BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1.
Kajian Pustaka
2.1.1. Pernikahan Menurut Dariyo (dalam Sukmadiarti, 2011) pernikahan merupakan ikatan kudus antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa. Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menambahkan bahwa pernikahan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri. Menurut bahasa, nikah berarti penyatuan. Adapun menurut syari’at, nikah juga berarti akad. Rasulullah SAW sendiri menerangkan, bahwa pada kenyataannya nikah itu tidak hanya sekedar akad. Akan tetapi, lebih dari itu, setelah pelaksanaan akad si pengantin harus merasakan nikmatnya akad tersebut. Menurut istilah (dalam Arif, 2010), nikah adalah suatu akad atau pernyataan kesepakatan antara sepasang pria dan wanita dengan syarat dan rukun tertentu untuk hidup bersama dalam membangun rumah tangga. Pernikahan bagi masyarakat Indonesia menurut Adrina, dkk (1998), baru dapat dikatakan resmi apabila sudah mendapatkan pengukuhan dari masyarakat, misalnya, melalui upacara di depan penghulu serta menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami-istri. Menurut Mohamad (1998),
7
8
pernikahan yang dahulu merupakan ritus adat, saat ini di ambil alih oleh Negara dan dijadikan sebagai ketentuan hukum dan di atur dalam undang-undang. Pengertian pernikahan itu sendiri menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan beberapa definisi pernikahan di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu ikatan yang suci baik secara lahir maupun batin antara pria dan wanita dan memiliki komitmen, keintiman, cinta kasih dan adanya peran sebagai suami istri. 2.1.1.1. Periode Pernikahan Menurut Strong dan De Vault (Lydia) mengemukakan beberapa periode perkawinan sebagai berikut: a. Periode Tahun Awal Dimulai saat seseorang baru menikah dan belum memiliki anak. Tahap ini merupakan tahun yang sangat kritis, karena seseorang mengalami transisi dalam kehidupannya. Tahun pertama perkawinan ini akan menentukan perkembangan perkawinan selanjutnya, apakah akan menjadi lebih baik atau malah memburuk. Masa ini berlangsung 10 tahun pertama perkawinan, yang meliputi fase perkenalan awal diikuti oleh fase menetap. Selama fase perkenalan, satu sama lain saling mengenal kebiasaan seharihari. Mereka menetapkan peraturan kehidupan sehari-hari, menyelesaikan sekolah, memulai karir atau merencanakan kehadiran anak pertama. Pada
9
fase menetap, pasangan masih mengejar karir, memutuskan memiliki anak dan mengatur peran masing-masing. Mereka saling menyesuaikan harapan sesuai dengan peran yang atas dasar jender, hukum, dan pengalaman pribadi yang dipelajarinya. Satu sama lain saling memberikan pendapatnya tentang pembagian peran yang akan dijalankan sebagai pasangan suamiistri. Pasangan suami-istri yang memiliki latar belakang yang sama akan lebih mudah menyesuaikan diri satu sama lain, karena mempunyai harapan yang sama terhadap pasangannya. Sedangkan perbedaan latar belakang keluarga (seperti agama, suku bangsa, sosial dan keluarga yang retak) akan mengganggu proses penyesuaian perkawinan. b. Periode Perkawinan Muda Diawali dengan mulai adanya anak dalam kehidupan pasangan suami-istri. Istri berhenti bekerja dan mengasuh anak, mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan rutin dalam perkawinan. Sedangkan bagi perempuan berkarir yang tetap bekerja, harus mampu membagi waktunya dengan baik dalam mengurus rumah tangga, anak serta pekerjaannya. c. Periode Tahun Pertengahan Periode ini antara tahun ke 11 sampai dengan ke 30 tahun perkawinan. Jika pasangan memiliki anak, maka fase ini di isi dengan fokus pada pengembangan anak dan pengasuhan keluarga, serta menetapkan tujuantujuan baru untuk masa depan. Jika pasangan tidak memiliki anak, maka fase ini didedikasikan untuk karir, aktivitas kemasyarakatan atau tugastugas sosial. Titik beratnya adalah kebahagiaan dan kesejahteraan
10
pasangan hidupnya. Pada periode ini, anak sudah berkembang menjadi remaja yang memiliki nilai-nilai dan ide pergaulan yang berbeda. Untuk itu seringkali terjadi konflik antara anak dengan orangtua. Hal lain yang terjadi, pasutri sudah mulai memasuki tanda-tanda ketuaan, sudah mulai banyak orang seumurnya yang meninggal. Reaksi yang terjadi, biasanya ada yang menarik diri dari pergaulan namun ada juga yang malah aktif membina hubungan baik dengan orang lain seperti kenalan, saudara dan anak-anak. Periode ini juga merupakan masa persiapan pasutri kehadiran menantu, saudara-saudara yang baru, dan mempersiapkan diri menjadi kakek nenek, disamping harus menerima kehadiran orangtua sendiri yang sudah mulai tergantung pada mereka. d. Periode Tahun Matang Periode ini diawali dalam tahun ke 31 saat–saat menjadi tua bersama, merencanakan pensiun, menjadi kakek nenek dan hidup sendiri tanpa pasangan serta persiapan kematian. Disebut juga periode perkawinan tua. 2.1.2. Kepuasan Pernikahan 2.1.2.1 Definisi Kepuasan Pernikahan Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan pernikahan itu sendiri. Kepuasan pernikahan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan (Hendrick & Hendrick, dalam Sukmadiarti, 2011).
11
Hurlock (1999) mengatakan bahwa pada masa awal pernikahan setiap pasangan memasuki tahap dimana mereka dituntut menyatukan banyak aspek yang berbeda dalam diri masing-masing (dalam Sukmadiarti, 2011). Kemampuan pasangan untuk menyatukan aspek yang berbeda ini akan menentukan tingkat harmonisasi suatu keluarga. Dilanjutkan oleh Hurlock bahwa kemampuan suami istri dalam menyatukan perbedaan ini sangat ditentukan oleh kematangan penyesuaian diri diantara mereka, sehingga mereka dapat membina hubungan baik dalam kehidupan pernikahan di masa-masa selanjutnya yang juga akan mempengaruhi tingkat kepuasan mereka dalam pernikahan. Berdasarkan hal diatas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan suatu evaluasi dari suami dan istri tentang pernikahan itu sendiri yang seiring berjalannya waktu selalu berubah-ubah karena penyesuain dan kematangan dari pasangan antara harapan dan kenyataan. 2.1.2.2. Komponen Kepuasan Pernikahan Dalam hal ini, tentunya kepuasan pernikahan memiliki komponen tersendiri dalam mengindikasikan bahwa perilaku yang ditampilkan menunjukkan adanya kepuasan dalam pernikahan. Ada beberapa komponen dalam kepuasan pernikahan menurut Stinnet, Walters dan Kaye (dalam Desmayanti, 2009), komponen-komponen tersebut adalah : 1. Adanya perasaan bahagia pada masing-masing individu pasangan suamiistri karena adanya ikatan atau komitmen diantara mereka.
12
2. Terpenuhinya
kebutuhan
emosional
dasar
yang
bersifat
saling
menguntungkan atau dengan kata lain dapat saling memenuhi kebutuhan pasangan. 3. Masing-masing pasangan suami dan istri memperkaya aspek-aspek kehidupan pasangan masing-masing. 4. Hubungan pernikahan yang dijalani mengembangkan kepribadian dan mendukung peningkatan potensi individu yang dimiliki masing-masing. 5. Terdapat dukungan emosional yang sifatnya mutual, tidak saling mengancam diri masing-masing, dan merasa senang bila berada dengan pasangan. 6. Ada rasa saling pengertian dan penerimaan terhadap pribadi pasangan. 7. Ada rasa saling menjaga dan memperhatikan kesejahteraan dan kebahagian
satu
sama
lain,
menghargai,
serta
secara
ikhlas
bertanggungjawab atas tercapainya kebutuhan masing-masing. Semua komponen tersebut tidak hadir bersamaan pada satu waktu pada kepuasan pernikahan, tetapi bias jadi hanya beberapa saja. Namun demikian, komponen-komponen lainnya berkembang pada tahun-tahun yang akan datang. 2.1.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan Menurut Zastrow dan Kirst-Ashaman (Lydia) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan, faktor-faktor tersebut adalah faktor sebelum menikah dan faktor setelah menikah.
13
1. Faktor-faktor Sebelum Menikah : Faktor-faktor sebelum menikah yang mempengaruhi kepuasan pernikahan antara lain, perkawinan orang tua yang bahagia, kebahagiaan di masa kanak-kanak, disiplin lembut dan tegas dari orang tua, bergaul baik dengan lawan jenis, telah mengenal lebih dari satu tahun sebelum perkawinan, kemampuan pemahaman dan penerimaan diri yang baik. 2. Faktor-faktor Setelah Menikah Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan setelah menikah adanya kemampuan komunikasi yang baik, hubungan yang setara, hubungan yang baik dengan mertua dan ipar, minat dibidang yang sama, menginginkan hadirnya anak, cinta yang bertanggung jawab, saling hormat dan persahabatan, menikmati waktu luang bersama, hubungan yang penuh afeksi dan kebersamaan, kemampuan untuk menerima sekaligus memberi. 2.1.2.4 Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan Ada beberapa aspek yang dapat mengukur kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (Donna), aspek-aspek tersebut adalah : a. Communication (Komunikasi) Aspek ini adalah untuk melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Aspek ini juga berfokus pada bagaimana pasangan membagi dan menerima tentang informasi mengenai apa yang di rasakan dan apa yang ada dalam pikiran pasangan.
14
b. Leisure Activity (Kegiatan Waktu Senggang) Aspek ini mengukur mengenai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang bersama pasangan yang dilakukan secara personal atau bersama. Aspek ini juga dapat melihat apakah kegiatan tersebut merupakan pilihan bersama atau individu, serta harapan mengisi waktu luang. c. Religious Orientation (Orientasi Agama) Aspek ini mengukur mengenai makna kepercayaan beragama dan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Clark (Donna) menyatakan bahwa agama memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap terhadap pernikahan dan selanjutnya akan mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan pernikahan. Clark menambahkan bahwa ketaatan beragama berhubungan dengan kestabilan pernikahan. d. Conflict resolution (Resolusi Konflik) Aspek ini melihat bagaimana pasangan suami-istri memandang suatu masalah yang dihadapi kemudian bagaimana cara pasangan tersebut menyelesaikan masalahnya. Pada aspek ini pasangan dituntut untuk saling terbuka dan memecahkan masalah secara bersama-sama agar mendapatkan solusi terbaik. e. Financial Management (Menejemen Keuangan) Aspek ini menilai bagaimana pasangan mengelola keuangan, kemudian berfokus juga pada bentuk-bentuk pengeluaran serta pembuatan keputusan mengenai keuangan.
15
f. Sexsual orientation (Orientasi Seksual) Aspek ini melihat sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, perilaku seksual, kesetiaan terhadap pasangan dan kepuasan seksual. Kepuasan seksual bias terus meningkat seiring berjalannya waktu, hal ini karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan satu sama lain mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. g. Family and friends (Keluarga dan Pertemanan) Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan memberikan perhatiannya pada anggota keluarga pasangan, kerabat serta pada teman-teman. Kemudian berfokus juga pada refleksi sikap ketika menghabiskan waktu bersama keluarga, kerabat atau teman. h. Children and parenting (Anak-anak dan Menjadi Orang Tua) Aspek ini merefleksikan sikap pasangan pada pola asuh dan segala sesuatu yang berhubungan dengan anak, keputusan mengenai disiplin pada anak, dan fokus pada kesepakatan dalam mengasuh dan mendidik anak. Biasanya orang tua memiliki harapan-harapan pribadi terhadap anaknya yang apabila dapat terwujud hal itu akan menjadi suatu kepuasan tersendiri. i. Personality issue (Isu Kepribadian) Aspek
ini
mengungkap
masalah
tingkah
laku
pasangan
serta
kepribadiannya dan kebiasaan-kebiasannya sehari-hari, jika saat sebelum
16
menikah pasangan menunjukkan sikap dan pribadi yang menarik bahkan menunjukkan pribadi yang bukan sebenarnya. Setelah menikah setiap pasangan
akan
menunjukkan
kepribadiannya
dan
hal
ini
akan
memunculkan permasalahan. Masalah tingkah laku akan menimbulkan kekecewaan jika tingkah laku yang muncul tidak sesuai dengan harapan, namun sebaliknya jika tingkah laku yang muncul sesuai dengan harapan maka akan muncul perasaan senang. j. Egalitarian role (Peran Egalitarian) Aspek ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. 2.1.3. Pacaran 2.1.3.1. Pengertian Pacaran Pacaran berasal dari kata “pacar‟‟. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kata „‟pacar‟‟ menunjuk pada dua pengertian. Pertama, pacar adalah nama tumbuhan. Tentu yang dimaksud dalam tulisan ini bukan pacar dalam pengertian ini. Kedua, pacar adalah teman tetap lawan jenis dan mempunyai hubungan intim biasanya menjadi tunangan atau kekasih. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002: 807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Menurut Poerwadarminta (dalam
Bung Syarif, 2011) pacaran berarti bersuka-suka, berkehendak, berkeinginan.
17
Menurut Bowman (1978) pacaran adalah kegiatan bersenang-senang antara pria dan wanita yang belum menikah, dimana hal ini akan menjadi dasar utama yang dapat memberikan pengaruh timbal balik untuk hubungan selanjutnya sebelum pernikahan di Amerika. Menurut DeGenova & Rice (dalam Frankie, 2009) menambahkan bahwa pacaran adalah perbuatan yang melibatkan perasaan romantis dimana dua orang bertemu dan berpartisipasi dalam kegiatan bersama dengan tujuan saling mengenal satu sama lain lebih dalam. Menurut Reiss (dalam Sukmadiarti, 2011) pacaran adalah hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai keintiman. Menurut Papalia, Old & Feldman (2008), keintiman juga mencakup rasa memiliki. Dalam elemen intimasi memiliki pengungkapan diri yang baik merupakan menjadi hal penting dan utama dalam keintiman itu sendiri. Dari beberapa pernyataan mengenai definisi pacaran tersebut dapat disimpulkan bahwa pacaran merupakan suatu proses dimana ada pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki keterikatan emosi, perasaan tertentu dalam hati serta keintiman untuk menjajaki kemungkinan kesesuaian untuk dijadikan pasangan hidup. 2.1.3.2. Karakteristik Pacaran Dewasa ini pacaran sudah menjadi sangat lumrah dikalangan masyarakat luas, selain itu pacaran dilakukan dengan cara yang terang-terangan dan bebas. Menurut DeGenova & Rice (dalam Sukmadiarti, 2011), proses pacaran mulai muncul sejak pernikahan mulai menjadi keputusan secara individual dibandingkan keluarga dan sejak adanya rasa cinta dan saling ketertarikan satu sama lain antara
18
pria dan wanita mulai menjadi dasar utama seseorang untuk menikah. Gaya berpacaran pada saat ini sudah berbeda dengan masa lalu. Hal ini disebabkan telah berkurangnya tekanan dan orientasi untuk menikah pada pasangan yang berpacaran saat ini dibandingkan sebagaimana budaya pacaran pada masa lalu (dalam Sukmadiary, 2011). Pacaran bukanlah jaminan orang yang melakukan hal tersebut akan memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan, karena pacaran hanya sebuah proses untuk menjajaki kemungkinan kesesuaian untuk dijadikan pasangan hidup. Menurut Newman & Newman (2006), faktor utama yang menentukan apakah suatu hubungan pacaran dapat berakhir dalam ikatan pernikahan ialah tergantung pada ada atau tidaknya keinginan yang mendasar dari diri individu tersebut untuk menikah. Serta dalam proses untuk memutuskan melanjutkan kejenjang pernikahan ini dipengaruhi juga oleh orang tua. Pada dasarnya ketika menjalani proses pacaran tersebut penilaian yang diberikan terhadap pasangan atau kekasih tidaklah objektif, banyak perilaku yang ditunjukkan terkadang tidak sesuai dengan yang sebenarnya dan perilaku yang ditunjukkan hanya yang baik saja. Menurut Bowman & Spanier (1978), pacaran terkadang memunculkan banyak harapan dan pikiran-pikiran ideal tentang diri pasangannya di dalam pernikahan. Pemikiran ideal tersebut sangat berpengaruh terhadap pernikahan yang akan dijalani nantinya, setiap pasangan mengharapkan pasangannya ideal seperti saat berpacaran setelah menikah.
19
2.1.3.3. Komponen Pacaran Adanya kompenen dalam pacaran akan mempengaruhi kualitas hubungan pacaran itu sendiri agar terjalin suatu hubungan yang baik. Menurut Karsner (dalam Purba & Siregar, 2006) ada empat komponen penting dalam menjalin hubungan pacaran. Komponen tersebut antara lain : a. Saling Percaya (Trust each other) Kepercayaan dalam menjalin suatu hubungan merupakan salah satu yang menentukan keberlangsungan hubungan tersebut nantinya, bisa jadi hubungan
tersebut
akan
terus
berlanjut
ataukah
akan
berhenti.
Kepercayaan sangat berhubungan dengan pemikiran dari pasangan terhadap apa yang dilakukan oleh pasangannya, sehingga pemikiran juga termasuk hal yang mempengaruhi kepercayaan dalam suatu hubungan. b. Komunikasi (Communicate your self) Dalam membina hubungan, komunikasi merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh setiap pasangan. Komunikasi merupakan dasar dari terbinanya suatu hubungan yang baik (Johnson dalam Supraktik, 1995). Feldman (1996) menyatakan bahwa komunikasi merupakan situasi dimana seseorang bertukar informasi tentang dirinya terhadap rang lain. c. Keintiman (Keep the romance alive) Keintiman tidak hanya terbatas pada kedekatan fisik saja. Adanya kedekatan secara emosional dan rasa kepemilikan terhadap pasangan juga merupakan bagian dari keintiman. Oleh karena itu, pacaran jarak jauh juga tetap memiliki keintiman, yakni dengan adanya kedekatan emosional
20
melalui kata-kata mesra dan perhatian yang diberikan melalui sms, surat atau email. d. Meningkatkan komitmen (Increase Commitment) Individu yang sedang pacaran, tidak dapat melakukan hubungan spesial dengan pria atau wanita lain selama ia masih terikat hubungan pacaran dengan seseorang. 2.1.3.4. Alasan Pacaran Menurut DeGenova & Rice (dalam Frankie, 2009) ada beberapa hal yang menyebabkan individu-individu berpacaran, antara lain: a. Pacaran sebagai bentuk rekreasi Pacaran merupakan suatu bentuk hiburan, menikmati diri sendiri untuk kesenangan. b. Pacaran memberikan pertemanan, persahabatan dan keintiman pribadi. Melalui pacaran, kaum muda dapat mengembangkan hubungan yang intim bersama pasangannya. c. Pacaran adalah bentuk sosialisasi. Pacaran membantu seseorang untuk mempelajari kealian-keahlian sosial, menambah kepercayaan diri serta melatih diri dalam berbicara, member perhatian dan saling bekerjasama. d. Pacaran berkontribusi untuk pengembangan kepribadian. Pengembangan identitas diri seorang individu adalah dengan cara berhubungan dengan orang lain. Salah satu alasan kaum muda pacaran adalah karena adanya rasa aman yang diberikan.
21
e. Pacaran memberikan kesempatan untuk mencoba peran gender. Banyak wanita saat ini menyadari bahwa mereka tidak dapat menerima peran tradisionalnya yang pasif; pacaran membantu mereka mengetahui hal ini dan belajar jenis peran apa saja yang mereka temukan dalam hubungan yang dekat. f. Pacaran adalah cara untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. g. Pacaran memberikan kesempatan bagi pencobaan dan kepuasan seksual. h. Pacaran adalah cara untuk menyeleksi pasangan hidup. i. Pacaran mempersiapkan individu menuju pernikahan. Sedangkan menurut Bung Syarif (2011) ada beberapa alasan mengapa orang berpacaran, diantaranya adalah sebagai proses penjajakan sebelum memasuki dunia pernikahan, sarana untuk mendapatkan jodoh, pemicu dan pemacu semangat untuk lebih baik dan lebih berprestasi dalam hidup, ajang berbagi rasa, agar kelihatan dewasa, menambah finansial, dan sarana bersenangsenang. Dari berbagai alasan pacaran diatas dapat disimpulkan bahwa alasan berpacaran pada umumnya untuk mencari kesenangan dengan berkasih sayang, mencari kecocokan dengan pasangan, melakukan penjajakan untuk menyeleksi calon pasangan hidup.
22
2.1.4. Ta’aruf 2.1.4.1. Pengertian Ta’aruf Menurut Hidayat (dalam Ummi, 2002) pengertian ta’aruf merupakan komunikasi timbal balik antara laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal dan saling memperkenalkan diri yang berkaitan dengan masalah nikah. Selanjutnya menurut Sakti (dalam Ummi, 2002) ta’aruf sebetulnya merupakan langkah untuk memantapkan diri sebelum melangkah kepernikahan Menurut Amran (dalam Ummi, 2002) sebelum ta’aruf dilaksanakan, masing-masing pihak baik laki-laki maupun perempuan telah memiliki informasi tentang kepribadian masing-masing calon dengan saling bertukar biodata dan foto, yang diperoleh melalui mediator atau orang ke tiga yang di percaya sebagai perantara. Orang yang di maksud sebagai perantara atau mediator dalam proses ta’aruf adalah orang yang paling dekat dan mengenal kepribadian individu yang akan melakukan ta’aruf, seperti orangtua, guru ngaji, atau sahabat yang dipercaya, sehingga diharapkan ia dapat memberikan informasi dan penjelasan yang benar dan akurat serta menyeluruh mengenai individu tersebut. Berdasarkan beberapa definisi ta’aruf diatas, dapat disimpulkan bahwa ta’aruf adalah suatu proses pengenalan dimana saling mengenal dan memperkenalkan diri yang mengarah pada pernikahan antara pria dan wanita dalam rangka saling memantapkan diri sebelum kejenjang pernikahan dengan bantuan dari mediator atau pendamping.
23
2.1.4.2. Karakteristik Ta’aruf Menurut Assyarkhan (2006), ada beberapa karakteristik dalam proses ta’aruf, yaitu : a. Tidak Berduaan (Khalwat) Khalwat adalah bersendirian dengan seorang perempuan lain. Yang dimaksud perempuan lain, yaitu: bukan isteri, bukan salah satu kerabat yang haram dikawin untuk selama-lamanya, seperti ibu, saudara, bibi dan sebagainya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda sebagai berikut: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan." (Riwayat Ahmad) b. Tidak Melihat Jenis Lain dengan Bersyahwat Di antara sesuatu yang diharamkan Islam dalam hubungannya dengan masalah gharizah, yaitu pandangan seorang laki-laki kepada perempuan dan seorang perempuan memandang laki-laki. Mata adalah kunci hati, dan pandangan adalah jalan yang membawa fitnah dan sampai kepada perbuatan zina. c. Menundukkan Pandangan Yang dimaksud menundukkan pandangan itu bukan berarti memejamkan mata dan menundukkan kepala ke tanah. Bukan ini yang dimaksud dan ini satu hal yang tidak mungkin. Tetapi apa yang dimaksud menundukkan pandangan, yaitu: menjaga pandangan, tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali. Pandangan yang terpelihara, apabila memandang kepada jenis lain tidak mengamat-amati kecantikan atau ketampanannya dan tidak lama
24
menoleh kepadanya serta tidak melekatkan pandangannya kepada yang dilihatnya itu. Rasulullah s.a.w. menganggap pandangan liar dan menjurus kepada lain jenis, sebagai suatu perbuatan zina mata. Sabda beliau: "Dua mata itu bisa berzina, dan zinanya ialah melihat." (Riwayat Bukhari) 2.1.4.3. Alasan Ta’aruf Alasan seorang individu memilih proses ta‟ruf untuk memilih pasangan hidupnya adalah karena proses ta’aruf tersebut sesuai dengan Al Qur‟an : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa‟ :32). Zina yang dimaksudkan dalam ayat tersebut di perjelas dalam hadist Rasulullah SAW yang berbunyi: “Telah ditakdirkan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti akan ia lakukan dan tak bisa dihindarinya. Adapun mata maka zinanya adalah melihat, zinanya telinga adalah mendengar, sedangkan zinanya lidah adalah berbicara dan zinanya tangan adalah menyentuh, dan zinanya kaki adalah melangkah, sedangkan zinanya hati adalah membayangkan dan berangan-angan, adapun yang akan membuktikannya adalah kemaluan, ataupun akan mendustakannya.” "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekalikali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan." (HR. Ahmad). Hadist di atas menerangkan bahwa pria dan wanita yang bukan muhrim di larang untuk berdua-duaan. Proses ta’aruf yang selalu didampingi mediator dalam setiap pertemuaannya merupakan sebuah proses perkenalan pria dan wanita yang sesuai dengan ajaran Islam, sesuai dengan hadist di atas. "Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah berdasarkan agamanya maka kamu akan selamat." (HR. Abi Hurairah).
25
Keutamaan dalam pemilihan pasangan melalui ta’aruf adalah karena dalam proses ini landasan agama seseorang menjadi pertimbangan utama dalam penentuan pasangan. Mediator dalam proses ta’aruf selain berfungsi menjadi perantara antara pria dan wanita yang ingin menikah, juga berperan menjadi informan tentang bagaimana agama individu yang ta’aruf tersebut. Agama disini maksudnya menggambarkan bagaimana tingkat pemahaman individu tentang Islam dan aplikasi individu tersebut dalam menjalankan ajaran Islam dalam kehidupannya sehari-hari. 2.1.4.4. Proses Ta’aruf Proses ta’aruf berbeda dengan proses lain dalam mendapatkan calon pasangan hidup, Ada beberapa prosedur dan tata cara yang dapat dilakukan seseorang sebelum ta’aruf sampai pada proses ta’aruf itu sendiri (dalam http://blankdakruz.multiply.com), antara lain: a. Individu yang sudah siap menikah saling tukar menukar CV (Curriculum Vitae) yang berisi; harapan, cita-cita pernikahan, tipe pasangan yang di inginkan, dll. b. Mencantumkan foto diri yang terbaru. c. Jika kedua pihak merasa cocok dengan CV yang dibaca, barulah proses ta’aruf dapat dilaksanakan. d. Pria datang ke tempat wanita atau ke tempat yang telah di sepakati bersama dengan ditemani mediator, tidak sendirian. e. Pihak wanita juga hadir dengan ditemani mediator, sehingga kedua calon tidak bertemu berdua-duaan.
26
f. Masing-masing pihak, dipersilakan untuk saling bertanya mengenai visi dan misi hidup dan pernikahannya. Saling membuka kekurangan dan kelebihan masing-masing. Contohnya mengenai riwayat sakit yang pernah di derita. Setelah itu, keduanya dipersilakan untuk sholat istikharoh (mohon petunjuk) sebelum menentukan pilihan. Jika keduanya setuju, maka proses ini akan belanjut ke pernikahan. Tetapi jika tidak, maka proses yang telah dilalui akan di jaga kerahasiaannya. 2.2. Kerangka Pemikiran Proses menuju pernikahan merupakan salah satu hal yang penting sebelum melangkah kejenjang pernikahan itu sendiri, dalam prosesnya setiap orang memiliki cara tersendiri dalam memilih calon pasangan hidupnya. Hal ini akan menentukan kepuasan pernikahan pada rumah tangga yang akan dijalani sehingga terjadi keharmonisan. Kepuasan pernikahan merupakan suatu evaluasi dari suami dan istri tentang pernikahan itu sendiri yang seiring berjalannya waktu selalu berubah-ubah karena penyesuain dan kematangan dari pasangan antara harapan dan kenyataan. Kepuasan pernikahan merupakan hal yang di inginkan oleh setiap pasangan suami-istri sehingga terjadi keharmonisan dalam rumah tangga, tentu dalam hal ini proses untuk memilih pasangan hidup ikut berperan penting dalam menentukan pasangan hidup dan berumah tangga untuk mencapai sebuah pernikahan yang harmonis dan tercapainya kepuasan pernikahan.
27
Tabel 2.1 Perbandingan Ta‟aruf
Pacaran 1. Sudah saling mengenal satu sama lain secara mendalam 2. Adanya kedekatan emosional sebelum menikah 3. Tidak ada batasan norma-norma (agama, budaya) 4. Penilaian terhadap calon pasangan atau kekasih tidak objektif karena perilaku yang ditunjukkan hanya yang baik saja 5. Belum ada tujuan pasti untuk menjadikan pasangan sebagai suami atau istri 6. Ada aktivitas yang dilakukan ketika pacaran, seperti berduaduaan, bersentuhan/berpegangan tangan, mencium pipi atau bibir 7. Tidak ada batasan waktu dalam pendekatan
1. Kurang mengenal satu sama lain secara mendalam 2. Belum ada kedekatan secara emosional 3. Ada batasan norma 4. Informasi mengenai calon pasangan diberikan dengan detail 5. Memiliki tujuan yang pasti menjadikan suami atau istri 6. Ada aktivitas yang dilakukan ketika ta‟aruf, seperti komunikasi dengan lawan jenis melalui mediator, dan tidak boleh melakukan hal di luar syari’at (berduaan, bersentuhan, dll) 7. Waktu perkenalan yang singkat
Tabel di atas menunjukkan perbedaan kelebihan dan kekurangan antara proses pacaran dan proses ta’aruf. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa proses ta’aruf sebelum menikah lebih mungkin memiliki kepuasan pernikahan yang lebih dari pada yang melakukan proses pacaran.
28
Proses Pacaran Kepuasan pernikahan Proses Ta’aruf
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 2.1. Hipotesis Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah : ada perbedaan kepuasan pernikahan pada pasangan yang menikah dengan proses pacaran dan yang menikah dengan proses ta’aruf.