BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1. Bauran Penjualan Eceran (Retailing Mix) Usaha eceran membutuhkan strategi-strategi yang terpadu agar di dalam mengambil suatu keputusan tidak menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Beberapa pakar ekonomi menyebut strategi ritel dengan istilah retailing mix (bauran penjualan eceran) yang pada dasarnya bauran penjualan eceran ini mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bauran pemasaran (marketing mix). Bauran penjualan eceran terdiri dari unsur-unsur strategis yang digunakan untuk mendorong pembeli melakukan transaksi usahanya dengan pendagang eceran tertentu. Penjabaran unsur-unsur dari bauran penjualan eceran dari masingmasing pakar berbeda satu sama lain, tetapi jika dikaji lebih jauh akan tampak kesamaan konsep dan tujuannya. Penjabaran unsur-unsur bauran penjualan eceran tersebut dapat diihat berdasarkan tabel di bawah ini: TABEL 2.1 DEFINISI BAURAN PENJUALAN ECERAN (RETAILING MIX) NO 1
AHLI
DEFENISI
Dunne, Lusch Grifith (dalam Foster 2008:51)
dan Bob
2
Masson, Mayer, F. Ezeel (dalam Bob Foster 2008:51)
3
Kotler dan (2008:442)
Amstrong
Kombinasi dari merchandising, harga, periklanan dan promosi, pelayanan konsumen dan penjualan, serta suasana toko dan desain toko yang digunakan untuk memuaskan konsumen. Semua variabel yang dapat digunakan sebagai strategi pemasaran untuk berkompetesi pada pasar yang dipilih. Dalam variabel penjualan eceran termasuk produk, harga, pajangan, promosi, penjualan secara pribadi, dan pelayanan kepada konsumen (customer service) Keputusan pemasaran pedagang eceran terdiri dari keputusan pasar sasaran, keputusan ragam produk dan perolehan, keputusan pelayanan dan suasana toko, keputusan harga, keputusan promosi dan keputusan tempat.
13
14
NO 4
AHLI Berman dan (dalam Bob 2008:51)
DEFENISI Evans Foster
Untuk bentuk toko yang berdasarkan stote based retail terdapat strategi bauran penjualan eceran yang terdiri dari lokasi department store (store location), prosedur pembelian/pelayanan (operating procedures), produk/barang yang ditawarkan (goods offered), harga barang (pricing tactics), suasana department store (store atmosphere), karyawan (customer service), dan metode promosi (promotional methods). Sumber: Berdasarkan Berbagai Referensi Buku
Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa bauran penjualan eceran dapat diartikan meliputi beberapa variabel utama yaitu merchandising (pengelolaan barang dagangan), store location (lokasi toko), prosedur pembelian, pricing tactics, store atmosphere (suasana toko), karyawan, dan promosi. Penjelasan mengenai bauran pemasaran ritel di atas adalah sebagai berikut: 1. Lokasi Lokasi ritel sangat mempengaruhi tingkat profitabilitas dan keberhasilan usaha dalam jangka panjang. Selain itu lokasi juga akan mempengaruhi jumlah konsumen untuk datang ke lokasi yang strategis. 2. Operation procedures atau pelayanan Pelayanan yang berkualitas tinggi dapat mempengaruhi program relationship retailing yang didalamnya termasuk desain untuk menarik, memelihara, dan meningkatkan custumer relationship. 3. Merchandising merupakan perencanaan dan pengendalian dalam pembelian dan penjualan barang dan jasa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan pengecer.
15
4. Pricing Tactics atau harga merupakan faktor utama penentuan posisi dan harus diputuskan sesuai dengan pasar sasaran, bauran ragam produk, dan pelayanan, serta persaingan. 5. Atmosphere dalam Gerai Store Atmosphere diciptakan untuk melayani target market untuk menyentuh emosi konsumen dan memberi pengalaman berbelanja yang berujung pada tercapainya sasaran jangka pendek atau penjualan dan sasaran jangka panjang berupa citra positif dan rekomendasi 6. Karyawan toko Bisnis ritel bukan hanya sekedar bisnis penjualan barang dagangan tetapi di dalamnya melibatkan unsur jasa. Ujung tombak usaha jasa adalah orang atau dalam suatu bisnis ritel biasanya disebut sebagai pramuniaga atau karyawan. 7. Metode promosi Komunikasi dengan konsumen adalah penting untuk merangsang, mendorong penjualan produk, dan mempertahankan image toko.
2.1.2. Konsep Pengelolaan Barang Dagangan Kunci untuk membuat angka penjualan dalam bisnis ritel terus mengalami peningkatan adalah menjual atau menyediakan barang dengan mutu yang baik. Tujuan utama ritel pada umumnya adalah menjual barang dagangan dan memberikan pelayanan terbaik mereka. Oleh karena itu, menentukan barang apa yang harus ditawarkan pada pelanggan dan berapa banyak jumlahnya merupakan tugas utama dari peritel. Ketersedian barang dagangan tersebut dikenal dengan istilah merchandising atau pengelolaan barang dagangan. Tabel 2.2
16
menyajikan berbagai defenisi mengenai pengelolaan barang dagangan sebagai berikut : TABEL 2.2 DEFINISI PENGELOLAAN BARANG DAGANGAN
NO AHLI DEFINISI William J. Stanton dan “Perencanaan dalam perusahaan untuk menghasilkan jasa atau 1 Y. Lamarto (1996;8)
produk yang tepat, dalam harga yang pantas dan dengan warna dan ukuran yang sesuai. Michael Levy dan Merchandising is the process by a wich retailer atteps to offer 2 Barton A. Witz the right quantity of the right merchandise, in the right place, at (2001:348) the right time, while meeting the company’s financial goal. Artinya pengelolaan barang dagangan adalah proses yang dilakukan oleh retailer dalam menawarkan barang dalam jumlah yang tepat, pada lokasi yang tepat, pada waktu yang tepat untuk mencapai tujuan keuangan perusahaan. Dunne, Lusch dan Grup produk yang sangat berhubungan satu sama lain yang 3 Griffith (dalam Bob ditujukan untuk kegunaan akhir yang dijual kepada grup Foster 2008:54) konsumen yang sama atau dengan kisaran agar yang hampir sama Berman dan Evans Merchandising consists of the activities involved in acquiring 4 (dalam Bob Foster particular goods anad or services and making them available 2008:54) at the places, times, and prices and in the quantity that enable a retailer to reach its goals Buchari Alma (2004:13) Merchandising adalah kebijakan kaum produsen untuk 5 mendekatkan hasil produksinya kepada selera konsumen Hendri Ma’ruf Kegiatan pengadaan barang-barang yang sesuai dengan bisnis 6 (2006:135) yang dijalani toko (produk berbasis makanan, pakaian, barang kebutuhan rumah, produk umum, dan lain-lain, atau kombinasi) untuk disediakan dalam toko pada jumlah, waktu dan harga yang sesuai untuk mencapai sasaran toko atau perusahaan ritel. Bob Foster (2008:54) Perencanaan dan pengendalian dalam pembelian dan penjualan 7 barang dan jasa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan pengecer Sumber: Berdasarkan Berbagai Referensi Buku
Berdasarkan definisi di atas jelas bahwa kegiatan penyediaan barang dagangan oleh peritel disediakan untuk konsumen akhir untuk disediakan dalam toko pada jumlah, waktu dan harga yang sesuai untuk mencapai sasaran toko atau perusahaan ritel.
2.1.2.1. Karakteristik Barang Dagangan Ritel Pengelolaan barang dagangan merupakan salah satu bidang yang berperan dalam menentukan keunggulan bersaing dari peritel. Merchandising
17
berasal dari kata merchandise yang artinya barang yang diperdagangkan. Citra toko atau ritel dapat dibangun berdasarkan karakteristik barang dagangan yang di pajang atau ditawarkan untuk dibeli pelanggan. Peritel harus memutuskan karakteristik barang dagangan yang dipilih untuk ditawarkan pada pelanggan. Menurut Christina Whidya Utami (2008:93) karakteristik barang dagangan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Convenience goods (produk kemudahan) Jenis yang relatif murah dan menggunakan sedikit upaya untuk berbelanja sehingga konsumen tidak perlu bersusah payah berbelanja. Jenis produk yang termasuk dalam kategori convenience goods antara lain seperti permen, minuman ringan, sisir, aspirin, perangkat keras yang kecil, cuci kering, dan pencuci mobil. 2. Shopping goods (produk belanja) yaitu barang dagangan yang membutuhkan proses evaluasi lebih dibandingkan saat membeli consumer goods seperti pakaian. 3. Impulse goods yaitu pembelian barang dagangan yang biasanya tanpa rencana misalnya hard, soft, basic, fashion, permen, koran, majalah yang ditempatkan di depan kasir supermarket, dan lainnya.
2.1.2.2. HIERARKI MERCHANDISING Peritel biasanya akan menetapkan hirarki barang dagangan dalam mempermudah mengelompokkan barang dagangan. Hirarki barang dagangan adalah urutan kelompok barang dagangan yang disusun untuk memudahkan
18
peritel mengelola barang dagangan. Hirarki barang dagangan juga digunakan sebagai upaya memudahkan pengidentifikasian dan pendataan barang dagangan. Sistematika hirarki barang dagangan dimulai dari hirarki yang paling tinggi adalah perusahaan, divisi, kategori, subkategori, segmen, sub segmen item (SKU/stock keeping unit). ). Untuk tujuan mempermudah memahami pengertian hirarki manajemen barang dagangan dalam Gambar 2.1 berikut ini: Company Divison category Sub-category Segment Sub-Segment item/SKU
Sumber : Christina Whidya Utami (2008:77) GAMBAR 2.1 MERCHANDISE HIERARCHY
Hierarki ierarki barang dagangan dapat disusun ke dalam bentuk piramida, pada bagian teratas adalah company sampai bagian paling bawah adalah item. Keberadaan item pada bagian paling dasar menunjukkan bahwa variasi dan jumlah item barang dagangan merupakan yang paling besar di antara hierarki barang dagangan yang lain. Contoh hirarki pengelolaan barang dagangan menurut Christina Whidya Utami tami (2008:50) (2008 dapat dilihat pada Tabel 2.3 pada halaman selanjutnya:
19
1 2 3 4 5 6
TABEL2.3 CONTOH MERCHANDISE HIERARCHY COMPANY Hypermarket/Supermarket/Minimarket Division Hardgoods Non-Food Food Category Household Body care Cooking Needs Sub-Category Peralatan dapur Skin Care Noodle & pasta Segment Tempat minum Face Care Instant Noodle Sub-Segment Termos air Cleanser Softpack
Perishable Produce Fruit Import fruit Citrus fruit
Sumber : Chiristina Whidya Utami (2008:50)
Secara nyata tidak mungkin membiarkan proses pembelian tanpa mengelompokkan item barang dagangan ke dalam kategori-kategori. Secara sederhana kategori dapat dipahami sebagai kelompok barang yang dalam persepsi konsumen saling berhubungan dan atau pemakaiannya dapat saling mensubstitusi. Secara umum kategori merupakan keragaman item yang dilihat pelanggan. Manajemen kategori adalah proses mengatur bisnis ritel dengan tujuan memaksimalkan penjualan dan keuntungan dari kategori. Masing-masing kategori pengelolaan barang dagangan di toko dapat memerankan berbagai peran sebagai berikut:
No 1
2
3
4
TABEL 2.4 PERAN MANAJEMEN KATEGORI Peran manajemen kategori Perilaku konsumen DESTINATION Menentukan di mana dan kapan seseorang berbelanja ROUTLINE Pada saat berbelanja pada tempat tujuan berbelanja, sekalian mengisi troll Occasional Dibeli hanya pada saat dibutuhkan
FILL-IN Impulse/tidak dijadikan alasan untuk pergi berbelanja Sumber: Christina Whidya Utami (2008: 78)
Dibeli secara berkala Selektif sangat memperhtikan harga Loyalitas cukup signifikan Dibeli secara rutin Sangat memperhatikan value Loyalitas di atas rata-rata Dibeli berdasarkan hanya bila diperlukan Sangat dipengaruhi kenyamanan Loyalitas rendah Impulse sangat dipengaruhi kenyamanan
Konsumen berperilaku secara berbeda dalam merespon keberadaan kategori tersebut. Dengan demikian, toko harus pandai dan kreatif dalam
20
menetapkan kategori pengelolaan barang dagangan yang dapat memainkan peran tersebut. Ritel dituntut untuk dapat mengelola dan mengatur barang dagangan yang akan ditawarkan kepada konsumen. Langkah pengaturan arah pengelolaan barang dagangan dalam ritel menurut Levi dan Weitz yang dikutip dalam Christina Whidya Utami (2008:91) adalah sebagai berikut: Retail Strategi
Item Baru
Analisis Pasar
Assortment Planning
Tipe Toko
Sales & Gross
Marketing Plan
Merchandising category
Seasonal Plan
Margin Mix
Promotion Plan
SKU by Store
Sourching & Buying Plan
Logistic
Key Supplier Partnership
Service Level Analysis
Sales & Gross Marketing Analysis
Report Analysis
Store Survey & Feedback
Competitive Survey
Privte Brand Development
Planogram Product Knowledge Traing Store
Sumber : Levy dan Weltz yang dikutip oleh Christina Whidya Utami (2008:91) GAMBAR 2.2 PROSES MERCHANDISING CYCLE
Proses
merchandise
cycle
dalam
langkah
pengaturan
arah
merchandising terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut: 1. Melakukan analisis pasar dan segmentasi 2. Analisis pasar dilakukan dengan meneliti pasar, konsumen dan pesaing, perlu diperhatikan siapa yang harus melakukannya, di mana, kapan dan bagaimana melakukannya. 3. Menentukan target pasar
21
4. Menetapkan tujuan dan memutuskan berdasarkan tren secara umum dalam pasar, kelompok pengelolaan barang dagangan mana yang patut mendapat perhatian lebih. 5. Assortment plan adalah aktivitas untuk melakukan perencanaan terhadap merchandising category dan margin mix. 6. Merchandising category adalah kelompok barang dalam persepsi konsumen saling berhubungan dan atau pemakaiannya dapat saling mendistribusi 7. Margin mix adalah komposisi margin yang terbaik ditentukan berdasarkan peranan dari masing-masing kategori barang (category rule). 8. Sales and general merchandising plan 9. Sourching and buying plan 10. Logistic 11. Penjualan dan general merchandising analysis 12. SKU (Stock Keeping Unit), SKU dalam toko mempunyai pemahaman bahwa pada setiap toko atau kelompok toko memiliki daftar item atau SKU yang berbeda sesuai dengan pasar sasarannya. 13. Planogram adalah di setiap SKU toko ditetapkan alamat gondola atau rak dan shelving serta besarnya facing display. Planogram ditentukan berdasarkan alur kebiasaan belanja konsumen (consumen decision tree) sedangkan besarnya facing dipengaruhi oleh rencana ataupun hasil penjualan. 14. Product Knowledge Training Store terkait dengan informasi produk baru yang dikirim ke toko beserta planogramnya yang selalu diperbaharui. Alasan-alasan untuk menjawab mengapa diperlukan item baru yang harus dijual dalam toko yaitu karena adanya permintaan pasar atau permintaan konsumen, adanya penawaran supplier, differentiation, margin yang lebih baik bagi toko, untuk meningkatkan produktivitas dari space (ruang pajang). 2.1.2.3. Manajemen Pengelolaan Barang Dagangan Sebuah ritel akan mengalami kesuksesan finansial jika mereka merencanakan dengan baik penerapan finansial dari kegiatan barang dagangan mereka. Tujuan dari manajemen barang dagangan adalah mengidentifikasikan bahwa target konsumen benar-benar menginginkan barang tersebut dan mampu menjaga ketersediaan barang dagangan pada jumlah dan harga yang tepat serta waktu dan tempat konsumen menginginkannya. Manajemen pengelolaan barang dagangan meliputi tiga hal yaitu :
22
1. Perencanaan barang dagangan Perencanaan barang dagangan merupakan pencarian serangkaian bauran barang dagangan yang mencakup luas dan dalamnya lini produk guna memenuhi kepuasan target konsumen. Menurut Hendri Ma’ruf (2006:141) hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan pengelolaan barang dagangan dapat dilihat pada Gambar 2.3 sebagai berikut: INOVASI
PERAMALAN
ASSORTMENT
PERENCANAAN MERCHANDISING
TIMING & LOKASI
MEREK
Sumber : Hendri Ma’ruf (2006:141) GAMBAR 2.3 KOMPONEN MANAJEMEN MERCHANDISING
Secara ringkas penjelasan mengenai komponen-komponen manajemen pengelolaan barang dagangan sebagai berikut: a. Peramalan, jumlah barang yang hendak disediakan peritel dalam gerainya terkait dengan rencana penjualan dalam jangka setahun. b. Inovasi produk ritel harus diciptakan secara inovatif, faktor utama yang diperhatikan dalam melakukan inovasi adalah target market. c. Assortment, keanekaragaman tersebut terdiri atas dua hal antara lain wide (lebar) d. Merek, peritel dapat membuat merek sendiri yang disebut private label, yang jika berhasil dijalankan akan memperoleh keuntungan. e. Timing dan Alokasi Persediaan barang agar dapat disajikan dengan cepat setiap harinya di gerai harus disiapkan secara terencana.
23
2. Pembelian Barang Dagangan Pembelian barang dagangan meliputi pembuatan berbagai keputusan yang berkaitan dengan sentralisasi atau desentralisasi pembelian, sumber barang dagangan (supplier), dan negosiasi dengan pemasok. Pemilihan pemasok adalah suatu keputusan yang krusial, selain berhubungan dengan kredibilitas dan jaminan mutu barang, hal itu juga sangat terkait dengan efisiensi biaya, baik biaya pengiriman, biaya tunggu, maupun biaya penyimpanan. Semua akan berdampak pada semakin efisiennya operasi bisnis ritel yang dijalankan sehingga pihak peritel lebih fokus pada pelayanan pelanggannya.
3. Pengawasan Barang Dagangan Pengawasan disini meliputi penjagaan terhadap tingkat ketersediaan barang dagangan dan menjaga persediaan dari kerusakan dan kehilangan akibat kelalaian pegawai, pencurian toko, atau sebab lain yang menyebabkan hilangnya pengelolaan barang dagangan.
2.1.2.4. Komponen Pengelolaan Barang Dagangan Citra sebuah toko atau ritel dapat dibangun berdasarkan karakteristik barang dagangan yang dipajang atau ditawarkan untuk dibeli oleh pelanggan. Komponen dalam karakteristik pengelolaan barang dagangan menurut Christina Whidya Utami (2008:18) terdiri dari quality, price, dan assortment.
2.1.2.4.1. Quality atau Kualitas Kualitas produk merupakan salah satu alat andalan pemasaran suatu perusahaan. Kualitas mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja produk dan
24
jasa, yang dapat mendekatkan pada nilai dan kepuasan. Menurut American society for quality control yang di kutip oleh Kotler & Amstrong (2008:226) bahwa kualitas adalah sifat dan karakteristik total dari sebuah produk atau jasa yang berhubungan dengan kemampuannya memuaskan kebutuhan pelanggan. Kotler dan Amstrong (2008:226), mendefinisikan kualitas sebagai berikut: “Kualitas produk adalah kemampuan produk untuk melaksanakan fungsinya, termasuk didalamnya keawetan, keandalan, ketepatan, kemudahan dipergunakan dan diperbaiki serta atribut bernilai yang lain”. Besterfield, et al (1999) yang dikutip dalam Bilson Simamora (2002:120) “melihat kualitas dari performa dan harapan. Apabila performa dapat dapat memenuhi atau melampaui harapan, maka produk itu berkualitas”. Konsumen saat ini memilih produk yang bermutu tinggi dengan penyesuaian harga yang relatif rendah. Christina Whidya Utami (2008:95) mengemukakan pendapat mengenai kesesuaian harga dengan kualitas sebagai berikut : ”Keputusan penetapan harga semakin penting karena pelanggan saat ini cenderung mencari nilai barang (value) ketika mereka membeli barang dagangan atau jasa, dimana nilai disini berarti hubungan antara apa yang diperoleh pelanggan (barang dan jasa) dan apa yang harus dia bayar untuk mendapatkan manfaat barang tersebut” Tujuan utama ritel pada umumnya adalah menjual barang dagangan dan memberikan pelayanan terbaik mereka, oleh karena itu untuk dapat terus meningkatkan agak penjualan dalam bisnis ritel harus menjual atau menyediakan barang dengan mutu yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Christina Whidya Utami (2008:27): “Kunci untuk merealisasikan angka penjulan agar terus mengalami peningkatan dalam bisnis ritel adalah menjual atau menyediakan barang dengan mutu atau kualitas yang baik dan variatif sehingga mampu menjawab kebutuhan pelanggan”.
25
Fandy Tjiptono (2008:25) menyatakan bahwa dalam mengevaluasi suatu keputusan pembelian yang menitikberatkan pada kepuasan terhadap kualitas produk mengacu pada berbagai faktor antara lain: 1. Performance (Kinerja) merupakan karakterisitik produk inti yang meliputi merek, atribut-atribut yang dapat diukur, dan aspek-aspek kinerja individu. 2. Features (Keistimewaan tambahan) dapat berbentuk produk tambahan dari suatu produk inti yang dapat menambah nilai dari suatu produk. 3. Conformance (Kesesuaian), ketepatan dalam menyesuaikan barang yang akan dijual dengan kebutuhan konsumen dapat menarik konsumen melakukan pembelian, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Christina Whidya Utami (2006:154): “Setiap department store harus dapat menyediakan barang tepat atau sesuai dengan waktu misalnya: penetapan penyediaan barang pada saat hari raya, barang atau produk yang dibutuhkan oleh konsumen”. 4. Reliability (Keandalan) berkaitan dengan timbulnya kemungkinan suatu produk mengalami keadaan tidak berfungsi (malfunction) pada suatu periode. 5. Daya tahan berkaitan dengan berapa lama produk tersebut dapat terus digunakan (mencakup umur teknis dan umur ekonomis penggunaan produk) 6. Serviceability
(Kemampuan
pelayanan)
meliputi
dengan
kecepatan,
kompetensi, kenyamanan serta penanganan keluhan yang memuaskan. 7. Estetika, dilihat melalui panca indera manusia, seperti suatu produk yang terdengar oleh konsumen, bentuk fisik suatu produk yang menarik, model atau desain yang artistik, warna dan sebagainya.
26
8. Perceived quality (kualitas yang dipersepsikan), citra dan reputasi produk serta tanggung jawab perusahaan terhadap produk.
2.1.2.4.2. Price Dalam arti yang sempit, harga adalah jumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa. Dalam arti luas, harga adalah jumlah dari seluruh nilai yang ditukar konsumen atas manfaat memiliki dan menggunakan produk atau jasa tersebut. Kotler (2008:82):mengemukakan penjelasan mengenai harga berikut ini: “Kebijaksanaan penetapan harga yang dilakukan oleh pengecer merupakan factor positioning yang penting, dan harus ditetapkan dengan mempertimbangkan target pasar dan jasa yang ditawarkan dan persaingan dengan pengecer lain. Semua pengecer senantiasa berkeinginan menetapkan harga yang tinggi dengan volume yang tinggi pula.“ Penetapan harga dan persaingan harga adalah masalah utama yang dihadapi dalam semua lingkungan bisnis terutama bisnis ritel. Menurut Christina Whidya Utami (2008:95) : ”Keputusan penetapan harga semakin penting karena pelanggan saat ini cenderung mencari nilai barang (value) ketika mereka membeli barang dagangan atau jasa.”
a. Pendekatan dalam penetapan harga Setelah strategi penetapan harga, yang perlu ditetapkan oleh ritel adalah harga untuk setiap item dengan memperhatikan harga jual impas, permintaan dan persaingan. Harga pada retailer store bervariasi, ada ritel yang memasang harga mati dan ada pula yang menetapkan harga fleksibel atau dapat ditawar untuk barang-barang yang dibutuhkan konsumen rumah tangga. Dalam pasar ritel
27
sekarang, terdapat dua strategi penetapan harga yang berlainan menurut Christina Whidya Utami (2008:98) yaitu sebagai berikut: 1. Penetapan harga rendah setiap hari (EDLP; everyday low pricing) yang menekankan kontinuitas harga ritel pada level antara harga non obral regular dan harga obral diskon besar pesaing ritel (tak selalu berarti termurah). 2. High atau low pricing (HLP), ritel menawarkan harga yang kadang di atas EDLP pesaing dengan memakai iklan untuk mempromosikan obral dalam frekuensi yang cukup tinggi. Barang dagangan yang tergolong kelas rata-rata dan dijual di lokasi biasa akan dijual dengan harga yang umum. Sementara itu produk eksklusif yang unik biasanya dijual di lokasi strategis dengan sedikit pesaing, biasanya akan dijual dengan harga yang relatif tinggi. Sebaliknya produk yang sangat popular dan banyak dibuat orang sehingga tersebar hingga ke pelosok akan dijual dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau harga umum. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Menurut Hendri Ma’ruf (2006:157): “Harga rendah sering dijadikan sebagai strategi yang amat efektif menarik pembeli karena harga rendah berarti penghematan sehingga muncullah strategi harga bersaing atau “pricing below the market” yaitu harga jual eceran yang lebih rendah, baik sedikit atau banyak, dibandingkan harga jual eceran dari rata-rata pesaing”.
b. Komponen Pendukung Reputasi Harga Penetapan harga mempengaruhi reputasi sebuah ritel. Terdapat 5 aktivitas yang dapat mendukung dibangunnya reputasi harga bagi sebuah ritel menurut Christina Whidya Utami (2008:105) antara lain :
28
a. Mengubah harga pada rak pajang setiap hari (everyday shelf price), reputasi harga yang baik akan terbangun jika ritel sangat memperhatikan perubahan harga untuk setiap item yang dijual dalam rak. b. Komunikasi harga, ritel harus menghargai komunikasi dengan pelanggan tentang informasi harga yang ditetapkan untuk setiap item barang dagangan. c. Harga promosi, secara konsisten ritel harus melakukan promosi harga untuk item barang dagangan tertentu. Kegiatan ini dipandang sebagai cara efektif untuk menarik minat pelanggan agar berkunjung. d. Harga per unit, ritel harus mengkomunikasikan harga per unit barang dagangan pada pelanggan. e. Pemahaman pelanggan terhadap nilai item harga (know-value item price), nilai item barang akan terbentuk sejalan dengan pertimbangan pelanggan terhadap manfaat yang didapatkan dari item produk.
c. Strategi untuk meningkatkan penjualan Ketika peritel melayani pasar sasaran yang sangat sensitif terhadap harga maka harga dapat digunakan untuk meningkatkan penjualan ritel. Oleh karena itu, bagi peritel perlu untuk membangun reputasi harga yang baik di mata pelanggannya. Penyampaian informasi mengenai harga perlu secara konsisten dan tepat diberikan kepada konsumen agar memudahkan konsumen
untuk
mendapatkan informasi terhadap barang yang akan dibelinya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan menurut Christina Whidya Utami (2008:105):
29
“Ritel harus menghargai komunikasi pada pelanggan tentang informasi harga yang ditetapkan ritel untuk setiap item barang dagangan. Hal ini akan efeketif dijalankan apabila dilakukan kontrol terhadap konsistensi antara harga yang dikomunikasikan dan harga nyata yang harus konsumen bayar”. Kemampuan ritel dalam menetapkan strategi harga membutuhkan kemampuan ritel untuk melihat peluang dalam melakukan dan menetapkan diskriminasi harga. Berikut ini merupakan beberapa strategi penetapan harga yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penjualan dengan diskriminasi harga menurut Christina Whidya Utami (2008:107) adalah sebagai berikut: a. Markdown adalah diskriminasi harga tingkat kedua karena melalui markdown sebenarnya ritel telah membebankan harga berbeda kepada konsumen yang berbeda atas dasar sifat penawaran. b. Kupon adalah diskon harga item tertentu ketika dibeli di suatu toko c. Rabat merupakan bagian dari harga pembelian yang dikembalikan kepada pembeli dimana rabat membebani ritel dengan biaya penanganan. d. Price Bundling adalah penawaran dua atau lebih produk yang berbeda untuk penjualan atau obral pada satu harga. e. Multiple unit pricing, sama dengan price bundling tetapi produknya sama bukan berbeda. f. Variable pricing atau zona penetapan harga yaitu pembebanan harga yang berbeda dalam toko, pasar atau zona yang berbeda untuk menghadapi situasi persaingan yang berbeda.
Ketika peritel melayani pasar sasaran yang sangat sensitif terhadap harga maka harga dapat digunakan untuk merangsang penjualan ritel. Terdapat tiga
30
strategi untuk meningkatkan penjualan tanpa menggunakan diskriminasi harga menurut Christina Whidya Utami (2008:108) yaitu sebagai berikut: a. Leader Pricing, ritel menetapkan harga lebih rendah daripada normalnya untuk item tertentu, hal ini dilakukan untuk meningkatkan arus lalu lintas pelanggan atau untuk meningkatkan penjualan produk pelengkap atau komplementer. b. Pricing lining (harga bertingkat), ritel menawarkan sejumlah poin harga terbatas yang ditentukan sebelumnya dalam suatu klasifikasi. Manfaatnya bagi pelanggan dan ritel adalah menyingkirkan kebingungan yang muncul dari pilihan harga ganda. c. Penetapan harga ganjil (odd pricing), pemakaian suatu harga yang berakhir dalam jumlah atau bilangan ganjil. Untuk produk yang sensitif harga, banyak ritel yang membulatkan ke bawah untuk menciptakan citra harga positif.
2.1.2.4.3. Assortment (Keragaman Produk) Tujuan utama ritel umumnya adalah menjual barang dagangan dan memberikan pelayanan terbaik mereka. Oleh karena itu, menentukan barang apa yang harus ditawarkan pada pelanggan dan berapa banyak jumlahnya merupakan tugas utama dari semua ritel. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Christina Whidya Utami (2008:27): “Kunci untuk merealisasikan angka penjualan agar terus mengalami peningkatan dalam bisnis ritel adalah menjual atau menyediakan barang dengan mutu atau kualitas yang baik dan variatif sehingga mampu menjawab kebutuhan pelanggan”.
31
Christina Whidya Utami (2008:89) mendefiniskan assortment sebagai sejumah SKU dalam kategori breadth yang baik dan dept yang juga dapat digunakan saling bergantian, hal yang serupa juga dikemukakan menurut Hendri Ma’ruf (2006:144) yaitu assortment menunjuk pada keanekaragaman kategori produk yang terdiri dari wide dan deep. Assortment peritel harus sesuai dengan harapan belanja pasar sasarannya. Itulah yang sebenarnya menjadi kunci keberhasilan bisnis ritel dalam memenangkan persaingan perusahaan sejenisnya. Menurut Christina Whidya Utami (2006:155): “Semakin tinggi pengelolaan barang dagangan, semakin besar jumlah stok cadangan. Memilih cadangan yang tepat adalah kunci sukses dari proses perencanaan keberagaman, karena jika barang terlalu rendah maka ritel akan kehilangan penjualan dan pelanggan”. Keragaman produk juga bisa dilihat dari kualitas barang yang ditawarkan, sehingga konsumen tertarik dengan ragam kualitas produk dan rentang produk yang diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan penjelasan menurut Hendri Ma’ruf (2006:138): “Keinginan konsumen atas keragaman barang membuat peritel harus menyediakan merchandise yang banyak jenisnya dan banyak pilihan atas masingmasing jenis”. Menurut Christina Whidya Utami (2006:150): “Proses perencanaan keberagaman semua ritel menghadapi masalah mengenai strategi yang paling dasar untuk memperoleh keuntungan yang bersaing dan dapat menopang keseluruhan rencana kerja ritel tersebut”. a. Dimensi Keragaman Produk Menurut Christina Whidya Utami (2008:18), hal penting dari keragaman produk yang perlu dipertimbangkan adalah:
32
1. Ketersediaan produk baru, persentase permintaan untuk beberpa SKU yang memuaskan. Menurut Christina Whidya Utami (2008:146) ketersediaan produk baru berkaitan dengan saran penjualan yaitu: “Terdapat beberapa barang yang dianjurkan dapat dijadikan sebagai saran penjualan, dimana saran penjualan dapat dijadikan sebagai alat efektif dalam beberapa tahap proses pembelian yang biasanya digunakan untuk membangun prefensi pembeli, keyakinan dan aksi. Barang tersebut seperti produk-produk baru, konsumen sering kali menerima sesuatu yang berbeda, jadi sangat tepat untuk membeli produk baru yang disarankan di pasaran”. 2. Merek yang bervariasi, kategori barang dagangan yang beranekeragam dari beberapa merek yang dijual oleh pengecer. Tersedianya berbagai macam merek dapat memenuhi dan memuaskan segala kebutuhan dan keinginan pelanggan. Menurut Sopiah dan Syihabudin (2008:143):”Peritel dapat menawarkan berbagai merek yang akan memperoileh keuntungan-keuntungan diantaranya peningkatan citra toko dan keunggulan dalam omset penjualan”. 3. Berbagai desain produk dan warna, selain pengecer menyelenggarakan barang dagangan dengan berbagai merek yang bervariasi, untuk dapat membuat konsumen lebih tertarik hingga memutuskan untuk membeli maka pengecer harus menyediakan berbagai macam desain dari produk ataupun warna dari suatu produk yang bervariasi. 4. Berbagai variasi produk, berbagai merek dengan berbagai desain produk juga warna dari suatu produk merupakan keanekaragaman dari suatu produk. Menurut Christina Whidya Utami (2006:155):”Kesesuaian jumlah barang yang meliputi banyaknya variasi produk yang dijual dan banyaknya item pilihan dalam masing-masing kategori produk. Menurut Hendri Ma’ruf
33
(2006:137), gerai minimarket biasanya mempunyai komposisi merchandising seperti berikut: a. b. c. d.
Produk makanan dan minuman Produk nonfoods (seperti sabun) Perishable (seperti buah-buahan yang cepat busuk) Umum (seperti baterai)
(60%) (20%) (10%) (10%)
5. Ketersediaan berbagai merek dan produk untuk dipilih, penyediaan berbagai merek dan produk untuk dipilih disini adalah ketersediaan akan barang dagangan dengan berbagai merek dan produk yang bervariasi bagi konsumen. Menurut Christina Whidya Utami (2008:83): “Pilihan produk atau barang dagangan baru yang akan dipajang dalam rakrak penjualan akan sangat bergantung pada evaluasi terhadap kebutuhan konsumen akan produk yang ingin dibeli pada ritel tersebut maka peritel dituntut untuk menyiapkan barang dagangan dengan variasi produk dalam ruang pajangnya”.
b. Klasifikasi Keragaman Produk Keanekaragaman kategori dalam keragaman produk mempunyai beberapa klasifikasi berdasarkan jenisnya menurut Hendri Ma’ruf (2006:144) adalah : 1. Wide yaitu banyaknya variasi kategori produk yang dijual yang meliputi banyak ragam kategori dan sempit yaitu sedikit ragam kategori produk. 2. Deep (dalam) yaitu banyak item pilihan dalam masing-masing kategori produk yang meliputi banyaknya pilihan (warna, ukuran, bahan, dan lain-lain) dalam setiap kategori produk dan dangkal yaitu sedikit pilihan dalam setiap kategori produk.
34
Menurut Peter Mc Gloldrick yang dikutip oleh Hendri Ma’ruf (2006:146), penerapan aspek keragaman dapat dilihat sebagai berikut : Sempit
Jumlah item dalam setiap kategori
Dalam/ banyak
Sedikit
Jumlah Kategori
Lebar
Contoh : category killer Sisi Positif : 1. Pasar yang fokus 2. Citra sebagai spesialis 3. Pilihan bagus dalam kategori 4. Berpeluang besar memenuhi kebutuhan pelanggan. 5. Staf yang berketerampilan khusus 6. Pelanggan biasanya loyal Sisi Negatif : 1. Rentan terhadap perubahan selera 2. Tidak bersifat one-stop shopping 3. Tidak terlalu butuh cross-selling 4. Pelanggan dapat bingung
Contoh : Departement store besar Sisi Positif : 1. Daya tarik bagi masyarakat luas 2. Pilihan banyak 3. One-stop shooping 4. Berpeluang besar memenuhi kebutuhan pelanggan 5. Pelanggan biasanya loyal 6. Potensi lalu lintas mobil tinggi Sisi negatif : 1. Investasi besar dalam persediaan 2. Lebih banyak rak untuk barang slow moving 3. Risiko mode kadaluarsa 4. Biasanya berbiaya tinggi untuk pelayanan
Contoh : Covenience store Sisi Positif : 1. Terunggul dalam pasar convenience 2. Turnover persediaan tinggi 3. Konsentrasi pada item yang menguntungkan 4. Strategi harga rendah Sisi Negatif: 1. Pilihan sedikit 2. Kurang berpeluang memenuhi kebutuhan banyak pelanggan 3. Citra lemah dalam ragam produk 4. Kurang croos-selling
Contoh : General Discounter Sisi Positif : 1. Daya tarik bagi umum 2. Bias fokus pada item yang paling menguntungkan atau yang paling murah 3. Ada upaya cross-selling 4. Potensi lalu lintas mobil tinggi 5. Strategi harga murah Sisi Negatif : 1. Variasi sedikit dalam suatu kategori 2. Kurang berpeluang memenuhi kebutuhan semua pelanggan 3. Sangat mungkin loyalitas rendah 4. Citra yang kurang kuat
Sumber : McGoldrick, hal 308 yang dikutip oleh Hendri Ma’ruf (2006:147) GAMBAR 2.4 ASPEK WIDE AND DEEP DALAM ASSORMENT PRODUCT
Aspek wide dan deep menurut Hendri Ma’ruf (2006:144) dapat diklasifikasikan menjadi empat (4) jenis assortment yaitu antara lain : 1. Narrow and deep (sempit dan dalam) yaitu sedikit ketegori produk tetapi masing-masing kategori disediakan banyak pilihan, biasanya dilakukan oleh gerai seperti category killer. 2. Wide and Deep (lebar dan dalam) yaitu banyak kategori produk jenis yang masing-masing dengan banyak pilihan, biasanya dilakukan oleh gerai seperti hypermarket.
35
3. Wide and Shallow (lebar dan dangkal) yaitu banyak kategori produk tetapi masing-masing hanya tersedia sedikit pilihan, contoh biasanya dilakukan oleh gerai seperti general discounter. 4. Narrow and Shallow (sempit dan dangkal) yaitu sedikit kategori produk jenis yang masing-masing dengan sedikit pilihan, contoh convenience store dan minimarket.
Menurut Berry Berman dan Joel R. Evans yang dikutip oleh Hendri Ma’ruf (2006:148), memuat keuntungan dan kerugian strategi keragaman produk seperti pada Tabel 2.5 berikut ini: TABEL 2.5 KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN STRATEGI KERAGAMAN PRODUK PADA MERCHANDISING
KEUNTUNGAN
KERUGIAN
Wide & deep (banyak ragam kategori produk dan masing-masing banyak pilihan) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
1. 2. 3. 4.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
1.
Pasarnya luas Tersedianya banyak pilihan Lalu lintas orang tinggi Loyalitas pelanggan One-stop shopping Kekecewaan pelanggan rendah
1. 2. 3. 4.
Investasi sangat besar untuk persediaan Citra sebagai pengecer “gado-gado Banyak item yang turn-overnya rendah Sebagian merchandising akan menjadi usang
Wide & Shallow (banyak ragam kategori produk dan masing-masing sedikit pilihan ) Lalu lintas orang tinggi 1. Pilihan sedikit pada produk-produk yang tersedia One-stop shopping waktu 2. Sebagian pelanggan dikecewakan Menyenangkan pelanggan yang berorientas 3. Banyak item yang turn-overnya rendah Tidak membutuhkan investasi sebanyak wide 4. Loyalitas pelanggan berkurang & deep 5. Citra tidak kuat Narrow & deep (sedikit ragam kategori produk dan masing-masing banyak pilihan) Citra sebagai gerai khusus/spesialis 1. Terlalu menekankan sedikit kategori Pilihan banyak dalam kategori yang dijual 2. Bukan sebagai gerai one-stop shopping Staf yang terampil 3. Rawan terhadap perubahan tren/siklus Loyalitas pelanggan 4. Jauh dari scrambled merchandising Tidak memerlukan investasi banyak cara wide 5. Perlu upaya besar untuk memperluas cakupan & deep rumah-tangga yang dilayani (trading area) Tidak ada pelanggan yang dikecewakan Loyalitas pelanggan Narrow & shallow (sedikit ragam kategori produk dan masing-masing sedikit pilihan) Turn-Over tinggi 1. Kategori sedikit dan pilihan juga sedikit
36
KEUNTUNGAN
KERUGIAN
2. Paling irit dibandingkan dengan cara-cara di atas 2. Sebagian pelanggan dikecewakan 3. Ditujukan pada pelanggan yang berorientasi 3. Citra lemah waktu 4. Loyalitas rendah 5. Cakupan wilayah tidak besar 6. Jauh dari scrambled Sumber : Hendri Ma’ruf (2006:148)
Tantangan peritel yang seharusnya dimulai setelah ragam produk dan tingkat kualitas produk telah diidentifikasi. Berawal dari saat itu, pasti selalu ada pesaing yang juga hadir dengan ragam dan kualitas produk yang sama. Di sini, tantangannya adalah bagaimana seorang peritel bisa mengembangkan strategi diferensiasi produknya.
2.1.3. Konsep Perilaku Konsumen 2.1.3.1. Definisi Perilaku Konsumen Produsen semakin menyadari bahwa perilaku konsumen memiliki kepentingan tersendiri bagi mereka, karena berbagai alasan terutama memberikan kepuasan semaksimal mungkin kepada konsumen. Menurut Kotler dan Amstrong dalam Ratih Hurriyati (2005: 67): “Perilaku konsumen adalah perilaku pembelian konsumen akhir, baik individu maupun rumah tangga yang membeli produk untuk konsumsi personal”. Menurut Barkowitz et. Al dalam Djaslim Saladin (2003:2):
“Consumer behavior, the
actions a person takes in purchasing and using products and services, incluiding the metal and social processes that precede and follow these action”. Artinya: perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan yang diambil seseorang dalam pembelian dan penggunaan barang dan jasa, termasuk proses pemikiran serta proses sosial yang mendahului dan diikuti tindakan tersebut.
37
2.1.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen Perilaku konsumen sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Menurut Kotler dan Amstrong (2008:197), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku konsumen itu terdiri dari budaya, sosial, pribadi, dan psikologi. Hal ini terlihat dalam Gambar 2.5 berikut ini: BUDAYA SOSIAL PRIBADI PSIKOLOGI Budaya
Sub Budaya
Kelompok acuan
Keluarga
Umur dan tahap daur hidup
Persepsi
Situasi ekonomi
Pengetahuan
Gaya hidup
Keyakinan dan
Kepribadian dan Konsep diri
Kelas Sosial
Motivasi
Pekerjaan
sikap
Peran dan status
Sumber : Kotler dan Amstrong (2008:197) GAMBAR 2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAH LAKU KONSUMEN
Sebagian besar dari faktor-faktor tersebut tidak dapat dikendalikan oleh pemasar, namun mereka tetap harus memperhitungkannya. Kotler dan Amstrong (2008:197) menjelaskan faktor-faktor tersebut sebagai berikut: 1. Faktor Budaya yang terdiri dari beberapa sub yaitu : Pertama, Budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku yang mendasar yang terdiri dari kumpulan nilai, preferensi dan perilaku. Kedua, Sub Budaya banyak sub-budaya yang membentuk segmen pasar yang penting, dan pemasar sering merancang produk dan program pemasaran yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Ketiga, Kelas Sosial, menunjukkan preferensi produk dan merek yang berbeda dalam banyak hal. 2. Faktor Sosial yang terdiri dari beberapa sub yaitu : Pertama, Kelompok Acuan yaitu seseorang terdiri dari semua kelompok yang mempengaruhi langsung (tatap muka) atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang. Kedua, Keluarga yang merupakan organisasi pembelian yang paling penting dalam masyarakat, dan ia telah menjadi objek penelitian
PEMBELI
38
yang luas. Anggota keluarga merupakan kelompok acuan primer yang sangat berpengaruh. Kita dapat membedakan antara dua keluarga dalam kehidupan pembeli. Kelurga orientasi tersendiri dari orangtua dan saudara kandung seseorang. Ketiga, Peran dan status kedudukan seseorang dapat ditentukan melalui peran dan status. Peran meliputi kegiatan yang diharapkan akan dilakukan seseorang. Masing-masing peran tersebut menghasilkan status. 3. Faktor Pribadi yang terdiri dari beberapa sub yaitu : Pertama, Usia dan Tahap Siklus hidup konsumsi juga dibentuk oleh siklus hidup keluarga. Pemasar sering memilih kelompok-kelompok berdasarkan siklus hidup sebagai pasar sasaran mereka. Kedua, Pekerjaan dan lingkungan ekonomi. Pemasar berusaha mengidentifikasikan kelompok profesi yang memiliki minat di atas rata-rata atas produk dan jasa mereka. Ketiga, Gaya Hidup orang-orang yang berasal dari sub-budaya, kelas sosial, dan pekerjaan yang sama dapat memiliki gaya hidup yang berbeda. Keempat, Kepribadian dan Konsep Diri. Kepribadian adalah karakteristik psikologis seorang yang berbeda dengan orang lain yang menyebabkab tanggapan yang relatif konsisten dan bertahan lama terhadap lingkungannya. 4. Faktor Psikologis yang terdiri dari beberapa sub yaitu : Pertama, Motivasi, seseorang memiliki kebutuhan yang banyak dalam waktu tertentu. Beberapa kebutuhan bersifat biogenis, kebutuhan muncul dari tekanan biologis seperti lapar, haus dan tidak nyaman. Kedua, Pengetahuan/Pembelajaran meliputi proses perubahan tingkah laku seseorang yang timbul dari pengalaman. Pilihan pembelian dipengaruhi empat faktor psikologi utama: motivasi, persepsi, pembelajaran, serta kepercayaan dan sikap. Motivasi adalah kebutuhan yang mendorong seseorang secara kuat mencari kepuasan atas kebutuhan tersebut. Persepsi adalah menyeleksi, mengatur, dan menginterpretasikan informasi guna membentuk gambaran yang berarti tentang dunia. Pembelajaran adalah perubahan perilaku seseorang karena pengalaman. Keyakinan adalah pemikiran dekriptif yang dipertahankan seseorang mengenai sesuatu. Sikap adalah evaluasi, perasaan, dan kecenderungan yang konsisten atas suka atau tidak sukanya seseorang terhadap objek atau ide.
39
2.1.3.3. Tahap-Tahap Proses Pengambilan Keputusan Konsumen Menurut Kotler dan Amstrong (2008: 147), konsumen akan melewati lima tahap proses pengambilan keputusan yaitu pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan pasca pembelian. Pengenalan kebutuhan
Pencarian Informasi perilaku
Evaluasi
Keputusan
Perilaku
Alternatif
Pembelian
Pascapembelian
Sumber: (Kotler dan Amstrong 2008:147) GAMBAR 2.6 LIMA TAHAP PROSES PEMBELIAN KONSUMEN
Keputusan untuk membeli timbul karena adanya penilaian objektif atau karena adanya dorongan emosi, keputusan untuk bertindak adalah hasil dari serangkaian aktifitas yang dapat dideskripsikan dalam proses pembelian. Tugas peritel adalah memahami apa yang terjadi pada kesadaran pembeli sejak masuknya rangsangan dari luar hingga munculnya keputusan pembelian. Proses belanja pelanggan ritel secara komprehensif akan melewati beberapa tahapan. Terdapat perbedaan penting dari proses pengambilan keputusan pembelian pada konsep pemasaran secara umum, dibandingkan dengan proses belanja pelanggan dalam ritel. Perbedaan tersebut terlihat dari adanya dua klasifikasi proses yang sekaligus harus dilalui dalam proses keputusan pembelian ritel yaitu klasifikasi keputusan pemilihan toko dan klasifikasi pemilihan barang dagangan. Peritel mencoba mempengaruhi pelanggan pada saat pelanggan dihadapkan pada proses keputusan pembelian dan sekaligus memotivasi mereka
40
untuk mengambil keputusan pembelian barang dagangan. Beberapa tahapan dalam proses keputusan pembelian dalam ritel sebagai berikut: TAHAPAN
SELEKSI RITEL
PENGENALAN KEBUTUHAN
SELEKSI BARANG DAGANGAN
Pengenalan Kebutuhan
Pengenalan Kebutuhan
PENCARIAN INFORMASI
Mencari Informasi tentang Ritel
Mencari Informasi Tentang Barang dagangan
EVALUASI
Evaluasi Ritel
Evaluasi Barang Dagangan
PENENTUAN
Memilih Ritel
Menyeleksi Barang Dagangan
TRANSAKSI
KESETIAAN
Mengunjugi toko atau Situs Internet atau Mencari melalui Katalog
Mengulang Patrone Toko
Belanja Barang dagangan
Evaluasi Setelah Belanja
Sumber : Levy dan Weitz (2004) yang dikutip oleh Christina Whidya Utami ( 2008:47) GAMBAR 2.7 PROSES BELANJA ATAU PEMBELIAN
Berdasarkan Gambar 2.7 mengenai proses belanja atau pembelian, proses belanja atau pembelian secara rinci dapat dilihat penjabaran sebagai berikut: 1. Pengenalan Kebutuhan Proses pengenalan kebutuhan ketika orang-orang mengenal bahwa mereka mempunyai suatu kebutuhan yang tidak terpuaskan. Suatu kebutuhan yang tidak terpuaskan muncul ketika pelanggan ingin meningkatkan kepuasan yang berbeda
41
dengan tingkat kepuasan yang mereka rasakan saat ini. Ketika pelanggan menyadari adanya kebutuhan yang belum terpuaskan, pada saat itulah mereka berada pada tahapan pengenalan kebutuan a. Jenis Kebutuhan, kebutuhan yang memotivasi pelanggan untuk berbelanja dan membeli barang dagangan dapat digolongkan menjadi kebutuhan fungsional dan kebutuhan psikologikal. Kebutuhan fungsional adalah kebutuhan yang secara langsung terkait dengan kepuasan pribadi yang diperoleh pelanggan dari berbelanja dan memiliki suatu produk. Sedangkan kebutuhan psikologis yang disebut kebutuhan emosional adalah motivasi yang dipengaruhi emosi berkaitan dengan perasaan, baik itu keindahan, gengsi atau perasaan lainnya termasuk iba dan rasa marah. b. Pemenuhan kebutuhan, ritel yang sukses mencoba mencukupi kebutuhan psikologis dan fungsional pelanggan mereka. Menurut Christina Whidya Utami (2008:43) kebutuhan psikologis dapat dicukupi melalui aktivitas berbelanja dan pengambilan keputusan terhadap pembelian barang dagangan yang dapat terjadi melalui : 1) Perangsangan (stimuli), untuk menciptakan rangsangan terhadap pengalaman menyenangkan yang dapat dirasakan oleh pelanggan, ritel dapat menggunakan latar belakang musik, pemajangan visual serta pendemonstrasian di dalam toko. Lingkungan toko dapat ditata sedemikian rupa agar pelanggan yang memasuki area toko tidak merasakan kejenuhan. 2) Pengalaman social, format dengan toko memiliki lingkungan pasar yang memungkinkan untuk terjadinya interaksi sosial. Hal ini dapat dirasakan ketika seseorang bertemu dengan teman dan mengembangkan relasi baru. 3) Mempelajari trend atau kecenderungan baru, dengan berkunjung pada ritel, seseorang dapat belajar tentang tren baru dan ide baru, pengunjung ritel akan merasa puas apabila mereka mendapatkan informasi yang cukup memadai terkait dengan trend dan ide baru tersebut. 4) Status dan kekuasaan, beberapa pelanggan memiliki kebutuhan terhadap status dan kekuasaan yang dapat dipuaskan melalui aktivitas belanja.
42
Ketika mereka berbelanja memungkinkan seseorang akan mendapatkan layanan istimewa maupun penghormatan dan perhatian pada ritel-ritel khusus yang eksklusif. 5) Balas jasa pada diri sendiri, frekuensi pembelian pelanggan yang cukup tinggi dan rutin memungkinkan seseorang mendapatkan perlakuan istimewa sebagai balas jasa. 2. Pencarian Informasi Setelah pelanggan mengidentifikasi suatu kebutuhan, mereka mungkin mencari informasi tentang ritel atau produk untuk membantu mencukupi kebutuhan mereka. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam proses pencarian informasi oleh pelanggan antara lain adalah: a. Jumlah informasi yang dicari, secara umum jumlah informasi yang dicari tergantung pada nilai yang dirasakan akan diperoleh dari pencarian dibandingkan dengan ongkos atau biaya pencarian informasi tersebut. Nilai dari pencarian dievaluasi berdasarkan pertimbangan bagaimanakah nilai yang dirasakan oleh pelanggan tersebut dapat meningkatkan keputusan membeli oleh pelanggan. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah yang dicari menurut Christina Whidya Utami (2008:45) meliputi : 1) Sifat dan penggunaan produk yang dibeli, jika sifat dan penggunaan produk yang dibeli tersebut sangat kompleks dan pribadi, maka biasanya akan semakin banyak jumlah informasi yang dibutuhkan. 2) Karakteristik pelanggan individu Terdapat beragam karakteristik pelanggan individu, misalnya pelanggan individu yang memiliki karakteristik pribadi yang sangat hati-hati, terencana hidupnya maka biasanya mereka lebih membutuhkan banyak informasi dibandingkan dengan karakteristik pelanggan pribadi yang bersifat sebaliknya. 3) Aspek pasar dan situasi belanja di mana belanja tersebut dilakukan Aspek ini merupakan faktor lingkungan yang lebih bersifat eksternal dibandingkan dengan faktor sifat dan penggunaan produk yang dibeli, maupun faktor karakteristik pelanggan individu. Oleh karena itu faktor ini bersifat tidak dapat dikontrol oleh pelanggan
43
b. Biaya pencarian informasi yang meliputi waktu dan uang, aktivitas pencarian informasi tidak akan terlepas dari pengorbanan yang harus ditanggung oleh konsumen dalam bentuk waktu maupun uang. Apabila konsumen harus berkeliling dari satu toko ke toko lain untuk mendapatkan informasi, maka dibutukan pengorbanan dalam wujud biaya yaitu biaya transportasi, biaya parkir maupun pengorbanan dalam wujud lain yaitu waktu maupun tenaga yang dikeluarkan untuk tujuan pencarian informasi tersebut. c. Sumber-sumber informasi, konsumen yang tergugah kebutuhannya akan terdorong untuk mencari informasi yang lebih banyak. Pelanggan memiliki dua sumber informasi yaitu internal dan eksternal. 1) Sumber informasi internal adalah informasi dalam memori pelanggan seperti nama, gambaran (citra), dan pengalaman masa lalu pelanggan dalam melakukan aktivitas pembelian yang dilakukan pada toko yang berbeda. 2) Sumber infomasi eksternal adalah informasi yang didapatkan dari sumber di luar memori pelanggan. Sumber informasi eksternal biasanya disajikan oleh iklan dan orang lain. Pelanggan mendapatkan kesempatan untuk melihat beragam iklan melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik dan sekaligus memperhatikan berbagai simbol dari berbagai gerai ritel setiap harinya melalui iklan-iklan tersebut. d. Mengurangi pencarian informasi, tujuan ritel dalam tahap pencarian informasi pada proses pembelian adalah untuk membatasi dan mengarahkan agar konsumen melakukan pencarian informasi ke toko atau situs website secara langsung. Kondisi di mana pelanggan masih terus mencoba mencari informasi pada toko yang lain akan membuka peluang bagi toko lain membujuk pelanggan untuk melaksanakan transaksi pembelian. Jumlah relatif dan pengaruh sumber-sumber informasi berbeda-beda tergantung pada jenis produk dan karakteristik pembeli. Secara umum konsumen mendapatkan sebagian
44
besar informasi tentang suatu produk dari sumber komersial yaitu sumber yang didominasi pemasar. Namun informasi yang paling efektif berasal dari sumber pribadi. Tiap informasi menjalankan fungsi yang berbeda dalam mempengaruhi keputusan pembelian. Informasi komersial biasanya menjalankan fungsi pemberi informasi dan sumber pribadi menjalankan fungsi legitimasi atau evaluasi. 3. Pemilihan Alternatif Setelah mempertimbangkan berbagai faktor sebagai hasil dari proses pencarian informasi. Pelanggan berada pada tahapan evaluasi atas alternatifalternatif yang telah ditetapkan oleh konsumen. Tidak ada proses evaluasi tunggal sederhana yang digunakan oleh semua konsumen atau oleh satu konsumen dalam semua situasi pembelian. Terdapat beberapa proses evaluasi keputusan, dan model-model yang terbaru memandang proses evaluasi konsumen sebagai proses yang berorientasi kognitif yaitu model tersebut menganggap konsumen membentuk penilaian atas produk dengan sangat sadar dan rasional. Beberapa konsep dasar akan membantu kita memahami proses evaluasi konsumen. Pertama, konsumen berusaha memenuhi kebutuhan. Kedua, konsumen mencari manfaat tertentu dari solusi produk. Ketiga, konsumen memandang masing-masing produk sebagai sekumpulan atribut dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan itu. Atribut yang diminati oleh pembeli berbeda-beda bergantung jenis produknya.
45
Konsumen memiliki sikap yang berbeda-beda dalam memandang berbagai atribut yang dianggap relevan dan penting. Mereka akan memberikan perhatian terbesar pada atribut yang memberikan manfaat yang dicarinya. Pasar produk tertentu sering dapat di segmentasi berdasarkan atribut yang menonjol bagi kelompok
konsumen
yang
berbeda-beda.
Konsumen
mengembangkan
sekumpulan keyakinan merek tentang posisi tiap-tiap merek berdasarkan masingmasing atribut. Kumpulan keyakinan atas merek tertentu membentuk citra merek. Citra merek konsumen akan berbeda-beda menurut perbedaan pengalaman mereka yang disaring melalui dampak persepsi selektif, distorsi selektif dan ingatan selektif. Konsumen akhirnya bersikap (keputusan, preferensi) terhadap berbagai merek melalui prosedur evaluasi atribut.
4. Menentukan Pilihan Pilihan terhadap toko atau ritel maupun barang dagangan dilakukan setelah konsumen berhasil menetapkan satu alternatif terbaik dari proses evaluasi alternatif yang telah dilakukan. Konsumen membentuk preferensi atas merekmerek yang ada di dalam kumpulan pilihan (tahap evaluasi). Konsumen tersebut juga dapat membentuk niat untuk membeli merek yang paling disukai. Namun, dua faktor tersebut dapat berada di antara niat pembelian dan keputusan pembelian, seperti terlihat pada Gambar 2.8 berikut ini: Sikap orang lain Evaluasi alternatif
Niat pembelian
Sumber: Kotler dan Amstrong (2008:228)
Faktor situasi yang tidak terantisipasi
Keputusan pembelian
GAMBAR 2.8 TAHAPAN EVALUASI ALTERNATIF DAN KEPUTUSAN PEMBELIAN
46
Faktor pertama adalah sikap orang lain. Sejauh mana sikap orang lain mengurangi alternatif yang disukai seseorang akan bergantung pada dua hal yaitu intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternatif yang disukai konsumen dan motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain. Semakin gencar sikap negatif orang lain dan semakin dekat orang lain tersebut dengan konsumen, konsumen akan semakin mengubah niat pembeliannya. Preferensi pembeli terhadap merek tertentu akan meningkat jika orang yang ia sukai juga sangat menyukai merek yang sama. Pengaruh orang lain menjadi rumit jika beberapa orang yang dekat dengan pembeli memiliki pendapat yang saling berlawanan dan pembeli tersebut ingin menyenangkan mereka semua. Faktor kedua adalah faktor situasi yang tidak terantisipasi yang dapat muncul dan mengubah niat pembelian. Keputusan konsumen untuk memodifikasi, menunda, atau menghindari keputusan pembelian sangat dipengaruhi oleh risiko yang dipikirkan. Besarnya risiko yang dipikirkan berbeda-beda menurut besarnya uang yang dipertaruhkan, besarnya ketidakpastian atribut, dan besarnya kepercayaan diri konsumen. Para konsumen mengembangkan rutinitas tertentu untuk mengurangi risiko, seperti penghindaran keputusan, pengumpulan informasi dari teman-teman, dan preferensi merek dalam negeri serta garansi.
5. Transaksi Belanja Transaksi belanja akan terjadi jika konsumen secara faktual melaksanakan pembelian barang dagangan pada toko atau ritel yang telah dipilh. Langkahlangkah yang dapat dilakukan ritel untuk peningkatan peluang dalam mengubah
47
secara positif evaluasi barang dagangan yang dilakukan oleh konsumen, sehingga menjadi aktivitas transaksi pembelian yang sesungguhnya adalah : a. Jangan kehabisan stok barang dagangan populer b. Mengurangi risiko dalam membeli barang dengan menawarkan kebijakan pengembalian yang memungkinkan pengembalian uang jika barang dagangan yang sama tersedia dengan suatu harga yang lebih rendah dari ritel yang lain. c. Menawarkan kredit d. Mempermudah pembelian barang dagangan dengan menyediakan checkout terminal atau kasir yang menyenangkan. e. Mengulangi waktu tunggu yang nyata maupun yang dipersepsikan pelanggan dalam antrian pada checkout terminal atau kasir.
6. Evaluasi Setelah Belanja Proses belanja belum berakhir ketika pelanggan membeli produk. Setelah melakukan belanja, pelanggan menggunakan produk itu dan kemudian mengevaluasi pengalaman ini untuk menentukan apakah produk ini memuaskan atau tidak. Kepuasan adalah suatu evaluasi pasca konsumsi yaitu tentang seberapa baik suatu toko atau produk memenuhi dan melebihi harapan pelanggan. Setelah membeli produk, konsumen akan mengalami level kepuasan atau ketidakpuasan tertentu. Tugas peritel tidak berakhir begitu saja ketika produk dibeli. Para peritel harus memantau kepuasan pasca pembelian, tindakan pasca pembelian, dan pemakaian produk pasca pembelian. a. Kepuasan pasca pembelian, kepuasan pembeli merupakan fungsi dari seberapa dekat harapan pembeli atas produk dengan kinerja yang dipikirkan pembeli atas
48
produk tersebut. Jika kinerja produk lebih rendah daripada harapan, pelanggan akan kecewa. Jika ternyata sesuai harapan maka pelanggan akan puas dan apabila melebihi harapan maka pembeli akan sangat puas. Para konsumen membentuk harapan mereka berdasarkan pesan yang diterima dari para penjual, teman, dan sumber-sumber informasi lain. Semakin besar kesenjangan antara harapan dan kinerja, semakin besar ketidakpuasan konsumen. Di sinilah munculnya gaya konsumen menangani kesenjangan. Beberapa konsumen membesar-besarkan kesenjangan ketika produk yang mereka terima tidak sempurna, sehingga mereka menjadi sangat tidak puas. Para konsumen lain meminimalkan kesenjangan itu sehingga menjadi tidak begitu kecewa. Derajat kepentingan kepuasan pasca pembelian menunjukkan bahwa para penjual harus menyebutkan akan seperti apa kinerja produk yang sebenarnya. Beberapa penjual bahkan mungkin menyatakan level kinerja yang lebih rendah sehingga konsumen akan mendapatkan kepuasan yang lebih tinggi daripada yang diharapkannya atas produk tersebut. b. Tindakan pasca pembelian, kepuasan dan ketidakpuasan terhadap produk akan mempengaruhi perilaku konsumen selanjutnya. Jika konsumen tersebut puas, ia akan menunjukkan kemungkinan yang lebih tinggi untuk membeli kembali produk tersebut. Pelanggan yang tidak puas mungkin membuang atau mengembalikan produk tersebut. Mereka mungkin mengambil tindakan publik seperti mengajukan keluhan ke perusahaan tersebut. Tindakan pribadi dapat berupa
memutuskan
untuk
berhenti
membeli
produk
tersebut
atau
49
memperingatkan rekan-rekannya. Dalam semua kejadian itu, penjual telah gagal memuaskan pelanggan tersebut. c. Perilaku pembelian pengurang ketidaknyamanan, Peritel juga harus memantau cara pembeli memakai dan membuang produk tertentu. Jika para konsumen menyimpan produk itu ke dalam lemari untuk selamanya, produk tersebut mungkin tidak begitu memuaskan, dan kabar dari mulut ke mulut tidak akan gencar. Jika para konsumen tersebut menjual atau menukarkan produk tersebut, penjualan produk baru akan menurun. Jika para konsumen membuang produk tertentu, pemasar harus mengetahui cara mereka membuangnya terutama jika produk tersebut dapat merusak lingkungan. 2.1.4. Konsep Keputusan Pembelian Konsumen Konsumen adalah sesuatu yang unik, sebab konsumen mengalami proses pembelian tertentu yang berbeda dari yang satu dengan yang lainnya. Konsumen sangat bervariasi dalam hal demografis, psikografis, psikologis, dan sebagainya, sehingga keputusan pembelian atau penggunaan sebuah produk, baik barang maupun jasa, di antara konsumen relatif bervariasi pula. Keputusan pembelian konsumen berarti proses di mana konsumen memilih satu atau lebih produk atau merek yang ada di pasar untuk dikonsumsi. Ini berarti konsumen telah melewati beberapa tahapan keputusan pembelian, dari mulai pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian, sampai perilaku pasca pembelian. Berikut beberapa definisi dari berbagai ahli dapat dilihat pada Tabel 2.6 pada halaman selanjutnya:
50
TABEL 2.6 DEFINISI KEPUTUSAN PEMBELIAN No 1
Nama Buchari Alma (2004:63)
Defenisi Keputusan pembelian adalah suatu keputusan yang dilakukan oleh konsumen yang dipengaruhi oleh kebudayaan, kelas sosial, keluarga, dan referensi grup yang akan membentuk suatu sikap pada diri individu kemudian melakukan pembelian. 2 Kotler dan Amstrong Perilaku pembelian konsumen adalah perilaku pembelian (2008:129) akhir dari konsumen, baik individual maupun rumah tangga, yang membeli barang-barang dan jasa untuk konsumsi pribadi. 3 Griffin dan Ebert Buy decisions are based on rational motives, emotional (Fandy Tjiptono, 2002:283) motives or both. Rational motives involve the logical evaluation of product attribute : cost, quality and usefulness. Emotional motives involve non objective factors and include sociability, imitation of others, and aesthetics. Artinya : Keputusan pembelian didasarkan pada motif rasional, motif emosional, atau keduanya. Motif rasional melibatkan penilaian logis atas produk, kualitas biaya dan kegunaan. Motif emosional, peniruan dari orang lain. Sumber: Berdasarkan Berbagai Referensi Buku
2.1.4.1. Model Pengambilan Keputusan Konsumen Proses psikologis dasar ini memainkan peran penting dalam memahami bagaimana konsumen secara aktual mengambil keputusan pembelian. Keputusan yang diambil satu konsumen dengan konsumen lainnya relatif berbeda, namun para ahli berusaha membuat sejumlah model yang mampu mengakomodasi berbagai keputusan konsumen tersebut. Menurut Schiffman & Kanuk (2008:560), terdapat empat macam model konsumen yang mempunyai cara pandang yang berbeda dalam mengambil keputusan yaitu: 1. An Economic View Dalam pasar persaingan sempurna konsumen sering digolongkan sebagai orang yang mengambil keputusan dengan rasional. Untuk mengambil keputusan secara rasional, konsumen harus (1) menyadari semua alternatif produk yang tersedia, (2) mampu membuat urutan setiap alternatif yang berkatian dengan keuntungan dan kerugiannya, (3) mampu untuk mengidentifikasi alternatif terbaik. Bagaimana pun juga konsumen jarang
51
memiliki informasi yang lengkap atau bahkan tingkat keterlibatan yang cukup untuk membuat keputusan yang sempurna. 2. A Passive View Pada dasarnya konsumen itu mengikuti keinginannya sendiri dan usaha-usaha dari pemasar. Konsumen dirasakan sebagai pembeli yang impulsif (menuruti kata hati) dan tidak logis serta bersedia untuk menerima tujuan-tujuan dari pemasar. 3. A Cognitive View Konsumen digambarkan sebagai orang yang aktif mencari produk atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan dan memperkaya hidup mereka. Model ini memfokuskan pada proses bagaimana konsumen mencari dan menilai informasi mengenai merek dan toko yang dipilih. 4. An Emotional View Konsumen dalam mengambil keputusan berdasarkan pada emosi dan tidak menekankan pada pencarian informasi sebelum pembelian. Bahkan lebih menekankan pada perasaan dan suasana hati pada saat itu. Hal ini tidak berarti bahwa keputusan yang emosional bukan merupakan keputusan yang rasional Titik tolak untuk memahami perilaku pembeli adalah model rangsangantanggapan. Rangsangan pemasaran dan lingkungan mulai memasuki kesadaran pembeli. Karakteristik pembeli dan proses pengambilan keputusan menimbulkan keputusan pembelian tertentu. Adapun model perilaku konsumen yang dikemukakan oleh
Kotler dan Keller (2009:226) adalah seperti Gambar 2.9
sebagai berikut Psikologi Konsumen
Motivasi Persepsi Rangsangan pemasaran:
Produk Harga Pemasaran Saluran Promosi
Rangsangan
lain:
Ekonomi Teknologi Politik Budaya
Pembelajaran
Memori Karakteristik Konsumen
Budaya Sosial Personal
Proses Keputusan Pembelian
Pengenalan masalah Pencarian informasi Penilaian alternatif Keputusan pembelian Perilaku pasca pembelian
Sumber: Philip Kotler dan Keller (2009:226) GAMBAR 2.9 MODEL PERILAKU PEMBELI
Keputusan pembelian
Pemilihan produk Pemilihan merek Pemilihan saluran Pembelian Waktu pembelian Jumlah pembelian
52
Keputusan untuk membeli yang diambil oleh konsumen sebenarnya merupakan kumpulan dari sejumlah keputusan. Setiap keputusan membeli mempunyai stuktur sebanyak tujuh komponen. Menurut Hendri Ma’ruf (2006:63),”Perilaku konsumen dalam menerima stimulus eksternal pada akhirnya terlihat pada saat mereka memilih produk atau merek. Tidak saja terhadap produk dan merek, mereka juga akhirnya akan memilih gerai yang akan dikunjungi, kapan mereka berbelanja dan akhir dari proses pembelian adalah berapa bearnya jumlah belanja mereka pada gerai tersebut”. Keputusan untuk membeli timbul karena adanya penilaian objektif atau karena dorongan emosi. Keputusan untuk bertindak adalah hasil dari serangkaian aktivitas dan rangsangan mental emosional. Proses untuk menganalisa, merasakan dan memutuskan, pada dasarnya adalah sama seperti seorang individu dalam memecahkan banyak permasalahannya. Konsumen membentuk preferensi atas merek-merek dalam kumpulan pilihan pada saat evaluasi. Konsumen juga mungkin membentuk niat untuk membeli produk yang paling disukai. Gambar 2.10 merupakan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh pembeli dalam keputusan pembelian.
Memilih produk
Memilih merek
Memilih pemasok
Penentuan Waktu Pembelian
Sumber : Kotler dan Amstrong (2008:158) GAMBAR 2.10 MODEL KEPUTUSAN PEMBELIAN
Jumlah pembelian
53
Menurut Kotler dan Amstrong (2008:158) bahwa dalam melaksanakan niat pembelian konsumen dapat membuat lima keputusan pembelian yaitu: 1. Memilih produk, konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli sebuah produk atau menggunakan uangnya untuk tujuan yang lain. Dalam hal ini perusahaan harus memusatkan perhatiannya kepada orang-orang yang berminat membeli sebuah produk serta alterntif yang mereka pertimbangkan. 2. Memilih merek, konsumen harus memutuskan merek mana yang akan dibeli. 3. Memilih pemasok/saluran pembelian, konsumen harus mengambil keputusan tentang pemasok mana yang akan dikunjungi. 4. Memilih waktu pembelian, keputusan konsumen dalam pemilihan waktu pembelian bisa berbeda-beda disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhannya. 5. Jumlah pembelian, konsumen dapat mengambil keputusan tentang seberapa banyak produk yang akan dibeli pada suatu saat. Dalam hal ini perusahaan harus mempersiapkan banyaknya produk sesuai dengan keinginan yang berbeda-beda dari para pembeli.
2.1.4.2. Peran Konsumen dalam Pembelian Konsumen sebagai objek pemasaran tentu saja memiliki peranan yang sangat krusial. Keseluruhan produk ataupun jasa yang dirancang oleh produsen berkeinginan untuk dapat diterima oleh konsumen yang menjadi target pasar mereka. Terdapat lima macam peranan yang dapat dilakukan seseorang dalam pembelian. Pemahaman masing-masing peranan ini sangat berguna dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Kotler dan Amstrong (2008:220) mengemukakan kelima peranan tersebut, yaitu sebagai berikut:
54
a. Pemrakarsa (initiator), yaitu orang yang pertama kali menyadari adanya keinginan atau kebutuhan yang belum terpenuhi dan mengusulkan ide untuk membeli suatu barang atau jasa tertentu yang ditawarkan perusahaan. b. Pemberi pengaruh (influencer), yaitu orang yang pandangan, nasihat atau pendapatnya mempengaruhi keputusan pembelian. c. Pengambil keputusan (decider), yaitu orang yang menentukan keputusan pembeli, misalnya apakah jadi membeli, apa yang dibeli, bagaimana cara membeli, atau di mana membelinya. d. Pembeli (buyer), yaitu orang yang melakukan pembelian aktual. e. Pemakai (user), yaitu orang yang mengkonsumsi atau pembelian barang atau jasa yang dibeli. 2.1.4.3. Tipe-Tipe Keputusan Pembelian Konsumen Beberapa tipe keputusan konsumen menurut Christina Whidya Utami (2008:39) adalah sebagai berikut: 1. Ingatan yang tertunda (delay remembrance), konsumen tipe ini biasanya baru akan melakukan pembelian ketika melihat barang di toko. 2. Pengganti (substitute), dengan adanya merchandising dalam toko akan membuat konsumen mengganti barang barang lama dengan barang baru dengan alasan bahwa barang baru mempunyai nilai tambah dan mereka ingin mencoba merek baru atau merek berbeda. 3. Penambah atau pelengkap (Add-on), barang yang ditawarkan memiliki hubungan fungsi penggunaan karena jika tanpa barang tersebut barang tidak dapat digunakan. 4. Keinginan hati (impulse), konsumen tipe ini dapat melakukan pembelian jika ada rangsangan dari luar seperti penglihatan atau perasa. 5. Kategori terencana atau tertentu (planned -specific category), dengan adanya merchandising pembeli yang memiliki daftar belanja yang dapat memberikan keuntungan lebih bagi peritel.
55
2.1.5. Pengaruh Pengelolaan Barang Dagangan terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Kunci untuk membuat angka penjualan dalam bisnis ritel terus mengalami peningkatan adalah menjual atau menyediakan barang dengan mutu yang baik, dimana tujuan utama ritel umunya adalah menjual barang dagangan dan memberikan pelayanan yang terbaik mereka. Secara umum, ritel harus menawarkan keberagaman yang cukup untuk memuaskan kebutuhan dan harapan pelanggan sehingga meningkatkan niat pelanggan untuk melakukan pembelian (Levy dan Weitz, yang dikutip oleh Christina Widya Utami 2008:94). Barang dagangan merupakan komponen utama dalam kegiatan pengecer. Oleh karena itu kemampuan menyediakan barang dagangan yang dibutuhkan konsumen sangat penting karena salah satu alasan kecenderungan konsumen memilih mengunjungi retailer adalah berharap akan menemukan produk yang akan memenuhi segala kebutuhan untuk saat ini atau yang yang akan datang dengan hanya mengunjungi satu toko saja dengan harapan akan mudah dicari. Buchari
Alma
(2004:13)
mengemukakan
”Merchandising
adalah
kebijakan kaum produsen untuk mendekatkan hasil produksinya kepada selera konsumen”. Menurut Bob Foster (2008:54) “Merchandising adalah perencanaan dan pengendalian dalam pembelian dan penjualan barang dan jasa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan pengecer”. Menurut Christina Whidya Utami (2008:20): “Merchandising adalah proses penanganan kreatif dalam upaya mempresentasikan
atau
menampilkan
memaksimalkan daya tarik penjualan ritel”.
barang
dagangan
dengan
tujuan
56
Barry Berman, Joel R Evans (dalam Bob Foster 2008:54): Merchandising consist of the activities involved in acquiring particular goods and/or services and making them available at the places, times, and prices and in the quantity that enable a retailer to reach its goals. Dunne, Lusch dan Griffith (dalam Bob Foster 2008:54): Merchandising adalah grup produk yang sangat berhubungan satu sama lain yang ditujukan untuk kegunaan akhir yang dijual kepada grup konsumen yang sama atau dengan kisaran harga yang hampir sama. Hendri Ma’ruf (2006:135): Merchandising adalah kegiatan pengadaan barang-barang yang sesuai dengan bisnis yang dijalani toko (produk yang berbasis makanan, pakaian, barang kebutuhan rumah, produk umum, dan lain-lain atau kombinasi) untuk disediakan dalam toko pada jumlah, waktu, dan harga yang sesuai untuk mencapai sasaran toko atau perusahaan ritel.
Menurut William J. Stanton dan Y. Lamarto (1996;8), merchandising adalah
“Perencanaan dalam perusahaan untuk menghasilkan jasa atau produk
yang tepat, dalam harga yang pantas dan dengan warna dan ukuran yang sesuai. Komponen Pengelolaan barang dagangan menurut Christina Whidya Utami (2008:18) yaitu kualitas yaitu produk yang tepat dengan kualitas yang baik, harga yaitu produk dengan harga yang pantas dan keragaman produk yaitu menunjuk pada keanekaragaman kategori produk yang terdiri dari wide dan deep dengan berbagai warna dan ukuran yang sesuai. Menurut Christina Whidya Utami (2008:43), keputusan pembelian keinginan hati dibuat oleh penglihatan, penciuman, dan perasa dari konsumen. Sementara itu, merchandising dengan contoh atau sampel menarik pembeli untuk mencoba produk di toko dan membeli dengan keinginan hati. Christina Whidya Utami (2008:41) mengungkapkan bahwa ada beberapa keuntungan melalui merchandising yang baik antara lain adalah :
57
1. Meningkatkan penjualan di toko, hasil penelitian menunjukkan bahwa 2/3 konsumen mengambil keputusan pembelian barang kebutuhan mereka saat konsumen berada di dalam toko. Dengan demikian merchandising yang baik diharapkan dapat meningkatkan intensi konsumen dalam melakukan pembelian dan akhirnya dapat meningkatkan penjualan toko 2. Mempromosikan barang baru, merchandising yang baik memungkinkan barang atau merek baru mendapatkan perhatian lebih dari konsumen. 3. Meningkatkan penjualan saat ini, merchandising di dalam toko dapat meningkatkan penjualan saat ini dengan mempengaruhi pembelian pelengkap atau pembelian yang dilakukan karena produk tertentu. 4. Meningkatkan citra produk, upaya meningkatkan citra produk terjadi saat pembelian terencana dari kategori tertentu suatu produk dapat dipengaruhi oleh merchandising untuk pembeli di toko saat ini. Dengan adanya ketersediaan barang dagangan maka dapat memberikan kepastian kepada konsumen atas adanya produk sehingga kebutuhan konsumen terjamin dan melakukan pembelian. Dimana dengan sesuainya penyediaan barang bagi konsumen akan membuat kepastian konsumen untuk melakukan pembelian sesuai dengan kebutuhannya.
2.1.6. Resume Hasil Penelitian Pendahuluan
NO 1
2
Nama Peneliti Yana Setiawan 032687
Tahun
M. Dian Azari
2008
2008
TABEL 2.7 PENELITIAN PENDAHULUAN Judul Penelitian
Hasil Penelitian
Pengaruh Program Bauran Pemasaran Eceran terhadap Loyalitas Pelanggan factory outlet di Kota Bandung (Survei pada Pelangga Factory outlet di Kota Bandung)
Berdasarkan hasil pengujian statistik diperoleh temuan terdapat pengaruh yang positif antara Bauran Pemasaran Eceran dengan Loyalitas pelanggan maka diperoleh kesimpulan bahwa Loyalitas Pelanggan dipengaruhi oleh Bauran Pemasaran Eceran sebesar 89,29%, sisanya sebesar 10,71% dipengaruhi oleh faktor lain.
Pengaruh atmosfir toko, kenyamanan, kesesuaian, keragaman produk, harga, pelayanan, dan personil, dalam
Pengujian hipotesis variabel atmosfir toko, kenyamanan, kesesuaian, keragaman produk, harga, pelayanan, dan personil toko terhadap citratoko eceran yang ada dipengaruhi oleh sebesar 68%. Sedangkan sisanya yaitu 1 – 0,618 = 0,382 atau 38,2% menunjukkan bahwa citra toko eceran
58
NO
Nama Peneliti
Tahun
2004
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
pembentukan citra toko eceran (studi kasus di wilayah kotamadya Surakarta) Hubungan antara Pelaksanaan Program Merchandising dengan Proses Keputusan Pembelian Konsumen pada Supermarket di Kota Bandung (Kajian Pada Pasar Swalayan/Supermaket Superindo, Matahari, dan Hero)”
di wilayah Surakarta dipengaruhi oleh variabel lain
3
Ade Sadi Maulana 993917
4
Evy Suhartini, 041130
2008
Pengaruh merchandising dan store atmosphere terhadap keputusan pembelian konsumen pada minimarket di Kota Bandung
5
Tri Yunarsih 050055351
2009
6
Jurnal
2008
Pengaruh harga, kualitas produk, dan keragaman produk terhadap loyalitas konsumen pada sabun mandi Lux padat Pengaruh keragaman penawaran barang dan pelayan terhadap loyalitas konsumen pada swalayan Tiara Banjar-Anyar
Pelaksanaan program merchandising dengan dimensi menawarkan produk yang tepat, dalam jumlah yang tepat, dalam tempat yang tepat, dalam waktu yang tepat, dalam harga yang tepat, dalam tampilan yang tepat pada supermarket di Kota Bandung cukup berhubungan dengan proses keputusan pembelian konsumen. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai r yang hanya menunjukkan angka 0,417 yang berarti bahwa pelaksanaan program merchandising pada supermarket di Kota Bandung berhubungan pada derajat sedang (moderately low association) a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah program merchandising (X1) yang terdiri dari the right merchandise, in the right place, at the right time, at the right price, in the right quantities terdapat pengaruh yang positif terhadap variabel terikat keputusan pembelian sebesar 81,64%. b. Store atmosphere (X2) yang terdiri dari eksterior, interior, tata letak (lay out) store atmosphere terdapat pengaruh yang positif terhadap keputusan pembelian sebesar 88,55% dan sisanya sebesar 10,8% dipengaruhi oleh faktor lain Terdapat pengaruh positif yang sangat signifikan antara X1 yaitu harga dan X2 yaitu kualitas produk serta X3 yaitu keragaman produk terhadap loyalitas konsumen pada sabun mandi Lux pada
(1) Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa keragaman penawaran barang terbukti memiliki pengaruh positif terhadap terhadap loyalitas konsumen pada swalayan Tiara Banjar-Anyar. (2) Variabel Pelayananan terbukti memiliki pengaruh positif terhadap terhadap loyalitas konsumen pada swalayan Tiara Banjar-Anyar
Setelah mengkaji dari hasil penelitian-penelitian terdahulu pada Tabel 2.8 dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti maka terdapat perbedaan dan persamaan dengan penelitian terdahulu. Penelitian Tri Yunarsih meneliti produk
59
yaitu Lux sabun padat dengan menguji tiga variabel yaitu harga, kualitas produk dan keragaman produk terhadap loyalitas pelanggan sedangkan peneliti menguji variabel di atas sebagai dimensi dari variabel pengelolaan barang dagangan serta terdapat perbedaan pada variabel loyalitas pelanggan yang digunakan Tri Yunarsih sedangkan dalam penelitian penulis mengenai keputusan pembelian. Terdapat persamaan dalam variabel yang digunakan yaitu keragaman produk dan harga serta keputusan pembelian dalam penelitian M Dian Azari, tetapi terdapat pula perbedaan pada objek penelitian. Pada jurnal “Pengaruh keragaman penawaran barang dan pelayan terhadap loyalitas konsumen pada swalayan Tiara Banjar-Anyar” terdapat perbedaan yaitu pada pelayanan dan terhadap loyalitas konsumen sedangkan penulis terhadap keputusan pembelian. Penelitian Yana Setiawan dengan judul “pengaruh bauran pemasaran eceran terhadap loyalitas pelanggan factory outlet di kota Bandung dapat mengidentifikasikan bahwa strategi dalam bauran pemasaran ritel mempengaruhi perilaku konsumen dalam melakukan pembelian bahkan menjadi konsumen yang loyal, sedangkan penulis meneliti salah satu strategi dalam bauran penjualan eceran yaitu pengelolaan barang dagangan terhadap keputusan pembelian. Penelitian Evy Suhartini dan Ade Sadi Maulana memiliki kesamaan variabel bebas yang digunakan yaitu merchandising tetapi memiliki perbedaan dimensi atau indikator yang digunakan. Dalam peneliti sebelumnya variabel merchandising menggunakan indikator the right merchandise, in the right place, at the right time, at the right price, in the right quantities. Sedangkan peneliti menggunakan indikator quality, price dan assortment.
60
Berdasarkan penelusuran di atas berbagai penelitian terdahulu dan sumber ilmiah lainnya melalui kepustakaan, sampai sejauh ini belum ditemui adanya penelitian dengan cakupan yang identik dengan penelitian penulis, sehingga diyakini penelitian ini memiliki orisinalitas yang cukup tinggi.
2.2 Kerangka Pemikiran Pada
umumnya
kegiatan
pertukaran
melibatkan
lembaga-lembaga
pemasaran seperti produksi, distribusi, dan juga pengecer sebelum sampai pada konsumen akhir. Penjualan eceran merupakan salah satu bidang paling menarik dan dinamis dalam perekonomian. Hal ini terlihat dari perkembangan bisnis ritel khusunya ritel kecil dalam melakukan persaingan dengan pengecer lainnya, salah satu aspek yang paling besar yang mempengaruhinya adalah bauran penjualan eceran. Secara garis besar bauran penjualan eceran tersebut menurut Kotler & Amstrong (2008:442) meliputi bauran produk, pelayanan, suasana toko, harga, promosi dan lokasi serta karyawan toko. Dengan persaingan yang tinggi antara pengecer terlihat dari lokasi toko yang berdekatan antara pengecer yang satu dengan yang lain. Dengan persaingan yang tinggi antara pengecer terlihat dari lokasi toko yang berdekatan antara pengecer yang satu dengan yang lain. Hal ini membuat perilaku konsumen yang dinamis dalam proses keputusan pembelian pada suatu toko. Citra sebuah toko atau ritel dapat dibangun berdasarkan karakteristik barang dagangan yang dipajang atau ditawarkan untuk dibeli oleh pelanggan. Istilah barang dagangan dalam pengecer disebut merchandising atau pengelolaan barang dagangan, dimana pengelolaan barang dagangan ini merupakan salah satu
61
bidang yang berperan menentukan keunggulan bersaing dari peritel sehingga ritel harus memutuskan karakteristik barang dagangan yang dipilih untuk ditawarkan pada pelanggan. Menurut William J. Stanton dan Y. Lamarto (1996;8), merchandising adalah “Perencanaan dalam perusahaan untuk menghasilkan jasa atau produk yang tepat, dalam harga yang pantas dengan warna dan ukuran yang sesuai”. Sedangkan menurut Dr. Pangklaykim yang disadur kembali oleh Buchari Alma (2004;18) mengemukakan unsur-unsur merchandising yaitu meliputi produk, pelayanan, harga dan promosi. Definisi pengelolaan barang dagangan tersebut sesuai dengan komponen-komponen dalam merchandising menurut Christina Whidya Utami (2008:18) yang terdiri dari quality, price, dan assortment. Kunci untuk membuat angka penjualan dalam bisnis ritel terus mengalami peningkatan adalah menjual atau menyediakan barang dengan mutu yang baik, dimana tujuan utama ritel umunya adalah menjual barang dagangan dan memberikan pelayanan yang terbaik mereka. Secara umum, ritel harus menawarkan keberagaman yang cukup untuk memuaskan kebutuhan dan harapan pelanggan sehingga meningkatkan niat pelanggan untuk melakukan pembelian (Levy dan Weitz, yang dikutip oleh Christina Widya Utami 2008:94). Pengelolaan barang dagangan yang baik akan menarik konsumen untuk melakukan pembelian sehingga diperlukan produk dengan kualitas yang tepat, penetapan harga yang pantas dan dengan ragam produk yang ditawarkan. Unsurunsur pengelolaan barang dagangan tersebut akan mempengaruhi konsumen dalam melakukan keputusan pembelian. Keputusan untuk membeli timbul karena
62
adanya penilaian objektif atau karena dorongan emosi. Keputusan untuk bertindak adalah hasil dari serangkaian aktivitas dan rangsangan mental emosional. Pengecer menciptakan produk untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Untuk bisa memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen, maka pengecer harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai perilaku pembelian konsumen sasarannya. Dalam proses keputusan pembelian memerlukan suatu upaya dari pengecer agar barang dagangan tersebut dapat sampai ke tangan konsumen, paling tidak pengecer tersebut berusaha untuk mengubah perilaku konsumen dari rasa ingin tahu mengenai barang dagangan yang ditawarkan pengecer menjadi rasa tertarik, bahkan dari rasa tertarik tersebut meningkat sampai pada adanya keinginan untuk memiliki produk sehingga konsumen tersebut akan mengambil keputusan pembelian terhadap produk yang ditawarkan oleh pengecer. Konsumen sangat bervariasi dalam hal demografis, psikografis, psikologis sehingga pemilihan tempat berbelanja di antara konsumen relatif bervariasi juga. Keputusan pembelian merupakan perilaku pembelian akhir dari konsumen yang terdiri dari dua atau lebih alternatif pilihan. Keputusan pembelian merupakan perilaku pembelian akhir dari konsumen yang terdiri dari dua atau lebih alternatif pilihan. Menurut Kotler dan Amstrong (2008:158) ada lima keputusan yang dilakukan oleh pembeli, yaitu: pilihan produk, pilihan merek, pilihan saluran pembelian, waktu pembelian, dan jumlah pembelian. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis menggambarkan kerangka pemikiran dalam Gambar 2.11 pada halaman selanjutnya.
63
PERILAKU KONSUMEN
1. LOKASI 2. PROSEDUR PEMBELIAN/PELAYANAN
QUALITY (Kualitas)
BAURAN PENJUALAN ECERAN
3. MERCHANDISING (Pengelolaan Barang Dagangan)
PRICE (Harga)
KEPUTUSAN PEMBELIAN Christina Whidya Utami (2008:41) Hendri Ma’ruf (2006:135) Buchari Alma (2004;13)
4. PRICING TACTICS 5. STORE ATMOSPHERE
ASSORTMENT (Keragaman Produk)
1. Pemilihan produk 2. Pemilihan merek 3. Pemilihan saluran pembelian 4. Penentuan waktu pembelian 5. Jumlah pembelian
6. KARYAWAN 7. METODE PROMOSI
Christina Whidya Utami (2008:18) William J. Stanton dan Y. Lamarto (1996;8)
Philip Kotler & Gary Amstrong (2008:158)
Bob Foster (2008 : 51)
Feed Back
: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
: Pengaruh : Umpan Balik (Feed Back)
GAMBAR 2.11 PENGARUH PENGELOLAAN BARANG DAGANGAN TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN PADA YOMART MINIMARKET CABANG CIBEUREUM CIMAHI (Survei pada Konsumen Yomart Minimarket Cabang Cibeureum Cimahi)
64
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat dirumuskan paradigma penelitian pengaruh pengelolaan barang dagangan terhadap keputusan pembelian konsumen pada gambar 2.12 sebagai berikut : KEPUTUSAN PEMBELIAN KONSUMEN
PENGELOLAAN BARANG DAGANGAN 1. Quality (kualitas)
Christina Whidya Utami (2008:41) Buchari Alma (2004:13)
2. Price (Harga) 3. Assortment
Hendri Ma’ruf (2006:135)
(Keragaman produk) Christina Whidya Utami (2008:18)
a. Pemilihan produk b. Pemilihan merek c. Pemilihan saluran pembelian d. Penentuan waktu pembelian e. Jumlah pembelian Kotler & Amstrong (2008:158)
GAMBAR 2.12 PARADIGMA PENELITIAN
2.3 Hipotesis Hipotesis menurut Suharsimi Arikunto (2007:71) adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Hipotesis adalah pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi. Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang kompleks. Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut : “Keputusan pembelian konsumen Yomart minimarket cabang Cibeureum Cimahi dipengaruhi oleh Pengelolaan barang dagangan”