BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1.
Kajian Pustaka
2.1.1. Manajemen Sumber Daya Manusia Tjutju dan Suwatno (2008, p1) menjelaskan bahwa sumber daya manusia bagian dari ilmu manajemen yang memfokuskan perhatiannya pada pengaturan peranan sumber daya manusia dalam kegiatan suatu organisasi. Manajemen sumber daya manusia menganggap bahwa karyawan adalah kekayaan (asset) utama organisasi yang harus dikelola dengan baik. Jadi manajemen sumber daya manusia sifatnya lebih strategis bagi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah diterapkan. Menurut Dessler (2013), manajemen sumber daya manusia mengarah pada kebijakan dan tindakan yang dibutuhkan manajer untuk mengatur sumber daya manusia dalam suatu tugas manajemen. Menurut Hussein Umar (2008, p128) manajemen sumber daya manusia adalah suatu perencanaan pengorganisasian dalam pergerakan dan pengawasan atas pengadaan,
pengembangan,
kompensasi,
pengintegrasian,
pemeliharaan,
dan
pemutusan hubungan kerja dengan maksud untuk pencapaian tujuan organisasi perusahaan secara terpadu. Menurut Mathis, Jackson (2006, p3) manajemen sumber daya manusia adalah sebuah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan organisasional. Jadi, manajemen sumber daya manusia adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana mengatur sumber daya yang dimiliki oleh seorang individu di dalam suatu organisasi dalam menciptakan hubungan kerja demi tercapainya suatu tujuan. Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang baik maka perusahan juga harus memiliki keadilan dalam prosedur prosedur yang dimilikinya agar sumber daya manusia yang ada di dalam perusahaan tersebut dapat berjalan dan tertata dengan baik.
7
8 2.1.2. Keadilan Prosedural 2.1.2.1. Pengertian Keadilan Prosedural Plato (1971) dalam jurnal berjudul The Interrelationships of Organizational loyalty, Organizational Justice, and Group Cohesiveness of PublicSector Employees' in Kuwait (2009) mengatakan bahwa keadilan prosedural yaitu apabila seseorang telah mampu melaksanakan perbuatan adil dengan tata cara yang telah diterapkan. Keadilan prosedural juga terkaitan dengan kasus sengketa dan penyelewengan lainnya, namun keadilan ini tidak juga harus selalu dikaitkan dengan hukum. keadilan prosedur yang digunakan untuk memutuskan hasilnya distribusi dan bagaimana mereka berlaku. Hal ini berkaitan dengan pembuatan dan melaksanakan keputusan sesuai dengan proses yang adil. Keadilan prosedural menyangkut keadilan dan transparansi proses dimana keputusan dibuat, dan dapat dibandingkan dengan keadilan distributif (keadilan dalam distribusi hak atau sumber daya), dan keadilan retributif (keadilan dalam hukuman kesalahan). Mendengar semua pihak sebelum keputusan dibuat merupakan salah satu langkah yang akan dianggap tepat yang harus diambil agar proses kemudian dapat dicirikan sebagai prosedural adil. Beberapa teori keadilan prosedural berpendapat bahwa prosedur yang adil mengarah ke hasil yang adil, bahkan jika persyaratan keadilan distributif atau restoratif tidak terpenuhi. Ia telah mengemukakan bahwa ini adalah hasil dari kualitas yang lebih tinggi interaksi interpersonal sering ditemukan dalam prosedural proses peradilan, yang telah menunjukkan untuk menjadi lebih kuat dalam mempengaruhi persepsi keadilan selama resolusi konflik. Dalam kaitannya dengan komunikasi, penawaran keadilan prosedural dengan persepsi keadilan tentang hasil. Hal ini mencerminkan tingkat di mana seorang individu merasakan bahwa keputusan alokasi hasil sudah cukup dibuat. Penggunaan prosedur yang adil membantu berkomunikasi bahwa karyawan adalah anggota terhormat dari grup Keadilan Prosedural dapat diperiksa dengan berfokus pada prosedur formal yang digunakan untuk membuat keputusan. Keadilan prosedural, subkomponen keadilan organisasi, adalah penting dalam komunikasi dan di tempat kerja karena melibatkan prosedur yang adil, memungkinkan karyawan untuk memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan, memberikan karyawan
9 perlakuan yang adil, dan memungkinkan mereka untuk memberikan masukan lebih dalam proses penilaian. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Tom R. Tyler dan rekan menemukan bahwa pemberian anggota kelompok yang tidak puas suara terlepas dari apakah itu adalah instrumental (yaitu suara yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan) atau non-instrumental (yaitu suara yang tidak akan memiliki bobot setiap pada proses pengambilan keputusan) kadang-kadang cukup untuk proses dipandang sebagai adil. Kemampuan dan hak untuk suara dihubungkan dengan perasaan hormat dan nilai, yang menekankan pentingnya faktor-faktor interpersonal keadilan prosedural. Hal ini penting di tempat kerja karena karyawan akan merasa lebih puas dan dihormati, yang dapat membantu meningkatkan tugas kerja dan kinerja kontekstual. Ada penekanan pada aspek interpersonal dan sosial dari prosedur, yang mengakibatkan karyawan merasa lebih puas ketika suara mereka dapat didengar. Hal ini dikemukakan oleh Greenberg dan Folger. Keadilan prosedural juga merupakan faktor utama yang memberikan kontribusi untuk ekspresi dari perbedaan pendapat karyawan. Ini berkorelasi positif dengan perbedaan pendapat atas manajer. Dengan keadilan prosedural ada banyak yang lebih besar dari keadilan di tempat kerja. Dalam A Theory of Justice, filsuf John Rawls (1971) dalam jurnal berjudul Filsafat Jhon Rawls Tentang Teori Keadilan (2013) membedakan tiga ide keadilan prosedural, Keadilan prosedural yang sempurna memiliki dua karakteristik: 1) kriteria independen untuk apa yang merupakan hasil yang adil atau hanya prosedur, dan 2) prosedur yang menjamin bahwa hasil yang adil akan tercapai. Keadilan prosedural imperfect berbagi karakteristik pertama keadilan prosedural yang sempurna - ada kriteria independen untuk hasil yang adil - tapi ada metode yang menjamin bahwa hasil yang adil akan tercapai. Keadilan prosedural murni menggambarkan situasi di mana tidak ada kriteria untuk apa yang merupakan hasil yang adil selain prosedur itu sendiri. Teori keadilan prosedural masih kontroversial, dengan berbagai pandangan tentang apa yang membuat adil prosedur. Secara tradisional pandangan ini cenderung jatuh ke dalam tiga keluarga utama, yang dapat disebut model hasil, model
10 balancing, dan model partisipasi. Ide hasil model keadilan prosedural adalah bahwa keadilan proses tergantung pada prosedur yang menghasilkan hasil yang benar. Sebagai contoh, jika prosedur ini sidang pidana, maka hasil yang benar akan menjadi keyakinan dari bersalah dan exonerating yang tidak bersalah. Jika prosedur adalah proses legislatif, maka prosedur akan adil untuk sejauh itu menghasilkan undang-undang yang baik dan adil sejauh bahwa itu menghasilkan undang-undang yang buruk. Hal ini memiliki banyak keterbatasan. Pada prinsipnya, jika dua prosedur menghasilkan hasil yang setara, maka mereka sama-sama hanya menurut model ini. Namun, sebagai dua bagian berikutnya menjelaskan, ada fitur lain tentang prosedur yang membuatnya adil atau tidak adil. Sebagai contoh, banyak orang akan berpendapat bahwa kediktatoran kebajikan tidak hanya sebagai negara demokratis (bahkan jika mereka memiliki hasil yang sama) Beberapa prosedur yang mahal. Ide model balancing adalah bahwa prosedur yang adil adalah salah satu yang mencerminkan keseimbangan yang adil antara biaya prosedur dan manfaat yang menghasilkan. Dengan demikian, pendekatan balancing untuk keadilan prosedural mungkin dalam beberapa keadaan siap untuk mentolerir atau menerima vonis positif palsu untuk menghindari biaya yang tidak diinginkan (politik) yang terkait dengan administrasi proses pidana Ide dari model partisipasi adalah bahwa prosedur yang adil adalah salah satu yang memberi mereka yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan. Dalam konteks sidang, misalnya, model partisipasi akan mengharuskan terdakwa akan diberikan kesempatan untuk hadir di persidangan, untuk menempatkan bukti, saksi pemeriksaan silang, dan sebagainya. Model juga telah diusulkan untuk memahami dasar psikologis keadilan. Salah satu yang lebih baru dari model ini adalah model keterlibatan kelompok. Model keterlibatan kelompok (GEM), dirancang oleh Tom R. Tyler dan Steven L. Blader, menggabungkan teori-teori psikologis masa lalu untuk menjelaskan proses psikologis yang mendasari keadilan prosedural. Berdasarkan teori identitas sosial dan model relasional keadilan prosedural, model ini menunjukkan bahwa proses keadilan prosedural sebuah kelompok mempengaruhi identifikasi anggota
11 dengan kelompok, yang pada gilirannya mempengaruhi jenis keterlibatan mereka dalam kelompok. Menurut model, keterlibatan kelompok dipandang sebagai perilaku baik yang wajib maupun diskresioner. Perilaku Wajib didefinisikan oleh Tyler dan Blader sebagai perilaku yang dibutuhkan oleh kelompok dan dengan demikian dimotivasi oleh insentif dan sanksi. Sebaliknya, perilaku diskresioner dimotivasi oleh nilai-nilai internal dan dipandang sebagai lebih kooperatif dan karena itu ideal dalam suatu kelompok Tergantung pada proses keadilan prosedural kelompok, identitas sosial dari para anggota akan dipengaruhi sesuai dan nilai-nilai yang berbeda akan ditekankan. Semakin banyak anggota setuju dengan jenis keadilan prosedural yang digunakan, semakin mereka akan mengidentifikasi dengan kelompok mereka. Hal ini meningkatkan hasil identifikasi dalam internalisasi nilai-nilai kelompok dan sikap untuk anggota kelompok. Hal ini menciptakan hubungan yang melingkar sebagai proses keadilan prosedural kelompok akan mempengaruhi tingkat anggota kelompok, identifikasi dan, sebagai konsekuensinya, tingkat dan jenis identifikasi akan mempengaruhi nilai-nilai mereka sendiri tentang apa yang adil dan tidak adil. Hal ini, pada gilirannya, maka akan mempengaruhi bagaimana individu akan terlibat dengan kelompok mereka, dengan identifikasi yang lebih tinggi yang mengarah ke perilaku diskresioner dan lebih diinginkan. Menurut Leventhal yang dikutip Kozlowski, (2012, p528) keadilan prosedural adalah persepsi mengenai proses keikutsertaan untuk mencapai suatu hasil dengan menfokuskan beberapa kriteria untuk memenuhi prosedur adil seperti: 1. Konsistensi Diterapkan secara konsisten terhadap orang dan waktu. 2. Akurasi Memastikan bahwa informasi yang akurat dikumpulkan dan digunakan dalam pengambilan keputusan. 3. Prosedur etis Sesuai dengan standar pribadi atau sesuai dengan etika dan moralitas.
12 4. Bebas bias Memastikan bahwa pihak ketiga tidak memiliki kepentingan dalam penyelesaian permasalahan dalam bentuk apapun. Menurut Kreitner dan Kinicki (2001, p49) keadilan prosedural adalah keadilan yang dirasakan dari proses dan prosedur yang digunakan untuk mengalokasikan keputusan sedangkan Menurut Konovsky dalam Beugre (2007, 24) Persepsi keadilan prosedural
didasarkan pada pandangan karyawan terhadap
kewajaran proses penghargaan dan keputusan hukuman yang dibuat organisasi sifatnya penting seperti keharusan membayar imbalan/insentif, evaluasi, promosi dan tindakan disipliner. persepsi yang baik mengenai keadilan prosedural akan menghasilkan keluaran organisasi yang lebih baik seperti peningkatan komitmen organisasi, keinginan tetap tinggal dalam organisasi dan peningkatan kinerja. Teori keadilan prosedural menguji pengaruh prosedur pengambilan suatu keputusan terhadap sikap dan perilaku (Walker, et al., 1974). Thibaut dan Walker (1975) mengemukakan bahwa proses pengambilan keputusan dapat sangat berpengaruh terhadap penerimaan mengenai hasil suatu keputusan. Oleh karena itu, ada kalanya seseorang tidak setuju dengan hasil suatu keputusan tetapi dapat menerima keputusan tersebut karena proses pengambilan keputusan yang dilakukan dengan adil. Dalam hal ini, proses yang adil menjadi norma yang diterima umum terhadap perilaku baik dalam konteks sosial maupun dalam konteks proses pengambilan keputusan organisasi. Teori Keadilan prosedural berfokus pada persepsi pekerja tentang keadilan prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan. Satu konstruk penting dalam teori keadilan prosedural adalah “process control” atau “voice effect” (Folger, 1977). Diberikannya kesempatan kepada bawahan untuk mengemukakan keinginan, opini, pandangan dan preferensi mereka sebelum suatu keputusan dibuat akan dapat meningkatkan pengertian mereka tentang proses yang adil (Brett, 1986). Secara psikologis, voice effect memberikan suatu perasaan bagi bawahan bahwa mereka turut mengendalikan hasil suatu keputusan. Penelitian terhadap orientasi pengendalian ini telah di uji di berbagai setting eksperimen
yang
hasilnya
menunjukkan
kecenderungan
terhadap voice
effect (Lindquist, 1995). Hal ini terutama terjadi ketika bawahan diperbolehkan
13 berpendapat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga sikap (seperti proses yang adil, kepuasan akan hasil, dan komitmen dengan hasil) dan respon perilaku dapat secara positif meningkat (Hunton & Beeler, 1997). Jadi berdasarkan beberapa pandangan beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan keadilan prosedural adalah persepsi dan pandangan karyawan terhadap keadilan semua proses, maupun prosedur keputusan dalam organisasi seperti keharusan membayar imbalan, evaluasi, promosi dan tindakan disipliner.
2.1.2.2. Aturan Pokok Keadilan prosedural Aturan pokok keadilan prosedural meliputi: •
Konsistensi Prosedur yang adil harus konsisten baik dari orang satu keada orang yang lain maupun dari waktu ke waktu. Setiap orang memiliki hak dan diperlakukan sama dalam satu prosedur yang sama.
•
Minimalisasi bias Ada dua sumber bias yang sering muncul, yaitu kepentingan individu dan doktrin yang memihak. Oleh karenanya, dalam upaya minimalisasi bias ini, baik kepentingan individu maupun pemihakan harus dihindarkan.
•
Informasi yang akurat Informasi yang dibutuhkan untuk menentukan agar penilaian keadilan harus akurat adalah harus mendasarkan pada fakta. Kalau opini sebagai dasar, hal itu harus disampaikan oleh orang yang benar-benar mengetahui permasalahan, dan informasi yang disampaikan harus lengkap
•
Dapat diperbaiki Upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan penting perlu ditegakkan keadilan. Oleh karena itu, prosedur yang adil juga mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mungkin akan muncul.
•
Representatif
14 Prosedur dikatakan adil jika sejak awal ada upaya untuk melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Meskipun keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan sub-sub kelompok yang ada, secara prinsip harus ada penyertaan dari berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan kontrol juga terbuka. Dalam perkembangan selanjutnya, aspek reprensentatif ini menjadi bagian penting dari model penilaian keadilan prosedural (Lind & Tyler, 1988), yaitu model kepentingan pribadi dan model nilai-nilai kelompok. •
Etis Prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral. Dengan demikian, meskipun berbagai hal tersebut dipenuhi, bila substansinya tidak memenuhi standar etika dan moral, tidak bisa dikatakan adil.
2.1.2.3. Indikator Keadilan prosedural Menurut Al-Qarioti dan Freih (2009), indikator keadilan prosedural terdiri dari: 1. Keputusan diambil setelah mengumpulkan semua informasi yang diperlukan. 2. Karyawan mengekspresikan ide mereka secara bebas bahkan jika mereka tidak setuju dengan atasan. 3. Pemimpin menjelaskan keputusan mereka kepada karyawan mereka. 4. Pemimpin mendengarkan bawahan mereka sebelum mereka membuat keputusan. 5. Pemimpin membuat keputusan secara obyektif dan tanpa prasangka. 6. Keputusan diterapkan secara adil pada semua karyawan.
2.1.3. Keadilan Distributif 2.1.3.1. Pengertian Keadilan Distributif Dalam jurnal berjudul The Interrelationships of Organizational loyalty, Organizational Justice, and Group Cohesiveness of Public Sector Employees' in Kuwait (2009), keadilan distributif (distributive justice) ialah keadilan yang
15 berhubungan
dengan
jasa,
kemakmuran,
atau
keberadaan
menurut
kerja,
kemampuan, dan kondisi/keberadaan seseorang. Misalnya, si A mempunyai tinggi badan 190 cm dengan berat badan 95 kg. Si B memiliki tinggi badan 150 cm dengan berat badan 40 kg. Keadilan distributif berarti membagi sesuai dengan apa yang pantas dengan kondisi dan keadaan orang tersebut. Ukuran kain yang diperuntukkan guna menjahit setelan jas si A tentu tidak sama dengan si B. Kendati pun si A kita beri kain yang lebih lebar dan panjang dari si B, bukan berarti tindakan itu tidak adil. Contoh lain, Otniel yang bergelar Doktor (S-3) dan Anhar yang buta huruf tidaklah mungkin digaji sama ketika mereka bekerja pada satu intitusi yang sama. Dengan demikian, keadilan distributif boleh juga dikatakan sebagai keadilan proporsional. Ukuran keadilan di sini bukan terletak pada kesamaan gaji atau barang, tetapi sesuai proporsinya. Keadilan ini sering dihubungkan dengan pemimpin dan orang yang dipimpinnya. Distributive Justice diturunkan dari Equity Theory (Adams, 1965) dalam
jurnal
berjudul
The
Interrelationships
of
Organizational
Loyalty,
Organizational Justice, and Group Cohesiveness of Public Sector Employees' in Kuwait (2009). Premis equity theory mengemukakan bahwa seseorang cenderung untuk menilai status sosial mereka dengan penghasilan seperti rewards dan sumberdaya yang mereka terima (Greenberg, 1987). Pandangan lain mengenai keadilan distribusi mengacu pada kewajaran terhadap aktual outcome seperti beban kerja, penghasilan dan lain-lain yang diterima oleh seorang pekerja (Gilliland, 1993; Adams, 1965). Hal ini menunjukkan bahwa respon sikap dan perilaku terhadap penghasilan berkaitan dengan penghasilan yang didasarkan pada persepsi mengenai keadilan (Walster et al., 1978). Pendapat mengenai distributive justice terbentuk ketika suatu kelompok membandingkan penghasilan mereka dengan pihak lain (Anderson et al., 1969). Teori relative deprivation (Crosby, 1976) yang merupakan bagian dari distributive justice mengemukakan bahwa dalam konteks organisasi, individu membandingkan pembagian alokasi sumberdaya untuk mereka dengan pembagian untuk pihak lain. Persepsi selanjutnya terhadap ketidakcukupan (relative deprivation) dapat menyebabkan reaksi turunnya kepuasan dan mengurangi kinerja seseorang atau kelompok. Para peneliti keadilan telah secara konsisten mengidentifikasi tiga tipe persepsi keadilan, yaitu: distributif, prosedural, dan interaksional (Colquitt dalam
16 Byrne et al., 2003). Persepsi keadilan distributif menunjuk pada penilaian tentang keadilan hasil yang diterima oleh individu. Penemuan-penemuan penelitian menjelaskan bahwa keadilan distributif berhubungan dengan persepsi individu atas hubungannya dengan individu lain yang memiliki sumber daya (Marshall et al., 2001). Menurut
Greenberg
dan
Baron
(2008,
p46)
keadilan
distributif
didefinisikan sebuah bentuk keadilan organisasi yang berfokus pada keyakinan karyawan bahwa mereka telah menerima jumlah imbalan yang sesuai serta mendapatkan penghargaan. 1. Imbalan atau kompensasi
Imbalan atau kompensasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi bagaimana dan mengapa orang-orang bekerja pada suatu organisasi dan bukan pada organisasi yang lainnya.usahaan harus cukup kompetitif dengan beberapa jenis kompensasi untuk mempekerjakan, mempertahankan, dan memberi imbalan terhadap kinerja setiap individu di dalam organisasi. Sistem kompensasi dalam organisasi harus dihubungkan dengan dengan tujuan dan strategi organisasi serta keseimbangan antara keuntungan dan biaya pengusaha dengan harapan dari karyawan. Program kompensasi dalam organisasi harus memiliki empat tujuan, antara lain: a. terpenuhinya sisi legal, dengan segala peraturan dan hukum yang sesuai; b. efektifitas biaya untuk organisasi; c. keseimbangan indivdual, internal, eksternal untuk seluruh karyawan; dan d. peningkatan keberhasilan kinerja organisasi. 2. Penghargaan
Kegiatan di mana organisasi menilai kontribusi karyawan dalam rangka untuk mendistribusikan penghargaan moneter dan nonmoneter cukup langsung dan tidak langsung dalam kemampuan organisasi untuk membayar berdasarkan peraturan hukum. Penghargaan dibedakan menjadi penghargaan intrinsik (intrinsic rewards) dan penghargaan ekstrinsik (extrinsic rewards). Penghargaan ekstrinsik dibedakan menjadi penghargaan ekstrinsik langsung (gaji, upah,
17 imbalan berdasarkan kinerja) dan penghargaan ekstrinsik tidak langsung (program proteks bayaran di luar jam kerja, fasilitas-fasilitas untuk karyawan). Penghargaan intrinsik adalah penghargaan yang diterima seseorang sebagai imbalan atas pekerjaannya yang tidak dalam bentuk uang. Biasanya penghargaan tersebut dapat berupa rasa aman dalam pekerjaan, simbol status, penghargaan masyarakat dan harga diri. Penghargaan ekstrinsik langsung disebut juga penghargaan berupa uang merupakan imbalan yang diterima seseorang atas jerih payahnya dalam bentuk uang berupa gaji. Imbalan berdasarkan kinerja dapat berupa pembayaran lainnya yang berdasarkan hasil produktivitas yang terdiri dari insentif dan bonus. Teori keadilan distributif menyatakan bahwa individu dalam organisasi akan mengevaluasi distribusi setiap hasil organisasi dengan memperhatikan beberapa aturan distribusi dan aturan yang paling sering digunakan yaitu aturan hak menurut keadilan. Keadilan distributif berfokus pada persepsi keadilan akan hasil bagi karyawan dalam sebuah organisasi dan didasarkan pada gagasan ekuitas. Menurut Colquitt yang dikutip oleh Foster (2007, p58) keadilan distributif mengacu pada keseimbangan distribusi hasil organisasi berupa gaji, tunjangan dan bonus. Pada saat individu dalam organisasi mempersepsikan bahwa rasio masukan imbalan yang mereka terima seimbang,
mereka akan merasakan
kewajaran yang mengindikasikan adanya keadilan distributif. Menurut Acad (2010, p204) keadilan distributif tidak hanya berkaitan dengan imbalan tetapi juga dengan hukuman, akan tetapi hukuman dalam organisasi juga harus diberikan secara adil sesuai dengan perilaku negatif karyawan. Menurut Sounders dan Thornlhil yang dikutip oleh Searle dan Skinner (2011, p286). Keadilan distributif merupakan suatu anggapan mengenai keadilan hasil oleh organisasi dalam hubungannya dengan individu dan input kelompok. Keadilan ini didominasi oleh teori kesamaan khususnya dalam hal bagaimana individu mengevaluasi dan bereaksi terhadap perlakuan yang berbeda. Jadi, berdasarkan beberapa pandangan beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan distributif merupakan keadilan atas hasil kerja baik individu maupun kelompok, yang bukan hanya semua karyawan mendapatkan
18 keadilan imbalan saja, akan tetapi keadilan hukuman juga harus diberlakukan secara adil bagi mereka.
2.1.3.2. Dua Prinsip Keadilan Distributif Menurut John Rawls (2013) John Rawls merumuskan dua prinsip keadilan distributif, sebagai berikut: a. The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip the greatest equal principle, menurut penulis, tidak lain adalah ”prinsip kesamaan hak” merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang (i.c. para kontraktan). Prinsip ini merupakan ruh dari azas kebebasan berkontrak. b. Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan azas atau prinsip berikut: (1) the different principle, dan (2) the principle of fair equality of opportunity. Prinsip ini diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang (Prinsip Perbedaan Obyektif). Prinsip kedua, yaitu “the different principle” dan ”the principle of (fair) equality of opportunity”, menurut penulis merupakan “prinsip perbedaan obyektif”, artinya prinsip kedua tersebut menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehingga secara wajar (obyektif) diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness. Dengan demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai dengan azas proprosionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif. Dengan penekanannya yang begitu kuat pada pentingnya memberi peluang yang sama bagi semua pihak, Rawls berusaha agar keadilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak dan sosialisme di lain pihak. Rawls mengatakan bahwa
19 prinsip (1) yaitu the greatest equal principle, harus lebih diprioritaskan dari prinsip (2) apabila keduanya berkonflik. Sedang prinsip (2), bagian b yaitu the principle of (fair) equality of opportunity harus lebih diprioritaskan dari bagian a yaitu the different principle. Keadilan harus dipahami sebagai fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati pelbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pertanggungjawaban moralitas ”kelebihan” dari mereka yang beruntung harus ditempatkan pada ”bingkai kepentingan” kelompok mereka yang kurang beruntung. “The different principle” tidak menuntut manfaat yang sama (equal benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik (reciprocal benefits), misalnya, seorang pekerja yang terampil tentunya akan lebih dihargai dibandingkan dengan pekerja yang tidak terampil. Disini keadilan sebagai fairness sangat menekankan azas resiprositas, namun bukan berarti sekedar ”simply reciprocity”, dimana distribusi kekayaan dilakukan tanpa melihat perbedaan-perbedaaan obyektif di antara anggota masyarakat. Oleh karenanya, agar terjamin suatu aturan main yang obyektif maka keadilan yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice, artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus terefleksi melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula. Terkait dengan kompleksitas hubungan kontraktual dalam dunia bisnis, khususnya terkait dengan keadilan dalam kontrak, maka berdasarkan pikiran-pikiran tersebut di atas kita tidak boleh terpaku pada pembedaan keadilan klasik. Artinya analisis keadilan dalam kontrak harus memadukan konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi – kontra prestasi) sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan komutatif maupun konsep keadilan distributif sebagai landasan hubungan kontraktual. Memahami keadilan dalam kontrak tidak boleh membawa kita kepada sikap monistic (paham tunggal), namun lebih dari itu harus bersikap komprehensif. Dalam keadilan komutatif yang menjadi landasan hubungan antara person, termasuk kontrak, hendaknya tidak dipahami sebagai kesamaan semata karena pandangan ini akan membawa ketidakadilan ketika dihadapkan dengan ketidakseimbangan para pihak yang berkontrak. Dalam keadilan komutatif didalamnya terkandung pula
20 makna distribusi-proporsional. Demikian pula dalam keadilan distributif yang dipolakan dalam hubungan negara dengan warga negara, konsep distribusiproporsional yang terkandung di dalamnya dapat ditarik ke perspektif hubungan kontraktual para pihak.
2.1.3.3. Tingkatan Keadilan Distributif Menurut Van den Bos (1999) dalam jurnal berjudul keadilan sosial (2000), keadilan distributif terletak pada tiga tingkatan, yaitu: •
Keadilan distributif terletak pada nilai. Pada tingkat nilai, keadilan hanya berlaku sesuai dengan nilai yang dianut. Prinsip pemerataan dikatakan adil karena nilai tersebut dianut.
•
Keadilan distributif terletak pada perumusan nilai-nilai menjadi peraturan. Meskipun satu prinsip keadilan distributif telah disepakati sehingga ketidakadilan pada tingkat nilai menjadi tidak muncul, belum tentu keadilan distributif telah ditegakkan.
•
Keadilan distributif terletak pada implementasi peraturan. Untuk menilai distribusi adil atau tidak, dapat dilihat dari tegaknya peraturan yang diterapkan. Bila peraturan yang disepakati tidak dijalankan sama sekali atau dijalankan sebagian, keadilan distribusi tidak tercapai.
2.1.3.4. Indikator Keadilan Distributif Menurut Al-Qarioti dan Freih (2009), indikator dari keadilan distributif adalah: 1. Karyawan mendapatkan banyak tunjangan. 2. Gaji adil dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan. 3. Tunjangan didistribusikan secara merata.
21 2.1.4. Kohesifitas Grup 2.1.4.1. Pengertian Kohesifitas Grup Ketika membicarakan kelompok sosial, kelompok dikatakan dalam keadaan kohesi ketika anggotanya memiliki ikatan yang menghubungkan mereka satu sama lain dan dengan kelompok secara keseluruhan. Meskipun kohesi adalah proses multi - terfaktor, dapat dipecah menjadi empat komponen utama: hubungan sosial, hubungan tugas, kesatuan dirasakan, dan emosi. Anggota kelompok sangat kohesif lebih cenderung untuk berpartisipasi dan mudah untuk tinggal bersama kelompok. Ada cara yang berbeda untuk mendefinisikan kohesi kelompok, tergantung pada bagaimana
peneliti
konsep
konsep
ini.
Namun,
sebagian
besar
peneliti
mendefinisikan kohesi menjadi komitmen tugas dan atraksi interpersonal ke grup. Kohesi dapat lebih spesifik didefinisikan sebagai kecenderungan untuk kelompok berada dalam kesatuan saat bekerja menuju tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan emosional anggotanya. Definisi ini mencakup aspek-aspek penting dari kekompakan, termasuk multidimensionality, sifat dinamis, secara instrumental, dan dimensi emosional. Multidimensionality mengacu pada bagaimana kohesi didasarkan pada banyak faktor. Sifat dinamis mengacu pada bagaimana secara bertahap berubah dari waktu ke waktu dalam kekuatan dan bentuk dari waktu kelompok terbentuk ketika kelompok dibubarkan. Secara instrumental mengacu pada bagaimana orang berpadu untuk beberapa tujuan, apakah itu untuk tugas atau untuk alasan sosial. Dimensi emosional yang mengacu pada bagaimana kohesi yang menyenangkan bagi anggota kelompoknya. Definisi ini dapat digeneralisasi untuk sebagian besar kelompok ditandai dengan definisi kelompok dibahas di atas. Kelompok-kelompok ini termasuk tim olahraga, kelompok kerja, unit militer, kelompok persaudaraan, dan kelompok sosial. Namun, penting untuk dicatat bahwa peneliti lain mengklaim bahwa kohesi tidak dapat digeneralisasi pada banyak kelompok. Selain komitmen tugas dan atraksi interpersonal, kebanggaan kelompok dapat dimasukkan dalam definisi kohesi. Kebanggaan kelompok adalah ketika anggota kelompok seperti ideologi bahwa kelompok mendukung dan berbagi perasaan bahwa menjadi anggota kelompok adalah penting. Dalam dunia industri dan organisasi karyawan dituntut untuk dapat bekerja
22 dalam tim, untuk kelancaran kerja tim itu sendiri tidak terlepas dari adanya kohesifitas terhadap kelompok. Menurut Robbins (2012) kohesifitas kelompok adalah tingkat dimana para anggota kelompok saling tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap tinggal di dalam kelompok. Dalam dunia industri dan organisasi karyawan dituntut untuk dapat bekerja dalam tim, untuk kelancaran kerja tim itu sendiri tidak terlepas dari adanya kohesifitas terhadap kelompok. Menurut Robbins (2012) kohesifitas kelompok adalah tingkat dimana para anggota kelompok saling tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap tinggal di dalam kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa kohesifitas kelompok merupakan daya tarik emosional sesama anggota kelompok kerja dimana adanya rasa saling menyukai, membantu, dan secara bersama-sama saling mendukung untuk tetap bertahan dalam kelompok kerja dalam mencapai suatu tujuan bersama.
2.1.4.2. Indikator Kohesifitas Kelompok Menurut Al-Qarioti dan Freih (2009), indikator kerjasama dan kekompakan kelompok adalah: 1. Kerjasama membantu kinerja yang lebih baik. 2. Bertukar ide dan saran dengan rekan-rekan. 3. Saling mendukung dengan rekan-rekan. 4. Percayalah rekan-rekan. 5. Rekan membantu dalam melaksanakan tugas. 6. Anggota kelompok mengintegrasikan setiap pekerjaan lain. 7. Rendahnya tingkat konflik negatif.
23 2.1.4.3. Faktor-faktor Kohesifitas Kelompok Menurut Robbins (dalam Munandar, 2001) ada terdapat beberapa faktor yang menentukan tinggi rendahnya kohesifitas kelompok, yaitu: 1. Lamanya waktu bersama dalam kelompok, makin lama berada bersama dalam kelompok maka akan saling mengenal, makin dapat timbul sikap toleran terhadap yang lain. 2. Parahnya masa awal, maksudnya adalah makin sulit seseorang diterima di dalam kelompok kerja sebagai anggota, makin lekat kelompoknya. 3. Besarnya kelompok, makin besar kemlompoknya maka makin sulit terjadi interaksi yang intensif antar para anggotanya, makin kurang lekat kelompoknya. 4. Ancaman dari luar, kebanyakan penelitian mengatakan bahwa kelekatan kelompok akan bertambah jika kelompok mendapat ancaman dari luar. 5. Keberhasilan di masa lalu, setiap orang menyenangi pemenang. Jika satu kelompok kerja, memiliki sejarah yang gemilang, maka terbentuklah esprit de crops yang menarik anggota-anggota baru, kelekatan kelompok akan tetap tinggi.
2.1.5. Loyalitas organisasi 2.1.5.1. Pengertian Loyalitas organisasi Di antara para peneliti pertama yang dijelaskan pentingnya kesetiaan adalah Walton. Dalam pendapatnya, kinerja dalam organisasi meningkatkan ketika organisasi bergerak dari pendekatan konvensional kontrol berorientasi terhadap pendekatan manajemen staf melalui loyalitas (Armstrong, 2000). Penurunan kontrol diamati di mana loyalitas dan komitmen untuk bekerja ada. Dengan kata lain, dan komitmen adalah dua metode yang berbeda untuk mempertimbangkan perilaku dan pendekatan staf, dan perbedaan besar dalam hasil mereka diamati ketika masingmasing dari mereka diterapkan. Untuk berbicara singkat, kesetiaan dalam suatu organisasi memiliki dampak langsung terhadap efisiensi kerja dan menyebabkan kurang translokasi staf, lebih efisien penggunaan sumber daya, dan efisiensi yang lebih tinggi (Burgi, 2001).
24 2.1.5.2. Indikator Loyalitas organisasi Menurut Al-Qarioti dan Freih (2009), indikator loyalitas organisasi terdiri dari: 1. Siap untuk mengerahkan usaha maksimal di tempat kerja. 2. Merasa bahwa itu adalah kewajiban untuk mengerahkan usaha maksimal. 3. Siap untuk melakukan pekerjaan yang dibutuhkan oleh organisasi. 4. Bicara secara positif dengan teman-teman tentang organisasi. 5. Tertarik pada nasib organisasi. 6. Merasa bangga sedang bekerja di organisasi atau merasa senang memilih bekerja dalam organisasi. 7. Memiliki nilai yang sama dengan organisasi. 8. Memiliki kesempatan kerja yang lebih baik dalam organisasi daripada peluang kerja lain yang mungkin. 9. Tidak keberatan melakukan pekerjaan lain dalam organisasi memahami kebijakan organisasi. 10. Banyak manfaat dari tinggal bekerja untuk organisasi. 11. Tidak akan meninggalkan organisasi karena perubahan persyaratan kerja. 12. Mengambil keputusan yang tepat dengan memilih untuk bekerja bagi organisasi. 13. Merasa loyal terhadap organisasi.
2.1.5.3. Jenis Loyalitas organisasi Walker menempatkan staf dalam empat kategori berikut sesuai dengan kesetiaan mereka: •
Benar-benar setia; staf yang merasa berkomitmen untuk perusahaan dan rencana mereka untuk tinggal di perusahaan dan bekerja di masa depan
•
Diakses; staf yang memiliki rasa komitmen terhadap perusahaan mereka, tetapi perubahan masa depan, seperti perubahan keluarga dan masalah lainnya dapat menyebabkan mereka untuk meninggalkan perusahaan
•
Terjebak; staf yang tidak berkomitmen untuk bekerja di perusahaan, tetapi mungkin tinggal di perusahaan untuk beberapa alasan seperti upah dan hak-hak istimewa.
25 •
Resiko tinggi; baik mereka berkomitmen untuk bekerja bagi perusahaan mereka juga tidak pernah dimaksudkan untuk bekerja untuk perusahaan di masa depan. Staf dari kategori kedua dan keempat (risiko diakses dan tinggi) adalah
orang-orang yang kita dapat mempengaruhi persepsi mereka dan mengubahnya menjadi staf yang benar-benar setia. Tapi, mungkin kelompok ketiga adalah mereka yang kurang dapat mengubah persepsi mereka, sehingga upaya ini untuk meningkatkan dua kategori karyawan lebih efektif. Dalam klasifikasi lain, Kelman menyatakan tiga basis untuk kesetiaan, yaitu: •
Kepatuhan; asosiasi dan keterlibatan yang diperlukan untuk imbalan eksternal yang spesifik.
•
Identifikasi; asosiasi berdasarkan kecenderungan untuk menjadi anggota organisasi.
•
Internalisasi; didasarkan pada keselarasan dari nilai-nilai individu dan organisasi (Askkanasy et al.,2000).
2.2.
Penelitian Terdahulu Berikut ini penelitian yang sebelumnya yang telah dilaksanakan terkait
penelitian yang dibahas.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Obyek No.
Pengarang
Judul
Hasil Penelitian Penelitian
The
Keadilan
Internationalship
prosedural
PH.Mohamad Kasem Akhmad
Public Sector s of
Al-Karyoti dan
memiliki Employees’ in
Organizational
1 PH. Hamed
hubungan yang Kuwait
Loyalty,
signifikan positif
Organizational
rendah dengan
Sulaiman Freih
26 Justice, and
loyalitas
Group
organisasi.
Cohesiveness of Public Sector Employees’ in Kuwait The Impacts of Semua hipotesis Organizational dari penelitian ini Morteza Akbar
Justice and adalah
Zadeh Saufi,
Psycological
Muhamad Ali
Empowerment
diterima sesuai dengan angka yang Siahsarani Kojuri, on Job Involvement 2
Meisam Badi,dan
Organizational
Hamed
Citizenship
Agheslouei
Behavior: The
signifikan kecuali untuk hubungan antara keadilan organisasi
Mediating Effevt dan perilaku warga of Job organisasi. Involvement Impact of
Keadilan
Hafiz Kashif
Organizational
prosedural
Iqbal, Umair Aziz
Justice on
An empircial berpengaruh evidence from 3
and Anam
Organizational
positif dan kuat
Tasawar
Citizenship
terhadap
Behavior: An
organizational
pakistan
27 Empirical
citizenship
Evidence from
perilaku,
Pakistan
sedangkan keadilan distributif berpengaruh positif tetapi lemah dalam memprediksi karyawan extrarole perilaku di lembaga-lembaga pendidikan dari Pakistan.
Sumber: Penulis, 2014
2.3.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan tinjauan pustaka maka kerangka pemikiran penelitian sangat
dibutuhkan sebagai alur berpikir sekaligus sebagai landasan untuk menyusun hipotesis penelitian. Penyusunan kerangka pemikiran juga akan memudahkan pembaca untuk memahami permasalahan utama yang dikaji dalam penelitian ini. Secara lengkap kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar berikut.
28
Keadilan Prosedural
Keadilan Distributif
Loyalitas organisasi
Kohesifitas Grup
Sumber: Penulis, 2014
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Keterangan : Menggambarkan pengaruh secara langsumg
2.4.
Hipotesis Dari kerangka pemikiran dan tinjauan diatas, dapat dirumuskan
hipotesis atau dugaan sementara terhadap variable-variabel penelitian yang digunakan sebagai berikut.
Untuk T-1 Ho : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara keadilan prosedural terhadap loyalitas organisasi. Ha : Terdapat pengaruh yang signifikan antara keadilan prosedural terhadap loyalitas organisasi.
Untuk T-2 Ho : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara keadilan distributif terhadap loyalitas organisasi. Ha : Terdapat perngaruh yang signifikan antara keadilan distributif terhadap loyalitas organisasi.
29
Untuk T-3 Ho : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kohesifitas group terhadap loyalitas organisasi. Ha : Terdapat pengaruh yang signifikan antara kohesifitas group terhadap loyalitas organisasi.
Untuk T-4 Ho : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara keadilan prosedural, keadilan distributif dan kohesifitas group terhadap loyalitas organisasi. Ha : Terdapat pengaruh yang signifikan antara keadilan prosedural, keadilan distributif dan kohesifitas group terhadap loyalitas organisasi.