BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Konsep Daya Saing Daya saing sering diidentikkan dengan produktivitas (tingkat output yang
dihasilkan untuk setiap unit input yang digunakan). Peningkatan produktivitas meliputi peningkatan jumlah input fisik (modal dan tenaga kerja), peningkatan kualitas input yang digunakan dan peningkatan teknologi. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing dilihat beberapa indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, ada juga keunggulan absolut. Pada awalnya, dalam hal perdagangan, setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi pada produk yang mempunyai efisiensi produksi lebih baik dari negara lain, dan melakukan perdagangan internasional dengan negara lain yang mempunyai kemampuan spesialisasi pada produk yang tidak dapat diproduksi di negara tersebut secara efisien. Secara umum, teori absolut advantage (keunggulan mutlak) ini didasarkan kepada beberapa asumsi pokok antara lain: a) Faktor produksi yang digunakan hanya tenaga kerja saja; b) Kualitas barang yang diproduksi kedua negara sama; c) Pertukaran dilakukan secara barter atau tanpa uang; d) Biaya transpor ditiadakan. Dengan kata lain, keunggulan absolut adalah keuntungan yang dimiliki oleh suatu negara atau daerah atas negara atau daerah lain dalam memproduksi suatu produk disebabkan oleh adanya keunggulan atau kelebihan yang dimilikinya
9
yang tidak dimiliki oleh negara atau daerah lain tersebut misalnya karena faktor tenaga kerja yang melimpah dan murah, dan sumber daya alam. Sementara itu, teori comparative advantage (keunggulan komparatif) dikemukakan lebih mendalam lagi tentang keunggulan tiap negara atau daerah. Dalam teori Ricardo membuktikan bahwa apabila ada dua negara yang saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan komparatif, maka kedua negara tersebut akan beruntung. Dalam ekonomi regional, keunggulan komparatif suatu komoditi bagi suatu daerah adalah bahwa komoditi itu lebih unggul secara relatif dengan komoditi lain di daerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan dan bukan dalam bentuk nilai tambah riil. Dengan kata lain, Tarigan (2005) menyebutkan bahwa keunggulan komparatif adalah suatu kegiatan ekonomi yang menurut perbandingan lebih menguntungkan bagi pengembangan daerah. Namun keunggulan komparatif ini memiliki keterbatasan sebagai suatu konsep statis berdasarkan kepemilikan faktor produksi yang diasumsikan memberikan tingkat pengembalian yang semakin menurun dan tingkat teknologi yang sama antar negara. Selain itu, peran pemerintah dalam peningkatan daya saing tidak dijadikan pertimbangan. Dari
keterbatasan-keterbatasan
tersebut
kemudian
memunculkan
pemikiran baru tentang keunggulan kompetitif yang dapat didefinisikan sebagai suatu komoditi atau sektor ekonomi terbentuk dengan kinerja yang dimilikinya, sehingga dapat unggul dari komoditi atau sektor ekonomi lainnya. Menurut
10
Sumihardjo (2008) keunggulan kompetitif adalah merujuk pada kemampuan sebuah industri untuk memformulasikan strategi yang menempatkannya pada suatu posisi yang menguntungkan berkaitan dengan perusahaan lainnya. Keunggulan kompetitif muncul bila pelanggan merasa bahwa mereka menerima nilai lebih dari transaksi yang dilakukan dengan sebuah industri pesaingnya. Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter dalam Smith A. J. (2010) dengan empat faktor utama yang menentukan daya saing yaitu 1) kondisi faktor, 2) kondisi permintaan, 3) industri pendukung dan terkait, serta 4) kondisi strategi, struktur perusahaan dan persaingan. Selain keempat faktor tersebut, ada dua faktor yang memengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu peran pemerintah dan peran kesempatan. Secara bersama-sama, faktor-faktor tersebut membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut Porter’s Diamond Theory. Daya saing digunakan sebagai suatu konsep umum dalam ekonomi, seperti daya saing perusahaan dalam persaingan pasar, daya saing daerah terhadap daerah-daerah lain dan daya saing negara dalam persaingan internasional. Daya saing inilah nantinya yang digunakan sebagai modal dalam pembangunan ekonomi dan sebagai suatu konsep kunci bagi perusahaan, daerah/wilayah serta negara untuk bisa berhasil, berpartisipasi dan unggul di pasar. Dasa saing suatu negara tergantung pada kapasitas industrinya untuk berinovasi dan melakukan pembaharuan. Perusahaan memperoleh keunggulan terhadap para pesaing dunia yang terbaik karena tekanan dan tantangan. Mereka
11
mendapatkan manfaat dari memiliki pesaing domestik yang kuat, pemasok berbasis daerah asal yang agresif dan para pelanggan lokal demanding. Konsep daya saing dapat ditinjau dari tingkat perusahaan, tingkat industri, dan tingkat negara atau daerah. Masing-masing tingkat berhubungan erat yakni daya saing perusahaan-perusahaan merupakan elemen pembentukan daya saing pada tingkat industri, daya saing daerah merupakan elemen pembentukan daya saing pada tingkat negara. Lebih lanjut, daya saing menurut Porter dalam Smith A. J. (2010) dapat didefinisikan sebagai kemampuan usaha suatu perusahaan dalam industri untuk menghadapi berbagai lingkungan yang dihadapi. Daya saing ditentukan oleh keunggulan bersaing suatu perusahaan dan sangat bergantung pada tingkat sumber daya relatif yang dimilikinya atau biasa kita sebut keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan kompetitif adalah suatu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperkuat posisinya dalam menghadapi pesaing dan mampu menunjukkan perbedaan-perbedaan dengan lainnya. Selanjutnya Porter menjelaskan pentingnya daya saing karena tiga hal berikut : (1) mendorong produktivitas dan meningkatkan kemampuan mandiri; (2) dapat meningkatkan kapasitas ekonomi, baik dalam konteks regional ekonomi maupun entitas pelaku ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat; (3) kepercayaan bahwa mekanisme pasar lebih menciptakan efisiensi. Sementara dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, dinyatakan bahwa daya saing adalah kemampuan untuk menunjukkan hasil yang lebih baik, lebih cepat atau lebih
12
bermakna. Kemampuan yang dimaksud adalah (1) kemampuan memperkokoh pangsa pasarnya, (2) kemampuan menghubungkan dengan lingkungannya, (3) kemampuan meningkatkan kinerja tanpa henti, dan (4) kemampuan menegakkan posisi yang menguntungkan. Dengan menggunakan kinerja atau melihat indikator tertentu sebagai acuan, maka dapat diukur tingkat kuat lemahnya daya saing. 2.1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Tinggi rendahnya daya saing suatu industri/institusi tergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ruang lingkup daya saing pada skala makro menurut Sumihardjo (2008) meliputi : (1) perekonomian daerah, (2) keterbukaan, (3) sistem keuangan, (4) infrastruktur dan sumber daya alam, (5) ilmu pengetahuan dan teknologi, (6) sumber daya alam, (7) kelembagaan, (8) governance dan kebijakan pemerintah, dan (9) manajemen dan ekonomi mikro. Kondisi Faktor
Peran Pemerintah
Kondisi Permintaan
Kondisi Strategi Perusahaan dan Pesaing
Industri Pendukung dan Terkait
Peran Kesempatan
Sumber : Porter dalam Smith A. J. (2010) Gambar 2.1 Bagan Porter’s Diamond
13
Dalam hal ini, ruang lingkup penentu daya saing berdasarkan konsep Porter’s Diamond. Adapun elemen-elemen daya saing yang dikaji dalam Porter’s Diamond meliputi kondisi faktor, kondisi permintaan, kondisi strategi perusahaan dan pesaing, serta industri pendukung dan terkait. Ada pula peran pemerintah dan peran kesempatan yang tidak berpengaruh langsung terhadap daya saing. Penjelasan tentang komponen-komponen Porter’s Diamond menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010) : 1. Kondisi faktor yaitu kondisi berdasarkan sumber daya alam, sumber daya manusia, modal, teknologi, serta berbagai infrastruktur. Semakin tinggi kualitas faktor input, maka semakin besar peluang industri untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas. a. Sumber daya alam merupakan faktor yang berupa ketersediaan lahan, indikatornya kuantitas, kualitas, aksesibilitas, harga tanah, air, serta sumber daya alam lainnya. b. Sumber daya manusia yang terdiri dari indikator jumlah tenaga kerja, kualitas tenaga kerja, dan tingkat upah serta standar jam kerja. c. Teknologi yang merupakan faktor penting dalam persaingan agar tercipta keefektifan dan keefisienan. d. Infrastruktur yang berupa ketersediaan jenis, mutu/kualitas sarana prasarana guna menunjang persaingan. 2. Kondisi permintaan merupakan kondisi dan sifat asal untuk barang dan jasa yang sangat penting untuk keunggulan kompetitif. Kondisi ini sangat penting dalam menciptakan keunggulan daya saing karena bagaimana perusahaan
14
menerima, menginterpretasikan, dan memberi reaksi pada kebutuhan konsumen/pelanggan. Semakin maju suatu masyarakat dan semakin demanding pelanggan dalam negeri, maka industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk atau melakukan inovasi guna memenuhi keinginan pelanggan lokal. Namun, dengan adanya perdagangan internasional, kondisi permintaan tidak hanya berasal dari lokal tetapi juga bersumber dari luar negeri. 3. Kondisi strategi dan struktur perusahaan meliputi strategi dan struktur perusahaan domestik, tujuan perusahaan dan individu serta persaingan domestik. Kondisi strategi ini penting karena akan mendorong perusahaan dalam industri untuk melakukan inovasi, produktivitas, efisiensi, efektivitas, dan kualitas produk yang dihasilkan. Dengan adanya persaingan yang ketat, perusahaan akan selalu mencari strategi baru yang cocok dan berupaya untuk selau meningkatkan efisiensi dan efektivitas. 4. Kondisi industri pendukung dan industri terkait yang mempunyai keunggulan daya saing akan memberikan potensi keunggulan bagi industri di suatu wilayah. Hal ini disebabkan industri pemasok menghasilkan input yang digunakan secara meluas dan penting bagi inovasi dan internasionalisasi. Sinergi dan efisiensi dapat tercipta terutama transaction cost, sharing technology, informasi maupun keahlian tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh industri atau perusahaan lainnya. Manfaat lain industri pemasok dan terkait adalah akan terciptanya daya saing dan produktivitas yang meningkat.
15
5. Peran pemerintah merupakan faktor yang tidak berpengaruh langsung terhadap peningkatan daya saing akan tetapi berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu daya saingnya. Pengaruh pemerintah dapat terjadi melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Pengaruh yang dapat diberikan pemerintah terhadap keempat faktor penentu keunggulan daya saing adalah sebagai berikut : a. Kondisi faktor produksi dipengaruhi melalui kebijakan-kebijakan publik seperti subsidi dan kebijakan pendidikan. b. Kondisi permintaan pasar dipengaruhi melalui penentuan standar produk lokal. c. Industri-industri terkait dan pendukung di dalam suatu wilayah dipengaruhi dengan melakukan pengontrolan terhadap media periklanan maupun melakukan regulasi yang diperlukan. d. Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan dipengaruhi melalui berbagai perangkat lunak seperti regulasi pasar modal, kebijakan pajak dan antitrust. Selain itu, pemerintah memegang peranan dalam kemudahan akses birokrasi serta perbaikan kualitas infrastruktur. Peran kesempatan/peluang berada diluar kendali perusahaan atau pemerintah yang akan menciptakan lingkungan bersaing dan memengaruhi tingkat daya saing, seperti penemuan baru, terobosan teknologi dasar, perkembangan politik eksternal, dan perubahan besar dalam permintaan pasar asing, peran kesempatan ini akan menciptakan atau menambah kekayaan tambahan.
16
2.2
Konsep Pariwisata Berdasarkan
Kepariwisataan,
Undang-Undang
pariwisata
No
didefinisikan
10 sebagai
Tahun segala
2009 sesuatu
tentang yang
berhubungan dengan wisata termasuk pengusaha objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di dalamnya. Sedangkan menurut World Tourism Organization (WTO) dalam Pitana (2009) menjelaskan pariwisata adalah kegiatan seseorang yang bepergian ke atau tinggal di suatu tempat di luar lingkungannya yang biasa dalam waktu tidak lebih dari satu tahun secara terus menerus, untuk kesenangan, bisnis ataupun tujuan lainnya. Banyak negara yang menjadikan industri pariwisata ini sebagai sumber pajak dan pendapatan untuk perusahaan yang menjual jasa kepada wisatawan. Oleh karena itu, pengembangan industri pariwisata ini adalah salah satu strategi yang dipakai oleh organisasi non-pemerintah untuk mempromosikan daerah tertentu sebagai daerah wisata untuk meningkatkan perdagangan melalui penjualan barang dan jasa kepadan wisatawan non-lokal. Pariwisata kini telah menjelma sebagai salah satu jenis industri baru yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektorsektor produktivitas lainnya. Sebagai sektor yang kompleks, pariwisata juga meliputi industri-industri klasik seperti kerajinan tangan dan cindera mata, penginapan, transportasi secara ekonomi juga dipandang sebagai industri.
17
2.2.1 Kepariwisataan Kepariwisataan menurut Yoeti (2008) adalah suatu sistem yang mengikutsertakan berbagai pihak dalam keterpaduan kaitan fungsional yang serasi, yang mendorong berlangsungnya dinamika fenomena mobilitas manusia tua-muda, pria-wanita, ekonomi kuat-lemah, sebagai pendukung suatu tempat untuk melaksanakan perjalanan sementara waktu secara sendiri atau berkelompok, menuju tempat lain di dalam negeri atau di luar negeri dengan menggunakan teransportasi darat, laut dan udara. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 mendefinisikan kepariwisataan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata, artinya semua kegiatan dan urusan yang ada kaitannya dengan perencanaan, pengaturan, pengawasan pariwisata baik yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat. 2.2.2 Wisatawan Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009, wisatawan didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan wisata. Jadi menurut pengertian ini, semua orang yang melakukan kegiatan wisata disebut wisatawan. Apapun tujuannya yang penting perjalanan itu bukan untuk menetap dan tidak untuk mencari nafkah ditempat yang dikunjungi. Menurut International Union of Official Travel Organization (dalam Pitana, 2009: 43) pengertian wisatawan hanya berlaku untuk wisatawan internasional tetapi secara analogis dapat juga berlaku untuk wisatawan domestik. Wisatawan selanjutnya dibedakan atas 2 (dua) bagian yakni (1) Wisatawan (tourist), yaitu mereka yang mengunjungi suatu
18
daerah lebih dari 24 jam, dengan tujuan perjalanan pesiar, untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan dan olah raga serta keluarga, bisnis dan konferensi; (2) Pelancong/pengunjung (excursionists), yaitu mereka yang tinggal di tujuan wisata kurang dari 24 jam (termasuk pelanncong dengan kapal pesiar). WTO (World Tourism Organization) dalam Eridiana (2008, 25) mendefinisikan wisatawan sebagai berikut : Seseorang dikatakan sebagai tourist apabila dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam (24) jam di daerah yang dikunjungi. Sedangkan visitor itu sendiri diartikan orang yang melakukan perjalan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya kurang dari 12 bulan dan tujuan perjalanan bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari nafkah, pendapatan atau penghidupan di tempat tujuan. Jadi wisatawan memiliki beberapa elemen yang dianut dalam beberapa batasan, yaitu tujuan perjalanan sebagai pesiar (leasure), jarak/batas, perjalanan dari tempat asal, durasi atau lamanya waktu perjalanan dan tempat tinggal orang yang melakukan perjalanan. 2.2.3 Objek dan Daya Tarik Wisata Objek dan atraksi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan faktor pendorong bagi wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah objek wisata. Menurut undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, objek dan daya tarik wisata dibagi menjadi dua jenis, diantaranya adalah : 1. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna.
19
2. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, agrowisata taman rekreasi dan tempat hiburan. Untuk menentukan sebuah daerah tujuan wisata, daerah itu harus memiliki kriteria yang berpotensi. Yoeti (2008) mengatakan ada 3 (tiga) kriteria yang menentukan sebuah objek wisata dapat diminati oleh wisatawan, antara lain : 1. Something To See adalah objek wisata tersebut harus mempunyai sesuatu yang bisa dilihat atau dijadikan tontonan oleh pengunjung wisata. Dengan kata lain objek wisata tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang mampu untuk menarik minat wisatawan yang akan berkunjung ke daerah tersebut. 2. Something To Do adalah objek wisata tersebut dapat memberikan suatu kesempatan agar wisatawan bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk perasaan senang, rileks dan bahagia berupa fasilitas baik arena permainan atau arena makan terutama yang menyajikan makanan khas daerah tersebut sehingga terasa berbeda dari daerah wisata lainnya dan mampu membuat wisatawan lebih lama dan nyaman tinggal disana. 3. Something To Buy adalah fasilitas yang disediakan khusus sebagai tempat belanja bagi wisatawan yang pada umumnya adalah menjual benda yang menjadi ciri khas dan merupakan ikon dari daerah tersebut, sehingga bisa dijadikan sebagai cinderamata. Dalam kajian hubungan konsep manajemen dan pariwisata, penawaran pariwisata merupakan aspek penting yang harus diperhatikan. Menurut Medlik
20
dalam Ariyanto (2005), ada empat aspek (4A) yang harus diperhatikan dalam penawaran pariwisata. Aspek-aspek adalah : a)
Attraction (daya tarik), dimana daerah tujuan wisata dalam menarik wisatawan hendaknya memiliki daya tarik baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan budayanya.
b) Accessable (bisa dicapai), hal ini dimaksudkan agar wisatawan domestik dan mancanegara dapat dengan mudah dalam pencapaian tujuan ke tempat wisata. c)
Fasilitas (Amenities), syarat yang ketiga ini memang menjadi salah satu syarat Daerah Tujuan Wisata (DTW) dimana wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama di Daerah tersebut.
d) Adanya Lembaga Pariwisata (Ancillary). Wisatawan akan semakin sering mengunjungi dan mencari DTW (Daerah Tujuan Wisata) apabila di daerah tersebut wisatawan dapat merasakan keamanan, (Protection of Tourism) dan terlindungi baik melaporkan maupun mengajukan suatu kritik dan saran mengenai keberadaan mereka selaku pengunjung / Orang bepergian. 2.3
Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses kenaikan
pendapatan total dan pendapatan per kapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan adanya perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara/wilayah dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara/wilayah tersebut. Pembangunan
ekonomi
adalah
suatu
proses
yang
bersifat
multidimensional yang melibatkan kepada perubahan besar baik terhadap
21
perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi (Todaro dalam Sirojuzilam, 2010). Pembangunan ekonomi daerah pada hakekatnya merupakan bentuk realisasi pembangunan nasional di suatu daerah yang disesuaikan dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM), sosial, tingkat ekonomi dan peraturanperaturan yang berlaku (Purnomo dan Istiqomah, 2008: 137). Arsyad (2010) mendefinisikan proses pembangunan ekonomi daerah mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru. Tujuannya menurut Radianto dalam Nugraha (2007: 4) untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Perubahan struktur ekonomi dapat berupa peralihan dari kegiatan perekonomian ke non-pertanian, industri ke jasa, perubahan dalam unit-unit produktif, serta perubahan status kerja buruh. Pertumbuhan
ekonomi
wilayah
adalah
pertambahan
pendapatan
masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Tarigan, 2005). Glasson juga dalam Tarigan (2005) menjelaskan bahwa wilayah (region) dapat diklasifikasikan berdasarkan fase kemajuan perekonomian menjadi : 1) Fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu,
22
seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik; 2) Fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan; 3) Fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah. Ada beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal, diantaranya : (1) Teori Basis Ekspor (Export Base-Models); (2) Teori Pertumbuhan Jalur Cepat; (3) Teori Pusat Pertumbuhan; (4) Teori Neoklasik; (5) Model Kumulatif Kausatif; dan (6) Model Interregional. Tambunan
dalam
Sirojuzilam
(2010)
memberi
tahapan
dalam
pembangunan ekonomi regional yaitu : 1. Dengan mempelajari terlebih dahulu karakteristik daerah yang akan dibangun, misalnya jumlah jenis serta kondisi-kondisi sumber daya alam yang ada dan keadaan pasar, sosial, ekonomi makro (tingkat pendapatan) dan struktur politiknya. 2. Menentukan komoditas atau sektor unggulan dan jenis kegiatan ekonomi lainya yang perlu dikembangkan, baik yang sudah ada sejak lama maupun yang belum ada.
23
3. Menentukan sifat serta mekanisme keterkaitan antar sektor yang ada di daerah tersebut serta mempelajari kelembagaan sosial masyarakat. 2.3.1 Kontribusi Wisata terhadap Perekonomian Rahayu (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pariwisata merupakan suatu gejala sosial yang sangat kompleks, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiliki berbagai macam aspek yang penting, aspek tersebut diantaranya yaitu aspek sosiologis, aspek psikologis, aspek ekonomis, aspek ekologis, dan aspek-aspek yang lainnya. Diantara sekian banyak aspek tersebut, aspek yang mendapat perhatian yang paling besar dan hampir merupakan satusatunya aspek yang dianggap sangat penting adalah aspek ekonomisnya. Bahkan sektor pariwisata memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perekonomian dunia. Sektor pariwisata telah menjadi pilar ekonomi bagi masing-masing di dunia. Pengeluaran wisatawan untuk keperluan akomodasi, makanan, minuman, belanja, transportasi, dan hiburan merupakan pemasukan bagi devisa suatu negara. Pengembangan pariwisata harus tetap dilakukan dan ditingkatkan agar sektor pariwisata menjadi kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan untuk terus memperbesar devisa atau pendapatan asli daerah, membuka lapangan kerja dan kesempatan berusaha terutama bagi masyarakat setempat. Pengembangan tersebut akan berhasil dengan baik apabila masyarakat ikut berperan secara aktif. Dengan peran masyarakat tersebut, maka mereka akan merasakan keuntungan-keuntungan apa yang akan diperoleh. Menurut Suwardjoko dan Indira (2007) bahwa dampak pengembangan pariwisata merambah ke berbagai sektor yang berkaitan langsung maupun tidak
24
langsung dengan kegiatan pariwisata, dan membentuk jaringan kegiatan kepariwisataan yang sangat luas dan rumit. Bagi suatu Daerah Tujuan Wisata (DTW), kegiatan pariwisata mempunyai saham sangat penting dalam menunjang perekonomian daerah, karena kepariwisataan membuka peluang untuk : 1. Pertukaran atau aliran valuta asing. Kunjungan para wisatawan asing juga berarti „kedatangan‟ valuta asing di suatu DTW. Selain itu, belanja wisatawan selama berada di DTW (membayar akomodasi, makan belanja barang dan lainlain) memperbesar kegiatan jual-beli di DTW yang bersangkutan bahkan pertukaran valuta asing akan menambah penerimaan daerah dari sektor pajak. 2. Peningkatan penerimaan Pajak. Perkembangan DTW akan menarik sejumlah usaha yang berkaitan dengan pariwisata berupa usaha jasa pelayanan angkutan, kerajinan, organisasi wisata/perjalanan, dan lain-lain yang mendatangkan pajak bagi daerah yang bersangkutan. 3. Perambatan Pertumbuhan pada Sektor Ekonomi Lain (trackling down effect). Peningkatan industri pariwisata secara langsung meningkatkan pasokan bahan baku bagi industri kepariwisataan yang pada gilirannya akan merangsang perkembangan sektor ekonomi lain secara berantai. Pengaruh ganda ini tidak hanya bagi DTW yang bersangkutan, tetapi dapat merambah ke daerah yang lebih luas atau bahkan sampai di DTW lain. 4. Pemicu Daya Cipta Seni. Barang-barang kerajinan (seni), baik berasal dari DTW itu sendiri maupun didatangkan dari dearah lain, adalah bagian yang tak terpisahkan dari kepariwisataan. Daya cipta atau kreativitas seni akan terpicu
25
oleh adanya beraneka ragam kegiatan kepariwisataan. Berbagai jenis dan bentuk cendra mata adalah salah satu produk daya cipta seni. 5. Peluang Lapangan Kerja. Berbagai ragam kegiatan kepariwisataan yang berkaitan mengandung makna terbukanya kesempatan kerja di berbagai bidang yang perlu diisi oleh tenaga kerja yang terampil. Dampak positif akan dipetik di DTW yang bersangkutan bila tenaga kerja setempat yang tersedia sesuai dengan kesempatan kerja yang terbuka, namun bila tenaga kerja yang tersedia tidak terampil, tidak terdidik dan tidak terlatih, maka kesempatan kerja yang ada akan diisi oleh tenaga kerja pendatang, dan tenaga kerja setempat „tersisihkan‟. Hutabarat dalam Rahayu (2006) juga menjelaskan peranan pariwisata antara lain, pertama, yaitu sebagai penghasil devisa negara; kedua, peranan sosial yaitu sebagai penciptaan lapangan pekerjaan; ketiga, peranan budaya yaitu memperkenalkan kebudayaan dan kesenian. Yoeti (2008) menyebutkan kontribusi pariwisata terhadap perekonomian daerah lebih lanjut adalah sebagai berikut : 1. Memberikan kesempatan kerja dengan terbukanya lapangan pekerjaan. 2. Meningkatkan pendapatan daerah melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). 3. Meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah. 4. Memberikan efek multiplier dalam perekonomian Daerah Tujuan Wisata (DTW).
26
2.4
Tinjauan Pustaka Berkaitan dengan penelitian ini ada beberapa penelitian yang telah
dilakukan oleh para peneliti lain sebelumnya, diantaranya : Maulida (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Sektor Basis dan Potensi Daya Saing Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya Pasca Otonomi Daerah” dengan menggunakan alat analisis Loqation Quotient (LQ), metode Shift Share, dan Porter’s Diamond menyatakan bahwa sektor pariwisata Kabupaten Tasikmalaya merupakan sektor basis selama tahun 2003-2004, tetapi pada tahun 2005-2007 menjadi sektor nonbasis. Berdasarkan analisis Shift Share dalam komponen pertumbuhan wilayah, sektor pariwisata termasuk ke dalam kelompok yang pertumbuhannya lambat dan kurang berdaya saing. Selain itu, potensi dan kondisi yang memengaruhi daya saing pariwisata kabupaten Tasikmalaya dengan menggunakan Porter’s Diamond menunjukkan kondisi yang kurang berdaya saing. Faktor yang menjadi keunggulan pariwisata kabupaten Tasikmalaya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, kondisi permintaan domestik, peranan pemerintah, persaingan, dan bisnis souvenir. Kelemahan pariwisata kabupaten Tasikmalaya adalah sumberdaya modal, infrastruktur, industri pendukung dan terkait, dan strategi pemasaran. Yulianti (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis FaktorFaktor Penentu Daya saing dan preferensi Wisatawan Berwisata ke kota Bogor” dengan menggunakan pendekatan Porter’s Diamond dan metode Probit menyebutkan bahwa potensi dan kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing kepariwisataan kota Bogor menarik dan beragam namun tidak diiringi
27
jumlah kunjungan wisatawan yang terus meningkat. Hal ini dikarenakan fasilitas kepariwisataan masih kurang mendukung baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Selain itu juga anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pengembangan kepariwisataan kota Bogor masih sangat kurang untuk membiayai peningkatan kualitas maupun kuantitas kepariwisataan kota Bogor. Kemudian faktor-faktor yang memengaruhi preferensi wisatawan dalam berwisata ke kota Bogor adalah variabel pendidikan, intensitas biaya, dan kenyamanan. Semua variabel signifikan pada taraf nyata 10 persen. Variabel yang berpengaruh positif yaitu intensitas, biaya, dan kenyamanan sehingga semakin besar variabel-variabel tersebut semakin besar pula peluang wisatawan yang preferensi wisatanya ke kota Bogor. Oleh karena itu, strategi yang dapat direkomendasikan adalah peningkatan anggaran dari pemerintah kota Bogor, yaitu harus lebih berkoordinasi dengan pihak swasta yang bergerak di bidang bisnis pariwisata dan gencar melakukan promosi tentang kepariwisataan kota Bogor. Trisnawati, et al (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Daya Saing Industri Pariwisata untuk Meningkatkan Ekonomi Daerah (Kajian Perbandingan Daya Saing Pariwisata antara Surakarta dengan Yogyakarta)” dengan menggunakan alat analisis kuantitatif index composite menyatakan bahwa indeks daya saing pariwisata di Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan Surakarta. Beberapa penyebab hal ini dapat terjadi karena dijelaskan pada setiap indikator yang membentuk indeks daya saing di sektor pariwisata. Berdasarkan human tourism indicator, hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah turis baik domestik maupun mancanegara lebih banyak di Yogyakarta.
28
Bidang kepariwisataan juga telah menyumbangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar bagi kota Yogyakarta dibandingkan Surakarta. Berdasarkan Price Competitiveness Indicator (PCI) menunjukkan bahwa indeks PPP lebih tinggi di kota Yogyakarta dibandingkan dengan kota Surakarta. Berdasarkan Infrastructure Development Indicator (IDI) menunjukkan bahwa pendapatan perkapita di kedua destinasi tersebut adalah tidak berbeda secara nyata, namun pertumbuhan pendapatan perkapita Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan Surakarta. Berdasarkan Environment Indicator (EI) menunjukkan bahwa tingkat kepadatan penduduk di kedua destinasi tersebut tidak berbeda secara nyata. Berdasarkan Technology Advancement Indicator (TAI) menunjukkan bahwa indeks teknologi di daerah destinasi Yogyakarta lebih tinggi. Berdasarkan Human Resources Indicator (HRI) menunjukkan bahwa indeks pendidikan di destinasi Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan Surakarta. Berdasarkan Openess Indicator (OI), daya saing pariwisata destinasi Yogyakarta juga menunjukkan angka lebih tinggi. Terakhir, Berdasarkan Social Development Indicator (SDI) menunjukkan bahwa rata-rata masa tinggal turis di Yogyakarta lebih lama dibandingkan di Surakarta. 2.5
Kerangka Pemikiran
2.5.1 Alur Kerangka Penelitian Analisis Shift Share dalam Budiharsono (2005) merupakan suatu analisis mengenai perubahan berbagai indikator ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja, pada dua titik waktu di suatu wilayah. Analisis Shift Share
29
membandingkan perbedaan laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian wilayah yang lebih luas (nasional) serta sektor-sektor dan mengamati penyimpangan-penyimpangan dari perbandingan tersebut. Bila penyimpangannya bernilai positif, maka dapat dikatakan bahwa sektor ekonomi dalam wilayah tersebut memiliki keunggulan kompetitif. Analisis shift share terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yaitu Komponen Pertumbuhan Nasional (PN), Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW). Pada penelitian ini, metode shift share digunakan untuk menganalisis apakah sektor pariwisata Kabupaten Belitung memiliki daya saing jika dibandingkan sektor yang sama di kabupaten/kota lain di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Perhitungan berdasarkan nilai mencerminkan suatu sistem perhitungan semata dan tidak analitik, sehingga metode ini tidak dapat menganalisis perkembangan posisi daya saing sektor tersebut di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Selanjutnya, posisi daya saing sektor pariwisata Kabupaten Belitung dibandingkan daerah sekitar dan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dapat diukur dan dianalisis dengan komposit indeks yang telah diberi peringkat. Kemudian, dengan analisis radar akan membandingkan daya saing sektor pariwisata relatif terhadap daerah sekitar Kabupaten Belitung. Analisis radar ini memaparkan kesembilan komponen pembentuk daya saing tersebut sehingga dapat terlihat komponen variabel apa yang paling menentukan daya saing. Adapun variabel-variabel tersebut antara lain, jumlah objek wisata,
30
jumlah tenaga kerja, jumlah wisatawan mancanegara, jumlah wisatawan nusantara, anggaran pemerintah, infrastruktur jalan, jumlah hotel, restoran, dan biro perjalanan wisata. Perkembangan posisi daya saing sektor pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dapat dijelaskan dengan analisis kuadran dimana analisis ini pada umumnya digunakan untuk memetakan suatu objek pada 2 kondisi yang saling berkaitan. Perkembangan posisi daya saing tersebut dibentuk dari dua kondisi yaitu sumbu X (peran kesempatan) dan sumbu Y (peran pemerintah). Faktor-faktor penentu daya saing sektor pariwisata Kabupaten Belitung dapat dianalisis menggunakan metode komposit indeks karena metode ini dapat menormalisasikan berbagai keragaan faktor dan variabel dimana dapat terlihat dari nilai indeks yang dibentuk. Kemudian dari faktor-faktor yang kurang unggul karena nilai indeksnya yang kecil, dapat dibuat strategi kebijakan yang harus dilakukan pemerintah Kabupaten Belitung dalam meningkatkan daya saing sektor pariwisata. 2.5.2 Kerangka Pikir Konseptual Setiap daerah pasti memiliki potensi yang dimiliki untuk pembangunan perekonomiannya agar tidak tertinggal dengan wilayah lain. Pembangunan ekonomi tersebut merupakan hasil dari kinerja sektor-sektor ekonomi daerah yang potensial. Salah satu potensi yang dimiliki oleh adalah sektor pariwisata. Sektor ini merupakan sektor yang cukup memberikan pendapatan daerah yang tinggi melalui PDRB. Selain itu, sektor pariwisata Kabupaten Belitung mampu menarik perhatian para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun mancanegara karena 31
banyak jenis objek wisata dan akomodasi yang memiliki daya tarik tersendiri untuk para wisatawan tersebut. Setiap daerah memiliki daya tarik sendiri menawarkan sektor pariwisatanya. Hal ini karena masing-masing daerah memiliki potensi pariwisata yang berbeda. Kabupaten Belitung bukan satu-satunya daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang mempunyai potensi pariwisata yang baik, masih banyak kabupaten/kota lain yang mempunyai pariwisata yang menarik perhatian wisatawan. Untuk itu, perlu dikaji secara lebih mendalam terhadap potensi dan faktor-faktor apa saja yang dapat dijadikan kekuatan daya saing pariwisata Kabupaten Belitung dibandingkan kabupaten/kota lain di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Referensi dalam meningkatkan daya saing pariwisata Kabupaten Belitung dapat dilihat dari faktor-faktor yang menentukan daya saing tersebut yang terdiri dari kondisi faktor, kondisi permintaan, strategi daerah, dan industri pendukung dan terkait. Pada penelitian ini kondisi faktor terdiri dari variabel jumlah objek wisata dan jumlah tenaga kerja, kondisi permintaan terdiri dari jumlah wisatawan baik mancanegara maupun nusantara (wisman dan wisnus), sementara faktor strategi daerah terdiri dari variabel infrastruktur jalan dan anggaran pemerintah, kemudian faktor terakhir industri pendukung dan terkait terdiri dari jumlah hotel, restoran, dan biro perjalanan wisata. Komponenkomponen dari faktor tersebut dipilih karena beberapa penelitian terdahulu menggunakan komponen tersebut untuk menentukan daya saing dan memang dapat dijadikan indikator pariwisata.
32
Daya saing sektor pariwisata memberikan peranan yang cukup besar bagi pembangunan ekonomi suatu daerah. Daya saing tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah Kabupaten Belitung seperti meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan daerah, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pemerintah Kabupaten Belitung dapat menetapkan strategi kebijakan agar pariwisata Kabupaten Belitung terus berkembang dan lebih mampu berdaya saing dengan daerah lain di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan luar Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. KONDISI FAKTOR : - Jumlah Objek Wisata - Jumlah Tenaga Kerja
STRATEGI DAERAH : - Anggaran Pemerintah - Infrastruktur Jalan
Daya Saing Pariwisata Kabupaten Belitung
KONDISI PERMINTAAN : - Jumlah Wisman - Jumlah Wisnus
INDUSTRI PENDUKUNG : - Jumlah Hotel - Jumlah Restoran - Jumlah Biro Perjalanan Wisata
Penyerapan Tenaga Kerja
Peningkatan Pendapatan Daerah
Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Konseptual Keterangan : : Pengaruh 33