran atau desfluran. Tidak ada bukti bahwa sevofluran menyebabkan coronary steal syndrome. Pada sistem pernafasan, sevofluran menyebabkan depresi sistem respirasi dan menyebabkan bronkodilatasi (Chernin, 2004; Inomata dkk, 1999). Pada sistem saraf pusat, sevofluran menyebabkan peningkatan cerebral blood flow dan tekanan intrakranial pada keadaan normokarbia. Sevofluran konsentrasi tinggi (> 1,5 MAC) akan mengganggu autoregulasi otak sehingga bila hal ini terjadi bersamaan dengan perdarahan maka otak akan gagal melakukan autoregulasi dan perfusi ke otak akan turun. Pada sistem muskuloskeletal, sevofluran memiliki efek relaksasi yang baik sehingga dapat diandalkan sebagai relaksan otot pada bayi yang diinduksi inhalasi dengan sevofluran. Sevofluran sedikit menurunkan aliran darah ke ginjal dan metabolitnya yang terbentuk dalam jumlah besar dapat bersifat nefrotoksik. Sevofluran menyebabkan penurunan aliran darah portal namun meningkatkan aliran darah ke arteri hepatika sehingga secara umum tidak terlalu mempengaruhi aliran darah ke hepar serta oksigenasinya.(Fang dkk, 1996; Eger, 2002; Eger, 2010).
18
2.3 Target Controlled Inhalational Anesthesia (TCIA) Target controlled inhalational anesthesia yang juga disebut end tidal control adalah sebuah sistem pemberian anestesi yang terdapat pada mesin anestesi generasi yang baru seperti mesin anestesi Drager Zeus (Dräger Zeus® Infinity® Empowered Anesthesia Workstation), mesin anestesi AISYS Carestation (WiproGE healtcare Pvt, Ltd 881), mesin anestesi Drager Primus® (Sinclair dkk, 2014; Hinz dkk, 2012). Target controlled inhalational anesthesia merupakan modalitas sistem pemberian anestesi dimana mesin menyesuaikan secara otomatis kadar agen anestesi untuk mencapai target level yang diinginkan oleh pengguna. Beberapa mesin mulai dikeluarkan dengan teknologi sirkuit pernafasan semi tertutup ataupun tertutup secara otomatis untuk mengontrol kadar end tidal (ET) dari agen anestesi volatil, oksigen dan nitrous oxide (N2O). Penggunaan agen anestesi inhalasi pada sirkuit semi tertutup ataupun tertutup membuat agen volatil anestesi bisa dihirup kembali. Hal ini membuat perbedaan pada agen anestesi volatil yang diberikan dan yang di inspirasi
tergantung pada fresh gas flow
(FGF). Sehingga FGF yang tinggi dibutuhkan pada permulaan anestesi agar bisa mendapatkan kontrol yang cepat terhadap kadar ET anestesi. Kondisi tersebut membuat aliran gas yang lebih besar dan meningkatkan biaya serta polusi lingkungan. Fresh gas flow yang rendah dapat digunakan ketika kadar konsentrasi ET anestesi yang stabil untuk periode waktu tertentu. Tehnik yang memamfaatkan aliran FGF yang kurang dari ventilasi alveolar dapat diklasifikasikan sebagai low flow anesthesia didefinisikan sebagai tehnik dimana setidaknya 50% gas ekspirasi dikembalikan lagi ke paru-paru setelah karbondioksida mengalami penyerapan.
19
Low flow anesthesia adalah suatu tehnik yang benar-benar sangat berarti dalam penghantaran aliran gas kurang dari 2 liter per menit yang digunakan untuk memberikan agen anestesi kepada pasien (Potdar dkk, 2014; Baum, 1994). Kontrol gas anestesi secara otomatis untuk mewujudkan keamanan pasien yang lebih baik dan pengoperasian yang lebih sederhana. Penggunan kontrol anestesi yang tepat melalui dosis agen anestesi yang tepat adalah sangat penting untuk keamanan pasien. Dengan mesin anestesi generasi terbaru yang telah menerapkan sistem target controlled anesthesia (TCA) memungkinkan dapat secara akurat mengontrol otomatis penggunaan oksigen, gas pembawa, anestesi volatil, dan juga kontrol manual dosis fresh gas. (Singaravelu dkk, 2012; Olympio, 2015). Sistem TCA ini memungkinkan dokter anestesi dapat menentukan target nilai. Fungsi TCA memastikan bahwa target nilai ini tercapai dan dapat dipertahankan dengan baik. Kontrol secara otomatis akan dapat memberikan secara tepat jumlah gas anestesi yang diberikan, dan tidak hanya membuat induksi dan pemulihan anestesi yang cepat namun juga dapat memberikan kedalaman anestesi yang stabil. Target controlled anesthesia dapat membantu menentukan target efek dari anesthesi yang diberikan dengan lebih akurat, hal ini berarti menjadi mungkin sebelum induksi dapat diatur konsentrasi ET agen anestesi sehingga menjadi sangat dekat dengan efek yang diinginkan. Jumlah gas anestesidalam dosis yang tepat pada sistem mesin generasi terbaru menurunkan konsumsi gas dan agen anestesi yang kemudian akan menurunkan biaya anestesi. Pada mode operasi sistem tertutup gas yang dikonsumsi hanya sebanyak yang digunakan oleh pasien. Penggunaan gas menjadi lebih sedikit dgn low flow atau minimal flow anestesia dan dengan
20
aplikasi pemberian anestesi yang semuanya secara otomatis. Agen anestesi yang digunakan secara langsung diaplikasikan pada sirkuit pernafasan, hal ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk anestesi menjadi lebih optimal, tidak tergantung pada suplai fresh gas (Singaravelu dkk, 2012; Tay, 2013; Weich dkk, 1991). Pertimbangan
ekonomis
dan
lingkungan
menjadi
dasar
pada
pengembangan sirkuit semi tertutup untuk pemberian anestesi volatil yang mana sebagian besar campuran volatil anestesi akan dihirup kembali sehingga terjadi perbedaan antara konsentrasi gas yang diberikan dan dinspirasi tergantung padaFGF. Terkadang dalam beberapa kasus FGF yang tinggi dibutuhkan untuk memperoleh kontrol kadar ET anestesi yang cepat (biaya dan polusi lingkungan menjadi lebih tinggi) dan pada kasus kasus lain FGF yang rendah dapat diberikan ketika konsentrasi ET stabil utk periode waktu tertentu. Pemberian gas dan sistem vaporizer dapat dikontrol baik secara manual untuk anestesi low flow (500-1000 ml/menit) atau minimal flow (250-500 ml/menit) ataupun yang disebut mode autokontrol dimana FGF komposisinya secara otomatis disesuaikan dgn kebutuhan pasien baik oksigen maupun agen volatil. Dokter anestesi pada awalnya menentukan target konsentrasi ET dan kemudian secara manual menyesuaikan target ini berdasarkan kebutuhan pasien. Konsentrasi inspirasi dan ekspirasi diukur oleh teknologi inframerah side stream dan sensor oksigen paramagnetik. Aliraran gas dikembalikan kedalam sistem sehingga sistem sepenuhnya menjadi tertutup. Sebagai tambahan campuran fresh gas dikontrol secara otomatis untuk menjaga konsentrasi oksigen pada target level dan dapat dipertahankan tekanan yang konstan pada akhir ekspirasi. Jika tekanan ini
21
menurun, FGF secara otomatis akan ditingkatkan sebaliknya jika tekanan naik FGF akan diturunkan. Sehingga pada kondisi yang stabil hanya sedikit atau tidak ada gas yang terbuang, inilah yang merupakan ciri sistem tertutup. Sebagai konsekuensi dari sistem tertutup ini dengan konsentrasi oksigen yang stabil oksigen yang mengalir ke dalam sistem dapat dianggap sebagai oksigen yang dikonsumsi oleh pasien. Anestesi volatil diberikan dengan cara injeksi sehingga untuk meningkatkan konsentrasi anestesi volatil tanpa meningkatkan FGF. Jumlah yang diberikan dikalibrasi untuk mencapai konsentrasi ET yang diinginkan dalam waktu kurang dari tiga menit tanpa overshooot, berdasarkan farmakokinetik yang meliputi fungsional residual kapasitas yang dihitung berdasarkan berat badan dan tinggi badan pasien (Ponsonnard dkk, 2014; Patil dkk, 2013; Baxter 1997). Untuk keamanan konsentrasi agen volatil dalam sirkuit dibatasi agar level inspirasi menjadi tidak lebih tinggi dari pada yang diperoleh dengan vaporiser tradisional. Sistem keamanan menggunakan sensor sidestream yang berdiri sendiri untuk mengukur volatil agen dan konsentrasi oksigen yg diinspirasi. Target controlled anesthesia diharapkan dapat: 1. Meminimalisasi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ET anestesi yg diinginkan. 2. Mengurangi overshoot dan fluktuasi 3. Mengurangi konsumsi gas dan penguapan 4. Mengurangi jumlah pengaturan yang diperlukan (semua ini mirip dengan pengaturan agen intra vena dengan TCI)
22
Target controlled anesthesia dapat mencapai keseimbangan sama cepat dengan pemberian secara manual (konvensional) dengan FGF yang tinggi tetapi sistem ini tanpa menimbulkan overshoot, dan secara signifikan akan mengurangi konsumsi volatil agen. (Lortat-Jacob dkk, 2009; Lockwood dkk, 2001; Loke dkk, 1993).
Gambar 2.1 (a) Skema Diagram dari Sistem Sirkuit Pernafasan Anestesi Tradisional (b) Skema Diagram Sirkuit Pernafasan Anestesi dengan End Tidal Control. (Dikutip dari GE Healthcare 2014)
23
2.3.1 Mekanisme Dari Target Controlled Inhalational Anesthesia Target controlled inhalational anesthesia adalah sebuah mekanisme dalam sistem pernafasan, dimana nilai gas yang diinginkan ditentukan secara komputerisasi, untuk mencapai target pemberian gas. Sirkuit pernafasan anestesi di dalam mesin ini meliputi pencampur gas yang mengatur jumlah oksigen dan udara atau N2O yang diberikan kepada pasien tergantung pada pengaturanya. Selector valve akan terbuka sesuai dengan mode yang dipilih. Sensor secara terus menerus akan memantau proses pencampuaran gas. Gas yang tercampur keluar dari pencampur dan mengalir ke vaporiser elektronik, dimana proses penguapan agen terjadi menggunakan aliran by pass konvensional dan prinsip penguapan bebas. Dari sini gas akan mengalir melalui katup inflow dan outflow. Meskipun begitu pengiriman agen yang sesungguhnya di kontrol oleh vaporiser elektronik. Alat ini mengatur aliran by pass dan juga mengontrol katup inflow dan out flow untuk mencapai aliran keluaran gas yang diinginkan. Multipel sensor dalam jalur perjalanan gas secara konstan memantau aliran dan tekanan untuk memastikan konsentrasi gas yang diinginkan dalam FGF, bahkan pada FGF yang minimal. Konsumsi dari berbagai gas inhalasi secara otomatis dihitung oleh perangkat lunak komputer di dalam mesin. (Lortat-Jacob dkk, 2009; Nugroho dkk, 2012; Cooman dkk, 2009). Mesin anestesi yang bisa menerapkan sistem TCIA secara manual controlled di RSUP Sanglah Denpasar adalah mesin anestesi Drager Primus. Maka pada penelitian ini akan menggunakan mesin tersebut di atas. Demi keseragaman dalam pemberian intervensi terhadap subyek penelitian maka dalam
24
penelitian ini hanya akan menggunakan TCIA sevofluran. Obat ini dipilih demi kemudahan secara teknis karena obat ini tersedia di RSUP Sanglah.
Gambar 2.2 Foto Mesin Anestesi Dräger Zeus® Infinity® Empowered
Gambar 2.3 Foto Mesin Anestesi AISYS Carestation
25
Gambar 2.4 Foto Mesin Anestesi Dräger Primus®
Gambar 2.5 Foto Layar Monitor End Tidal Control pada Mesin Anestesi Drager Primus (Dikutif dari Drägerwerk AG & Co. KGaA, 2015).
26
2.3.2
Anestesi Dengan Fresh Gas Glow Yang rendah Anestetik inhalasi dengan kelarutan dalam darah dan jaringan yang
rendah, akan memfasilitasi kesetimbangan dengan cepat antara konsentrasi di dalam
alveolus
dan konsentrasi di otak, membuatnya cocok untuk
teknik
anestesi aliran rendah. Sebagian besar mesin anestesi modern telah dilengkapi dengan sistem circle rebreathing yang menurunkan kecepatan FGF. Manfaat teknik rebreathing lebih nyata jika kecepatan FGF diturunkan hingga kurang dari setengah minute ventilation (MV) (MV = udara yang keluar masuk paru dalam 1 menit) pasien, biasanya < 3 L/menit. Teknik FGF rendah mempengaruhi kinetik gas pada sistem sirkuit khususnya jika FGF < 1 L/menit, sehingga diperlukan pemantauan konsentrasi gas inspirasi dan ekspirasi (Odin, 2005; Baum, 1997). Pemantauan gas komprehensif tidak hanya menjamin keamanan pasien, tetapi juga memfasilitasi pemberian gas yang tepat untuk pasien. Anestesi aliran rendah dapat didefinisikan sebagai suatu teknik yang menyesuaikan FGF dengan kebutuhan oksigen pasien(sekitar 200 ml/menit) dan untuk anestetik volatil, tetapi dengan aliran yang sama melepaskan komponen tidak diinginkan seperti nitrogen (atau methane) ke sistem scavenging gas anestesi. Anestesi aliran rendah menggunakan FGF kurang dari setengah MV pasien, biasanya < 3 L/menit. Foldes, 1954 menurunkan FGF menjadi 1 L/menit. Teknik anestesi aliran rendah tidak hanya memberikan pertimbangan ekonomis dan manfaat ekologi, tetapi juga meningkatkan kualitas perawatan pasien. Sebanyak 80% gas anestetik dibuang saat digunakan FGF 5 L/menit. Beberapa studi juga membuktikan bahwa penggunaan teknik anestesi aliran rendah dan minimal dapat secara dramatis
27
menurunkan biaya tahunan anestetik volatil. Penurunan FGF dari 3 L/menit menjadi 1 L/menit menghasilkan penghematan sekitar 50% konsumsi total anestetik volatil. Anestesi aliran tinggi juga menyebabkan polusi lingkungan. Sebagai contoh, N2O diperkirakan bertanggung jawab terhadap10% efek rumah kaca. Halothan, enfluran, dan isofluran mengandung chlorine, yang diyakini mempunyai potensi merusak lapisan ozon. Sedangkan desfluran dan sevofluran tidak mengandung chlorine dan tampaknya tidak mempunyai efek gas rumah kaca (Nunn, 2008; Baum, 2001; Coetzee dkk, 2002). Penurunan FGF menyebabkan pelepasan anestetik yang lebih sedikit ke lingkungan dan menyebabkan lebih sedikit polusi atmosfer. Gas yang dihantarkan dengan FGF tinggi biasanya kering dan dingin, sedangkan penurunan FGF membuat gas yang di-resirkulasi hangat dan lembab. Lebih banyak gas yang disirkulasi melalui CO2 absorber, lebih banyak panas dan kelembaban yang dihasilkan melalui proses absorpsi CO2. Menghirup gas yang hangat dan lembab selama anestesi bermanfaat untuk pasien karena beberapa alasan: -
Gas yang hangat dapat mempertahankan suhu tubuh. Di beberapa negara atau di praktek pediatrik, di mana alat pertukaran panas dan kelembaban tidak digunakan secara rutin, konservasi panas dan kelembaban dalam sistem pernapasan dibantu dengan penggunaan FGF rendah.
-
Pencegahan kehilangan panas selama anestesi menggigil pascaoperasi.
mencegah
kejadian
28
-
Humidifikasi gas pernapasan akan menurunkan kehilangan air dari jalan napasdan mencegah pengeringan jalan napas dan bronkus selama intubasi endotrakeal (Nunn, 2008; Bratwall dkk, 2012; Baum, 1995).
2.3.3 Farmakoekonomi Target Controlled Inhalational Anesthesia Analisis terhadap penggunaan sumber daya dan biaya yang efektif telah menjadi prioritas dalam mengelola suatu layanan kesehatan. Ini menyediakan tantangan untuk penyedia layanan anestesi yang menginginkan memberikan layanan berkualitas yang aman tapi ekonomis. Dalam anestesi, penggunaan volatil/gas anestesi menyumbang hingga 20-25% dari biaya total anestesi secara keseluruhan. Biaya penggunaan gas anestesi bervariasi pada setiap institusi dan lokasi. Tantangan terbesar untuk farmasi rumah sakit adalah menganggarkan biaya obat. Merancang anggaran untuk obat intravena jauh lebih mudah daripada gas anestesi karena ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diterima dan dimasukkan. Menghitung biaya obat gas anestesi dibuat berdasar metode penyampaian. Gas anestesi dibeli dalam bentuk cair dan dimasukkan melalui vaporizer, membuatnya menjadi sulit untuk mengukur secara langsung berapa gas anestesi yang telah digunakan per kasus tanpa bantuan vapor analyzer. Konsentrasi penyampaian yang bervariasi dan teknik penyampaian dapat meningkatkan atau menurukan konsumsi total gas anestesi dan secara signifikan merubah biaya akuisisi (Daya, 2008; Golembiewsky, 2010).Tujuh metode analisis biaya ditemukan dalam literatur untuk tenaga anestesi profesional dalam menentukan biaya gas anestesi, yaitu: (1) Pengukuran berat, (2) Perbandingan
29
Minimum alveolar concentration, (3) Model empat kompartemen, (4) Persamaan volume persen, (5)Pengukuran volume,(6) Formula Dion, dan (7) Formula Loke. Sudah ditentukan bahwa formula Dion merupakan metode yang lebih diandalkan untuk tenaga anestesi profesional untuk menentukan biaya gas anestesi. Menghitung jumlah gas yang digunakan menggunakan formula Dion dapat mempermudah dalam melakukan kalkulasi biaya. Untuk menentukan total biaya gas anestesi, adalah penting untuk menentukan persen konsentrasi, jumlah FGF, densitas, dan berat molekul dari gas tersebut. Eger menyatakan bahwa meskipun biaya per-satuan/unit cost sevofluran lebih mahal daripada desfluran, di mana dibutuhkan kira-kira tiga kali jumlah desfluran untuk menciptakan kedalaman anestesi seperti pada sevofluran pada flow rate yang sama. Hal ini disebabkan karena perbedan dalam hal potensiasi, di mana untuk mencapai satu MAC dibutuhkan kurang lebih 2% sevofluran dan 6% desfluran. Minimum alveolar concentration didefinisikan sebagai konsentrasi minimum alveolar dari gas anestesi inhalasi yang menghasilkan immobilisasi dari 50% populasi yang dilakukan insisi surgikal (Eger, 2010). Frank Aroh mengklaim bahwa meski sevofluran lebih mahal per mL, namun MAC desfluran yang tiga kali lebih tinggi dibanding MAC sevofluran, membuat sevofluran gas yang lebih murah untuk digunakan. Aroh menyimpulkan hal di atas berdasarkan kalkulasinya hanya dengan dua variabel, MAC dan unit biaya. Aroh mengklaim bahwa Montefiore Medical Center dapat menghemat $100,000 selama satu tahun dengan meningkatkan pengunaan sevoflurandan menurunkan pengunaan desfluran (Traynor, 2009).Tidak ada metode untuk menghitung biaya atau pengunaan gas
30
anestesi yang disinggung dan tidak ada analisis biaya yang dibuat. Lockwood dan White pada tahun 2001 memasukkan sistem kompartemen empat model dari Weiskopf dan Eger untuk menciptakan model komputer guna membandingkan langsung biaya isofluran, desfluran, dansevofluran pada sistem terbuka dan tertutup. Model komputer empat kompartemen memperhitungkan kelarutan, penyerapan, dan penghapusan gas anestesi dalam tubuh. Biaya dari gas volatil anestesi dapat ditentukan dengan menggunakan harga pasar, potensi, jumlah uap yang dihasilkan, dan aliran FGF. (Odin dkk, 2005). Peter Dion (1992) menyatakan
formula
untuk
langsung
mengukur
biaya
gas
anestesi
menggabungkan hukum gas ideal hukum. Biaya agen anestesi dapat dihitung dari konsentrasi (%) gas yang telah dikirimkan, FGF (L/ menit) , durasi pengiriman anestesi inhalasi (menit), berat molekul (molecul weight/ MW dalam gram) , biaya per ml (dalam dolar), faktor 2412 untuk memperhitungkan volume molar gas pada 21° C (24,12 L), dan kepadatan (D dalam gr/mL). Rumus dari Formula Dion adalah sebagai berikut : BIAYA ( $ ) = [ (Konsentrasi) (FGF) (Durasi) (MW) (Biaya / mL) ] [ (2412) (D) ] Formula Dion menggunakan hukum gas ideal untuk mengkonversi ml gas anestesi menjadi mlcairan gas anestesi, yang kemudian digunakan untuk menentukan biaya menggunakan harga per ml. Untuk merubah volume menjadi ml cairan gas anestesi, densitas dan berat molekul digunakan untuk megkonversi gas anestesi menjadi mol, dan mol kemudian dirubah menjadi ml cairan gas anestesi menggunakan faktor konversi 2412. Menurut ekuasi hukum gas
31
universal, satu mol dari gas ideal pada tekanan satu atmosfir pada suhu 21o C akan menjadi 24,12 liter cairan. Formula Dion tidak mengambil jumlah distribusi dan uptake secara spesifik tapi lebih kepada jumlah gas anestesi inhalasi. Jumlah vapor yang digunakan menetukan biaya,membuat formula Dion metode yang dapat dipercaya untuk perhitungan biaya dan menunjukkan sevofluran sebagai gas anestesi yang paling ekonomis dibandingkan desfluran. Loke dan Shearer mempertanyakan penggunaan rumus Dion di agents volatil baru mereka menggunakan rumus asli Dion dan memasukkan hukum gas ideal langsung menjadi rumus daripada menggunakan faktor konversi 2.412 untuk 24.12 Liter, yang menggambarkan volume molar gas pada satu atmosfer di 21º C. Loke lalu memformulasikan untuk menggantikan konstanta 2412 dengan suhu atmosfer dalam pascal, hukum gas ideal konstan 8.314, dan temperatur di Kelvin. Loke dan Shearer juga memasukan biaya gas pembawa nitrous oxide dan oksigen dan dibandingkan halotan, enfluran, dan isofluran (Loke dkk, 1993). Saat publikasi tersebut, desfluran dan sevofluran belum tersedia di Australia. FORMULA DION Biaya per MAC jam ( $ ) = [ (MAC) (FGF) (60 menit) (MW) (Biaya / mL) ] [ (2412(D)) ] FORMULA LOKE Biaya per MAC jam ( $ ) = [ (MAC) ( FGF ) (60 menit) (MW) (Biaya / mL) ] [ (Tekanan/(RT)(D) ] Menentukan biaya gas anestesi adalah tugas yang sulit untuk dibuat bahkan lebih menantang dengan berbagai metode yang tersedia untuk menentukan biaya. Dari tujuh metode dalam literatur, enam ditemukan menjadi tidak praktis atau tidak akurat. Mengukur beratnya vaporizer adalah mustahil untuk dilakukan
32
dalam situasi ruang operasi yang sibuk . Metode komputerisasi data log dan metode empat kompartemen juga tidak mengungkapkan perhitungan biaya sehingga sulit untuk menentukan akurasi. Sebuah perbandingan sederhana MAC tidak menjadi faktor variabel penting seperti FGF dan perbedaan sifat gas anestesi. Menggunakan perhitungan volume persen tidak akurat karena didasarkan pada konsentrasi yang dipanggil dan bukan konsentrasi yang sebenarnya ditentukan dengan rumus gas analyzer. Formula Loke, versi modifikasi dari formula Dion, tidak terlalu bermakna karena pada kenyataannya perbandingan biaya akan terjadi di fasilitas yang sama dengan tekanan atmosfer dan suhu sama. Formula Dion mudah direproduksi, akurat, dan merupakan metode yang paling direferensikan untuk menghitung biaya dalam literatur. Weinberg dkk menyatakan Formula Dion sebagai alat farmakoekonomi sederhana yang dapat digunakan oleh setiap dokter ahli anestesi (Weinberg dkk, 2010). Mayoritas literatur mendukung sevofluran sebagai gas anestesi dengan menggunakan
laju
aliran
biaya yang paling efektif dengan yang
sama.
Namun
kesimpulan bahwa satu obat lebih atau kurang efektif daripada yang lain jarang dapat diterjemahkan dari satu daerah ke daerah lain karena variabilitas dalam biaya pembelian obat dan ketersediaan formulasi generik sevofluran. Oleh karena itu, di beberapa institusi, sevofluran mungkin lebih murah daripada desfluran, namun di institusi lain mungkin berlaku sebaliknya. Sesuai dengan formula Dion, seorang ahli anestesi mampu menurunkan biaya gas anestesi
dengan
menggunakan FGF rendah. Namun dengan lahirnya mesin anestesi generasi terbaru, menghitung kebutuhan obat anestesi volatil di akhir proses anestesi sudah
33
semakin mudah (Crozier, 1999). Pada mesin anestesi Drager Primus jumlah (ml) obat anestesi volatil yang digunakan dapat dilihat dengan menekan tombol logbook pada layar monitor mesin setelah berakhirnya proses anestesi dikerjakan, maka akan keluar jumlah obat anestesi yang dipakai selama proses anestesi berlangsung. Demikian juga jumlah (dalam satuan liter) oksigen dan compressed air dan N2O yang terpakai selama proses anestesi dapat diketahui dengan mudah hanya dengan menekan tombol logbook dilayar monitor setelah proses anestesi berakhir. Sediaan agen volatil sevofluran yang terdapat di IBS RSUP Sanglah Denpasar beserta harga yang dibebankan kepada pasien (harga jual dari instalasi farmasi RSUP Sanglah) saat ini adalah : Sevofluran SOJOURN produksi Minrad inc. 250 ml/botol dengan harga Rp. 1.465.000,- (HET Rp. 3.813.350,-). Jika dibagi volume per botol sebanyak 250 ml maka didapatkan harga per-ml volume Sevofluran Sojourn sebesar Rp. 5.860,-/ml.
2.4 Anestesi Intravena Tujuan dari anestesi umum adalah analgesia, menghilangkan kecemasan, amnesia, hilangnya kesadaran, penekanan terhadap respon kardiovaskular, motorik serta hormonal terhadap stimulasi pembedahan.Obat anestesi intravena yang ideal haruslah menyediakan semua komponen tadi tanpa menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan terhadap sistem kardiovaskular. Obat anestesi intravena diharapkan menginduksi hilangnya kesadaran dengan cepat dan juga cepat dalam pemulihannya dengan tetap mempertahankan fungsi sistem saraf
34
pusat seperti sebelum pembiusan. Karena tidak ada obat tunggal yang sempurna maka pada praktiknya, obat anestesi sering diberikan berupa kombinasi. Propofol adalah obat anestesi intravena yang paling sering digunakan. Propofol pertama kali ditemukan tahun 1970 dan diperkenalkan di pasaran sejak tahun 1977 sebagai obat induksi anestesi, semakin populer dan semakin luas penggunaannya di seluruh dunia mulai tahun 1986. Propofol adalah 2,6diisopropylphenol yang diberikan secara intravena dalam konsentrasi 1% dalam minyak kedelai 10%. Propofol dalam dosis 1,5-2,5 mg/kgbb diberikan intravena akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik. Proses pemulihannya juga cepat dibandingkan dengan obat anestesi yang lain. Pasien cepat kembali sadar setelah pembiusan dengan propofol dan efek residual yang minimal merupakan keuntungan propofol. Propofol tidak larut dalam air dan pada awalnya disediakan dengan Cremophor EL, namun karena banyaknya reaksi anafilaktoid yang ditimbulkan, sediaannya diubah menjadi bentuk emulsi. Namun penyuntikan propofol di vena perifer akan menyebabkan rasa nyeri sehingga sebelum obat ini disuntikkan dapat diberikan lidokain 1% intravena. Kejadian mual muntah paska operasi sangat jarang karena propofol memiliki efek anti muntah.
Efek
yang
menguntungkan
lainnya
adalah
efek
antipruritik,
antikonvulsan dan mengurangi konstriksi bronkus. Propofol dalam dosis 1,5-2,5 mg/kgbb diberikan intravena akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik. Proses pemulihannya juga cepat dibandingkan dengan obat anestesi yang lain. Pasien cepat kembali sadar setelah pembiusan dengan propofol dan efek residual yang minimal merupakan keuntungan propofol. Secara subyektif
35
pasien merasa lebih baik dan lebih segar paska anestesi dengan propofol dibandingkan obat anetesi induksi lainnya. Karena keunggulan sifat inilah propofol dipergunakan sebagai obat induksi dan pemeliharaan anestesi, sehingga penggunaannya begitu luas di seluruh dunia. Propofol adalah modulator selektif reseptor γ-aminobutyric acid (GABA). GABA merupakan neurotransmitter inhibitor utama di sistem saraf pusat. Saat reseptor GABA diaktifkan, terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi membrane sel postsinap dan inhibisi fungsi neuron postsinap. Interaksi antara propofol dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan disosiasi neurotransmiter inhibisi (GABA) dari reseptornya sehingga memperpanjang efek GABA. Propofol digunakan sebagai obat induksi, untuk pemeliharaan anestesia maupun sebagai sedasi. Selain efek utamanya tersebut propofol juga memiliki efek lain sebagai antiemetik, antipruritik, antikonvulsan dan mengurangi konstriksi bronkus. Insiden mual muntah pasca operasi berkurang bila propofol digunakan tanpa memandang tehnik anestesi serta obatlain yang digunakan (Borgeat dkk, 1994). Dosis subhipnotik (10 sampai 15 mg) intravena dapat digunakan pasca anestesia sebagai anti mual muntah. Diduga kuat propofol memiliki aktivitas antiemetik melalui modulasi jaras subkortikal dan menekan langsung di pusat muntah. Propofol memiliki efek antioksi dan yang mirip dengan vitamin E (Daskalopoulos dkk, 2001, Peters dkk, 2001). Seperti vitamin E, propofol memiliki grup phenolic hydroxyl yang menangkap radikal bebas dan mencegah peroksidasi lipid. Potensi propofol sebagai proteksi otak mungkin berhubungan dengan aktivitas antioksidan dari struktur cincin phenol. Propofol bereaksi dengan radikal lipid peroxyl
36
sehingga menghambat peroksidasi lipid dengan membentuk radikal yang cukup stabil propofol phenoxyl. Selain itu Propofol juga menangkap peroxynitrite yang merupakan metabolit reaktif yang paling kuat dalam menginisiasi peroksidasi lipid. Karena aktivitasnya ini propofol diketahui menekan fagositosis.Uji coba klinis pertama terhadap propofol membuktikan bahwa obat ini adalah obat induksi dengan sifat onset kerjanya cepat dengan durasi kerja cepat dan waktu pemulihannya singkat dan stabil, dengan efek samping yang relatif kecil. Selama tiga puluh tahun telah banyak studi yang mempelajari obat ini termasuk tentang farmakokinetiknya bila diberikan dengan cara yang berbeda. Cara pertama adalah injeksi tunggal dan yang kedua adalah injeksi kontinyu. Propofol diyakini memiliki karakteristik yang sesuai dengan model tiga kompartemen. Propofol dapat digunakan sebagai obat induksi yang kemudian lanjut sebagai pemeliharaan pembiusan. Propofol juga digunakan sebagai obat untuk sedasi di ruang operasi maupun di tempat lainnya. Propofol juga dikenal dapat menekan kejadian mual muntah pasca operasi. Mual muntah pasca operasi dipengaruhi tiga hal yaitu pasien, operasi dan pembiusannya. Tindakan serta obat anestesi dapat memberikan kontribusi terhadap terjadinya mual muntah pasca operasi. Tindakan laringoskopi
intubasi,
inflasi
lambung
saat
ventilasi
sungkup
muka,
menggerakkan kepala pasien segera setelah bangun, obat opioid serta obat volatil merupakan faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya mual muntah pasca operasi (Triem, 2009; Butterworth dkk, 2013; Bertram, 2004).
37
2.4.1 Mekanisme Kerja Propofol Propofol adalah modulator selektif reseptor GABA yang merupakan neurotransmiter inhibitor utama di sistem saraf pusat. Saat reseptor GABA diaktifkan akan terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel post-sinap dan inhibisi fungsi neuron postsinap. Interaksi antara propofol dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan disosiasi
neurotransmiter
inhibisi
(GABA)
dari
reseptornya
sehingga
memperpanjang efek GABA (Butterworth dkk, 2013)
2.4.2 Struktur Bangun dan Karakteristik Propofol Propofol adalah bagian dari grup alkylphenol yang memiliki kemampuan hipnotik pada binatang coba. Propofol (2,6-diisophropyl-phenol) terdiri dari cincin phenol dengan dua gugus isoprophyl. Karakteristik potensi, kecepatan induksi dan waktu pemulihan sangat dipengaruhi oleh panjangnya rantai alkilphenol ini. Propofol tidak larut dalam air tetapi merupakan suatu emulsi minyak dan air. Alkilphenol menjadi minyak dalam temperatur kamar dan tidak larut dalam larutan air, namun propofol sangat larut lemak. Formulasi yang ada sekarang mengandung 1% propofol, 10% soy bean oil (minyak kedelai), 2,25% glycerol (gliserol), dan 1,2% egg fosfatide (fosfatida telur murni) atau lecitin telur (kuning telur). Pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap telur belum tentu akan alergi terhadap propofol karena kebanyakan reaksi alergi telur disebabkan oleh bagian putih telur, sedangkan lecitin telur berasal dari ekstraksi kuning telur. Keburukan propofol yang dirasakan oleh pasien adalah nyeri yang
38
timbul saat penyuntikan oleh karena formula yang beredar memiliki keasaman pH sekitar 7. Formula propofol di atas sangat mudah menjadi media tumbuh bakteri, sehingga tehnik seril sangat diperlukan dalam penggunaan propofol dan sebaiknya tidak melebihi 6 jam dari saat pertama kali membuka ampul obat. Saat ini propofol sudah mengandung 0,005% disodium edetate atau 0,025% sodium metabisulfite untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme walaupun hal ini belumlah memenuhi standar pharmacopie Amerika Serikat. Semua formula yang tersedia secara komersial stabil pada suhu kamar dan tidak sensitif terhadap cahaya. Jika diperlukan dalam konsentrasi yang lebih rendah dalam larutan, sebaiknya dilarutkan dalam dextrose 5% air (D5W) secara teori larutan ini akan mengakibatkan sedikit perubahan pada farmakokinetik, pemecahan emulsi, degradasi spontan propofol dan kemungkian perubahan efek farmakologi (Butterworth dkk, 2013).
2.4.3 Farmakokinetik Propofol a. Absorpsi Sediaan propofol di pasaran sebagai induksi anestesi hanya untuk penggunaan intravena saja dan memberikan efek sedasi sedang sampai berat. b. Distribusi Tingginya tingkat kelarutan propofol dalam lemak menyebabkan onset kerja cepat. Waktu yang diperlukan dari saat pertama kali diberikan bolus sampai pasien terbangun (waktu paruh) sangat singkat yaitu 2-8 menit.
39
Waktu paruh eliminasi sekitar 30-60 menit (Katzung, 2004). Banyak peneliti yang mempunyai pendapat yang sama bahwa waktu pemulihan propofol lebih cepat dan kurangnya perasaan seperti mabuk dibandingkan obat lain (methohexital, thiopental atau etomidate). Hal ini menyebabkan propofol menjadi pilihan untuk anestesi rawat jalan (one day care). Sehubungan dengan volume distribusi yang lebih rendah pada orang dewasa maka kebutuhan dosis induksi lebih rendah dan perempuan memerlukan dosis yang lebih besar dibanding laki-laki juga waktu bangun pada perempuan lebih cepat. Farmakokinetik propofol digambarkan sebagai model 3 kompartemen, dimana pada pemberian bolus propofol, kadar propofol dalam darah akan menurun dengan cepat akibat adanya redistribusi dan eliminasi. Waktu paruh distribusi awal dari propofol adalah 2-8 menit. Pada model tiga kompartemen waktu paruh distribusi awal adalah 1-8 menit, yang lambat 30-70 menit dan waktu paruh eliminasi 4-23,5 jam. Waktu paruh yang panjang diakibatkan oleh karena adanya kompartemen dengan perfusi terbatas.Context sensitive half time untuk infus propofol sampai 8 jam adalah 40 menit. Propofol mengalami distribusi yang cepat dan luas juga dimetabolisme dengan cepat. Waktu yang diperlukan untuk bangun dari anestesi atau sedasi dari propofol hanya 50%, sehingga waktu pulih sadar dari propofol tetap cepat meskipun pada infus kontinyu yang lama (Hasani dkk, 2015).
40
c. Biotransformasi Tingginya tingkat bersihan (clearence) propofol di hepar (hampir 10 kali lipat dibanding tiopental) menyebabkan cepatnya waktu pemulihan setelah pemberian infus kontinyu. d. Ekskresi Walaupun metabolisme propofol utamanya diekskresikan melalui ginjal, tetapi penurunan fungsi ginjal tidak mempengaruhi bersihan propofol.
2.4.4. Farmakodinamik Propofol a. Susunan Saraf Pusat Mekanisme kerja dari propofol adalah dengan meningkatkan aliran γamino butyric acid induced chloride melalui ikatan pada subunit β dari reseptor GABA. Propofol melalui aksinya pada reseptor GABA di hippokampus menghambat pelepasan asetilkolin di hipokampus dan korteks prefrontal. Sistem α2-adrenoreseptor juga tampaknya memainkan peran tidak langsung dalam efek penenang propofol. Propofol juga bekerja pada penghambatan dari subtipe N-metil-D-aspartat (NMDA) dari reseptor glutamat melalui modulasi kanal sodium, sehingga menyebabkan efek pada sistem saraf pusat (SSP). Propofol tidak memiliki komponen analgetik. Dua efek menguntungkan propofol adalah efek antiemetik dan rasa nyaman pada pasien. Propofol meningkatkan konsentrasi dopamin di nucleus accumbens. Efek antiemetik propofol dapat dijelaskan dengan penurunan kadar serotonin yang dihasilkan dalam daerah postrema, yang mungkin disebabkan karena
41
penghambatan GABA. Permulaan hipnosis setelah pemberian
dosis 2,5
mg/kgbb sangat cepat (arm-brain circulation time), dengan efek puncak terlihat pada 90 sampai 100 detik. Dosis efektif median (ED 50) propofol untuk hilangnya reflek mata adalah 1 sampai 1,5 mg/kgbb setelah bolus. Durasi hipnosis adalah tergantung dosis, antara 5 sampai 10 menit setelah 2 sampai 2,5 mg/kgbb bolus propofol. Efek propofol pada EEG yang dinilai setelah pemberian 2,5 mg/kgbb diikuti dengan pemberian kontinyu menunjukkan peningkatan awal dalam irama alfa diikuti dengan pergeseran ke gamma dan frekuensi theta. Pada pemberian pemberian propofol dari dosis 3µg/ml ke dosis 8 µg/ml awalnya amplitudo akan meningkat dan diikuti penurunan amplitudo yang nyata bila diberikan lebih dari 8 µg/ml. Konsentrasi propofol di mana 50% dari orang coba
gagal menanggapi
perintah lisan adalah pada dosis 2,5 µg/ml. Kejang (gerakan involunter) setelah pemberian propofol telah dilaporkan, terutama pada induksi, jarang selama operasi berlangsung dan kadang-kadang pascaoperasi. Opistotonus juga pernah dilaporkan karena pemberian propofol. Rasa nyaman, fantasi sexual dan halusinasi merupakan efek sentral yang menyenangkan karena propofol. Dosis propofol menjadi lebih rendah jika dikombinasikan dengan obat lain. Konsentrasi propofol (jika dikombinasikan dengan nitric acid 66%) diperlukan selama operasi adalah 1,5-4,5 µg/ml, dan konsentrasi untuk operasi besar adalah 2,5-6 µg/ml (Butterworth dkk, 2013; Stoelting dkk, 2006).
42
b. Kardiovaskular Efek utama propofol pada sistim kardiovaskular adalah menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan systemic vascular resistance (SVR) yaitu dengan menghambat aktivitas vasokonstriktor oleh sistim simpatis, menurunkan kontraktilitas otot jantung, dan menurunkan preload. Kejadian hipotensi pada pemberian propofol lebih sering terjadi dibandingkan dengan tiopental tetapi biasanya akan dihilangkan akibat perlakuan saat laringoskopi intubasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hipotensi adalah besarnya dosis, kecepatan injeksi dan umur tua. Efek kardiovaskular propofol telah dievaluasi setelah penggunaannya untuk induksi dan pemeliharaan anestesi. Efek yang paling menonjol propofol adalah penurunan tekanan darah arteri selama induksi anestesi. Terlepas dari adanya penyakit kardiovaskular, dosis induksi 2 sampai 2,5 mg/kg menghasilkan penurunan 25% sampai 40% dari tekanan darah sistolik, perubahan serupa terlihat pada tekanan darah rata-rata dan diastolik. Penurunan tekanan arteri dikaitkan dengan penurunan curah jantung kurang lebih 15%, indek volume sekuncup kurang lebih 20%, dan tahanan vaskular sistemik 15% sampai 25%. Dalam tinjauan retrospektif terhadap 2406 pasien, Reich menunjukkan bahwa 9% dari pasien mengalami hipotensi berat, 0 sampai 10 menit setelah induksi anestesi umum. Prediktor signifikan secara statistik multivariat hipotensi 0 sampai 10 menit setelah induksi anestesi termasuk status fisik ASA kelas III dengan V, dengan dasar TAR kurang dari 70 mmHg, usia 50 tahun atau lebih, menggunakan propofol dan fentanil untuk induksi anestesi. Kombinasi
43
propofol dengan fentanil adalah stimulus utama yang ampuh untuk hipotensi. Selama pemeliharaan anestesi dengan infus propofol, tekanan darah sistolik arteri juga menurun menjadi 20% sampai 30%. Pada pemberian dosis pemeliharaanpropofol 100 µg/kgbb/menit terjadi penurunan yang signifikan dalam resistensi pembuluh darah sistemik (30%), tetapi curah jantung dan volume sekuncup tidak berubah. Efek penekanan pada pembuluh darah (vasodilatasi), konsumsi oksigen dan penekanan pada otot jantung jauh lebih jelas terjadi pada saat induksi dibandingkan pada pemeliharaan anestesi. Efek lain propofol adalah
tidak meningkatkan blokade neuromuskuler yang
dihasilkan oleh obat pelumpuh otot (Butterworth dkk, 2013; Stoelting dkk, 2006). c. Respirasi Apnea bisa terjadi setelah pemberian dosis induksi propofol, kejadian dan lamanya apnea bergantung pada dosis, kecepatan injeksi, dan premedikasi yang diberikan sebelumnya. Sebesar 25% sampai 30% pasien mengalami apnea selama induksi propofol. Durasi apnea terjadi akibat propofol dapat diperpanjang hingga lebih dari 30 detik, namun. Kejadian apnea yang berkepanjangan (> 30 detik) meningkat lebih lanjut dengan penambahan opiat, baik sebagai premedikasi atau sebelum induksi anestesi. Kejadian apnea dengan propofol lebih sering dibandingkan dengan anestesi IV umum lainnya yang digunakan untuk induksi. Permulaan apnea biasanya didahului dengan pengurangan volume napas ditandai pasang surut dan takipnea. Infus pemeliharaan propofol (100 µg/kgbb/menit) menghasilkan
44
penurunan 40% pada tidal volume dan peningkatan 20% pada frekuensi pernapasan, dengan perubahan tak terduga dalam ventilasi semenit. Menggandakan laju infus dari 100 ke 200 mcg/kgbb/menit menyebabkan penurunan lebih lanjut volume tidal (455-380 ml), tetapi tidak ada perubahan dalam frekuensi pernapasan. Selama infus pemeliharaan propofol (54 µg/kgbb/menit), PaCO2 cukup meningkat 39-52 mmHg. Penggandaan laju infus tidak mengakibatkan peningkatan lebih lanjut dalam PaCO2. Propofol (50-120 µg/kgbb/menit) juga menekan respon ventilasi terhadap hipoksia, akibat kerja langsung pada
kemoreseptor
badan
karotid. Propofol
menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis. Dalam model hewan percobaan dengan endotoksemia septik, propofol (10 mg/kgbb/jam) secara nyata mengurangi mediasi radikal bebas dan katalis siklooksigenase peroksidasi lemak. Manfaat ini belum dikonfirmasi pada manusia. Propofol pada konsentrasi terapeutik juga melindungi makrofag tikus dari nitrat oksida-induced apoptosis (Butterworth dkk, 2013; Stoelting dkk, 2006).
2.4.5 Efek Samping Propofol Induksi anestesia menggunakan propofol dapat mengakibatkan beberapa efek samping, antara lain nyeri saat injeksi, mioklonus, apneu, penurunan tekanan darah arteri dan walaupun jarang terjadi, tromboplebitis pada vena tempat propofol diinjeksikan (Simon, 2001). Mioklonus terjadi lebih sering pada propofol dibandingkan dengan tiopental, tetapi lebih jarang dibandingkan dengan etomidat
45
dan metohexital. Apneu setelah pemberian propofol biasa terjadi. Insiden apneu sama dengan setelah pemberian thiopental dan metohexital, walaupun insiden apneu lebih dari 30 detik lebih tinggi pada propofol. Penurunan tekanan darah sistemik adalah efek samping yang paling penting saat induksi propofol. Mungkin injeksi perlahan dan dosis yang lebih kecil, pada pasien yang sudah direhidrasi adekuat akan mencegah turunnya tekanan darah sistemik. Sebaliknya, efek laringoskopi dan intubasi endotrakeal serta peningkatan MAP, frekuensi nadi dan SVR secara bermakna lebih rendah pada pemberian propofol daripada tiopental. Efek propofol yang paling menonjol adalah menurunkan tekanan darah arterial selama induksi anestesia. Dosis induksi 2,0-2,5 mg/kgbb menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik 25-40%. Perubahan serupa juga terlihat pada tekanan darah diastolik. Biasanya insiden hipotensi akibat pemberian propofol ini berlangsung selama 5-10 menit pertama setelah induksi. Propofol dianggap menghambat barorefleks sehingga menurunkan respon takikardi terhadap hipotensi.Propofol dapat mengurangi aktifitas saraf simpatis lebih besar daripada saraf parasimpatis, sehingga parasimpatis lebih dominan dan dapat menyebabkan bradikardi maupun asistol pada induksi anesthesia (Simon, 2001). Nyeri saat injeksi lebih ringan atau sama dengan etomidat, sama dengan metohexital dan lebih berat dari tiopental. Nyeri saat injeksi dapat dikurangi dengan cara injeksi pada vena yang lebih besar, menghindari injeksi pada vena di dorsum manus dan menambahkan lidokain pada larutan propofol. Mekanisme terjadinya nyeri yang disebabkan oleh penyuntikan propofol sampai saat ini belum jelas karena propofol tersedia dalam larutan steril, nonpirogenik, isotonis dengan pH = 7,0. Klemen dan Arnold telah membuktikan
46
bahwa penyuntikan dengan larutan yang mempunyai pH < 4 atau pH >11 dapat menyebabkan nyeri. (Nathansondkk, 1996)
2.4.6 Kontra Indikasi Propofol Propofol dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi propofol dan putih susu. Pasien dengan kelainan jantung yang diberikan obat propofol, harus dimonitor secara ketat hemodinamik maupun respirasinya, serta pemberian propofol dititrasi sesuai respon kardiovaskular pasien (Stoelting dkk, 1999).
2.4.7 Propofol Related Infusion Syndrome (PRIS) Propofol related infusion syndrome (PRIS) adalah merupakan kumpulan gejala yang timbul yang dihubungkan dengan pemberian propofol. Istilah ini diperkenalkan pertama kali tahun 1992. Kumpulan gejala tersebut adalah bradiaritmia, asidosis metabolik, gagal jantung progresif dan angka kematian sangat tinggi. Seiring dengan waktu, pengertian PRIS berkembang meliputi gejala rabdomiolisis, hiperkalemia, hiperlipidemia, kelainan fungsi ginjal progresif dan kelainan yang khas pada gambaran elektrokardiogram pada lead prekordial kanan berupa gambaran Brugada (Olaf, 2009). Pada penelitian Wysowski dan Pollock, 2006, dari 68 orang dewasa yang didapatkan gejala PRIS yang meninggal setelah pemberian propofol non prosedural untuk tujuan sedasi didapatkan rata-rata penggunaan propofol lebih dari 90 µg/kgbb/menit dan rata-rata waktu pemberian 4,4 hari. Walaupun sampai saat ini penyebab mengapa propofol dapat menyebabkan terjadinya PRIS belum diketahui secara pasti tetapi diperkirakan
47
propofol bisa menjadi penyebab terjadinya kerusakan rantai respirasi mitokondria sehingga produksi ATP menurun dan terjadinya keadaan hipoksia tingkat seluler di jaringan jantung dan otot. Pada pemeriksaan biopsi otot dan analisa metabolisme lemak pada pasien PRIS didapatkan kerusakan sel mitokondria dan gangguan
metabolisme acyl-carnitine akibat hambatan oksidasi beta. Akibat
terjadinya penumpukan asam lemak bebas dapat menyebabkan gangguan fungsi jantung. Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan PRIS adalah: keadaan stress metabolik, kebutuhan energi yang tinggi misalnya pada penyakit kritis, trauma berat, trauma otak yang berat, sepsis, simpanan karbohidrat yang rendah (pada anak-anak) dan pada keadaan kadar lemak darah yang tinggi (dihubungkan dengan kemampuan larut propofol dalam lemak). Pencegahan terjadinya PRIS ditujukan pada faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya PRIS. Mengurangi kadar lemak dalam tubuh (kolesterol dan trigeliserida), meningkatkan metabolisme lemak dan meningkatkan sirkulasi asam lemak bebas. Teorinya adalah dengan pemberian karbohidrat 6-8 mg/kgbb/menit sebelum pemberian propofol dapat menekan metabolisme lemak sehingga diharapkan
menekan
kejadian PRIS. Mengurangi pemberian dosis propofol < 5 mg/kgbb/menit dan durasi pemberian < 48 jam juga diharapkan mengurangi kejadian PRIS. Penatalaksaan PRIS sangat ditentukan oleh cepatnya diagnosa PRIS. Penghentian pemberian propofol sesegera mungkin dan pemberian kombinasi vasopresor dan inotropik. Pemasangan alat pacu jantung dapat dipertimbangkan. Hemodialisis dan hemofiltrasi dilakukan untuk mengurangi kadar propofol dalam plasma juga dilaporkan sukses pada beberapa kasus. Penatalaksanaan lain adalah dengan
48
penggunaan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) juga sukses pada beberapa kasus (Leigh, M., 2010). Selain PRIS pada pemberian propofol dengan konsentrasi di dalam plasma lebih dari 20 µg/ml akan dapat menyebabkan adanya kejadian glutamate excitotoxicity yang berperanan sangat penting dalam terjadinya iskemia dan rusaknya sel saraf di otak. Hal ini juga yang menyebabkan terjadinya patologi epilepsi dan trauma otak (Zhu dkk, 1997).
2.5 Target Controlled Infusion (TCI ) Propofol Penggunaan obat obatan intravena membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang mencakup karakteristik obat, onset dan durasi kerja, serta metabolisme dan ekskresi obat. Penggunaan obat obatan intravena dapat menggunakan bolus intermiten ataupun infus kontinyu. Kelebihan dari infus kontinyu dibandingkan bolus intermiten adalah menghindari kelebihan dosis obat, dan menjaga kadar plasma darah tetap pada level yang diinginkan sehingga anestesi yang dihasilkan tidak terlalu dalam dan juga tidak terlalu dangkal. Penggunaan infus kontinyu pada awalnya menggunakan Computer Assisted Continuous Infusion (CACI)
yang berupa
syringe pump yang terhubung dengan monitor dan menggunakan program komputer untuk mengontrol kecepatan pemberian obat. Sesuai dengan karakteristik obat dan farmakodinamik obat, setiap individu memiliki dosisi individual yang harus digunakan untuk mencapai kadar obat daam plasma darah yang serupa, untuk menghasilkan efek anestesia yang diinginkan. Namun terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kadar obat dalam plasma darah dalam
49
pemberian infus kontinyu, antara lain kadar albumin, kemampuan metabolisme tubuh, dan kemampuan pengikatan obat. Karena hal inilah penggunaan infus kontinyu terkadang memberikan efek lebih rendah atau lebih tinggi daripada yang diharapkan (Naidoo, 2011). Pada tahun 1968, Kruger-Thiemer pertama kali mengemukakan pendekatan teoritis untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi suatu obat dalam darah yang tetap dengan menggunakan model 2kompartemen. Kruger memperlihatkan bahwa loading dose dibutuhkan untuk mengisi volume distribusi awal untuk mencapai keadaan yang tepat. Helmut Schwilden pada tahun 1981 menjadi sosok perdana yang mengembangkan aplikasi klinis teori tersebut yang lalu dikenal sebagai sistem Computer Assisted Total Intravenous Anaesthesia (CATIA). Proporsi total obat yang tetap di dalam kompartemen sentral dibuang dalam setiap satuan waktu, oleh karenanya ketika konsentrasi obat dalam darah konstan, jumlah obat yang dikeluarkan dari kompartemen persatuan waktu juga konstan, maka jumlah obat yang hilang akibat eliminasi digantikan pula oleh laju infus yang konstan. Schwilden kemudian memperkenalkan sebuah mesin injeksi kontinyu yang berbasis komputer berdasarkan farmakokinetik obat yang diinjeksikan. Ini merupakan cikal bakal dari mesin TCI dikemudian hari. Astra Zeneca lalu meluncurkan alat TCI komersil untuk propofol di benua eropa (Skotlandia) pada tahun 1992 dan terus berkembang sampai saat ini di seluruh dunia sebagai mesin anestesi intravena total (TIVA) yang berbasis target obat di dalam plasma. Diprifusor sebagai sistem pertama TCI untuk propofol mulai diperkenalkan tahun 1996. Target controlled infusion kemudian mendapat persetujuan Therapeutic Goods Administration pada
50
tahun 1998 sebagai metode administrasi propofol untuk anestesi umum, dimana obat disuntikan untuk mencapai suatu target konsentrasi obat dalam darah yang diprediksi secara spesifik. Sejak itu TCI lalu menjadi metode yang paling sering digunakan dalam melakukan anestesi intravena di Amerika dan Eropa. Selain aplikasi klinis dalam anestesi, sistem ini juga berperan untuk pemberian obat sebagai sedatif dan analgesik selama tindakan endoskopi, radio diagnostik (CTScan, MRI), dan atau radioterapi. Dengan TCI, obat anestesi intravena diberikan berdasarkan farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang digabungkan dengan teknologi komputer modern. TCI mempertahankan konsentrasi target yang diinginkan dan dapat disesuaikan dengan dapatan klinis pasien. Pada dasarnya TCI adalah menetapkan konsentrasi tertentu yang harus dicapai dan dipertahankan oleh alat baik di plasma (Cp) maupun effect site concentration (Ce). Konsentrasi target diatur sejak awal oleh ahli anestesi untuk mendapat luaran klinis yang diperlukan. Perubahan konsentrasi target yang diatur oleh ahli anestesi akan terlihat pada effect site compartment setelah waktu tertentu karena terdapat jarak waktu perpindahan obat dari darah ke tempat yang dituju atau obat berefek. Diprifusor adalah sistem mikroprosesor terkontrol pertama yang tersedia secara komersial pada tahun 1996. Target controlled infusion yang dikendalikan oleh Diprifusor hanya bisa menggunakan propofol yang menggunakan jarum suntik kaca sekali pakai dari Astra Zeneca. Pengembangan TCI berbarengan dengan berkembangnya konsep farmakokinetik yang diaplikasikan dalam bidang anestesi yaitu effect site compartment yang dihubungkan dengan konstanta darah/effect site equilibration (Ke0), time to peak effect dan context-sensitivity half life dan
51
context-sensitivity
decrement
time.
Model
kompartemen
farmakokinetik
merupakan model yang digunakan untuk menggambarkan nasib obat dalam tubuh. Model ini berdasarkan analisis matematika terhadap hubungan konsentrasi plasma terhadap waktu dan keadaan plasma sendiri yang merupakan kompartemen sentral dalam
model
yang
dimaksud.
Hubungan
antara
farmakokinetik
dan
farmakodinamik paling baik dijelaskan oleh konsentrasi plasma. Namun, setelah terjadi perpindahan di sawar darah otak, obat anestesi beraksi di sistem saraf pusat yang menunjukkan the effect site sehingga konsentrasi effect site yang menentukan
efek
obat
terhadap
organ.
Walaupun
waktu
tercapainya
keseimbangan antara darah dan effect site termasuk singkat, hal ini tidak dapat terjadi secara instan. Setelah bolus obat intravena terdapat jarak waktu antara konsentrasi darah tercapai dan efek sentral karena waktu ekuilibrasi darah/effect site. Jarak waktu ini dapat diperkirakan dari efek sentral yang diperlihatkan seperti penurunan kesadaran, respon elektro ensefalografi, atau evoked potential. Saat ekuilibrium tercapai, dengan pemberian laju infus yang tetap, Cp dan Ce menjadi hampir pararel sehingga Ce dapat didefinisikan sebagai Cp yang memberikan efek sesuai. Konsentrasi plateu yang diinginkan dicapai dan dipertahankan dengan memberikan bolus yang kemudian dilanjutkan dengan infus dengan laju yang berubah-ubah secara otomatis (Naidoo, 2011). Walaupun prediksi mengenai Cp dan Ce telah dilakukan dengan baik sesuai dengan kebutuhan pasien dan stimulus bedah yang berlangsung, karakteristik masing-masing pasien tentunya berbeda. Oleh karena itulah TCI tetap memberikan tehnik yang lebih aman dalam pemberian obat
anestesi
intravena.
Target
controlled infusion
mampu
52
menyesuaikan antara konsentrasi obat dengan efek klinis yang diinginkan dengan lebih baik dimana hal ini merupakan yang paling diinginkan dalam mengelola anestesi terutama saat induksi dan prediksi pemulihan. Tehnik ini memungkinkan titrasi obat yang lebih tepat berdasarkan peningkatan konsentrasi bertahap dimana variasi antar individu dalam hal farmakokinetik dan farmakodinamik diperkirakan sekitar 30% (Ruetsch, 1998). Target controlled infusion adalah infus yang dikontrol dengan tujuan untuk mencapai konsentrasi tertentu obat pada kompartemen tubuh. Dengan menggunakan teknik ini ahli anestesi dapat mengatur dan mengganti konsentrasi yang diinginkan sesuai dengan observasi klinis pada pasien. Target controlled infusion dikembangkan untuk memberikan kenyamanan dan kontrol selama anestesia, yang berdasarkan pada profil farmakokinetik, farmakodinamik obat dan tehnologi komputer yang modern. Target controlled infusion akan memberikan dan memelihara konsentrasi obat berdasarkan konsentrasi plasma (Cp) atau konsentrasi efek (effect site concentration/Ce) sesuai kebutuhan pasien. Target konsentrasi sebelumnya diatur oleh operator berdasarkan beberapa informasi dasar sesuai pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan) dan target konsentrasi masing-masing obat untuk mendapatkan efek klinik yang diinginkan dan kedalaman anestesi yang diharapkan setelahnya sistim komputer mesin TCI yang akan mengambil alih penyesuaian dosis dan laju infus propofol berdasarkan target organ (Lesliedkk, 2008). Analgesia merupakan faktor yang sangat penting dalam anestesi intravena total. Obat yang sering digunakan adalah opioid yang dikombinasikan dengan propofol sebagai komponen hipnotik. Teknik TCI juga
53
menyediakan metode untuk pemberian analgetika opioid. Berbagai macam opioid dapat diberikan dengan tehnik TCI seperti sufentanyl, alfentanyl, remifentanyl dan fentanyl. Dari semuanya itu pilihan terakhir yang dapat digunakan dengan TCI adalah fentanyl. Interaksi sinergis telah dibangkitkan antara opioid dan hipnotik namun efeknya lebih kuat dalam menekan stimulus noksius dibandingkan dalam menghilangkan kesadaran. Bila pasien perlu diintubasi maka tetap diberikan pelumpuh otot sebagai fasilitasi intubasi. Keuntungan lain yang didapatkan dari TCI adalah respon hemodinamik yang timbul selama operasi dan paska operasi dapat dikurangi. Propofol dapat menyebabkan goncangan kardiovaskular dan depresi pernapasan. Penurunan tekanan darah umumnya turun sampai 25% setelah induksi, kejadian apneu lebih dari 50%. Pengurangan kadar propofol di plasma mungkin dapat mengurangi kerugian tersebut tanpa menghilangkan tujuan utama yaitu sedasi atau anestesi. Setelah dokter ahli anestesi memasukkan data dasar pasien dan menentukan konsentrasi target, mesin akan memberikan bolus obat dalam dosis tertentu untuk mengisi kompartemen sentral. Setelah itu komputer akan mengkalkulasi metabolisme dan eliminasi obat serta menentukan obat yang diinfuskan untuk mengisi kompartemen kedua dan ketiga. Pada saat tindakan berlangsung konsentrasi target dapat diubah-ubah sesuai respon pasien dan stimulus bedah (Naidoo, 2011). Untuk sistem TCI dengan propofol pada orang dewasa, model farmakokinetik yang banyak digunakan adalah MARSH dan SCHNIDER, sedangkan pada pasien anak-anak model Paedfusor dan Kataria. Selain propofol obat lain yang dapat dioperasikan menggunakan sistim TCI
54
adalah sufentanil (model Bovil dan Gepts), alfentanil (model Maitre), remifentanil (model Minto).
Gambar 2.6 Three Compartment Model (Dikutip dari Naidoo, 2011)
Gambar 2.7 Skema Three Compartment Pharmacokinetic Model (Dikutip dari Naidoo, 2011)
2.5.1 Model Marsh Ini adalah model yang pertama kali dikembangkan. Model ini memperkirakan volume kompartemen sentral proporsional secara langsung dengan berat badan. Usia tidak dimasukkan dalam kalkulasi, namun pompa tidak
55
dapat digunakan untuk umur dibawah 16 tahun. Hal ini menjadi sumber bias dan ketidakakuratan sistim Marsh (Naidoo, 2011).
Gambar 2.8 ®
Foto Mesin TCI Perfusor Space dari B. Braun yang dimiliki Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.
2.5.2 Model Schnider Model Schnider disebut sebagai generasi baru dari TCI. Metode ini menggunakan model 3 kompartemen dengan memasukkan umur, tinggi badan, jenis kelamin dan berat badan ke dalam perhitungan. Lean body mass pasien dihitung dan digunakan untuk mengkalkulasi dosis dan laju infus, jika yang dipakai berat badan aktual maka akan ada kemungkinan kelebihan konsentrasi obat pada pasien obese. Pada pasien obese dipergunakan berat badan ideal. Perbedaan utama antara kedua model di atas adalah jumlah volume kompartemen sentral. Pada model schnider menggunakan volume kompartemen sentral tetap dan sama pada setiap pasien dan lebih kecil (4,27 L pada pasien BB 70 kg) dibanding model Marsh (15,9 L). Akibat perbedaan ini akan didapatkan model schnider Keo yang lebih besar (equilibrasi sentral dan effect site kompartemen lebih cepat) dan K10 lebih besar (bersihan metabolik lebih cepat) sehingga model
56
schnider waktu pulihnya lebih cepat dibanding Marsh. Untuk tujuan induksi model schnider akan lebih lambat dibandingkan model Marsh (Naidoo, 2011).
2.5.3 Target Konsentrasi Plasma dan Konsentrasi effect site Propofol TCI Pasien usia muda target konsentrasi plasma propofol untuk induksi adalah 6-8 µg/ml, hati-hati pada saat induksi orang tua atau pasien sakit berat, dosis perlu disesuiakan dengan menurunkan konsentrasi induksi. Saat konsentrasi induksi tercapai harus dipertimbangkan untuk menurunkan dosis konsentrasi plasma sesuai dengan estimasi konsentrasi effect site. Konsentrasi disesuaikan dengan respon klinis pasien dan pengaruh dari obat penyerta lainnya seperti ketamine, opioid, benzodiazepine. Saat stimuli pembedahan berkurang target konsentrasi juga dikurangi bertahap sehingga waktu pemulihan makin cepat. Pada prakteknya konsentrasi plasma yang diperlukan untuk induksi adalah 5-6 µg/ml dan bisa ditingkatkan sampai 8 µg/ml pada pasien dewasa muda yang sehat. Pada pasien yang telah mendapatkan premedikasi terlebih dahulu konsentrasi plasma bisa dikurangi 4-5 µg/ml. Dengan target effect-site, tidak diperlukan tekanan yang tinggi untuk meningkatkan konsentrasi obat, karena mesin TCI akan bekerja secara otomatis. Jika ada penundaan dari induksi, target konsentrasi rendah dapat dimulai pada 0,5 mcg/ml untuk mendapatkan efek anxiolitik dan menilai sensitifitas pasien terhadap propofol. Kemudian setelah itu ahli anestesi harus menilai pada level berapa akan terjadi hilangnya kesadaran. Ketika konsentrasi effect-site dicapai, efek klinis dinilai dan target dapat dinaikkan atau diturunkan jika diperlukan. Setelah induksi, target konsentrasi dinaikkan atau diturunkan
57
sesuai level dari stimulus bedah. Saat ini tidak ada bukti yang menganjurkan model target apa yang lebih baik, namun direkomendasikan untuk menggunakan model marsh pada model target konsentrasi plasma dan model Schnider menggunakan mode effect-site. Pengguna TCI harus berhati-hati saat mengubah model target plasma menjadi konsentrasi effect-site atau sebaliknya, jumlah propofol yang bervariasi akan dimasukkan ke dalam sirkulasi pasien pada model model yang berbeda dan akan menimbulkan efek klinis yang tidak diduga. Seperti halnya anestesi inhalasi, penyesuaian dosis harus dilakukan berdasarkan respon klinis (Naidoo,2011). Keuntungan penggunaan TCI secara umum adalah: dapat memfasilitasi titrasi dosis untuk mencapai efek yang diinginkan, memudahkan perhitungan dosis obat dan pemberiannya, diperolehnya informasi tambahan mengenai obat yang diberikan seperti jumlah obat yang diberikan, durasi pemberian,
konsentrasi
dan
lain-lain,
pemberian
dosis
obat
dengan
memperhitungkan usia dan karakteristik pasien lainnya, konsentrasi obat yang dicapai lebih stabil, dapat terhindar dari kelebihan dosis dan masa pulih yang lebih cepat (Kennedy, 2005).
2.5.4 Farmakoekonomi TCI propofol Penelitian farmakoekonomi dibidang anestesi dan terapi intensif khususnya di Indonesia belum banyak dilakukan. Analisis biaya anestesi umum TIVA TCI propofol dibandingkan dengan anestesi inhalasi sevofluran pada pasien yang menjalani operasi mayor onkologi di RSUP Sanglah Tahun 2013. Hasil penelitian tersebut didapatkan perbedaan yang bermakna dalam hal biaya
58
intraoperatif dari kedua kelompok. Biaya anestesi intraoperatif pada kelompok anestesi intravena total dengan TCI dengan rata-rata Rp. 957.870, - dan simpang baku Rp. 73.910,-. Sedangkan pada kelompok kontrol biaya anestesi intraoperatif dengan rata-rata 1.318.130 dengan simpang baku Rp. 155.238,-. Berdasarkan statistik dengan uji t didapatkan bahwa kedua kelompok memiliki perbedaan signifikan (p = 0,001). Berdasarkan rerata biaya anestesi intraoperatif, juga didapatkan biaya anestesi per-pasien yaitu sebesar Rp. 957.870,- untuk kelompok TCI Propofol danRp. 1.318.130,- untuk kelompok sevofluran. Sedangkan jika berdasarkan menit anestesi, didapatkan rata-rata biaya anestesi intraoperatif sebesar Rp. 5.999,- untuk per menit anestesi pada kelompok TCI propofol serta Rp. 8.170,- untuk permenit anestesi pada kelompok sevofluran (Iswahyudi dkk, 2013). Analisis minimalisasi biaya anestesi umum propofol TCI dan anestesi inhalasi dengan isofluran pada operasi bedah onkologi, pada penelitian ini didapatkan rasio penggunaan obat persatuan waktu kelompok A 8,54 mg (±2,04 mg) per menit dan kelompok B 0,42 ml (±0,09 ml) per menit. Biaya obat anestesi umum pada kelompok A Rp. 800,85 (±Rp. 127,99) per menit. Pada kelompok B Rp. 1.266,32 (± Rp. 248,26) per menit (p < 0,001). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa analisis minimalisasi biaya obat anestesi umum menggunakan TCI propofol secara signifikan berbeda bermakna menghasilkan beban biaya yang lebih murah dibandingkan anestesi inhalasi isofluran (Adi dkk, 2014) Sedangkan untuk menghitung biaya anestesi intravena dari sistem TCI, yaitu dengan menggunakan perhitungan jumlah obat yang digunakan termasuk sisa obat yang dibuang. Sediaan propofol yang terdapat di IBS RSUP Sanglah
59
Denpasar beserta harga yang dibebankan kepada pasien (harga jual dari instalasi farmasi RSUP Sanglah) saat ini adalah propofol merk FRESOFOL dengan harga Rp. 20.782,- (HET Rp. 99.000,-) per ampul 20 ml dengan kandungan propofol 200 mg. Daftar harga obat-obatan dan perlengkapan lainya dicantumkan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Daftar Harga Obat dan Harga per-satuan per-Desember 2015 (sumber : Instalasi Farmasi RSUP Sanglah Denpasar)
NAMA OBAT DAN ALAT SEVOFLORAN SOJOURN Minrad inc. 250 ml/botol PROPOFOL FRESOFOL ampul 10 mg/ ml; 20 ml/amp LIDOCAINE ampul 40 mg/ml ; 2 ml/amp. MIDAZOLAM ampul 1 mg/ml ; 5 ml/amp. ONDANCETRON ampul 2 mg/ml ; sediaan 2 ml/amp. KETOROLAC ampul 30 mg/ml; 1 ml/amp. FENTANYL ampul 50 mcg/ml; 2 ml/amp. MORFINA ampul 10 mg/ ml; 1 ml/amp NOTRIXUM (Atracurium) ampul 10 mg/ml; 2.5 ml/amp ECRON (Vecuronium) vial 10 mg; serbuk DEXAMETHASONE amp 5 mg/ml; 2 ml/amp AQUABIDEST pro injeksi sterile water 50 ml Extension Tube Three-way ekor Disposable Spuit 50 ml TERUMO Disposable Spuit 20 ml TERUMO Disposable Spuit 10 ml TERUMO Disposable Spuit 5 ml TERUMO Disposable Spuit 2.5 ml TERUMO Infus set darah Abocath G-18 TERUMO Needle G-19 TERUMO
HARGA Rp. 1.465.000 Rp. 20.782 Rp. 1.074 Rp. 7.040 Rp. 3.071 Rp. 2.944 Rp. 43.409 Rp. 10.752 Rp. 16.896 Rp. 213.305 Rp. 1.792 Rp. 2.598 Rp. 44.800 Rp. 41.151 Rp. 4.352 Rp. 3.942 Rp. 2.291 Rp. 1.725 Rp. 1.225 Rp. 17.889 Rp. 10.694 Rp. 722
60
2.5 Bispektral Indek (BIS) Selama evolusi praktek anestesi modern, penilaian kedalaman anestesi pada pasien telah mengalami perubahan bertahap dan perbaikan. Pengamatan kedalaman anestesi sebelumnya dari tanda-tanda klinis seperti respon pupil, pola pernapasan, kualitas denyut nadi ditambah dengan pengukuran langsung dari titikakhir fisiologis termasuk tekanan darah, denyut jantung, laju pernapasan dan volume pernapasan. Dengan perkembangan pulse oximetry dan kapnografi, penilaian yang tepat dari manajemen ventilasi mampu ditegakkan. Penggunaan end-tidal dan stimulasi saraf perifer memberikan kemampuan dokter anestesi untuk mengukur konsentrasi agen farmakologis dan efek masing-masing obat. Saat ini, fungsi jantung dapat dievaluasi dengan menggunakan teknologi canggih yaitu kateter arteri pulmonalis dan transesophageal echocardiography (TEE) untuk metode baru tekanan darah secara kontinyu dan pemantauan curah jantung (Rena dkk, 2000; Sandhu dkk, 2009). Penentuan efek langsung dari obat anestesi pada sistem saraf pusat tetapmenjadi suatu tantangan meskipun perkembangan yang luar biasa dalam penilaian sistem kardiovaskular selama anestesi. Penyelidikan klinis yang cermat menunjukkan bahwa respon hemodinamik tidak selalu memberikan representasi akurat dari respon sistem saraf pusat untuk agen anestesi dan karena itu tidak dapat diandalkan sebagai indikator status otak. Sebaliknya, teknologi yang memungkinkan pemantauan neurofisiologis independen dari sistem saraf pusat akan menyediakan ukuran langsung status otak selama anestesi dan sedasi, yang memungkinkan dokter untuk menyempurnakan manajemen perioperatif dan
61
mencapai hasil terbaik untuk setiap pasien. Pemantauan yang akurat target efek terhadap otak, dalam kombinasi dengan penilaian tanda klinis dan pemantauan tradisional, akan memberikan pendekatan yang lebih lengkap untuk menyesuaikan dosis obat anestesi dan agen analgesik (Honan dkk, 2002). Bispektral indek menawarkan anestesi profesional dengan metode langsung dan akurat untuk memonitor status otak terus menerus sepanjang perjalanan pemberian anestesi atau obat penenang. Secara khusus, BIS indek menyediakan pengukuran efek hipnotik anestesi. Inti dari teknologi pemantauan otak adalah surface dari electroencephalogram (EEG). Sinyal fisiologis yang kompleks ini adalah bentuk gelombang yang mewakili semua jumlah aktivitas otak yang dihasilkan oleh korteks serebral (Billard V dkk, 2001). Gelombang normal EEG terdapat dua karakteristik yaitu amplitudo kecil (20-200 microvolts) dan frekuensi variabel (0- 50 Hz) (Honan, 2002; Johansen, 2004)
Gambar 2.9 Kompleksitas Gambaran Gelombang EEG, Gambaran Gelombang Dianalisa Menggunakan Tipe Gelombang Amplitude (microvolts) dan Frekuensi (cycles/second – Hz) (Dikutip dari Billard dkk, 2001)
62
Perubahan EEG dalam merespon efek dari anestesi dan obat penenang/agen hipnotik telah diketahui selama puluhan tahun. Walaupun masing- masing obat dapat menginduksi beberapa efek unik pada EEG, pola keseluruhan perubahan sangat mirip untuk banyak agen ini (Billard V, dkk., 2001). Seperti yang terlihat pada Gambar 2.10, selama anestesi umum, perubahan EEG khas meliputi: peningkatan rata-rata amplitudo (kekuatan) dan penurunan frekuensi rata-rata.
Gambar 2.10 Pola Umum dari Perubahan EEG yang Diobservasi Selama Peningkatan Dosis dari Anestesi dengan Peningkatan Efek Anestesi, Frekuensi EEG Menunjukkan Penurunan Menghasilkan Pola Transisi Frekuensi Bergantung Kelas: Beta Alfa Theta Delta (Dikutip dari Billard dkk, 2001)
Perubahan sebagian dari EEG kortikal mencerminkan perubahan yang timbul dari hubungan harmonis dan fase antara generator saraf kortikal dan subkortikal. Hubungan ini diubah selama hipnosis, memproduksi pola karakteristik di EEG.
63
Analisis Bispektral dan hasilnya, misalnya bicoherence dan bispectrum adalah metodologi proses sinyal canggih yang menilai hubungan antara komponen sinyal dan menangkap sinkronisasi dalam sinyal seperti EEG. Dengan mengukur korelasi antara semua frekuensi dalam sinyal, analisis bispektral (bersama-sama dengan power spectral dan analisis EEG kortikal) menghasilkan keterangan tambahan EEG mengenai aktivitas otak selama hipnosis (Renna, 2000). Salah satu tujuan utama dalam pengembangan teknologi pemantauan status otak adalah untuk mengidentifikasi fitur EEG atau "deskripsi" bispektral atau sebaliknya yang sangat berhubungan dengan sedasi/hipnosis yangdisebabkan oleh agen anestesi yang paling umum digunakan. Selama pengembangan BIS indek, fitur ini diidentifikasi dengan menganalisis database EEG lebih dari 5.000 subjek yang menerima satu atau lebihdari agen hipnotis yang sering digunakan dan telah dievaluasi dengan penilaian sedasi simultan (Galante, 2015). Fitur utama EEG yang diidentifikasi dari analisis database ditandai dengan spektrum yang penuh perubahan selama induksi anestesi yaitu termasuk:
Tingkat beta atau frekuensi tinggi (14-30 Hz) teraktivasi
Jumlah sinkronisasi frekuensi rendah
Adanya periode nearly suppressed dalam EEG
Adanya periode fully suppressed (yaitu isoelektrik, "garis datar") dalam EEG. Bispektralindek adalah skala angka antara 0 dan 100 berkorelasi dengan
titikakhir klinis yang penting selama pemberian obat anestesi (Gambar 2.11). Nilai BIS mendekati 100 menunjukkan keadaan "terjaga" dari keadaan klinis ,
64
sementara 0 menunjukkan efek maksimal EEG (yaitu, EEG isoelektrik) (Sigl, J. C., dkk,1994). Nilai BIS indek di bawah 70 kemungkinan recall eksplisit menurun secaradrastis. Pada nilai BIS Indek kurang dari 60, pasien memiliki probabilitas kesadaran yang sangat rendah (Bower dkk, 2000; Avidan dkk, 2008).
Gambar 2.11 Panduan skala BIS Indek. Bispektral Indek adalah Skala dari 100 (Terjaga,Respon Terhadap Suara Normal) sampai 0 (Menunjukkan Keadaan Isoelektrik,Garis Flat EEG) (Dikutip dari Billard dkk, 2001)
Nilai BIS indek lebih rendah dari 40 menandakan efek anestesi berlebih pada EEG. Pada nilai-nilai BIS rendah, tingkat penekanan EEG adalah penentu utama dari nilai BIS. Uji klinis prospektif telah menunjukkan bahwa mempertahankan nilai-nilai BIS indek dikisaran 40-60 memastikan efek hipnotis yang memadai
65
selama anestesi umum sementara meningkatkan proses pemulihan. Selama pemberian sedasi, nilai BIS indek > 70 dapat diamati selama kecukupan tingkat sedasi adekuat tetapi memiliki probabilitas yang lebih besar akan kesadaran dan potensi memori (Avidan dkk, 2008).