BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Theory of Planned Behavior Dalam Theory of Planned Behavior (TPB) dijelaskan bahwa perilaku yang ditimbulkan oleh individu muncul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat untuk berperilaku ditentukan oleh tiga faktor (Mustikasari, 2007), yaitu: a. Behavioral Beliefs Behavioral beliefs merupakan keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut. b. Normative Beliefs Normative beliefs yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut. c. Control Beliefs Control beliefs merupakan keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power). Penelitian tentang kepatuhan pajak telah banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya yang menggunakan teori tersebut adalah penelitian Mustikasari (2007). Dikaitkan penelitian ini, Theory of Planned of
9
10
Behavior relevan untuk menjelaskan perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebelum individu melakukan sesuatu, individu tersebut akan memiliki keyakinan mengenai hasil yang akan diperoleh dari perilaku tersebut. Kemudian yang bersangkutan akan memutuskan bahwa akan melakukannya atau tidak melakukannya. Hal tersebut berkaitan dengan kesadaran wajib pajak. Wajib pajak yang sadar pajak, akan memiliki keyakinan mengenai pentingnya membayar pajak untuk membantu menyelenggarakan pembangunan negara (behavioral beliefs). 2. Social Learning Theory (Teori Pembelajaran Sosial) Teori pembelajaran sosial mengatakan bahwa seseorang dapat belajar lewat pengamatan dan pengalaman langsung (Jatmiko,2006). Menurut Bandura (1977) dalam Jatmiko (2006), proses dalam pembelajaran sosial meliputi: 1. Proses perhatian (attentional) 2. Proses penahanan (retention) 3. Proses reproduksi motorik 4. Proses penguatan (reinforcement) Proses perhatian yaitu orang hanya akan belajar dari seseorang atau model, jika mereka telah mengenal dan menaruh perhatian pada orang atau model tersebut. Proses penahanan adalah proses mengingat tindakan suatu model setelah model tidak lagi mudah tersedia. Proses reproduksi motorik adalah proses mengubah pengamatan menjadi perbuatan. Sedangkan
11
proses penguatan adalah proses yang mana individu-individu disediakan rangsangan positif atau ganjaran supaya berperilaku sesuai dengan model (Bandura, 1977 dalam Jatmiko, 2006). Jatmiko (2006) menjelaskan bahwa teori pembelajaran sosial ini relevan untuk menjelaskan perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak. Seseorang akan taat membayar pajak tepat pada waktunya, jika lewat pengamatan dan pengalaman langsungnya, hasil pungutan pajak itu telah memberikan kontribusi nyata pada pembangunan di wilayahnya. Seseorang juga akan taat pajak apabila telah menaruh perhatian terhadap pelayanan pajak, baik fiskus maupun sistem pelayanan pajaknya. 3. Pajak Membahas mengenai perpajakan tidak terlepas dari pengertian pajak itu sendiri, menurut Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra Prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Sedangkan menurut P. J. A. Andriani dalam bukunya Waluyo, (2009 : 2) : “Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” Pengertian pajak menurut Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakkan nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), sebagaimana telah
12
diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomer 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1) adalah : “Kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang – Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dari definisi di atas terdapat persamaan pandangan atau prinsip mengenai pajak. Perbedaan mengenai kedua definisi tersebut hanya pada penggunaan gaya bahasa atau kalimatnya saja. Kedua pendapat tersebut mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang. b. Tidak ada timbal jasa (Kontraprestasi) secara langsung. c. Dapat dipaksakan. d. Hasilnya untuk membiayai pembangunan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dan tidak mendapatkan prestasi-prestasi kembali yang secara langsung dapat ditunjuk. Fungsi Pajak Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang mempunyai dua fungsi (Mardiasmo 2011 : 1), yaitu : a. Fungsi Penerimaan (Revenue budgetary) Pajak berfungsi sebagai sumber dna yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran – pengeluaran pemerintah baik yang bersifat
13
rutin maupun untuk membiayai pembangunan Negara
demi
kesejahteraan bangsa. b. Fungsi Mengatur (Regulatory) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakkan pemerintah dalam bidang social dan ekonomis.
Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga sistem (Mardiasmo, 2011: 7), yaitu sebagai berikut : a. Official Assessment system Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. b. Self Assessment System Adalah
suatu
sepenuhnya
sistem kepada
pemungutan Wajib
yang memberi wewenang
Pajak
untuk
menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. c. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
14
4. Pajak Penghasilan Setiap tahun pajak dalam tahun berjalan, bulan januari sampai desember, wajib pajak berkewajiban membayar pajak dengan menyetorkan ke kas Negara dari penghasilan yang mereka peroleh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Definisi penghasilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Pasal 4 ayat 1) tentang Pajak Penghasilan, yang dimaksud dengan penghasilan adalah sebagai berikut : Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan berdasarkan ketentuan tersebut maka, Djoko Muljono (2006:27) memberikan pengertian tentang Pajak Penghasilan yaitu : Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dari pengertian penghasilan diatas, maka yang dimaksud pajak penghasilan dapat diartikan yaitu : pungutan yang bersifat resmi yang ditarik oleh pemerintah berdasarkan ketentuan perpajakan dan yang menjadi objeknya adalah masyarakat yang berpenghasilan atas penghasilan yang diterima dan diperoleh dalam tahun pajak sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakannya.
15
5. Wajib Pajak Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 mengenai pembahasan tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terdapat pengertian-pengertian atau istilah yang sudah baku. Pengertian-pengertian atau istilah-istilah tersebut, antara lain adalah : Pengertian Wajib Pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 (Pasal 1 ayat 2) menyebutkan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Pengertian Badan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 (Pasal 1 ayat 3) menyebutkan bahwa Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Menurut Mardiasmo (2011:14) Wajib Pajak adalah berikut ini: Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Dapat disimpulkan bahwa wajib pajak adalah orang atau badan yang berkewajiban
melaksanakan
kewajiban
perpajakannya
sesuai
ketentuan yang berlaku dalam hukum perpajakan di Negara Indonesia.
dengan
16
Kewajiban dan Hak Wajib Pajak Dari pengertian wajib pajak yang telah dijabarkan diatas selain wajib pajak memiliki kewajiban, wajib pajak juga diberi hak-hak dari pelaksanaan kewajibannya tersebut. Melalui ketetapan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, KUP Tahun 2007, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 (Pasal 3 ayat 1), ada beberapa kewajiban dan hak yang dimiliki oleh wajib pajak. Kewajiban Wajib Pajak adalah sebagai berikut : a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. b. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar. c. Mengisi dengan benar SPT (SPT diambil sendiri), dan dimasukkan ke Kantor Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang ditentukan. d. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan. e. Jika diperiksa wajib : 1) Memperlihatkan dan/atau
meminjamkan buku
atau
catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. 2) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemerikasaan. 3) Memberi keterangan yang diperlukan.
17
f. Apabila dalam mengungkap pembukuan, pencatatan atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan. Adapun beberapa hak-hak Wajib Pajak diantaranya adalah sebagai berikut: a. Mengajukan surat keberatan atau surat banding. b. Menerima tanda bukti SPT. c. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukan. d. Mengajukan permohonan penundaan pemasukan SPT. e. Mengajukan permohonan penundaan atau penganggsuran pembayaran pajak. f. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak. g. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak. h. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi serta pembetulan Surat Ketetapan Pajak yang salah. i. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya. j. Apabila Wajib Pajak dipotong oleh pemberi kerja, Wajib Pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh pasal 21 kepada pemotong pajak, mengajukan surat keberatan dan permohonan pajak. 6. Pemeriksaan Pajak Pemeriksaan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah “serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau
18
bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. DJP diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan, undang-undang juga membatasi kewenangan tersebut agar jangan sampai pemeriksaan tersebut dilakukan secara sewenangwenang. Untuk itulah diatur Tata Cara Pemeriksaan Pajak sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 545/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000. Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini diatur tentang norma pemeriksaan, hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dalam pemeriksaan, kewewenangan pemeriksa dan kewajiban pemeriksa selama dalam pemeriksaan. Menurut Early Suandy ( 2008) tujuan pemeriksaan adalah: 1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan a. SPT lebih bayar dan/atau rugi b. SPT tidak disampaikan atau terlambat c. SPT memenuhi kriteria yang ditentukan Dirjen pajak untuk diperiksa d. Adanya indikasi tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban selain kewajiban pada angka (2) 2. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perturan perundangundangan perpajakan. a. Pemberian atau pencabutan NPWP
19
b. Pemberian pengukuhan penghasilan kena pajak c. Penentuan besarnya angsuran pajak suatu masa untuk WP baru. d. WP mengajukan keberatan dan banding e. Pengumpulan bahan guna menyusun norma perhitungan f. Pencocokan data/atau keterangan g. Penentuan WP berlikasi didaerah tertentu h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN dan/atau PPH pasal 21 i. Tujuan perpajakan lainyna selain (1) sampai dengan (8). Jenis dan Prioritas Pemeriksaan Jenis pemeriksaan Pajak meliputi: a. Pemeriksaan rutin, yaitu pemeriksaan yang bersifat rutin, dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya b. Pemeriksaan khusus, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan adanya keterangan atau masalah yang berkaitan dengannya c. Pemeriksaan Bukti Permulaan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan d. Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan atas cabang perwakilan, pabrik dan atau tempat usaha dari Wajib Pajak lokasi
20
e. Pemeriksaan Tahun Berjalan, yaitu pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang dilakukan dalam tahun berjalan untuk jenis-jenis pajak tertentu atau seluruh jenis pajak (all taxes) dan untuk mengumpulkan data atau keterangan atas kewajiban pajak lainnya Sedangkan prioritas pemeriksaan pajak, meliputi: a. Pemeriksaan rutin terhadap SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi atau Badan yang menyatakan lebih bayar dan atau SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang menyatakan lebih bayar dan atau SPT Masa PPN yang menyatakan meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak b. Pemeriksaan Bukti permulaan c. Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi d. Pemeriksaan khusus e. Pemeriksaan rutin selain pemeriksaan rutin di poin a f. Pemeriksaan Tahun Berjalan
Ketentuan Pemeriksaan Kegiatan pemeriksaan pajak merupakan salah satu alat pengawasan dalam rangka menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya (KEPUTUSAN DJP NOMOR KEP - 232/PJ./2002). Pemeriksaan dilakukan untuk menguji tingkat kepatuhan wajib pajak atau ketaaan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya. SPT merupakan dasar yang mengawali untuk dilakukannya pemeriksaan, SPT yang dilaporkan
21
oleh wajib pajak akan dapat menentukan apakah wajib pajak akan dilakukan pemeriksaan atau tidak. Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha Wajib Pajak selama periode tertentu. SPT merupakan sarana komunikasi antara wajib pajak dengan fiskus untuk mempertanggungjawabkan pemenuhan seluruh kewajiban perpajakan perusahaan selama kurun waktu tertentu. Sehingga dalam kaitannya dengan pemeriksaan pajak, SPT merupakan objek pemeriksaan. SPT merupakan sinopsis dari objak pajak selama periode tertentu (tahunan atau masa) diperlukan suatu penjelasan yang dihasilkan dari mekanisme pembukuan. Pemeriksaan akan tetap dilakukan karena masih banyak wajib pajak yang tingkat kepatuhannya masih rendah, setelah dilakukan penilaian norma-norma pengukuran tertentu yaitu dengan sistem kriteria tertentu. Terhadap wajib pajak yang SPT-nya menyatakan lebih bayar sesuai ketantuan pasal 17 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagai mana diubah terkhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU KUP), yang memenpati urutan prioritas tertinggi. Selanjutnya pemeriksaan yang dilakukan terhadap wajib pajak tertentu dan wajib pajak yang tingkat kepatuhanya masih rendah atau terhadap wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu (Bwoga et all, 2006).
22
Pemeriksaan
akan
dilakukan
terhadap
wajib
pajak
yang
menyampaikan SPT jumlah penghasilan yang lebih rendah dari pada yang sebenarnya (understatement of income) di satu pihak dan atau melaporkan biaya yang lebih besar dari pada yang sebenarnya (overstatement of the deductions) di lain pihak. Bentuk yang lebih parah adalah apabila wajib pajak sama sekali tidak melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Di Indonesia perbuatan yang termasuk dalam tax evasion diancam dengan hukuman pidana fiskal yang diatur dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007. Dalam tujuan pemeriksaaan, pemeriksaan dilakukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam ketepatan pelaporan SPT. Bila wajib pajak tidak menyampaikan SPT tepat pada waktunya atau terlambat diancam dengan sanksi administrasi berupa denda administrasi. Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah: a. Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak b. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau c. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
23
SPT harus lengkap, tanpa meninggalkan atau melalaikan salah satu syarat yang harus diisi, dan tepat dalam ketepatan waktu menyampaikan SPT yang sudah diisi. Ketepatan waktu dalam melaporkan SPT merupakan hal yang wajib bagi wajib pajak. Ketepatan waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan sangat diperlukan karena, melalui SPT akan dapat diukur tingkat kepatuhan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
7. Kepatuhan Wajib Pajak Kondisi perpajakan yang menuntun keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi, yaitu, kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya.Karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh wajib pajak, bukan fiskus selaku pemungut pajak. Sehingga kepatuhan diperlukan dalam self assessment system, dengan tujuan pada penerimaan pajak yang optimal.Kepatuhan memenuhi perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung self assessment system, di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya tersebut. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi wajib pajak
24
yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perajakan (Devano dan Rahayu, 2006:110). Safri Nurmantu dalam Devano dan Rahayu (2006:110) mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai berikut ”Kepatuhan perpajakan merupakan suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.” Definisi kepatuhan wajib pajak menurut Devano dan Rahayu (2006:112) adalah sebagai berikut: “Kepatuhan wajib pajak adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang belaku dalam suatu negara.” Predikat wajib pajak patuh dalam arti disiplin dan taat, tidak sama dengan wajib yang berpredikat pembayar pajak dalam jumlah besar, tidak ada hubungan antara kepatuhan dengan jumlah nominal setoran pajak yang dibayarkan kepada kas negara. Karena pembayar pajak terbesar sekalipun belum tentu memenuhi kriteria sebagai wajib pajak patuh, meskipun memberikan kontribusi besar pada negara, jika masih masih memiliki tunggakan maupun keterlambatan penyetoran pajak maka tidak dapat diberi predikat wajib pajak patuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak Menurut Devano dan Rahayu (2006:112) kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara.
25
2. Pelayanan pada wajib pajak. 3. Penegakan hukum perpajakan. 4. Pemeriksaan pajak. 5. Tarif pajak Administrasi perpajakan di Indonesia masih perlu diperbaiki, dengan perbaikan diharapkan wajib pajak lebih termotivasi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dengan alat untuk mencapai suatu sistem telah diperbaiki maka faktor-faktor lain akan terpengaruh. Administrasi baik karena intansi pajak, sumber daya aparat pajak, dan prosedur perpajakannya baik. Dengan kondisi tersebut maka usaha memberikan pelayanan bagi wajib pajak akan lebih baik, lebih cepat, dan menyenangkan wajib pajak. Dampaknya akan tampak pada kerelaan wajib pajak untuk membayar pajak. Wajib pajak akan patuh (karena tekanan) karena mereka berfikir adanya sanksi berat akibat tindakan illegal dalam usahanya untuk menyelundupkan pajak. Tindakan pemberian sanksi tersebut terjadi jika wajib pajak terdeteksi dengan administrasi yang baik dan terintegrasi serta melalui aktivitas pemeriksaan oleh aparat pajak yang berkompeten dan memiliki integrasi tinggi melakukan tindakan tax evasion. Penurunan tarif pajak juga akan mempengaruhi motivasi wajib pajak membayar pajak. Dengan tarif pajak yang rendah otomatis pajak yang dibayar pun tidak banyak.
26
Macam-macam kepatuhan Devano dan Rahayu (2006:110) menyebutkan ada dua macam kepatuhan yaitu: a. Kepatuhan formal adalah keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undangundang perpajakan. b. Kepatuhan material adalah keadaan di mana wajib pajak secara substantive atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan.” Misalnya, ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 30 April. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan sebelum atau pada tanggal 30 April, maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, namun isinya belum tentu memenuhi semua ketentuan material, yaitu suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebelum batas waktu berakhir.
27
Indikator kepatuhan wajib pajak Kepatuhan wajib pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak dalam Devano dan Rahayu (2006:110) sebagai “suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana: 1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan. 2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. 3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. 4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.” Menurut Nasucha dalam Devano dan Rahayu (2006:111) kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari: 1. Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri. 2. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan. 3. Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang. 4. Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.” Kemudian merujuk pada kriteria wajib pajak patuh menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 235/KMK.03/2003, bahwa kriteria kepatuhan wajib pajak adalah: 1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir.
28
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk menganggur atau menunda pembayaran pajak. 3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir. 4. Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%. 5. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh akuntan public dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.” 8. Pelayanan Fiskus Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat telah menjadi program khusus Direktorat Jenderal Pajak. Ini sesuai dengan visi yang telah dicanangkan untuk menjadi model pelayanan masyarakat yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat. Penunjukan Account Representative (AR) untuk melayani wajib pajak secara khusus, merupakan upaya khusus agar wajib pajak benar-benar memahami seluk beluk perpajakan (Nasution, 2006:63). Menurut Asubonteng, McCleary & Swan dalam Aryobimo (2012) menekankan bahwa “Kualitas pelayanan itu penting bagi penyedia jasa
29
karena sebagai evaluasi kualitas pelayanan yang diberikan dan tingkat kepuasan pelanggan.” Menurut Oliver dalam Aryobimo (2012) mengungkapkan bahwa: “Pelanggan akan menilai kualitas pelayanan yang mereka dapatkan rendah jika kinerja tidak sesuai dengan yang mereka harapkan dan kualitas pelayanan akan meningkat jika kinerjanya sesuai dengan yang mereka inginkan.” Dikaitkan dengan pelayanan perpajakan maka dapat didefinisikan sebagai pelayanan dalam bentuk jasa di bidang perpajakan oleh Direktorat Jendral Pajak melalui satuan kerja yang ada dibawahnya dalam rangka memenuhi ketentuan perpajakan yang telah ditetapkan dan dapat menjadi sumbangan terbesar penerimaan negara. Salah satu aspek yang menjadi peranan penting bagi fiskus yang dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak adalah aspek pelayanan terhadap wajib pajak. Brady dan Cronin dalam Aryobimo (2012) menyatakan bahwa “Pelayanan fiskus merupakan penilaian atau perilaku dari wajib pajak yang berhubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh fiskus di dalam kantor pajak kepada wajib pajak.” M.Zain (2008:35) menyatakan bahwa: “Para petugas di intansi pajak, hendaknya di latih untuk memahami bahwa wajib pajak bukanlah merupakan lawan tetapi lebih merupakan anggota masyarakat yang perlu di tolong dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya atau dengan perkataan lain, rasa hormatmenghormati, dan respek hendaknya muncul dari kedua belah pihak.” Kegiatan yang dilakukan petugas pajak atau fiskus dengan menyapa masyarakat agar menyampaikan SPT tepat waktu, termasuk penyuluhan secara kontinyu melalui berbagai media, serta pawai peduli NPWP di jalan, patut
30
untuk dipuji.Dengan penyuluhan secara terus-menerus kepada masyarakat agar mengetahui, mengakui, menghargai, dan menaati ketentuan pajak, diharapkan tujuan penerimaan pajak bisa berhasil. Hak dan Kewajiban Fiskus Suandy (2011:120) menjelaskan terdapat hak-hak fiskus yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah sebagai berikut: a. Menerbitkan
Nomor
Pokok
Wajib
Pajak
(NPWP)
dan/atau
mengukuhkan b. Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara jabatan. c. Menertibkan Surat Tagihan Pajak. d. Melakukan pemeriksaan dan penyegelan. e. Melakukan penyidikan. f. Menerbitkan Surat Paksa dan melaksanakan penyitaan.” Selanjutnya Suandy (2011:121) menjelaskan bahwa terdapat kewajiban fiskus yang diatur dalam undang-undang perpajakan diantara lain sebagai berikut: a. Kewajiban untuk melakukan penyuluhan kepada wajib pajak. b. Menerbitkan surat ketetapan pajak. c. Merahasiakan data wajib pajak.” Pelayanan di KPP Modern Pelayanan publik adalah pelayanan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah atau badan usaha lain yang tidak termasuk badan usaha swasta, yang tidak berorientasi pada laba. Pelayanan perpajakan termasuk
31
kedalam pelayanan publik karena dilaksanakan oleh instansi pemerintah, yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan Undang-undang dan tidak berorientasi pada laba. Pada awal tahun 2003 dibentuk tim Modernisasi perpajakan jangka menengah yang menyusun administrasi perpajakan modern dengan sasaran: a. Tercapainya tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi b. Tercapainya tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi c. Tercapainya produktivitas aparat perpajakan yang tinggi sehingga diharapkan penerimaan pajak akan meningkat. Dengan adanya modernisasi perpajakan telah terjadi perubahan paradigma dalam berbagai aspek yang berkaitan dengan perpajakan saat ini, dimana perubahan paradigma
tersebut terkait dengan
kinerja
pelayanan
perpajakan yang diberikan Direktorat Jenderal Pajak, beberapa upaya dalam meningkatkan kinerja pelayanan tersebut menyangkut aspek di antaranya: a. Dari segi organisasi berubah dari berdasarkan “jenis pajak” menjadi berdasarkan “fungsi”. b. Sistem dan proses kerja, berubah dari manual menjadi berdasarkan sistem (Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak) dengan case manajement.
Hal
informatika terkini.
ini
terkait
dengan
pemanfaatan
teknologi
32
c. Lebih mengedepankan aspek pelayanan kepada wajib pajak dengan adanya help desk maupun Account Representative. d. Adanya unit khusus yang menangani keluhan, sehingga dapat menjadi masukan berharga dalam merawat dan memperbaiki pelayanan secara berkelanjutan. e. Tuntutan profesional sumber daya manusia dalam bekerja. f. Adanya “kode Etik Pegawai” yang sebelumnya tidak ada, seirama dengan pelaksanaan good governance dan equal treatment dapat berjalan dengan baik. Ketentuan perpajakan, yang berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatur pelaksanaan perpajakan telah dikeluarkan dalam Keputusan Menteri Keuangan : 65/KMK.01/2002 tentang organisasi dan tata kerja kantor wilayah direktorat jenderal pajak wajib pajak besar dan kantor pelayanan pajak wajib pajak besar. Ketentuan perpajakan ini secara umum membahas masalah modernisasi perpajakan, integritas dan produktivitas sebagai pegawai yang masih harus ditingkatkan. Modernisasi tidak hanya sebatas pada alat, perangkat dan sistem, Metri Keuangan Sri Mulyani berharap modernisasi mental dan integritas aparat jauh lebih penting. Kode etik pegawai perpajakan pun diperketat, dan pengawasan jauh lebih tegas.
33
Ragam Kegiatan Pelayanan Menurut Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (KEPMENPAN) 63/KEP/M.PAN/7/2003
tentang Pedoman Umum
Pelayanan Publik, yang mengharuskan setiap penyelenggaraan pelayanan publik memiliki standar pelayanan yang dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan, termasuk pelayanan di bidang perpajakan. Agar pelayanan tersebut dapat mencapai sasaran yang diinginkan maka perlu memberi perhatian pada sarana dan prasarana serta faktor pendukung pelayanan, antara lain: a. Tempat Pelayan Terpadu Tempat Pelayan Terpadu (TPT) merupakan sarana dalam rangka melayani wajib pajak seperti memberi bantuan kepada wajib pajak. Bantuan tersebut dapat berupa pendaftaran NPWP, pelaporan SPT, menjawab pertanyaan wajib pajak tentang ketentuan perpajakan. b. Sistem Pembayaran Secara On-line Sistem ini merupakan suatu fasilitas pembayaran yang dapat dilakuakan pada Bank Persepsi yang ditunjuk dengan tujuan untuk memberikan kemudahan dan meningkatkan pelayanan bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. c. e-spt dan e-filling
34
E-spt dan e-filling merupakan suatu sistem pelaporan elektronik untuk membantu wajib pajak dalam pelaporan SPT dan bertujuan untuk mengurangkan kesalahan dalam mengimput data. d. Account Representatif (AR) AR mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan informasi yang lebih detail atas topik-topik khusus kepada wajib pajak. e. Bimbingan dan Penyuluhan Bimbingan dan Penyuluhan dilakukan secara elektronik (e-mail, website) dan mengadakan pertemuan langsung dengan wajib pajak. f. Pusat Pengaduan Pusat Pengaduan disediakan oleh DJP khususnya di KP DJP untuk mendapatkan informasi/ keluhan/ masukan terkini dari stakeholdernya yaitu dengan memberikan nomor telepon, e-mail, website, sambungan bebas pulsa, dan SMS. Seiring dengan strategi pelayanan yang disesuikan dengan wajib pajak yang berbeda-beda tingkat kepatuhannya, maka dikembangkan konsep pengawasan berbasis fungsi, sehinggga dihapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Hal ini dapat dicapai antara lain dengan cara: a. Membina komunikasi yang baik dengan wajib pajak b. Mengenali
kebiasaan
pelaporan/penyetoran
mendorong mereka untuk patuh
wajib
pajak
dan
35
c. Membangun kerjasama yang baik dengan seksi terkait untuk saling mendukung menyelesaikan tugas tepat waktu agar pelayanan kepada wajib pajak lebih optimal 9. Penerimaan Pajak Penerimaan pajak adalah penghasilan yang diperoleh oleh pemerintah yang bersumber dari pajak rakyat. Tidak hanya sampai pada definisi singkat di atas bahwa dana yang diterima di kas negara tersebut akan dipergunakan untuk pengeluaran pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana maksud dari tujuan negara yang disepakati oleh para pendiri awal negara ini yaitu menyejahterakan rakyat, menciptakan kemakmuran yang berasaskan kepada keadilan sosial. Untuk
dapat mencapai
tujuan ini,
negara
harus melakukan
pembangunan di segala bidang. Sebagai sebuah negara yang berdasarkan hukum material/sosial, Indonesia menganut prinsip pemerintahan yang menciptakan kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, ketersediaan dana yang cukup untuk melakukan pembangunan merupakan faktor yang sangat penting. Dalam menjamin ketersediaan dana untuk pembangunan ini, salah satu cara yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pemungutan pajak. Beberapa faktor yang berperan penting dalam menjamin optimalisasi penerimaan pajak adalah: 1. Kejelasan dan Kepastian Peraturan Perundang-undangan dalam Bidang Perpajakan
36
Secara formal, pajak harus dipungut berdasarkan undang-undang demi tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak Namun, keberadaan undang-undang saja tidaklah cukup. Undang-undang haruslah jelas, sederhana dan mudah dimengerti, baik oleh fiskus, maupun oleh pembayar pajak. Timbulnya konflik mengenai interpretasi atau tafsiran mengenai pemungutan pajak akan berakibat pada terhambatnya pembayaran pajak itu sendiri. 2. Tingkat Intelektualitas Masyarakat Sejak tahun 1984, sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip Self Assessment. Prinsip ini memberikan kepercayaan penuh kepada pembayar pajak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dalam bidang perpajakan, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Pasal 4 ayat (1) menyatakan: “wajib pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya”. Sementara di Pasal 12 ayat (1) dinyatakan: “setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak”. Dalam hal ini, pembayar pajak mengisi sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) yang dibuat pada setiap akhir masa pajak atau akhir tahun pajak. Selanjutnya, fiskus melakukan penelitian dan pemeriksaan mengenai kebenaran pemberitahuan tersebut. Dengan menerapkan prinsip ini, pembayar pajak harus memahami peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan sehingga dapat
37
melakukan tugas administrasi perpajakan. Untuk itu, intelektualitas menjadi sangat penting sehingga tercipta masyarakat yang sadar pajak dan mau memenuhi kewajibannya tanpa ada unsur pemaksaan. Namun, semuanya itu hanya dapat terjadi bila memang undang-undang itu sendiri sederhana, mudah dimengerti, dan tidak menimbulkan kesalahan persepsi. 3. Kualitas Fiskus (Petugas Pajak) Kualitas fiskus sangat menentukan di dalam efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Bila dikaitkan dengan optimalisasi target penerimaan pajak, maka fiskus haruslah orang yang berkompeten di bidang perpajakan, memiliki kecakapan teknis, dan bermoral tinggi. 4. Sistem Administrasi Perpajakan yang Tepat Seberapa besar penerimaan yang diperoleh melalui pemungutan pajak juga dipengaruhi oleh bagaimana pemungutan pajak itu dilakukan. Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005), enam sasaran utama yang dilakukan pemerintah pada tahun 1984 dalam reformasi perpajakan mencakup: 1. Penerimaan negara dari sektor perpajakan menjadi bagian dari negara yang mandiri dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional. 2. Pemerataan dalam pengenaan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. 3. Menjamin adanya kepastian. 4. Sederhana.
38
5. Menutup peluang penghindaran pajak dan/atau penyelundupan pajak oleh wajib pajak dan penyalahgunaan wewenang oleh petugas pajak. 6. Memberikan dampak yang positif dalam bidang ekonomi. Pada tahun 2007 pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak kembali melakukan reformasi perpajakan dengan tetap dilatarbelakangi semangat empat azas di atas. Tahapan reformasi dibagi menjadi dua jilid. Reformasi Jilid Satu meliputi tiga kegiatan utama yaitu modernisasi administrasi perpajakan, reformasi kebijakan serta intensifikasi dan ekstensifikasi melalui kegiatan pemberian pelayanan yang lebih baik, terpadu dan personal dengan konsep One Stop Service, pelayanan oleh petugas Account Representative, pemanfaatan IT dalam layanan e-filing, e-SPT, e-registration, dan pembentukan call center untuk pelayanan informasi dan pengaduan. Selain itu, rasa keadilan juga dirasakan Wajib Pajak melalui tindakan penegakan hukum seperti pemeriksaan, penagihan dan penyidikan yang lebih transparan dan profesional serta penerapan dan penegakan good governance di semua lini. Reformasi Jilid Dua dengan fokus utama pada dua hal, yaitu Sistem dan Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Reformasi Jilid Dua terdiri dari beberapa kegiatan, antara lain pengembangan SDM melalui peningkatan kapasitas dan kompetensi pegawai, kegiatan Mapping, Profiling dan Benchmarking yang terotomasi, penyempurnaan pelayanan pembayaran dan kegiatan perbaikan yang meliputi aspek core business DJP melalui program yang disebut Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR).
39
PINTAR merupakan program penyempurnaan sistem administrasi perpajakan untuk mendukung reformasi administrasi yang dilakukan DJP. Program ini mengadopsi "best practice" sistem administrasi perpajakan di dunia baik dalam aspek pelayanan perpajakan maupun pengawasan kepatuhan. Program PINTAR yang dimulai pertengahan tahun 2009 dan akan berakhir tahun 2013 bertujuan menyediakan layanan perpajakan lebih baik dengan memperbaiki tata kelola administrasi yang lebih transparan dan akuntabel yang pada akhirnya akan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Dalam Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak tanggal 22 Juni 2009 tersebut, PINTAR dibagi ke dalam 4 (empat) komponen, yaitu: 1. Komponen A: Penyempurnaan Sistem dan Proses Bisnis Utama (Core Business Process) Komponen ini bertujuan memperbaiki manajemen registrasi Wajib Pajak, pengolahan surat pemberitahuan pajak dan pembayaran pajak, pembuatan rekening (Tax Account) Wajib Pajak, pengembangan manajemen dokumen dan pengembangan Arsitektur Sistem Teknologi Informasi yang terintegrasi. 2. Komponen B: Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Komponen ini mencakup: (a) perbaikan penerapan manajemen SDM dan analisa terhadap kebijakan dan regulasi tentang SDM; (b) peningkatan kemampuan program peningkatan kapasitas (capacity building) yang berkaitan dengan masalah teknis perpajakan, manajemen umum, dan
40
manajemen perubahan; dan (c) perbaikan tata kelola melalui peningkatan akuntabilitas dan integritas. 3. Komponen C: Kepatuhan Perpajakan Komponen ini berkonsentrasi pada masalah pemeriksaan dengan sistem seleksi audit berdasarkan resiko, sistem pengawasan penagihan, dan keberatan dan banding dengan mengembangkan sistem paperless yang terintegrasi dengan sistem rekening Wajib Pajak, juga dengan Sistem Informasi Pengadilan Pajak. 4. Komponen D: Manajeman Perubahan Komponen ini membantu dalam manajemen proyek melalui asistensi teknis
yang
mencakup
program
manajemen
perubahan
(change
management) yang di dalamnya termasuk kegiatan komunikasi internal dan eksternal serta pelaksanaan survei untuk memperoleh feedback. Sarana yang ditetapkan sebagai dasar penerimaan pajak adalah Modul Penerimaan Negara
yang memuat serangkaian prosedur mulai dari
penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan negara dan merupakan bagian dari Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara. Pembayaran dan/atau penyetoran pajak serta pemotongan/pemungutan pajak dinyatakan sah setelah mendapatkan NTPN dan NTB atau NTPN dan NTP atau NTPN dan NPP dan telah dilakukan rekonsiliasi oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
41
10. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu dilakukan oleh Zakiah Muhammad Syahab (2009) tentang Analisis Pengaruh Pemeriksaan Pajak, Kepatuhan Wajib Pajak, dan Penambahan Jumlah Wajib Pajak Terdaftar terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Badan Di Lingkungan Kanwil DJP Jakarta Selatan menunjukkan menunjukkan: 1) Pemeriksaan pajak di setiap KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat secara umum sudah dilakukan sesuai dengan prosedur dan tata cara tindakan pemeriksaan, Kepatuhan Wajib Pajak secara umum masih rendah, dan penambahan jumlah wajib pajak badan terdaftar secara umum juga masih rendah 2) Dalam kurun waktu selama 5 (lima) tahun yaitu tahun 2004 sampai dengan 2008, jumlah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan di KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan 3) Pemeriksaan pajak, kepatuhan Wajib Pajak dan penambahan jumlah wajib pajak badan terdaftar baik secara simultan maupun secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Harjanti Puspa Arum (2012) mengenai Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Pelayanan Fiskus, dan Sanksi Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Kegiatan Usaha dan Pekerjaan Bebas (Studi di Wilayah KPP Pratama Cilacap), dimana hasil analisis menunjukkan kesadaran wajib pajak,
42
pelayanan fiskus, dan sanksi pajak memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Penelitian lainnya dilakukan oleh Irna Febriyanti (2013) mengenai Pengaruh kewajiban kepemilikan NPWP, pemeriksaan pajak dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewajiban kepemilikan NPWP, pemeriksaan pajak dan penagihan pajak terbukti berpengaruh positif signifikan terhadap penerimaan pajak. Variabel yang mempunyai pengaruh paling signifikan terhadap penerimaan pajak adalah penagihan pajak dengan nilai beta yang paling besar diantara variabel independen lainnya sebesar (0,305). Penelitian lainnya dilakukan oleh Cindy Jotopurnomo dan Yenni Mangoting (2013) mengenai Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Kualitas Pelayanan Fiskus, Sanksi Perpajakan, Lingkungan Wajib Pajak Berada terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Surabaya, hasil penelitian menunjukkan bahwa kesadaran Wajib Pajak, kualitas pelayanan fiskus, sanksi perpajakan, dan lingkungan Wajib Pajak berada berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Surabaya. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Dimas Wibisono (2013) tentang Analisis Pemeriksaan pajak dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kemayoran menunjukkan masih terdapat hambatan dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kemayoran seperti jumlah tenaga pemeriksa yang
43
kurang dan fasilitas yang tidak memadai yang sering menghambat proses pemeriksaan. Penelitian terdahulu dilakukan oleh Zakiah (2009), Puspa Arum (2012), Irna Febriyanti (2013 Cindy Jotopurnomo dan Yenni Mangoting (2013), Dimas Wibisono (2013) yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
44
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Peneliti Zakiah Muhammad Syahab (2009)
Variabel a. Pemeriksaan Pajak b. Kepatuhan Wajib Pajak c. Penambahan Jumlah Wajib Pajak d. Penerimaan Pajak
Metode deskriptif dan verifikatif, metode studi kasus Teknik penarikan sampel dengan menggunakan populasinya, dengan mengambil semua KPP yang berada di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis Jalur
Harjanti Puspa Arum (2012)
a. Kesadaran Wajib Pajak b. Pelayanan Fiskus c. Sanksi Pajak d. Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
Irna Febriyanti (2013)
a. kewajiban kepemilikan NPWP b. pemeriksaan pajak c. penagihan pajak d. penerimaan pajak
Metode simple random sampling.. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi berganda Metode penentuan sampel convenience sampling, sedangkan metode pengolahan data analisis regresi berganda
Cindy Jotopurnomo dan Yenni Mangoting (2013)
a. Kesadaran Wajib Pajak b. Kualitas Pelayanan Fiskus c. Sanksi Perpajakan d. Lingkungan Wajib Pajak Berada e. Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi a. Pemeriksaan pajak b. penerimaan pajak
Dimas Wibisono (2013)
Data diperoleh dari responden yang terdaftar sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Sawahan Surabaya. menggunakan teknik regresi linear berganda metode/riset eksploratoria (kualitatif) dengan menggunakan metode pengumpulannya datanya yaitu wawancara
Hasil a. Pemeriksaan pajak di setiap KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat secara umum sudah dilakukan sesuai dengan prosedur dan tata cara tindakan pemeriksaan, Kepatuhan Wajib Pajak secara umum masih rendah, dan penambahan jumlah wajib pajak badan terdaftar secara umum juga masih rendah b. Dalam kurun waktu selama 5 (lima) tahun yaitu tahun 2004 sampai dengan 2008, jumlah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan di KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan c. Pemeriksaan pajak, kepatuhan Wajib Pajak dan penambahan jumlah wajib pajak badan terdaftar baik secara simultan maupun secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan. kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak
kewajiban kepemilikan NPWP, pemeriksaan pajak dan penagihan pajak terbukti berpengaruh positif signifikan terhadap penerimaan pajak. Variabel yang mempunyai pengaruh paling signifikan terhadap penerimaan pajak adalah penagihan pajak dengan nilai beta yang paling besar diantara variabel independen lainnya sebesar (0,305) kesadaran Wajib Pajak, kualitas pelayanan fiskus, sanksi perpajakan, dan lingkungan Wajib Pajak berada berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Surabaya
masih terdapat hambatan dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kemayoran seperti jumlah tenaga pemeriksa yang kurang dan fasilitas yang tidak memadai yang sering menghambat proses pemeriksaan
45
B. Kerangka Pemikiran Model konseptual dalam penelitian ini diuraikan dalam beberapa poin, yaitu sebagai berikut: 1) Keberadaaan self-assesment system memungkinkan wajib pajak untuk melakukan kecurangan pajak. Kurangnya penelitian dan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang tidak patuh dapat berdampak pada lumpuhnya system perpajakkan, maka antisipasi yang harus dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap Dengan dilakukannya pemeriksaan pajak akan mendorong timbulnya kepatuhan Wajib Pajak, sehingga akan berdampak langsung pada peningkatan penerimaan pajak pada setiap Kantor Pelayanan Pajak yang pada akhirnya akan meningkatkan pemasukkan ke dalam kas negara baik dari Pajak Penghasilan orang pribadi/badan, Pajak Pertambahan Nilai dan pajak lainnya Hipotesis :
Pemeriksaan Pajak berpengaruh secara signifikan terhadap
Penerimaan Pajak 2) Peningkatan penerimaan pajak juga tergantung dari tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan dan melunasi pajaknya, karena kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) sebelum jatuh tempo pelaporan, kepatuhan dalam penghitungan dan pembayartan, dan kepatuhan dalam pembayaran kewajiban apabila memiliki tunggakan, akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak.
46
Hipotesis :
Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh secara signifikan
terhadap Penerimaan Pajak 3) Bila ingin memaksimalkan penerimaan pajak dengan sistem selfassessment,
pemerintah
melakukan
beberapa
kegiatan
sosialisasi
perpajakan dengan tujuan memberikan pemahaman bagi masyarakat mengenai perpajakan di Indonesia. Selain itu pemerintah juga harus dapat menunjukkan bahwa pajak yang dibayar oleh masyarakat memang disalurkan untuk kepentingan masyarakat, yakni melalui transparansi administrasi perpajakan. Hipotesis :
Pelayanan Fiskus berpengaruh secara signifikan terhadap
Penerimaan Pajak 4) Self assessment system memungkinkan adanya wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik akibat dari kelalaian, kesengajaan, atau mungkin ketidaktahuan para wajib pajak atas kewajiban perpajakannya yang berakibat menurunnya jumlah penerimaan pajak Oleh karena itu, aparat perpajakan harus menanggulanginya, salah satunya dengan melaksanakan pemeriksaan pajak dan memberikan pelayanan fiskus yang baik, sehingga bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Hipotesis : Pemeriksaan Pajak, Kepatuhan Wajib Pajak, dan Pelayanan Fiskus secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap Penerimaan Pajak Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut :
47
PEMERIKSAAN PAJAK
KEPATUHAN WAJIB PAJAK
PENERIMAAN PAJAK PPH BADAN
PELAYANAN FISKUS
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
C. Hipotesis Hipotesis merupakan dugaan sementara terhadap permasalahan yang diteliti dan kebenarannya perlu diuji secara empiris. Berdasarkan pokok masalah yang akan dibahas maka hipotesis yang akan diajukan yaitu : H1
= Terdapat pengaruh yang signifikan antara pemeriksaan pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan.
H2
= Terdapat pengaruh yang signifikan antara kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan.
H3
= Terdapat pengaruh yang signifikan antara pelayanan fiskus terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan.
H4
= Terdapat pengaruh yang signifikan antara pemeriksaan pajak, kepatuhan wajib pajak, pelayanan fiskus, dan kesadaran wajib pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan.