9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1
Pajak
2.1.1.1 Pengertian Pajak Hampir seluruh kehidupan manusia dan perkembangan dunia bisnis saat ini dipengaruhi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengaruh tersebut seringkali cukup berarti, sehingga bagi para pelaku bisnis, komponen pajak merupakan komponen yang harus mendapat perhatian serius karena merupakan faktor yang menentukan bagi lancarnya suatu bisnis. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007, yang dimaksud dengan pajak adalah sebagai berikut : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Mohammad Zain (2008 : 10-11) menguutip definisi pajak dari beberapa ahli sebagai berikut :
10
a. P. J. A. Adriani “Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” b. Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R. “Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.” Menurut Mohammad Zain (2008 : 12), dari berbagai definisi tersebut di atas, baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintahan) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat dalam pengertian pajak antara lain sebagai berikut: “1. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Pemungutan pajak menginsyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (Wajib Pajak yang membayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak/administrator pajak). 3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintahan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan baik rutin maupun untuk pembangunan. 4. Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintahan terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para Wajib Pajak. 5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi pengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintah, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur/regulatif).”
11
2.1.1.2 Jenis Pajak Penggolongan jenis pajak menurut Siti Resmi (2009:7) adalah sebagai berikut : “1. Menurut golongan, pajak dapat dikelompokkan menjadi : a. Pajak langsung Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. pajak harus menjadi beban Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: pajak Penghasilan (PPh), PPh dibayar atau ditanggung oleh pihakpihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut. b. Pajak tidak langsung Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPN terjadi karena terjadi pertambahan nilai terhadap barang atau jasa. Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak yang menjual barang tetapi dapat dibebankan kepada konsumen baik secara eksplisit maupun implicit (dimasukkan dalam harga jual barang atau jasa). 2. Menurut sifatnya, pajak dapat dikelopokkan menjadi dua, yaitu: a. Pajak subjektif Pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan subjeknya. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). Dalam PPh terdapat Subjek Pajak (Wajib Pajak) orang pribadi. Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak(status perkawinan), banyaknya anak, tanggungan, dan lainnya ang selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). b. Pajak objektif Pajak yang pengenaannya memerhatikan objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memerhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak atas Barang Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan. 3. Menurut Lembaga Pemungut, dibagi menjadi dua yaitu : a. Pajak Negara (Pajak Pusat), adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga
12
b.
negara, contohnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), PPh, PPN, PPnBM dan Bea Materai. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah untuk membiayai rumah tangga daerah, contohnya Pajak Reklame dan Pajak Hiburan.”
2.1.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Siti Resmi (2008:11) dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu: “1. Self Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. 2. Official Assessment Sistem Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. 3. With Holding Sistem Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak terutang oleh wajib pajak.” Sistem pemungutan perpajakan di Indonesia menganut sistem self assessment sejak berlakunya Undang-undang No. 6,7,8 tahun 1983. Arti dari sistem self assessment adalah bahwa penentuan penetapan besarnya pajak terhutang dipercayakan kepada wajib pajak sendiri, sehingga wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, melaporkan, dan mempertanggungjawabkan sendiri pajak yang terutang. Untuk mengoperasionalkan sistem self assessment secara efektif (keadaan yang memberikan kemungkinan setiap wajib pajak dapat menghitung secara lengkap dan benar jumlah pajak yang terutang). Ketentuan perpajakan diupayakan untuk mendorong dan mengutamakan penyelenggaraan pembukuan atau
13
pencatatan untuk keperluan administrasi pajak. Wajib pajak yang belum mampu melakukan pembukuan untuk tujuan penghitungan pajak, penghasilan netonya akan dihitung berdasarkan norma penghitungan. Sebagai pendukung SPT laporan keuangan dari sistem self assessment merupakan laporan pertanggungjawaban atas kepercayaan menghitung pajak terutang yang diserahkan kepada tiap wajib pajak.
2.1.2
Pajak Penghasilan
2.1.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan Secara umum, pajak penghasilan itu sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi maupun badan. Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterimanya atau yang diperolehnya dalam tahun pajak. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) menurut Siti Resmi (2008:80) adalah sebagai berikut : “Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.” Sedangkan pengertian Pajak Penghasilan Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah : “Pajak penghasilan dikenakan kepada subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama 1 (satu) tahun pajak.”
14
Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian penghasilan dalam undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian luas, yaitu bahwa pajak dikenakan terhadap setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut, dan yang termasuk objek pajak adalah penghasilan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, maupun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.
2.1.2.2 Subjek Pajak Penghasilan Pajak dikenakan kepada orang atau sekumpulan orang yang dalam undang-undang perpajakan dinamakan wajib pajak. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007, berbunyi sebagai berikut: “Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.”
15
Wajib pajak yang dikenai pajak disebut subjek pajak. Pengertian subjek pajak itu sendiri menurut Siti Resmi (2008 : 81), yaitu : “Subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan PPh.” Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak akan dikenakan Pajak Penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Subjek pajak menurut Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 adalah sebagai berikut: “(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah: a. 1) orang pribadi; 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; b. badan; c. bentuk usaha tetap. (1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. (2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. (3) Subjek pajak dalam negeri adalah: a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
16
b.
badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; , kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan 4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. (4) Subjek pajak luar negeri adalah: a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. (5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan; d. gedung kantor; e. pabrik; f. bengkel; g. gudang; h. ruang untuk promosi dan penjualan; i. pertambangan dan penggalian sumber alam; j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
17
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.” Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 menyebutkan pengecualian terhadap subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 antara lain : “a. kantor perwakilan negara asing; b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabatpejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat: 1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan 2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.” Berdasarkan penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri merupakan orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia kurang atau lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, tetapi memperoleh penghasilan dari Indonesia.
18
2.1.2.3 Objek Pajak Penghasilan Objek Pajak Penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008, adalah sebagai berikut: “(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun di luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini; b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan 5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
19
e. f. g.
h. i. j. k. l. m. n. o.
p. q. r.
s.
pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; royalti atau imbalan atas penggunaan hak; sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; keuntungan selisih kurs mata uang asing; selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; premi asuransi; iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak; penghasilan dari usaha berbasis syariah; imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan surplus Bank Indonesia.”
Dari penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa penghasilan yang termasuk objek pajak adalah penghasilan yang setiap tambahannya mempunyai kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh secara baik, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
20
2.1.2.4 Bukan Objek Pajak Penghasilan Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008, terhadap penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh wajib pajak, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan (bukan merupakan objek pajak) yaitu : “a.
b. c.
d.
e.
f.
1.
bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan 2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, warisan harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; pengganti atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib pajak, Wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemend profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal
21
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor; g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; j. dihapus k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
22
2.1.2.5 Pengurangan atau Biaya yang Diperkenankan (Deductible Exspense) Sebelum menghitung penghasilan yang dikenakan pajak, wajib pajak terlebih dahulu akan menentukan jumlah penghasilan bruto kemudian menentukan pengurangan atau biaya/beban yang diperkenankan menurut peraturan perundangundangan perpajakan. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Jadi beban yang menjadi pengurang penghasilan bruto harus ada hubungan langsung dengan usaha seperti: produksi, manajeman, marketing, distribusi. Pengurangan atau biaya yang diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible exspense) untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 adalah : “(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk: a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: 1. biaya pembelian bahan; 2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; 3. bunga, sewa, dan royalti; 4. biaya perjalanan; 5. biaya pengolahan limbah; 6. premi asuransi;
23
7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 8. biaya administrasi; dan 9. pajak kecuali Pajak Penghasilan; b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing; f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan; h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; 4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
24
2.1.2.6 Pengurangan atau Biaya yang Tidak Diperkenankan (Non-Deductible Exspense) Berbeda dengan akuntansi komersial, untuk tujuan penghitungan penghasilan kena pajak tidak semua biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Menurut Siti Resmi (2008:115) menyatakan bahwa : “Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (nondeductible exspense) meliputi pengeluaran yang sifatnya sebagai pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.” Pengeluaran yang tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 adalah: “(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: 1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
25
d.
e.
f.
g.
h. i. j. k.
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan 6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib pajak yang bersangkutan; penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; Pajak Penghasilan; biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.”
Ikhtisar beban-beban yang dapat mengurangi (deductible) atau tidak dapat mengurangi (non deductible) penghasilan bruto dalam bentuk matriks dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut ini:
26
Tabel 2.1 Pengurangan atau Biaya yang Diperkenankan (Deductible Exspense) dan Pengurangan atau Biaya yang Tidak Diperkenankan (Non Deductible Exspense) No.
Beban Usaha
1.
Beban yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan obyek PPh. 2. Beban yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan pengenaan pajaknya bersifat final. 3. Beban gaji dan upah 4. Beban tunjangan PPh Pasal 21 5. Beban PPh yang dibayar perusahaan 6. Beban tunjangan dalam bentuk uang 7. Beban saham bonus yang diberikan kepada karyawan 8. Beban Premi Asuransi Jiwa pegawai dibayar perusahaan 9. Beban Premi Asuransi Jiwa untuk pemilik atau pemegang saham dan keluarganya. 10. Beban program JAMSOSTEK a) Premi Asuransi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK): Kelompok 1 0,24% Kelompok 2 0,54% Kelompok 3 089% Kelompok 4 1,74% b) Premi Asuransi Jaminan Kematian (JK) 0,30% c) Premi Asuransi Jaminan Hari Tua (JHT) (JAMSOSTEK) Dibayar Perusahaan 3,7% Dibayar Pegawai 2%, dibayar sendiri 11. Beban Iuran Pensiun ke Dana Pensiun yang disahkan Menteri Keuangan Dibayar Perusahaan Dibayar Pegawai, dibayar sendiri 12. Beban Iuran Pensiun ke Dana Pensiun yang belum disahkan Menteri Keuangan 13. Beban Tunjangan Hari Raya, Tahun Baru, Natal 14. Beban Uang Lembur (Over Time)
-
Non Deductible Exspense √
-
√
√ √ √ √
√ -
√
-
-
√
√
-
√
-
√
-
√ -
√
√
-
-
√ √
√ √
-
Deductible Exspense
27
15. Beban Pengobatan (Medicak Exspense): a) Cuma-Cuma (langsung ke rumah sakit) b) Penggantian Pengobatan (Reimbuse) Jika penggantian dikenai pph Pasal 21 Jika penggantian tidak dikenai pph Pasal 21 c) Tunjangan Pengobatan 16. Beban Pemberian Imbalan Dalam Bentuk Natura dan kenikmatan, kecuali : a) Makanan dan minuman (catering) yang diberikan perusahaan kepada karyawannya b) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu. c) Pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam melaksanakan pekerjaan, keamanan dan keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan kerja. 17. Beban cuti pegawai: a) Diberikan uang cuti b) Tunjangan cuti 18. Beban perjalanan dinas pegawai : a) Didukung bukti-bukti yang sah atau dipertanggungjawabkan (tiket, penginapan, akomodasi) b) Lumpsum (tidak didukung bukti-bukti) c) Lumpsum dianggap honor pegawai d) Honor/uang saku e) - Fiskal Luar Negeri dibayar perusahaan, merupakan PPh ps 25 perusahaan (1995), dibayar dengan SSP, ditulis nama pegawai q.q. nama perusahaan dengan NPWP perusahaan. - Dibayar pegawai dapat dikreditkan dengan PPh orang pribadi f) Biaya piknik atau rekreasi 19. Beban bonus atas prestasi kerja yang dibebankan pada tahun berjalan bukan berasal dari laba ditahan. 20. Beban pembagian laba berupa bonus, tantiem, gratifikasi, jasa produksi, yang dibebankan dari laba ditahan (Retained Earning) 21. Beban seminar, penataran, kursus (pendidikan) 22. Beban honor/uang saku pegawai yang mengikuti seminar dsb.
-
√
√ √ √
√ -
√
-
√
-
√
-
√ √
-
√
-
√ √ -
√ √
-
-
√
√ -
-
√
√ √
-
28
23. Beban bea siswa: Ada ikatan kerja dengan perusahaan 24. Beban sumbangan ke karyawan dalam bentuk uang 25. Beban kendaraan perusahaan yang dibawa pulang dan dikuasai pegawai : a) Penyusutan kendaraan perusahaan b) Biaya reparasi/pemeliharaan kendaraan perusahaan. c) Bahan baker/oli 26. Beban uang pesangon, uang tebusan, THT s.d Rp. 50 juta lebih dari 50 juta s.d 250 juta lebih dari 250 juta s.d 500 juta lebih dari 500 juta 27. Beban Upah borongan pekerjaan ke orang pribadi 28. Beban honor penjaja barang (bukan pegawai) 29. Beban honor petugas dinas luar asuransi (bukan pegawai) 30. Beban honor tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas: pengacara, akuntab, arsitek, dokter, konsultan, notaries, penilai, aktuaris. 31. Beban honorarium, uang saku, hadiah, penghargaan, komisi dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dilakukan WPDN orang pribadi. 32. Beban imbalan ke pegawai yang merupakan pemegang saham: (25% keatas) a) gaji yang wajar b) imbalan diatas kewajaran Deviden terselubung 33. Beban keperluan pribadi pemilik/pemegang saham dibayar seperti: 1. Beban premi asuransi jiwa 2. Beban listrik, telepon rumah pribadi 3. Beban pemeliharaan mobil pribadi 4. Beban PBB rumah pribadi. 5. Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi. 6. Beban pembagian laba secara langsung/tidak langsung. 34. Beban gaji yang dibayarkan ke anggota/sekutu
√ √
-
-
√ √
√
√ -
√
-
√ √
-
√
-
√
-
√ -
√
-
√ √ √ √ √
-
√
-
√
29
persekutuan, CV, Firma 35. Beban pembayaran jasa ke LN, seluruh pekerjaan dilakukan di LN. a) Negara non tax treaty b) Negara tax treaty 36. Beban sanksi perpajakan: denda, bunga, kenaikan. 37. Beban PBB untuk tanah/bangunan pabrik/kantor 38. Beban PBB untuk tanah/bangunan yang tidak dipergunakan untuk usaha/milik pribadi pemegang saham 39. Beban pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan: a) Untuk perolehan BKP/JKP sesuai Ps 6 UU PPh b) Masa manfaat lbih dari satu tahun dengan penyusutan c) Untuk perolehan BKP/JKP sesuai psl 9 d) FP standar yang tidak lengkap, tidak benar, cacat. 40. Beban entertainment/biaya siluman/biaya jamu tamu, imposible exspense: a) Tidak dibuat daftar nominatif b) Dibuat daftar nominatif, nomor urut, jenis, nama tempat, alamat dan jumlah entertainment diberikan, relasi : nama, posisi, nama dan jenis perusahaan. 41. Beban keperluan pribadi pegawai dibayar perusahaan. 42. Beban keperluan pegawai yang merupakan pemilik/pemegang saham dibayar perusahaan merupakan deviden terelubung (melebihi kewajaran) 43. Beban promosi : a) Didukung bukti yang sah untuk kegiatan usaha b) Tidak didukung bukti 44. Beban kerugian piutang bagi perusahaan bukan bank/sewa guna usaha dengan hak opsi. a) Penyisihan b) Metode langsung, tidak dibuat daftar nominatif c) Metode langsung dibuat daftar nominative (dilampirkan): nama, alamat, tgl pinjaman diberikan, jumlah piutang dan keterangan. 45. Beban rugi selisih kurs:
√ √ -
√
√ -
√
√
-
√
-
-
√ √
√
√ -
-
√
-
√
√
-
-
√
-
√ √
√
-
30
46. 47.
48.
49. 50. 51.
52.
53.
54. 55.
56.
a) Kurs tengah BI akhir tahun √ b) Pada waktu pembayaran √ Beban SGU tanpa hak opsi, pembayaran SGU √ Beban SGU dengan hak opsi : a) Penyusutan aktiva SGU √ b) Bungan SGU √ c) Jumlah pembayaran SGU √ Beban kerugian pengalihan harta : a) Digunakan untuk usaha √ b) Tidak digunakan untuk usaha √ Beban alat tuluis kantor, listrik, telepon, fax, √ perangko, bea materai Beban bea perolehan hak atas tanah dan atau √ bangunan (BPHTB) Beban Penyusutan/Amortisasi √ Straight Line Method √ Declining Balance Method √ Sum of The Yeart Digits Method √ Service Hour Method √ Out Put Method Beban pembelian telepn selular, beban √ berlangganan atas isi ulang pulsa dan perbaikkan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaan dapat dibebankan sebagai beban perusahaan 50% saja, mulai berlaku 18 April 2002 Beban pemeliharaan, peraikan rutin kendaraan √ bus, minibus, atau sejenisnya yang dimiliki perusahaan untuk antar jemput para pegawai, mulai berlaku 18 April 2002 Beban [erolehan, perbaikan besar kendaraan √ sedan atau sejenis yang dimiliki atau dipergunakan perusahaan tertentu karena jabatan/pekerjaannya dapat dibebankan sebagai beban perusahaan sebesar 50% saja, mulai berlaku 18 April 2002 Beban lain-lain : a) Tidak ada bukti pendukung √ b) Ada bukti pendukung. √ (Gustian Djuanda. Ardiansyah. Lubis, dan AIrwansyahnsyah, 2003 : 34-38)
31
2.1.3
Pajak Penghasilan Pasal 21
2.1.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 Menurut Siti Resmi (2008 : 155), pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebagai berikut : “Pajak Penghasilan Pasal 21 (selanjutnya disingkat “PPh Pasal 21”) merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan wajib pajak orang pribadi dalam negeri.” Sedangkan pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 menurut Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, yaitu : ”Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.” Pajak penghasilan pasal 21 dipotong dan disetorkan secara benar oleh pemberi kerja atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dari satu pemberi kerja merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, sehingga pada akhir tahun pajak terhadap pegawai atau orang pribadi tersebut tidak diwajibkan untuk menyampaikan SPT Tahunan. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 yang dipotong oleh pihak lain tersebut sepanjang tidak bersifat fnal dapat dikreditkan oleh wajib pajak orang pribadi
32
dalam negeri terhadap Pajak Penghasilan (PPh) yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersagkutan. Dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pasal 21 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan pelaksanaan pemungutan PPh Pasal 21 diatur dalam bentuk suatu petunjuk yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak yaitu Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
2.1.3.2 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dalam tahun berjalan melalui pemotongan oleh pihak-pihak tertentu.
Siti Resmi (2008:155)
mendefinisikan pemotong PPh Pasal 21 sebagai berikut: “Pemotong PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan (seperti gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan tempat pegawai tersebut bekerja.” Sedangkan yang dimaksud dengan pemotong PPh Pasal 21 menurut Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis (2006 : 73) “Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah orang atau badan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan kewajiban pemotong PPh pasal 21 atau pemotong PPh pasal 21 yang wajib mengisi dan menyampaikan SPT Masa PPh pasal 21 dan SPT Tahunan PPh pasal 21.”
33
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, yang dimaksud dengan Pemotong PPh Pasal 21, yaitu : “Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib pajak orang pribadi atau Wajib pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 26 undangundang pajak penghasilan.” Jadi berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa potongan PPh Pasal 21 dilakukan terhadap orang pribadi dan wajib pajak badan dalam negeri dan pemotongan pajak dilakukan oleh pemberi (pembayar) penghasilan setiap bulan. Menurut Gunadi (2002 : 64) menjelaskan bahwa : “Pemotongan pajak pada sumbernya merupakan cara paling efisien untuk menghasilkan penerimaan negara. Dengan adanya pemotong pajak maka dapat diperoleh penerimaan segera yang meliputi sejumlah besar wajib pajak orang pribadi dan sekaligus sosialisasi kewajiban pajak kepada seluruh masyarakat”. Sedangkan yang bertindak sebagai “Pemotong Pajak” menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, yaitu: “a.
b.
pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas kepada Pemerintah Pusat termasuk institusi
34
c.
d.
e.
TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar : 1. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya. 2. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri; 3. honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi sera lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.”
Sedangkan yang tidak termasuk pemotong pajak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh pasal 21 menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi,yaitu: “a. b.
c.
kantor perwakilan Negara asing; organisasi-organisasi internasional sebagaiman dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan; pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan
35
bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.” Jadi berdasarkan uraian di atas, maka penulis simpulkan bahwa pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 adalah pemberi kerja, bendaharawan, pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
2.1.3.3 Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 Subjek pajak penghasilan pasal 21 adalah penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21. Subjek pajak penghasilan Pasal 21 berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, adalah sebagai berikut : “ Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan : a. pegawai ; b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya; c. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi: 1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; 2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya; 3. olahragawan 4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; 5. pengarang, peneliti, dan penerjemah; 6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
36
7. agen iklan; 8. pengawas atau pengelola proyek; 9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; 10. petugas penjaja barang dagangan; 11. petugas dinas luar asuransi; 12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya; d. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi : 1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya; 2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja; 3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu; 4. peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; 5. peserta kegiatan lainnya.” Selanjutnya Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi menyebutkan pengecualian terhadap subjek PPh Pasal 21, yaitu: ” Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah: a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; b. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.”
37
2.1.3.4 Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 Obyek Pajak PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : “(1) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah: a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; b. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya; c. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis; d. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan; e. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan; f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. (2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh: a. Bukan wajib pajak; b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).”
38
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu penghasilan tentunya memiliki suatu objek pajak. Dimana, objek pajak itu terdiri dari penghasilan literatur, penghasilan tidak teratur, upah yang diterima pegawai, uang saku harian, penghasilan sehubungan dengan pemberi kerja dan penghasilan tidak teratur lainnya. Sedangkan Pajak Penghasilan yang bersifat final, artinya bahwa seluruh pajak yang telah dipotong/dipungut oleh pihak pemotong/pemungut dianggap final (telah selesai) tanpa harus menunggu perhitungan dari pihak fiskus, atau dapat dikatakan bahwa pajak yang telah dipotong atau dibayar dianggap telah selesai perhitungannya walaupun surat ketetapan pajak belum ada. Dalam pengertian yang lebih spesifik, pengertian dari pemungutan PPh bersifat final menurut Siti Resmi (2008:163), yaitu : “Pemungutan PPh bersifat final berarti jumlah pajak yang telah dibayarkan dalam tahun berjalan melalui pemotongan (oleh pemberi kerja atau pemotong yang lain) tidak dapat dikreditkan dari total PPh yang terutang pada akhir suatu tahun saat mengisi Surat Pemberitahuan (SPT).” Selanjutnya Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21menyebutkan pengecualian atau yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 (bukan Objek PPh Pasal 21) adalah sebagai berikut: “a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
39
b. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja; d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; e. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan.” Berdasarkan keterangan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Pajak Penghasilan (PPh) tidak saja memiliki objek pajak yang diharuskan seperti yang dijelaskan di pembahasan sebelumnya. Tetapi adapun Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 yang dikecualikan yaitu pembayaran asuransi, penerimaan dalam bentuk natura lainnya dan lain sebagainya, dimana bagi penerima pensiun yang pengurang penghasilan bruto diperkenankan untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak adalah biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun.
2.1.3.5
Hak dan Kewajiban Pemotong dan Wajib Pajak yang Dipotong PPh Pasal 21
2.1.3.5.1 Hak dan Kewajiban Pemotong PPh Pasal 21 Hak dan Kewaiban Pemotong PPh Pasal 21 menurut Mienati Somya Lasmana dan Budi Setiorahardjo (2010:13-14), yaitu:
40
“a. Wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b. Wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender. Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan kalender tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil. c. Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang, oleh Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, kelebihan penyetoran trsbut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26. d. Wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. e. Harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir. Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21 harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekrja. f. Harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain pegawai tetap dan penerima pensiun berkala serta bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26. g. Wajib menyetorkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong untuk setiap masa Pajak ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. h. Wajib melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 utnuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan batas waktu pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu dan hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.”
41
2.1.3.5.2 Hak dan Kewajiban dari Wajib Pajak yang Dipotong PPh Pasal 21 Hak dan Kewajiban dari Wajib Pajak yang Dipotong PPh Pasal 21 menurut Mienati Somya Lasmana dan Budi Setiorahardjo (2010:14), yaitu: “a.
Wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 pada saat mulai bekerja dan mulai pensiun. b. Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga wajib membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 paling lama sebelum mulai tahun kalender berikitnya. c. Minta bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh. Bukti pemotongan tersebut merupakan kredit pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk tahun pajak yang bersangkutan kecuali PPh pasal 21 yang bersifat final.”
2.1.3.6 Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 2.1.3.6.1 Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dasar pengenaan pajak penghasilan pasal 21 pada dasarnya sama dengan dasar pengenaan pajak penghasilan pada umumnya, yaitu Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak – PKP (taxable income) merupakan laba yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang diubah terakhir kali dengan UndangUndang
Nomor
36
Tahun
2008
tentang
Pajak
Penghasilan,
beserta
pelaksanaannya. Dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak terutang adalah PKP. Tetap berlandaskan atau bersumber laporan keuangan perusahaan (daftar perhitungan laba rugi/profir and loss statement) setelah dilakuka koreksi fiscal
42
positif dan negative dapat diperoleh penghasilan neto setelah koreksi. Menurut Siti Resmi (2008 : 118), yang dimaksud dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu : “Penghasilan Kena Pajak (PKP) merupakan dasar perhitungan untuk menentukan besarnya pajak penghasilan yang terutang”. Penghasilan Kena Pajak berdasarkan prinsip taxability deductability, dengan prinsip ini suatu biaya baru dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila pihak yang menerima pengeluaran atas biaya yang bersangkutan, melaporkannya sebagai penghasilan dan penghasilan tersebut dikenakan pajak (taxable). Misalnya tunjangan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan dapat dianggap sebagai biaya dan mengurangi laba kotor jika karyawan yang menerima tunjangan tersebut mengakui tunjangan yang diberikan sebagai bagian dari penghasilan bruto dan dikenakan pajak (PPh Pasal 21). Untuk mengetahui Penghasilan Kena Pajak menurut Erly Suandy (2008:117), minimal ada lima komponen yang perlu diperhatikan, yaitu: “a. b. c. d. e.
Penghasilan yang menjadi objek Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak. Penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.”
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21, berdasarkan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-57/PJ/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
43
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, adalah sebagai berikut: “(1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut: a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi : 1. pegawai tetap; 2. penerima pensiun berkala; 3. pegawai tidak tetap yang penghasilannya di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah); 4. bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan. b. jumlah penghasilan yang melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah); c. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan; d. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana di maksud pada huruf a, b dan huruf c. (2) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.” Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi mengatur tentang besarnya penghasilan kena pajak, sebagai berikut : “a. Bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi PTKP; b. Bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi PTKP;
44
c. Bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP yang dihitung secara bulanan.”
2.1.3.6.2 Tarif PPh Pasal 21 Tarif pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak. Menurut Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis (2006:64) tarif pajak penghasilan yaitu : “Dalam pemungutan pajak, tarif merupakan tolak ukur untuk menetapkan beban pajak, selain pembagian penghasilan kena pajak (PKP) dalam lapisan penghasilan kena pajak (income bracket).” Tarif pajak orang pribadi menurut Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut : Tabel 2.2 Lapisan Kena Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Lapisan Lapisan Penghasilan Kena Tarif Pajak Pajak Lapisan I sampai dengan Rp 25.000.000,00 5% Lapisan II di atas Rp 25.000.000,00 s.d. Rp 10% 50.000.000,00 Lapisan III di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 15% 100.000.000,00 Lapisan IV di atas Rp 100.000.000,00 s.d. Rp 25% 200.000.000,00 Lapisan V di atas Rp 200.000.000,00 35%
45
Lapisan Lapisan I Lapisan II Lapisan III
Tabel 2.3 Lapisan Kena Pajak Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Tarif Pajak Pajak sampai dengan Rp 50.000.000,00 10% di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 15% 100.000.000,00 di atas Rp 100.000.000,00 30%
Sedangkan tarif pajak orang pribadi menurut undang-undang terbaru Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut : Tabel 2.4 Lapisan Kena Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Lapisan Lapisan I Lapisan II Lapisan III Lapisan IV
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00 di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 di atas Rp 250.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00 di atas Rp 500.000.000,00
5% 15% 25% 30%
Tabel 2.5 Lapisan Kena Pajak Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Tahun
Tarif Pajak
2009 2010 dan selanjutnya PT yang 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek Peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000
28% 25% 5% lebih rendah dari yang seharusnya Pengurangan 50% dari yang seharusnya
46
2.1.3.7 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) 2.1.3.7.1 Status Wajib Pajak Dalam menghitung besarnya laba (penghasilan) kena pajak bagi wajib pajak Dalam Negeri orang pribadi, penghasilan neto dikurangi lagi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP bagi wajib pajak orang pribadi berdasarkan status wajib pajak bersangkutan. Sedang status wajib pajak ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Untuk memperjelas ciri-ciri bahwa pajak penghasilan orang pribadi adalah merupakan pajak subjektif, pasal 7 UU PPh memberikan keringanan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dihubungkan dengan keadaan pribadi wajib pajak (keluarga dan tanggungan). Menurut Gustian Djuanda, Ardiansyah. Lubis, dan Irwansyah (2003:50) status wajib pajak terdiri dari : “a) Tidak Kawin (TK) beserta tanggungannya. Misal TK/1 : tidak kawin dengan satu tanggungan, TK/2, TK/3, dan TK/0. b) Tidak Kawin (TK) beserta tanggungannya. Misal TK/1 : tidak kawin dengan satu tanggungan, TK/2, TK/3, dan TK/0. c) Kawin beserta tanggungannya. Misal : kawin tanpa tanggungan (K/0), kawin dengan satu tanggungan (K/1), (K/2), (K/3). Wajib pajak untuk status seperti ini berari WP kawin, istrinya tidak mempunyai penghasilan atau istrinya mempunyai penghasilan tetapi tidak perlu digabung dengan penghasilan suaminya di SPT PPh Orang Pribadi. d) Kawin, istri punya penghasilan dan digabungkan dengan penghasilan suaminya, serta jumlah tanggungannya, disingkat K/I/…. Misal: K/I/0 artinya WP kawin, istrinya punya penghasilan dan digabungkan dengan penghasilan suaminya di SPT PPh Orang Pribadi. e) PH: Status wajib pajak (WP) adalah melakukan perjanjian tertulis untuk pisah harta dan penghasilan. f) HB: Hidup Berpisah.”
47
Yang boleh menjadi tanggungan adalah anggota keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya seperti orangtua lurus ke atas, dan anak lurus ke bawah, dan keluarga semenda dalam garis lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya seperti mertua, serta anak angkat. Yang boleh menjadi tanggungan paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh wajib pajak. Yang dimaksud dengan keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus dapat digambarkan sebagai berikut :
(Vertikal) Sumber : Cara Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 21, Mienati Somya Lasmana dan Budi Setiorahardjo (2010:12) Gambar 2.1 Skema Hubungan Sedarah-Semenda dalam Garis Keturunan Lurus
48
2.1.3.7.2 Besar PTKP BesarnyaPenghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) per tahun berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. diberikan paling sedikit sebesar: “a. b. c. d.
e.
Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri wajib pajak Orang Pribadi; Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri wajib pajak Orang Pribadi; Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk wajib pajak yang kawin; Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, dengan syarat: Penghasilan istri tidak semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan dalam Pasal 21 UU PPh. Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lain. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.”
2.1.3.8 Cara Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Cara menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 Pegawai Tetap pada prinsipnya sama dengan cara penghitungan Pajak Penghasilan pada umumnya. Namun dalam menghitung PPh Pasal 21 pegawai tetap diberikan pengurangan berupa PTKP, biaya jabatan, biaya pensiun, dan iuran pensiun. Tarif yang dipakai sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Berikut alur penghitungan PPh Pasal 21 dijelaskan dalam Gambar 2.
49
Sumber :
Cara Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21, Mienati Somya Lasmana dan Budi Setiorahardjo (2010:19) Gambar 2.2 Alur Pemotongan PPh Pasal 21
Perhitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap dijabarkan dalam sistematika Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap berikut ini:
50
Sistematika Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap
Penghasilan Bruto : 1. Gaji sebulan
xxx
2. Tunjangan PPh
xxx
3. Tunjangan dan honorarium lainnya
xxx
4. Premi asuransi yang dibayar pemberi kerja
xxx
5. Penerimaan dalam bentuk natura yang
xxx
dikenakan pemotongan PPh Ps 21 *) 6. Jumlah penghasilan bruto (jumlah 1 sampai 5)
xxx
Pengurangan : 7. Biaya jabatan (5% x penghasilan bruto, maksimal
xxx
Rp 108.000,00 per bulan) 8. Iuran pensiun atau iuran THT/JHT
xxx
9. Jumlah pengurangan (jumlah 7 dan 8)
(xxx)
Penghitungan PPh Pasal 21 : 10. Penghasilan neto sebulan (6 - 9)
xxx
11. Penghasilan neto setahun/disetahunkan (10 x 12 bulan)
xxx
12. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
(xxx)
13. Penghasilan Kena Pajak setahun (11 – 12)
xxx
14. PPh Pasal 21 yang terutang (13 x tarif pasal 17)
xxx
15. PPh Pasal 21 yang dipotong sebulan (14 : 12 bulan)
xxx
Sumber : Perpajakan Teori dan Kasus, Siti Resmi (2008 : 172) *)Natura dimasukkan sebagai penghasilan jika yang memberikan adalah bukan Wajib pajak atau Pemerintah.
51
Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap: Monalisa (tidak kawin, tanpa tanggungan) bekerja pada PT. Aman Sentosa dengan memperoleh gaji sebesar Rp 2.500.000,00 sebulan. Kepada Monalisa diberikan tunjangan pajak sebesar Rp 25.000,00 sebulan. Iuran pensiun yang dibayarkan oleh Monalisa sebesar Rp 25.000,00 sebulan. Perhitungan PPh Pasal 21 adalah : Gaji sebulan
Rp 2.500.000,00
Tunjangan Pajak
Rp
Penghasilan Bruto
Rp 2.525.000,00
25.000,00
Pengurangan : 1. Biaya jabatan: (5% x Rp 2.525.000,00) 2. Iuran Pensiun
Rp 126.250,00 Rp
25.000,00 Rp
151.250,00
Penghasilan neto sebulan
Rp 2.373.750,00
Penghasilan neto setahun:12 x Rp 2.373.750,00
Rp 28.485.000,00
3. PTKP : - Untuk diri WP
Rp 15.840.000,00
PKP
Rp 12.645.000,00
PPh Pasal 21 setahun : 5% x Rp12.645.000,00
Rp 632.250,00
PPh Pasal 21 sebulan : Rp 632.250,00 : 12
Rp 52.687,50
Catatan : Tunjangan pajak sebesar Rp 25.000,00 merupakan penghasilan bagi pegawai sehingga ditambahkan dengan penghasilan lain untuk dasar penghitungan PPh Pasal 21, dan merupkan pengurang penghasilan bruto (deductible exspense) bagi pemberi kerja yang bersangkutan.
52
2.1.3.9 Kebijakan PPh Pasal 21 Menurut Mohammad Zain (2005:89) terdapat beberapa kebijakan yang diterapkan perusahaan mengenai PPh Pasal 21, antara lain: “1. PPh Pasal 21 yang ditanggung pegawai 2. PPh Pasal 21 ditanggung pemberi kerja 3. PPh Pasal 21 yang berupa tunjangan pajak (sebagian dari jumlah pajak terutang) 4. PPh pasal 21 yang berupa tunjangan pajak dengan cara gross up (besarnya tunjangan pajak = besarnya pajak terutang)”
1. PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pegawai PPh Pasal 21 yang ditanggung secara penuh oleh pegawai akan memperkecil jumlah penghasilan yang diterima oleh pegawai itu sendiri dan hal ini jelas tidak akan dilibatkan dalam perhitungan PPh Badan.
2. PPh Pasal 21 yang berupa tunjangan pajak (sebagian dari jumlah pajak terutang). Dalam hal ini, pemberi kerja atau perusahaan hanya menanggung sebagian dari jumlah pajak terutang, sedangkan sisanya harus dibayar oleh pegawai. Walaupun hanya sebagian, hal ini telah menambah jumlah penghasilan pegawai sehingga dapat dijadikan sebagai pengurang dalam perhitungan PPh Badan. Karena tunjangan pajak penghasilan merupakan penghasilan karyawan yang dipotong pajak, maka bagi perusahaan atau pemberi kerja tunjangan pajak penghasilan karyawan merupakan biaya fiskal.
53
3. PPh Pasal 21 dengan tunjangan pajak dengan cara Gross Up (besarnya tunjangan pajak = besarnya pajak terutang) PPh Pasal 21 dengan tunjangan pajak dengan cara gross up dilakukan dengan menambahkan tunjangan pajak kepada masing-masing pegawai yang jumlahnya sama besar dengan pajak yang terutang atau pajak yang harus dipotong oleh perusahaan. Dengan penghitungan secara gross up, jumlah penghasilan yang diterima karyawan (take home pay) tetap sesuai dengan kesepakatan antara perusahaan dengan karyawan. Gross up ini akan mengembalikan penghitungan PPh Pasal 21 yang sesuai dengan substansi sebenarnya, yaitu dipotong oleh pemberi penghasilan (perusahaan) kepada penerima penghasilan (karyawan).
4. PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemberi kerja Pajak Penghasilan Pasal 21, pada dasarnya terutang atau merupakan kewajiban bagi karyawan atau pegawai sebagai Wajib Pajak-orang pribadi. Perusahaan atau pemberi kerja dalam kaitan ini sesuai dengan ketentuan Undangundang Pajak Penghasilan hanya bertindak sebagai Wajib Pungut. Oleh karena itu, apabila Pajak Penghasilan Pasal 21 atas gaji pegawai ditanggung atau dibayar oleh perusahaan; maka pajak yang ditanggung oleh perusahaan tersebut harus dipandang sebagai imbalan (atau penghasilan) berupa kenikmatan yang tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Untuk penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas gaji pegawai yang bersangkutan, pajak yang ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja tidak ditambahkan kepada penghasilan bruto pegawai yang bersangkutan.
54
Berikut contoh perhitungan dalam membandingkan PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan dan diberikan dalam tunjangan pajak dengam metode gross up: Tn. JRP (K/2), pegawai PT. X. Data Penghasilan Tn. JRP pada tahun 2004: Gaji
: Rp 8.448.000,00
Tunjangan Lainnya & Lembur
: Rp 7.660.000,00
Bonus & THR
: Rp 5.031.242,00
Iuran dibayar oleh Tn. JRP: Iuran Pensiun/THT
: Rp 1.127.916,00
Iuran yang dibayar oleh Pemberi Kerja: Iuran Pensiun.THT
: Rp
312.576,00
55
Perbandingan Perhitungan PPh Pasal 21 antara ditanggung perusahaan dan diberikan dalam tunjangan pajak dengan metode gross up:
Tabel 2.6 Penghitungan PPh Pasal 21
Uraian Penghasilan Bruto: Gaji Tunjangan lainnya & lembur Bonus & THR Tunjangan Pajak * Jumlah Penghasilan Bruto Pengurangan: Biaya Jabatan: 5% x Rp 21.139.242,00 5% x Rp 21.520.701,00 5% x Rp 21.756.242,00 Iuran dibayar oleh pegawai: Iuran Pensiun/THT Jumlah Pengurangan Penghasilan Neto PTKP * PKP PKP dibulatkan PPh Pasal 21 setahun ** PPh Pasal 21 yang harus disetor/dipotong dari penghasilan pegawai
PPh Pasal 21 Ditanggung Tunjangan pemberi kerja Pajak (Gross Up) (Rp) (Rp) 8.448.000,00 7.660.000,00 5.031.242,00 21.139.242,00
8.448.000,00 7.660.000,00 5.031.242,00 617.000,00 21.756.242,00
1.056.962,10 1.087.812,1 1.127.916,00 2.184.878,10 18.954.363,90 7.200.000,00 11.754.363,90 11.754.000,00 587.000,00 587.000,00
1.127.916,00 2.215.728,10 19.540.513,90 7.200.000,00 12.340.513,90 12.340.000,00 617.000,00 617.000,00
56
Catatan: 1. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan PPh Pasal 21 Setahun Tabel 2.7 Perhitungan PTKP dan PPh Pasal 21 setahun
Uraian
PPh Pasal 21 Ditanggung Di Gross Up pegawai/pemberi (Rp) kerja (Rp)
*PTKP Untuk diri pegawai Tambahan untuk pegawai yang kawin Tambahan untuk tanggungan Jumlah PTKP ** PPh Pasal 21 setahun 5% x Rp 11.754.000,00 5% x Rp 12.340.000,00 Jumlah
2.880.000,00 1.440.000,00
2.880.000,00 1.440.000,00
2.880.000,00
2.880.000,00
7.200.000,00
7.200.000,00
587.700,00 587.700,00
617.000,00 617.000,00
2. Perhitungan besarnya tunjangan pajak dalam rangka gross up Oleh karena Penghasilan Kena Pajak sebelum tunjangan pajak berjumlah Rp 11.574.000,00 yang berada antara kelompok 0 – Rp 25.000.000,00, maka perhitungan tunjangan pajaknya akan menggunakan rumus sebagai berikut: Pajak = 12 {1/228,6(PKPSTP)} = 12 {1/228,6(11.574.000,00)} = 617.007,87 dibulatkan menjadi Rp 617.000,00
57
Keterangan: 12 = angka pengali untuk perhitungan satu tahun, dengan asumsi bahwa jumlah setiappenghasilan yang diterima dan iuran yang dibayar oleh pegawai adalah sama setiap bulan.
Pemilihan Alternatif Perbandingan antara biaya komersil dan biaya fiskal atas pembayaran gaji Tn. JRP, merupakan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam rangka pemilihan alternatif tersebut di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.8 Penghitungan Biaya Fiskal, Biaya Komersil dan selisihnya Uraian
Gaji dan tunjangan Biaya Fiskal Penghasilan bruto Biaya Komersial Biaya fiskal Ditambah: Iuran Jaminan Hari Tua PPh Pasal 21 Jumlah Selisih B. Fiskal & Biaya Komersial
Ditanggung pemberi kerja (Rp)
Tunjangan Pajak (Gross Up) (Rp)
21.139.242,00
21.756.242,00
21.139.242,00
21.756.242,00
21.139.242,00
21.756.242,00
312.576,00 587.700,00 22.039.518,00
312.576,00 22.068.818,00
900.276,00
312.576,00
Ikhtisar dari biaya fiskal dan biaya komersil serta selisihnya yang merupakan faktor-faktor penentuan pemilihan alternative dapat terlihat pada tabel di bawah ini:
58
Tabel 2.9 Ikhtisar Biaya Fiskal, Biaya Komersial dan Selisihnya
Uraian PPh Pasal 21 Ditanggung Pemberi Kerja Di gross up
B. Fiskal (Rp)
B. Komersial (Rp)
Selisih B. Fiskal & B. Komersial (Rp)
21.139.242,00
22.039.518,00
900.276,00
21.756.242,00
22.068.818,00
312.576,00
Memperhatikan ikhtisar alternatif-alternatif tersebut di atas, pilihan dijatuhkan pada: 1.
Tunjangan Pajak secara gross up, sebab ditinjau dari segi komersial, biaya fiskal yang besar tersebut nampaknya seperti suatu pemborosan, namun harus pula diperhatikan bahwa akibat biaya fiskal yang besar tersebut akan berdampak kepada laba sebelum pajaknya akan menjadi lebih kecil karena tunjangan pajak (gross up) dapt dibiayakan sebagai biaya fiskal (deductible exspense), dengan catatan bahwa penyusunan strategi perpajakan jangan sampai menghambat strategi komersial lainnya dan malahan harus saling mendukung satu sama lainnya.
2.
Sedangkan jika pajak yang dibayar ditanggung pemberi kerja, PPh Pasal 21 diakui sebagai natura/kenikmatan sehingga tidak dapat dibiayakan sebagai biaya fiskal karena tidak termasuk objek pajak (non deductible exspense).
3.
Biasanya point 1 di atas sering diterapkan bagi perusahaan yang untung, sedangkan point 2 di atas diterapkan bagi perusahaan yang masih mengalami kerugian.
59
2.1.4 Perencanaan Pajak (Tax Planning) 2.1.4.1 Pengertian Perencanaan Pajak Definisi perencanaan pajak (tax planning) dibawah ini : “Perencanaan pajak (tax planning) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan maupun secara komersil”. (Mohammad Zain, 2005:43) Kutipan beberapa pengertian perencanaan pajak yang dikemukakan para ahli yang disusun oleh Erly Suandy (2008:6) adalah sebagai berikut: 1. Definisi perencanaan pajak yang dikemukakan oleh Crumbley D. Larry, Friedman Jack P., Anders Susan B.,1994, adalah : “Tax Planning is the systematic analysis of deferring tax options aimed at the minimization of tsx liability in current and future tax periods.” 2. Definisi perencanaan pajak yang dikemukakan oleh Lyons Susan M., 1996 adalah : “Tax planning is arrangement of a person’s business and/or private affairs in order to minimize tax liability. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa pelaksanaan perencanaan pajak adalah suatu usaha yang dilakukan wajib pajak untuk meminimalisir beban pajak dengan tetap mematuhi ketentuan-ketentuan peraturan perpajakan. Perencanaan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan pengecualian dan potongan yang diperkenankan, maupun memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
60
Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi tersebut terkena pajak. Bila transaksi tersebut terkena pajak apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya. Untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful). Istilah yang sering digunakan adalah penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion). Pengertian kedua istilah tersebut adalah sebagai berikut : “Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai manipulasi secara illegal atas penghasilannya untuk memperkecil jumlah vajak pajak yang terutang, sedang penghindaran pajak pajak diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk mengefisienkan pembayaran jumlah pajak yang terutang”. (Mohammad Zain, 2003:44) Menurut Erly Suandy yang dimaksud dengan Penghindaran Pajak yaitu : “Penghindaran pajak adalah rekayasa ‘tax affairs’ yang masih tetap berada dalam bingkai ketentuan perpajakan (lawful). Penghindaran pajak dapat terjadi didalam bunyi ketentuan atau tertulis di undang-undang dan berada dalam jiwa undang-undang atau dapat juga terjadi dalam bunyi ketentuan undang-undang tetapi berlawanan dengan jiwa undang-undang.” (Erly Suandy, 2008:7) Cara lain untuk mengefisienkan beban pajak adalah melalui penghematan pajak (tax saving). Pengertian penghematan pajak (tax saving) itu sendiri menurut Mohammad Zain yaitu “penghematan pajak (tax saving) adalah suatu cara yang dilakukan oleh wajib pajak mengelakkan utang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk membeli produk-produk yang ada pajak pertambahan nilainya atau pajak penjualannya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar.
61
Dalam hal ini aparat perpajakan tidak dapat berbuat apa-apa, karena hal tersebut berada di luar lingkup pemajakan. “ (Mohammad Zain, 2005:50) Seorang perencana pajak (tax planner) hanya menggunakan dua cara, yaitu tax saving dan tax avoidance, karena keduanya merupakan perbuatan yang tidak melanggar undang-undang. Erly Suandy (2008:116) menjelaskan hal-hal yang dapat dilakukan dalam perencanaan pajak antara lain : “1. Avoid to top bracket Menghindari pengenaan pajak dari kelas penghasilan yang tarifnya tinggi (top rate bracket) 2. Income recognition acceleration Mempercepat pengakuan penghasilan, terutama untuk PPN 3. Income spreading Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan dari beberapa wajib pajak, seperti pembentukan grup-grup perusahaan serta menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan beberapa tahun untuk mencegah penghasilan tersebut termasuk dalam kelas penghasilan yang tarifnya tinggi. 4. Tax payment deferral Menunda pembayaran pajak seperti penjualan cicilan, kredit, dan seterusnya. 5. Tax exclusive maximation Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketentuan-ketentuan mengenai pengecualian dan potongan-potongan dan menggunakan uang dari hasil pembebasan pengenaan pajak untuk keperluan perluasan perusahaan yang mendapatkan kemudahan-kemudahan. 6. Transformasi Taxable ke non taxable income 7. Transformasi non deductible ke deductible exspense Misalnya dengan pemberian dalam bentuk tunjangan daripada dalam bentuk kenikmatan dan natura. 8. Penciptaan maupun percepatan deductible tax exspenses Misalnya menggunakan metode saldo menurun untuk penyusutan.”
62
Menurut Mohammad Zain (2003:78), dalam rangka mendesain suatu perencanaan pajak, adal beberapa alternatif pendekatan yang sistematis yang dapat dilakukan, tetapi kesemuanya itu bertitik tolak kepada formula umum perhitungan pajak berikut ini : Tabel 2.10 Formula Umum Penghitungan Pajak Penghasilan 1
Jumlah seluruh penghasilan
Pasal 4 ayat (1)
2
(-)
Penghasilan tidak objek pajak penghasilan
Pasal 4 ayat (3)
3
(=)
Penghasilan Bruto
(1-2)
4
(-)
Biaya Fiskal boleh dikurangkan
Pasal 6 ayat (1) Pasal 11 Pasal 11A
Koreksi: Biaya Fiskal tidak boleh dikurangkan
Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2)
5
(=)
Penghasilan Neto
(3-4)
6
(-)
Kompensasi Kerugian
Pasal 6 ayat (2)
7
(-)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (WP Orang
Pasal 7 ayat (1)
Pribadi) 8
(=)
Penghasilan Kena Pajak
(5-6-7)
9
(x)
Tarif
Pasal 17
10
(=)
Pajak Penghasilan Terutang
(8 x 9)
11
(-)
Kredit Pajak
Pasal 21 (WP Orang Pribadi), Pasal 22, 23, 24, 25)
12
(=)
Pajak Penghasilamn Kurang Bayar/Lebih
(10-11)
Bayar/Nihil Bayar
Pasal 28, 28A, 29)
Sumber : Manajemen Perpajakan, Mohammad Zain (2005:79)
63
Selain
itu
Mohammad
Zain
(2003:60-61)
menyebutkan
bahwa
perencanaan pajak pada dasarnya didorong oleh dua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu: “1. Ketentuan pertama menyangkut masalah pajak penghasilan itu sendiri yang merupakan biaya yang fiskal dapat dikurangkan dalam menentukan Penghasilan Kena Pajak (pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh). Sebagai konsekuensinya, apabila terdapat pengurangan pembayaran PPh, maka tidak akan terjadi penurunan dalam jumlah biaya fiskal yang dapat dikurangkan da oleh karena itu juga tidak akan menimbulkan kenaikan Penghasilan Kena Pajak. Pengurangan pembayaran PPh tersebut, yang juga merupakan jumlah pajak yang dapat dihemat, hanya akan meningkatkan laba setelah pajak. Berbeda dengan aktivitas mencari laba/menambah penghasilan, suatu perencanaan pajak hanya akan memberikan keuntungan yang sama sekali tidak termasuk dalam ruang lingkup pengenaan PPh. 2. Ketentuan kedua menyangkut kemungkinan dapat dikurangkannya biaya yang ada kaitannya dengan penentuan besarnya pajak yang terutang, yang dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan disebut sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh) oleh karena perencanan pajak terkait dengan penentuan besarnya pajak yang teruang, maka biaya yag dikeluarkan untuk perencanaan pajak tersebut, merupakan biaya fiscal yang dapat dikurangkan.” Bagaimana dua ketentuan ini dapat mendorong munculnya perencanaan pajak dijelaskan lebih lanjut melalui prinsip taxable dan deductible berikut ini.
2.1.4.2 Prinsip Taxable (Dapat Dipajaki) dan Deductible (Dapat Dikurangi) Prinsip taxable dan deductible menurut Mohammad Zain (2001:3-10), yaitu: “Prinsip taxable dan deductible umumnya mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan atau sebaliknya mengubah penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang tidak objek pajak” Jadi dengan adanya perubahan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap jumlah pajak terutang. Dalam hal ini tentunya harus dipertimbangkan mana yang
64
lebih menguntungkan perusahaan, apakah perubahan jumlah pajak akan menjadi lebih besar atau lebih kecil atau sama dengan jumlah pajak terutang akibat koreksi fiskal, apabila tidak dilakukan pengubahan tersebut. Dasar hukum prinsip taxable dan deductible ini adalah sebagai berikut : 1. Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh “yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun di luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.” 2. Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh “Yang tidak termasuk objek pajak adalah penggantian atau imbalan sehubungan dnegan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.” 3. Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh “Besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali pajak penghasilan.” 4. Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh “untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangi dengan penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dannkenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenimmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan
65
dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan menteri Keuangan.” Sedangkan dasar pelaksanaannya berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 adalah: 1. Pasal 5 ayat (1) huruf a “penghasilan yang dipotong oleh PPh Pasal 21 adalah penghaslan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa haji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.” 2. Pasal 7 huruf e “Tidak termasuk dalam pengertian yang dipotong PPh Pasal 21 adalah kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja.” Jadi berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam mengefisienkan beban pajak (pajak terutang) yang berada pada lapisan bawah dari perhitungan tersebut di atas, maka secara aritmetika untuk memperoleh lapisan bawah yang minimal tersebut, pengaturan harus dilakukan dengan melibatkan semua komponen yang di atasnya secara maksimal, sehingga dengan demikian berarti bahwa perencanaan pajak mencakup hal-hal seperti meminimalkan tarif pajak dan memaksimalkan biaya fiskal yang dapat dikurangkan serta memaksimalkan penghasilan pengenaan pajak.
yang ditangguhkan atau
dikecualikan dari
66
2.1.5 Tunjangan Pajak dengan Metode Gross Up Dilihat dari unsur katanya, gross up terdiri dari kata ‘gross’ dan ‘up’. Secara harfiah gross berarti kotor atau bruto dan up berarti naik atau menaikkan atau menambahkan. Jadi gross up bisa diartikan menaikkan atau menambahkan suatu angka menjadi jumlah kotor atau bruto. Istilah gross up sendiri sebenarnya tidak dikenal dan tidak disebutkan secara eksplisit di berbagai peraturan perpajakan secara formal. Gross up pada dasarnya hanyalah berkaitan dengan logika normal yang berhubungan dengan penghitungan tertentu. Logika penghitungannya dibuat sedemikian rupa sehingga sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perpajakan yang ada. Ketentuan perpajakan hanya mengatur gross up yang berkaitan dengan PPh Pasal 26, meskipun tidak menyebut secara eksplisit dengan istilah gross up. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 sebagai berikut: “pengeluaran dari biaya tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk: a. … dst; d. Pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak;…” Frasa ‘ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak’ inilah yang oleh praktisi perpajakan diartikan sebagai ‘gross up’. Secara utuh klausul tersebut menandakan bahwa PPh Pasal 26 yang ditanggung perusahaan
67
tersebut bisa menjadi deductible exspense sepanjang dihitung secara gross up, dan itu pun tidak berlaku untuk PPh Pasal 26 atas deviden. Dari ketentuan di atas, maka didapat suatu analogi bahwa PPh pasal 21, PPh Pasal 23, PPh final yang ditanggung oleh perusahaan pun sebenarnya bisa dilakukan hal yang sama, sepanjang didukung dengan dokumen yang memadai. Khusus untuk gross up PPh Pasal 21, masalahnya menjadi lebih mudah karena terdapat istilah tunjangan pajak yang diberikan kepada karyawan. Pada prinsipnya, metode gross up adalah suatu metode perencanaan pajak sehubungan dengan penetapan besarnya tunjangan pajak pegawai tetap. Dengan penetapan metode ini, besarnya tunjangan yang ditambahkan ke dalam penghasilan pegawai akan tetap akan sama dengan besarnya PPh Pasal 21 terutang pegawai tetap, sehingga tidak akan terjadi selisih atau selisih yang terjadi tidak signifikan antara besanya tunjangan pajak yang diberikan dengan besarnya pajak terutang, dimana selisih tersebut akan menjadi tanggungan perusahaan atau bahkan pegawai yang bersangkutan. Pada kenyataannya untuk menetukan gross up bisa dilihat dari penghasilan pada setiap karyawannya. Dengan adanya gross up maka perusahaan tidak akan mengalami kesulitan lagi dalam menentukan tunjangan pajak. Pengertian dari metode gross up itu sendiri menurut Muda Markus dan Hendri Yujana (2002:292) yaitu : “Metode gross up adalah membrutokan penghasilan netto setelah pajak untuk mendapatkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP), setelah DPP (Dasar Pengenaan Pajak) didapat baru dikalikan dengan tarif pajak”.
68
Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa, gross up PPh Pasal 21 dilakukan dengan menambahkan tunjangan pajak kepada masing-masing pegawai yang jumlahnya sama besar dengan pajak yang terutang atau pajak yang harus dipotong oleh perusahaan. Dengan penghitungan secara gross up, jumlah penghasilan yang diterima karyawan (take home pay) tetap sesuai dengan kesepakatan antara perusahaan dengan karyawan. Gross up ini akan mengembalikan penghitungan PPh Pasal 21 yang sesuai dengan substansi sebenarnya, yaitu dipotong oleh pemberi penghasilan (perusahaan) kepada penerima penghasilan (pegawai). Seperti dapat dilihat dalam contoh perhitungan sebelumnya, kebijakan pemberian tunjangan pajak yang kurang efisien akan menyebabkan perusahaan selaku pemberi kerja/pemotong pajak tetap harus menanggung selisih tunjangan pajak dan PPh Pasal 21 terutang sehingga pegawai tetap menerima jumlah take home paye sama. Metode Gross Up pada dasarnya merupakan salah satu alternatif perhitungan
yang
dapat
digunakan
perusahaan
untuk
memaksimalkan
pengurangan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) perusahaan. Menurut analisis para ahli perpajakan dan pengamatan yang dilakukan, penerapan perhitungan metode gross up memiliki beberapa keuntungan antara lain: “1.
Mempermudah pemberi kerja menentukan tunjangan pajak yang diberikan secara tepat. Dalam praktek di lapangan kondisi yang sering terjadi yaitu perusahaan membuat kebijakan pemberi tunjangan pajak yang kurang efektif, misalnya karena kesulitan menentukan besarnya tunjangan pajak yang diberikan agar sama dengan PPh Pasal 21 karyawan terutang, ditentukan dari sekian
69
2.
persen gaji bruto per karyawan. Keadaan ini memungkinkan terjadinya selisih antara PPh pasal 21 terutang karyawan dengan tujangan pajak yang diberikan. Konsekuensinya yang terjadi adalah karena perusahaan telah sepaat untuk memberikan tunjangan pajak atau karyawan menerima penghasilan bersih tanpa dipotong pajak, maka selisih tersebut menjadi tanggungan perusahaan. Memperbesar beban yang diperkenankan sebagai pengurangan dalam perhitungan penghasilan kena pajak pemberi kerja. Sebagaimana telah disunggung dalam angka (1) metode gross up akan menjadikan seluruh pemberian tunjangan pajak yang sebelumnya terdapat sejumlah rupiah yang menjadi tanggungan perusahaan, menjadi seluruhnya berbentuk pemberian tunjangan pajak menurut PPh Pasal 6 ayat (1) huruf (a) disebutkan bahwa ‘tunjangan merupakan pengurangan yang diperkenankan dalam penghitungan penghasilan kena pajak perusahaan’. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa tunjangan pajak merupakan objek pajak penghasilan karena penghasilan bagi karyawan yang diperkenankan untuk dikurangkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak (PKP). Jadi seluruh tunjangan pajak dapat diperlakukan sebagai beban yang dapat dikurangkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak perusahaan atau dengan kata lain dapat memperbesar beban yang dapat dikurangkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak perusahaan.”
Untuk perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 pegawai dengan menggunakan metode gross up, terlebih dahulu harus menemukan rumus untuk mengubah penghasilan neto (gaji neto) menjadi penghasilan bruto (gaji bruto). Selain itu perhitungan gross up tidak lepas dari peraturan perpajakan yang berlaku. Menurut
Mienati
Somya
Lasmana
dan
Budi
Setiorahardjo
(2010 : 97-98) ada beberapa beberapa pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan dalam perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 pegawai dengan menggunakan metode gross up, yaitu: “1. Biaya Jabatan 2. Status Karyawan (berkaitan dengan PTKP)
70
3. Tarif Pajak” Rumus yang digunakan dalam metode gross up menurut Mohammad Zain (2005 : 91-92) adalah seperti terlihat dalam tabel dibawah ini: Tabel 2.11 Rumus Gross Up *untuk Perhitungan Tunjangan Pajak PKP
Tunjangan Pajak
Sampai dengan Rp. 25.000.000,00
1/228,6 {PKPSTP*}
Rp. 25.000.000,00 s/d Rp. 50.000.000,00
10/108 {0,1(PKPSTP – 25 juta) + 1,25 juta}
Rp. 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00
10/102 {0,15(PKPSTP – 50 juta) + 3,75 juta}
Rp. 100.000.000,00 s/d Rp 200.000.000,00
10/90 {0,25(PKPSTP – 100 juta) + 11,25 juta}
Di atas Rp. 200.000.000,00
10/78 {0,35(PKPSTP – 200 juta) + 36,25 juta}
*PKPSTP = Penghasilan Kena Pajak Sebelum Tunjangan Pajak
Atau dapat digunakan rumus Gross Up menurut Gustian Djuanda (2001 : 97-98) sebagai berikut : Tabel 2.12 Rumus Gross Up** untuk Perhitungan Tunjangan Pajak PKP
Tunjangan Pajak
Sampai dengan Rp. 25.000.000,00
Lapisan ke-1 =
Rp. 25.000.000,00 s/d Rp. 50.000.000,00
Lapisan ke-2 =
Rp. 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00
Lapisan ke-3 =
Rp. 100.000.000,00 s/d Rp 200.000.000,00
Lapisan ke-4 =
Di atas Rp. 200.000.000,00
Lapisan ke-5 =
71
2.1.6 Pajak Penghasilan Badan 2.1.6.1 Pengertian PPh Badan PPh Badan atau Pajak Penghasilan Badan merupakan pajak yang harus dibayar oleh suatu entitas badan, dari laba fiskalnya dalam satu tahun pajak atau juga merupakan pembayaran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar oleh setiap wajib pajak badan. Sedangkan pengertian badan itu sendiri dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1, menyebutkan bahwa: “sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.”
2.1.6.2 Efisiensi PPh Badan Menurut Gustian Djuanda, Ardiansyah. Lubis, Irwannsyah apabila diinginkan suatu beban pajak penghasilan yang efisien, maka yang harus dilakukan yaitu: “1. usahakan penghasilan tersebut tidak termasuk pengertian penghasilan yang dapat dikenakan pajak penghasilamn atau penghasilan yang kena pajak diganti dengan penghasilan yang tidak kena pajak atau pengenaan pajaknya ditangguhkan. 2. tingkatkan biaya-biaya yang dapat dikurangkan atau biaya tertentu yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak dikurangi dan dialihkan ke biaya-biaya yang dapat dikurangi dan dialihkan ke biaya-biaya yang dapat dikurangkan. 3. perpanjang jangka waktu pengenaan pajak atas penghasilan atau perpendek jangka waktu biaya-biaya yang dapat dikurangkan.
72
4. pertimbangkan antara naiknya penghasilan dengan beban pajak yang meningkat, atau naiknya biaya tertentu dengan berkurangnya beban pajak, dan hasil akhir (neto) harus memperbesar laba setelah pajak penghasilan. (Gustian Djuanda. Ardiansyah. Lubis, dan AIrwansyahnsyah, 2003:80-81) Sedangkan menurut Siti Resmi (2008 : 112-115) strategi yang dapat digunakan untuk mengefisiensikan Pajak Penghasilan Badan dapat dilakukan dengan menempuh berbagai upaya, yaitu: “a. Mengambil keuntungan dari berbagai pilihan bentuk badan hukum (legal entity) yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan jeni usaha. Bila dilihat dari perspektif perpajakan, terkadang pemilihan bentuk badan hukum. Bentuk perseorangan, firma, dan persekutuan adalah bentuk yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan perseroan terbatas (PT). Pada PT yang pemegang sahamnya perseorangan atau badan tetapi kurang dari 25% (dua puluh lima persen) akan mengakibatkan pajak atas penghasilan perseroan dikenakan dua kali, yakni pada saat penghasilan diperoleh oleh pihak perseroan dan pada saat penghasilan dibagikan sebagai deviden kepada pemegang saham perseorangan atau badan yang memiliki saham kurang dari 25% (dua puluh lima persen). b. Memilih lokasi perusahaan yang akan didirikan. Umumnya pemerintah memberikan semacam intensif pajak/fasilitas perpajakan khususnya untuk daerah tertentu (misalnya di Indonesia bagian Timur), banyak pengurangan Pajak Penghasilan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008. Disamping itu, juga diberikan fasilitas seperti penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, kompensasi kerugian yang lebih lama dari seharusnya, dan sebagainya. c. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya atau semaksimal mungkin dari berbagai pengecualian, potongan, atau pengurangan atas Penghasilan Kena Pajak yang diperbolehkan oleh undang-undang. Sebagai contoh, jika diketahui bahwa Penghasilan kena Pajak (laba) perusahaan besar dan akan dikenakan tarif pajak tinggi/ tertinggi, maka sebaiknya perusahaan membelanjakan sebagian laba perusahaan untuk hal-hal yang bermanfaat secara langsung untuk perusahaan, dengan catatan tentunya biaya yang dikeluarkan adalah biaya yang dapat dikurangkan (deductible) dalam menghitung penghasilan kena pajak. Sebagai contoh, biaya untuk penelitian dan pengembangan, biaya pendidikan dan latihan pegawai, biaya perbaikan kantor, biaya pemasaran, dan masih banyak biaya lainnya yang dapat dimanfaatkan.
73
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Hal ini tergantung kepada jenis usaha dalam peraturan pajak yang berlaku. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga diatur mengenai penggunaan tarif pajak yang paling menguntungkan antara masing-masing badan usaha. Hal ini bisa dilakukan mengingat bahwa banyak negara termasuk Indonesia mengatur bahwa pembagian deviden antarkorporat tidak dikenakan pajak. Contohnya, PT X pabrik CPO; PT. Y pabrik minyak goring; dan PT. Z adalah distributornya, maka di antara mereka dapat diatur sejumlah keuntungan (margin) yang sekiranya dapat meringankan pajak mereka. Setelah itu baru dibagikan dalam bentuk deviden. Mendirikan perusahaan ada yang sebagai pusat laba (profit center) dan ada yang hanya berfungsi sebagai pusat biaya (cost center). Dari hal tersebut dapat diperoleh manfaat dengan cara menyebarkan penghasilan menjadi pendapatan bagi beberapa Wajib Pajak di dalam satu grup, begitu juga terhadap biaya, sehingga dapat diperoleh keuntungan atas pergeseran pajak (tax shifting) yakni menghindari tarif paling tinggi (maksimum). Tentunya proses ini dapat dijalankan apabila sistem tarif pajak yang berlaku progresif dan penghasilan kena pajak sudah melewati lapisan tarif yang terendah. Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentu uang atau natura dan kenikmatan (fringe benefit) dapat sebagai salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif pajak maksimum (shift to lower bracket). Karena pada dasanya pemberian dalam bentuk kenikmatan/natura dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak bagi pegawai yang menerimanya. Pemilihan metode penilaian persediaan. Ada dua metode penilaian persediaan yang diizinkan oleh peraturan perpajakan, yaitu metode rata-rata (average method) dan metode masuk-pertama keluarpertama (first- in first-out – FIFO method). Dalam kondisi perekonomian yang cenderung mengalami inflasi, metode rata-rata akan menghasilkan harga pokok penjualan yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode FIFO. Harga Pokok Penjualan (HPP) yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi lebih kecil sehingga penghasilan kena pajak juga akan menjadi lebih kecil. Untuk pendanaan aset tetap dapat mempertimbangkan sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease), disamping pembelian langsung, karena jangka waktu guna usaha umumnya lebih pendek dari umur aset dan pembayaran guna sewa guna usaha dapat dibiayakan seluruhnya. Dengan demikian aset tersebut dapat dibiayakan lebih cepat dibandingkan melalui penyusutan jika pembelian dilakukan secara langsung. Melalui pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan peraturan perpajakan yang berlaku. Jika perusahaan mempunyai prediksi laba yang cukup besar maka penyusutan tersebut dapat mengurangi laba
74
j.
k.
l.
m.
kena pajak, dan sebaliknya. Jika diperkirakan pada awal-awal tahun investasi belum bisa memberikan keuntungan akan timbul kerugian, maka pilihannya adalah menggunakan metode penyusutan yang memberikan biaya yang lebih kecil (garis lurus) supaya beban penyusutan dapat ditunda untuk tahun berikutnya. Menghindari dari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan pada transaksi yang bukan objek pajak. Sebagai contoh, untuk jenis PPh yang badannya dikenakan pajak secara final, maka efisiensi PPh Pasal 21 karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimalkan mungkin tunjangan karyawan dalam bantuk natura, mengingat pemberian natura bukan objek PPh Pasal 21. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan. Dalam hal ini Wajib Pajak harus jeli untuk memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan. Sebagai conoth, PPh pasal 22 atas pembelian solar dari Pertamina bersifat final jika pembeliannya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang penyaluran migas, tetapi bila pembeliannya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang pabrikan, maka PPh Pasal 22 tersebut dapat dikreditkan dengan PPh badan. Pengkreditan ini lebih menguntungkan daripada dibebankan sebagai biaya. Keuntungan yang dapat diperoleh sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari nilai pajak yang dikreditkan, dengan asumsi penghasilan kena pajak telah mencapai jumlah yang dikenakan tarif 30% (tiga puluh persen). Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan dengan cara melakukan pembayaran pada saat mendeteksi tanggal jatuh tempo. Khusus untuk menunda pembayaran PPN dapat dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak sampai batas waktu yang diperkenankan khususnya atas penjualan kredit. Perusahaan dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan setelah bulan penyerahan barang (Keputusan Dirjen Pajak Nomor 53/PJ/1994). Menghindari pemeriksaan pajak. Pemeriksaan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak, dilakukan terhadap Wajib Pajak yang; 1) SPT lebih bayar. 2) SPT rugi. 3) Tidak memasukkan SPT atau terlambat memasukkan SPT. 4) Terdapat informasi pelanggaran. 5) Memenuhi criteria tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Menghindari lebih bayar dapat dilakukan dengan cara: 1) Mengajukan pengurangan pembayaran angsuran masa (lump-sum) PPh Pasal 25 ke KPP yang bersangkutan, apabila diperkirakan dalam Tahun Pajak berjalan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. 2) Mengajukan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 Impor apabila perusahaan melakukan impor. Pengajuan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 harus melampirkan:
75
Proyeksi impor setiap bulan selama tahun yang bersangkutan. Proyeksi perhitungan laba/rugi tahun yang bersangkutan. Proyeksi perhitungan PPh Badan yang terutang dan angsuran PPh Pasal 25, serta PPh asal 22 yang menunjukkan lebih bayar apabila dilakukan pembayaran PPh Pasal 22. Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan. n. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara menguasai peraturan perpajakan yang berlaku.” Dalam Indonesia Tax Review diuraikan upaya untuk melakukan efisiensi dalam PPh Badan, antara lain : Alternatif Pembukuan dan Pencatatan Setiap pembayaran pajak yang berstatus badan, diwajibkan oleh ketentuan perpajakan untuk menyelenggarakan pembukuan, yaitu sebuah proses pencatatan yang teratur, yang mengadministrasikan dan memelihara dokumentasi yang berkaitan dengan harta, utang, modal, penjualan, pembelian dan sebagainya. kurang lebih, hal ini adalah sama dengan yang dituntut dalam sebuah sistem akuntansi pada umumya. Selain pembayar pajak yang wajib pembukuan itu, ada pula pembayar pajak yang diperbolehkan hanya melakukan pencatatan, pemeliharaan informasi berkaitan dengan
yaitu
sekedar
peredaran usaha, tanpa diharuskan
menggunakan sistem atau mekanisme tertentu. Kumpulan faktur komersial dan buku kas atau rekening Koran, sudah memenuhi kriteria ini. Pembayar pajak yang boleh memilih model ini, hanyalah pembayar pajak tertentu saja, yaitu pembayar pajak perorangan yang peredaran usahanya kurang dari Rp 600.000.000,00 dalam setahun.
76
Jika pembayar pajak menggunakan pembukuan, maka dalam hal ini ia pun harus menentukan metode pembukuan yang dianutnya. Hal ini penting, menginat bahwa sedapat mungkin metode yang digunakan harus diterapkan secara konsisten dari periode ke periode lain. Metode pembukuan yang umum digunakan adalah metode akrual, penghasilan atau biaya akan diakui saat diperoleh (munculnya hak) atau dibebankan (munculnya kewajiban) secara akuntansi. sebaliknya dalam metode kas, penghasilan dan biaya hanya akan diakui jika sudah benar-benar diterima tunai atau dibayarkan secara tunai. Berkaitan dengan metode kas di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa metode kas yang diakui dalam sistem perpajakan bukanlah metode kas yang murni, melainkan metode kas yang dimodifikasi (modified cas basis), yang memiliki karakteristik antara lain : 1.
Penghitungan jumlah penjualan harus meliputi seluruh penjualan, baik tunai maupun kredit. Begitu pula dalam menghitung harga pokok penjualan, harus memperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan;
2.
Harta yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun, hars dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi;
3.
Biaya yang boleh dibebankan adalah dibayar.
biaya-biaya yang memang telah
77
Transaksi Kesejahteraan Karyawan Selain gaji atau uah, pembayar pajak yang mempekerjakan orang lain sebagai karyawan, biasanya juga memberikan berbagai bentuk balas jasa yang lain. 1. PPh Pasal 21 Pegawai Pembayaran dan pembebanan PPh Pasal 21 yang terutang pada gaji, upah dan imbalan lain yang diterima karyawan berbagai pembayaran pajak orang pribadi dalam negeri, dapat berbentuk :
Beban pegawai atau karyawan yang bersangkutan. Pemberi kerja hanya berlaku sebagai Pemotong PPh pasal 21;
Tunjangan kepada pegawai (gross up), yang tercantum dalam slip gaji atau upah pegawai. Tunjangan ini boleh dibebankan sebagai biaya untuk mengurangi penghasilan bruto dalam penghitungan PPh Badan;
Tanggungan pemberi kerja. PPh Pasal 21 tidak tercantum sebagai tunjangan. Ini adalah kenikmatan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya untuk mengurangi penghasilan bruto dalam penghitungan PPh Badan.
2. Pengobatan/Kesehatan Pegawai Bentuk-bentuk dari fasilitas ini bisa berupa :
Rumah sakit atau klinik yang didirikan oleh perusahaan. ini adalah kenikmatan yang tidak boleh dibebankan secara fiskal;
Penunjukkan dokter atau apotek tertentu sebagai pihak dan tempat yang harus didatangi oleh pegawai jika ingin bertemu dengan dokter dan
78
mengambil obat. Ini juga diperhitungkan sebagai kenikmatan yang tidak boleh dibiayakan secara fiskal.; 3. Premi Asuransi Pegawai Premi asuransi dapat dibebankan sebagai biaya fiskal sepanjang premi tersebt dimasukkan sebagai unsur penghasilan karyawan. Asuransi yang diakui secara fiskal adalah asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, asuransi jiwa, asuransi kematian, asuransi kecelakaan kerja dan asuransi bea siswa. 4. Iuran Pensiun dan Iuran JHT Iuran pensiun dan JHT yang dibayarkan perusahaan adalah biaya bagi perusahaan dan bukan penghasilan bagi karyawan yang bersangkutan. 5. Perumahan Karyawan Bentuk-bentuk dari fasilitas ini bisa berupa:
Penyediaan rumah dinas yang dibeli atau dibangun perusahaan. ini adalah natura dan kenikmatan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya fiskal;
Penggantian uang sewa rumah yang dibayar oleh karyawan dan tidak dapat dibiayakan oleh perusahaan;
Pemberian uang tunjangan perumahan kepada karyawan. Ini adalah biaya perusahaan dan menambah penghasilan karyawan.
6. Transport Karyawan Bentuk-bentuk dari fasilitas ini bisa berupa :
Antar jemput dengan kendaraan perusahaan;
Pemberian tunjangan transport kepada pegawai. Ini adalah biaya perusahaan dan penghasilan karyawan;
79
Pemberian kendaraan perusahaan untuk dibawa
pulang pegawai
(penyusutan hanya diakui 50%). 7. Seragam Karyawan Jika seragam menjadi keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan, keselamatan atau berkaitan dengan lingkungan kerja, maka seragam itu adalah termasuk biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. keharusan ini biasanya merupakan pengharusan dari departemen yang terkait, seperti Depnakertrans misalnya. 8. Natura Lain untuk Pegawai Pemberian natura lainnya kepada karyawan, dapat dibebankan sebagai biaya fiskal dengan cara mengubahnya menjadi tunjangan kepada pegawai yang merupakan Objek PPh Pasal 21. 9. Perjalanan Dinas Biaya perjalanan dinas juga bisa berupa beberapa bentuk yang aspek pajaknya berbeda-beda. 10. Bonus dan Jasa Produksi Bonus dan jasa produksi merupakan biaya yang dikurangkan bila dibebankan dalam tahun berjalan. Bila dibebankan ke retained earnings (laba ditahan) tidak boleh dibiayakan. Tantiem tidak bisa dibebankan sebagai biaya dan merupakan penghasilan bagi penerimanya. 11. Natura di Daerah Terpencil Khusus untuk daerah yang memenuhi syarat sebagai daerah terpencil, natura boleh dibiayakan. Hal ini diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak
80
Nomor KEP-231/PJ/2001 yang didalamnya mengatur pengertian daerah terpencil dan kelompok natura serta kenikmatan yang dapat dibiayakan.
Metode Penyusutan dan Amortisasi Sejak tahun 1995, metode penyusutan dan amortisasi yang diakui perpajakan adalah:
Metode garis lurus;
Metode saldo menurun. Pemilihan metode ini berpengaruh pada kondisi cash flow yang berasal
dari penyusutan. Yang jelas, penyusutan adalah beban
non kas yang akan
membedakan antara laba dalam fiskal dan laba komersial.
Transaksi dengan Aspek Witholding Tax Perusahaan biasanya dilekati dengan kewajiban untuk memotong pajak yang diekspos terhadap penghasilan pihak lain. Kegagalan dalam memenuhi aspek pajak ini, juga akan membawa konsekuensi bagi perusahaan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pemotongan pajak, sekalipun beban pajak itu tidak berada di pundaknya.
Penyertaan pada Perseroan Terbatas Dalam Negeri Dividen yang diterima perusahaan jika melakukan penyertaan ke dalam saham perseroan terbatas dalam negeri, tidak dikenai pajak sepanjang syarat berikut terpenuhi:
81
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
Memiliki saham paling rendah 25% dari jumlah modal disetor; dan
Mempunyai usaha aktif di luar penyertaan itu.
Optimalisasi Kredit Pajak Pajak yang dapat dikreditkan dari jumlah PPh Badan yang terutang adalah pajak yang dibayar sendiri seperti PPh pasal 25. Selain itu, pajak yang dipotong oleh pihak lain yang sifatnya tidak final seperti PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 24. Berkaitan dengan ini, maka bukti setor dan bukti pemotongan harus diadministrasikan dengan baik.
PPh Pasal 25 Sebagaimana diketahui, PPh Pasal 25 adalah cicilan atau uang muka pembayaran pajak yang harus dibayar setiap bulan. Jumlah ini cenderung tetap atau menjadi lebih besar akibat diterbitkannya ketetapan pajak, dan jika dirasakan terlalu besar maka hal ini bisa mengganggu cash flow perusahaan. berkaitan dengan hal tersebut perusahaan dimungkinkan untuk mengajukan permohonan pembayaran PPh Pasal 25.
Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 Untuk dapat memperoleh SKB, ada beberapa syarat yang dipenuhi, yaitu: 1. Dalam tahun berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian.
82
2. Memang berhak melakukan kompesasi kerugian fiskal dalam (SKP atau dalam SPT) sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar daripada perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan. 3. Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang Terutang.
2.1.7 Kebijakan PPh Pasal 21 dalam Hubungannya dengan PPh Badan. Bila ditinjau dari sudut PPh Badan, perlakuan pajak atas kebijakan PPh Pasal 21 tentu akan dikembalikan ke prinsip umum yang berlaku dalam hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan, yaitu taxability-deductibility. Jika perusahaan memberikan benefit in cash, maka berlaku taxable income (Objek PPh Pasal 21) di karyawan dan deductible exspense (biaya fiskal) di perusahaan. bila perusahaan memberikan benefit in kinds (fringe benefit), maka berlaku non taxable income (bukan Objek PPh Pasal 21) di pegawai dan non deductible exspense (bukan biaya fiskal) di perusahaan. Pilihan pemberian kenikmatan atau tunjangan pajak bisa menjadi bagi Wajib pajak untuk melakukan penggeseran pengenaan pajak. Caranya dengan mengubah kebijakan yang dapat memungkinkan Wajib pajak melakukan pergeseran beban, yaitu dari non deductible exspense ke deductible exspense. Pada saat yang sama juga terjadi pergeseran penghasilan, yaitu dari taxable income menjadi non taxable income. Dalam rangka memberikan kesejahteraan yang lebih baik pada karyawannya, beberapa perusahaan memberikan tunjangan PPh pasal 21 kepada
83
karyawannya. Metode Gross Up merupakan salah satu metode penghitungan tunjangan PPh pasal 21 yang diberikan kepada karyawan. Menurut Aditya T Handoko Bwoga-Prime Consulting Tax Center UNPAD dalam Artikel Tips and Trik menjelasan bahwa : ”Tujuan dari gross up di dalam perhitungan pasal 21 adalah untuk mencari tunjangan pajak yang jumlahnya sama dengan pajak yang terutang. Dengan menggunakan rumus ini maka perusahaan dapat membebankan biaya tunjangan pajak sebagai deductible expenses, sehingga dapat mengurangi PPh badan perusahaan yang bersangkutan. Dengan catatan, selama di dukung adanya perjurnalan biaya tunjangan pajak di dalam pembukuan wajib pajak serta juga tercantum dalam slip gaji karyawan.” (http://taxcenter.fe.unpad.ac.id/artikel.asp?ID=4) “Pada perusahaan yang sudah untung/laba, perusahaan akan cenderung memilih gross up dalam penghitungan PPh Pasal 21 karena tunjangan pajak yang diberikan akan dikenai pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 30% (asumsi laba fiskal perusahaan sudah di atas Rp 100.000.000,00). Hal ini disebabkan lapisan tarif progresif akan berulang disetiap pegawai, sehingga cenderung dikenai tarif lebih kecil. Bila disederhanakan penggunaan gross up akan menghasilkan penghematan (efisiensi) PPh Badan sebesar 30% dari tunjangan pajaknya. Angka tersebut harus diselisihkan dengan pemborosan yang terjadi di PPh Pasal 21 akibat perhitungan gross up.” (http://www.indonesiataxconsultant.com/tax_solutions.htm) Jadi analisis penggunaan gross up dalam penghitungan tunjangan PPh Pasal 21 harus dilihat dampaknya baik di PPh Pasal 21 maupu PPh Badan. Bila dampak secara keseluruhan di PPh Pasal 21 dan PPh Badan adalah tax saving, maka gross up bisa menjadi pilihan untuk dijalankan.
84
2.2
Kerangka Pemikiran Pajak merupakan pungutan berdasarkan undang-undang oleh pemerintah.
Sistem pemungutan pajak negara kita menganut self assessment system, yaitu sistem pajak yang didasarkan kepada kepercayaan yang diberikan fiskus kepada wajib pajak untuk melakukan sendiri perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak seperti diatur dalam perundang-undangan. Secara administratif pungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi pajak langsung (direct tax) dan pajak tidak langsung (indirect tax). Beban pajak langsung umumnya ditanggung oleh orang pribadi atau badan, sedangkan pajak tidak langsung ditanggung oleh masyarakat. Menurut Arthur J. Keown, John D. Martin, J. William Petty, David F. Scott (2008:53) terdapat lima aktivitas yang membantu dicapainya laba perusahaan, yaitu: “1. Pendapatan yang diperoleh dari menjual barang atas jasa perusahaan. 2. Harga produksi atau biaya untuk mendapatkan barang-barang atau jasa yang akan dijual. 3. Beban ooperasi yang berhubungan dengan, (a) pemasaran dan distribusi produk atau jasa yang akan dijual. 4. Pembiayaan pada pelaksanaan usaha – yakni, membayar bunga pada kredit perusahaan. 5. Pembayaran pajak-pajak.” Pajak yang diasumsikan sebagai biaya atau beban sangat mempengaruhi pihak manajemen perusahaan dalam meningkatkan laba (profit). Bagi manajer, tugas pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan bagian penting dari pekerjaannya. Berapa besar pajak yang harus dibayar, bagaimana caranya agar pembayaran tersebut efisien, bagaimana cara melakukan penghindaran pajak yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
85
bagaimana hasil penghematan pajak digunakan dan untuk keperluan apa. Keputusan manajer tersebut akan memberikan kerangka bagi anggota lainnya dalam organisasi itu untuk bertindak. Prinsip efisiensi yang diterapkan pengusaha untuk mengurangi segala macam biaya juga berlaku untuk biaya pajak. Misalnya, pembayaran sanksi pajak yang tidak seharusnya terjadi merupakan pemborosan sumber daya perusahaan. Penghindaran pemborosan tersebut merupakan optimalisasi alokasi sumber daya perusahaan yang lebih produktif dan efisien sehingga minimalisasi pemborosan sumber daya tersebut dapat memaksimalkan kinerja dengan benar (doing things right), mengerjakan yang seharusnya (doing the right things), bekerja dengan keras dan secara cermat. Karena pajak dianggap sama dengan biaya usaha lain, timbul upaya mencari jalan supaya pajak dapat dikurangi. Dalam rangka meminimalisir beban pajak, tahap pertama yang harus dilakukan adalah membuat perencanaan pajak. Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam melakukan manajemen pajak, umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi tersebut terkena pajak. Bila suatu transaksi tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya dan lain sebagainya. Menurut Achmad Tjahjono dan M. fakir Husain (2000 :476) upaya wajib pajak untuk mengurangi biaya pajak dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara antara lain :
86
”a. Penghematan pajak (tax saving), yaitu upaya wajib pajak mengelakkan utang pajak dengan jalan menahan diri untuk membeli produk yang ada PPN-nya, mengurangi jam kerja sehingga penghasilannya kecil dan terhindar dari pajak penghasilan yang besar. b. Penghindaran pajak (tax avoidance), yaitu upaya wajib pajak tidak melaksanakan perbuatan yang dikenakan pajak atau manipulasi penghasilan secara legal (memanfaatkan kelemahan Undangundang). c. Penyelundupan pajak (tax evasion), yaitu upaya wajib pajak dengan penghindaran pajak secara ilegal (melawan ketentuan Undangundang) dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.” Tujuan dari perencanaan pajak adalah membuat agar beban pajak serendah mungkin dengan tidak melanggar undang-undang atau peraturan perpajakan yang ada. Manfaat perencanaan pajak pada umumnya adalah: Penghematan kas keluar, dalam hal ini perencanaan pajak dapat mengurangi beban pajak yang merupakan biaya bagi perusahaan. Mengatur aliran kas (cash flow), dalam hal ini perncanaan pajak dapat mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga dapat perusahaan menyusun anggaran kas yang lebih akurat. Meningkatkan penghasilan fiskal sama artinya dengan menurunkan beban fiskal. Jadi langkah selanjutnya adalah mengubah unsur taxable (berdasarkan UU PPh pasal 4 ayat (1) menjadi non-taxable (berdasarkan UU PPh Pasal 4 ayat (3)) atau mengubah unsur deductible (berdasarkan UU PPh Pasal 6 ayat (1)) menjadi non-deductible (berdasarkan UU PPh pasal 9 ayat (1)) sesuai dengan prinsip Taxable dan Deductible. Prinsip ini pada dasarnya mengubah unsur-unsur yang sebelunya merupakan objek PPh menjadi bukan objek PPh, atau yang sebelumnya
87
dianggap sebagai beban menjadi bukan beban yang dapat mengurangi Penghasilan Kena Pajak. Salah satu kebijakan yang dapat diterapkan di perusahaan berdasarkan prinsip taxable dan deductible ini adalah kebijakan yang berkaitan dengan PPh pasal 21 Pegawai tetap. PPh Pasal 21 pegawai tetap dapat diberikan dalam bentuk tunjangan pajak, yang akan menambah penghasilan bruto karyawan, atau ditanggung perusahaan. meskipun gaji yang dibawa pulang (take home pay) oleh pegawai tetap tidak akan menimbulkan perbedaan bila dilihat dari sisi pegawai, akan tetapi perlakuan pajaknya dari sisi perusahaan menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan. Lain halnya dengan tanggungan pajak, tunjangan pajak akan menambah penghasilan pegawai yang menjadi objek PPh dan merupakan biaya yang dapat dibebankan sebagai pengurnag (deductible exspense) dalam menghitung PPh Badan Perusahaan. PPh pasal 21 yang diberikan dalam bentuk tunjangan pajak akan menambah penghasilan pegawai yang menjadi objek PPh dan akan menjadi beban fiskal perusahaan yang dapat dibebankan sebagai pengurang (deductible exspense) dalam menghitung PPh Badan Perusahaan. PPh Badan atau Pajak Penghasilan Badan itu sendiri adalah pajak yang harus dibayar oleh suatu entitas badan, dari laba fiskalnya dalam satu tahun pajak. Laba fiskal adalah adjustment atau penyesuaian laba komersil kepada ketentuan perpajakan. Jadi selaras dengan tujuan perusahaan untuk memperkecil jumlah beban fiskalnya maka perusahaan selain harus mempertimbangkan unsur gaji dan
88
tunjangan, juga harus mempertimbangkan pengaruh ada tidaknya unsur tunjangan pajak dalam komponen tujangan yang bergantung kepada kebijakan PPh pasal 21 mana yang diterapkan perusahaan. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, dinyatakan rumusan hipotesis sebagai berikut, yaitu : “Jika tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan menggunakan gross up diterapkan, maka pengaruhnya Pajak Penghasilan Badan akan efisien.” Dari hal tersebut di atas, penulis membuat bagan kerangka pemikiran sebagai berikut :
89
Perusahaan
Self Assesment
Max. Laba (Laba Komersil)
Laba Fiskal
Koreksi Fiskal
PPh Pasal 21
Tunjangan Pajak (Gross Up)
Penghasilan Pegawai
Beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
PKP Perusahaan menjadi kecil
Min. Beban Pajak
Hipotesis : “Jika tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan menggunakan gross up diterapkan, maka pengaruhnya Pajak Penghasilan Badan akan efisien.”
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Pemikiran
PPh Badan