BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1
Definisi Akuntansi Definisi akuntansi menurut The Committee on Technology of The American
Institute of Accountants (AICPA) tahun 1941 yang dikutip oleh Indra Bastian (2001:117) adalah sebagai berikut : “Akuntansi adalah seni mencatat, mengklasifikasi dan mengumpulkan dalam sebuah cara yang signifikan dan dalam suatu moneter, transaksi dan kejadian yang dalam bagian terkecil dari karakter dan mengartikan hasilnya”. Definisi akuntansi yang banyak diterima saat ini adalah definisi yang diberikan oleh AICPA, termuat dalam Statement of The Accounting Principles Board No. 4 (APB No. 4) yang dikutip oleh Indra Bastian (2001:117) menyatakan bahwa : “Akuntansi adalah suatu kegiatan jasa yang berfungsi untuk menjelaskan informasi kuantitatif terutama yang bersifat keuangan dalam suatu entitas (kesatuan) usaha yang diharapkan dapat digunakan untuk pengambilan keputusan ekonomi dalam menetapkan pilihan yang tepat diantara berbagai alternatif tindakan”.
9
10
Dengan demikian akuntansi bukan hanya merupakan pembukuan pencatatan transaksi semata, melainkan sebagai wahana pelayanan jasa yang berfungsi mempersiapkan informasi keuangan untuk pengambilan keputusan bagi pemakai laporan keuangan. Penerapan akuntansi itu sendiri dapat di organisasi bisnis (profit oriented) maupun organisasi sektor publik (public sectororganization) seperti di Pemerintahan Daerah. Sistem akuntansi pemerintahan menurut Indra Bastian (2001:5) didefinisikan sebagai akuntansi dana masyarakat, yang dapat diartikan sebagai berikut : “Mekanisme
teknik
dan
analisis
akuntansi
yang
diterapkan
pada
pengelolaan dana masyarakat”. Dari definisi di atas perlu diartikan dana masyarakat sebagai dana yang dimiliki oleh masyarakat, bukan individual, yang biasanya dikelola oleh organisasiorganisasi sektor publik dan swasta. Definisi dapat dikembangkan dengan melihat lebih jauh batasan tentang organisasi sektor publik di Indonesia menurut Indra Bastian (2001:6), yaitu : “Lembaga-lembaga tinggi Negara dan departemen-departemen di bawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM termasuk yayasan sosial”. Sehingga akuntansi sektor publik menurut Indra Bastian (2001:6) dapat didefinisikan sebagai berikut :
11
“Mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana masyarakat di lembaga-lembaga tinggi Negara dan departemen-departemen di bawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD,LSM, dan yayasan social, maupun pada proyek-proyek kerja sama sektor publik dan swasta”. Istilah “sektor publik” sendiri memiliki pengertian yang bermacam-macam. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari luasnya wilayah publik, sehingga setiap disiplin ilmu (ekonomi, politik, hukum, dan sosial) memiliki cara pandang dan definisi yang berbeda-beda. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, sektor publik dapat dipahami sebagai suatu entitas yang aktivitasnya berhubungan dengan usaha untuk menghasilkan barang dan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik. 2.1.2
Sistem Akuntansi Pemerintahan
2.1.2.1 Definisi Akuntansi Pemerintahan Akuntansi pemerintahan menurut Kustadi (1993:11) adalah : “Aplikasi akuntansi dibidang keuangan Negara khususnya pada tahapan pelaksanaan anggaran termasuk segala pengaruh yang ditimbulkannya, baik yang bersifat seketika maupun yang lebih permanen pada semua tingkat dan unit pemerintahan”.
Di Indonesia, perangkat hukum yang mendasari diterapkannya akuntansi pemerintahan antara lain sebagai berikut :
12
1. UUD 1945 pasal 23 ayat 1,2,3,4,5 2. UUPI (Undang-undang Perbendaharaan Negara Indonesia) atau Indonesche Compatibilities lebih dikenal dengan ICW Pasal 1 yang menyatakan bahwa : “Keuangan Negara Republik Indonesia harus dipertanggungjawabkan menurut ketentuan undang-undang ini”. 3. UU APBN, setiap tahun diterapkan dan apabila APBN mengalami perubahan maka perlu ditetapkan dengan UU TP APBN. 4. Undang-undang atau peraturan-peraturan terkait lainnya, dapat berbentuk UU, Peraturan Pemerintah, Kepres, Surat Keputusan Menteri, Keuangan atau Surat Edaran dari Instansi yang berwenang atas keuangan Negara.
Berdasarkan SK Men.Keu.RI 337/KMK 012/2003, maka diimplementasikan Sistem Akuntansi Pemerintahan Pusat (SAPP) adalah : “Sistem akuntansi yang mengolah semua transaksi keuangan, asset, kewajiban dan ekuitas dana pemerintah pusat yang tercakup dalam APBN yaitu Lembaga Tertinggi Negara, Lembaga Tinggi Negara, Departemen atau Lembaga Non Departemen, Bagian Anggaran 16”.
Namun penerapan SAPP tidak mencakup unit-unit organisasi pemerintah seperti, Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, Bank Pemerintah, Lembaga Pemerintah
Keuangan
13
SAPP mencakup : “1. Basis akuntansi yaitu untuk aset, kewajiban dan ekuitas dengan basis accrualPendapatan dan Belanja dicatat berdasar basis kas” “2. Adanya sistem pembukuan berpasangan (double entry)” “3. Adanya sistem terpadu yaitu digunakan untuk pendekatan bahwa keseluruhan pemerintahan pusat merupakan suatu kesatuan akuntansi dan ekonomi tinggal dengan presiden sebagai pengelola utama serta DPR sebagai lembaga yang mengevaluasi pelaksanaannya” “4. Desentralisasi pelaksanaan akuntansi, dimana system dirancang secara berjenjang dan dimulai pada sumber data di Daerah/Propinsi” “5. Perkiraan/Bagan standard yang seragam, dengan tujuan : - Memastikan bahwa anggaran dan realisasinya menggunakan istilah yang sama - Memudahkan pengawasan dan ketaatan dengan pagu yang sudah ditentukan UU APBN dan dalam dokumen Allotment (DIP/DIK/SKO) - Memungkinkan perbandingan data dan laporan keuangan, baik dalam satu laporan maupun antar laporan.”
Menurut United Station/PBB dalam bukunya A Manual forgoverment accounting, yang
dikutip
oleh
Sonny
Loho
dan
Sugyanto
(2008:35),
antaralain
disebutkanbahwaSistem Akuntansi Pemerintah Pusat terdiri dari : “1. Sistem Akuntansi Pusat yang diselenggarakan oleh BAKUN” “2. Sistem Akuntansi Instansi yang diselenggarakan oleh Departemen, Lembaga Non Departemen, yang terdiri dari 4 sistem yaitu : tingkat departemen, tingkat eselon I, tingkat wilayah dan tingkat kantor/proyek”.
14
2.1.2.2 Tujuan Akuntansi Pemerintahan Sistem akuntansi yang diterapkan sekarang di Indonesia adalah Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) berdasarkan SK Men.Keu RI 337/KMK 012/2003 mempunyai tujuan yaitu : “1. Menjaga aset pemerintah dan instansinya melalui pencatatan, pemrosesan dan pelaporan transaksi keuangan yang konsisten, sesuai dengan standard dan praktek akuntansi yang diterimas secara umum” “2. Menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang anggaran dan kegiatan atau keuangan pemerintah pusat baik secara nasional maupun instansi yang berguna sebagai dasar penilaian kinerja, untuk menentukan ketaatan otonomi anggaran dan untuk tujuan akuntabilitas” “3. Menyediakan informasi yang dapat dipercaya tentang posisi keuangan suatu instansi dan pemerintah pusat secara keseluruhan” “4.Menyediakan informasi keuangan yang berguna untuk perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian kegiatan dan keuangan pemerintah secara efisien”.
2.1.2.3 Ciri-ciri Akuntansi Pemerintahan BAKUN (Badan Akuntansi Negara) Departemen Keuangan RI mengemukakan ciriciri Sistem Akuntansi Pemerintah (2003:3) :
“1. Basis akuntansi yaitu pendapatan diakui pada saat kas diterima oleh Kas Umum Negara (KUN) dan belanja diakui dan dicatat pada saat kas dikeluarkan dari KUN. Aset, kewajiban dan ekuitas dana diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi atau apada saat kejadian atau kondisi lingkungan berpengaruh pada keuangan pemerintah bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar” “2. Adanya sistem pembukaan berpasangan (double entry), yang didasarkan atas persamaan dasar akuntansi yaitu : aset = Kewajiban Ekuitas Dana. Setiap transaksi dibukuan dengan men-debit sebuah perkiraan dan mengkreditkan perkiraan yang terkait” “3. Adanya sistem terpadu dan komputerisasi. SAPP terdiri dari beberapa subsistem yang saling berhubungan dan merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dan proses pembukuan dan pelaporannya sudah dikomputerisasi.
15
SAPP membukukan dam melaporkan transaksi-transaksi yang berkaitan dengan APBN” “4. Desentralisasi pelaksanaan akuntansi. Kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan di Instansi dilaksanakan secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat instansi maupun di daerah” “5. Perkiraan/Bagan Standar yang seragam.SAPP menggunakan perkiraan standard yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku untuk tujuan penganggaran maupun akuntansi”. Sistem Akuntansi Pemerintahan Pusat mencakup seluruh unit organisasi Pemerintah Pusat.Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat tidak mencakup Pemerintah Daerah Otonom (sumber dananya berasal dari APBD), Bank Pemerintah dan Lembaga Keuangan Milik Pemerintah, BUMN yang terdiri atas Perseroan dan Perum. Berdasarkan SK Men Keu RI 337/KMK 012/2003, kegiatan akuntansi dalam SAPP terdiri atas dua sistem, yaitu : “1. Sistem Akuntansi Pusat yang diselenggarakan oleh BAKUN terdiri dari : Sistem Akuntansi Kas Umum Negara (SAKUN) dan Sistem Akuntansi Umum (SAU)” “2. Sistem Akuntansi Instansi yang diselenggarakan oleh Departemen atau Lembaga Non Departemen, yang terdiri dari 4sistem, yaitu : Tingkat Departemen, Tingkat eselon I, Tingkat Wilayah, Tingkay Kantor/Proyek.” Pelaksanaan fungsi dari SAPP tersebut dilakukan dengan mekanismesebagai berikut : “1. Tingkat Pemerintah Pusat, berada pada Menteri Keuangan. Telah dibentuk BAKUN yang langsung berada di bawah dan bertanggungjawab pada Menteri Keuangan dan terpisah dari fungsi operasi dan pengelolaan anggaran” “2. Tingkat Departemen/ Lembaga berada pada Sekertaris Jenderal atau Tingkat Setaraf” “3. Tingkat eselon I dan Wilayah.”
16
Untuk menunjang fungsi akuntansi dan desentralisasi pelaksanaannya, perlu dibentuk Kantor Akuntansi Regional di Propinsi. Pada Departemen atau Lembaga akan terdapat Unit Akuntansi Wilayah (UAW) di Kantor Wilayah Departemen atau Lembaga.
2.1.2.4 Karakteristik Akuntansi Pemerintahan Menurut Muhamad Gade dalam buku Akuntansi Pemerintahan (1993:25), karakteristik khusus dari akuntansi pemerintahan dalah menggunaka istilah dana (fund), sehingga sering disebut sebagai akuntansi dana. System akuntansi pemerintahan direncanakan, diorganisasikan, serta dijalankan atas dasar dana. Pengertian dana dalam akuntansi pemerintahan adalah satuan akuntansi dan fiscal (fiscal and accounting entity) dengan seperangkat buku besar yang mencatat kas dan sumber-sumber keuangan lain beserta segala kewajiban-kewajiban yang berkaitan dan sisa modal atau saldo-saldo, dan perubahan-perubahannya, yang dipisahkan
dengan
maksud melaksanakan kegiatan khusus atau mencapai tujuan-tujuan tertentu sesuai dengan peraturan-peraturan, restriksi-restriksi, pembatasan-pembatasan tertentu.
Akuntansi pemerintahan secara umum melayani dua tujuan yang luas yaitu akuntabilitas (accountability) dan informasi untuk manajemen.Namun demikian tidak terdapat model atau disain tunggal untuk suatu sistem akuntansinya dan untuk pelporan keuangan pemerintah yang dapat memenuhi kebutuhan yang berbeda-beda.
17
Banyak faktor yang mempengaruhi seperti persyaratandan pembatasan oleh peraturan dan hukum, nilai budaya dan tradisi serta factor-faktor lainnya. Hal-hal itu semua akan sangat mempengaruhi baik sistem akuntansinya dan pelaporan keuangan pemerintahan maupun prinsip-prinsip akuntansi yang akan diterapkan suatu Negara. Sedangkan menurut Revrisord Baswir dalam buku Akuntansi Pemerintahan Indonesia (1999:11), karakteristik akuntansi pemerintahan adalah sebagai berikut : “a.Karena keinginan mengejar laba tidak inklusif di dalam usaha dan kegiatan lembaga pemerintahan, maka dalam akuntansi pemerintahan pencatatan rugi laba tidak perlu dilakukan”. “b. Karena lembaga pemerintahan tidak dimiliki secara pribadi sebagaimana perusahaan, maka dalam akuntansi pemerintahan pencatatan pemilikan pribadi juga tidak perlu dilakukan”. “c. Karena sistem akuntansi pemerintahan suatu Negara sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan Negara yang bersangkutan, maka bentuk akuntansi pemerintahan berbeda antara suatu Negara dengan Negara yang lain tergantung pada sistem pemerintahannya”.
Karena fungsi akuntansi pemerintahan adalah untuk mencatat, menggolonggolongkan, meringkas, dan melaporkan realisasi pelaksanaan anggaran suatu Negara maka penyelenggaraan akuntansi pemerintahan tidak bias dipisahkan dari mekanisme pengurusan keuangan dan system anggaran tiap-tiap Negara.
2.1.2.5 Persyaratan Akuntansi Pemerintahan Beberapa syarat berikut ini harus dipenuhi oleh akuntansi pemerintahan sesuai dengan karakteristik yang bertujuan untuk memenuhi akuntabilitas keuangan yang memadai. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan suatu pedoman untuk
18
akuntansi pemerintahan (A Manual for government Accounting) yang dikutip oleh Muhammad Gade (1993:19) adalah sebagai berikut : “1. Accounting system to be designed to comply with constitutional, stratuory and other legal requirements of inventory ;maksudnya adalah bahwa sistem akuntansi harus dirancang untuk memenuhi ketentuan undang-undang dasar, undang-undang dan peraturan lainnya dari Negara. “2. Accounting system must be related to the budget classifications. The budgetary and accounting functionary complementary elements of financial management must be closely integrated ;maksudnya sistem akuntansi harus dikaitkan dengan klasifikasi anggaran. Fungsi anggaran dan akuntansi merupakan unsurunsur yang saling melengkapi dari pengurusan keuangan dan harus diintegrasikan secara erat. “3. The account must be maintenad in a manner that will clearly identify the objects and purposes for which funds have received and expended and the executive authorities who are responsible for custody and use of funds in program execution ; maksudnya perkiraan-perkiraan harus diselenggrakan dengan cara yang dapat mengidentifikasikan objek-objek dan tujuan-tujuan untuk apa dana yang telah diterima itu digunakan serta dapat pula mengidentifikasi para pejabat yang bertanggungjawab atas penyimpanan dan penggunaan dana-dana dalam pelaksanaan program. “4. Accounting system must be maintened ina way that will facilitate audit by external review authorities, and readily furnish the information needed for executive audit ; maksudnya system akuntansi harus diselenggarakan dengan cara yang memungkinakan pelaksanaan pemeriksaan oleh lembaga pemeriksaan ekstern, serta dapat menyediakan informasi-informasi yang diperlukan untuk pemeriksaan. “5. Accounting system must be developed in manner that will permit effective administrative control of funds and operations, program management and internal audit and appraisal ; maksudnya sistem akuntansi harus dikembangkan dengan cara yang memungkinkan dilaksanakannya pengawasan secara administrative terhadap dana-dana dan pelaksanaannya, manajemen program serta penilaian dan pemeriksaan intern. “6. The accounts should be developed so that they effectively disclose the economic and financial results and program operations, including the measurement of revenues, identifications of costs and determination of the operationg result, of yhe government and this programs and organizations ; maksudnya adalah bahwa perkiraan-perkiraan harus dikembangkan agar dapat mengungkapkan hasil-hasil secara ekonomi dan keuangan dari pelaksanaanprogram, termasuk pengukuran pendapatan, identifikasi biaya serta penetapan hasil operasi dari pemerintah dengan program dan organisasinya.
19
“7. Accounting system should be capable of serving the basic financial information needs development planning and programming, and the review and appraisal of performance in physical and financial terms ; maksudnya adalah bahwa sistem akuntansi harus mampu menyediakan informasi keuangan yang mendasar yang diperlukan dalam penyusunan rencana dan program serta penelaahan dan penilaian terhadap pelaksanaan secara fisik dan keuangannya “8. The accounts should be maintenaned in a manner that will provide financial data useful for economic analysis and reclassification of governmental transactions, and assist in development of national accounts ;maksudnya adalah bahwa perkiraan-perkiraan harus diselenggarakan dengan cara yang memungkinkan dapat tersedianya data keuangan yang berguna untuk analisa ekonomi dan reklasifikasi transaksi pemerintah, serta membantu dalam penyusunan perkiraan nasional.
2.1.2.6 Ruang Lingkup Akuntansi Pemerintahan Pemerintah, sebagai organisasi yang memegang peran utama dalam pemebrian jasa dan pelayanan kepada masyarakat mempunyai lingkungan yang berbeda dengan sektor swasta.Hal ini menjadi pertimbangan dalam pengembangan system akuntansi pemerintahan. Prinsip-prinsip atau standard akuntansi dan pelaporan menurut Ruddy Koesnardi (2003:30) dalam buku Akuntansi Keuangan “”prinsip” dan “standard” dipergunakan secara bergantian dengan pengertian yang sama harus dipahami dalam hubungannya dengan lingkungan tempat prinsip itu dipergunakan, selain juga dari sisi pemakai laporan keuangan”.
Menurut Indra Bastian (2001:21) Akuntansi sektor publik memiliki empat pilar utama, yaitu : “Manajemen, akuntansi, pembelanjaan dan audit.Bidang akuntansi merupakan bidang yang mengupas akuntansi sektor publik dari sisi teori dan sistem akuntansi”.
20
Hal ini dapat digambarkan pada bagan di bawah ini :
1. Pengantar Kerangka ASP
Bagan A
Bagan B
Bagian C
Bagan D
Manajemen
Akuntansi
Pembelanjaan
Audit
2. akuntansi Manajemen 3. Pengendalian Manajemen
5. Teori Akuntansi 6. Sistem
7. Investigasi 8. Strategi 9. Pembelanjaan
Akuntansi
4. Reformasi Akuntansi
Penutup 12. Pengukuran Prestasi Sektor Publik
Sumber : Indra Bastian (2001:21)
10. Organisasi Audit 11. Program
21
2.1.3
Pajak
2.1.3.1 Pengertian Pajak Istilah pajak atau fiscal berasal dari bahasa latin fiskalis yang berasal dari kata benda fiscus yang dalam bahasa Prancisnya fisc yang berarti “keranjang uang” saat ini istilah fiscus yang di Indonesuakan menjadi fiskus sering dipakain untuk menyatakan kas Negara atau pihak otorisasi pajak. Sedangkan pengertian pajak menurut rachmat Soemitro yang dikutip oleh R. Santoso Brotodiharjo (2009:1) sebagai berikut : “Pajak adalah iuran kepada kas Negara yang berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapatkan balasan jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Definisi diatas menitikberatkan pada fungsi budgeter, sedangkan pajak juga mempunyai fungsi mengatur, definisi pajak yang mempunyai pengertian yang sama dengan definisi di atas yang dikemukakan oleh S. Meliala(2007:4), adalah sebagai berikut : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang – Undang sebagai perwujudan pengabdian dan peran serta rakyat untuk membiayai Negara dan pembangunan nasional”.
22
2.1.3.2 Unsur – unsur Pajak Menurut Mardiasmo (2009;2) mengungkapkan bahwa unsur – unsur pajak sebagai berikut : “1. Iuran rakyat kepada Negara Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara.Iuran tersebut berupa uang (bukan barang)” “2. Berdasarkan undang – Undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan ketentuan Undang – undang” “3. Tanpa jasa timbalbalik atau kontraprestasi dari Negara secara langsung dapat ditunjuk dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.” “4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yaitu pengeluaran – pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.” Ciri – ciri yang melekat pada pengertian pajak menurut Waluyo (2007:2) adalah sebagai berikut : “1. Pajak dipungut berdasarkan ketentuan Undang – Undang serta aturan pelaksanaannya” “2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi oleh pemerintah” “3. Pajak dipungut oleh Negara (baik pemerintah pusat maupun daerah)” “4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran – pengeluaran yang apabila dari pemasukkannya masih terdapat surplus maupun dapat dipergunakan untuk membiayai public investment” “5. Pajak dapat juga mempunyai tujuan yang tidak budgeter yaitu mengatur.” Dari penjelasan di atas dapat dikatakan, bahwa pajak merupakan peralihan uang dari sektor atau individu ke sektor pemerintah, uang pajak yang diterima pemerintah akan dikeluarkan kembali untuk kepentingan umum seperti sarana – sarana atau fasilitas – fasilitas bagi amsyarakat pengguna pajak. Karena sifatnya
23
memaksa, maka akan mengurangi suatu pendapatan sehingga akan mempengaruhi pola konsumsi seperti pola hidup individu. Jadi selain sebagai sumber pendapatan bagi Negara, pajak juga berfungsi sebagai alat kebijakan moneter yang mampu mengatur kehidupan ekonomi dan mendorong atau menekankan suatu sistem pemungutan pajak yang adil dan sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenhuti kewajiban perpajakannya. 2.1.3.3 Fungsi pajak Dengan memperlancar
uang pajak, roda
pemerintah
pemerintahan,
dapat
menyiapkan
melaksanakan lapangan
pembangunan,
pekerjaan
serta
meningkatkan kehidupan social ekonomi masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan dan kesejahteraan pajak memiliki fungsi – fungsi yang dapat dipakai untuk menunjang tercapainya suatu masyarakat yang adil dan makmur serta merata. Ada tiga fungsi pajak menurut Rochmat Soemitro (1998:8), yaitu : “1. Fungsi Anggaran (budgeter) Adalah fungsi yang letaknya di sector public, dan pajak – pajak di sini merupakan suatu alat (suatu sumber) untuk memasukan uang sebanyak banyaknya ke dalam kas Negara yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara”
24
“2. Fungsi mengatur (regulerend) Adalah pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang social dan ekonomi.Dengan fungsi mengaturnya, pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuantujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan dan fungsi mengatur ini banyak ditujukan terhadap sektor swasta” “3. Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien” “4. Fungsi Retribusi dan Pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan.”
2.1.3.4 Jenis Pajak Pajak menurut Mardiasmo (2003:5) dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : “1. Menurut Golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh :Pajak Penghasilan” b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai” “2. Menurut Sifatnya a. Pada Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan” b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah”
25
“3. Menurut Lembaga Pemungutannya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak Pengahsilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak penjualan atas Barang Mewah, Pajak bumi dan Bangunan dan Bea materai” b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : Pajak Provinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air, Pajak Bahan Kendaraan Bermotor. Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan jalan.”
2.1.4
Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak pusat yang langsung kepada
pemerintah pusat, yang berlaku mulai tahun 1983, merupakan perubahan dari pajak penjualan yang ada sejak tahun 1951. Yang menjadi dasar hokum dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), sebagaimana telah mengalami perubahan ke dua menjadi Undang – undang No. 18 tahun 2002.
2.1.4.1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem pemungutan pajak atas konsumsi dari pada nama suatu jenis pajak, menggunakan pajak atas nilai tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi.
26
Adapun yang dimaksud dengan “Nilai Tambah” menurut Untung Sukardji (2002:28) adalah sebagai berikut : “Suatu nilai merupakan hasil penjumlahan biaya produksi atau distribusi yang meliputi penyusunan, bunga modal, gajiatau upah yang dibayarkan, sewa telepon, listrik serta pengeluaran lainnya dan laba yang diharapkan oleh pengusaha”.
Sedangkan pengertian Pajak Pertambahan Nilai menurut Mardiasmo (2003:234), adalah : “Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas pertambahan nilai (value added) dari barang yang dihasilkan atau diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), apabila ia pabrikan, importer, agen utama atau distributor utama”. Secara umum, pajak dipungut secara bertingkat pada jalur produksi dan distribusi dengan tidak ada unsure pemungutan pajak berganda. Dengan demikian, sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah : 1. Dikenakan atas penyerahan 2. Dipungut secara bertingkat pada jalur produksi dan distribusi 3. Mekanisme Kredit Pajak (metode faktur pajak).
27
2.1.4.2 Subjek Pajak Pertambahan Nilai Menurut Siti Resmi (2007:5-6) Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terdiri atas : “1. Pengusaha Kena Pajak Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN dan PPnBM, tidak termasuk pengusaha kecil” “2. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Maksudnya Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) dalam satu tahun” “3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean” “4. Orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan rumahnya sendiri dengan persyaratan tertentu. Syarat tersebut adalah sebagai berikut: a. Luas bangunan lebih atau sama dengan 200 meter persegi. b. Bangunan bersifat permanen. c. Bangunan diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat usaha” “5. Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah. Yaitu terdiri atas Kantor Perbendaharaan Negara, Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk Bendahara Proyek.
2.1.4.3 Objek Pertambahan Nilai Objek Pajak Pertambahan Nilai menurut Mardiasmo(2008:280-281) adalah sebagai berikut : “1.Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah: a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP.
28
b. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud. c. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean. d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya” “2. Impor Barang Kena Pajak” “3. Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah: a. Jasa yang dikenakan merupakan JKP. b. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean. c. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya” “4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean” “5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean” “6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak” “7. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain” “8. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan”.
2.1.4.4 Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Mardismo (2003:140) mekanisme dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah : “1. Pajak dipungut secara bertingkat pada jalur produksi dan distribusi dengan melalui mekanisme kredit pajak” “2. Pada waktu Pengusaha Kena Pajak menjual Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak, memungut Pajak Pertambahan Nilai” “3. Bagi Pengusaha Kena Pajak (penjual), pajak yang dipungut merupakan Pajak Keluaran. Sebaliknya pada waktu Pengusaha Kena Pajak membeli Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak membayar Pajak Pertambahan Nilai. Bagi Pengusaha Kena Pajak (pembeli) pajak yang dibayar merupakan pajak masukan” “4. Pajak Keluaran dikurangi Pajak Masukan merupakan pajak yang kurang/lebih bayar”.
29
2.1.4.5 Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai Untuk menentukan besarnya pajak yang terutang maka terlebih dahulu harus diketahui dua faktor penentu besarnya pajak yang terutang, dua faktor tersebut adalah Tarif Pajak dan Dasar Pengenaan Pajak, karena besarnya pajak yang terutang adalah hasil kali Tarif dengan Dasar Pengenaan pajak tersebut. A.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai Menurut Waluyo (2008:250-251), Tarif Pajak Pertambahan Nilai dibagi
menjadi dua, yaitu : “1. Tarif PPN sebesar 10%. Tarif PPN yang berlaku atas penyerahan Barang Kena pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak adalah tarif tunggal, sehingga mudah dalam pelaksanaannya dan tidak memerlukan daftar penggolongan barang atau penggolongan jasa dengan tarif yang berbeda sebagaimana berlaku pada pajak penjualan atas barang mewah” “2. Tarif PPN atas Ekspor Barang Kena Pajak sebesar 0%.PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak di dalam daerah pabean.Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang diekspor atau dikonsumsi di luar daerah pabean dikenakan PPN dengan tarif 0%.Pengenaan tarif 0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN.Dengan demikian pajak masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor tetap dapat dikreditkan”.
Cara mengitung PPN :
PPN Terutang = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif
B. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Untuk menghitung pajak yang terhutang perlu adanya dasar pengenaan pajak.Menurut Untung Sukardji (2002:182) ada lima macam Dasar Pengenaan Pajak, yaitu :
30
“1. Harga Jual Yang dimaksud dengan harga jual adalah nilai berupa unag termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak” “2. Nilai Penggantian Adalah nilai berupa uang termasuk suma biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak” “3. Nilai Impor Nilai Impor sebagai dasar pengenaan pajak adalah niali berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pemungutan lainnya” “4. Nilai Ekspor Nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir” “5. Nilai lain yang diterapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan”.
Dalam Undang-Undang PPN 1984 tidak memberikan rumusan otentik tentang pengertian nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak. Meskipun demikian berdasarkan ketentuan yang ada dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nilai lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak bagi penyerahan Barang Kena Pajak yang memenuhi kriteria tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
31
2.1.4.6 Faktur Pajak Dasar hukum yang berkenaan dengan Faktur Pajak diatur dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983. Pengertian Faktur Pajak berdasarkan Pasal 1 UU No.23 Tahun 2009 adalah: “Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak atau oleh Direktorat Jenderal Pajak Bea dan Cukai karena impor Barang Kena Pajak”. 2.1.4.7 Ciri-Ciri Faktur Pajak A. Fungsi Faktur Pajak Menurut Siti Resmi (2007:45), fungsi Faktur Pajak adalah sebagai berikut: “1. Sebagai bukti pungut Pajak Pertambahan Nilai yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, baik karena penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak maupun impor Barang Kena Pajak” “2. Sebagai bukti pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan oleh pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Bea dan Cukai” “3. Sebagai sarana pengawasan administrasi terhadap kewajiban perpajakan”.
B. Jenis Faktur Pajak Menurut Waluyo (2007:64), jenis Faktur Pajak adalah sebagai berikut: 1. Faktur Standar
32
Harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan barang kena pajak/jasa kena pajak yang meliputi : a. Nama, alamat, nomor pokok wajib pajak, serta tanggal pengukuhan pengusaha kena pajak yang menerbitkan faktur pajak. b. Nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak pembeli. c. Nama, jenis, kuantum, harga satuan, jumlah harga jual/penggantian dan pemotongan harga. d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut. e. Pajak Penjualan atas barang mewah yang dipungut. f. Tanggal penyerahan/pembayaran. g. Nomor dan tanggal pembuatan faktur pajak. h. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani. i. Faktur pajak. 2. Faktur Pajak Gabungan a. Semua Faktur pajak meliputi seluruh penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang dilakukan kepada pembeli yang sama selama sebulan takwim. b. Menggunakan faktur pajak standard. 3. Faktur Pajak Khusus a. Pengertian faktur pajak khusus dokumen-dokumen tertentu yang dapat diberlakukan sebagai faktur pajak standard, dan sekurangnya harus memuat :
33
Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen.Nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak penerima dokumen.
Jumlah satuan, apabila ada.
Dasar pengenaan pajak.
Jumlah pajak terutang.
b. Jenis dokumen yang dapat diberlakukan sebagai faktur pajak standard :
PIUD (Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai) yang dilampiri dengan Surat Setoran Pajak (SSP) untuk Barang Kena Pajak.
SPPB
(Surat
Pemberitahuan
Penyerahan
Barang)
yang
diterbitkan PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM.
Tanda
pembayaran/kuitansi\
untuk
penyerahan
jasa
telekomunikasi.
Tiket atau Tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill) yang diterbitkan oleh pengusaha jasa angkutan udara dalam negeri.
SSP untuk pembayaran pajak atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud atau jasa kena pajak dari luar daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Nota penjualan jasa yang dibuat oleh atau dikeluarkan oleh penyerahan jasa ke pelabuhan.
4. Faktur Pajak Sederhana Dibuat oleh Pengusaha kena Pajak dalam hal :
34
1. Penyerahan Barang kena Pajak/Jasa Kena Pajak secara langsung kepada konsumen akhir. 2. Penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak kepada pembeli yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap. Sekurang kurangnya harus memuat :
Nama, alamat, nomor pokok wajib pajak yang menyerahkan barang kena pajak/jasa kena pajak.
Jenis dan kuantum.
Jumlah harga jual/penggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya pajak dicantumkan secara terpisah.
Tanggal pembuatan faktur pajak sederhana.
Faktur pajak sederhana bias berupa bon kontan, kuitansi, bukti pembayaran dan dokumen lain yang sejenis. C. Batas Akhir Penerbitan Faktur Pajak 1. Faktur Pajak Standar a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak/keselutuhannya jasa kena pajak, dalam hal pembayaran diterima setelah penyerahan, kecuali pembayaran terjadi sbelum akhir bulan berikutnya, maka faktur pajak harus diterbitkan paling lambat pada saat pembayaran. b. Saat pembayaran, dalam hal :
35
Pembayaran
terjadi
sebelum
penyerahan
Barang
Kena
Pajak/Jasa Kena Pajak.
Penyerahan sebagai tahap pekerjaan, harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran termin.
c. Saat Pengusaha Kena Pajak menyampaikan tagihan kepada pemungut Pajak Pertambahan Nilai. 2. Faktur Pajak Gabungan Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak. 3. Faktur Pajak Sedrhana a. Pada saat penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak b. Pada saat pembayaran dalam hal pembayaran diterima sebelum Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak. D. Bentuk dan Pembuatan Faktur Pajak 1. Faktur pajak standard dibuat dengan ukuran kuarto. Sebelum Pengusaha Kena Pajak menerbitkan faktur pajak wajib melaporkan nomor seri faktur pajak yang akan diterbitkan kepada kantor Pelayanan Pajak setempat Pengusaha kena Pajak dijukuhkan. 2. Faktur pajak standard dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua : a. Lembar pertama untuk Pengusaha Kena Pajak pembeli (Pajak Masukan). b. Lembar ke dua untuk Pengusaha Kena Pajak penjual (Pajak Keluaran).
36
3. Pembuatan faktur pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak : a. Atas penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak tertentu yang Pajak
Pertambahan
Nilainya
ditanggung
pemerintah,
kecuali
perusahaan air bersih, dibuat faktur pajak sedikit-dikitnya rangkap tiga. b. Atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh kontraktor kepada Perumnas Swakarsa Industri dibuat faktur pajak sedikit-dikitnya rangkap empat. c. Atas penyerahan buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku pelajaran agama, dibuat faktur pajak sedikit-dikitnya rangkap empat. 4. Pengadaan faktur pajak dilakukan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak.
E. Pembetulan/Penggantian Faktur Pajak Faktur pajak yang rusak/cacat/salah tulis : a. Pengusaha Kena Pajak penjual menerbitkan faktur pajak standard pengganti. b. Pada faktur pajak standard pengganti dibubuhkan cap yang mencatumkan nomor seri, kode dan tanggal faktur pajak yang diganti. c. Faktur pajak standard pengganti dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada masa yang sama dengan masa pajak dilaporkan faktur pajak standard yang diganti. d. Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan faktur pajak standard pengganti membetulkan Surat Pemberitauan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada masa pajak terjadinya kesalahan pembuatan faktur pajak standard tersebut.
37
Penggantian faktur pajak yang hilang : a. Pengusaha Kena Pajak pembeli mengajukan permohonan tertulis kepada Pengusaha Kena Pajak penjual dengan tembusan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli dan Pengusaha Kena Pajak penjual dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. b. Pengusaha Kena Pajak membuat photo copy dari arsip faktur pajak untuk selanjutnya dilegalisir oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak penjual. c. Photo copy dibuat rangkap dua :
Lembar pertama untuk Pengusaha Kena Pajak Pembeli
Lembar kedua untuk Pengusaha Kena Pajak Penjual.
2.1.4.8 Pajak Masukan dan Pajak Keluaran Menurut Waluyo (2008:264), menyatakan bahwa pengertian Pajak Masukan adalah sebagai berikut : “Pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari Daerah Pabean dan atau barang impor Barang Kena Pajak”. Sedangkan yang dimaksud Pajak keluaran menurut mardiasmo (2003:227) adalah sebagai berikut :
38
“Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP”. Pengkreditan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam satu Masa Pajak dapat dilakukan terhadap Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama, namun terhadap Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan. 2.1.4.9 Surat Pemberitahuan Masa Pajak Petambahan Nilai a. Pengertian Surat Pemberitahuan Berdasarkan Undang-Undang Republik Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), pengertian Surat Pemberitahuan adalah : “Surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, Objek Pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
39
Menurut Mardiasmo (2008:303) Surat Pemberitahuan merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak, mengenai perhitungan: “1. Pajak Masukan berdasarkan realisasi pembelian Barang Kena Pajak atau realisasi penerimaan Jasa Kena Pajak” “2. Pajak Keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak” “3. Penyetoran pajak atau kompensasi”.
Sedangkan pengertian Surat Pemberitahuan Masa PPN dan PPnBM menurut Waluyo (2007:22) merupakan : “Laporan bulanan yang harus disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak meskipun Nihil, mengenai penghitungan Pajak Masukan yang berasal dari pembelian Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan Pajak Keluaran yang berasal dari penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak serta penyetoran pajak atau kompensasi”.
b. Jenis Surat Pemberitahuan Bila diperhatikan saat pelaporannya, menurut Waluyo(2007:23), Surat Pemberitahuan dibedakan menjadi dua : “1. Surat Pemberitahuan Masa adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terhutang dalam satuan masa pajak atau pada suatu saat” “2. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk memberitahukan data pajak yang relevan, perhitungan penghasilan kena pajak dan akhirnya jumlah pajak yang terhutang dalam satu tahun pajak”.
40
c. Batas Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan Menurut
Waluyo
(2007:24),
batas
waktu
penyampaian
Surat
Pemberitahuan adalah : “1. Untuk SPT masa, paling lambat 20 (dua puluh)hari setelah akhir masa pajak” “2. Untuk SPT Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak”.
2.1.4.10 Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan disetor tersebut harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk masa Pajak terjading penyetoran. Dalam hal pembayaran Pajak Pertambahan Nilai tersebut berkaitan dengan usaha yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka Pajak Pertambahan Nilai tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tersebutdiperlakukan sebagai pelaporan pungutan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau jasa kena Pajak dari luar Daerah Pabean. Bagi orang pribadi atau bukan Pengusaha Kena Pajak, wajib pajak melaporkan pemungutan
dan
penyetoran
Pajak
Pertambahan
Nilai
tersebut
dengan
mempergunakan lembar ketiga bukti setoran ke kas Negara selambat-lambatnya pada tanggal 20 dari bulan penyetoran dilakukan kepada kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai wajib pajak.
41
Menurut penjelasan pasal 3 KUP yang dikutip oleh Untung Sukardji (2003:481) digariskan bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan terutang: “1. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran” “2. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak” “3. Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya”.
2.1.5
Pengamanan Penerimaan Pajak
2.1.5.1 Pengertian Pengamanan Penerimaan Pajak Pajak mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia, karena pajak merupakan pendapatan terbesar yang diperoleh. Dalam upaya untuk agar menjaga agar perekonomian tersebut tetap berjalan maka salah satu sumber penerimaan Negara melalui pemungutan pajak tersebut sudah sewajarnya dilakukan tindakan-tindakan pengamanan baik itu secara preventif maupun represif. Joseph W. Wikinson (1993:65) yang dialihbahasakan oleh Marianus Sinaga dalam buku Teori Akuntansi (1993:85) menerangkan bahwa arti tindakan pengamanan adalah : “Pengendalian yang memberikan perlindungan fisik”. Sedangkan definisi dari pengamanan menurut menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009:197) adalah :
42
“Mengamankan yaitu merupakan suatu hal, perubahan, usaha dan sebagainya dalam rangka mengamankan dokumen harta supaya jangan timbul suatu masalah yang membahayakan”. Dari definisi di atas, maka pengamanan bila dikaitkan dengan perpajakan merupakan suatu bentuk pengendalian untuk menghindari kerugian pemerintah yang diakibatkan oleh pembayaran pajak yang tidak sewajarnya.
2.1.5.2 Tujuan Pengamanan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009:198) ada beberapa tujuan dari pengamanan tersebut diantaranya sebagai berikut: “1. Mencegah kemungkinan terjadinya penyelewengan atau penyimpangan lainnya” “2. Mendorong dipatuhinya kebijakan yang telah ditetapkan dalam hubungannya dengan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)” “3. Menjamin tercapainya sasaran atau target yang telah direncanakan”. Untuk mendukung tujuan-tujuan pengamanan tersebut di atas, maka perlu adanya suatu langkah-langkah pengamanan yaitu seperti dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. SE-10/PJ.52/2006 adalah sebagai berikut: “1. Melakukan konfirmasi Faktur Pajak” “2. Melakukan analisa perbandingan terhadap SPT PPh Badan Wajib Pajak yang bersangkutan untuk 2 (dua) tahun terakhir” “3. Melakukan analisa terhadap SPT Masa PPN untuk masa 6 (enam) bulan terakhir” “4. Mewaspadai PKP-PKP yang non efektif (NE) PKP yang melaporkan SPT Masa PPN Nihil, yang kemudian melakukan pembetulan SPT Masa dan menunjukan jumlah peredaran usahanya yang meningkat cepat dan cukup besar” “5. Melakukan pengawasan secara aktif terhadap Pemungutan PPN”.
43
2.1.5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengamanan PPN Dalam tindakan nyata pengamanan penerimaan pajak dilakukan dengan cara evaluasi dan perencanaan dalam bentuk : 1. Rencana Pemeriksaan. 2. Pelaksanaan Pemeriksaan. 3. Pelaporan Hasil Pemeriksaan. Sejalan dengan tujuan untuk pengamanan penerimaan pajak dan sekaligus memberikan pelayanan dan pembinaan kepada masyarakat wajib pajak, maka bentuk pengawasan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak didasarkan pada Pasal 29 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang menyatakan bahwa: “Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Mengacu pada Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa pemeriksaan adalah : “Serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan proporsional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan perundangundangan perpajakan”.
44
Menurut Mulyo Agung (2007:51) pelaksanaan pemeriksaan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: “1. Pemeriksaan Lengkap Yaitu serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data/keterangan dalam rangka menguji kepatuhan kewajiban perpajakan. Kewajiban wajib pajak yang diperiksa harus memperlihatan dan/atau meminjamkan buku/catatan/dokumen, memberikan kesempatan memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu memberikan keterangan yang diperlukan. Dilaksanakan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan”. “2. Pemeriksaan Sederhana, terbagi menjadi dua yaitu: a. Pemeriksaan Sederhana Kantor Maksudnya yaitu pemeriksaan sederhana yang dilakukan oleh petugas pemeriksa di Kantor Pelayanan Pajak tanpa mendatangi tempat pajak untuk mendapatkan informasi dan penjelasan seperlunya, wajib pajak dapat dipanggil ke Kantor Pelayanan Pajak untuk diminta keterangan baik lisan maupun tulisan. Dilaksanakan dalam jangka waktu 1 (bulan) dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan” b. Pemeriksaan Sederhana Lapangan Yaitu pemeriksaan sederhana yang dilaksanakan oleh petugas pemeriksa di tempat wajib pajak, kecuali pada saat pertama dilakukan pemeriksaan sepanjang waktu di tempat wajib pajak untuk selanjutnya pemeriksa dapat memanggil waiib pajak agar hadir di Kantor Pelayanan Pajak untuk memberikan keterangan yang diperlukan oleh pemeriksa”.
Dari penjelasan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa usaha Kantor Pelayanan Pajak terhadap pengamanan atau melindungi suatu penerimaan seperti kecurangan, persekongkolan, penggelapan dan lain sebagainya yang dapat menimbulkan kerugian akan mampu diantisipasi dengan adanya suatu sistem dan prosedur yang baik.
45
2.1.6
Tinjauan Penelitian Terdahulu Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh
peneliti terdahulu
menghasilkan kesimpulan mengenai peranan sistem akuntansi pemerintah dalam menunjang pengamanan penerimaan pajak pertambahan nilai adalah sebagai berikut : Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu Peneliti dan Tahun Tofik Wahyudin (2006)
Ahmad Prayudi (2010)
Rapina (2011)
Judul Penelitian
Variabel yang Diteliti
Peranan Sistem Akuntansi Pemerintah dalam Menunjang PPN
Hasil
Perbedaan
Sistem Akuntansi Pemerintah sebagai variabel bebas (X) dan Pengamanan Penerimaan PPN sebagai variabel terikat (Y)
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa terdapat peranan sistem akuntansi pemerintah terhadap pengamanan penerimaan PPN
Peneliti sekarang menggunakan teknik sampling Simple Random Sampling
Pengaruh Surat Pemberitahuan Masa terhadap Penerimaan PPN
Surat Pemberitahuan Masa sebagai variabel bebas (X) dan Penerimaan PPN sebagai variabel terikat (Y)
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa SPT Masa berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan PPN
Variabel bebas (X) mempengaruhi variable (Y), sedangkan variabel terikat (Y) sebagai yang dipengaruhi
Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Sistem Akuntansi Pemerintah sebagai variabel bebas (X) dan Kepatuhan Wajib Pajak sebagai terikat (Y)
Hasil penelitian menunjukan bahwa besarnya kontribusi Sistem Akuntansi Pemerintah terhadap kepatuhan Wajib Pajak
Variabel terikat (Y) yang digunakan berbeda, peneliti terdahulu meneliti kepatuhan wajib pajak
46
2.2
Kerangka Pemikiran Sistem merupakan jaringan-jaringan yang saling berkaitan terdiri dari formulir
dokumen atau catatan dengan laporan yang terkoodinir dalam suatu organisasi untuk mengamankan aset Kantor Pelayanan Pajak. Sedangkan prosedur adalah tata cara pelaksanaan di dalam suatu organisasi untuk melakukan pekerjaan secara berkesinambungan sistem dan prosedur ini memiliki tujuan untuk menghasilkan informasi yang cepat, aman, dan murah. Pengaruh sistem akuntansi pemerintah sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan, karena penyelenggaraan sistem akuntansi pemerintah bertujuan untuk menyediakan informasi keuangan (financial accounting) mengenai pemerintahan di semua tingkatan dan unitnya yang ada. Akuntansi pemerintah juga menyediakan informasi keuangan yang diperlukan untuk perencanaa, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian anggaran, perumusan kebijaksanaan, dan pengambilan keputusan serta penilaian kinerja pemerintah. Salah satu tujuan dari Akuntansi Pemerintahan menurut American Accounting Association (1970) dan Glynn (1993) dalam buku Akuntansi Sektor Publik karangan Mardiasmo (2002:14) adalah : “Akuntansi Pemerintahan diadakan untuk memungkinkan diadakannya pengawasan pengurusan keuangan Negara dengan lebih mudah oleh pemeriksa.Yaitu BPK-RI untuk melakukan pemeriksaan akuntabilitas keuangan Negara”.
47
Sebagai
alat
pengawasan
sistem
akuntansi
pemerintah
berguna
untuk
mengendalikan penerimaan. Penerimaan perlu diamankan dari segala kemungkinan yang merugikan, maka dengan adanya sistem akuntansi pemerintah Kantor Pelayanan Pajak dapat mencegah terjadinya kecurangan. Dalam melaksanakan tugasnya terdapat Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK) yang dilaksanakan oleh subseksi Pajak Pertambahan Nilai dan Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) yang dilaksanakan oleh subseksi verifikasi untuk membandingkan hasil yang diperoleh dari kantor dan lapangan (dalam hal ini pemeriksaan yang dilaksanakan terhadap Pengusaha Kena Pajak) terutama menyangkut retribusi pajak. Dengan cara yang tersebut dimungkinkan bisa menghindari adanya kecurangan atau kesalahan yang dilaksanakan oleh kedua belah pihak dalam retribusi pajak yang bisa mengurangi penerimaan pajak. Pengaruh sistem akuntansi pemerintah sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan, karena tujuan pengawasan itu, yaitu untuk menunjang dan mendukung terciptanya usaha pengamanan dan memegang peran penting dalam pengolahan transaksi dalam menjaga ketelitian baik data masukan, pengolahan dan keluaran berupa informasi dan secara tidak langsung menjaga keamanan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai untuk itu sistem akuntansi pemerintahan dan usaha pengamanan harus saling menunjang dan harus berjalan bersama. Setiap jenis perusahaan dagang, industry, jasa dan keuangan yang berbentuk badan hukum perseroan, firma, CV, perseroan terbatas, yayasan baik yang dimiliki oleh swasta maupun Negara, baik badan hukum maupun departemen-departemen, umumnya menggunakan Sistem Akuntansi untuk mengelola data keuangannya.
48
Instansi pemerintah menggunakan Sistem Akuntansi Pemerintah dalam menghasilkan informasi keuangan dan meningkatkan mutu pengawasan lembaga perusahaan yang bersangkutan. Akuntansi pemerintahan menurut Kustadi Arinta dalam buku Pengantar Akuntansi Pemerintahan (1993:11) adalah : “Aplikasi akuntansi dibidang keuangan Negara khususnya pada tahapan pelaksanaan anggaran termasuk segala pengaruh yang ditimbulkannya, baik yang bersifat seketika maupun yang lebih permanen pada semua tingkat dan unit pemerintahan”. Di Indonesia, perangkat hukum yang mendasari diterapkannya akuntansi pemerintahan antara lain sebagai berikut : 1. UUD 1945 pasal 23 ayat 1,2,3,4,5 2. UUPI (Undang-undang Perbendaharaan Negara Indonesia) atau Indonesche Compatibilities lebih dikenal dengan ICW Pasal 1 yang menyatakan bahwa : “Keuangan Negara Republik Indonesia harus dipertanggungjawabkan menurut ketentuan undang-undang ini”. 3. UU APBN, setiap tahun diterapkan dan apabila APBN mengalami perubahan maka perlu ditetapkan dengan UU TP APBN. 4. Undang-undang atau peraturan-peraturan terkait lainnya, dapat berbentuk UU, Peraturan Pemerintah, Kepres, Surat Keputusan Menteri, Keuangan atau Surat Edaran dari Instansi yang berwenang atas keuangan Negara. Berdasarkan
SK
Men.Keu.RI
337/KMK
012/2003,
maka
diimplementasikan Sistem Akuntansi Pemerintahan Pusat (SAPP) adalah sistem akuntansi yang mengolah semua transaksi keuangan, asset, kewajiban dan ekuitas dana pemerintah pusat yang tercakup dalam APBN yaitu Lembaga Tertinggi Negara,
49
Lembaga Tinggi Negara, Departemen atau Lembaga Non Departemen, Bagian Anggaran 16. Namun penerapan SAPP tidak mencakup unit-unit organisasi pemerintah seperti : -
Pemerintah Daerah
-
BUMN/BUMD
-
Bank Pemerintah
-
Lembaga Keuangan Pemerintah Sistem Akuntansi Pemerintahan Pusat (SAPP)mencakup : 1. Basis akuntansi yaitu untuk asset, kewajiban dan ekuitas dengan basis accrualPendapatan dan Belanja dicatat berdasar basis kas 2. Adanya sistem pembukuan berpasangan (double entry) 3. Adanya sistem terpadu yaitu digunakan untuk pendekatan bahwa keseluruhan pemerintahan pusat merupakan suatu kesatuan akuntansi dan ekonomi tinggal dengan presiden sebagai pengelola utama serta DPR sebagai lembaga yang mengevaluasi pelaksanaannya 4. Desentralisasi pelaksanaan akuntansi, dimana system dirancang secara berjenjang dan dimulai pada sumber data di Daerah/Propinsi 5. Perkiraan/Bagan standard yang seragam, dengan tujuan : - Memastikan bahwa anggaran dan realisasinya menggunakan istilah yang sama - Memudahkan pengawasan dan ketaatan dengan pagu yang sudah ditentukan UU APBN dan dalam dokumen Allotment (DIP/DIK/SKO
50
- Memungkinkan perbandingan data dan laporan keuangan, baik dalam satu laporan maupun antar laporan. Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat terdiri dari : 1. Sistem Akuntansi Pusat yang diselenggarakan oleh BAKUN 2. Sistem Akuntansi Instansi yang diselenggarakan oleh Departemen, Lembaga Non Departemen, yang terdiri dari 4 sistem yaitu : tingkat departemen, tingkat eselon I, tingkat wilayah dan tingkat kantor/proyek. Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat, berupaya menggabungkan prosedur manual dan proses elektronis untuk mengambil data-data, membukukan dan melaporkan atas semua transaksi keuangan, sumber-sumber terwujud, hutang dan ekuitas dari seluruh pemerintah pusat dan instansinya. Dalam UU no 17 tahun 2003 menyatakan bahwa : “Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan”. Pajak mempunyai posisi yang sangat vital dan dominan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Penerimaan pemerintahan yang diperoleh dari pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah sebagaimana tercermin dalam pengertian pajak menurut R. Susanto Brotoduharjo dalam buku Pengatur Ilmu Hukum Pajak (1995:5) yaitu : “Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
51
Dalam upaya mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara masyarakat yang berpenghasilan rendah dengan masyarakat yang berpenghasilan tinggi, serta upaya mengendalikan pola konsumsi yang tidak produktif dari masyarakat, pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas setiap penyerahan barang dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Pajak Pertambahan Nilai dipungut satu kali ada sumbernya yaitu pada tingkat pabrikan yang dilaksanakan berdasarkan sistem faktur.Dengan demikian, untuk setiap penyerahan barang dan/atau jasa wajib dibuat faktur pajak sebagai bukti transaksi penyerahan barang dan/atau jasa yang terutang. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu perwujudan kegotong royongan nasional dalam pembiayaan Negara dan pembangunan nasional. Dengan demikian, dalam penggunaannya harus memperhatikan prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan serta ditunjang oleh administrasi perpajakan yang memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya. Berkaitan dengan prinsip kepastian hukum, berikut ini diuraikan mengenai posisi penjual dan pembeli dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dasar hukum mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang dan jasa adalah UU KUP Nomor 6Tahun 1983 yang diubah ketiga kalinya dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 33 dengan bunyi sebagai berikut : “Pembeli atau penerima jasa sebagaimana dimaksudkan dalam UU PPN barang dan jasa bertanggung jawab secara rentang atas pembayaran pajak sepanjang tidak dapat menunjukan bukti pembayaran pajak”.
52
Jika pasal 33 tersebut dicermati, tampak bahwa yang bertanggung jawab dalam melakukan pembayaran pajak ke kas Negara bukanlah di tangan pembeli. Walaupun demikian, acap kali timbul kekeliruan untuk meletakkan tanggung jawab ini pada pembeli. Hal ini diduga dilandasi oleh sikap mengambil jalan pintas yang sering dilakukan oleh fiskus guna meningkatkan penerimaan pajak untuk memenuhi target yang sudah ditetapkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi budgetair adalah misi utama Dirjen Pajak, namun ketika menjalani misi ini tetap harus memperhatikan filosofi pemungutan pajak, dimana pemikul beban pajak ini secara nyata adalah pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP) sementara penanggung jawab adalah penjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Pengusaha Kena Pajak (PKP). Oleh karena itu apabila terjadi penyimpangan dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), administrasi pajak (fiskus) diharapkan meminta pertanggung jawaban kepada penjual Barang Kena Pajak atau pengusaha Jasa Kena Pajak tersebut, bukan kepada pembeli atau penerima jasa, walaupun pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak tersebut kemungkinan juga berstatus Pengusaha Kena Pajak. Berdasarkan Surat Dirjen Pajak Nomor S-193/PJ.32/1989 tanggal 10 Februari 1989, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-30/PJ.54/1992 tanggal 29 Juni 1989, dan Surat Dirjen Pajak Nomor S-954/PJ.54/1992 tanggal 14 Mei 1992 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak ditegaskan bahwa dalam hal Pengusah Kena Pajak penjual atau pemberi jasa tidak memungut atau menyetor PPN atau/PPnBM, maka :
53
1. Terhadap Pengusaha Kena Pajak diterbitkan Surat ketetapan Pajak beserta sangsinya dan dilakukan penagihan aktif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut tidak sanggup lagi membayar utang pajak (pailit) dan pengurus juga tidak mungkin lagi diminta untuk bertanggung 3. jawab sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat 2 UU KUP dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat membuktikan bahwa pajak yang terutang sudah dibayarnya, barulah pasal 33 KUP dapat diterapkan kepada pembeli atau penerima jasa dimana sejumlah sisa utang pajak yang belum dibayar berdasarkan data terakhir setelah pengurusnya dijalankan, dibebankan kepada pembeli atau penerima jasa. Berkaitan dengan kesederhanaan proses dan kemudahan administrasi perpajakan Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana jenis pajak yang lain, dipungut dengan sistem self assessment dimana wajib pajak mendapatkan kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan kewajiban pajaknya. Dalam sistem self assessment, wajib pajak lebih aktif daripada aparat pajak. Pada satu sisi, sistem self assessment mempunyai efek positif bagi aparat pajak karena memudahkannya dalam menyelesaikan tugas perpajakan.Namun di lain sisi, sistem
self
assessment
berpotensi
berdampak
negative
dengan
timbulnya
kemungkinan, kecurangan yang dilakukan wajib pajak dalam pelaporan pajaknya yang berakibat kurangnya penerimaan pajak. Dengan demikian untuk mengatasi kemungkinan kecurangan sebagai dampak dari sistem self assessment diperlukan suatu
54
sistem pengamanan untuk mengamankan penerimaan pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai. Pengertian pengamanan menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2009:197) adalah : “Suatu hal, perubahan, usaha dan sebagainya dalam rangka mengamankan dokumen dan harta supaya jangan timbul suatu masalah yang membahayakan”. Dari pengertian pengamanan tersebut dapat diasumsikan bahwa pengamanan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah suatu hal, perubahan, usaha, dan sebagainya dalam rangka mengamankan dokumen dan harta penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) supaya jangan timbul suatu masalah yang membahayakan. Sementara itu Josef W. Wilkinson (1993:65) yang dialih bahasakan oleh Marianus Sinaga dalam Teori Akuntansi (1993:85) menerangkan bahwa arti tindakan pengamanan itu adalah : “Pengendalian yang memberikan perlindungan fisik”. Untuk mengamankan penerimaan pajak, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPn), diperlukan suatu pengendalian dimana dalam hal ini Sistem Akuntansi Pemerintahan yang dapat menghindarkan tidak saja terjadi kecurangan oleh wajib pajak namun juga terjadi kebocoran atau manipulasi penerimaan pajak. Diharapkan penerapan Sistem Akuntansi Pemerintahan yang baik dapat menghasilkan informasi yang berkualitas dan memadai bagi otorisasi pajak dalam mengambil keputusan, baik dalam perencanaan penerimaan pajak maupun pengendalian penerimaan pajak, khususnya terhadap pengamanan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.
55
Dengan demikian, kaitan antara Sistem Akuntansi Pemerintah dengan keamanan penerimaan pajak, dalam hal ini Pajak Pertambahan Nilai, terletak pada ketersediaan dan ketepatan informasi sebagai output Akuntansi Perpajakan yang sesuai dengan kebutuhan ototrisasi pajak dalam pengamanan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang memungkinkan ototrisasi pajak dapat menjamin penerimaan pajak yang seharusnya diterima.
Sistem Akuntansi Pemerintah Pengamanan Penerimaan PPN
Dimensi : 1. Basis Akuntansi 2. Sistem Pembukuan Berpasanagan
Dimensi : Tujuan pengamanan pajak pertambahan nilai
3. Sistem Terpadu 4. Desentralisasi Pelaksanaan Akuntansi
(Ikatan Akuntan Indonesia (2009:197))
5. Bagan/Perkiraan Standar (BAKUN dan Depkeu RI (2003:2-3))
Gambar 2.1 Paradigma Penelitian
56
2.2.1
Hubungan Sistem Akuntansi Pemerintah dengan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Indonesia telah mengembangkan suatu sistem akuntansi pemerintah dengan
dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan RI NO 37 KMK/012/Tahun 2003, tanggal 21 Mei 2003 tentang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat RI. Yaitu sistem terpadu yang menggabungkan prosedur manual dengan proses elektronis dalam pengambilan data, pembukuan dan pelaporan semua transaksi, keuangan, aset, utang, dan ekuitas seluruh entitas Pemerintah Pusat. Sistem Akuntansi Pemerintah merupakan salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan tersebut perlu diamankan dari segala kemungkinan yang terjadi yang dapat merugikan Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Syarat bagi berhasilnya suatu pengamanan penerimaan pajak antara lain sangat ditentukan oleh berfungsinya Sistem Akuntansi Pemerintah dalam menyajikan informasi. Dengan adanya masalah-masalah yang dihadapi oleh Kantor PelayananPajak (KPP) dalam mengendalikan kegiatan kantornya semakin meningkat dan kompleks karenanya dibutuhkan informasi yang benar, jelas, dan tepat waktu.Informasi yang diolah dengan baik akan menghasilkan berbagai informasi yang berguna dan berkualitas untuk mencapai tujuan pengendalian penerimaan. Tentunya suatu sistem saja tidak cukup untuk mengamankan pajak pertambahan nilai dari kecurangannya atau penyelewengan dana. Selain itu dibutuhkan kesadaran, kejujuran, dan tanggung jawab yang besar pada setiap petugas
57
pajak dalam hal pencatatan, penyajian laporan, dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kasus kecurangan oknum-oknum pajak yang terlibat korupsi, atau biasa disebut mafia pajak.
Tofik Wahyudin (2006) sudah membuktikannya. Dalam penelitiannya dia menemukan adanya korelasi positif antara sistem akuntansi pemerintah terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai. Dari paparan beberapa hasil penelitian diatas mengindikasikan adanya korelasi positif antara penerapan sistem akuntansi pemerintah terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai. Ini artinya semakin baik penerapan sistem akuntansi pemerintah yang dilakukan maka akan semakin baik juga tingkat pengamanan penerimaan pajak pertambahan nilai.
58
2.3
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, penulis mengambil suatu hipotesis
sebagai berikut : “Jika Sistem Akuntansi Pemerintahan dilaksanakan dengan benar, maka akan berpengaruh terhadap pengamanan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai”. Sehingga dalam penerimaan Pajak Pertambahan Nilai tidak mengalami kecurangan (fraud) ataupun penyelewengan dana oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dalam segala aktifitas pemungutan pajak. Jika sudah dijalankan dengan baik seperti itu maka kerugian negara dapat diminimalisir dan sebaliknya dapat membantu pendapatan Negara.