BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1
Manajemen
2.1.1.1 Pengertian Manajemen Menurut George R.Terry : Manajemen merupakan suatu proses khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Menurut James A.F. Stoner : Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian dan penggunaan sumberdaya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Manajemen (pengelolaan) adalah hal yang dilakukan oleh para manajer. Dimana manajer adalah seseorang yang melakukan koordinasi dan pengawaan terhadap pekerjaan orang lain demi mencapai sasaransasaran organisasi. Penjelasan yang lebih baik adalah manajemen melibatkan aktivitasaktivitas koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif.
8
2.1.1.2 Fungsi-Fungsi Manajemen Menurut Fayol setiap manajer menjalankan lima buah fungsi: perencanaan (planning), penataan (organizing), penugasan (commanding), pengkoordinasian (coordinating), dan pengendalian (controlling). Di masa kini, perencanaan (planning), penataan (organizing), kepemimpinan (leading),
pengkoordinasian
(coordinating),
dan
pengendalian
(controlling). 1) Perencanaan seorang manajer akan mendefinisikan sasaran-sasaran, menetapkan strategi untuk mencapai sasaran-sasaran itu, dan mengembangkan mengkoordinasikan
rencana
kerja
berbagai
untuk
aktivitas
memadukan
menuju
dan
sasaran-sasaran
tersebut. 2) Penataan dimana seorang manajer melakukan penataan, ia akan menentukan tugas-tugas apa yang harus dikerjakan, siapa-siapa yang akan melakukannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokan, siapa yang harus melapor kepada siapa, dan dimana keputusankeputusan akan diambil. 3) Kepemimpinan, seorang manajer memotivasi para bawahannya, membantu
mereka menyelesaikan konflik
diantara mereka,
mengarahkan para individu atau kelompok-kelompok individu dalam bekerja, memilih metode komunikasi yang paling efektif, atau
9
menangani beragam isu lainnya yang berkaitan dengan perilaku karyawan. 4) Pengendalian suatu bentuk evaluasi untuk mengetahui sejauh mana segala sesuatunya berjalan sesuai rencana. Untuk memastikan sasaransasaran
dapat
dicapai
dan
pekerjaan-pekerjaan
diselesaikan
sebagaimana mestinya, seorang manajer harus mengawasi dan menilai kinerja aktual. Kinerja aktual ini harus dibandingkan dengan sasaransasaran yang digariskan. bila sasaran-sasaran ini belum tercapai, adalah tugas manajemen untuk mengembalikannya pada jalur yang benar. Proses pengawasan, penilaian (evaluasi), dan koreksi ini adalah apa yang disebut sebagai fungsi pengendalian.
2.1.2 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Mathis & Jackson (2006:3) Manajemen Sumber Daya Manusia-SDM (human resource- HR Management) adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan organisasional. Menurut Cushway (2002) Manajemen Sumber Daya Manusia adalah bagian dari proses organisasi dalam mencapai tujuan.
10
Menurut Hasibuan (2005) Manajemen Sumber Daya Manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Jadi menurut pengertian di atas dapat disimpulkan Manajemen Sumber Daya Manusia adalah ilmu untuk merancang proses organisasi dengan memastikan penggunaan sumber daya manusia secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi.
2.1.2.2 Aktivitas SDM Manajemen SDM terdiri atas beberapa kelompok aktivitas yang saling berhubungan yang terjadi dalam konteks organisasi. Selain itu, semua manajer yang memiliki tanggung jawab SDM harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan eksternal –hukum, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan teknologi –ketika menyampaikan aktivitas ini. Berikut adalah tinjauan singkat tujuh aktifitas SDM : 1) Perencanaan dan Analisis SDM. Lewat perencanaan SDM, para manajer
berusaha
untuk
mengantisipasi
kekuatan
yang
akan
mempengaruhi persediaan dan tuntutan karyawan di masa depan. Sebagai bagian dari usaha mempertahankan daya saing organisasional, harus ada analisis dan penilaian efektivitas SDM.
11
2) Kesetaraan Kesempatan Kerja. Pemenuhan hukum dan peraturan tentang kesetaaran kesempatan kerja mempengaruhi semua aktivitas SDM yang lain dan integral dengan manajemen SDM. 3) Pengangkatan Pegawai. Tujuan dari pengangkatan pegawai adalah memberikan persediaan yang memadai atas individu-individu yang berkualifikasi untuk mengisi lowongan pekerjaan di sebuah organisasi. Analisis pekekrjaan merupakan dasar untuk fungsi pengangkatan pegawai.
Deskripsi
pekekrjaan dan spesifikasi
pekerjaan digunakan ketika merekrut para pelamar. 4) Pengembangan SDM. Dimulai dengan orientasi karyawan baru, pengembangan SDM
juga meliputi pelatihan keterampilan
pekerjaan. 5) Kompensasi dan Tunjangan. Memberikan penghargaan kepada karyawan atas pelaksanaan pekerjaan melalui gaji, insentif, dan tunjangan.
Para
pemberi
kerja
harus
mengembangkan
dan
memperbaiki sistem upah dan gaji dasar mereka, program insentif juga mulai diguanakan. Kenaikan yang cepat dalam hal biaya tunjangan, terutama tunjangan kesehatan, akan terus menjadi persoalan utama. 6) Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan. Jaminan atas kesehatan fisik dan mental serta keselamatan para karyawan adalah hal yang sangat penting.
12
7) Hubungan Karyawan dan Buruh/Manajemen. Hubungan antara para manajer dan karyawan mereka harus ditangani secara efektif apabila karyawan dan organisasi ingin sukses bersama.
2.1.3
Pelatihan
2.1.3.1 Pengertian Pelatihan Untuk mengetahui istilah yang tepat maka terlebih dahulu perlu diketahui beberapa definisi dari pelatihan yang dikutip dari beberapa ahli . 1) Mathis & Jackson (2006:301) menyatakan pelatihan adalah sebuah proses dimana orang mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan organisasional. Karena proses ini berkaitan dengan berbagai tujuan organisasional, pelatihan dapat dipandang secara sempit atau luas. Dalam pengertian terbatas,
pelatihan
memberikan
karyawan
pengetahuan
dan
keterampilan yang spesifik dan dapat diidentifikasi untuk digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini. Kadang-kadang ditarik perbedaan antara
pelatihan
dan
pengembangan,
dimana
pengembangan
mempunyai cakupan yang lebih luas dan berfokus pada pemberian individu dengan kapabilitas baru yang berguna untuk pekerjaan sekarang maupun masa depan.
13
2) Veithzal Rivai (2004:226) menyatakan pelatihan adalah proses secara sisitematis mengubah tingkah laku pegawai untuk mencapai tujuan organisasi. 3) Dessler (2004) menyatakan pelatihan merupakan proses mengajarkan keterampilan
yang
dibutuhkan
karyawan
untuk
melakukan
pekerjaannya. 4) Menurut pelatihan
Sastradipoera dapat
(2006)
dianggap
menyatakan
sebagai
suatu
pengembangan proses
dan
penyampaian
pengetahuan, keterampilan, dan pembinaan sikap dan kepribadian para pekerja atau calon pekerja yang dilaksanakan dengan cara terbimbing dan sistematis, dan dengan menggunakan metodik dan didaktik yang relevan untuk keduanya.
2.1.3.2 Faktor-Faktor yang Berperan dalam Pelatihan Menurut Veithzal Rivai (2004:240) dalam melaksanakan pelatihan ini ada beberapa faktor yang beperan yaitu instruktur, peserta, materi (bahan), metode, tujuan pelatihan, dan lingkungan yang menunjang. Dalam menentukan teknik-teknik pelatihan dan pengembangan, timbul masalah mengenai trade-off. Oleh karena itu, tidak ada teknik tunggal yang terbaik. Metode pelatihan terbaik tergantung dari bebrapa faktor. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dan berperan dalam pelatihan :
14
1) cost-efectiveness (efektivitas biaya) 2) materi program yang dibutuhkan 3) prinsip-prinsip pembelajaran 4) ketepatan dan kesesuaian fasilitas 5) kemampuan dan prefrensi peserta pelatihan 6) kemampuan dan prefrensi instruktur pelatihan
2.1.3.3 Tujuan Pelatihan Tiga jenis tujuan pelatihan yang dapat ditetapkan adalah : 1) Pengetahuan : Menanamkan informasi kognitif dan perincian untuk peserta pelatihan. Sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif. 2) Keterampilan
:
Mengembangkan
perubahan
perilaku
dalam
menjalankan kewajiban-kewajiban pekerjaan dan tugas. Sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional. 3) Sikap : menciptakan ketertarikan dan kesadaran akan pentingnya pelatihan. Sehingga menimbulkan kemajuan kerjasama dengan temanteman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).
15
2.1.3.4 Manfaat Pelatihan Manfaat pelatihan menurut Veithzal Rivai (2004:231) 1) Manfaat bagi karyawan : (1) Membantu karyawan mengatasi stres, tekanan, frustrasi, dan konflik (2) Meningkatkan kepuasan kerja dan pengakuan (3) membantu menghilangkan rasa takut melaksanakan tugas baru (4) membantu
karyawan
dalam
membuat
keputusan
dan
pemecahan masalah yang lebih efektif (5) Membantu mendorong dan mencapai pengembangan diri dan rasa percaya diri 2) Manfaat bagi perusahaan (1) membantu
mempersiapkan
dan
melaksanakan
kebijakan
perusahaan (2) menciptakan iklim yang baik untuk pertumbuhan (3) membantu menangani konflik sehingga terhindar dari stres dan tekanan kerja (4) memperbaiki moral SDM
16
(5) memperbaiki pengetahuan kerja dan keahlian pada semua level perusahaan (6) mengarahkan untuk meningkatkan profitabilitas atau sikap yang lebih positif terhadap orientasi profit.
2.1.3.5 Jenis-Jenis Pelatihan Pelatihan dapat dirancang untuk memenuhi sejumlah tujuan berbeda dan
dapat
diklasifikasikan
ke
dalam
berbagai
cara.
Beberapa
pengelompokan yang umum meliputi : 1) Pelatihan yang dibutuhkan dan rutin : Dilakukan untuk memenuhi berbagai syarat hukum yang diharuskan dan berlaku sebagai pelatihan untuk semua karyawan (orientasi karyawan baru). 2) Pelatihan pekerjaan/teknis : Memungkinkan para karyawan untuk melakukan pekerjaan, tugas, dan tanggung jawab meraka dengan baik (misalnya: pengetahuan tentang produk, proses dan prosedur teknis, dan hubungan pelanggan). 3) Pelatihan antar pribadi dan pemecahan masalah : Dimaksudkan untuk mengatasi masalah operasional dan antarpribadi serta meningkatkan
hubungan
dalam
pekerjaan
organisasional
(misalnya: komunikasi antarpribadi, keterampilan-keterampilan manajerial/kepengawasan, dan pemecahan konflik).
17
4) Pelatihan perkembangan dan inovatif : Menyediakan fokus jangka panjang
untuk
meningkatkan
kapabilitas
individual
dan
organisasional untuk masa depan (misalnya: praktik-praktik bisnis, perkembangan eksekutif, dan perubahan organisasional.
2.1.3.6 Metode Pelatihan dan Pengembangan 1) Metode On-the-Job (1) Pelatihan Instruksi Kerja: Karyawan langsung belajar menjalankan pekerjaannya saat ini. Yang menjadi instruktur bisa pelatih khusus, atasan/supervisor, atau rekan kerja yang berpengalaman. (2) Rotasi Jabatan: Karyawan berpindah-pindah dari satu jabatan ke jabatan lainnya. Ini penting untuk membuat karyawan ahli dalam berbagai pekerjaan sehingga bisa cepat menggantikan karyawan lain yang cuti, absen, diberhentikan, atau mengundurkan diri. (3) Magang dan Coaching: Dengan magang karyawan belajar pada karyawan lain yang lebih berpengalaman, meskipun bisa juga dikombinasikan dengan pelatihan di kelas di luar jam kerja. Coaching mirip dengan magang karena seorang coach (pembimbing) berusaha memberi contoh untuk ditiru karyawan yang sedang dilatih (trainee). Coaching biasanya dilakukan langsung oleh supervisor atau manajer dari karyawan yang bersangkutan.
18
2) Metode Off-the-Job (1) Ceramah dan Presentasi Video: Ceramah dan metode off-the-job lainnya lebih mengandalkan komunikasi dibandingkan contoh. Ceramah adalah cara yang populer karena relatif murah dan bisa mengatur bahan belajar untuk disampaikan dengan baik. Namun, partisipasi, umpan balik, kecepatan transfer, dan pengulangannya seringkali rendah. Hal ini bisa diatasi dengan menyisipkan sesi diskusi dalam ceramah. Presentasi melalui televisi, film, dan slide mirip dengan ceramah, bahkan hal tersebut bisa lebih menarik bagi peserta pelatihan. (2) Vestibule Training: Vestibule training adalah pelatihan yang menggunakan tiruan dari situasi kerja yang sesungguhnya, misalnya menggunakan tiruan bank, rumah sakit, hotel, dan sebagainya. (3) Role Playing dan Behavior Modeling: Dalam role playing (bermain peran) para karyawan mencoba memainkan peran tertentu yang ada dalam situasi kerja yang nyata. Misalkan saja ada karyawan yang memainkan peran manajer yang sedang memberi saran kepada bawahannya, dan ada karyawan yang memerankan bawahan tersebut. Dalam behavior modeling para karyawan berusaha meniru perilaku kerja tertentu sampai mereka benar-benar menguasai. Rekaman video bisa membantu para karyawan untuk mengamati perilaku mereka sendiri dan memperoleh umpan balik untuk penyempurnaan.
19
(4) Studi Kasus: Dengan studi kasus para karyawan mempelajari situasi nyata atau rekaan yang bisa terjadi dalam pekerjaan mereka. Di sini mereka bisa meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. (5) Simulasi: Simulasi biasanya menggunakan mesin canggih yang bisa memunculkan situasi kerja yang nyata. Mesin itu disebut simulator, misalnya saja ada simulator pesawat terbang, kapal laut, kereta api, dan sebagainya. Ada pula simulator yang berupa program komputer yang bisa mensimulasikan strategi-strategi dalam bekerja, misalnya strategi bisnis, olah raga, dan sebagainya. (6) Belajar Mandiri dan Pembelajaran Terprogram: Para karyawan bisa mempelajari sendiri pekerjaannya dengan bantuan bahan-bahan instruksional yang dirancang sedemikian rupa. Cara ini sangat berguna jika posisi karyawan tersebar secara geografis sehingga sulit mengumpulkan mereka pada satu lokasi. Dengan perkembangan komputer, cara ini menjadi lebih mudah karena para karyawan bisa lebih cepat memperoleh umpan balik dan panduan melalui program komputer yang dirancang sedemikian rupa untuk menyampaikan materi yang bisa dipelajari sendiri oleh para karyawan. (7) Pelatihan
Laboratorium:
Dalam
pelatihan
laboratorium
para
karyawan berbagi pengalaman, perasaan, dan persepsi sehingga di sini mereka bisa meningkatkan kemampuan interpersonalnya.
20
(8) Action Learning: Dalam action learning sekelompok kecil karyawan harus memecahkan sebuah masalah nyata yang terjadi dalam organisasi. Mereka dibantu oleh seorang fasilitator yang bisa seorang konsultan dari luar atau staf internal organisasi. (9) Business game (permainan bisnis): adalah metode pelatihan dan pengembangan yang memungkinkan para peserta untuk mengambil peran-peran
seperti
presiden,
controller,
atau
vice
president
pemasaran dari dua organisasi bayangan atau lebih dan bersaing satu sama lain dengan memanipulasi faktor-faktor yang dipilih dalam suatu situasi bisnis tertentu.
2.1.3.7 Langkah-langkah dalam Proses Pelatihan Dessler (2003:217) mengatakan proses pelatihan terdiri dari lima langkah : 1) Langkah analisis kebutuhan Untuk mengetahui keterampilan kerja spesifik yang dibutuhkan, menganalisis keterampilan dan kebutuhan calon yang akan dilatih, dan mengembangkan pengetahuan khusus yang terukur serta tujuan prestasi.
21
2) Langkah merancang instruksi Untuk memutuskan, menyusun, dan menghasilkan isi program pelatihan, termasuk buku-buku kerja, latihan, dan aktivitas. 3) Langkah validasi Program pelatihan dengan menyajikannya kepada beberapa pemirsa yang bisa memiliki. 4) Langkah penerapan program Pada langkah keempat, perusahaan melatih karyawan yang ditargetkan. 5) Langkah evaluasi Manajemen perusahaan menilai keberhasilan atau kegagalan pelatihan.
2.1.3.8 Analisis Penilaian Kebutuhan Pelatihan Menurut Mathis & Jackson (2006:309) terdapat tiga sumber analisis penilaian kebutuhan pelatihan. 1.
Analisis organisasional
Kebutuhan-kebutuhan pelatihan dapat didiagnosa melalui analisis-analisiss organisasional.
Bagian
penting
22
dari
perencanaan
SDM
strategis
organisasional adalah identifikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang akan dibutuhkan dimasa depan seiring berubahnya pekerjaan dan organisasi. Baik kekuatan internal maupun eksternal akan memengaruhi pelatihan dan harus dipertimbangkan dalam melakukan analisis organisasional. Misalnya masalah-masalah yang diakibatkan oleh ketertinggalan dalam bidang teknis dari karyawan yang ada dan kurang terdidiknya kelompok tenaga kerja di mana pekerja baru diambil harus dihadapi lebih dahulu sebelum kebutuhan
pelatihan tersebut menjadi
kritis. 2.
Analisis Pekerjaan/Tugas
Membandingkan kebutuhan dalam pekerjaan dengan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan karyawan, kebuuhan-kebutuhan pelatihan dapat di identifikasi. Dengan membuat daftar tugas yang dibutuhkan dari seorang karyawan, manajemen mengadakan program untuk mengajarkan keterampilan oral tertentu. 3.
Analisis Individual
Berfokus pada individu dan bagaimana mereka melakukan pekerjaan mereka. Pendekatan paling umum dalam membuat analisis individual adalah dengan menggunakan data penilaian kerja. Kekurangan dalam kinerja seorang karyawan terlebih dulu ditentukan dalam sebuah tinjauan formal, kemudian beberapa jenis pelatihan dapat dirancang untuk membantu karyaean tersebut mengatasi kelemahan-kelemahannya. Dapat
23
juga dilakukan dengan mengadakan survei pada karyawan, baik manajerial maupun nonmanajerial mengenai pelatihan yang dibutuhkan. Survei dapat berupa kuesioner atau wawancara dengan para supervisor dan karyawan pada basis individual atau kelompok. Sumber Dari Seluruh Organisasi Keluhan
Observasi
Kecelakaan
Pengaduan
Pemborosan/sisa Wawancara keluar kerja Observasi Pelatihan Penggunaan Peralatan
Sumber Berbasis Pekerjaan PKK Karyawan Spesifikasi pekerjaan
Sumber Karyawan Individual Tes
Kuesioner
Catatan
Survei sikap Pusat penilaian Penilaian kinerja
Sumber : Mathis & Jackson (2006:310) Gambar 2.1 Analisis Penilaian Kebutuhan Pelatihan
24
2.1.3.9 Evaluasi Pelatihan Evaluasi pelatihan membandingkan hasil-hasil sesudah pelatihan pada tujuan-tujuan yang diharapkan oleh para manajer, pelatih, dan peserta pelatihan. Terlalu sering pelatihan dilakukan dengan sedikit pemikiran untuk mengukur dan mengevaluasinya untuk melihat seberapa baik hasilnya. Karena pelatihan memakan waktu dan biaya, maka evaluasi harus dilakukan. Tingkatan evaluasi adalah paling baik untuk mempertimbangkan bagaimana pelatihan akan dievaluasi sebelum pelatihan dimulai. Donald L. Kirkpatrick mengidentifikasi empat tingkatan di mana pelatihan dapat dievaluasi : 1) Reaksi : Organisasi mengevaluasi tingkat reaksi peserta pelatihan dengan melakukan wawancara atau dengan memberikan kuesioner kepada mereka. 2) Pembelajaran : Tingkat-tingkat pembelajaran dapat dievaluasi dengan mengukur seberapa baik peserta pelatihan telah mempelajari fakta, ide, konsep, teori, dan sikap. 3) Perilaku : Mengevaluasi pelatihan pada tingkat perilaku berarti, 1) mengukur pengaruh pelatihan terhadap kinerja pekerjaan melalui wawancara kepada peserta pelatihan dan rekan kerja mereka, dan 2) mengamati kinerja pada pekerjaan.
25
4) Hasil : Para pemberi kerja mengevaluasi hasil-hasil dengan mengukur pengaruh dari pelatihan pada pencapaian tujuan organisasional. Karena hasil-hasil seperti produktivitas, perputaran, kualitas, waktu, penjualan, dan biaya secara relatif konkret, jenis evaluasi ini dapat dilakukan dengan membandingkan data-data sebelum dan sesudah pelatihan.
2.1.4
Motivasi
2.1.4.1 Pengertian Motivasi Motivasi didefinisikan sebagai satu proses yang menghasilkan suatu intensitas, arah, dan ketentuan individual dalam usaha untuk mencapai satu tujuan. Motivasi adalah kesedian untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individu. Menurut Robbins & Coulter (2010:109) motivasi mengacu pada proses dimana usaha seseorang diberi energi, diarahkan, dan berkelanjutan menuju tercapainya suatu tujuan. Elemen energi adalah ukuran dari intensitas atau dorongan. Seseorang yang termotivasi menujukkan usaha dan bekerja keras. Namun, kualitas usaha itu juga harus dipertimbangkan. Usaha tingkat tinggi tidak selalu mengarah pada kinerja pekerjaan yang menguntungkan kecuali usaha
26
tersebut disalurkan ke arah yang menguntungkan organisasi. Usaha yang diarahkan dan konsisten dengan tujuan organisasi adalah jenis usaha yang kita inginkan dari para karyawan. Akhirnya, motivasi mencakup dimensi ketekunan. Meningkatkan motivasi kinerja karyawan menjadi perhatian penting dari organisasi, dan para manajer terus mencari jawabannya. Di Eropa, misalnya, beberapa survey menunjukkan bahwa karyawan Jerman dan Belgia adalah pekerja yang paling berkomitmen. Pekerja yang tidak berkomitmen ditemukan di Prancis. Sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti tentang pekerja yang tidak termotivasi, “ para karyawan ini pada dasarnya ‘orang yang tidak bekerja lagi’. mereka seperti berjalan dalam tidur di hari kerjanya, mereka memberikan waktu, tetapi bukan energi atau gairah ke dalam pekerjaan mereka”.
2.1.4.2 Unsur dan Tipe Motivasi 1. Unsur-unsur Motivasi 1) Tujuan Manusia organisasional (mereka yang mau dan mampu berprilaku secara bertujuan) yang memiliki motivasi tinggi senantiasa sadar bahwa antara tujuan dirinya dengan tujuan organisasi sama sekali tidak terpisahkan atau kalaupun terpisahkan, tidak terlalu senjang. 2) Kekuatan dari dalam diri individu
27
Manusia memiliki energi berupa energi fisik, mental, dan spiritual dalam arti luas. Kekuatan ini berakumulasi dan menjelma dalam bentuk dorongan batin seseorang untuk melakukan suatu tugas secara tepat waktu, optimal secara pelayanan, efisiensi secara pembiayaan, akurat dilihat dari tujuan yang ingin dicapai, serta mampu memuaskan klien atau pengguna. 3) Keuntungan Manusia bekerja ingin mendapatkan keuntungan adalah manusiawi dimana seseorang yang telah bekerja menurut satuan tugas dan periode waktu kerja tertentu mendapatkan keuntungan yang layak. 2. Tipe-tipe motivasi 1) Motivasi Positif Proses pemberian motivasi atau usaha membangkitkan motif, dimana hal itu diarahkan pada usaha untuk mempengaruhi orang lain agar dia bekerja secara baik dan antusias dengan cara memberikan keuntungan tertentu kepadanya. Jenis-jenis motivasi positif antara lain imbalan yang menarik, perhatian atasan terhadap bawahan, informasi tentang pekerjaan, kedudukan atau jabatan, rasa partisipasi, dianggap penting, pemberian tugas berikut tanggung jawabnya, dan pemberian kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Contohnya : bekerjalah dengan baik, jika target keuntungan tercapai Anda akan diberi bonus!
28
2) Motivasi negatif Sering dikatakan sebagai motivasi yang bersumber dari rasa takut, misalnya, jika tidak bekerja akan muncul rasa takut dikeluarkan, takut tidak diberi gaji, dan takut dijauhi oleh rekan sekerja. Motivasi negatif yang berlebihan akan membuat organisasi tidak mampu mencapai tujuan. 3) Motivasi dari dalam Motivasi dari dalam timbul pada diri pekerja waktu dia melakukan tugas-tugas atau pekerjaan dan bersumber dari dalam diri pekerja itu sendiri. motivasi muncul dari dalam individu , karena memang individu itu mempunyai kesadaran untuk berbuat. 4) Motivasi dari luar Motivasi yang muncul sebagai akibat adanya pengaruh yang ada di luar pekerjaan dan dari luar diri pekerja itu sendiri. Biasanya dikaitkan dengan imbalan.
2.1.4.3 Teori-teori Motivasi Setiap teori motivasi berusaha untuk menguraikan apa sebenarnya manusia dan manusia dapat menjadi seperti apa. Dengan alasan ini, bisa dikatakan bahwa sebuah teori motivasi mempunyai isi dalam bentuk pandangan tertentu mengenai manusia.
29
1) Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan) Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow dalam (Robbins & Coulter 2010:110) pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu: (1) Kebutuhan fisiologikal (physiological needs), yaitu kebutuhan seseorang akan makanan, minuman, tempat teduh, seks, dan kebutuhan fisik lainya. (2) Kebutuhan keamanan (safety needs), yaitu kebutuhan seseorang akan keamanan dan perlindungan dari kejahatan fisik dan emosional, serta jaminan bahwa kebutuhan fisik akan terus dipenuhi. (3) Kebutuhan sosial (social needs), yaitu kebutuhan seseorang akan kasih sayang, rasa memiliki, penerimaan, dan persahabatan. (4) Kebutuhan penghargaan (esteem needs), yaitu kebutuhan seseorang akan faktor-faktor penghargaan internal, seperti harga diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor-faktor penghargaan eksternal, seperti status, pengakuan, dan perhatian. (5) Kebutuahan aktualisasi diri (self-actualization needs), yaitu kebutuhan seseorang akan pertumbuhan, pencapain potensi
30
seseorang, dan pemenuhan diri, dorongan untuk mampu menjadi apa yang diinginkan. 2) Teori David McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi) Teori yang dikembangkan oleh David McClelland dan rekan-rekannya (Robbins & Coulter, 2010 : 113), dikenal dengan ketiga kebutuhan yaitu : (1) Kebutuhan akan prestasi, yang merupakan pendorong untuk sukses dan unggul dalam kaitannya dengan serangkaian standar. (2) Kebutuhan akan kekuasaan, yang merupakan kebutuhan untuk membuat orang lain berprilaku dengan cara dimana mereka tidak akan bersikap sebaliknya. (3) Kebutuhan akan afiliasi, yang merupakan keinginan hubungan antar pribadi yang akrab dan dekat. 3) Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG”) Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : • E = Existence (kebutuhan akan eksistensi) • R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain) • G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan). 31
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa : • Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya • Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan • Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar. Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan
32
antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya. 4) Teori Herzberg (Teori Dua Faktor) Teori yang dikemukakan oleh F.C. Herzberg, Bernand Mausner, dan Barbara Synderman dikenal dengan “Model Dua Faktor”dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau pemeliharaan Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Ahli psikologi dan konsultan manajemen Frederick Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor kepuasan. Motivasi dua faktornya memandang bahwa kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsik dan bahwa ketidakpuasan kerja berasal dari ketidakberadaan faktor- faktor ekstrinsik.
Dimana faktor faktor intinsik tersebut meliputi: •
pencapaian prestasi
•
pengakuan
•
tanggung jawab
•
kemajuan
33
•
pekerjaan itu sendiri
•
kemungkinan berkembang
Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi: •
upah
•
keamanan kerja
•
kondisi kerja
•
status
•
kebijakan perusahaan
•
mutu penyeliaan
•
mutu hubungan interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan dan bawahan.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik. 5) Teori Keadilan Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
34
• Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar • Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu : •
Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya
•
Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri
•
Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis
•
Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai.
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam 35
penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
2.1.4.4 Lima Peran untuk Memotivasi Penigkatan Kinerja (Performance) Dalam organisasi dewasa ini, manajer atau pengawas diminta untuk memainkan beberapa peran, tetapi peran terberat adalah manajer sumber daya manusia (Robert E McCreight) Dalam peran sebagai manajer sumberdaya manusia, tujuan utamanya ialah mengelola dan memotivasi karyawan untuk meningkatkan kinerja (performa). Sebenarnya peran itu dapat dibagi kedalam lima peran yang lebih kecil, yaitu : penentu sasaran, pelatih, penasihat, penilai, dan pembuat keputusan. Jika kelima peran dapat dipadukan dengan berhasil, maka hal tersebut membuka peluang bagi manajer atau pengawas untuk memotivasi peningkatan kinerja kaaryawan. 1.
Peran Penentu sasaran Membuat semua ketentuan dasar mengenai apa. Kapan, dan bagaimana pekerjaan setiap karyawan harus dilaksanakan. Peran ini berkesempatan untuk menyatukan sasaran organisasi dengan sasaran kinerja (performa) yang ditetapkan bagi setiap karyawan. Proses
36
penentuan sasaran didasarkan pada kemampuan karyawan dan sasaran tertentu yang hendak dicapai. Secara
umum,
mengidentifikasi
fungsi
peran
persyaratan
penentu performa
sasaran setiap
adalah karyawan,
untuk dan
memastikan persetujuan setiap karyawan baik mengenai persyaratan yang diidentifikasi, maupun sarana pengkajian performa terhadap persyaratan itu. Dalam peran penentu sasaran, manajer atau pengawas membimbing karyawan kepada pencapaian sasaran individu dan organisasional. 2.
Peran Pelatih Peran pelatih sangat erat berhubungan dengan peran penentu sasaran. Disini diperlukan perilaku mulai dari instruksi eksplisit “bagaimanaharus-melakukannya,” sampai ke bimbingan halus performa dari tugas atau proyek yang diberikan. Dalam peran pelatih, pengawas bertujuan membangun lingkungan kerjasama untuk memecahkan persoalan dan meningkatkan performa.
3. Peran Penasihat Sebagai penasihat, manajer atau pengawas harus melakukan lebih daripada sekedar membimbing karyawan ke performa yang lebih kompeten. Kuncinya adalah memberi dorongan kepada karyawan untuk membuat rencana peningkatan performa dan pengembangan diri mereka. Dalam peran ini manajer dapat memberikan peringatan awal 37
kepada yang berperforma marginal, tetapi sekaligus menciptakan iklim untuk memotivasi mereka yang di atas rata-rata untuk tetap berusaha sebaik mungkin. 4. Peran Penilai Diantara tugas yang menantang penilai adalah membandingkan performa karyawan dengan sasaran yang telah ditetapkan dan mendiagnosis faktor yang dapat mempengaruhi performa marginal atau di bawah standar. Selain itu, pengawas juga harus meneliti sejauh mana lingkungan pekerjaan, keterampilan karyawan atau sifat pekerjaan
itu
sendiri
mempengaruhi
karyawan
yang
hanya
menghasilkan performa di bawah standar. Tujuan utama penilai adalah untuk menentukan apakah sasaran performa karyawan telah dicapai, dan tindakan apa yang sesuai untuk menangani performa marginal atau di bawah standar. 5. Peran Pembuat Keputusan Peran pembuat keputusan erat hubungannya dengan peran lain dimana manajer atau pengawas untuk mengambil tindakan spesifik yang berdasarkan performa karyawan selama seluruh masa pengkajian. Tindakan spesifik itu dapat mencakup promosi, imbalan, kenaikan gaji, penugasan kembali, penurunan jabatan, dan pemecatan. Apapun tindakan akhir yang diambil oleh manajemen, hendaknya dapat mendorong peningkatan performa selanjutnya. 38
3.1.4.5 Proses Motivasional I. Kekurangankekurangan kebutuhan
VI. Kekurangan kebutuhan yang dinilai kembali oleh karyawan yang bersangkutan
Karyawan
V. Imbalan atau hukuman
II. Mencari cara-cara untuk memenuhi kebutuhan
III. Perilaku yang diarahkan ke tujuan
IV. Kinerja (performa evaluasi tentang tujuantujuan yang dicapai
Sumber : Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen Cet.3 Gambar 2.1 Proses Motivasional. Sebuah model inisial (Gibson, dkk., 1985 :101) Kebutuhan-kebutuhan berhubungan dengan kekurangan-kekurangan yang dialami seorang individu pada titik waktu tertentu. Adapun kekurangan tersebut dapat bersifat fisiologikal (kebutuhan pangan), psikologikal (kebutuhan akan penghargaan diri) atau sosiologikal (kebutuhan berinteraksi
secara
sosial).
Terdapatnya
kekurangan-kekurangan
kebutuhan membuat individu semakin peka terhadap upaya-upaya motivasional. Proses motivasional diarahkan pada pencapaian tujuan
39
tertentu (goal-directed). Pencapaian tujuan-tujuan yang diinginkan dapat menyebabkan timbulnya penyusutan signifikan dalam kekurangankekurangan kebutuhan (need deficiencies).
2.1.5
Kinerja
2.1.5.1 Pengertian Kinerja Menurut Mathis & Jackson, (2006:378) Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau yang tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja baik individu maupun kelompok menjadi pusat perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi. Di sebagian besar organisasi, kinerja para karyawan individual merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan organisasional. Diskusi pembuka tentang jenis pekerjaan dan menjadi seorang pemberi kerja terkemuka menekankan bahwa seberapa baik para karyawan melakukan pekerjaan mereka mempengaruhi produktivitas dan kinerja organisasional secara signifikan. Selain karyawan dalam organisasi dapat menjadi keunggulan bersaing, mereka juga bisa menjadi liabilitas atau penghambat. Ketika beberapa karyawan tahu bagaimana melakukan pekarjaannya, ketika karyawan terus
40
menerus meninggalkan organisasi, dan ketika karwayan tetap bekerja namun tidak efektif, sumber daya manusia merupakan masalah kompetitif yang menempatkan organisasi dalam kondisi yang merugi. Kinerja individu, motivasi, dan rentensi karyawan merupakan faktor utama bagi organisasi untuk memaksimalkan efektifitas sumber daya manusia individual. Secara sederhana kinerja dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh seorang karyawan selama periode waktu tertentu pada bidang pekerjaan tertentu. Seorang karyawan yang memiliki kinerja yang tinggi dan baik dapat menunjang tercapinya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Untuk dapat memiliki kinerja yang tinggi dan baik, seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya harus memiliki keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan pekerjaan yang dimilikinya. Definisi kinerja menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 67) bahwa kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanskan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut As’ad (2001:13) menyatakan kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
41
Beberapa pengertian kinerja yang dikemukakan oleh para ahli dalam Veithzal Rivai (2005:15) sebagai berikut : 1.
Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta ( Stolovitch and keeps 1992).
2.
Kinerja merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja (Griffin : 1987).
3.
Kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik ( Donnelly, Gibson and Ivancvich : 1994).
4.
Kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan individu, kelompok maupun perusahaan (Schermerhon, Hunt, and Osborn :1991).
5.
Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan, motivasi, dan kesempatan (Robbins : 1996). Tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan fungsi dari tindakan rintangan-rintangan yang mengendalikan karyawan itu. Meskipun seorang individu mungkin mampu dan bersedia bisa saja ada rintangan yang menjadi penghambat. Dari berbagai definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam
42
melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan itu
2.1.5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan Menurut Mathis & Jackson (2006:113), kinerja para karyawan adalah awal dari keberhasilan organisasi untuk mencapai tujuannya. Ada 3 faktor utama yang memperngaruhi kinerja karyawan yaitu : 1) Kemampuan individual Kemampuan indivual karyawan ini mencakup bakat, minat dan faktor kepribadian. Tingkat keterampilan, merupakan bahan mentah yang dimiliki seseorang karyawan berupa pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan teknis. Dengan demikian, kemungkinan seorang karyawan mempunyai kinerja yang baik, jika karyawan tersebut memiliki tingkat keterampilan baik maka karyawan tersebut akan menghasilkan yang baik pula. 2) Usaha yang dicurahkan Usaha yang dicurahkan dari karyawan bagi perusahaan adalah etika kerja, kehadiran dan motivasinya. Tingkat usahanya merupakan gambaran motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Dari itu kalaupun karyawan mempunyai tingkat keterampilan untuk mengerjakan pekerjaan, akan tetapi tidak akan
43
bekerja dengan baik, jika hanya sedikit upaya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan antara tingkat keterampilan dan tingkat upaya. Tingkat keterampilan merupakan cermin dari apa yang dapat dilakukan, sedangkan tingkat upaya merupakan cermin apa yang diusahakan untuk dilakukan. 3) Dukungan Organisasional Dalam dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi karyawan meliputi pelatihan dan pengembangan, peralatan, teknologi dan manajemen. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah apa yang mempengaruhi
sebanyak
mereka
memberikan
kontribusi
pada
organisasi. Menurut T.R. Mitchell (1978:343) dalam jurnal Ichsan Gorontalo Volume 4. No.2 oleh Musafir menyatakan bahwa kinerja meliputi beberapa aspek, yaitu : 1. “Quality and quantity of work” adalah sejauh mana karyawan dapat menyelesaikan suatu pekerjaan baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai standar yang berlaku di perusahaan tersebut. 2. “Promtness” adalah tingkat kemampuan karyawan dalam mematuhi seluruh aturan-aturan yang berlaku di perusahaan baik jam kerja, pakaian kerja, dan aturan-aturan lain.
44
3. “Capability” adalah sejauh mana tingkat tanggung jawab karyawan dalam melaksanakan seluruh pekerjaan yang menjadi tugasnya. 4. “Communication” kemampuan karyawan dalam hal berkomunikasi dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang terkait. 5. “Inisiative” adalah kemampuan seorang karyawan dalam berkreasi dan berinovasi dalam mengembangkan prosedur-prosedur kerja serta meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil kerja.
2.1.5.3 Tujuan Penilaian Kinerja Suatu perusahaan melakukan penilaian kinerja didasarkan pada dua alasan pokok, yaitu : (1) manajer memerlukan evaluasi yang objektif terhadap kinerja karyawan pada masa lalu yang digunakan untuk membuat keputusan di bidang SDM di masa yang akan datang; dan (2) manajer memerlukan alat yang memungkinkan untuk membantu karyawannya memperbaiki kemampuan
kinerja, dan
merencanakan
keterampilan
untuk
pekerjaan,
mengembangkan
pengembangan
karier
dan
memperkuat kualitas hubungan antar manajer yang bersagkutan dengan karyawannya. Selain itu, penilaian kinerja dapat digunakan untuk : 1. Mengetahui pengembangan, yang meliputi : (a) identifikasi kebutuhan pelatihan,(b) umpan balik kinerja, (c) menentukan transfer dan penugasan, dan (d) identifikasi kekuatan dan kelemahan karyawan.
45
2. Pengambilan keputusan administratif, yang meliputi : (a) keputusan untuk
menentukan
gaji,
promosi,
mempertahankan
atau
memberhentikan karyawan, (b) pengakuan kinerja karyawan, (c) pemutusan hubungan kerja dan (d) mengidentifikasi yang buruk. 3. Keperluan perusahaan, yang meliputi : (a) perencanaan SDM, (b) menentukan kebutuhan pelatihan, (c) evaluasi pencapaian tujuan perusahaan, (d) informasi untuk identifikasi tujuan, (e) evaluasi terhadap sistem SDM, dan (f) penguatan terhadap kebutuhan pengembangan perusahaan. 4. Dokumentasi, yang meliputi : (a) kriteria untuk validasi penelitian, (b) dokumentasi keputusan-keputusan tentang SDM, dan (c) membantu untuk memenuhi persyaratan hukum.
2.1.6 Keperawatan 2.1.6.1 Pengertian Keperawatan Keperawatan adalah suatu profesi yang mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan, mendahulukan kepentingan kesehatan masyarakat di atas kepentingan sendiri, suatu bentuk pelayanan/asuhan yang bersifat humanistik, menggunakan pendekatan holistik, dilaksanakan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan berpegang pada standar pelayanan/asuhan keperawatan serta menggunakan kode etik keperawatn sebagai tuntutan utama dalam melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan.
46
Lokakarya nasional (Januari 1983) yang merupakan awal diterimanya profesionalisme keperawatan di Indonesia, didefinisikan, “Keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-kultural-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Keperawatan merupakan bantuan, diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri”. Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang langsung diberikan kepada klien/pasien pada berbagai tatanan pelayan kesehatan. Asuhan keperawatan dilaksanakan dengan menggunakan metode proses keperawatan, berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etik dan etika keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawabnya. Praktik keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional melalui kerja sama dengan klien dan tenaga kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya.
Bantuan
individu/keluarga/komunitas
keperawatan dapat
mandiri
diberikan dalam
agar memelihara
kesehatannya sehingga mampu berfungsi secara mandiri. Pelayanan 47
keperawatan sebagai pelayanan profesional yang bersifat humanistik terintegrasi di dalam pelayanan kesehatan, dapat bersifat independen dan interdependen serta dilaksanakan dengan berorientasi kepada kebutuhan objek klien. Perawat sebagai tenaga profesional yang mempunyai kemampuan baik intelektual, teknis, maupun interpersonal dan moral yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan asuhan keperawatan.
3.1.6.2 Peran, Fungsi dan Tanggung Jawab Perawat Peran Perawat Peran merupakan sepeangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran perawat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar profesi keperawatan dan bersifat konstan. Doheny (1982) mengidentifikasi beberapa elemen peran perawat profesional, meliputi : 1.
Care giver, sebagai pemberi asuhan keperawatan;
2.
Client advocate, sebagai pembela untuk melindungi klien;
3.
Counsellor, sebagai pemberi bimbingan/konseling klien;
4.
Educator, sebagai pendidik klien;
48
5.
Collaborator, sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain;
6.
Coordinator, sebagai koordinator agar dapat memanfaatkan sumber-sumber dan potensi klien;
7.
Change agent, sebagai pembaru yang selalu dituntut untuk mengadakan perubahan-perubahan;
8.
Consultant, sebagai sumber informasi yang dapat membantu memecahkan masalah klien.
Fungsi Perawat 1.
Pelaksanaan fungsi keperawatan mandiri Tindakan keperawatan mandiri (independen) adalah aktivitas keperawatan yang dilaksanakan atas inisiatif perawat itu sendiri dengan dasar pengetahuan dan keterampilannya. Contoh, seorang perawat merencanakan dan mempersiapkan perawatan khusus pada mulut klien setelah mengkaji keadaan mulutnya.
2.
Pelaksanaan fungsi keperawatan ketergantungan Aktivitas keperawatan yang dilaksanakan atas instruksi dokter atau di bawah pengawasan dokter.
3.
Pelaksanaan fungsi keperawatan kolaboratif Aktivitas yang dilaksanakan atas kerja sama dengan pihak lain atau tim kesehatan lain.
49
Tanggung Jawab Perawat Secara umum, perawat mempunyai tanggung jawab dalam memberikan asuhan/pelayanan keperawatan, meningkatkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan diri sebagai profesi. Tanggung jawab dalam memberi asuhan keperawatan kepada klien mencakup aspek bio-psiko-sosialkultural dan spiritual, dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasarnya dengan menggunakan pendekatan proses keperawatany yang meliputi: •
Membantu klien memperoleh kembali kesehatannya;
•
Membantu klien yang sehat untuk memelihara kesehatannya;
•
Membantu klien yang tidak dapat disembuhkan untuk menerima kondisinya;
•
Membantu klien yang menghadapi ajal untuk diperlakukan secara manusiawi sesuai martabatnya sampai meninggal dengan tenang.
2.1.7 Penelitian Terdahulu 1) Jurnal oleh : Yuliati, Nuriah. (2008). Pengaruh pelatihan kerja, keselamatan kerja dan upah terhadap motivasi kerja karyawan bagian produksi di PG. Baru Sidoarjo. Eksekutif, 5(3) : 675-683. Upaya untuk meningkaatkan kualitas SDM adalah melalui adanya pendidikan dan
pelatihan. Para karyawan memerlukan pelatihan dan
pengembangan untuk mengerjakan tugas-tugas secara sukses. Pelatihan dapat dilakukan akibat adanya tingkat kecelakaan yang tinggi, semangat
50
kerja dan motivasi kerja yang menurun. Program pelatihan yang berhasil ialah yang didukung dengan sarana/prasarana yang memadai, pemberi materi yang baik dan materi pelatihan yang mudah dipahami. Pelaksanaan keselamatan kerja dalam suatu perusahaan diperlukan untuk maajemen yang baik karena termasuk dalam wadah hygiene perusahaan dan mempunyai tujuan pokok dalam upaya memajukan dan mengembangkan proses industrialisasi. Upah/ gaji merupakan salah satu untur penting dalam meningkatkan motivasi kerja sebab gaji adalah alat untuk memenuhi kebutuhan pegawai. Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan perencanaan yang tepat dalam arti memiliki keadilan internal yaitu sesuai dengan tugas,tanggung jawab, dan tingkat usaha yang dilakukan dalam pekerjaan. Selain itu, juga memenuhi keadilan eksternal yaitu gaji yang diterima sebagai gaji/upah yang ada di perusahaan lain untuk pekerjaan yang sama. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa variabel pelatihan kerja, keselamatan kerja, dan gaji mempunyai pengaruh pada motivasi kerja karyawan bagian produksi di PG. Candi baru Sidoarjoo.
51
2) Jurnal oleh : Nawab, S., Bhatti, K.K., Shafi K. (2011) Effect of Motivation on Employees Performance. Interdisiplinary Journal of Contemporary Research in Business, 3(3) : 1209-1216 Conclusion We think that Motivation is most essential component of an Employee overall performance and it has opened a new strategic window for the organization. Future research is needed to identify organization results most affected by motivated employee’s activities, and to determine in which situation intrinsic rewards are more beneficial and in which extrinsic are more useful. After conducting our study successfully we have concluded that the motivation factor is a very handy and useful tool to enhance the performance of employees. By using this tool the managers of any organization will be in a position to open new windows and opportunities for them. In advanced the results gained by any organization can be checked by observing the on job working activities and also to find out in which situation the rewards are beneficial for the performance enhancement. 3) Skripsi oleh Jeremy, “Analisis Pengaruh Pelatihan dan Motivasi terhadap Kinerja Karyawan pada PT.Inalum”, Universitas Bina Nusantara 2008. Penelitian dilakukan menggunakan metode statistik deskriptif dan statistik analitis. Perangkat analisis yang digunakan adalah analisis korelasi dan analisis regresi berganda untuk mengetahui seberapa besar
52
pengaruh pelatihan dan motivasi terhadap kinerja karyawan kantor pusat PT. Inalum. Data dikumpulkan melalui wawancara dan kuesioner yang dibagikan pada 35 orang lalu dilakukan analisis korelasi dan regresi menggunakan program SPSS 16. Disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara pelatihan dan motivasi terhadap kinerja. Hal ini didapat pada derajat tingkat kepercayaan 95%, dimana koefisien korelasi pelatihan terhadap kinerja sebesar 0,524 dan koefisien korelasi motivasi terhadap kinerja sebesar 0,555. Hasil analisis koefisien korelasi diperkuat dengan analisis regresi pengaruh pelatihan dan motivasi secara simultan terhadap kinerja karyawan kantor pusat PT. Inalum sebesar 0,356. Implikasi penelitian ini menyimpulkan bahwa pelatihan dan motivasi berpengaruh terhadap seluruh karyawan kantor pusat PT. Inalum yang berjumlah 35 orang, sebesar 35,6% dan sisanya sebesar 64,4% dipengaruhi oleh hal-hal lain seperti stres kerja, masalah keluarga. Dari penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa motivasi yang diberikan kepada karyawan juga lebih berpengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan kantor pusat PT.Inalum dibandingkan dengan pelatihan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya pengaruh motivasi terhadap kinerja sebesar 0,308 atau 30,8%
dibandingkan besarnya pengaruh pelatihan
terhadap kinerja sebesar 0,275 atau 27,5%.
53
2.2
Kerangka Pemikiran
Pelatihan •
Instruktur
•
Peserta
•
Materi (bahan)
•
Metode
•
Tujuan Pelatihan
•
Lingkungan yang Menunjang
Kinerja
Menurut Veithzal Rivai (2004)
•
Kuantitas dan kualitas
•
Kedisiplinan
•
Kemampuan
•
Komunikasi
•
Inisiatif
Motivasi •
Motivasional (intrinsik) ‐ Pencapaian prestasi ‐ Pengakuan ‐ Tanggung jawab ‐ Kemajuan ‐ Pekerjaan itu sendiri ‐ Kemungkinan berkembang • Hygiene (ekstrinsik) ‐ Upah ‐ Keamanan kerja ‐ Kondisi kerja ‐ Status ‐ Kebijakan perusahaan ‐ Mutu penyeliaan ‐ Mutu hubungan interpersonal
Menurut T.R. Mitchell (1978:343)
Menurut Herzberg (1966)
Sumber : Peneliti Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran 54
2.3 Hipotesis Untuk T-1 : Ho
: Pelatihan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat Rumah Sakit Jakarta
Ha
: Pelatihan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat Rumah Sakit Jakarta
Untuk T-2 : Ho
: Motivasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat Rumah Sakit Jakarta
Ha
: Motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat Rumah Sakit Jakarta
Untuk T-3 : Ho
: Pelatihan dan Motivasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat Rumah Sakit Jakarta
Ha
: Pelatihan dan Motivai berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat Rumah Sakit Jakarta
55