15
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka 2.1.1.
Status Ekonomi
2.1.1.1. Definisi Status Ekonomi Soekanto dalam Dahlani (2007:13) mendefinisikan status sebagai berikut: ’Status sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok berhubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi.’
Sedangkan status sosial sebagaimana dikemukakan oleh Abdulsyani dalam Dahlani (2007:13), yaitu: ’Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam suatu kelompok dan hubungannya dengan anggota kelompok yang lain dalam kelompok yang sama, kedudukan tersebut diperbandingkan menurut nilai dan kuantitasnya sehingga terlihat ada perbedaan antara kedudukan yang rendah dan yang tinggi.’
Definisi lain dari status sosial dikemukakan Idianto (2005:34), dimana ”status sosial merupakan kedudukan atau posisi sosial seseorang dalam kelompok masyarakat, meliputi keseluruhan posisi sosial yang terdapat dalam suatu kelompok besar masyarakat, dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi.” Adapun definisi dari status sosial ekonomi menurut Chaplin yaitu ’posisi yang ditempati individu atau keluarga yang berkenaan dengan ukuran rata-rata yang umum berlaku tentang pemilikan kultural, pendapatan efektif, pemilikan
16
barang-barang, dan partisipasi dalam aktivitas kelompok dari komunitasnya.’ (Dahlani, 2007:14). Di Indonesia, sangat sulit untuk menentukan tingkat status sosial ekonomi, karena tidak ada kriteria khusus yang membatasi golongan keluarga yang termasuk status sosial ekonomi tinggi, sedang atau rendah. Namun, ada yang menyatakan bahwa kedudukan manusia dalam suatu masyarakat yang heterogen dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan atau status yang dimilikinya. Status yang diperoleh seseorang dalam suatu masyarakat bisa didasarkan atas harta atau kekayaan yang dimiliki, pangkat atau jabatan, dan lain sebagainya. Keadaan sosial ekonomi keluarga tentu mempunyai peranan terhadap perkembangan anak-anak. Anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan cukup (sosial ekonomi cukup), maka anak-anak tersebut lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk memperkembangkan bermacam-macam kecakapan. Dengan adanya perekonomian yang cukup, lingkungan material yang dihadapi anak dalam keluarganya lebih luas. Ia mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak dapat ia kembangkan apabila tidak ada alat-alatnya. Status sosial ekonomi keluarga secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi pendidikan seseorang. Bagi keluarga dengan kondisi ekonomi memadai mungkin dapat memberikan pendidikan kepada anaknya lebih baik. Sebaliknya kelompok
yang kemampuan
ekonominya rendah
cenderung
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya sehingga dapat mempersulit dalam mengikuti pendidikan. Seperti dinyatakan oleh Manan
17
(1989:102) ”karena dia merasa terasing dari masyarakat luas, anak kelas bawah, terutama anak golongan minoritas, sering kali kurang mempunyai dorongan untuk tujuan-tujuan vokasional yang seyogyanya dia mampu mencapainya.” Pendapat lain dari Patmonodewo (2000: 37), ”terdapat perbedaan yang berarti dalam tugas intelektual dan akademik antara anak yang berasal dari keluarga yang kurang beruntung dibandingkan dengan yang lebih beruntung.”. Ketidakmampuan ekonomi keluarga untuk membiayai segala proses yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan merupakan salah satu problem dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sebagaimana disebutkan Ahmadi (2001:256), ”Masalah yang berkaitan dengan pendidikan dan anak didik cukup banyak. Problem tersebut akan menjadi penghambat apabila tidak mendapatkan pemecahan, antara lain problem kemampuan ekonomi yang menempati urutan pertama dari sekian banyak problematika yang dihadapi oleh pendidikan dan anak didik. ”
Sewel dan Hauser (Purwanto, 2004:42) mengemukakan bahwa ’kemampuan ekonomi keluarga akan memberikan pengaruh baik langsung maupun tidak langsung pada pendidikan dan pekerjaan atau jabatan serta mempertimbangkan hasil yang dicapai pada pendidikan dan pekerjaan.’ Ini berarti bahwa kondisi kemampuan ekonomi keluarga turut mempengaruhi pola perilaku individu dalam kehidupannya, termasuk pendidikan dan pekerjaan atau jabatan tertentu yang akan dimasukinya. Menurut John Stone (Soelaiman, 1995:57) ’kelompok yang memiliki status sosial ekonomi rendah kurang menekankan pentingnya pencapaian pendidikan yang tinggi.’
18
Kemudian, dari beberapa penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa ’perbedaan kedudukan dalam lapisan sosial berkaitan dengan perbedaan persepsi dan sikap serta cita-cita rencana pendidikan. Perbedaan tersebut ditemukan dikalangan orang tua maupun kaum remaja. Citra diri (Self Concept) juga berbeda-beda sesuai dengan status dalam stratifikasi sosial.”. (Somantri, 1993:60). Walaupun pemerintah telah menetapkan kebijakan sekolah gratis, namun orang tua tetap harus mengeluarkan biaya untuk pakaian sekolah, uang daftar, buku dan alat tulis lainnya, serta biaya transportasi atau akomodasi bagi siswa yang jauh dari sekolah disamping biaya-biaya lain yang tetap dibebankan pada siswa. Hal-hal tersebut masih dianggap sebagai beban oleh orang tua sehingga membuat mereka enggan untuk menyekolahkan anaknya. Meski demikian status sosial ekonomi tidak dapat dikatakan sebagai faktor multak sebab hal itu bergantung pula kepada sikap orang tua dan corak interaksi dalam keluarga. Walaupun status sosial ekonomi orang tua memuaskan tetapi mereka tidak memperhatikan pendidikan anaknya maka hal tersebut tidak akan menguntungkan bagi perkembangan anak-anak. Sehingga dapat diinfersikan bahwa faktor kemiskinan merupakan penyebab putus sekolah disamping masih banyak faktor lain yang mempengaruhi. Faktor ekonomi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ketidakmampuan keluarga untuk membiayai segala proses yang dibutuhkan selama anak menempuh pendidikan atau sekolah dalam satu jenjang tertentu.
19
2.1.1.2. Indikator Status Ekonomi Latar belakang sosial ekonomi keluarga siswa perlu dipertimbangkan karena akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Perhatian terutama diberikan pada anak-anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang menguntungkan misalnya kemiskinan. Kemiskinan menurut BPS adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan dan non makanan. Di negara berkembang, kemiskinan sering kali mempengaruhi penduduk di pedesaan dimana pengeluaran pemerintah daerah cenderung lebih rendah dari pada perkotaan. Kemiskinan sebagai gejala sosial lebih banyak berkaitan dengan sikap hidup penduduk miskin yang tidak punya keinginan untuk maju
dan
berusaha
memperbaiki
taraf
kehidupan.
Kemiskinan
akan
mempengaruhi kesempatan seseorang untuk memperoleh pendidikan. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukan terdapat korelasi positif antara kesempatan memperoleh pendidikan dengan tingkat pendapatan. Semakin tinggi pendapatan suatu keluarga maka kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi anak-anaknya akan semakin besar. Tetapi semakin kecil pendapatan suatu keluarga maka kesempatan untuk memperoleh pendidikan pun akan semakin kecil. Beberapa indikator latar belakang sosial ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Supriadi (1997:33) adalah sebagai berikut: 1.
pendidikan orang tua
2.
pekerjaan orang tua
20
3.
penghasilan orang tua
4.
tempat tinggal Keempat indikator sosial ekonomi diatas memiliki keterkaitan satu sama
lainnya, dimana ketika orang tua memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi maka akan memperoleh pekerjaan yang baik dengan tingkat penghasilan yang tinggi pula sehingga akan mendapatkan tempat tinggal yang layak. Selain indikator diatas, menurut kriteria Herbert Sorenson (Nasution, 2004:25) ‘tingkat status sosial ekonomi dilihat dari pekerjaan orang tua, penghasilan dan kekayaan tingkat pendidikan orang tua, keadaan rumah dan lokasi, pergaulan dan aktivitas sosial.’ Adapun menurut Sarlito Wirawan (Soelaiman, 1995:39) ‘status sosial orang tua dapat dilihat dari tiga hal yaitu: pendidikan, jabatan atau pekerjaan dan kekayaan.’ Selanjutnya Sarlito Wirawan (M.I Soelaiman, 1995: 39) menjelaskan bahwa : ‘yang termasuk kedalam pendidikan mencakup pendidikan formal, non formal dan pembinaan belajar kepada anak serta perhatian dan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak. Pekerjaan dan jabatan mencakup aktualisasi pekerjaan orang tua, cara memimpin dan keterlibatan orang tua di masyarakat. Sedangkan pekerjaan mencakup penghasilan terutama dalam ukuran bulan dan anggaran biaya pendidikan.’
2.1.1.3. Peran status ekonomi terhadap putus sekolah. Status atau keadaan ekonomi sebuah keluarga adalah faktor eksternal yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya pendidikan seseorang. Namun meskipun faktor eksternal, bukan berarti tidak berpengaruh. Status ekonomi yang dimiliki
21
oleh keluarga sangat besar pengaruhnya baik langsung maupun tidak langsung. Telah banyak penelitian yang berhasil mengungkap besarnya pengaruh kondisi ekonomi keluarga terhadap kemampuan untuk menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. Keadaan ekonomi keluarga serta hubungannya dengan putus sekolah. Anak usia sekolah selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya kebutuhan untuk makan, pakaian, perlindungan kesehatan dan lain-lain, juga membutuhkan berbagai fasilitas belajar. Sedangkan fasilitas belajar itu hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang. Tingginya angka putus sekolah tidak dapat dipungkiri berawal dari ketidakmampuan ekonomi keluarga. Meskipun anak dan orang tua memiliki keinginan yang sangat besar untuk tetap bersekolah hingga selesai, tetapi kenyataannya mereka hidup serba kekurangan maka tidak ada pilihan lain selain berhenti dari lembaga persekolahan. Bagi masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan, jangankan menyisishkan pendapatannya untuk biaya sekolah, untuk kebutuhan pokok pun sering kali kekurangan. Kaitan antara ketidakmampuan ekonomi dengan ketidakmampuan untuk menuntaskan pendidikan dalam teori pembangunan disebut dengan vicious circle atau lingkaran yang tak berujung. Pendidikan yang rendah disebabkan kondisi ekonomi yang buruk. Sebaliknya kondisi ekonomi yang buruk karena masyarakat tidak memiliki bekal pengetahuan untuk hidup yang lebih baik. Digambarkan sebagai berikut:
22
Gambar 2.1 Vicious Circle
Pendidikan
Kesehatan
Ekonomi Lingkaran yang tak berujung tersebut apabila tidak diputus maka akan selamanya seperti itu dan orang yang sudah ada didalamnya akan sulit untuk keluar. Para praktisi pendidikan sepakat bahwa untuk memutus lingkaran yang tak berujung itu harus diawali dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan. Sehingga dengan membaiknya kualitas pendidikan akan dapat meningkatkan
kualitas
kesehatan
dan
tentu
saja
memperbaiki
kondisi
perekonomian. Jika anak hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok anak terganggu, sehingga belajar anak juga terganggu. Bahkan banyak diantaranya anak harus bekerja mencari nafkah untuk membantu perekonomian orang tuanya walaupun anak belum saatnya untuk bekerja. Apalagi dewasa ini banyak anakanak hidup dijalanan. Fenomena mengamen dan minta-minta seperti menjadi tren di kalangan anak-anak. Besarnya jumlah penghasilan mereka dari hidup dijalan jauh melampaui uang saku yang biasa diperoleh dari orang tua. Sehingga pada akhirnya anak menjadi enggan untuk kembali ke bangku sekolah.
23
Sebaliknya anak dari keluarga yang kaya raya, orang tua sering mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anaknya. Mereka mendapatkan segala fasilitas belajar. Bahkan bukan hanya fasilitas belajar formal tetapi juga fasilitas belajar nonformal dan segala kegiatan yang menunjang pendidikan anak seperti bimbingan belajar, les, dan sebagainya. Maka sangat terlihat perbedaan antara anak dari status sosial tinggi dengan segala fasiltas yang dimiliki dan besarnya peluang untuk tetap bersekolah, dengan anak dari keluarga ekonomi lemah dengan segala keterbatasannya dan kesulitan untuk mengakses pendidikan.
2.1.2. Sosial Budaya Menurut Koentjaraningrat dalam Effendi (2007:94) mendefinisikan ’budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.’ Sedangkan Peursen (1976:18), ”kebudayaan dewasa ini hendaklah dilukiskan sebagai sutau tahap, sebagai suatu bagian dalam cerita tentang sejarah perkembangan.” Adapun Keesing menyebutkan bahwa ’kebudayaan meletakan fokusnya pada adat-adat kebiasaan masyarakat’ (Manan, 1989:3) Budaya dalam makna yang paling hakiki adalah sesuatu yang baik. Tak pernah budaya membawa orang kepada keburukan, kemalasan dan sejenisnya. Budaya melatih orang berperilaku jujur, bertanggung jawab, dan peduli kepada sesama. Budaya dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan bersifat baik.
24
Sesungguhnya kebudayaan yang kita miliki seharusnya menjadi kekuatan yang prima dalam pembangunan yang berkelanjutan. Perubahan kebudayaan dapat terjadi karena adanya penemuan baru dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarakat. Menghadapi era globalisasi, masih banyak masyarakat yang tidak mendukung perubahan budaya. Mereka dikatakan sebagai masyarakat dengan keterbelakangan budaya. Keterbelakangan budaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan. Masyarakat dengan keterbelakangan budaya kurang menaruh minat dan perhatian terhadap nilai-nilai pendidikan, kemajuan IPTEK, tidak berorientasi ke masa depan, dan tidak ikut berperan serta dalam pembangunan sebab mereka kurang memiliki dorongan untuk maju. Seperti yang dinyatakan oleh Koentjaraningrat (1987:32) ”sikap mental orang Indonesia umumnya belum siap untuk pembangunan.” Kendala budaya yang dimaksudkan adalah pandangan masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan tidak penting. Pandangan banyak anak banyak rejeki membuat masyarakat di pedesaan lebih banyak mengarahkan anaknya yang masih usia sekolah diarahkan untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah. Di daerah pedesaan, sering kali perempuan menjadi beban dalam keluarga, dimana
biasanya
mereka
kurang
berpendidikan
dibandingkan
laki-laki,
mempuanyai kesempatan kerja yang lebih sedikit, dan menerima upah yang jauh lebih rendah. Selain mengurus keluarga, mereka juga harus membantu kepala keluarga untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Mereka juga kadang-kadang bekerja di sektor pertanian dan sektor informal lainnya dimana pekerjaannya
25
membutuhkan kerja keras, jam kerja yang panjang, dan upah yang rendah. Oleh karena itu pendidikan yang tinggi bagi perempuan dianggap tidak penting karena kurang memberikan dampak yang positif bagi pekerjaan dan kehidupan perempuan. Berbeda dengan pandangan sosiokultural masyarakat perkotaan yang pada umumnya memiliki pola fikir maju, terbuka dengan hal-hal yang baru dan berwawasan jauh kedepan. Mereka tidak lagi terikat dengan alam dan tradisitradisi yang sering kali menghambat pembangunan. Masyarakat perkotaan telah memiliki suatu keyakinan bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang dan tidak akan pernah ada habisnya. Mereka cenderung memilih untuk mewariskan pendidikan yang tinggi pada anak-anaknya, bukan mewariskan harta sebagai mana yang terjadi pada masyarakat desa. Maka apabila masyarakat desa menempa keturunannya dengan memupuk harta sebanyak mungkin, sebaliknya masyarakat kota menempa anak-anaknya dengan pendidikan. Pandangan sosiokultural keluarga dan masyarakat tentang penting atau tidaknya sekolah juga kerap kali menentukan keberlangsungan nasib siswa dalam melanjutkan pendidikan. Selain itu, pandangan tentang penting atau tidaknya pendidikan juga menjadi penyebab anak enggan berangkat sekolah hingga akhirnya putus sekolah. Persoalan ini merupakan suatu bentuk kecenderungan semakin menurunnya mentalitas masyarakat. Padahal, anak merupakan harapan generasi penerus pembangunan. Sebagaimana dinyatakan Manan, (1989:9) bahwa ”pendidikan adalah penanaman pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada
26
masing-masing generasi dengan menggunakan pranata-pranata, seperti sekolahsekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan tersebut.” Permasalahan mengenai kelemahan mentalitas untuk pembangunan disebutkan Koentjaraningrat (1987:43-55) adalah: 1. sifat mentalitas yang meremehkan mutu 2. mentalitas yang suka menerabas 3. sifat tidak percaya pada diri sendiri 4. sifat tidak berdisiplin murni 5. sifat tidak bertanggung jawab Mentalitas atau budaya yang menghambat proses pembangunan dalam bidang pendidikan sebagaimana dinyatakan Effendi (2007: 69-70) adalah: 1.
perbedaan persepsi dan sudut pandang pendidikan
2.
sikap tradisionalisme yang berprasangka buruk terhadap hal-hal baru
3.
hambatan budaya yang berkaitan dengan faktor psikologis
4.
masyarakat daerah terpencil yang kurang komunikasi dengan masyarakat luar karena pengetahuannya yang serba terbatas seolah-olah tertutup untuk menerima program pembangunan Adapun Burhanuddin (2008:21), faktor budaya terkait dengan
kebiasaan masyarakat disekitar yang menghambat pendidikan adalah: 1.
rendahnya kesadaran orang tua atau masyarakat akan pentingnya pendidikan.
2.
anggapan tanpa bersekolah pun anak-anak mereka dapat hidup layak seperti anak lainnya yang bersekolah.
27
3.
di desa jumlah anak yang tidak bersekolah lebih banyak dan mereka dapat hidup layak maka kondisi seperti itu dijadikan landasan dalam menentukan masa depan anaknya. Dapat disimpulkan bahwa semakin suatu masyarakat terikat dengan
budaya-budaya atau tradisi kuno yang tidak berorientasi ke depan dan untuk kemajuan pendidikan, semakin sulit mengharapkan perbaikan kualitas dan kuantitas pendidikan. Padahal, suatu nilai budaya yang perlu dimiliki oleh manusia Indonesia dari semua lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa depan. Nilai budaya semacam itu akan mendorong manusia untuk melihat dan merencanakan masa depan dengan lebih seksama. Koentjaraningrat (1987:36) mengungkapkan: ”Suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk pembangunan harus berusaha agar banyak dari warganya lebih menilai tinggi orientasi ke masa depan, dan demikian bersifat hemat untuk bisa lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan, lebih menilai tinggi hasrat explorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi, lebih menilai tinggi orientasi ke arah achievement dari karya, dan akhirnya menilai tinggi mentalitas berusaha atau kemampuan sendiri, percaya kepada diri sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab sendiri.”
Pendidikan merupakan sarana transfer nilai-nilai budaya yang paling efektif. Menurut Hutchin dalam Manan (1989:104): ”tujuan utama pendidikan adalah untuk mengetahui apa yang baik untuk manusia. Untuk mengetahui yang baik-baik menurut urutannya. Ada satu hirarki nilai. Tugas pendidikan adalah menolong kita untuk mengertinya, membentuknya, dan hidup dengan yang baik-baik.”
Pendidikan mengharapkan terbentuknya manusia yang modern, yakni manusia yang menaruh perhatian dan menilai tinggi hal-hal yang bersifat material,
28
bersikap terbuka terhadap perubahan, penuh perencanaan hidup, menghargai waktu, menilai tinggi IPTEK dan percaya bahwa hidup tidak selalu pasrah kepada nasib,
berorientasi
ke
masa
depan,
berani
mengambil
resiko
untuk
mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya, memiliki jiwa yang sabar dan tabah, dan mampu hidup bekerjasama secara disiplin dan penuh tanggung jawab.
2.1.3. Lingkungan Geografis Lingkungan adalah segala sesuatu dari luar individu. Dalam keseluruhan tingkah lakunya, individu berinteraksi dengan lingkungan baik disadari maupun tidak disadari, langsung maupun tidak langsung. “Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar baik benda hidup, benda mati, termasuk manusia lainnya serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi diantara elemen-elemen alam.” (Effendi, 2007:145)
Definisi
lain,
disebutkan
oleh
Suryosubroto
(1990:17)
bahwa
“lingkungan berarti segala hal yang berada diluar diri anak yang dapat mempengaruhi perkembangannya.” Soekanto dalam Agus (2008:3), lingkungan dibedakan dalam kategorikategori sebagai berikut: 1. Lingkungan fisik, yakni semua benda mati yang ada di sekeliling manusia. 2. Lingkungan biologi, yakni segala sesuatu di sekeliling manusia yang berupa organisme yang hidup (manusia termasuk juga di dalamnya).
29
3. Lingkungan sosial yang terdiri dari orang-orang, baik individual maupun kelompok yang berada di sekita manusia. Lingkungan mempunyai arti penting bagi manusia. Dengan lingkungan fisik manusia dapat menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan materilnya, dengan lingkungan biologi manusia dapat memenuhi kebutuhan jasmaninya, dan dengan lingkungan sosialnya manusia dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya. Bagi manusia, lingkungan dipandang sebagai tempat beradanya manusia dalam melakukan segala aktivitas kesehariannya, olehnya lingkungan tempat beradanya manusia menentukan seperti apa bentukan manusia yang ada di dalamnya. Lingkungan geografis disebut juga lingkungan alami yaitu faktor yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses belajar misalnya keadaan udara, cuaca, waktu, tempat atau gedungnya, alat-alat yang dipakai untuk belajar seperti alat-alat pelajaran. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan lingkungan geografis atau lingkungan alam kepada tempat atau lokasi sekolah dan jarak tempat tinggal siswa dengan sekolah. Lokasi dari pada letak tempat pendidikan mempengaruhi jalannya pendidikan, seperti di desa dengan di kota. Ada pola yang berbeda dalam tingkat putus sekolah antara sekolah-sekolah di berbagai lokasi geografis, termasuk antar desa, dan antar kecamatan. Berkaitan dengan lokasi sekolah, unsur waktu (jarak) dan biaya merupakan faktor penting dalam merencanakan suatu lokasi sekolah. Lokasi sekolah yang dekat, prasarana jalan yang baik, ditunjang fasilitas yang lengkap menciptakan sekolah yang ideal sehingga kapasitas akan terpenuhi. Lokasi
30
sekolah seperti ini hanya terjadi untuk sekolah-sekolah di perkotaan umumnya atau di perdesaan yang sudah maju. Tapi untuk daerah terpencil kendala lokasi jarak dan sulitnya atau mahalnya biaya transportasi menjadi kendala pemenuhan kapasitas daya tampung sekolah. Akibatnya banyak sekolah yang kekurangan siswa, atau angka partisipasi siswa untuk bersekolah kecil. Lokasi yang jauh di wilayah-wilayah yang secara geografis sangat luas dan aksesnya terbatas, seperti wilayah-wilayah pedalaman, untuk mencapai sekolah yang berjarak puluhan kilometer tentu bukan perkara mudah. Jika kondisi transportasi wilayah memang sulit dan memakan biaya besar, bisa dipastikan putus sekolah bagi anak tinggal menunggu waktu. Walter Christallei Timr dan August Losch, dalam Mulyarto (2008:5) mengembangkan teori tempat pusat (central place theory). Konsep utama dalam teori ini adalah apa yang dinamakan dengan the range of good dan the threshold value. Range of good service merupakan jarak yang ditempuh para konsumen menuju suatu tempat untuk mendapatkan pelayanan, adapun threshold value atau threshold population merupakan jumlah penduduk minimal yang dibutuhkan suatu unit pelayanan sebelum dapat beroperasi secara menguntungkan. Maka dari itu, sekolah sebagai suatu unit pelayanan, juga harus memperhatikan letak atau lokasi sekolah dimana letak suatu sekolah diharapkan dalam suatu lokasi yang baik atau optimal. Menurut Daldjoeni (1992:61), lokasi optimal adalah lokasi yang terbaik secara ekonomis. Model yang sederhana dari teori lokasi adalah memperoleh keuntungan ekonomi dengan cara meminimkan biaya transportasi. Pemilihan
31
lokasi yang strategis merupakan hal penting. Lokasi adalah tempat suatu perusahaan melakukan kegiatannya. Dalam menentukan lokasi perusahaan, Sumarni dalam Fadilah (2007:29) mengemukakan dasar teori lokasi yaitu ”tempatkanlah pada titik geografis yang paling banyak memberikan kesempatan kepada perusahaan didalam usaha mencapai tujuannya,” Tempat atau gedung sekolah mempengaruhi belajar siswa. Menurut Suryabrata (2004:233-234): “letak sekolah atau tempat belajar harus memenuhi beberapa syarat seperti tempat yang tidak terlalu dekat dengan kebisingan atau jalan ramai, lalu bangunan itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam ilmu kesehatan sekolah.”
Gedung sekolah yang efektif untuk belajar memiliki ciri-ciri seperti letaknya jauh dari tempat-tempat keramaian (pasar, gedung bioskop, bar, pabrik dan lain-lain), tidak menghadap ke jalan raya, tidak dekat dengan sungai, dan sebagainya yang dapat membahayakan keselamatan siswa. Dalam penempatan lokasi sekolah, perlu diperhatikan biaya dan kesulitan transportasi yang dialami peserta didik karena semakin jauh dan sulit mencapai sekolah, biaya pendidikan akan semakin tinggi sehingga sekolah menjadi tidak efisien. Ada beberapa hal yang yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi sekolah sebagaimana panduan DEPDIKBUD, yaitu: 1.
memperhatikan peta pendidikan seperti luas penyebaran penduduk, jumlah penduduk usia sekolah dan lulusan jenjang sebelumnya untuk menghindari kekurangan unit gedung atau kekurangan siswa
32
2.
peruntukan lahan harus sesuai dengan lokasi pendidikan sehingga proses belajar mengajar tidak terganggu
3.
kondisi fisik lahan harus siap bangun sehingga tidak diperlukan biaya tembahan yang besar
4.
melengkapi dokumen administrasi untuk menghindari gugatan atau sengketa di masa depan
2.1.4. Putus Sekolah 2.1.4.1. Definisi Putus Sekolah Putus sekolah merupakan persoalan yang dihadapi oleh semua negara miskin. Putus sekolah atau drop out berarti ketidakmampuan seseorang untuk melanjutkan pendidikannya hingga jenjang yang lebih tinggi. Semakin tinggi angka putus sekolah mengindikasikan semakin rendahnya mutu atau kualitas pendidikan di negara yang bersangkutan. Angka putus sekolah atau drop out yang tinggi mempersulit peluang anak-anak untuk menempuh SD atau SLTP hingga selesai dan kemudian melanjutkan pada jenjang berikutnya. Artinya anak yang mengalami putus sekolah sulit untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. ”Putus sekolah (dalam bahasa Inggris dikenal dengan Drop Out) adalah proses berhentinya siswa secara terpaksa dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar. Drop out perlu dicegah karena hal ini dipandang sebagai pemborosan biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan sebelumnya. Banyaknya peserta didik drop out adalah indikasi rendahnya produktivitas pendidikan.” (Imron, 2004:33).
33
2.1.4.2. Faktor Penyebab Putus Sekolah Banyaknya siswa-siswa yang tidak berhasil dalam belajar, termasuk banyaknya anak-anak putus sekolah bisa dilihat dari berbagai faktor. Putus sekolah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terlantarnya anak dari sebuah lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai faktor. Grand theory yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teori putus sekolah C.E. Beeby (1980:176-177), yang memaparkan penyebab tingginya angka putus sekolah yaitu: 1.
faktor ekonomi merupakan faktor utama yang menyebabkan siswa mengalami drop out adalah keadaan sosial ekonomi orang tua sehingga tidak mampu membiayai pendidikan
2.
terbatasnya kesadaran orang tua terhadap pentingnya pendidikan anak
3.
faktor kebosanan atau kejenuhan, rendahnya aspirasi siswa drop out itu sendiri, baik yang menyangkut cita-cita belajar, motivasi belajar, dan kemampuan belajar Kemudian, dua aspek penyebab putus sekolah yang diungkapkan Bentri
(2009:2) sebagai berikut: 1.
faktor internal (dalam diri) meliputi kemampuan, minat, motivasi, nilainilai dan sikap, ekspektasi (harapan), dan persepsi siswa tentang sekolah.
2.
faktor eksternal (luar diri) siswa meliputi latar belakang ekonomi orangtua, persepsi orangtua tentang pendidikan, jarak sekolah dari rumah, hubungan guru-murid, usaha yang dilakukan pemerintah (meliputi pemberian bantuan dan pengadaan sarana dan prasarana).
34
Selain itu, Imron (2004:34) dalam bukunya Manajemen Peserta Didik Berbasis Sekolah menjelaskan sebab-sebab mengapa peserta didik drop out dan tidak menyelesaikan pendidikannya yaitu: 1.
rendahnya kemampuan yang dimiliki menyebabkan peserta didik merasa berat untuk menyelesaikan pendidikannya
2.
tidak memiliki biaya untuk sekolah. Ini terutama banyak terjadi di daerah pedesaan dan kantong-kantong kemiskinan
3.
sakit yang tidak tahu kapan sembuhnya sehingga jauh tertinggal dengan peserta didik lainnya
4.
harus bekerja. harus membantu orangtua di ladang
5.
di drop out oleh sekolah
6.
peserta didik menginginkan drop out dan tidak mau sekolah
7.
terkena kasus pidana dengan kekuatan hukuman yang sudah pasti
8.
sekolah dianggap sudah tidak menarik lagi bagi peserta didik Menurut Sutadipura (1983:74), drop out atau putus sekolah disebabkan
karena: 1.
lingkungan yang tidak merupakan perangsang untuk anak-anak
2.
keadaan sosial orang tua yang memerlukan bantuan anak-anaknya untuk ikut mencari nafkah
3.
kurang adanya dedikasi atau panggilan dari gurunya sehingga pada anakanak timbul semacam antipati, baik terhadap mata pelajaran, maupun terhadap gurunya.
35
Pendapat lain dari Yunita (2007:11), beberapa faktor yang menyebabkan para remaja putus sekolah, antara lain: 1.
biaya sekolah yang terlalu mahal
2.
sekolah membosankan
3.
tidak dapat membeli buku dan peralatan belajar
4.
guru melakukan kekerasan
5.
letak lokasi sekolah (Unit Sekolah Baru) yang susah diakses, jarak sekolah dan tempat tinggal terlalu jauh, susah ditempuh dan butuh biaya tinggi dalam hal transportasi
6.
kurangnya fasilitas pendukung seperti sarana prasarana pendukung seperti bangku, meja, papan tulis, peralatan praktik dan laboratorium
7.
faktor ekonomi keluarga, banyak siswa yang harus membantu ekonomi keluarga sehingga mengorbankan pendidikannya.
8.
pertimbangan lingkungan yang kurang kondusif seperti letak sekolah yang jauh dari rumah penduduk, dekat dengan daerah rawan bencana dan sanitasi yang buruk. Selanjutnya, putus sekolah menurut Mudyahardjo (2001:90) merupakan
salah satu bentuk kegagalan sekolah, sehingga dapat dijelaskan dengan konsep sebagai berikut:
36
Gambar 2.2 Konsep Kegagalan Sekolah Variabel Lingkungan: 1. lokasi sekolah 2. luas sekolah 3. organisasi sekolah 4. bangunan dan perlengkapan sekolah 5. ekonomi masyarakat
Kegagalan sekolah 1. putus sekolah 2. tinggal kelas
Variabel Murid: 1. kesiapan belajar 2. kemampuan belajar 3. gaya belajar Beberapa penelitian lain yang dilakukan oleh BPS, menunjukkan bahwa penyebab anak putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan sekolah adalah antara lain karena: 1.
tidak mampu membiayai
2.
pendidikan yang diperoleh sudah dianggap cukup
3.
tidak mampu pikirannya
4.
jarak tempat sekolah dengan rumah terlalu jauh
5.
kawin usia muda; Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa putus sekolah
disebabkan oleh banyak faktor, yaitu: 1.
faktor ekonomi yaitu pendapatan keluarga yang tidak mencukupi sehingga tidak ada alokasi untuk biaya pendidikan atau sekolah anak
37
2.
faktor budaya yaitu budaya penghambat pembangunan seperti rendahnya mentalitas masyarakat, gender, tradisi menikah usia muda
3.
iklim geografis yang kurang menguntungkan yaitu wilayah pedesaan sulit mendapatkan akses pendidikan, jarak sekolah terlalu jauh karena pendidikan atau sekolah tinggi masih terkonsentrasi di perkotaan
4.
faktor internal siswa seperti malas sekolah, lebih memilih bekerja karena akan mendapatkan penghasilan, sakit, terkena kasus pidana, terbatasnya sumber-sumber belajar, dan sebagainya.
2.1.5. Kajian Empirik Beberapa Hasil Penelitian Beberapa hasil penelitian terdahulu yang membahas mengenai putus sekolah atau ketidakmampuan siswa dalam melanjutkan pendidikan dasar adalah: Tabel 2.1 Kajian Empirik Hasil Penelitian Nama Judul Hasil Penelitian No 1. Manap Tesis: Penelusuran Faktor yang menyebabkan siswa tidak Somantri penyebab rendahnya melanjutkan adalah: tingkat melanjutkan a. membantu pekerjaan orangtua dari SD ke SLTP dan b. orangtua tidak memiliki implikasinya bagi penghasilan tetap pemantapan rencana c. pendidikan orangtua juga rendah pelaksanaan wajib d. merasa cukup dengan tamat SD belajar SLTP di e. merasa tanggung bila melanjutkan Kabupaten Bogor hanya sampai SLTP (1993) f. cukup puas dengan hanya bisa membaca, menulis, dan berhitung g. kekhawatiran tidak mendapatkan pekerjaan lebih baik bila lulus SLTP h. orang tua hanya mampu memberi biaya SPP, tanpa uang saku dan peralatan sekolah i. ingin lokasi sekolah yang dekat tetapi tidak tersedia
38
2.
Nunung Sanuhri
3.
Lulu Fadilah
2.2.
Tesis: perencanaan strategis angka melanjutkan sekolah lulusan SD/MI ke SMP/MTs dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di Kabupaten Indramayu (1999) Skripsi: Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun di Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi (2007)
Hasil penelitian penghambat keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun: a. keadaan ekonomi lemah b. fasilitas sekolah kurang memadai c. sulitnya transportasi d. rendahnya partisipasi orang tua e. kurang optimalnya tim koordinasi wajib belajar pendidikan dasar Hasil penelitian faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan dasar 9 tahun: a. pendapatan orang tua b. budaya c. harapan mendapat pekerjaan
Kerangka Pemikiran Putus sekolah merupakan permasalahan yang tidak pernah selesai.
Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulanginya, namun permasalahan ini semakin kompleks karena dihadapkan pada berbagai persoalan lain. Putus sekolah perlu dicegah sedini mungkin karena dipandang sebagai pemborosan biaya yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Drop out juga mengindikasikan rendahnya produktivitas pendidikan. Selain itu, putus sekolah juga akan semakin menyulitkan kemungkinan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, harus diidentifikasi berbagai penyebab terjadinya putus sekolah sehingga dapat diambil alternatif penyelesaian dari masalah tersebut. Dari sekian banyak penyebab putus sekolah, penulis mengidentifikasi tiga penyebab, yang pertama dan utama alasan status sosial ekonomi keluarga. sebagaimana teori C.E. Beeby, “faktor ekonomi merupakan faktor utama yang
39
menyebabkan siswa mengalami drop out adalah keadaan sosial ekonomi orang tua sehingga tidak mampu membiayai pendidikan”. Status sosial ekonomi yaitu posisi yang ditempati individu atau keluarga yang berkenaan dengan ukuran rata-rata yang umum berlaku tentang pemilikan kultural, pendapatan efektif, pemilikan barang-barang, dan partisipasi dalam aktivitas kelompok dari komunitasnya. Dari berbagai kasus putus sekolah, alasan kondisi ekonomi keluarga yang lemah telah menyebabkan siswa dengan terpaksa meninggalkan bangku sekolah agar dapat membantu orang tua ikut mencari nafkah. Meskipun pemerintah telah membebaskan biaya pendidikan namun orang tua tetap mengeluarkan berbagai biaya selama sekolah. Anak harus mengeluarkan biaya untuk pakaian sekolah, uang daftar, buku dan alat tulis lainnya serta biaya transportasi. Hal tersebut membuat orang tua merasa terbebani sehingga membuat mereka enggan untuk menyekolahkan anaknya. Alasan kedua adalah budaya atau tradisi, dimana masih banyak ditemui budaya penghambat pembangunan dalam pendidikan, seperti masalah kesetaraan gender dimana laki-laki memiliki hak yang lebih untuk bersekolah dari pada perempuan. Budaya menikah di usia muda terutama pada perempuan, dan merasa tabu jika sampai pada batas usia tertentu anak belum menikah. Kemudian pola fikir atau pandangan orang tua yang tidak mementingkan pendidikan karena bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana bisa mendapatkan uang (kekayaan) sehingga bisa mendapatkan posisi atau strata yang lebih tinggi di masyarakat. Kondisi tersebut sebagaimana dinyatakan oleh C.E. Beeby bahwa “faktor
40
penyebab putus sekolah adalah terbatasnya kesadaran orang tua terhadap pentingnya pendidikan anak “. Alasan ketiga yaitu lingkungan geografis, dalam hal ini jarak dan letak sekolah. Letak sekolah yang tidak strategis dapat menimbulkan keengganan siswa untuk bersekolah. Sentralisasi sarana pendidikan diwilayah perkotaan membuat wilayah pedesaan dan wilayah terpencil lainnya kesulitan menjangkau fasilitas pendidikan tersebut. Begitu pula dengan jarak tempuh ke sekolah, semakin jauh jarak rumah ke sekolah semakin memperkecil peluang seseorang untuk terus melanjutkan pendidikan karena semakin besar biaya dan pengorbanan yang harus dikeluarkan. Louis William Stern dengan teori Konvergensinya menyatakan bahwa hasil pendidikan tergantung dari lingkungan. Begitu pula dengan teori medan yang dikembangkan oleh Kurt Lewin, bahwa hasil belajar dipengaruhi oleh lingkungan (environment). Dari kedua teori ini dapat ditarik kesimpilan bahwa pendidikan atau kegiatan sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Ketika lingkungan mendukung maka pendidikan dapat berhasil. Sebaliknya ketika lingkungan tidak mendukung maka akan sulit untuk dapat mencapai keberhasilan pendidikan. Akibatnya banyak terjadi kasus putus sekolah. Dari konsep diatas, jelas tergambar bahwa status ekonomi keluarga, sosial budaya, serta lingkungan geografis sangat berpengaruh terhadap tingkat putus sekolah. Maka dari itu dapat dibuat sebuah paradigma berfikir sebagai berikut:
41
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Hubungan antara Status Ekonomi, Sosial Budaya, dan Lingkungan Geografis terhadap Putus Sekolah STATUS EKONOMI (X1)
SOSIAL BUDAYA
PUTUS SEKOLAH
(X2)
(Y)
LINGKUNGAN GEOGRAFIS (X3)
2.3.
Hipotesis Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang penting kedudukannya dalam
penelitian, dimana hipotesis merupakan suatu petunjuk yang akan memudahkan dalam mengumpulkan dan mengambil data. Hipotesis adalah pernyataan tentatif yang merupakan dugaan atau terkaan tentang apa saja yang kita amati dalam usaha untuk memahaminya. Hipotesis dapat diturunkan dari teori, akan tetapi adakalanya sukar diadakan perbedaan yang tegas antara teori dan hipotesis. Ada yang menganggap bahwa dalam kenyataan teori merupakan “an elaborate hypotesis”. Dalam taraf permulaannya teori-teori ini sering merupkan hipotesis yang perlu dibuktikan kebenarannya (Nasution, 1996:38).
42
Good dan Scates dalam Nazir (2003:151), mendefinisikan hipotesis sebagai berikut: “Hipotesis adalah sebuah taksiran atau referensi yang dirumuskan serta diterima untuk sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati ataupun kondisi-kondisi yang diamati, dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah-langkah penelitian selanjutnya.”
Adapun Sudjana (2005:219) mendefinisikan “hipotesis adalah asumsi atau dugaan mengenai sesuatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu yang sering dituntut untuk melakukan pengecekannya.” Demikian juga seperti halnya yang dikemukakan Surakhmad dalam Mulyasari (2000:26), memberikan batasan tentang hipotesis yaitu “Suatu yang masih kurang (hipo) dan sebuah kesimpulan (thesis), dengan kata lain bahwa hipotesis adalah sebuah kesimpulan tetapi kesimpulan ini belum final dan masih harus dibuktikan kebenaranya”. Hipotesis dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua macam. Yaitu hipotesis Mayor dan hipotesis minor. Hipotesis mayor adalah hipotesis induk yang menjadi sumber dari anak-anak hipotesis (hipotesis minor). Sedangkan hipotesis minor merupakan penjabaran dari hipotesis mayor tersebut. Dari pengertian diatas, hipotesis dari penelitian yang akan penulis lakukan adalah: a. Hipotesis Mayor Status ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan geografis berpengaruh terhadap putus sekolah
43
b. Hipotesis Minor 1. status ekonomi berpengaruh negatif terhadap putus sekolah. Artinya jika status ekonomi meningkat maka angka putus sekolah akan menurun. 2. sosial budaya berpengaruh positif terhadap putus sekolah. Artinya semakin tinggi budaya penghambat pembangunan dan pendidikan akan semakin tinggi pula angka putus sekolah. 3. lingkungan geografis berpengaruh positif terhadap putus sekolah. Artinya semakin jauh jarak tempuh rumah ke sekolah akan semakin tinggi angka putus sekolah.