16
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Bank Syariah 2.1.1.1 Pengertian Bank Syariah Praktek perbankan berdasarkan prinsip syariah dimungkinkan untuk dilakukan di Indonesia setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 pasal 1 pengertian bank, bank umum, dan Bank Perkreditan Rakyat sebagai berikut: Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, sedangkan pengertian Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Serta pengertian Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan undang-undang diatas tidak menyebutkan tentang bank syariah, yang ada hanyalah sebutan bank dengan prinsip-prinsip syariah, yang dimaksud dengan prinsip syariah dijelaskan pada pasal 1 butir 13 undang-undang tersebut, yakni sebagai berikut:
17
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Dengan diperkenalkannya jenis bank berdasarkan prinsip syariah, maka sistem perbankan Indonesia saat ini disamping bank konvensional yang kita kenal selama ini, bank dapat pula memilih kegiatan usaha berdasarkan syariah. Menurut Dahlan Siamat (2004:183) menyatakan bahwa “Bank syariah yaitu bank yang dalam menjalankan usahanya berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum atau syariah Islam dengan mengacu kepada Al-Quran dan Al-Hadist”. Istilah lain yang sering digunakan untuk bank syariah adalah bank Islam, adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Menurut Muhammad (2002:13) mengemukakan bahwa: Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu-lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Secara umum bank syariah atau bank Islam dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perbaikan yang mengikuti ketentuan-ketentuan syariat Islam yang berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadist.
2.1.1.2 Fungsi dan Peran Bank Syariah Fungsi dan peran bank syariah menurut Heri Sudarsono (2004:9) yaitu sebagai berikut:
18
a.
b.
c.
d.
Manajer Investasi Bank syariah dapat mengelola dana masyarakat. Dengan kata lain, bank syariah berfungsi pengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi. Investor Bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Bagi hasil yang diperoleh sesuai dengan nisbah yag disepakati antara bank dan pemilik dana. Penyedia Jasa Keuangan dan Lalu Lintas Pembayaran Bank syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya. Maksudnya, bank syariah diperbolehkan untuk melakukan kegiatan seperti transfer, kliring, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Pelaksanaan Kegiatan Sosial Sebagai ciri yang melekat pada identitas keuangan syariah, bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat, infak dan shadaqah, serta pinjaman kebajikan (qardul hasan) sesuai ketentuan yang berlaku.
2.1.1.3 Tujuan Bank Syariah Menurut Heri Sudarsono (2004:40), bank syariah mempunyai beberapa tujuan adalah sebagai berikut: a. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara Islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur gharar (tipuan), dimana jenis-jenis usaha tersebut dilarang dalam agama Islam, juga menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat. b. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana. c. Meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha. d. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah di dalam mengentaskan kemiskinan
19
ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjolkan sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap. e. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan. f. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank nonsyariah.
2.1.1.4 Perbedaaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Bank konvensional dan bank syariah dalam beberapa hal memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi
komputer
yang
digunakan,
syarat-syarat
umum
memperoleh
pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:29) mengemukakan bahwa “Perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah menyangkut akad dan aspek legalitas, lembaga penyeleseian sengketa, struktur organisasi, bisnis dan usaha yang dibiayai, serta lingkungan dan budaya kerja”. 1. Akad dan Aspek Legalitas Dalam bank syariah, Akad yang dilakukan dalam bank syariah memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Nasabah seringkali berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti. Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:
20
a. Rukun, seperti: 1) Penjual 2) Pembeli 3) Barang 4) Harga 5) Akad/ijab Kabul b. Syarat, seperti: 1) Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah. 2) Harga barang dan jasa harus jelas. 3) Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi. 4) Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal. 2. Lembaga Penyeleseian Sengketa Penyelesaian perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabah pada perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional. Kedua belah pihak pada perbankan syariah tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah. Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia
21
atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia. 3. Struktur Organisasi Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional. 4. Bisnis dan Usaha yang Dibiayai Bisnis dan usaha yang dilaksanakan bank syariah, tidak terlepas dari kriteria syariah. Hal tersebut menyebabkan bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang mengandung unsur-unsur yang diharamkan. 5. Lingkungan dan Budaya Kerja Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sesuai dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik, selain itu karyawan bank syariah harus profesional (fathanah), dan mampu
22
melakukan tugas secara team-work dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah. Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga. Nabi saw. mengatakan bahwa senyum adalah sedekah. Secara garis besar perbandingan bank syariah dengan bank konvensional dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1 Perbandingan Antara Bank Syariah dan Bank Konvensional Bank Syariah 1) Melakukan investasiinvesasi yang halal
Bank Konvensional 1) Investasi yang halal dan haram
2) Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa
2) Memakai bunga
3) Profit dan falah oriented
3) Profit oriented
4) Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan 5) Penghimpunan dan penyaluran dana sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah
4) Hubungan kreditor
perangkat
debitor-
5) Tidak terdapat dewan sejenis
Sumber : Muhammad Syafi’i Antonio (2001:34)
Hal mendasar yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah terletak pada pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah.
23
Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan antara bunga dan bagi hasil disajikan dalam tabel berikut: Tabel 2.2 Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Bunga a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
Bagi Hasil a. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
b. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
b. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c. Pembayaran bunga tetap yang dijanjikan pertimbangan apakah yang dijalankan oleh nasabah untung atau rugi.
seperti tanpa proyek pihak
c. Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang "booming". e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.
d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
e. Tidak ada yang keabsahan bagi hasil.
meragukan
Sumber : Muhammad Syafi’i Antonio (2001:61)
2.1.1.5 Prinsip-Prinsip Dasar Perbankan Syariah Batasan-batasan bank syariah yang harus menjalankan kegiatannya berdasarkan pada syariat Islam, menyebabkan bank syariah harus menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:85) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip
24
bank syariah meliputi prinsip titipan atau simpanan (al-wadiah), prinsip bagi hasil (profit-sharing), prinsip jual beli (sale and purchase), prinsip sewa (al-ijarah) dan prinsip jasa (Fee-Based Service). 1. Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadiah) Al-Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Secara umum terdapat dua jenis al-wadiah, yaitu: a. Wadiah Yad Al-Amanah (Trustee Depository) adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan. Adapun aplikasinya dalam perbankan syariah berupa produk safe deposit box. b. Wadiah Yad Adh-Dhamanah (Guarantee Depository) adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang titipan menjadi hak penerima titipan. Prinsip ini diaplikasikan dalam produk giro dan tabungan.
25
2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing) Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah: a. Al-Mudharabah Al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah
dibagi
menurut
kesepakatan
yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian ini diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Akad mudharabah secara umum terbagi menjadi dua jenis: 1) Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. 2) Mudharabah Muqayyadah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib dimana mudharib memberikan batasan kepada shahibul maal mengenai tempat, cara, dan obyek investasi.
26
b. Al-Musyarakah Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Jenis almusyarakah yaitu: 1) Musyarakah pemilikan, tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. 2) Musyarakah akad, tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. 3. Prinsip Jual Beli (Al-Tijarah) Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin). Implikasi dari prinsip jual beli berupa: a. Al-Murabahah Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
27
b. Salam Salam adalah akad jual beli barang pesanan dengan penangguhan pengiriman oleh penjual dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai syarat-syarat tertentu. Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel. c. Istishna’ Istishna’ adalah akad jual beli antara pembeli dan produsen yang juga bertindak sebagai penjual. Cara pembayarannya dapat berupa pembayaran dimuka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna maka hal ini disebut istishna paralel. 4. Prinsip Sewa (Al-Ijarah) Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Al-ijarah terbagi kepada dua jenis: (1) Ijarah, sewa murni. (2)
28
ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa. 5. Prinsip Jasa (Fee-Based Service) Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain: a. Al-Wakalah adalah nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer. b. Al-Kafalah adalah Jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. c. Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada Factoring (anjak piutang), Postdated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut. d. Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai. e. Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa
29
mengharapkan imbalan. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan shadaqah.
2.1.1.6 Produk Operasional Bank Syariah Pada sistem operasi bank syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan (misalnya modal usaha), dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Menurut Muhammad (2002:86) mengemukakan bahwa “Pengembangan produk bank syariah dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu produk penghimpunan dana, produk penyaluran dana, dan produk jasa”. 1. Produk Penghimpunan Dana a. Prinsip Wadiah Prinsip wadiah implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai yang peminjam. Prinsip wadiah dalam produk bank syariah dapat dikembangkan menjadi dua jenis yaitu wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Prinsip wadiah ini diaplikasikan pada produk giro dan tabungan. Prinsip ini dikembangkan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1) Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedangkan pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan
30
tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif. 2) Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 3) Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi. 4) Ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. b. Prinsip Mudharabah Aplikasi prinsip ini adalah bahwa deposan atau penyimpan bertindak sebagai shahibul maal dan bank sebagai mudharib. Dana ini digunakan bank untuk melakukan pembiayaan akad jual beli maupun syirkah. Jika terjadi kerugian maka bank bertangggung jawab atas kerugian yang terjadi. Prinsip mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.
Berdasarkan
kewenangan
prinsip
mudharabah
meliputi
mudharabah mutlaqah, mudharabah muqayyadah on balance sheet, dan mudharabah off balance sheet. Rukun mudharabah adalah sebagai berikut: 1) Ada pemilik dana 2) Ada usaha yang dibiayai 3) Ada nisbah 4) Ada ijab kabul
31
2. Produk Penyaluran Dana Produk penyaluran dana di bank syariah dapat dikembangkan dengan tiga model, yaitu: a. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli. Prinsip jual beli ini dikembangkan menjadi bentuk pembiayaan pembiayaan murabahah, salam dan istishna’. b. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa (Ijarah). Transaksi ijarah dilandasi adanya pemindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada obyek transaksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah obyek transaksinya jasa. c. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil untuk produk pembiayaan di bank syariah dioperasionalkan dengan pola-pola musyarakah dan mudharabah. 3. Produk Jasa Selain menjalankan fungsinya sebagai intermediaries (penghubung) antara pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) dengan pihak yang kelebihan dana (surplus unit), bank syariah dapat pula melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah, yang dioperasionalkan dengan pola hiwalah, rahn, al-
32
qardh, wakalah, dan kafalah. Juga pengembangan produk jasa dalam bentuk safe deposit box. Produk ini dikembangkan dari akad ijarah.
2.1.1.7 Kelembagaan Bank Syariah di Indonesia Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan mengeluarkan beberapa ketentuan berkaitan dengan perbankan syariah, yaitu Bank Umum Syariah, BPR Syariah, dan Bank konvensional yang membuka usaha syariah (Cabang Syariah). a. Bank Umum Syariah, peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. b. Bank Perkreditan Rakyat Syariah, peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tanggal 1 juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. c. Bank Konvensional yang membuka usaha syariah (Cabang Syariah), peraturan Bank Indonesia Nomor 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum Konvensional yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Menurut Veithzal Rivai (2002:753) mengemukakan bahwa “Kelembagaan bank syariah di Indonesia dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)”. BUS memiliki bentuk kelembagaan seperti bank umum konvensional, sedangkan BPRS memiliki bentuk kelembagaan seperti BPR konvensional. Badan
33
hukum BUS dan BPRS dapat berbentuk Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau koperasi. Sementara itu, UUS bukan merupakan badan hukum tersendiri, tetapi merupakan unit atau bagian dari suatu bank umum konvensional. 1. Bank Umum Syariah Bank Umum Syariah (BUS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BUS merupakan badan usaha yang setara dengan bank umum konvensional dengan bentuk hukum perseroan terbatas, perusahaan daerah, dan atau koperasi. Seperti halnya bank umum konvensional, BUS dapat berusaha sebagai bank devisa atau bank non devisa. 2. Unit Usaha Syariah Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah. Dalam struktur organisasi, UUS berada satu tingkat di bawah direksi bank umum konvensional yang bersangkutan. UUS dapat berusaha sebagai bank devisa atau bank non devisa. Sebagai unit kerja khusus, UUS mempunyai tugas : a. Mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan kantor cabang syariah. b. Melaksanakan fungsi treasury dalam rangka pengelolaan dan penempatan dana yang bersumber dari kantor cabang syariah. c. Menyusun laporan keuangan konsilidasi dari seluruh kantor cabang syariah.
34
d. Melakukan tugas penatausahaan laporan keuangan kantor cabang syariah. 3. Bank Perkreditan Rakyat Syariah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BPRS merupakan badan usaha yang setara dengan bank perkreditas rakyat konvensional dengan bentuk hukum perseroan terbatas, perusahaan daerah, atau koperasi.
2.1.2 Sumber Dana Bank 2.1.2.1 Pengertian Sumber Dana Bank Pertumbuhan setiap bank sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil maupun besar, dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai lembaga keuangan, maka dana merupakan masalah bank yang paling utama. Tanpa dana yang cukup, maka bank tidak dapat berfungsi sama sekali. Menurut Muhammad (2002:265) pengertian dana adalah: Dana adalah uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank dalam bentuk tunai, atau aktiva lain yang dapat segera diubah menjadi uang tunai. Dana yang dimiliki ataupun yang dikuasai bank tidaklah berasal dari milik sendiri tetapi juga berasal dari pihak lain yang dititipkan pada bank dan sewaktu-waktu dapat diambil kembali, baik sekaligus maupun secara berangsur-angsur. Kebutuhan dana untuk kegiatan utama bank diperoleh dalam berbagai simpanan, sedangkan jika kebutuhan dana digunakan untuk investasi baru atau perluasan usaha maka diperoleh dari modal sendiri. Menurut Lukman
35
Dendawijaya (2005:47), dana-dana bank yang digunakan sebagai alat operasional suatu bank bersumber dari dana-dana sebagai berikut: 1. Dana Pihak Kesatu Dana pihak kesatu merupakan dana dari modal sendiri. Dana yang berasal dari para pemegang saham bank yaitu pemilik modal. 2. Dana Pihak Kedua Dana pihak kedua merupakan dana yang berasal dari pinjaman dari pihak luar yaitu call money, pinjaman antar bank, pinjaman dari lembaga keuangan bukan bank (LKBB), dan pinjaman dari bank sentral. 3. Dana Pihak Ketiga Dana pihak ketiga merupakan sumber dana terbesar (biasanya lebih dari 80%) yaitu dalam bentuk giro, tabungan dan deposito yang bersumber dari masyarakat. Bagi bank pengelolaan sumber dana dari masyarakat luas, terutama dalam bentuk simpanan giro, tabungan dan deposito adalah sangat penting. Dalam pengelolaan sumber dana dimulai dari perencanaan akan kebutuhan dana, kemudian pelaksanaan pencarian sumber dana dan pengendalian terhadap sumbersumber dana yang tersedia.
2.1.2.2 Dana Pihak Kesatu Dana pihak kesatu adalah dana yang berasal dari pemilik atau para pemegang saham, baik para pemegang saham pendiri (yang pertama kalinya mendirikan bank tersebut) maupun pihak pemegang saham yang ikut dalam usaha bank tersebut pada waktu kemudian, termasuk para pemegang saham publik (jika bank tersebut sudah go publik atau merupakan suatu badan usaha terbuka). Keuntungan dari sumber dana pihak pertama adalah imbalan (bagi hasil) yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan jika meminjam ke lembaga lain. Keuntungan lainnya mudah untuk memperoleh dana yang diinginkan. Sedangkan
36
kerugiannya adalah untuk jumlah dana yang relatif besar harus melalui berbagai berbagai prosedur yang relatif lama, kemudian penggunaan dana sendiri harus diseimbangkan dengan dana pinjaman sehingga rasio penggunaan dana pinjaman dan dana sendiri dapat dioptimalkan sedemikian rupa. Dana modal sendiri menurut Lukman Dendawijaya (2005:47) terdiri dari beberapa bagian, yaitu: a. Modal Disetor Modal disetor adalah uang yang disetor secara efektif oleh pemegang saham pada saat bank didirikan. Pada umumnya berasal dari setoran pertama modal pemilik bank (pemegang saham) yang dipergunakan bank untuk tujuan penyediaan sarana perkantoran seperti tanah atau gedung, peralatan kantor, dan promosi untuk menarik minat masyarakat. b. Agio Saham Agio saham adalah nilai selisih jumlah uang yang dibayarkan oleh pemegang saham baru dibandingkan dengan nilai nominal saham. c. Cadangan-Cadangan Cadangan-cadangan adalah sebagian laba bank yang diselisihkan dalam bentuk cadangan modal dan cadangan lainnya yang digunakan untuk menutup kemingkinan timbulnya risiko di kemudian hari. d. Laba Ditahan Laba ditahan adalah laba milik para pemegang saham yang diputuskan oleh mereka sendiri melalui rapat umum pemegang saham untuk tidak dibagikan sebagai deviden, tetapi dimasukkan kembali dalam modal kerja untuk operasional bank.
2.1.2.3 Dana Pihak Kedua Dana pihak kedua atau disebut juga dana pinjaman dari pihak lain merupakan dana yang berasal dari pinjaman dari pihak luar. Menurut Lukman Dendawijaya (2005:48), dana pihak kedua terdiri atas dana-dana sebagai berikut: a. Call Money Call money adalah pinjaman dari bank lain yang berupa pinjaman harian antar bank. Pinjaman ini diminta bila ada kebutuhan mendesak yang diperlukan bank, jangka waktu call money biasanya tidak lama, yaitu sekitar satu minggu, satu bulan, dan bahkan hanya beberapa hari saja. Jika
37
jangka waktu pinjaman hanya satu malam saja, pinjaman itu disebut overnight call money. b. Pinjaman Biasa Antar Bank Pinjaman biasa antar bank adalah pinjaman dari bank lain yang berupa pinjaman biasa dengan jangka waktu relatif lebih lama. Pinjaman ini umumnya terjadi jika antar bank peminjam dan bank yang memberi pinjaman kerja sama dalam bantuan keuangan dengan persyaratanpersyaratan tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak, jangka waktunya bersifat menengah atau jangka panjang dengan tingkat bunga relatif rendah. c. Pinjaman dari Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) Pinjaman dari bank sentral adalah pinjaman (kredit) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank untuk membiayai usaha-usaha masyarakat yang tergolong berprioritas tinggi, seperti kredit-kredit program. Misalnya kredit investasi pada sektor-sektor ekonomi yang harus ditunjang sesuai dengan petunjuk pemerintah (sektor pertanian, pangan, perhubungan, industri kecil, koperasi, eksport non-migas, kredit untuk golongan ekonomi lemah dan sebagainya) d. Pinjaman dari Bank Sentral (Bank Indonesia) Pinjaman dari bank sentral adalah pinjaman (kredit) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank untuk membiayai usaha-usaha masyarakat yang tergolong berprioritas tinggi, seperti kredit-kredit program, misalnya kredit investasi pada sektor-sektor ekonomi yang harus ditunjang sesuai dengan petunjuk pemerintah (sektor pertanian, pangan, perhubungan, industri kecil, koperasi, ekspor non-migas, kredit untuk golongan lemah dan sebagainya). Pinjaman dari Bank Indonesia untuk jenis-jenis sektor tersebut dikenal dengan istilah Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). KLBI merupakan instrumen moneter dari bank sentral dalam rangka refinancing facility demi memberikan motivasi gerakan moneter bagi bank dan masyarakat ekonomi, serta merupakan sumber dana yang tergolong murah dengan tingkat suku bunga yang relatif rendah (soft loan).
2.1.2.4 Dana Pihak Ketiga 2.1.2.4.1 Pengertian Dana Pihak Ketiga Menurut Muhammad (2000:60) menyatakan bahwa “Dana pihak ketiga adalah dana yang dihimpun dari masyarakat baik perorangan, kelompok dan lembaga badan hukum dalam bentuk giro wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah”.
38
Dalam Jurnal Ekonomi Keuangan dan Bisnis Islami (EKSIS), menurut Maryanah (2008:7) mengemukakan bahwa “Dana pihak ketiga (DPK) merupakan sumber dana dari masyarakat yang terhimpun melalui produk giro wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah”. Dana pihak ketiga adalah dana yang dihimpun oleh bank syariah dari masyarakat yang merupakan sumber pembiayaan terbesar. Dana yang berasal dari masyarakat ini dapat berkisar 80%-90% dari seluruh dana yang dihimpun oleh sebuah bank syariah. Dana masyarakat adalah dana-dana yang berasal dari masyarakat, baik perorangan maupun badan usaha, yang diperoleh bank syariah dengan menggunakan berbagai instrumen produk simpanan yang dimiliki oleh bank syariah. Dana masyarakat merupakan dana terbesar yang dimiliki oleh bank syariah dan ini sesuai dengan fungsi bank syariah sebagai penghimpun dana dari pihak-pihak yang kelebihan dana dalam masyarakat. Menurut Adiwarman A. Karim (2007:291), untuk memperoleh dana dari masyarakat luas, bank syariah dapat menggunakan 3 macam jenis simpanan yaitu: 1. Giro Syariah 2. Tabungan Syariah 3. Deposito Syariah
2.1.2.4.2 Giro Syariah Secara umum yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya, atau dengan pemindahbukuan. Adapun Giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
39
Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan secara syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah 1. Giro Wadiah Giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Bank Islam memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening wadiah. Dalam hal ini menggunakan prinsip wadiah yad dhamanah. Dengan prinsip ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadiah. Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan komersial. Pemilik simpanan dapat menarik kembali simpanannya sewaktu-waktu, baik sebagian atau seluruhnya. Bank tidak boleh menyatakan atau menjanjikan imbalan atau keuntungan apapun kepada pemegang rekening wadiah. Setiap imbalan atau keuntungan yang dijanjikan dapat dianggap riba. Namun demikian bank, atas kehendaknya sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah) kepada pemilik dana (pemegang rekening wadi’ah). Ciri-ciri giro wadiah adalah sebagai berikut: a. Bagi pemegang rekening disediakan cek untuk mengoperasikan rekeningnya.
40
b. Untuk membuka rekening diperlukan surat referensi nasabah lain atau pejabat bank, dan menyetor sejumlah dana minimum (yang ditentukan kebijaksanaan masing-masing bank) sebagai setoran awal. c. Calon pemegang rekening tidak terdaftar dalam daftar hitam Bank Indonesia. d. Penarikan dapat dilakukan setiap waktu dengan cara menyerahkan cek atau instruksi tertulis lainnya. e. Tipe rekening : rekening perorangan, rekening pemilik tunggal, rekening bersama (dua orang atau lebih), rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum, rekening kemitraan, rekening titipan. f. Servis lainnya : Cek istimewa, instruksi siaga (standing instruction), transfer dana otomatis, kepada pemegang rekening akan diberikan salinan rekening (statement of account) dengan rincian transaksi setiap bulan. g. Konfirmasi saldo dapat dikirim oleh bank kepada pemegang rekening setiap enam bulan atau periode yang dikehendaki oleh pemegang rekening. 2. Giro Mudharabah Giro mudharabah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Dalam mengelola harta mudharabah, bank menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya. Di samping itu, bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah
41
giran tanpa persetujuan yang bersangkutan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, PPH bagi hasil giro mudharabah pada saat perhitungan bagi hasil. Beberapa ketentuan umum giro berdasarkan mudharabah sebagai berikut: a. Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. b. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yng tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain. c. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang. d. Pembagian keutungan harus dinyatakan dalam
bentuk nisbah dan
dituangkan dalam bentuk akad pembukaan rekening. e. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya. f. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
2.1.2.4.3 Tabungan Syariah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
42
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Adapun tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan adalah tabungan yang berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah. 1. Tabungan Wadiah Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Berkaitan dengan produk tabungan wadiah, bank syariah menggunakan akad wadiah yad adh-dhamanah. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang yang disertai hak untuk menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang tersebut. Bank bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan tersebut serta mengembalikannya kapan saja pemiliknya menghendaki. Bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang tersebut. Beberapa ketentuan umum tabungan wadiah sebagai berikut: a. Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
43
b. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. c. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening. 2. Tabungan Mudharabah Tabungan mudharabah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Mudharabah mempunyai dua bentuk, yakni mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah, yang perbedaan utama diantara keduanya terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana kepada bank dalam mengelola hartanya. Dalam hal ini, bank syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana). Bank syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib, mempunyai kuasa untuk melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak lain. Bank syariah juga memiliki sifat sebagai seorang wali amanah, yang berarti bank harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya. Beberapa ketentuan umum tabungan mudharabah sebagai berikut:
44
a. Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. b. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain. c. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang. d. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam bentuk akad pembukaan rekening. e. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya. f. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
2.1.2.4.4 Deposito Syariah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan.
45
Deposito syariah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah. Menurut Rahmat Firdaus (2001:234), pengertian deposito mudharabah adalah: Deposito mudharabah atau lebih tepatnya deposito investasi mudharabah merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga (perorangan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan jatuh temponya, dengan mendapatkan imbalan bagi hasil. Dalam hal ini, bank syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank syariah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga. Bank syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai seorang wali amanah, yakni harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahannya atau kelalaiannya. Bank syariah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar berbagai aturan syariah. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pemilik dana, terdapat 2 (dua) bentuk mudharabah, yakni:
46
1. Mudharabah Mutlaqah (Unrestricted Investment Account, URIA) Dalam deposito mudharabah mutlaqah (URIA), pemilik dana tidak memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada bank syariah dalam mengelola investasinya, baik berkaitan dengan tempat, cara maupun objek investasinya. Bank syariah mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya dalam menginvestasikan dana URIA ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan. Dalam menghitung bagi hasil deposito mudharabah mutlaqah (URIA), basis perhitungan adalah hari bagi hasil sebenarnya, termasuk tanggal tutup buku, namun tidak termasuk tanggal pembukuan deposito mudharabah mutlaqah (URIA) dan tanggal jatuh tempo. Sedangkan jumlah hari dalam sebulan yang menjadi angka penyebut/angka pembagi adalah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29 hari, 30 hari, 31 hari). 2. Mudharabah Muqayyadah (Restricted Investmen Account, RIA) Dalam
deposito
mudharabah
muqayyadah
(RIA),
pemilik
dana
memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada bank syariah dalam mengelola investasinya, baik yang berkaitan dengan tempat, cara, maupun objek investasinya, bank syariah tidak mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya dalam menginvestasikan dana RIA ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan. Deposito mudharabah muqayyadah (RIA) dengan pembayaran bagi hasil secara bulanan dapat dicairkan sebelum tanggal jatuh tempo dengan dikenakan denda (penalty) sebesar 3% dari nominal bilyet deposito mudharabah
47
muqayyadah (RIA). Klausul denda harus ditulis dalam akad dan dijelaskan kepada nasabah pada saat pembukaan deposito mudharabah muqayyadah (RIA) semua jangka waktu (1,3,6 dan 12 bulan) untuk disepakati bersama oleh nasabah dan bank. Dalam hal ini, bagi hasil yang menjadi hak nasabah dan belum dibayarkan, harus dibayarkan.
2.1.3 Pembiayaan Bagi Hasil 2.1.3.1 Pengertian Pembiayaan Dua fungsi utama bank syariah adalah mengumpulkan dana dan menyalurkan dana. Penyaluran dana yang dilakukan bank syariah adalah pemberian pembiayaan kepada debitur yang membutuhkan, baik untuk modal usaha maupun untuk konsumsi. Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan dalam pasal 1 ayat 12 pengertian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut: Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Sedangkan dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pengertian pembiayaan diperjelas lagi bahwa: Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
48
b. Transaksi sewa dalam bentuk ijarah atau sewa dengan opsi perpindahan hak milik dalam bentuk Ijarah Muntahiya Bit Tamlik. c. Tramsaksi jual beli dalam bentuk piutang qard. d. Transaksi multi jasa dengan menggunakan akad ijarah atau kafalah. Berdasarkan persetujuan diatas kesepakatan anatara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa bagi hasil. Menurut Muhammad (2002:260), pembiayaan memiliki dua lingkup arti yaitu: Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan, yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan, seperti bank syariah kepada nasabah. Jadi pembiayaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan biaya. Pembiayaan merupakan istilah kredit yang biasa dipergunakan dalam bentuk konvensional yang membedakannya, bentuk imbalan pada pembiayaan adalah bagi hasil sedangkan dalam kredit adalah bunga. Sehingga pembiayaan dan kredit adalah bentuk dari penyaluran dana perbankan.
2.1.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Kredit (Pembiayaan) Dalam menetapkan rencana kerja dan anggaran di bidang pembiayaan perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya volume kredit (pembiayaan) yang akan memberikan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap besarnya volume kredit (pembiayaan) tersebut.
49
Menurut Muljono (1996:210) secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya volume kredit (pembiayaan) dapat dikelompokkan ke dalam 2 faktor pokok yaitu: 1. Faktor Internal Bank Faktor-faktor internal mempengaruhi volume kredit (pembiayaan) yang dianggarkan antara lain: a. Sifat Usaha, Segment Pasar Bank itu Sendiri Masing-masing bank dalam melaksanakan kegiatan usahanya sehari-hari telah menetapkan segmen pasarnya. Ada yang memilih corporate banking, retail banking dan lain-lain. Untuk bank dengan segment corporate tentu mempunyai skala pemberian kredit dengan volume yang besar dibandingkan dengan bank yang berientasi pada consumers banking. b. Financial Position Sesuai dengan ketentuan prudential banking bahwa ekspansi kredit suatu bank dibatasi pada enam hal yaitu: 1) Capital Adequacy Ratio 2) Aktiva tertimbang menurut risiko 3) Loan to Deposit Ratio 4) Net Open Position 5) Maksimum Legal Lending Limit 6) Persentase pencapaian pemberian K U K c. Source Of Fund Dalam pemberian kredit tersebut bank akan sangat tergantung kemampuannya untuk menghimpun sumber dana, access ke pasar modal dan pasar uang dengan komposisi dana yang sesuai dengan sifat kredit yang akan diberikan serta cost of fund yang masih memungkinkan bagi bank untuk memperoleh margin. d. Kualitas Aktiva Produktifnya Kemampuan ekspansi kredit secara business juga akan dipengaruhi oleh kualitas kreditnya yang ada pada saat ini. e. Faktor-Faktor Produksi yang Tersedia di Bank Untuk melakukan ekspansi kredit pada tahun-tahun yang akan datang sudah tentu perlu didukung oleh faktor-faktor produksi yang dapat menunjang ekspansi kredit tersebut dengan berhasil. 2. Faktor-Faktor Ekternal Faktor-faktor ekternal yang mempengaruhi ekspansi kredit yang dianggarkan untuk tahun-tahun yang akan datang antara lain: a. Tingkat intensitas persaingan antar bank maupun dengan lembaga keuangan lainnya dalam proses pemberian kredit b. Perkembangan perekonomian dan perdagangan baik pada tingkat regional maupun nasional serta tingkat internasional c. Substitusi sumber dana yang ada
50
d. Karakteristik usaha nasabah e. Situasi sosial politik f. Peraturan moneter yang berlaku Dalam penelitian ini hanya akan membahas tentang faktor internal yaitu sources of fund (sumber dana).
2.1.3.3 Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing) Prinsip bagi hasil (Profit Sharing) merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan. Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah. Berdasarkan prinsip ini, bank Islam akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana. Dengan penabung bank akan bertindak sebagai mudharib (pengelola) sedangkan penabung bertindak sebagi shohibul maal (penyandang dana), dimana diantara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan pembagian keuntungan masing-masing pihak. Di sisi lain, dengan pengusaha/peminjam dana, bank Islam bertindak sebagai
shohibul
maal
(penyandang
dana,
baik
yang
berasal
dari
tabungan/deposito/giro maupun dana bank sendiri berupa pemegang saham) dan pengusaha sebagai mudharib (pengelola) karena melakukan usaha dengan cara memutar dan mengelola dana bank. Akan tetapi dalam perkembangannya, para pengguna dana bank Islam tidak hanya membatasi pada mudharabah saja. Sesuai dengan jenis dan nature usahanya, mereka ada yang memperoleh dana dengan sistem perkongsian, sistem jual beli, sewa-menyewa dan, lain-lain.
51
2.1.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:139), ada beberapa faktor yang mempengaruhi bagi hasil, diantaranya adalah: 1. Faktor Langsung Di antara faktor-faktor langsung yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil adalah : a. Investment Rate, merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar 80 %, hal ini berarti 20 % dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas. b. Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rata – rata saldo minimum bulanan atau rata – rata saldo harian investmen rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan akan menghasilkan jumlah dana aktual yang digunakan. c. Nisbah 1) Salah satu ciri al-mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian. 2) Nisbah antara bank yang satu dengan bank yang lain dapat berbeda. 3) Nisbah juga dapat berbeda dari waktu ke waktu dalam satu bank misalnya deposito 1 bulan, 3 bulan atau 12 bulan. 4) Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dan account lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya. 2. Faktor Tidak Langsung a. Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah 1) Bank dan nasabah melakukan share dalam pendapatan dan biaya (profit and sharing). Pendapatan yang “dibagihasilkan” merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya. 2) Jika semua ditanggung bank, hal ini disebut revenue sharing. b. Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting) Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.
2.1.3.5 Pengertian Pembiayaan Bagi Hasil Bentuk pembiayaan bank syariah yang paling utama dan penting yang disepakati oleh para ulama adalah bentuk pembiayaan bagi hasil yang meliputi
52
pembiayaan musyarakah dan pembiayaan mudharabah. Menurut Abdullah Saeed (2004:90) menyatakan bahwa “Pembiayaan bagi hasil adalah sumber pembiayaan yang luas kepada peminjam (debitur) berdasarkan atas bagi risiko (baik menyangkut keuntungan maupun kerugian) dengan transaksi musyarakah dan mudharabah”. Dalam Jurnal Ekonomi Keuangan dan Bisnis Islami (EKSIS), menurut Maryanah (2008:4) menyatakan bahwa “Pembiayaan bagi hasil adalah suatu jenis pembiayaan (produk penyaluran dana) yang diberikan bank syariah kepada nasabahnya, dimana pendapatan bank atas penyaluran dana diperoleh dan dihitung dari usaha nasabah”. Menurut Muhammad Syafii Antonio (2001:90) mengemukakan bahwa: Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, almuzara’ah, dan al-musaqah. Namun, prinsip yang paling banyak diterapkan adalah al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan almuzara’ah dan al-musaqah dipergunakan khusus untuk pembiayaan pertanian Ciri utama pembiayaan bagi hasil adalah bahwa keuntungan dan kerugian ditanggung bersama oleh pemilik dana maupun pengelola. Konsep pembiayaan bagi hasil dilandaskan pada prinsip dasar yaitu: 1. Pembiayaan bagi hasil tidak berarti meminjamkan uang, tetapi merupakan
partisipasi
dalam
usaha.
Dalam
hal
musyarakah,
keikutsertaan aset dalam usaha hanya sebatas proporsi pembiayaan masing-masing pihak. 2. Investor atau pemilik dana harus ikut menanggung risiko kerugian usaha sebatas proporsi pembiayaannya.
53
3. Para mitra usaha bebas menentukan, dengan persetujuan bersama, rasio keuntungan untuk masing-masing pihak, yang dapat berbeda dari rasio pembiayaan yang disertakan. 4. Kerugian yang ditanggung oleh masing-masing pihak harus sama dengan proporsi investasinya. Pembiayaan bagi hasil adalah salah satu jenis pembiayaan yang memiliki risiko. Menurut Suhaji Lestiadi dalam Ascarya (2004:34) mengemukakan bahwa: Ada dua risiko utama pembiayaan bagi hasil, yaitu risiko pendapatan yang tidak pasti, bahkan dapat terjadi tidak memperoleh pendapatan sama sekali (yield=0%), dan risiko kehilangan modal/pokok pembiayaan apabila usaha rugi, kecuali kerugian disebabkan kelalaian atau kecurangan nasabah. Apabila usaha yang dibiayai tidak menghasilkan, bahkan rugi misalnya, maka bank disamping tidak memperoleh pendapatan juga dibebani PPAP (Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif) yang jumlahnya tidak dapat dikurangkan dengan jaminan. Berbeda dengan pembiayaan jual beli (murabahah), ketika dengan skema ini nasabah telah berhutang sejumlah nilai barang yang harus dibayar pada kondisi apapun. Dengan demikian, keberadaan jaminan menjadi perlu sebagai alternatif pelunas hutang. Keberadaan jaminan pada pembiayaan jual beli (murabahah) dapat digunakan sebagai pengurang PPAP. Kemungkinan tidak memperoleh pendapatan dan kemungkinan kehilangan pokok pembiayaan, serta pencadangan PPAP yang tidak dapat dikurangkan dari jaminan membuat pihak bank harus menekankan aspek kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan bagi hasil guna menghindari timbulnya pembiayaan bermasalah yang lebih besar.
2.1.3.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Bagi Hasil Dalam jurnal Ekonomi Keuangan dan Bisnis Islami (EKSIS), menurut Maryanah (2008:14) mengemukakan bahwa “Ada tiga faktor yang mempengaruhi jumlah pembiayaan bagi hasil yaitu jumlah dana pihak ketiga (DPK), profit dan non performing financing (NPF)”.
54
Menurut Algoud dan Lewis dalam Maryanah (2008:15), selain faktor kuantitatif diatas masih ada faktor kualitatif yang berpengaruh terhadap pembiayaan bagi hasil, yaitu: 1. Pembiayaan bagi hasil sulit digunakan untuk membiayai modal kerja usaha, karena fleksibilitas dari fasilitas overdraft tidak mudah ditiru menurut ketentuan Islam. 2. Pembiayaan bagi hasil sulit diberikan untuk pendanaan usaha kecil karena tidak adanya personal guarantee maupun collateral. 3. Bank syariah belum mampu atau tidak mau membiayai proyek-proyek jangka panjang dengan pembiayaan bagi hasil, karena rumit dan makan waktu dari sisi prosedur, kurang pengalaman dan kemampuan dari sisi sumber daya insani (SDI), kurang kepercayaan dan kualitas dari sisi nasabah, serta kurangnya fleksibilitas penggunaan dana akibat modal tertanam untuk jangka waktu yang lama. 4. Masalah keagenan (agency problem) dan informasi asimetri (asymmetric information) menimbulkan masalah adverse selection dan moral hazard.
2.1.3.7 Pembiayaan Musyarakah 2.1.3.7.1 Pengertian Pembiayaan Musyarakah Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:95) mengemukakan bahwa: Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Menurut Veithzal Rivai (2007:772) menyatakan bahwa “Pembiayaan musyarakah adalah bentuk pembiayaan bagi hasil ketika bank sebagai pemilik dana/modal turut serta, sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha pihak lain”. Kedua belah pihak dapat membagi pekerjaan usaha sesuai kesepakatan dan mereka juga dapat meminta gaji/upah untuk tenaga dan keahlian yang mereka
55
curahkan untuk usaha tersebut. Proporsi keuntungan dibagi diantara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad yang dapat berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan. Kerugian, apabila terjadi akan ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing. Perjanjian akan berjalan terus sepanjang usaha yang dibiayai bersama terus beroperasi.
2.1.3.7.2 Jenis-Jenis Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan musyarakah menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:91) terdiri dari dua jenis yaitu: 1. Musyarakah Al-Milk (Pemilikan) adalah pemilikan yang tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut. 2. Musyarakah Al-Aqad (Akad) adalah pemilikan yang tercipta karena adanya kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad terdiri dari: a. Syirkah Al-’Inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian secara sama. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. b. Syirkah Mufawwadah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. c. Syirkah A’maal adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor.
56
d. Syirkah Wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. e. Syirkah Al-Mudharabah adalah kerjasama antara pihak pemilik dana dengan pihak yang memiliki profesionalisme atau tenaga.
2.1.3.7.3 Aplikasi dalam Perbankan Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:93), aplikasi pembiayaan musyarakah dalam perbankan diantaranya: 1. Pembiayaan Proyek Al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. 2. Modal Ventura Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, al-muyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
2.1.3.7.4 Manfaat Pembiayaan Musyarakah Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:93), manfaat pembiayaan musyarakah adalah: a. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan nasabah meningkat. b. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga tidak akan pernah mengalami negative spread. c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah. d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena
57
keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan. e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
2.1.3.7.5 Ketentuan Umum Pembiayaan Musyarakah Menurut Adiwarman A. Karim (2007:102), ketentuan umum pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut: 1. Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah dan tidak boleh melakukan tindakan seperti: a. Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi. b. Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya. c. Memberi pinjaman kepada pihak lain. d. Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain. e. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerja sama apabila: 1) Menarik diri dari perserikatan 2) Meninggal dunia 3) Menjadi tidak cakap hukum f. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal. g. Proyek yang dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
Secara umum, mekanisme operasional musyarakah dapat digambarkan sebagai berikut:
58
NASABAH PARSIAL: ASSET VALUE
BANK SYARIAH PARSIAL PEMBIAYAAN
PROYEK USAHA
KEUNTUNGAN
BAGI HASIL KEUNTUNGAN SESUAI PORSI KONTRIBUSI MODAL (NISBAH)
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio (2001:94)
Gambar 2.1 Skema Al-Musyarakah
2.1.3.8 Pembiayaan Mudharabah 2.1.3.8.1 Pengertian Pembiayaan Mudharabah Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:95) menyatakan bahwa almudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Menurut
Veithzal
Rivai
(2007:772)
mendefinisikan
pembiayaan
mudharabah sebagai berikut: Pembiayaan mudharabah adalah bentuk pembiayaan bagi hasil ketika pemilik dana/modal, biasa disebut shahibul maal menyediakan modal (100%) kepada pengusaha sebagai pengelola, biasa disebut mudharib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelum akad (yang besarnya juga ditentukan oleh kekuatan pasar). Kesediaan pemilik dana untuk menanggung resiko apabila terjadi kerugian menjadi dasar untuk mendapat bagian dari keuntungan. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
59
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola, pengelola bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
2.1.3.8.2 Jenis-Jenis Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan mudharabah menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:97) terbagi menjadi dua jenis yaitu: 1. Mudharabah muthlaqoh adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib dimana mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus shaleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syita dari shahibul maal ke mudharib yang memberikan kekuasaan sangat besar. 2. Mudharabah muqayyadah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib dimana mudharib dapat melakukan bisnis/usaha yang dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecendrungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.
2.1.3.8.3 Aplikasi dalam Perbankan Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:97), aplikasi pada sisi pembiayaan mudharabah dalam perbankan diantaranya: 1. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa. 2. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayadah, dimana sumber dana khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
2.1.3.8.4 Manfaat Pembiayaan Mudharabah Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:97), manfaat pembiayaan mudharabah dalam perbankan yaitu:
60
a. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat. b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread. c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah. d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan. e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
2.1.3.8.5 Ketentuan Umum Pembiayaan Mudharabah Menurut Adiwarman A. Karim (2007:104), ketentuan umum pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut: 1. Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai, dan dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap harus jelas tahapannya dan disepakati bersama. 2. Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan cara, yakni: a. Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) b. Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing) 3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana. 4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban, maka ia dapat dikenakan sanksi administrasi. Secara umum, mekanisme operasional mudharabah dapat digambarkan sebagai berikut:
61
PERJANJIAN BAGI HASIL
NASABAH (MUDHARIB)
KEAHLIAN/ KETERAMPILAN
MODAL 100%
BANK (SHAHIBUL MALL)
PROYEK NISBAH X%
NISBAH Y%
PENGAMBILAN MODAL POKOK
PEMBAGIAN KEUNTUNGAN
MODAL
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio (2001:98)
Gambar 2.2 Skema Al-Mudharabah
2.2 Kerangka Pemikiran Pada dasarnya fungsi bank syariah tidak berbeda dengan bank konvensional, yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat namun berdasarkan syariah. Penghimpunan dana dari masyarakat dan penyalurannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan (kredit dalam bank konvensional) merupakan dua fungsi utama bank yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kunci keberhasilan manajemen bank syariah sangat ditentukan oleh kemampuan bank tersebut dalam merebut hati masyarakat, sehingga peranan bank syariah sebagai financial intermediary dapat berjalan dengan baik.
62
Bank syariah dapat dikatakan berhasil jika mampu melayani sebaikbaiknya mereka yang kelebihan uang dan menyimpan uangnya di bank syariah serta melayani kebutuhan uang masyarakat melalui pemberian pembiayaan. Menurut Muhammad (2002:261) mengemukakan bahwa: Bank sebagai salah satu lembaga keuangan memiliki fungsi menghimpun dana masyarakat. Dana yang telah terhimpun, kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat. Kegiatan bank mengumpulkan dana disebut dengan kegiatan funding. Sementara kegiatan menyalurkan dana kepada masyarakat oleh bank disebut dengan kegiatan financing atau lending. Pertumbuhan suatu bank akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana masyarakat atau dana pihak ketiga, baik berskala kecil maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Dana masyarakat merupakan dana terbesar yang dimiliki oleh bank syariah dan ini sesuai dengan fungsi bank syariah sebagai penghimpun dana dari pihak-pihak yang kelebihan dana dalam masyarakat. Bank syariah menghimpun dana pihak
ketiga melalui giro wadiah, tabungan mudharabah dan deposito
mudharabah. Penghimpunan dana pihak ketiga dapat disalurkan kembali kepada masyarakat dengan aktivitas pemberian pembiayaan. Dalam melaksanakan pembiayaan, pihak bank harus memperhatikan pedoman pembiayaan. Dana pihak ketiga merupakan sumber pembiayaan terbesar bagi bank syariah. Dana yang berasal dari masyarakat ini dapat berkisar antara 80%-90% dari keseluruhan dana yang dihimpun bank syariah. Besar kecilnya dana masyarakat yang dapat dihimpun oleh bank syariah akan mempengaruhi jumlah pembiayaan yang dapat disalurkan bank syariah kepada masyarakat.
63
Penghimpunan dana pihak ketiga merupakan aspek yang sangat penting bagi usaha bank syariah. Besarnya profit (keuntungan) yang akan dihasilkan akan sangat tergantung seberapa besar kemampuan bank dalam mengumpulkan dana pihak ketiga dan kemudian menyalurkan pembiayaan. Salah satu pembiayaan yang digunakan adalah pembiayaan bagi hasil. Pembiayaan bagi hasil adalah suatu jenis pembiayaan bank syariah dimana keuntungan dan kerugian ditanggung bersama oleh pemilik dana maupun pengelola. Pembiayaan bagi hasil terdiri dari pembiayaan musyarakah dan pembiayaan mudharabah. Pembiayaan bagi hasil merupakan ciri khas praktik perbankan syariah, karena hal ini yang membedakannya dengan bank konvensional yang beroperasi dengan sistem bunga. Pembiayaan ini mengedepankan prinsip kemitraan dan keadilan sehingga dapat memberikan manfaat lebih luas kepada sektor riil. Dalam Jurnal Ekonomi Keuangan dan Bisnis Islami (EKSIS), menurut Maryanah (2008:14) mengemukakan bahwa “Ada tiga faktor yang mempengaruhi jumlah pembiayaan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) adalah jumlah dana pihak ketiga (DPK), profit dan non performing financing (NPF)”. Kemudian Asyari dalam Maryanah (2008:3) menyatakan bahwa “Tingkat perubahan dana pihak ketiga mempengaruhi jumlah pembiayaan bagi hasil”. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dana pihak ketiga sangat berperan bagi kelangsungan usaha bank syariah sehingga dapat berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan bagi hasil bank syariah, maka kerangka pemikiran yang digunakan adalah:
64
Pembiayaan Prinsip Bagi Hasil
Pembiayaan Prinsip Jual Beli Dana Pihak Ketiga
Fungsi Intermediary Pembiayaan Prinsip Sewa Surat-Surat Berharga Syariah dan Investasi Lainnya
Sumber : Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2002, h.237
Gambar 2.3 Skema Kerangka Pemikiran Menurut Sugiyono (2008:8) mendefinisikan paradigma penelitian sebagai berikut: Paradigma penelitian dalam hal ini diartikan sebagai pola pikir yang menunjukkan hubungan antara variabel yang akan diteliti yang sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah rumusan yang perlu dijawab melalui penelitian, dan teknik analisis statistik yang akan digunakan. Berdasarkan uraian di atas, maka paradigma dalam penelitian ini adalah:
Dana Pihak Ketiga
Variabel X
Jumlah Pembiayaan Bagi Hasil Variabel Y
Gambar 2.4 Paradigma Penelitian Pengaruh Dana Pihak Ketiga Terhadap Jumlah Pembiayaan Bagi Hasil
65
2.3 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empirik. Menurut Kerlinger (2003:30) menyatakan bahwa “Hipotesis adalah pernyataan dugaan tentang hubungan antara dua variabel atau lebih, serta menuntun atau mengarahkan penelitian selanjutnya.” Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut: “Dana pihak ketiga berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan bagi hasil ”