BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis 2.1.1
Limbah Cair Limbah merupakan masalah lingkungan yang harus ditangani. Salah satu
limbah yang memerlukan penanganan khusus adalah limbah cair. Limbah cair merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran air karena sebagian besar limbah cair dibuang tanpa pengolahan terlebih dahulu ke dalam suatu badan air. 2.1.1.1 Pengertian Limbah Cair Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat mencemari lingkungan (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1995: 2). Air limbah (wastewater) adalah kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan, serta buangan lainnya. Dengan demikian air buangan ini merupakan hal yang bersifat kotoran umum (Sugiharto, 1987: 5). Limbah air bersumber dari pabrik yang biasanya banyak menggunakan air dalam proses produksinya. Di samping itu adapula bahan baku yang mengandung air, sehingga dalam proses pengolahannya air tersebut harus dibuang. Air ikutan dalam proses pengolahan kemudian dibuang; misalnya ketika digunakan untuk mencuci suatu bahan sebelum diproses lanjut, pada air tersebut ditambahkan bahan kimia tertentu, kemudian diproses dan setelah itu dibuang. Semua jenis perlakuan ini mengakibatkan adanya air buangan (Kristanto, 2004: 172).
10
11
Air dari pabrik membawa sejumlah padatan dan partikel, baik yang larut maupun yang mengendap. Bahan ini ada yang kasar dan ada yang halus. Kerap kali air buangan pabrik berwarna keruh dan bersuhu tinggi. Air limbah yang telah tercemar mempunyai ciri yang dapat diidentifikasikan secara visual dari kekeruhan, warna, rasa, bau yang ditimbulkan, dan indikasi lainnya. Sedangkan identifikasi secara laboratorium ditandai dengan perubahan sifat kimia air (Kristanto, 2004: 172). Limbah cair dari industri apabila tidak melalui proses pengolahan terlebih dahulu dan langsung dibuang ke badan air, dapat menyebabkan pencemaran air. Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor: 20 Tahun 1990, pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang membahayakan, yang mengakibatkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya (Mukono, 2000: 18). 2.1.1.2 Parameter-Parameter Limbah Cair Mulia (2005: 71-73) mengemukakan bahwa dalam air limbah terdapat parameter-parameter yang perlu untuk diketahui. Parameter tersebut dapat menentukan kualitas dan karakteristik dari air limbah tersebut. Beberapa parameter tersebut di antaranya: 1. Biochemical Oxygen Demand (BOD) BOD adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau milligram/liter (mg/L) yang diperlukan untuk menguraikan benda organik oleh bakteri pada suhu 20 0C selama 5 hari. Biasanya dalam waktu 5 hari, sebanyak 60-70 % kebutuhan terbaik
12
karbon dapat tercapai. BOD hanya menggambarkan kebutuhan oksigen untuk penguraian bahan organik yang dapat didekomposisikan secara biologis. Reaksi kimia oksidasi senyawa organik dalam limbah cair oleh bakteri ditunjukkan sebagai berikut. Senyawa Organik + O2
Bakteri
→ CO2 + H2O + Energi + Bahan Seluler
dalam Air Limbah (Suharto, 2011: 321). 2. Chemical Oxygen Demand (COD) COD menggambarkan jumlah total oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didekomposisi secara biologis (non biodegradable). Oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan untuk mengoksidasi air sampel. Pengukuran kekuatan limbah dengan COD adalah bentuk lain pengukuran kebutuhan oksigen dalam air limbah. Metode ini lebih singkat waktunya dibandingkan dengan analisis BOD. Pengukuran ini menekankan kebutuhan oksigen akan kimia dimana senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dipecah secara biokimia (Ginting, 2007: 50-51). COD umumnya lebih besar dari BOD, karena jumlah senyawa kimia yang bisa dioksidasi secara kimiawi lebih besar dibandingkan oksidasi secara biologis (Achmad, 2004: 37). Pengukuran COD didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua bahan organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksidator kuat (kalium dikromat/K2Cr2O7) dalam suasana asam. Dengan
13
menggunakan dikromat sebagai oksidator, diperkirakan sekitar 95-100 % bahan organik dapat dioksidasi (Effendi, 2007: 126). Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan industri, misalnya pabrik bubur kertas (pulp), pabrik kertas, dan industri makanan. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/L dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L (UNESCO/WHO/ UNEP dalam Effendi, 2007: 127). 3. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen = DO) DO adalah banyaknya oksigen yang terkandung di dalam air dan diukur dalam satuan milligram per liter. Oksigen terlarut ini digunakan sebagai tanda derajat pengotoran limbah yang ada. Semakin besar oksigen terlarut, maka menunjukan derajat pengotoran yang relatif kecil. 4. Kesadahan Kesadahan adalah gambaran kation logam divalent (valensi 2) yang terdapat dalam air. Kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun membentuk endapan (presipitasi) maupun dengan anion-anion yang terdapat di dalam air membentuk endapan atau karat pada peralatan logam. 5. Settleable Solid Settleable solid adalah lumpur yang mengendap dengan sendirinya pada kondisi yang tenang selama 1 jam secara gaya beratnya sendiri.
14
6. Total Suspended Solid (TSS) TSS adalah berat jumlah dalam mg/L kering lumpur yang ada di dalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran yang berukuran 0,45 mikron. Suspended solid (material tersuspensi) dapat dibagi menjadi zat padat dan koloid. Selain suspended solid ada juga istilah dissolved solid (padatan terlarut). 7. Mixed Liquor Suspended Solid (MLSS) MLSS adalah jumlah TSS yang berasal dari bak pengendap lumpur aktif setelah dipanaskan pada suhu 103-105 0C. 8. Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS) MLVSS adalah kandungan organic meter yang terdapat dalam MLSS. Didapat dari pemanasan MLSS pada suhu 600 0C, benda volatile (menguap) disebut MLVSS. 9. Kekeruhan Kekeruhan adalah ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur keadaan air sungai, kekeruhan ini disebabkan oleh adanya benda tercampur adalah benda koloid dalam air. 2.1.1.3 Dampak Buruk Limbah Cair Mulia (2005: 69-70) mengemukakan bahwa air limbah yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak buruk bagi makhluk hidup dan lingkungannya. Beberapa dampak buruk tersebut adalah sebagai berikut. 1. Gangguan Kesehatan Air limbah mengandung bibit penyakit yang dapat menimbulkan penyakit bawaan air (waterborne disease). Selain itu di dalam air limbah mungkin juga
15
terdapat zat-zat berbahaya dan beracun yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi makhluk hidup yang mengkonsumsinya. Adakalanya air limbah yang tidak dikelola dengan baik juga dapat menjadi sarang vektor penyakit (misalnya nyamuk, lalat, kecoa, dan lain-lain). 2. Penurunan Kualitas Lingkungan Air limbah yang langsung dibuang langsung ke air permukaan (misalnya sungai dan danau) dapat mengakibatkan pencemaran air permukaan tersebut. Sebagai contoh, bahan organik yang terdapat dalam air limbah bila dibuang langsung ke sungai dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen yang terlarut (dissolved oxygen) di dalam sungai tersebut. Dengan demikian akan menyebabkan kehidupan di dalam air yang membutuhkan oksigen akan terganggu dalam hal ini akan mengurangi perkembangannya. Adakalanya, air limbah juga dapat merembes ke dalam air tanah, sehingga menyebabkan pencemaran air tanah. Bila air tanah tercemar, maka kualitasnya akan menurun sehingga tidak dapat lagi dapat digunakan sesuai peruntukannya. 3. Gangguan terhadap Keindahan Adakalnya air limbah mengandung polutan yang tidak mengganggu kesehatan dan ekosistem, tetapi mengganggu keindahan. Contoh yang sederhana adalah air limbah yang mengandung pigmen warna yang dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan, tetapi terjadi gangguan keindahan terhadap badan air penerima tersebut. Kadang-kadang air limbah dapat juga mengandung bahanbahan yang bila terurai menghasilkan gas-gas yang berbau. Bila air limbah jenis
16
ini mencemari badan air, maka dapat menimbulkan gangguan keindahan pada badan air tersebut. 4. Gangguan terhadap Kerusakan Benda Adakalanya air limbah mengandung zat-zat yang dapat dikonversi oleh bakteri anaerobik menjadi gas yang agresif seperti H2S. Gas ini dapat mempercepat proses perkaratan pada benda yang terbuat dari besi (misalnya pipa saluran air limbah) dan bangunan air kotor lainnya. Dengan cepat rusaknya air tersebut maka biaya pemeliharaanya akan semakin besar juga, yang berarti akan menimbulkan kerugian material. 2.1.2
Limbah Industri Tahu
2.1.2.1 Jenis dan Manfaat Limbah Industri Tahu Sadimin (2007: 51) mengemukakan bahwa, jenis limbah yang dihasilkan oleh industri tahu berupa padatan (kering dan basah) dan cairan (whey). 1. Limbah Padat Kering Limbah padat kering dari usaha pembuatan tahu, umumnya terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut, 1) kotoran yang tercampur dalam kedelai, misalnya: kerikil, kulit, dan batang kedelai, serta kedelai cacat fisik/rusak/busuk, 2) kulit ari kedelai yang berasal dari pengupasan kering. Limbah padat kering umumnya lebih mudah diatasi dan tidak menimbulkan masalah, misalnya dengan dibakar ataupun dikubur dalam tanah. Pemanfaatan limbah padat kering, khususnya kulit keledai kering, adalah dan dijadikan campuran pakan ternak atau sebagai pupuk (setelah direndam 2 x 24 jam).
17
2. Limbah Padat Basah Limbah padat basah dari proses pembuatan tahu berupa ampas yang masih banyak mengandung unsur gizi. Dalam keadaan baru, ampas tahu ini tidak berbau. Bau busuk datang secara berangsur sejak 12 jam sesudah ampas dihasilkan. Limbah padat basah ini masih dapat dimanfaatkan, antara lain sebagai berikut, 1) bahan pembuatan tepung kedelai, 2) bahan pengembang (shortening) produk roti dan kue kering, 3) bahan pembuat tempe gembus, tempe enjes, dan oncom, 4) bahan campuran pakan ternak, 5) bahan pembuatan kecap. 3. Limbah Cair Limbah cair yang dihasilkan dari usaha pembuatan tahu setiap harinya tidak kurang dari sepuluh kali volume kedelai yang diproses. Sebagaimana halnya ampas kedelai, dalam kondisi baru limbah cair ini tidak menimbulkan bau, dan baru berbau setelah 12 jam kemudian. Limbah cair dari beberapa tahapan proses pembuatan tahu dapat dilihat dalam tabel 2.1. Tabel 2.1 Limbah Cair Pabrik Tahu per 100 kg Bahan Baku Kedelai
Proses
Kebutuhan Air Bersih (Liter)
Perendaman Pencucian Penggilingan Perebusan Penyaringan I Penggumpalan Penyaringan II Pencetakan Pemotongan Jumlah
250 400 400 200 200 1450
Limbah Cair yang Dihasilkan (Liter) 200 400 150 1200
Keterangan Sifat limbah tidak berbahaya Suhu limbah tinggi Sifat limbah mencemari -
18
Sumber: Bintari-KITA dalam Sadimin, 2007: 52-53 Dengan memaksimalkan pemanfaatan berbagai jenis limbah proses pengolahan kedelai menjadi tahu, berarti mengurangi pencemaran lingkungan. Sementara, sisanya yang berupa cairan dapat dinetralkan dengan tanaman eceng gondok yang dapat memberikan hasil tersendiri, dan di bagian bawahnya dapat digunakan untuk memelihara lele. 2.1.2.2 Cara Mengatasi Limbah Industri Tahu Sadimin (2007: 53) mengemukakan bahwa penanganan limbah perlu dilakukan secepatnya agar limbah cair pada proses pembuatan tahu tidak menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Ada 3 (tiga) alternatif yang dapat dipilih untuk menangani limbah-limbah tersebut, di antaranya sebagai berikut. 1. Penetralan Penanganan limbah industri kondisinya cukup memprihatinkan. Dalam jumlah dan kadar tertentu dapat merusak kesehatan, bahkan dapat membahayakan kelangsungan kehidupan di sekitarnya. Sehingga perlu adanya standar ambang batas yang diperkenankan dan aman bagi lingkungan. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Kedelai Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 2.2.
19
Tabel 2.2 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Kedelai Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2008
Parameter
Pengolahan Kedelai Kecap Tahu Tempe Kadar Beban Kadar Beban Kadar Beban (mg/L) (kg/ton) (mg/L) (kg/ton) (mg/L) (kg/ton) 150 1,5 150 1,5 150 1,5 300 3 300 3 300 3 100 1 200 4 100 1 6-9
BOD COD TSS pH Kuantitas air limbah 10 20 10 maksimum (m3/ton) Sumber: Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2008: Lampiran I
Untuk mencegah pencemaran lingkungan perlu adanya pengolahan air limbah, yang bertujuan menghilangkan bahan-bahan beracun yang mencemari lingkungan. Sehingga diperoleh air buangan dengan kualitas yang baik yang dapat diterima lingkungan. Proses pengolahan air limbah berupa sekelompok bangunan atau instalasi untuk mengolah limbah cair dari pabrik tahu agar tidak mencemari air sungai di sekitarnya. Instalasi berupa tangki-tangki pengendapan, tangki aerasi, serta pipa yang digunakan untuk membawa air buangan dari sumber-sumbernya sampai ke tempat pengelolaan atau ke tempat pembuangannya. Proses pengolahan limbah cair diolah dengan metode pengomposan melalui penguraian secara aerob oleh mikroba. Prinsipnya adalah mengeksploitasi kemampuan mikroba dalam mendegradasi senyawa pencemar dalam air. 2. Pemanfaatan
20
Pemanfaatan limbah merupakan salah satu cara penanganan limbah yang selain dapat mengatasi masalah pencemaran, diharapkan juga dapat memberikan penghasilan samping (di luar usaha pokok pembuatan tahu). Berkaitan dengan daya guna limbah, dapat dilakukan beberapa cara untuk memanfaatkannya, di antaranya sebagai berikut, 1) kulit kedelai dan limbah cair digunakan sebagai pakan ternak, 2) limbah padat basah dikeringkan dan dipak dalam kantong plastik, kemudian dijual sebagai pupuk atau campuran pakan ternak. Dalam keadaan kering, kulit kedelai tahan disimpan dalam waktu yang relatif lama, 3) limbah cair yang berasal dari kegiatan pencucian, perebusan, dan perendaman (25-30 kali berat kedelai) dimanfaatkan sebagai minuman ternak dan pupuk cair untuk semua tanaman, termasuk jamur merang, 4) limbah cair sisa penggumpalan (whey) dapat disimpan dan dijernihkan sehingga menghasilkan asam cuka. Asam cuka tersebut dapat dijual ataupun digunakan kembali untuk menggumpalkan protein pada proses pembuatan tahu periode berikutnya, 5) limbah cair dapat difermentasikan sehingga menghasilkan produk yang mirip dengan nata de coco (sari kelapa), yaitu nata de soya yang relatif mahal harganya. 3. Penyaringan Bau busuk limbah industri tahu dapat dihilangkan dengan penyaringan. Penyaringan ini dilakukan dengan menggunakan tumbuh-tumbuhan air yang memiliki kemampuan untuk mengisap racun dan bau (menetralisir) limbah tersebut. Beberapa jenis tumbuhan yang dapat digunakan adalah kapu-kapu (Salvinia cuculata), ganggang (Utricularia species), dan eceng gondok (Eichornia crassipes solms).
21
2.1.3
Tanaman Kelor
2.1.3.1 Kelor dalam Kehidupan Manusia Hampir setiap orang Indonesia pernah mendengar kata “daun kelor”. Bahkan ada pepatah yang mengatakan “dunia ini tidak selebar daun kelor”. Pepatah ini sangat dikenal luas dalam kehidupan kita; merupakan petuah yang sering diucapkan kepada orang yang hilang harapan (putus asa). Pepatah ini mengandung makna bahwa kesuksesan dapat diperoleh di berbagai bidang kehidupan yang dapat memberikan kesempatan kepada kita (Simbolon, Sitorus, Katharina, 2012: 11). Di Indonesia, khususnya di kampung atau pedesaan, pohon kelor banyak ditanam sebagai pagar hidup, ditanam di sepanjang tepi ladang atau sawah, berfungsi selain sebagai tanaman penghijau juga sebagai tanda batas tanah atau ladang kepemilikan seseorang. Selama ini, daun kelor muda banyak dimanfaatkan sebagai bahan sayuran oleh sebagian besar penduduk kampung atau desa (Simbolon, Sitorus, Katharina, 2012: 11). Selain itu, tanaman kelor juga sudah dikenal luas di lingkungan pedesaan sebagai tanaman obat berkhasiat; dengan memanfaatkan seluruh bagian tanaman ini, mulai dari daun, kulit batang, biji, hingga akarnya. Akar kelor dicampur dengan kulit akar pepaya digiling dan dihancurkan; campuran ini banyak digunakan sebagai obat luar (balur) untuk penyakit beri-beri dan sejenisnya. Daunnya ditambah dengan kapur sirih, merupakan obat kulit seperti kurap, yang digunakan dengan cara digosokkan (Simbolon, Sitorus, Katharina, 2012: 11-12).
22
Sementara, sebagai obat oral (diminum), rebusan akar dan daun kelor ampuh sebagai obat rematik, epilepsi (ayan), skorbut (kekurangan vitamin C), gangguan atau infeksi saluran kemih (melancarkan buang air kecil), bahkan sampai penyakit kelamin “gonorrhoea”. Biji kelor tua bersama dengan kulit jeruk dan buah pala, akan dapat dicampur sebagai “spiritus moringae compositus” yang digunakan sebagai stimulans (obat perangsang), stomachikum (obat sakit perut), hingga diuretikum (Simbolon, Sitorus, Katharina, 2012: 12). Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki hamparan areal yang sangat luas, dengan kondisi tanah dan iklim yang sesuai untuk membudidayakan tanaman kelor. Tetapi sangat disayangkan, masih sangat jarang budidaya tanaman kelor dilakukan oleh penduduk Indonesia. Di samping itu, buku referensi lokal yang membahas secara khusus mengenai tanaman kelor dan kegunaannya, juga masih sulit dijumpai. Tanaman kelor sangat jarang dibahas dalam forum-forum ilmiah, forum pengobatan alternatif, maupun media massa (Simbolon, Sitorus, Katharina, 2012: 13). Padahal di dunia internasional, budidaya pohon kelor (drumstick tree: dalam bahasa Inggris) merupakan suatu program yang “mendunia”. Orang-orang menyebut pohon kelor sebagai “The Miracle Tree”, “Tree for Life”, “Amazing Tree”, “Never Die”, dan lain-lain. Berbagai julukan apik tersebut muncul karena masing-masing bagian pohon kelor mulai dari daun, buah dan biji, bunga, kulit batang, akar, hingga getahnya, memiliki manfaat yang luar biasa. Di samping itu, tanaman kelor juga mampu hidup di berbagai jenis tanah walaupun tidak subur, tidak memerlukan perawat/pemeliharaan yang intensif, tahan terhadap musim
23
kemarau, dan mudah dikembangbiakkan melalui biji atau setek (Simbolon, Sitorus, Katharina, 2012: 14). 2.1.3.2 Spesies Pohon Kelor Simbolon, Sitorus, Katharina (2012: 17) mengemukakan bahwa pohon kelor dikelompokkan ke dalam famili Moringaceae. Hingga saat ini ditemukan adanya 13 (tiga belas) spesies tumbuhan kelor, antara lain sebagai berikut: 1. Moringa oleifera, 2. Moringa orborea, 3. Moringa borziana, 4. Moringa concanensis, 5. Moringa drouhardii, 6. Moringa hildebrandtii, 7. Moringa longituba, 8. Moringa ovalifolia, 9. Moringa peregrin, 10. Moringa pygmaea, 11. Moringa rivae, 12. Moringa ruspoliana, 13. Moringa stenopetala. Moringa oleifera dikenal sebagai yang terbaik dari ke-13 spesies pohon kelor tersebut. 2.1.3.3 Karakteristik Umum Pohon Kelor Thomas (2007: 66) mengemukakan bahwa terdapat beberapa nama lokal tanaman kelor, yaitu kelor (Indonesia), kelor (Jawa, Sunda, Bali, Lampung), marangghi (Madura), moltong (Flores), kelo (Gorontalo), keloro (Bugis), kerol (Buru), kawona (Sumba), ongge (Bima), dan hau fo (Timor).
Gambar 2.1. Pohon Kelor (Moringa oleifera) Sumber: Dokumentasi Pribadi
24
Pohon kelor (drumstick tree: Inggris) memiliki ketinggian pohon antara 712 m. Batang kayunya lunak dan getas (mudah patah) dan cabangnya jarang, tetapi mempunyai akar yang kuat. Pohon kelor berbunga dan berganti daun sepanjang tahun, tumbuh dengan cepat, dan tahan terhadap musim kering (kemarau) (Simbolon, Sitorus, Katharina, 2012: 18). Pohon kelor dapat menyesuaikan diri terhadap berbagai jenis tanah, namun areal tanah berpasir atau tanah lempung menjadi tempat terbaik bagi pertumbuhannya. Kelor dapat berkembang biak dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian antara 1-1.000 m di atas permukaan laut (Simbolon, Sitorus, Katharina, 2012: 18). Berikut merupakan penjelasan singkat dari bagianbagian tanaman kelor. 1. Daun Kelor Daunnya berbentuk bulat telur (oval) dengan ukuran kecil-kecil, bersusun majemuk dalam satu tangkai. Pohon kelor berdaun tidak telalu lebat. Daun kelor berguguran apabila kekurangan air (biasanya terjadi pada musim kemarau panjang) dan tumbuh kembali ketika kebutuhan air telah tercukupi.
Gambar 2.2. Daun Kelor (Moringa oleifera) Sumber: Dokumentasi Pribadi
25
2. Bunga Kelor Bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Bunga kelor akan keluar (mekar) sepanjang tahun dengan bau khas semerbak.
Gambar 2.3. Bunga Kelor (Moringa oleifera) Sumber: Dokumentasi Pribadi 3. Buah Kelor Buah kelor berbentuk segitiga memanjang sekitar 30-50 cm, yang biasa disebut klentang (Jawa). Sementara, getahnya yang berubah warna menjadi cokelat disebut blendok (Jawa).
Gambar 2.4. Buah Kelor (Moringa oleifera) Sumber: Dokumentasi Pribadi
26
4. Biji Kelor Di dalam buah kelor ini terdapat banyak biji yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan perkembangbiakkannya. Di samping menggunakan biji, pengembangbiakkannya juga dapat dilakukan dengan menggunakan stek batang.
Gambar 2.5. Biji Kelor (Moringa oleifera) Sumber: Dokumentasi Pribadi 2.1.3.4 Kelor sebagai Koagulan Pusat-pusat pengolahan air perkotaan atau municipal water treatment dengan skala besar melakukan pengolahan air dengan cara menambahkan senyawa kimia penggumpal (coagulants) ke dalam air kotor yang akan diolah. Penambahan koagulan di dalam proses pengolahan mengakibatkan partikelpartikel yang berada di dalam air akan saling berdempetan menjadi suatu gumpalan yang lebih besar lalu mengendap, kemudian air di bagian atas yang bersih dipisahkan untuk memenuhi keperluan keluarga sehari-hari (Savitri, Yulianti, Dewi dalam Khasanah, 2008: 17). Biji kelor juga berperan sebagai koagulan yang efektif karena adanya zat aktif 4-alfa-4-rhamnosyloxy-benzil-isothiocyanate yang terkandung dalam biji kelor. Zat aktif itu mampu mengadsorbsi partikel-partikel air limbah Dengan
27
pengubahan bentuk yang lebih kecil, maka zat aktif dari biji kelor tersebut semakin banyak karena luas permukaan biji kelor semakin besar. Apabila kandungan air di dalam biji kelor besar, maka kemampuannya dalam menyerap limbah cair semakin kecil karena zat aktif tersebut tidak berada di permukaan biji kelor lor tetapi tertutupi oleh air sehingga kelembaban biji kelor harus kecil (Ritwan dalam Bangun,, Aminah, Hutahaean, dan Ritonga, Ritonga, 2013: 2). Gambar struktur dari kandungan aktif 4-alfa alfa-4-rhamnosyloxy-benzilisothiocyanate dalam biji kelor kel dapat dilihat pada gambar gam 2.6 berikut.
Gambar 2.6. 2.6 Struktur Kandungan Aktif 4-alfa-44rhamnosyloxy-benzil-isothiocyanate Sumber: Fahey dalam Khasanah, 2008: 11 Sejak awal tahun 1980-an 1980 an oleh Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), biji kelor digunakan untuk penjernihan air permukaan (air kolam, air sungai, air danau sampai ke air sungai) sebagai pengendap (koagulan) dengan hasil yang memuaskan dan aman, pada dosis 150 mg/L mg/ air. Bahkan serbuk biji kelor memiliki sifat antimikroba, khususnya terhadap bakteri. Sehingga kalaupun di dalam air terdapat bakteri coli (salah satu yang disyaratkan tidak terdapat dalam air minum), akan tereduksi atau mati (Prihandana, (Prihandana Hendroko, 2008: 150).
28
Kusnaedi (2010: 49) mengemukakan bahwa bahan penjernih alami dapat juga menggunakan biji kelor (Moringa oleifera) yang banyak tumbuh di lapangan terbuka. Caranya, biji kelor yang tua dan kering dihaluskan, kemudian dilarutkan dalam air. Tepung biji kelor ini dapat langsung digunakan sebagai bahan penjernih air gambut. Biasanya 5-10 biji kelor untuk 1 liter air. Tepung biji kelor merupakan bahan penggumpal alami yang cukup efektif sebab biji kelor mengandung mirosin, emulsin, asam gliserid, asam polmirat, lemak dan minyak, serta zat yang bersifat bakterisida. Metode koagulasi adalah proses pencampuran koagulan dan air baku yang disertai dengan pengadukan secara cepat di dalam suatu wadah, agar diperoleh suatu campuran koagulan sehingga proses pembentukan gumpalan atau flok dapat terjadi secara merata pula (Anonymous dalam Mukarromah, 2008: 18). Penelitian mengenai koagulan biji kelor dalam menjernihkan air telah banyak dilakukan. Hasil penelitian yang menjadi dasar dan acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Bangun, Aminah, Hutahaean, dan Ritonga (2013) tentang Pengaruh Kadar Air, Dosis, dan Lama Pengendapan Koagulan Biji Kelor sebagai Alternatif Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan serbuk biji kelor dengan kadar air 7 %, variasi dosis koagulan yang digunakan 2000, 3000, 4000, 5000 mg/200 mL (2, 3, 4, 5 gr/200 mL) limbah cair tahu, ukuran koagulan 50 dan 70 mesh dengan pH awal adalah 4, waktu pengendapan optimum yang diperoleh adalah 60 menit dengan penurunan turbiditas 77,43 %, TSS 90,32 %, dan COD 63,26 % pada dosis koagulan 5000 mg/200 mL (5 gr/200 mL), dan ukuran
29
partikel koagulan 70 mesh dengan pH akhir adalah 4, sehingga dapat disimpulkan bahwa biji kelor dapat digunakan sebagai koagulan yang efektif karena persentase penurunan yang diperoleh di atas 50 %. Menurut Hammer (dalam Khasanah, 2008: 21-24) proses koagulasi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain: 1. Dosis Koagulan Kebutuhan koagulan atau dosis koagulan pada proses koagulasi air keruh tergantung pada jenis air keruhnya. Air dengan tingkat kekeruhan tinggi membutuhkan dosis koagulan yang tepat sehingga proses pengendapan partikel koloid pada air keruh berlangsung dengan baik. Dosis koagulan yang tepat mampu mengendapkan dan mampu mengurangi partikel koloid penyebab kekeruhan dalam air secara maksimal. 2. Kecepatan Pengadukan Pengadukan pada proses koagulasi dibutuhkan untuk reaksi penggabungan antara koagulan dengan bahan organik dalam air, melarutkan koagulan dalam air, dan menggabungkan inti-inti endapan menjadi molekul besar. Kecepatan pengadukan yang tepat sangatlah penting di dalam proses koagulasi. Kecepatan putaran pengadukan yang kurang akan menyebabkan koagulan untuk dapat terdispersi dengan baik sebaliknya apabila kecepatan pengadukan terlalu tinggi akan menyebabkan flok-flok yang sudah terbentuk akan terpecah kembali sehingga terjadi pengendapan tidak sempurna.
30
3. Derajat Keasaman Derajat keasaman (power of Hydrogen) adalah suatu besaran yang menyatakan sifat asam basa dari suatu larutan. Derajat keasaman (pH) mempengaruhi koagulasi air keruh. Derajat keasaman air keruh berkaitan dengan pemilihan jenis koagulan yang akan digunakan dalam koagulasi. Pemilihan jenis koagulan yang tepat dalam kondisi pH air keruh akan membantu koagulasi. 4. Waktu Pengendapan Pengendapan dilakukan untuk memisahkan benda terlarut atau tersuspensi pada air keruh. Pengendapan juga merupakan suatu cara yang digunakan untuk memisahkan lumpur yang terbentuk akibat penambahan bahan kimia (koagulan). Waktu pengendapan adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengendapkan flokflok yang terbentuk pada koagulasi. 5. Pengaruh Kekeruhan Kekeruhan teramati sebagai sifat larutan yang mengandung zat yang tersuspensi di dalamnya. Semakin tinggi intensitas cahaya yang dihamburkan semakin tinggi kekeruhan dan begitu sebaliknya. 6. Pengaruh Jenis Koagulan Pemilihan koagulan disesuaikan dengan jenis koloid yang terkandung di dalam air. Jenis koagulan biasanya memiliki tanda ion yang berlawanan dengan muatan ion yang terdapat pada air tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi daya tolak menolak antara sesama koloid sehingga terbentuk flok.
31
7. Pengaruh Temperatur Temperatur erat hubunganya dengan viskositas air semakin tinggi suhu air maka semakin kecil viskositasnya. Viskositas ini akan berpengaruh pada pengendapan flok. Hal ini terjadi karena bertambahnya suhu akan meningkatkan gradien kecepatan sehingga flok akan terlarut kembali. Di samping itu, peningkatan suhu menyebabkan peningkatan dosis koagulan seperti alum pada pH netral. Spesies muatan positif Al menurun dengan peningkatan temperatur. Pada suhu yang lebih rendah secara struktur agregat lebih kecil, kinetik hidrolis dan presipitasi lebih lambat. 8. Pengaruh Garam-Garam di Air Garam
mineral
sangat
dipengaruhi
oleh
senyawa
pembentuk
konsentrasinya yang terdapat di dalam air terlarut. Pengaruh yang disebabkan oleh garam mineral dalam air adalah kemampuan untuk menggantikan ion hidroksinya pada senyawa kompleks hidroksi. Selain itu, garam mineral juga berpengaruh dalam menentukan pH dan dosis koagulan. 9. Komposisi Kimia Larutan Air akan mengandung bermacam-macam koloid dan elektrolit pada keadaan air yang alami. Larutan elektrolit merupakan sistem yang kompleks dengan kandungan yang tidak mudah untuk diinterpretasikan. Kompleks merupakan masalah koloid dan fenomena koagulasi menunjukan bahwa setiap teori atau penelitian empiris dapat dengan mudah terjadi kesalahan atau pengecualian tertentu.
32
2.2 Kerangka Berpikir 2.2.1
Kerangka Teori Bahan baku Proses pembuatan tahu
Limbah
Tahu
Serbuk biji kelor
Limbah padat
Limbah cair
Dosis koagulan Kecepatan pengadukan
Keberhasilan koagulasi
Derajat keasaman
Nilai parameter limbah cair industri tahu
Waktu pengendapan
BOD
Pengaruh kekeruhan
COD
Pengaruh jenis koagulan
pH
Pengaruh temperatur
TSS
Pengaruh garam-garam di air Komposisi kimia larutan Gambar 2.7. Bagan Kerangka Teori Dari gambar 2.7 dapat dijelaskan bahwa bahan baku yang digunakan dalam industri tahu yang terdiri atas kedelai, air untuk proses, dan asam cuka, setelah melalui proses pengolahan maka dihasilkan tahu sebagai produk utama dan limbah sebagai produk sampingan. Limbah yang dihasilkan oleh industri tahu
33
terbagi menjadi limbah padat dan limbah cair. Limbah cair oleh industri tahu dapat dimanfaatkan sebagai bahan penggumpal untuk proses pembuatan tahu berikutnya. Namun karena tingginya volume limbah cair yang dihasilkan, tidak semuanya terpakai dan akhirnya dialirkan ke sungai tanpa proses pengolahan. Terdapat beberapa nilai parameter limbah cair industri tahu yang diharuskan memenuhi baku mutu sebelum dibuang ke lingkungan, yaitu BOD, COD, pH, dan TSS. Nilai parameter ini seringkali tidak memenuhi baku mutu dan membutuhkan proses pengolahan terlebih dahulu sehingga dapat diterima lingkungan. Akan tetapi sebagian besar industri belum mengetahui cara pengolahannya dan kadangkala terkendala oleh biaya. Untuk itu diperlukan suatu alternatif pengolahan limbah cair industri tahu yang mudah dilakukan. Metode koagulasi merupakan metode yang tidak membutuhkan biaya yang terlalu besar dan efektif dalam mengendapkan partikel-partikel air limbah. Berbagai jenis koagulan sudah banyak diteliti kemampuannya dalam proses pengolahan limbah salah satunya biji kelor (Moringa oleifera). Biji kelor tersebut harus diolah terlebih dahulu menjadi serbuk biji kelor untuk dapat menjadi suatu koagulan. Keberhasilan suatu koagulan dalam mengendapkan partikel-partikel air limbah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu dosis koagulan, kecepatan pengadukan, derajat keasaman, waktu pengendapan, pengaruh kekeruhan, pengaruh jenis koagulan, pengaruh temperatur, pengaruh garam-garam di air, dan komposisi kimia larutan.
34
2.2.2
Kerangka Konsep
Variasi dosis serbuk biji kelor: 1. 0 gr/200 mL. 2. 2,5 gr/200 mL. 3. 5 gr/200 mL. 4. 7,5 gr/200 mL. Variasi waktu pengendapan: 1. 0 menit. 2. 30 menit. 3. 60 menit. 4. 90 menit.
Nilai parameter COD limbah cair industri tahu
Keterangan: = Variabel independen. = Variabel dependen. Gambar 2.8. Bagan Kerangka Konsep 2.3 Hipotesis 2.3.1
Hipotesis Penelitian
2.3.1.1 Ada perbedaan nilai parameter COD limbah cair industri tahu berdasarkan variasi dosis serbuk biji kelor. 2.3.1.2 Ada perbedaan nilai parameter COD limbah cair industri tahu berdasarkan variasi waktu pengendapan. 2.3.1.3 Ada interaksi antara variasi dosis serbuk biji kelor dan variasi waktu pengendapan terhadap nilai parameter COD limbah cair industri tahu. 2.3.2
Hipotesis Statistik H0 : µ 1 = µ 2 = µ 3 Ha : µ 1 ≠ µ 2 ≠ µ 3 (Salah satu berbeda sudah merupakan Ha) (Sugiyono, 2012: 88).