10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis) adalah bakteri patogen intraseluler yang tumbuh lambat dan bisa bertahan hidup di dalam makrofag tubuh inangnya. M.tuberculosis merupakan bakteri tahan asam dengan dinding sel mengandung asam mikolik hidropobik dan komponen ini sekitar 50% dari berat kering M.tuberculosis tersebut. Oleh karena lapisan asam mikolik tersebut, masuknya nutrisi ke dalam sel menjadi terganggu sehingga menyebabkan pertumbuhan M.tuberculosis menjadi lambat. Namun hal ini juga menyebabkan ketahanan kuman M.tuberculosis terhadap enzim lisosom menjadi tinggi (Brennan dan Nikaido, 1995). Asam mikolik didistribusikan sebagai lapisan tebal penyusun dinding sel bakteri, sedangkan lapisan internal dari
mikobakterium
sebagian
besar
mengandung
arabinogalactan,
phosphalidyl-myo-inositol mannosides (PIMs), dan peptidoglycans. Di luar lapisan asam mikolik, komponen biomolekul mengandung mannose lain penyusun dinding mikobakterium yaitu mannose-capped lipoarabinomannan (Man-LAM), Lipomannan (LM) dan Mannoglycoproteins (Torrelles dan Schlesinger, 2010). Mannan dan arabinomannan ada pada permukaan sel dan membentuk kapsul luar mikobakterium. Man-LAM, LM dan PIMs termasuk mannosyl phosphatidyl-myo-inositol (MPI) merupakan struktur utama membran plasma (Briken et al., 2004).
11
Man-LAM adalah bagian mannans terdapat berlimpah pada permukaan sel, merupakan faktor virulens penting dari M.tuberculosis. ManLAM adalah lipoglikan heterogen dengan karakteristik struktur tripartite inti karbohidrat, MPI, dan beberapa motif mannose-capping (Kleinnijenhuis et al, 2011). Uncapped LAM ditemukan pada M.chelonae, dijumpai pada pertumbuhan lambat dari mikobakterial termasuk juga M.tuberculosis, M.bovis BCG, M.avium dan M.kansasii. Phospho-myo-inositol caps (PILAM) teridentifikasi pada pertumbuhan cepat dari M.smegmatis. PILAM umumnya dianggap sebagai molekul proinflamasi yang menstimuli produksi TNF dan IL12, sedangkan Man-LAM disamping sebagai molekul anti-inflamasi dan tidak memicu produksi sitokin proinflamasi tetapi lebih menstimulasi produksi IL-10 serta menghambat produksi TNF dan IL-12 oleh sel dendritik atau monosit (cell line) (Nigou et al., 2001).
Gambar 2.1 Struktur dinding Mycobacterium tuberculosis. Gambar ini menunjukkan secara skematik komponen utama dinding sel dan distribusi masing-masing komponen. Lapisan dalam mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan lapisan arabinogalactan. Membran luar mengandung asam mikolik, glycolipids like (mannose-capped) lipomannan, dan mannoglycoproteins ((Kleinnijenhuis et al., 2011).
12
2.2 Tahap pengenalan Mycobacterium tuberculosis Interaksi antara M.tuberculosis dengan sel tubuh sangat kompleks walaupun penelitian yang sangat mendalam dan lama telah dilakukan, namun belum sepenuhnya dapat diungkap. Pada tahap ini difokuskan pada PRRs dalam pengenalan PAMPs spesifik dari mikobakterium, menginduksi sinyal intraseluler untuk memproduksi sitokin dan menginisiasi respons imun adaptif. Secara skematik dijelaskan dalam Gambar 2.2. Reseptor host bagian utama yang ikut terlibat dalam phagositosis bakteri daripada complement receptors dan scavenger receptors (Kleinnijenhuis et al., 2011).
Gambar 2.2 Pola reseptor pengenal dalam mengenali mikobakterium dan downstream signalling pathways Mikobakterium dapat dikenali melalui pattern recognition receptors (PRRs) yang berbeda-beda pada host. Reseptor intraseluler maupun ekstraseluler keduanya ikut terlibat dalam proses ini. Setelah mengenali mikobakterium, kaskade sinyal intraseluler diaktivasi dengan ditunjukkannya aktivasi transkripsi NF-B. Setelah transkripsi, terjadi induksi produksi kemokin dan/sitokin proinflamasi dan antiinflamasi. Tipe kaskade sinyal yang terinduksi tergantung pada tipe PRR yang mengenali komponen M.tuberculosis (Kleinnijenhuis et al., 2011).
13
2.2.1 Toll-Like Receptors (TLR) Patogen seperti bakteri, virus, fungi dan protozoa mengekspresikan seperangkat molekul yang bersifat “class-specific” dan “mutation resistant” yang dinamakan PAMP (pathogen-associated molecular pattern). Sebaliknya sel tubuh yang terlibat dalam sistem immune natural (innate/nonspecific) dapat mengenali PAMP melalui motif PRR (pattern recognition receptor). Dikenal 3 macam anggota family PRR meliputi Toll-like receptor (TLR), NOD-like receptor (NLR) dan RIG-like receptor (RLR). Lokasi TLR berada pada membran sel (plasma) dan membran endosomal, sedangkan lokasi NLR dan RLR berada intraseluler (Ma’at, 2009). Pada akhir abad ke-20, penelitian yang dilakukan oleh Toll menunjukkan bahwa ada reseptor yang sangat penting dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi jamur pada Drosophilia, yang hanya dimiliki oleh respon imun alamiah. Setahun kemudian, reseptor yang dijumpai oleh Toll mirip pada mamalia (sekarang dikenal sebagai TLR4) menunjukkan bahwa reseptor tersebut dapat menginduksi ekspresi gen yang berperan dalam respon inflamasi. Disamping itu ditemukan bahwa adanya point mutation gen TLR4, strain tikus tidak responsif terhadap LPS. Aktivasi imunitas alamiah (innate immunity) merupakan tahap yang penting dalam perkembangan antigen-specific acquired immunity (Takeda dan Akira, 2005). TLR didistribusikan pada berbagai jenis sel di dalam tubuh, seperti terlihat pada Tabel 2.1. Masing-masing TLR diekspresikan pada subset leukosit yang berlainan, serta setiap TLR mendeteksi atau mengenali PAMP yang berlainan pula.
14
Aktivitas TLR oleh PAMP spesifik membentuk signal lewat domain TIR guna menginduksi aktivasi NF-B dan ekspresi gen inflamatori untuk mengeleminasi infeksi. Domain TIR berikatan dengan 5 molekul adaptor, seperti MyD88, Mal (MyD88 adaptor-like)/TIRAP (TIR domain-containing adaptor protein), Trif (TIRdomain-containing adaptor inducing interferon-beta), TRAM (Trif-released adaptor molecule) dan SARM (SAM and ARM-containing protein) (Ma’at., 2009). Reseptor membran TLR dibagi dalam 2 group: pertama, TLR1, TLR2, TLR4, TLR5, TLR6, TLR10, TLR11, TLR12 dan TLR13 merupakan tipikal TLR permukaan sel. Kedua, TLR3,TLR7 dan TLR9 dijumpai terutama pada membrane endosom. Secara filogenetik, TLR dibagi dalam 6 famili, yaitu TLR1, TLR3, TLR4, TLR5, TLR7 dan TLR11. TLR mengenali dan diaktivasi oleh berbagai macam PAMP, seperti DNA bakterial, LPS, peptidoglikan, asam teikhoat, flagellin, pilin, dsRNA viral, dan zimosan fungi. Sebagai contoh: TLR2 mengenali peptidoglikan dan asam teikhoat dari bakteri Gram positif, sedangkan TLR4 mengenali lipopolisakarida (LPS) dari dinding sel bakteri Gram negatif. Aktivasi TLR tersebut memicu ekspresi berbagai sitokin seperti: IFN-, IL-2, IL-6, IL-8, IL-12, IL-16 dan TNF- (Pasare dan Medzhitov, 2005).
15
Tabel 2.1 Distribusi TLR pada berbagai tipe sel, ligan dan asal ligan (Ma’at, 2009). Reseptor TLR1
Tipe sel Terdapat diberbagai sel
Ligan (PAMP) Triasil lipopeptida Faktor terlarut
TLR2
Sel dendritik, sel polimorfonuklear dan monosit
Heat Shock Protein 70 Peptidoglikan Lipoprotein/lipopeptida Virus hepatitis C (core dan protein NS3)
TLR3
Sel dendritik, sel NK, sel epithelial dan sel endothelial Makrofag, sel polimorfonuklear, sel dendritik, sel endothelial, tetapi tidak dijumpai pada limfosit
dsRNA
Monosit, sel dendritik ‘ immature’, sel epithelial, sel NK dan sel T Diekspresikan level tinggi pada sel B, dan level rendah pada monosit dan sel NK
Flagellin
TLR7
Sel B, sel dendritik prekursor plasmasitoid
ssRNA Imidasoquinolin
TLR8
Monosit, diekspresikan level rendah pada sel NK dan sel T
ssRNA Imidasoquinolin
TLR9
Sel dendritik prekursor plasmasitoid, sel B, makrofag, sel polimorfonuklear, sel NK dan sel mikroglial. Sel B, sel dendritik prekursor plasmasitoid Belum diketahui
DNA yang mengandung CpG
TLR4
TLR5
TLR6
TLR10 TLR11
Lipopolisakarida Protein ‘envelope’ Taxol
Zymosan Asam lipoteikhoat Lipopeptida diasil
Asal ligan Bakteri mikobakteria Neisseria meningitides Inang Bakteri Gram positif Berbagai patogen virus hepatitis C Virus Bakteri Gram negatif Virus ‘mouse mammarytumor’ Tumbuhan Bakteri
Fungi Bakteri Gram positif Mikoplasma Virus Senyawa sintetik Virus Senyawa sintetik Bakteri, malaria dan virus
Belum diketahui
Belum diketahui
Molekul ‘profillin-like’
Toxoplasma gondii
Respon imun alamiah setelah infeksi mikobakterial diperantarai oleh pengenalan komponen mikobakterial oleh PRR sehingga terjadi aktivasi beberapa TLR. Genom DNA dari strain Mycobacterium bovis, bacillus Calmette-Guerin (BCG), mempunyai kemampuan untuk meningkatkan aktivitas sel NK dan
16
menginduksi IFN tipe 1 pada sel limfa murine dan sel limfosit darah tepi manusia. Aktivitas imunostimulasi dari DNA mikobakterial ditunjukkan dengan adanya sekuens palindrom yaitu motif 5’-CG-3’, yang sekarang disebut sebagai motif CpG dan dikenal dapat mengaktivasi TLR9 (Hemmi et al., 2000). Dinding sel mikobakterial mengandung beberapa lapisan glikolipid seperti lipoarabinomannan (LAM), lipomannan (LM), dan phosphatidyl-myo-inositol mannoside (PIM) dikenali oleh TLR2. Lipoprotein 19-kDa. M.tuberculosis juga mengaktivasi makrofag melalui TLR2. TLR 4 juga diperkirakan dapat mengenali komponen mikobakterial tersebut (Saiga et al., 2010). Secara invivo dijelaskan mekanisme pertahanan tubuh melalui signal yang dimediasi oleh TLR dengan menggunakan mencit defisiensi MyD88, komponen penting pada signal TLR. Mencit dengan defisiensi MyD88 sangat rentan dengan infeksi saluran pernafasan oleh kuman M.tuberculosis. Keadaan yang berbeda ditemukan bahwa mencit dengan defisiensi TLR menunjukkan kerentanan terhadap infeksi M.tuberculosis tidak sehebat dibandingkan dengan defisiensi MyD88. Kerentanan mencit dengan defisiensi TLR2 terhadap M.tuberculosis bervariasi dari beberapa penelitian yang berbeda, sedangkan mencit dengan defisensi TLR4 tidak menunjukkan kerentanan yang tinggi terhadap infeksi M.tuberculosis. Laporan menyebutkan
bahwa
mencit
defisiensi
TLR9
rentan
terhadap
infeksi
M.tuberculosis dan lebih rentan lagi jika mencit yang defisiensi pada TLR2 dan TLR9. Penemuan ini mengindikasikan bahwa berbagai macam TLR berperan dalam tahap pengenalan mikobakterium. Laporan terbaru menyebutkan bahwa mencit yang defisiensi TLR2/TLR4/TLR9 menunjukkan kelainan phenotype yang
17
lebih ringan dibandingkan dengan mencit yang defisiensi MyD88. Perlu studi lebih lanjut apakah hanya TLR atau ada molekul lain selain TLR dalam aktivasi MyD88 untuk mediasi respon imun alamiah terhadap infeksi M.tuberculosis. TLR/MyD88 merupakan komponen independent dari imunitas alamiah yang terlibat dalam induksi respon imun adaptif selama infeksi M.tuberculosis (Saiga et al., 2010).
Gambar 2.3 Pengenalan M.tuberculosis oleh Toll-like receptors TLR2 mengenali beberapa komponen derivat M.tuberculosis. TLR9 mengenali DNA mikobakterial termasuk motif CpG di dalam endosom. Pengenalan mikobakterial yang TLR-dependent ini menginduksi aktivasi signaling pathways melalui molekul adaptor MyD88 dengan menunjukkan aktivasi ekspresi gen (Saiga et al., 2010). MyD88 berperan penting dalam aktivasi respons imun alamiah terhadap M.tuberculosis. Selanjutnya IL-1 receptor-associated kinases (IRAK), TNF receptor-associated factor (TRAF) 6, TGFβ-activated protein kinase 1 (TAK1) dan
18
mitogen-activated protein (MAP) kinase direkrut dalam kaskade signal dengan menunjukkan aktivasi dan translokasi inti dari faktor transkripsi seperti nuclear transcription factor (NF)-B (Takeda dan Akira, 2004). Keadaan ini menunjukkan transkripsi gen yang terlibat dalam aktivasi respon imun alamiah, terutama dalam produksi sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-1β, dan IL-12 serta nitric oxide (NO) (Akira, 2003). TLR4 diaktivasi oleh heat shock protein 60/65, suatu protein yang disekresikan oleh berbagai spesies M.tuberculosis (Bulut et al., 2005). TLR9 mengenali unmethylated CpG motifs dalam DNA bakteri. Studi in vitro menunjukkan bahwa M. tuberculosis menginduksi pengeluaran IL-12 dalam sel dendritik tergantung dengan TLR9. Eksperimen in vivo menunjukkan bahwa ketika mencit diinfeksikan dengan M.tuberculosis dosis tinggi, mencit yang kekurangan TLR9 lebih cepat mati dibandingkan dengan mencit yang normal (Bafica et al., 2005). TLR8 dapat mengenali single-stranded RNA (ssRNA) virus RNA. Hal yang menarik diungkapkan oleh Davila dkk pada tahun 2008, yaitu terjadi peningkatan ekspresi protein TLR8 dalam makrofag setelah diinfeksikan dengan BCG (Davila et al., 2008). Sampai sekarang hanya penelitian ini yang mengemukakan peran penting TLR8, namun bagaimana mekanisme TLR8 mengenali M.tuberculosis dan signal intraselulernya masih belum jelas.
19
2.2.2 NOD Like Receptors NOD like receptors (NLRs) merupakan keluarga dari protein yang sangat mirip dengan keluarga protein plant R (resistance), yang mempunyai peran penting dalam pertahanan terhadap patogen pada tumbuhan. Keluarga NLR pada mamalia mengandung lebih dari 20 anggota dengan struktur yang sederhana. Inti molekul tersebut dibentuk oleh nucleotide-binding domain, yang diberi nama NACHT, NAIP, CIITA, HET-E, dan TP-1 (Shi et al., 2003) atau NOD (nucleotide oligomerization domain). Bagian C-terminal mengandung ulangan seri kaya leucin, yang lebih dahulu mengenali PAMPs dari patogen dan mengawali aktivasi molekul. Bagian N-terminal molekul mengandung bagian efektor dari CARD (caspase activation and recruitment domain), PYRIN, atau BIR (baculovirus inhibitor of apoptosis repeat domain) (Proell et al., 2008). NLR yang mengandung CARD seperti misalnya NOD1 dan NOD2 terlebih dahulu membentuk oligomer dan kemudian merekrut receptor-interacting protein 2 (RIP2) (atau CARD containing kinase-RICK), melalui interaksi CARD-CARD sehingga menunjukkan pengerahan NF-B (Dufner et al., 2006). NOD2 adalah reseptor intraseluler yang memediasi rangsangan produksi sitokin proinflamasi dari infeksi M.tuberculosis. NOD2 merupakan reseptor untuk peptidoglikan bakteri. Mencit dengan defisiensi NOD2 menunjukkan gangguan produksi sitokin proinflamasi dan nitric oxide ketika diinfeksikan dengan M.tuberculosis. Namun kerentanan mencit dengan defisiensi NOD2 terhadap infeksi M.tuberculosis masih bervariasi (Divangahi et al., 2008).
20
2.2.3 C-Type Lectins C-type lectins merupakan keluarga PRR yang terlibat dalam pengenalan struktur polisakarida dari patogen. Mannose Receptor (MR, CD206) terdiri dari 8 rantai bagian pengenal karbohidrat dan satu bagian yang kaya cystein. MR banyak diekspresikan pada makrofag alveolar. Rangsangan mikobakterium melalui MR menyebabkan produksi sitokin anti-inflamasi seperti IL-4 dan IL-13, menghambat produksi IL-12, dan kegagalan mengaktivasi respon oksidatif. Man-LAM dan komponen utama lain dari dinding sel M.tuberculosis seperti PIMs merupakan ligan alami mikobakterium untuk MR. Ikatan M.tuberculosis dengan MR dapat menginduksi fagositosis, namun fusi fagosom dengan lisosom terbatas (Kleinnijenhuis et al, 2011). Perbedaan level mannosylation antara strain M.tuberculosis bisa juga berpengaruh terhadap pengenalan oleh C-type lectins. Torrelles dan Schlesinger pada tahun 2010 menyebutkan bahwa perbedaan virulensi antara strain M.tuberculosis bisa berkaitan dengan ekspresi Man-LAM pada dinding sel (Torrelles dan Schlesinger, 2010).
2.2.4 DC-SIGN Dendritic cell-specific intercellular adhesion molecule-3 grabbing nonintegrin (DC-SIGN, CD209) berperan penting dalam interaksi antara sel dendritik dengan M.tuberculosis. Reseptor ini terutama diekspresikan pada sel dendritik dalam bentuk sebagai PRR dan reseptor adesi, berperan dalam migrasi sel dendritik dan interaksi antara sel dendritik-sel T. Bagian pengenalan karbohidrat
21
dari DC-SIGN mengenali Man-LAM dan lipomannans. -glucan (bagian dominan polisakarida kapsul) juga sebagai ligan untuk DC-SIGN. Setelah mengenali struktur M.tuberculosis, DC-SIGN memacu respon imun anti-inflamasi dengan cara maturasi sel dendritik yang terinfeksi dan menginduksi produksi IL-10 (Kleinnijenhuis et al, 2011).
2.2.5 Dectin-1 Dectin-1 merupakan reseptor yang terdiri dari bagian pengenalan karbohidrat ekstraseluler dan bagian ITAM intraseluler. Reseptor ini terutama diekspresikan pada makrofag, sel dendritik, netrofil, dan subset sel T. Dectin-1 terutama mengenali β-glucan yang terdapat pada patogen fungi, namun hal ini juga diperkirakan berperan penting dalam pengenalan M.tuberculosis (Kleinnijenhuis et al, 2011). Laporan terakhir dikemukakan bahwa dectin-1 berperan penting pada pengenalan M.tuberculosis dalam imunitas alamiah dan menginduksi respon Th1 dan Th17 (Van De Veerdonk et al., 2010).
22
Gambar 2.4 Pengenalan mikobakterium oleh pattern recognition receptors (PRRs) Beberapa PRR seperti NOD-like receptors dan C-type lectin receptors, memediasi pengenalan M.tuberculosis. NOD2, merupakan anggota NODlike receptors, mengenali N-glycolyl MDP di dalam sitoplasma sel M.tuberculosis. DC-SIGN dan dectin-1 merupakan anggota dari C-type lectin receptors, berperan pada pengenalan mikobakterium. Selain itu, Mincle menunjukkan pengenalan terhadap TDM (merupakan suatu glikolipid dari dinding sel mikobakterium) (Saiga et al., 2010).
2.3 Imunitas alamiah dan Pertahanan Tubuh Terhadap M. tuberculosis Tahap pertama dalam aktivasi pertahanan tubuh alamiah dimulai dengan pola pengenalan patogen. PAMPs dari M.tuberculosis dikenali oleh PRRs spesifik yang akan memacu produksi sitokin proinflamasi dan kemokin, fagositosis dan pembunuhan mikobakterium, dan mempresentasikan antigen (Kleinnijenhuis et al., 2011).
23
Setelah mikobakterium yang ada pada aerosol terhisap melalui udara pernafasan kemudian masuk ke paru, kuman ditangkap oleh makrofag yang ada dalam alveolar. Mikobakterium yang lolos dari pemecahan intraseluler oleh makrofag bisa berkembang biak dan menghancurkan makrofag, setelah pengeluaran kemokin yang dapat merangsang pergerakan monosit atau sel inflamasi lainnya ke paru. Sel inflamasi seperti monosit akan berdiferensiasi menjadi makrofag yang siap untuk memakan mikobakterium namun tidak menghancurkan kuman tersebut (Van Crevel et al., 2002). Pada tahap infeksi ini, mikobakterium berkembang secara logaritmik dan akumulasi produk makrofag dalam darah, namun terjadi kerusakan jaringan paru yang sedikit. Dua sampai tiga minggu setelah infeksi, terjadi perkembangan imunitas sel T dan timbul antigenspecific T lymphocyte, berproliferasi dalam lesi awal atau tuberkel, mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti interferon- (IFN) yang akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikobakterium intraseluler. Keadaan ini menyebabkan pertumbuhan mikobakterium terhenti dan granuloma pada lesi primer akan menghambat pertumbuhan mikobakterium ekstraseluler. Granuloma mengandung jaringan nekrotik kaseosa sentral, menimbulkan kavitas dan penyebaran secara aerogen kuman mikobakterium (Kleinnijenhuis et al., 2011). Makrofag adalah sel yang sangat penting dalam kejadian tersebut diatas, terlibat dalam proses pagositosis, membunuh kuman mikobakterium dan mengawali imunitas sel T adaptif. Fagositosis kuman mikobakterium melibatkan reseptor yang berbeda-beda seperti scavenger receptors, mannose receptor (MR), dan complement receptors. Proses fagosistosis bisa melibatkan uptake basil
24
mikobakterium setelah opsonisasi dengan faktor komplemen dan/ tanpa opsonisasi. Studi invitro menunjukkan bahwa hampir 80% pagositosis M.tuberculosis melalui opsonisasi komplemen diperantarai oleh complement receptor 3 (CR3). Proses pagositosis tanpa melalui opsonisasi penting pada inpeksi primer paru, karena faktor komplemen sebagian besar tidak ada pada daerah alveolar (Kleinnijenhuis et al., 2011). Makrofag dapat mengeliminasi mikobakterium melalui mekanisme yang berbeda seperti produksi oksigen rekatif dan nitrogen species, asidifikasi fagosom, dan fusi fagosom dengan lisosom (Van Crevel et al., 2002). Nasib mikobakterium intraseluler juga dipengaruhi oleh proses autofagi, merupakan proses seluler melalui komponen sitoplasma, termasuk organela dan patogen intraseluler, kemudian diasingkan dalam double-membrane-bound autophagosome dan dibawa ke lisosom untuk dihancurkan (Kundu dan Thompson, 2008). Aktivasi dari autofagi menunjukkan maturasi dari fagosom, peningkatan asidifikasi fagosom, dan peningkatan pembunuhan mikobakterium dalam makrofag (Gutierrez et al, 2004). Interaksi antara M.tuberculosis dengan sel sistem imun alamiah dan adaptif menghasilkan sekresi kemokin dan sitokin, yang paling penting yaitu TNF-, sitokin keluarga interleukin-1 (IL-1β, IL-18), IL-12, dan IFN. TNF penting dalam proses pembentukan granuloma, merupakan mekanisme penting dalam membatasi replikasi basil tuberkulosis. IFN mengaktivasi makrofag untuk membunuh dan membatasi pertumbuhan mikobakterium. IFN juga meningkatkan ekspresi molekul MHC klas II untuk meningkatkan presentasi antigen ke sel T.
25
IFN disekresikan oleh sel NK, sel T CD4+, dan sel T CD8+ pada pengeluaran IL12 dan IL-18 endogen oleh makrofag dan sel dendritik. Ditunjukkan bahwa individu yang mengalami defisiensi reseptor IFN atau IL-12 terjadi peningkatan kepekaan terhadap infeksi mikobakterium (Kleinnijenhuis et al., 2011). Beberapa subset makrofag telah diidentifikasi dengan berbagai peran penting masing-masing. Dua subset utama yaitu classical phenotype dan nonclassical/ alternative phenotype. Diferensiasi melalui jalur klasik diinduksi oleh produk mikroba atau IFN menghasilkan induksi efek antimikroba dan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-1β, IL-12 (p40), dan IL-23 (Verreck et a.l, 2004; Verreck et al., 2006). Keadaan yang berbeda dijumpai pada subset makrofag nonclassical yaitu gangguan aktivitas antimikroba dan produksi IL-12. Subset ini memiliki kapasitas presentasi antigen yang jelek dan dapat menekan imunitas seluler dengan memproduksi IL-10 (Verreck et al., 2006).
2.4 Proses Fagositosis dan Fusi Fagolisosom Interaksi antara M.tuberculosis dengan berbagai reseptor menyebabkan terjadinya proses fagositosis. Proses fagositosis memiliki beberapa tahap, antara lain (Kaiser, 2002): a. Aktivasi Makrofag non aktif diaktivasi oleh berbagai mediator inflamasi seperti produk
mikroba,
protein
komplemen,
sitokin
proinflamasi
dan
prostaglandin. Sebagai akibatnya makrofag memproduksi reseptor glikoprotein
permukaan
yang
meningkatkan
kemampuan
mereka
26
menangkap dan mengenali mikroba. Komponen mikroba yang dideteksi oleh reseptor ini dapat berupa peptidoglikan, teichoic acid, lipopolisakarida dan mannose. Selain reseptor mereka juga meningkatkan metabolisme dan efek mikrobisidalnya dengan jalan meningkatkan produksi ATP, enzimenzim lisosom dan oksidan letal. b. Kemotaksis Kemotaksis adalah pergerakan sel fagosit karena adanya zat penarik (attractant) seperti bakteri (protein, kapsul, fragmen dinding sel, endotoksin), komplemen (C5a), kemokin (IL-8), produk fibrin, kinin dan fosfolipid dari sel inang yang rusak. c. Penangkapan (attachment) Proses penangkapan ini dapat terjadi melalui opsonisasi terlebih dahulu maupun tidak. Beberapa zat seperti peptidoglikan, teichoic acid, lipopolisakarida, mannan dan glukan pada dinding mikroba (yang tidak ditemukan pada sel manusia) dapat menyebabkan attachment tanpa opsonisasi. Sedangkan attachment mikroba melalui jalur opsonisasi dengan menggunakan antibodi IgG atau protein komplemen C3b dan C4b. Opsonisasi akan meningkatkan kemampuan attachment dari sel fagosit. d. Penelanan (ingestion) Begitu terjadi attachment, filamen aktin membentuk pseudopodia yang melingkupi kemudian menelan mikroba dan menempatkannya pada suatu fagosom. Di dalam fagosom terjadilah proses survival dari kuman ini. Inang memerlukan zat besi sebagai kofaktor untuk menimbulkan mekanisme
27
degradasi kuman yang terfagosit, sedangkan M.tuberculosis memerlukan zat besi untuk kelangsungan hidupnya. Sel inang mendapatkan zat besi yang dibutuhkan melalui transferrin receptor (TfR) yang membawa zat besi dari ekstraseluler sebagai transferin dan laktoferin. Kompleks ini kemudian dibawa dalam endosom awal tempat pelepasan zat besi dari reseptornya dalam suasana sedikit asam. M.tuberculosis membuat beberapa strategi agar kebutuhan zat besinya dapat terpenuhi. Yang paling penting adalah mencegah maturasi dari fagosom pada kondisi endosom awal sehingga kuman ini dapat mengakses langsung zat besi yang ada pada endosom tersebut. Strategi lain adalah memproduksi enzim siderophores yang memiliki afinitas tinggi terhadap zat besi intraseluler dan memindahkannya dari protein inang ke enzim mycobactin pada dinding selnya (Collins dan Kaufmann, 2001; Vergne et al., 2004; Ulrichs and Kaufmann, 2004). Fagosom yang mengandung mikroba selain M.tuberculosis akan meneruskan maturasinya sehingga menjadi semakin asam. Kondisi yang asam ini akan memicu terjadinya fusi dengan lisosom yang banyak mengandung enzim hidrolisa, disamping itu fagosom yang matur juga menghasilkan oksigen dan nitrogen reaktif yang fatal bagi mikroba. Dengan menghambat proses maturasi ini akan menyebabkan M.tuberculosis selamat dari degradasi oleh lisosom (Collins and Kaufmann, 2001; Vergne et al., 2004; Ulrichs dan Kaufmann, 2004). e. Destruksi
28
Sel fagosit memiliki kantung yang disebut lisosom dan mengandung berbagai enzim digestif, zat kimia mikrobisidal dan oksigen radikal yang toksik. Lisosom kemudian berfusi dengan fagosom mengakibatkan terjadinya destruksi mikroba.
2.5 Peranan Coronin-1 dalam menghambat fagositosis oleh makrofag Coronin-1 (Coronin-1a) merupakan anggota dari keluarga protein coronin terekspresi pada vertebrata. Pertama kali dilaporkan peranan Coronin-1 pada leukosit dalam mekanisme survival bakteri intraseluler M.tuberculosis. Walaupun banyak bakteri setelah mengalami internalisasi oleh makrofag maka secara cepat akan terjadi fusi antara fagosom dengan lisosom dan akhirnya akan terjadi destruksi bakteri tersebut. Berbeda dengan M.tuberculosis, setelah internalisasi mikobakteria secara aktif memblok fusi antara fagosom dengan lisosom (Pieters, 2008a). Coronin 1 (TACO, Tryptophan Aspartate containing Coat protein) merupakan molekul inang yang kemungkinan terlibat dalam blok fusi fagosom dengan lisosom, suatu protein ekslusif menjaga mikobakterial dalam fagosom. Coronin-1 yang terdapat pada makrofag tidak terinfeksi distribusinya hampir sama antara sitosol dan membran, kemudian secara special menjaga fagosom makrofag yang terinfeksi M.tuberculosis hidup, sedangkan pada makrofag dengan infeksi M.tuberculosis mati maka Coronin-1 pada tahap awal mengalami ko-internalisasi namun secara cepat mengalami disosiasi dari fagosom. Setelah terjadi disosiasi, fagosom yang tidak dilapisi coronin-1 mengalami fusi dengan atau matur dalam lisosom, akhirnya terjadi degradasi M. tuberculosis. Diperkirakan peran penting
29
coronin-1 dalam mencegah fusi fagosom yang mengandung mikobakteria dengan lisosom. Pada jaringan hati, mikobakteria secara efektif dapat dihancurkan dalam sel Kuffer, sedangkan makrofag yang terdapat dalam jaringan hati tidak mengekspresikan Coronin-1. Coronin-1 berperan dalam aktivasi Ca-dependent phosphatase calcineurin. Pada makrofag normal, setelah internalisasi mikobakteria maka fosfatase ini menjadi aktif sehingga memblok fusi fagosom dengan lisosom dengan mekanisme yang belum diketahui dengan pasti, sehingga meningkatkan survival M.tuberculosis dalam makrofag. Pada keadaan defisiensi coronin-1, tidak terjadi aktivasi calcineurin sehingga terjadi fusi fagosom dengan lisosom dan membunuh M.tuberculosis dalam makrofag (Pieters, 2008b; Constantoulakis et al., 2010).
Gambar 2.5 Model aktivitas Coronin-1 dalam makrofag Pada keadaan makrofag istirahat, Coronin-1 (Coronin-1A) tersebar pada sitoplasma kortex sel. Pada saat masuknya patogen mikobakteria, Coronin-
30
1 dikerahkan untuk melindungi membran fagosom dan mengaktivasi calcineurin. Aktivasi calcineurin menyebabkan terjadinya blok fusi antara fagosom yang mengandung M.tuberculosis hidup dengan lisosom. Delesi Coronin-1 atau hambatan aktivitas calcineurin menyebabkan induksi fusi fagosom dengan lisosom dan akhirnya dapat membunuh M.tuberculosis (Pieter, 2008a). Kode gen Coronin-1A untuk protein tidak hanya mempunyai kemampuan untuk mengikat actin-associated proteins, tubulin dan phospholipase ‘C’, namun juga memiliki peran dalam beberapa proses seluler, termasuk kemotaksis, fagositosis, pembelahan sel, transduksi sinyal, apoptosis dan regulasi gen. Gen Coronin-1A secara selektif diekspresikan dalam sel limfosit, makrofag dan netrofil pada jaringan limfa dan thymus. Kemampuan Coronin-1A untuk mengikat bagian C-terminal dari protein P40phox, yang membentuk subunit NADPH oxidase, sebagai mekanisme dimana aktivitas bakterisidal yang tergantung generasi superoksida bisa dibatasi pada vakuola fagositik. Coronin-1A diregulasi oleh protein phox melalui pengerahan protein kinase ‘C’ ke fagosom dan kemudian terjadi fosforilasi P47phox dan kompleks Coronin. Coronin terfosforilasi yang melarut dan pembuangan lapisan Coronin menyebabkan terjadi fusi fagosom dengan endosom. Kolesterol, epigallocatechin-3-galate (EGCG, komponen utama polipenol pada teh hijau), vitamin D3 + retinoic acid dan chenodeoxycholic acid + retinoic acid dapat meregulasi transkripsi gen Coronin-1A. Melalui receptor-Ck-dependent signalling, kolesterol diketahui dapat meregulasi SREBP dan PPAR- transcriptional factor. EGCG sekarang diketahui bekerja melalui SP-1 transcription factors, dimana vitamin D + retinoic acid dan chenodeoxycholic acid + retinoic acid diketahui bekerja melalui VDR/RXR dan FXR/RXR heterodimers. Tahap ini menunjukkan
31
bagaimana kontrol epigenomik gen Coronin-1A berperan dalam evolusi fagosom mikobakterial (Kaul, 2008) 2.6 Diabetes Melitus (DM) Diabetes melitus (DM) atau hanya disebut diabetes saja adalah suatu penyakit kronis yang ditandai dengan kadar gula darah penderita di atas nilai normal. Penetapan kadar gula darah normal untuk manusia memakai acuan PERKENI tahun 2011.
Diabetes melitus mempunyai karakteristik berupa
defisiensi insulin dan atau fungsi/efek insulin yang terganggu, menyebabkan hiperglikemia, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein, yang berawal dari tidak timbul gejala dan bila berlanjut berakibat komplikasi kronik yang dapat menimbulkan kerusakan pada berbagai organ (Dobbins, 2002). Secara normal kadar glukosa darah dipertahankan sekitar 4,0-5,5 mmol/l yang merupakan konsentrasi optimal untuk fungsi otak yang baik. Glukosa yang ada pada darah diperoleh melalui pasokan karbohidrat saat makan bebarapa saat sebelumnya, selanjutnya dipertahankan oleh produksi glukosa oleh hepar. Sintesis glukosa oleh hepar melalui degradasi glikogen dan glukoneogenesis dari prekursor non karbohidrat seperti asam amino, asam laktat dan gliserol. Konstribusi relatif glikogenolisis dan glukoneogenesis hepar diregulasi oleh hormonal. Glukagon menstimulasi glikogenolisis secara cepat sehingga cadangan glikogen menjadi berkurang. Selain itu glukagon juga berperan pada stimulasi glukoneogenesis yang tergantung pada kemampuan glukoneogenik substrat. Adrenalin menstimulasi glikogenolisis dan secara langsung meningkatkan glukoneogenesis dengan cara
32
meningkatkan pengeluaran substrat perifer. Kortisol menstimulasi glukoneogenesis melalui peranan hepar secara langsung. Insulin menstimulasi jalur komsumsi glukosa dan menekan jalur produksi glukosa dalam hepar, yang pada akhirnya meningkatkan pengambilan glukosa pada jaringan perifer (Baker et al., 2006). Pada keadaan mengalami penyakit akut, produksi glukosa akan meningkat dan bersihan glukosa perifer akan menurun, sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa plasma. Respon tersebut diperantari oleh adanya perubahan neurohormonal, produksi sitokin dan pengeluaran mediator lipid (McGuinness, 2005). Resistensi insulin pada stress akut ditunjukkan dengan adanya produksi sitokin dan inflamasi. Pada mencit yang diberikan sitokin IL-6 menunjukkan penurunan uptake glukosa otot skeletal yang distimulasi oleh insulin dan menekan produksi glukosa dalam hepar oleh aktivitas insulin. Pemberian IL-10 yang merupakan sitokin antiinflamasi mencegah defek induksi IL-6 dalam kerja dan aktivitas sinyal dari insulin (Kim et al., 2004). Pada tikus yang diberikan infus TNF sebagai sitokin proinflamasi menunjukkan terjadi penurunan sensitivitas insulin dalam waktu 24 jam dan menginduksi resistensi insulin dalam waktu 4 hari (Ruan et al., 2002). Diagnsosis DM ditegakkan dengan kadar glukosa darah puasa ≥ 7,0 mmol/l (126 mg/dl) pada dua atau lebih keadaan atau gula darah acak ≥ 11.0 mmol/l (200 mg/dl) pada satu keadaan, ditambah dengan gejala diabetes pada umumnya ( Expert Committee on the Diangnosis and Classification of Diabetes Melitus, 2003) (Baker et al., 2006).
33
Berbagai klasifikasi DM telah banyak dikemukakan, seperti klasifikasi berdasarkan timbulnya beberapa gejala klinik dan klasifikasi berdasarkan umur pasien. Berdasarkan umur, DM dapat diklasifikasikan menjadi juvenile-onset (kejadian yang dimulai pada anak) dan adult-onset (kejadian yang dimulai setelah dewasa). Berdasarkan tipe ketergantungan terhadap insulin, DM dapat dibagi menjadi insulin-dependent (ketergantungan insulin) dan non-insulin-dependent (tidak ketergantungan insulin) (Masharani et al., 2004). Klasifikasi DM dan katagori yang lain dari regulasi glukosa menurut American Diabetes Association (ADA), 2015 dapat dibagi mejadi: a. DM tipe 1, disebabkan karena terjadi kerusakan sel beta pankreas, biasanya ditandai dengan defisiensi absolut insulin, b. DM tipe 2, merupakan peralihan antara insulin resisten dengan defisiensi insulin relatif terutama defek sekresi insulin dengan insulin resisten c. Gestational diabetes melitus (GDM), diabetes melitus didiagnosis pada saat trimester kedua atau ke tiga kehamilan d. Tipe diabetes spesifik yang terjadi oleh penyebab lain: monogenic diabetes syndromes (seperti neonatal diabetes dan maturity-onset diabetes of the young [MODY]), penyakit kelenjar eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan diabetes yang diinduksi oleh obat atau zat kimia (pengobatan HIV/AIDS atau setelah trasnplantasi organ). DM tipe 1 terjadi lebih sering pada usia muda, namun dapat terjadi pada usia dewasa non obese. Keadaan ini disebabkan oleh kekurangan produksi insulin diikuti dengan plasma glukagon yang tinggi dan keadaan ini dipicu oleh kegagalan
34
sel beta pankreas. DM tipe 1 lebih dari 95% disebabkan oleh proses autoimun dan 5% karena destruksi sel beta pancreas yang idiopatik (Masharani et al., 2004). Sebagian besar DM yang terjadi merupakan DM tipe 2 (perkeni, 2011). DM tipe 2 ini sering juga disebut adult onset atau non insulin dependent diabetes melitus. Hal ini terjadi karena resistensi insulin yaitu suatu kondisi dimana tubuh gagal memakai cukup insulin atau tidak mampu mempergunakan insulin dengan baik, dan ditambang dengan defisiensi insulin secara relatif. Defisiensi insulin secara relatif adalah suatu keadaan tubuh memproduksi insulin tetapi tidak cukup mengubah makanan/glukosa menjadi energi oleh karena kegemukan (ADA, 2015). Peningkatan risiko tuberkulosis paru aktif pada penderita diabetes melitus (DM) diperkirakan akibat dari adanya gangguan sistem imun yang ada pada penderita DM, peningkatan daya lekat kuman Mycobacterium tuberculosis pada sel penderita DM, adanya komplikasi mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada pasien tersebut (Wulandari dan Sugiri, 2013). 2.7 Disfungsi imunologi pada penderita diabetes melitus Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada penderita diabetes bisa disebabkan karena defek pada mekanisme pertahanan tubuh penderita dan gangguan fungsi sel imun. Respon imun yang paling berperan yaitu sistem imun seluler. Derajat hiperglikemia juga mempengaruhi fungsi mikrobisidal dari makrofag, yaitu pada kadar gula darah > 200 mg/dl secara signifikan dapat menekan fungsi pembersihan sel respirasi. Pada penderita diabetes yang terkontrol buruk, dengan kadar haemoglobin yang terglikosilasi tinggi, sering diikuti dengan
35
kejadian tuberkulosis yang sangat parah dan bahkan berakhir dengan kematian yang cukup tinggi (Guptan and Shah, 2000). Tabel 2.2 Defek imunologi dan fungsi fisiologis paru pada penderita diabetes melitus (Guptan and Shah, 2000) Abnormalitas imunologi pada diabetes mellitus Abnormal kemotaksis, adherence, fagositosis dan fungsi mikrobisidal sel PMN Penurunan monosit darah tepi dengan gangguan fagositosis Transformasi blast yang buruk dari limfosit Fungsi opsonin C3 terganggu
Disfungsi fisiologi paru pada diabetes mellitus Penurunan reaktivitas bronchial Penurunan elastic recoil dan volume paru Penurunan kapasitas difusi Sekresi mucus yang berlebihan pada jalan nafas Penurunan respon pernafasan terhadap hipoksemia
Pasien pneumonia yang didapatkan dari rumah sakit yang memiliki kadar glukosa darah > 11 mmol/l memiliki risiko kematian dan komplikasi yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki kadar glukosa darah ≤ 11 mmol/l. Peningkatan kadar glukosa darah sebanyak 1 mmol/l berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya komplikasi sebanyak 3% (McAlister et al., 2005). Ditemukan bahwa sekitar 50% pasien rawat inap dengan penyakit paru obstruktif kronis eksaserbasi akut memiliki kadar glukosa darah ≥ 7.0 mmol/l (Baker et al., 2006). Pada daerah paru yang mengandung udara dilapisi oleh cairan tipis (cairan permukaan saluran nafas) dengan volume dan konsentrasinya diatur dengan seimbang sebagai mekanisme pertahanan paru. Penelitian pada binatang menyebutkan bahwa konsentrasi glukosa pada cairan permukaan saluran nafas 320 kali lebih rendah dibandingkan dengan di plasma. Glukosa tidak terdeteksi pada cairan hidung individu sehat yang diperiksa menggunakan alat stick glukosa. Cairan
36
saluran nafas bawah individu normal mengandung glukosa sekitar 0,4 mmol/l (Baker et al., 2006). Peningkatan glukosa pada saluran nafas terjadi ketika glukosa darah meningkat. Kadar glukosa cairan hidung sekitar 1-9 mmol/l pada pasien yang menderita diabetes melitus dan sekitar 1-11 mmol/l dalam aspirat bronkial pada pasien yang dirawat di ICU dengan stress hiperglikemia. Konsentrasi glukosa saluran nafas meningkat ketika terjadi inflamasi pada epitel saluran nafas (Philips et al., 2003). Glukosa pada sekresi saluran nafas dapat mempercepat infeksi saluran nafas melalui efek langsung pertumbuhan bakteri. Bakteri memecah sakarida menjadi substrat reaksi katabolik dalam menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan gugus karbon (C) untuk biosintesis materi seluler yang baru. Perubahan komposisi nutrisi lingkungan dari saluran nafas bisa menimbulkan perubahan ekspresi gen bakteri yang menimbulkan perubahan virulensi kuman. Kuman patogen pada epitel saluran nafas mengekspresikan sitokin proinflamasi seperti IL-6, IL-8 dan TNF- yang lebih lanjut dapat menimbulkan peningkatan glukosa saluran nafas, peningkatan inflamasi dan beratnya penyakit (Baker et al., 2006). Studi pada tikus DM tipe 1 yang diinduksi dengan alloxan menunjukkan bahwa netrofil dan makrofag alveolar mengalami gangguan dalam reaksi pengeluaran sitokin dan fagositosis, namun dengan pemberian insulin dapat memulihkan sebagian dari keadaan tersebut. Penemuan utama pada diabetes kronis yaitu pengaruhnya pada respon imun terhadap mikobakterium dengan memperlambat respon imun alamiah sel yang memediasi produksi interferon-. Efek ini disebabkan karena gangguan respon inflamasi cepat oleh makrofag
37
alveolar yang terinfeksi, saat migrasi sel dendritik dari paru ke limfonodi lokal (Knapp, 2012). TNF-, Interferon- dan IL-1β merupakan sitokin inflamasi yang penting. Beberapa studi klinis telah meneliti kadar sitokin serum pada penderita diabetes. Kadar IL-1 dan IFN- serum yang tinggi ditemukan pada penderita diabetes tipe 1 tanpa ketoasidosis yang baru terdiagnosis. Ekspresi mRNA TNF-, IFN- dan IL-1β relatif lebih tinggi tujuh hari setelah infeksi tuberkulosis, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan respon inflamasi pada paru, dan mungkin dapat menjelaskan terbentuknya granuloma besar pada mencit dengan DM tipe 1. Pada tikus dengan DM tipe 1 tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada proses fagositosis basil tuberkel dibandingkan dengan tikus normal. Makrofag alveolar tikus diabetes memproduksi lebih sedikit NO (nitric oxide) dibandingkan dengan tikus normal. NO merupakan zat antituberkulosis yang disintesis oleh inducible NO synthase dalam makrofag. Makrofag alveolar dari tikus diabetes tidak mampu memproduksi NO secara sempurna melalui rangsangan oleh basil tuberkel. Hal ini sangat penting untuk memeriksa kadar insulin darah pada tikus diabetes karena gangguan dari insulin menyebabkan terjadinya hiperglikemi, yang akhirnya menyebabkan pertumbuhan kuman M.tuberculosis. Mencit diabetes tipe 1 dengan infeksi M.tuberculosis yang diterapi dengan insulin subkutan setiap hari , kadar glukosa darah akan menurun dan jumlah coloni forming unit pada paru dan limfa yang terinfeksi secara signifikan mengalami penurunan. Jadi sangat penting untuk menjaga kadar glukosa darah dalam batas normal untuk mencegah infeksi M.tuberculosis yang lebih parah (Sugawara dan Mizuno, 2008).
38
Pada kasus gagal nafas akut, hiperglikemia dapat menimbulkan efek imunomodulator dengan ditandai dengan meningkatnya produksi sitokin antiinflamasi seperti IL-10, yang dapat mengakibatkan disfungsi mitokondria, dan gangguan fungsi netrofil sehingga menurunkan aktivitas bakterisidal intraseluler, aktivitas opsonisasi, dan imunitas alami. Namun pada penemuan yang lain disebutkan bahwa hiperglikemia dapat meningkatkan respon inflamasi dengan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-1β, IL-6, IL-8, dan IL-18; peningkatan leukocyte adhesion molecule; induksi nuclear factor-B; dan meningkatkan status prokoagulan. Hiperglikemia juga dapat meningkatkan produksi stress oksidatif yang dapat menimbulkan kerusakan oksidatif pada gagal nafas akut (Honiden and Gong, 2009). Keadaan hiperglikemia dapat memacu pembentukan advanced glycation end products (AGE), yang sekarang dikenal berperan dalam proses inflamasi dan disfungsi endotel. Interaksi antara AGE dan reseptornya (RAGE) berperan dalam perkembangan terbentuknya fibrosis paru pada kerusakan paru oleh bleomycin yang merupakan suatu endotoksin yang menginduksi kerusakan paru akut, serta memodulasi terjadinya syok septik. Kadar RAGE yang tinggi dalam sirkulasi berhubungan dengan derajat kerusakan paru dan dampak klinis dari penderita tersebut (Honiden and Gong, 2009).