BAB II KAJIAN PUSTAKA
2. 1
Kepuasan kerja
2.1.1. Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan salah satu studi yang secara luas dipelajari dan digunakan sebagai konstruk pengukuran
dalam penelitian
perilaku
keorganisasian dan literatur manajemen. Pemahaman tentang konsep kepuasan kerja membantu para peneliti bidang keprilakuan untuk memahami efek dari konsep ini yaitu misalnya komitmen organisasional, penilaian kinerja maupun intensitas turnover.
Pentingnya pemahaman tentang konsep kepuasan kerja
dipertegas Robbins dan Judge, (2008), bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kepuasan hidup karena sebagian besar waktu manusia dihabiskan di tempat kerja. Menurut Crow et al. (2012), kepuasan kerja merupakan perasaan yang bersifat subjektif tentang seberapa mampu organisasi memenuhi keinginan karyawan. Kepuasan kerja adalah selisih dari sesuatu yang seharusnya ada dan sesuatu yang sesungguhnya ada. Dimana semakin kecil selisih kondisi yang seharusnya ada dengan kondisi yang sesungguhnya ada cenderung membuat seseorang merasa semakin puas. Sedangkan Robbins dan Judge (2008), kepuasan kerja adalah perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara
11
12
seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan. Kepuasan kerja terkait dengan penilaian tentang karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja. Karyawan yang puas mempunyai penilaian yang baik tentang pekerjaan mereka, berdasarkan pengamatan dan pengalaman mereka. Kepuasan kerja benar-benar merupakan sekumpulan sikap tentang aspek-aspek yang berbeda dari tugas dan konteks pekerjaan. Noe et al. (2011) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan senang sebagai akibat persepsi bahwa pekerjaan seseorang memungkinkan terpenuhinya nilai-nilai kerja penting bagi orang itu. Definisi ini merefleksikan tiga aspek penting, yaitu : 1.
Kepuasan kerja merupakan fungsi nilai yang didefinisikan sebagai apa yang ingin diperoleh seseorang baik sadar maupun tidak sadar
2.
Beragam karyawan memiliki pandangan yang juga berbeda-beda menyangkut nilai-nilai yang dirasa penting dan sangat berpengaruh terhadap penentuan sifat dan derajat kepuasan mereka
3.
Persepsi individu bisa saja bukan merupakan refleksi yang sepenuhnya akurat terhadap realitas, dan beragam orang bisa memandang situasi yang sama secara berbeda-beda Menurut Bakhshi et al. (2009) kepuasan kerja adalah salah satu variabel
yang paling banyak digunakan dalam riset keadilan organisasional. Kepuasan kerja
merupakan
tanggapan
seorang
karyawan
berupa
sikap
terhadap
organisasinya. Sebagai sebuah sikap, kepuasan kerja merupakan konseptualisasi
13
dari komponen evaluasi, kognitif, dan afektif. Antoncic dan Antoncic (2011) mencatat beberapa riset terdahulu tentang sumber-sumber kepuasan, yaitu : 1.
Kepuasan umum yang berhubungan dengan pekerjaan, termasuk didalamnya kondisi kerja, jam kerja, dan reputasi perusahaan.
2.
Hubungan karyawan, terdiri dari hubungan antar karyawan dan juga wawancara personal tahunan dengan karyawan.
3.
Remunerasi, benefits, dan budaya organisasi, unsur-unsur ini termasuk gaji, remunerasi dalam bentuk benefit dan pujian, promosi, pendidikan, sifat permanen pekerjaan, dan iklim dan budaya organisasi.
2.1.2. Faktor-Faktor Kepuasan Kerja Menurut Luthans (2006:243), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja, diantaranya ialah: 1) Pekerjaan itu sendiri. Tingkat dimana sebuah pekerjaan menyediakan tugas yang menyenangkan, kesempatan belajar dan kesempatan untuk mendapatkan tanggung jawab. Ciri-ciri intrinsik dari pekerjaan ini dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawannya. Pekerjaan yang menuntut kecakapan yang lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh karyawan tersebut, atau adanya tuntutan pribadi yang tidak dapat dipenuhi, maka hal tersebut akan menimbulkan frustasi dan akhirnya akan mengakibatkan ketidakpuasan kerja. 2) Gaji/upah. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
faktor uang dapat
menentukan tingkat kepuasan kerja yang dimiliki oleh karyawannya. Uang memang memiliki arti yang berbeda-beda bagi semua orang. Disamping memenuhi kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah (makanan, perumahan), uang
14
dapat
menjadi
simbol
dari
pencapaian
keberhasilan,
dan
pengakuan/penghargaan. 3) Atasan. Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis dan perilaku dukungan.Hubungan antara supervisor dengan karyawan bisa disebut dengan functional attraction yang menjelaskan sejauh mana karyawan merasa atasannya membantu mereka untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. 4) Rekan kerja kelompok kerja memiliki dampak dalam kepuasan kerja. Persahabatan kerjasama dengan rekan kerja merupakan sumber-sumber utama dari kepuasan kerja secara individu. Kelompok kerja memberikan sumbersumber kenyamanan, nasihat, dan bantuan kepada karyawan individu. Kelompok kerja yang baik dapat membuat pekerjaan menjadi menyenangkan. Sebaliknya jika kondisi bahwa karyawan sangat sulit untuk bergaul, maka faktor ini merupakan dampak dalam kepuasan kerja. Selain itu juga jika terjadi konflik dengan rekan kerja, maka akan berpengaruh pada tingkat kepuasan karyawan terhadap pekerjaan. 5) Kesempatan promosi. Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis dan perilaku dukungan. Hubungan fungsional dan hubungan keseluruhan yang positif memberikan tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa. Selain beberapa faktor yang disebutkan di atas, terdapat enam faktor utama
15
yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan (Yuli, 2005), yaitu: 1) Tingkat upah atau gaji. Gaji merupakan imbalan yang diterima karyawan seperti upah, premi bonus, atau tunjangan-tunjangan keuangan lainnya. Dalam menetapkan tingkat upah atau gaji, perusahaan dapat membuat keputusan dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu tingkat upah umum dalam masyarakat, kebutuhan pokok karyawan dan tingkat biaya hidup fisik minimum, kualitas karyawan, persaingan antar organisasi, serta kemampuan perusahaan untuk membayar upah dan gaji yang cukup untuk dapat menarik serta mempertahankan karyawan yang dibutuhkan. 2) Pekerjaan itu sendiri. Terdapat dua aspek penting yang mempengaruhi kepuasan kerja yang berasal dari pekerjaan itu sendiri (Arnold dan Felman dalam Yuli, 2005), yaitu variasi pekerjaan dan kontrol atas metode serta langkah-langkah kerja. Secara umum, pekerjaan dengan jumlah variasi yang moderat akan menghasilkan kepuasan kerja yang relatif besar. Pekerjaan yang sangat kecil variasinya akan menyebabkan pekerja merasa jenuh dan keletihan, sebaliknya pekerjaan yang terlalu banyak variasinya dan terlalu cepat menyebabkan karyawan merasa tertekan secara psikologis. Pekerjaan yang menyediakan karyawan sejumlah otonomi akan memberikan kepuasan kerja yang tinggi. Sebaliknya, kontrol manajemen atas metode dan langkah-langkah kerja yang berlebihan akan mengarah pada ketidakpuasan. 3) Pengawasan. Tugas pengawasan tidak dapat dipisahkan dengan tugas kepemimpinan, yaitu mempengaruhi pengikut melalui proses komunikasi
16
untuk tujuan tertentu. Supervisor secara langsung mempengaruhi kepuasan kerja melalui kecermatannya dalam mendisiplinkan dan menerapkan peraturan. Beberapa pedoman yang harus diikuti adalah usaha-usaha yang bersifat preventif, melakukan tindakan korektif edukatif jika terjadi penyimpangan, dan melakukan pengawasan secara obyektif namun tegas. 4) Kesempatan Promosi Karir. Promosi telah dianggap sebagai imbalan cukup efektif untuk meningkatkan moral pekerja dan loyalitas terhadap organisasi. Selain itu, promosi dapat mengurangi turnover karyawan, karena karyawan mempunyai harapan positif di tempat kerja. Karyawan yang memiliki kualitas dan profesionalisme kerja tinggi, bila tidak dipromosikan karyawan tersebut tidak puas, dan hal ini akan mendorong karyawan tersebut untuk berhenti dan berpindah kerja dari organisasi ke organisasi lain yang memberikan jaminan karier lebih baik. 5) Kelompok Kerja. Keeratan hubungan dengan teman kerja sangat besar artinya bila rangkaian pekerjaan tersebut memerlukan kerja sama tim yang tinggi. Tingkat keeratan hubungan mempunyai dampak terhadap mutu dan intensitas interasi yang terjadi dalam satu kelompok. Kelompok yang mempunyai tingkat keeratan yang tinggi cenderung menyebabkan para karyawan puas berada dalam kelompok tersebut. Kepuasan itu timbul terutama berkat kurangnya ketegangan, kecemasan dalam kelompok, dan karena mereka lebih mampu menyesuaikan diri dengan tekanan pengaruh dari pekerjaan.
17
6) Kondisi Kerja. Merupakan segala sesuatu yang ada di lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas, seperti temperatur, kelembaban, ventilasi, penerangan, kegaduhan, kebersihan tempat kerja, kondisi alat kerja, dan ketidakjelasan tugas serta tanggung jawab.
Kondisi
kerja
yang
tidak
kondusif
akan
menyebabkan
ketidakpuasan yang berimplikasi terhadap rendahnya keterlibatan dalam pekerjaan, tingginya ketidakhadiran, banyaknya karyawan yang minta berhenti (turnover), munculnya penyakit dan gejala stress, serta menurunnya prestasi kerja. Selanjutnya Robbins dan Judge (2008:111), menyatakan beberapa konsekuensi ketika karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka, yaitu sebagai berikut : 1. Exit
(Keluar).
Ketidakpuasan ditunjukan melalui perilaku
yang
mengarahkan pada meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri. 2. Voice (Aspirasi). Ketidakpuasan ditunjukan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan termasuk menyarankan perbaikan mendiskusikan masalah dengan atasan dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan. 3. Loyalty (Kesetiaan). Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan menunggu membaiknya kondisi, termasuk membela
18
organisasi ketika berhadapan dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan manajernya untuk “melakukan hal yang benar” 4. Neglect (Pengabaian). Ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan.
2. 2
Komitmen Organisasional
2.2.1. Difinisi Komitmen Organisasional Menurut
Robbins
dan
Judge
(2008),
komitmen
organisasional
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Dapat dinyatakan bahwa komitmen organisasional adalah keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan, kepercayaan, penerimaan dan keyakinan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai yang dimiliki suatu organisasi serta kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan tingkat sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota organisasi. Dessler (2008) memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan :
19
1) Berkomitmen
pada
nilai
manusia:
Membuat
aturan
tertulis,
memperkerjakan menejer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi. 2) Memperjelas dan mengkomukasikan misi organisasi: Memperjelas misi dan ideologi; berkharisma; menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai; menekankan orientasi berdasarkan nilai dan pelatihan; membentuk tradisi, 3) Menjamin keadilan organisasi: Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang koprehensif; menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif, 4) Menciptakan rasa komunitas: Membangun homogenitas berdasarkan nilai; keadilan; menekankan kerja sama, saling mendukung, dan kerja tim, 5) Mendukung
perkembangan
karyawan:
Melakukan
aktualisasi;
memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama; memajukan dan memberdayakan; mempromosikan dari dalam; menyediakan aktivitas perkembangan; menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.
2.2.2. Dimensi Komitmen Organisasional Komitmen organisasional merupakan sebuah keadaan psikologi yang kuat antara karyawan dengan tujuan dan nilai organisasi yang dapat mempengaruhi apakah karyawan akan tetap bertahan dalam organisasi atau tidak. Terdapat tiga dimensi yang digunakan untuk mengukur komitmen organisasional (Meyer dan Allen, 1991)), antara lain:
20
1. Affective commitment (Komitmen afektif). Merupakan hal yang berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai di dalam suatu organisasi. Pekerja dengan komitmen afektif kuat akan selalu melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya karena ingin berbuat lebih banyak lagi di organisasi. 2. Continuance
commitment
(Komitmen
berkelanjutan).
Merupakan
komponen berdasarkan persepsi karyawan tentang kerugian yang akan dihadapi jika ia meninggalkan organisasi; karyawan yang terlibat dalam organisasi didasarkan kepada komitmen berkelanjutan ini, maka karyawan tersebut akan tetap bertahan dalam organisasi karena ia merasa bahwa jika ia keluar akan menimbulkan biaya yang besar bagi dirinya. 3. Normative Commitment
(Komitmen normatif). Merupakan perasaan
karyawan tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi. Karyawan dengan komitmen normatif yang tinggi, memiliki perasaan membela organisasi meskipun ada tekanan sosial, maka mereka merasa perlu untuk mempertahankan organisasi. Menurut Zurnali (2010), hal menarik dalam pengertian komitmen organisasional adalah apa yang dikemukakan oleh Durkin (1999:127), bahwa komitmen organisasional merupakan perasaan yang kuat dan erat dari seseorang terhadap tujuan dan nilai suatu organisasi dalam hubungannya dengan peran mereka terhadap upaya pencapaian tujuan dan nilai-nilai tersebut. Selanjutnya Dessler (2008) memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen yang mungkin membantu
21
memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan : 1. Berkomitmen
pada
nilai
manusia:
Membuat
aturan
tertulis,
memperkerjakan menejer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi. 2. Memperjelas dan mengkomukasikan misi organisasi: Memperjelas misi dan ideologi; berkharisma; menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai; menekankan orientasi berdasarkan nilai dan pelatihan; membentujk tradisi, 3. Menjamin keadilan organisasi: Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang koprehensif; menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif, 4. Menciptakan rasa komunitas: Membangun homogenitas berdasarkan nilai; keadilan; menekankan kerja sama, saling mendukung, dan kerja tim, berkumpul bersama, 5. Mendukung
perkembangan
karyawan:
Melakukan
aktualisasi;
memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama; memajukan dan memberdayakan; mempromosikan dari dalam; menyediakan aktivitas perkembangan; menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.
22
2. 3
Keadilan organisasional
2.3.1. Pengertian Keadilan Organisasional Keadilan organisasi lebih merujuk pada bentuk evaluasi individu terhadap perlakuan organisasi terhadap karyawannya dalam hal upaya yang adil untuk mendapatkan hasil, proses untuk memperoleh hasil itu juga dilakukan secara adil atau tidak, serta bentuk-bentuk perlakuan interpersonal terhadap masing-masing karyawannya yang sangat berdampak pada kinerja karyawan. Karyawan harus mendapatkan keadilan dalam organisasi untuk dapat lebih termotivasi dalam peningkatan kinerja karyawan tersebut. Menurut Baldwin (2006) keadilan organisasi merujuk pada sejauh mana karyawan dapat memahami aturan main ditempat kerja, interaksi, dan hasil kerjanya secara nyata. Pada persepsi ini akan timbul tindakan-tindakan baik positif ataupun negatif yang dapat berpengaruh terhadap kinerja dan keberhasilan organisasi. Keadilan organisasi adalah sesuatu yang mendasari persepsi karyawan tentang adanya keadilan di tempat kerjanya (Colquitt et al., 2001). Robbins dan Judge (2008:249) menyatakan keadilan organisasional merupakan persepsi keseluruhan dari apa yang dirasakan adil yang diterima di tempat kerja. Selanjutnya Fatimah et al. (2011) menyatakan bahwa keadilan organisasional menggambarkan persepsi individu dari perlakuan yang diterima dari sebuah organisasi dan reaksi perilaku untuk persepsi tersebut. Parker dan Kohlmeyer (2005) menjelaskan Keadilan Organisasional meliputi persepsi anggota organisasi tentang kondisi keadilan yang mereka alami dalam organisasi, secara khusus tentang rasa keadilan yang terkait dengan alokasi
23
penghargaan organisasi seperti gaji dan promosi. Rasa keadilan akan muncul ketika otoritas organisasi konsisten dan tidak bias dalam pengambilan keputusan organisasi terutama terkait dengan alokasi gaji dan promosi. Aturan organisasi yang tidak konsisten dan bias terhadap individu adalah suatu tindakan diskriminasi, sehingga muncul rasa diskriminasi (perceived discrimination) oleh individu. Jadi dapat dinyatakan bahwa Keadilan organisasional merupakan di mana adanya kesimbangan atas hasil kerja (gaji, bonus, perlakuan, persebaran informasi atau adanya promosi jabatan) dengan kontribusi yang karyawan berikan kepada organisasi, dan tentunya demi kepentingan organisasi. 2.3.2. Unsur – Unsur Keadilan Organisasional Keadilan organisasional terdiri dari beberapa unsur utama. Menurut Bakshi et al., (2009) keadilan organisasional terbentuk dari tiga unsur, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional. 1)
Keadilan Distributif Keadilan distributif menjelaskan mengenai alokasi hasil-hasil yang
konsisten, yang berhubungan dengan teori ekuitas yang menjelaskan bahwa seseorang akan mendapatkan hasil-hasil (outcomes) dan penghargaan (reward) yang sesuai dengan kontribusi yang diberikan (Colquitt, 2001). Keadilan distributif berkaitan dengan adanya hubungan dengan kepuasan para karyawan dengan gaji, promosi, penilaian kinerja, dan komitmen organisasi (Fatt et al., 2010). Berdasarkan pendapat diatas keadilan distributif berhubungan dengan keadilan yang dirasakan oleh karyawan mengenai jumlah penghargaan yang
24
mereka dapatkan sesuai dengan kontribusi yang mereka berikan kepada perusahaan dan terpenuhi kebutuhan karyawan tersebut selama mereka berkerja. 2) Keadilan Prosedural Keadilan prosedural lebih berfokus perasaan adil yang dirasakan oleh karyawan mengenai pemberian alokasi suara kepada karyawan dalam prosedurprosedur yang ada pada proses pengambilan keputusan (Perdana, 2012). Menurut Nowakowski et al., (2005) para karyawan tidak hanya memberikan reaksi terhadap hasil-hasil (outcomes) yang mereka dapatkan, namun juga terhadap proses-proses bagaimana mereka mendapatkan hasil-hasil tersebut merupakan definisi dari keadilan prosedural yang merupakan salah satu dimensi dari keadilan organisasional. Keadilan prosedural berkaitan dengan proses atau prosedur untuk mendistribusikan penghargaan (Budiarto dan Wardani, 2005). Dengan demikian, keadilan prosedural berkaitan dengan apakah pihak karyawan prcaya bahwa prosedur dalam proses pengambilan dan penyampaian keputusan dan proses segala bentuk penghargaan yang mereka terima selama ini dalam perusahaan adalah adil bagi mereka. 3) Keadilan Interaksional Menurut Suhartini dan Ikwanul (2010) keadilan interaksional merupakan nilai keadilan yang dirasakan karyawan karena adanya proses interaksi dengan pihak lain dalam organisasi baik dari pimpinan maupun rekan sekerja, seorang karyawan merasa diperlakukan secara wajar. Sejauh mana para bawahan dalam organisasi diperlakukan dengan kesopanan, bermartabat dan dengan hormat oleh pihak-pihak yang ada di dalam organisasi tersebut (Cruceru et al., 2009).
25
Berdasarkan pendapat diatas keadilan interaksional merupakan suatu keadilan yang dirasakan para karyawan di dalam perusahaan tempat mereka bekerja yang dilihat dari aspek bagaimana hubungan mereka dengan atasan mereka atau sesama rekan kerja, apakah mereka diperlakukan dengan hormat dan bermartabat.