BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS KERJA
2.1. Kajian Pustaka Penelitian mengenai diskresi dilakukan oleh Joseph G. Haubrich dan Joseph A. Ritter tahun 2000, dengan judul “Dynamic Commitment and Incomplete Policy Rules”, yang dimuat pada “Journal of Money, Credit and Banking”, Vol. 32, No. 4, Part 1 (Nov., 2000)”, yang diterbitkan oleh “The Ohio State University Press”. Penelitian ini mengkaji diskresi dalam dinamika komitmen dan peraturan kebijakan yang tidak lengkap di Amerika Serikat. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang bersifat masih sederhana dan belum mengatur secara mendetail. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian mengungkapkan model pengukuran potential loss dalam memilih diskresi atau melaksanakan suatu peraturan yang ada. Penelitian Haubrich dan Ritter ini membuka wawasan bagi penelitian ini sebagai dasar pemikiran untuk membandingkan potential loss diskresi yang dilakukan oleh PD Jati Mandiri Kota Cimahi, mengingat Perwal No.7 tahun 2006 yang mendasari struktur organisasi dan tata kelola PD Jati Mandiri bersifat incomplete rule, dimana Perwal tersebut belum mengantisipasi dinamika bisnis yang dihadapi PD Jati Mandiri pada tahun-tahun berikutnya. Penelitian selanjutnya tentang diskresi adalah penelitian yang dilakukan oleh Donald C. Hambrick dan Eric Abrahamson. Penelitian ini berjudul “Assesing
18
19
Managerial Discretion across Industries: A Multimethod Approach”. Penelitian ini di publikasikan dalam ”The Academy of Management Journal”, Vol. 38, No. 5 (Oct., 1995). Penelitian ini mengkaji realitas diskresi manajerial pada 17 sektor industri di Amerika Serikat. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dari hasil penelitian ini diperoleh pemeringkatan tingkat diskresi manajerial pada berbagai sektor industri yang dikaji. Penelitian Hambrick dan Abrahamson ini membuka wawasan bagi penelitian ini sebagai dasar pemikiran untuk digunakan sebagai pendekatan dan pembanding potensi diskresi yang dilakukan oleh PD Jati Mandiri Kota Cimahi pada bidang-bidang bisnisnya., mengingat divisi-divisi bisnis PD Jati Mandiri pada bidang Teknologi Informasi, Perumahan, Perdagangan dan Pengairan, merupakan bidang-bidang yang dikaji oleh Hambrick dan Abrahamson dalam penelitiannya. Penelitian selanjutnya tentang diskresi adalah penelitian yang dilakukan oleh Mason A. Carpenter dan Brian A. Golden. Penelitian ini berjudul “Perceived Managerial Discretion: A Study of Cause and Effect”. Penelitian ini dipublikasikan pada ”Strategic Management Journal”, Vol. 18, No. 3 (Mar., 1997). Penelitian ini Mengkaji tentang mengkonstruksi persepsi diskresi manajerial untuk mengidentifikasi konsekuensi penting tentang persepsi diskresi. Penelitian ini bersifat eksplanatif dengan pendekatan penelitian kuantitatif. Dari hasil penelitian ini diperoleh Dengan memahami determinan dan konsekuensi dari persepsi diskresi manajerial akan berdampak kritis terhadap riset manajemen srategis. Penelitian Carpenter dan Golden ini membuka wawasan bagi
20
penelitian ini sebagai dasar pemikiran untuk digunakan sebagai pendekatan dan pembanding memahami determinan dan konsekuensi dari persepsi diskresi manajerial yang akan berdampak kritis terhadap riset manajemen srategis sebagai dasar melaksanakan diskresi yang dilakukan oleh PD Jati Mandiri Kota Cimahi. Tabel 2.1. Perbandingan beberapa Penelitian tentang Diskresi Kriteria Tempat
Haubrich Ritter U.S.A.
& Hambrick & Carpenter Abrahamson Golden U.S.A. U.S.A.
Jumlah Variabel 2 Variabel Latar Belakang Ada masalah State of the art Unit Kajian Pendekatan Analisis
Kuantitatif kualitatif Deskriptif
dan
Kajian
Mengkaji diskresi dalam dinamika komitmen dan peraturan kebijakan yang tidak lengkap di Amerika Serikat
Simpulan/ Temuan
Model pengukuran potential loss dalam memilih diskresi atau melaksanakan suatu peraturan yang ada.
1 Variabel Ada Masalah Studi Hubungan Kuantitatif dan kualitatif SIC Analytical level & Deskriptif Mengkaji Realitas diskresi manajerial pada 17 sektor industri di Amerika Serikat
& Bonti
1 Variabel Ada Masalah Studi Pengaruh Kuantitatif
MANOVA dan regresi, Eksplanatif Mengkaji tentang mengkonstruk si persepsi diskresi manajerial untuk menidentifika si konsekuensi penting tentang persepsi diskresi Diperoleh Dengan pemeringkatan memahami tingkat determinan diskresi dan manajerial konsekuensi pada berbagai dari persepsi sektor industri diskresi yang dikaji. manajerial akan
Cimahi, Jawa Barat, Indonesia 1 variabel Ada Masalah Implementasi Kualitatif Deskriptif
Mengkaji tentang diskresi kebijakan perubahan struktur organisasi PD Jati Mandiri sebagai suatu strategi adaptasi organisasi
21
berdampak kritis terhadap riset manajemen srategis. Sumber: Penelitian 2012 2.2. Kerangka Pemikiran 2.2.1. Diskresi 2.2.1.1. Diskresi dalam Administrasi Negara Perkembangan konsep "negara hukum" sekarang ini telah menghasilkan suatu konsep negara hukum kesejahteraan (social service state; welvaarstaat). Dalam suatu negara hukum yang demikian ini, tugas negara sebagai public servant adalah menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial (yang oleh Lemaire disebut dengan : bestuurszorg) bagi masyarakatnya, jadi, tugas negara bukan hanya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban saja. Oleh karena itu maka negara melakukan campur tangan hampir di setiap sektor kehidupan masyarakat, yang menyebabkan semakin besarnya keterlibatan administrasi negara di dalamnya. Salah satu alasan nyata bagi pertumbuhan kekuasaan administrasi negara di negara-negara demokrasi modern adalah dengan pudarnya falsafah laissez faire dan meningkatnya peranan negara dalam bidang sosial-ekonomi. Seperti diketahui, laissez faire menginginkan sedikitnya peranan negara dalam mengontrol usaha-usaha pribadi dalam masyarakat dan besarnya peranan individu dalam melakukan kebebasan berkontrak. Falsafah ini ternyata justru menimbulkan penderitaan bagi manusia, karena ia mengakibatkan terjadinya eksploitasi oleh kelompok masyarakat yang kuat terhadap kelompok masyarakat yang lemah.
22
Berdasarkan hal tersebut maka timbul pemikiran-pernikiran mengenai konsep negara kesejahteraan. Friedmann dalam bukunya The Rule of Law and The Welfare State menyebutkan adanya lima fungsi dan negara kesejahteraan, yaitu sebagai protector. provider, regulator, entrepreneur, dan sebagai arbitrator. Dalam rangka menjalankan fungsi ini, negara harus memiliki lembagalembaga dan standar perlakuan yang menjamin terselenggaranya kesejahteraan sosial. Sebagai wakil rakyat secara keseluruhan, negara harus mengatur dan menjalankan keadilan diantara sektor-sektor masyarakat yang berbeda. Lembaga dan standar perlakuan tadi dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan melalui suatu sistem administrasi negara, maka perilaku dan tindakan suatu sistem administrasi negara harus diatur melalui suatu hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara. Hukum Administrasi Negara ini mengikat pula kepada berbagai perusahaan milik negara maupun pemerintah daerah, termasuk Perusahaan Daerah (PD) Jati Mandiri Kota Cimahi. Segala tindakan dan perilaku PD Jati Mandiri harus didasarkan kepada berbagai perturan yang telah ditetapkan kepadanya sebagai suatu perusahaan daerah. Dengan demikian PD Jati Mandiri dalam setiap tindakan dan perilakunya harus tunduk terhadap HukumAdministrasi Negara yang berlaku. Perkembangan konsep negara hukum seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, erat kaitannya dengan peranan Hukum Administrasi Negara di dalamnya. Pada konsep polizeistaat boleh dikatakan belum berkembang Hukum Administrasi Negara, barulah pada nachtwakerstaat Hukum Administrasi Negara
23
mulai muncul, meskipun sangat terbatas. Pada welvaarstaat peranan Hukum Administrasi Negara menjadi semakin luas dan dominan. Hal ini menunjukkan semakin aktifnya negara terlibat dan melakukan campur tangan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Sangatlah sulit membayangkan suatu negara modern pada saat ini tanpa adanya Hukum Administrasi Negara di dalamnya. Posisi hukum dalam administrasi negara dijelaskan dalam definisi administrasi publik menurut David H. Rosenbloom dan Robert S. Kravchuck dalam bukunya “Public Administration, Understanding Management, Politics and Law in The Public Sector” (2006:5) adalah: “Public administration is the use of managerial, political, and legal theories and processes to fulfill legislative, executive, and judicial mandates for the profision of governmental regulatory and service functions”. Akan tetapi mengingat sedemikian luasnya aspek kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang digeluti itu, maka sudah barang tentu tidak setiap permasalahan yang dihadapi dan tindakan yang akan diambil oleh administrasi negara telah tersedia aturannya. dalam keadaan seperti ini membawa administrasi negara kepada suatu kosekuensi khusus, yaitu memerlukan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting yang timbul dengan sekonyong-konyong dan yang peraturan penyelesaiannya
belum
ada.
Kemerdekaan
bertindak
atas
inisiatif
dan
kebijaksanaan sendiri ini, dalam Hukum Administrasi Negara disebut dengan pouvoir discrétionnaire, freies Ermessen, discretion atau dapat pula disebut dengan diskresi.
24
Adanya freies Ermessen ini bukannya tidak menimbulkan masalah, karena kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak warga negara menjadi semakin besar. Oleh karena itu bagaimana mengontrol kekuasaan administrasi negara agar tidak disalahgunakan (yang tecermin melalui onrechtmatigegeoverheidsdaad, detournementde pouvoir atau ultra vires, ataupun abus de droit), merupakan permasalahan yang relevan untuk dikaji. Di sinilah arti penting peranan Hukum Administrasi Negara, sebab di satu pihak ia dipergunakan untuk memungkinkan agar administrasi negara dapat menjalankan fungsinya (sebagai landasan kerja), tetapi di lain pihak Hukum Administrasi Negara diperlukan untuk melindungi warga masyarakat terhadap sikap tindak administrasi negara dan untuk melindungi administrasi negara itu sendiri. Agar freies Ermessen yang ada pada administrasi negara tersebut tidak disalahgunakan, maka diperlukan adanya tolok ukur pembatasan terhadap penggunaannya. Dengan perkataan lain ada batas toleransi yang mesti dipenuhi oleh administrasi negara dalam menggunakan freies Ermessen ini. Berdasarkan uraian di atas nyatalah bahwa freies Ermessen atau diskresi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Hukum Administrasi Negara dan Ilmu Administrasi Negara, sehingga adanya kajian mengenai makna dan peranan freies Ermessen atau diskresi dalam Hukum Administrasi Negara dan Ilmu Administrasi Negara akan menjadi sangat penting untuk lebih dikaji lebih dalam lagi.
25
2.2.2. Pengertian freies Ermessen dan Diskresi Istilah freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata frei dan freie yang artinya : bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Sedangkan kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi secara etimologis, freies Ermessen dapat diartikan sebagai "orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan". Selain itu istilah freies Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair atau diskresi, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti : menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada undang-undang. Dalam kepustakaan Ilmu Hukum Administrasi Negara telah banyak pakar yang memberikan batasan mengenai istilah ini. Prajudi Atmosudirdjo (1981:85) mengatakan: " ... asas diskresi (discretie; freies Ermessen), artinya, pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan asas legalitas" Senada dengan pendapat tersebut, Sjachran Basah (1981:85) mengatakan bahwa diperlakukannya freies Ermessen oleh administrasi negara itu : " .... dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri.......................terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang penting yang timbul tiba-tiba. Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak cepat membuat penyelesaian. Namun keputusankeputusan yang diambil menyelesaikan masalah-masalah itu, harus dapat dipertanggungjawabkan”.
26
Pada bagian lain dari buku tersebut freies Ermessen itu diartikan sebagai "kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu" "keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan melalui sikap tindak administrasi negara yang harus dapat dipertanggungjawabkan". Amrah Muslimin (1985:73) mengartikan freies Ermessen sebagai "lapangan bergerak selaku kebijaksanaannya" atau "kebebasan kebijaksanaan". Dari beberapa pendapat yang dikutip sebelumnya, pada hakikatnya tidak terdapat perbedaan yang prinsip, sebab inti hakikat yang dikandung adalah sama, yaitu adanya kebebasan bertindak bagi administrasi negara untuk menjalankan fungsinya secara dinamis guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak, sedangkan aturan untuk itu belum ada. Namun, harus diingat bahwa kebebasan bertindak administrasi negara tersebut bukan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya dan tanpa batas, melainkan tetap terikat kepada batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh Hukum Administrasi Negara. Sehubungan dengan hal ini, Hans J. Wolf (dikutip dari Markus Lukman, 1989:145-146) dalam bukunya Vtrwaltungsrecht jilid 1, mengatakan bahwa freies Ermessen tidak boleh diartikan secara berlebihan seakan-akan badan atau pejabat administrasi negara boleh bertindak sewenang-wenang atau tanpa dasar dan dengan dasar-dasar yang tidak jelas ataupun dengan pertimbangan yang subjektifindividual. Oleh karena itu, menurut Wolf, lebih baik jika dikatakan mereka bertindak berdasarkan kebijaksanaan. Biarkan urusan tersebut, sebaiknya pengertian freies Ermessen ini diberikan arti yang netral sebagai : " .... power to choose between alternative courses of action".
27
Sebagai konsekuensi diberikannya freies Ermessen kepada administrasi negara, maka administrasi negara memiliki pouvoir discretionnaire dan oleh karena itu dapat bertindak sebagai vrijbestuur. Dalam kaitan ini, timbul kekhawatiran dari kaum legis bahwa hal tersebut bertentangan dengan asas legalitas, terutama prinsip wetmatigeheid van bestuur, yang artinya semua perbuatan dalam pemerintahan itu harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan. Penulis berpendapat bahwa memang dalam suatu negara kesejahteraan, prinsip wetmatigeheid van bestuur tidak dapat lagi dipertahankan secara kaku. Kenyataan ini didukung oleh fakta bahwa apabila prinsip ini dianut secara kaku, maka administrasi negara akan sulit mengantisipasi setiap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, karena setiap saat harus menunggu peraturan perundang-undangan terlebih dahulu. Pada sisi lain, badan legislatif pun tidak dapat sepenuhnya menangani semua perkembangan yang terjadi, disebabkan beberapa kelemahan yang ada padanya, seperti yang dikatakan Sidney Low yang dikutip oleh Amrah Muslimin (1985:73); bahwa anggota badan legislatif terdiri dari "amatir-amatir" yang tidak sepenuhnya menguasai persoalan, disamping itu besarnya jumlah anggota legislatif pada akhirnya akan menyulitkan dalam mengambil suatu keputusan. Itulah sebabnya dalam suatu negara modern, peranan administrasi negara sebagai penyelenggara pemerintahan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan peranan
legislatif.
Sehingga
administrasi
negara
tidak
hanya
sekedar
28
melaksanakan undang-undang (legisme), melainkan demi terselenggaranya negara hukum dalam arti materil, memerlukan adanya freies Ermessen. Dengan diberikannya freies Ermessen ini maka administrasi negara tidak dapat lagi menunggu perintah dari badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif. Dalam hal demikian administrasi negaralah yang membuat peraturan penyelesaian yang diperlukan itu. Ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan legislatif, diserahkan kepada administrasi negara sebagai eksekutif. Hal ini menjadi kenyataan di setiap welfarstate. Dalam hal ini telah terjadi apa yang dalam kepustakaan dikenal sebagai delegatie van wetgeving bevoegheid. Uraian yang dikemukakan sebelumnya menunjukkan cukup pentingnya kegunaan freies Ermessen dalam negara hukum materil, karena ternyata di dalamnya terkait banyak aspek dan dimensi yang kesemuanya berpolar pada: kekuasaan (dalam wujud pouvoir discretionnaire, vrij bestuur, delegatie van wetgeving bevoegheid) dan hukum (dalam wujud asas legalitas, prinsip wetmatigeheid van bestuur dan rechtssouvereiniteit).
2.2.3. Siapakah atau Badan Negara Manakah yang dalam Konkretonya Memiliki freies Ermessen Dengan adanya freies Ermessen menyebabkan administrasi negara memiliki kekuasaan bertindak dalam menghadapi persoalan-persoalan yang mendesak dikarenakan aturannya belum ada, yang terwujud melalui kebijakannya. Pada dasarnya hal ini berarti bahwa administrasi negara menentukan "apakah
29
hukumnya" bagi persoalan tersebut, dan masalah ini erat kaitannya dengan masalah pertanggungjawabannya. Untuk melihat siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan maka harus diketahui terlebih dahulu badan administrasi negara mana yang memiliki freies Ermessen: apakah legislatif, eksekutif, atau yudikatif?. Jadi, dengan adanya kepastian mengenai pemegang freies Ermessen ini, kita dapat memastikan penanggungjawabnya. Oleh karena itu maka perlu dijawab apakah atau siapakah yang dimaksud dengan administrasi negara itu ?. Dari berbagai batasan mengenai administrasi negara yang terdapat dalam berbagai kepustakaan, penulis mengutip pendapat Sjachran Basah (1985:2) yang menyatakan bahwa : " ... administrasi negara, yakni alat perlengkapan negara (tingkat Pusat dan Daerah), yang menyelenggarakan seluruh kegiatan bernegara dalam menyelenggarakan pemerintahan". Sekilas timbul kesan bahwa batasan di atas merupakan pengertian dalam arti yang luas. Akan tetapi bila kita pelajari secara seksama, ternyata kita dapati pengertian administrasi negara dalam arti sempit. Sebab, demikian menurut Sjachran Basah, meskipun dalam rangka "menjalankan seluruh kegiatan bernegara dalam menyelenggarakan pemerintahan" itu, administrasi negara melakukan sikap-tindak yang berwujud trifungsi, namun hal tersebut janganlah digaduhkan atau dihubungkan dengan teori triaspolitica dari Montesquieu. Dengan perkataan lain sikap-tindak administrasi negara yang berwujud trifungsi tadi (yang berupa: membuat peraturan perundang-undangan dalam arti materiil yang bukan berbentuk undang-undang dan berderajat di bawah undang-
30
undang, melakukan tindakan administrasi yang nyata dan aktif, serta menjalankan fungsi peradilan) bukanlah arti triaspolitica Montesquieu. Dengan menggunakan cara berfikir teori sisa (residu théorie atau aftrek théorie), pengertian administrasi negara dapat dipertegas sebagai: "gabungan jabatan-aparat administrasi- yang dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian dan tugas pemerintah yang tidak dilakukan oleh badan pengadilan maupun badan legislatif. Adanya sikap-tindak administrasi negara yang berwujud trifungsi tersebut merupakan konsekuensi logis dari suatu negara kesejahteraan. Dalam konteks inilah pentingnya pembicaraan mengenai freies Ermessen dan delegatie van wetgeving bevoegheid dilihat. Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa freies Ermessen memang sebaiknya dipegang oleh pemerintah beserta seluruh jajarannya, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah. Karena itu dalam penggunaan freies Ermessen yang melanggar atau merugikan hak warga negara, maka terhadap pemerintah (eksekutif) dapat dimintai pertanggungjawaban melalui pengadilan. Pandangan ini kiranya sesuai dengan maksud Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Hal ini berlaku pula bagi badan usaha milik negara, terutama yang sumber pendanaannya masih menggantungkan diri kepada anggaran negara. Secara akademik ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk memperkuat pendapat penulis tadi, yaitu: a. pemerintah (eksekutif) memiliki aparat, keahlian, dan sarana yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan kedua badan hukum lainnya (legislatif dan yudikatif);
31
b. pemerintah (eksekutif)-lah yang sehari-hari secara riel berhubungan dengan masyarakat, oleh karenanya ia lebih mengetahui dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga apabila terjadi persoalan yang mendesak ia akan cepat mengetahui dan mengambil tindakan; c. keanggotaan badan legislatif yang relatif besar akan mempersulit dalam mengambil suatu tindakan yang cepat. Lagi pula, badan ini tidak memiliki anggota, keahlian, dan sarana yang selengkap pemerintah (eksekutif); d. bila freies Ermessen diberikan pula kepada badan yudikatif, maka jika terjadi pelanggaran terhadap hak warga negara, kepada badan yang manakah gugatan warga negara akan ditujukan? Jadi, kebebasan yang ada pada hakim itu bukan kebebasan atau keleluasaan dalam arti freies Ermessen, sebab ini-hakikat dari freies Ermessen adalah mengenai "kebijakannya". Jelas bahwa meskipun freies Ermessen itu pada akhirnya menentukan "apakah hukumnya" terhadap suatu persoalan yang konkret, tetapi dilihat dari hakikat fungsinya berbeda dengan penentuan hukum oleh hakim.
2.2.4. Peranan freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara Dari berbagai pendapat para pakar seperti yang telah dikemukakan, penulis sampai pada suatu kesimpulan bahwa freies Ermessen adalah: "kebebasan atau keleluasan bertindak administrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan".
32
Dengan adanya freies Ermessen ini maka administrasi negara dapat menjalankan fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga dalam menghadapi hal-hal yang sifatnya penting dan mendesak yang aturannya belum tersedia itu, administrasi negara atas inisiatifnya sendiri dapat langsung bertindak tanpa menunggu instruksi lagi. Jadi, administrasi negara dapat langsung dengan berpijak kepada asas kebijaksanaan. Dengan demikian sifatnya adalah spontan. Uraian di atas menunjukkan bahwa freies Ermessen merupakan kekecualian terhadap asas legalitas dalam arti yang sempit dengan prinsip wetmatigeheid van bestuur-nya. Hal ini bukan berarti dikesampingkannya sama sekali asas legalitas, karena sikap-tindak administrasi negara harus dapat diuji berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini tetap dipergunakan asas legalitas, hanya saja dalam pengertian yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Hal ini tercermin melalui rumusan penulis di muka yang tercakup dalam kata-kata "dapat dipertanggungjawabkan". Sehubungan
dengan
hal
itu,
Prajudi
Atmosudirdjo
(1981:77-78)
menyatakan: "Diskresi diperlukan sebagai pelengkap daripada asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang".
33
Melihat perkembangan yang semakin cepat dalam masyarakat pada suatu negara modern saat ini, maka dituntut pula kesiapan administrasi negara untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi itu. Dalam hal ini, sudah barang tentu asas legalitas (dalam arti mematigeheid van bestuur) tidak dapat lagi dipertahankan secara kaku. Sebab, adrninistrasi negara bukan hanya terompet dari suatu peraturan perundang-undangan, melainkan dalam melaksanakan tugasnya itu mereka wajib bersikap aktif demi terselenggaranya tugas-tugas pelayanan publik, yang kesemuanya itu tidak dapat ditampung oleh hukum yang tertulis saja. Oleh karenanya maka diperlukan freies Ermessen. Apabila kita hubungan dengan pendapat Sjachran Basah sebagaimana dikemukakan pada halaman terdahulu, maka implementasi freies Ermessen melalui sikap-tindak administrasi negara ini dapat berwujud : a. membentuk peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang secara materil mengikat umum; b. mengeluarkan beschikking yang bersifat konkret, final, dan individual; c. melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif; d. menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam hal "keberatan" dan "banding administrasi". Bertitik tolak dari uraian tersebut maka diperlukan freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara dapat dimanfaatkan untuk mengisi celah atau kekosongan hukum (rechtsvacuum), sehingga memperlancar gerak administrasi negara. Dengan demikian freies Ermessen berperan dalam mengisi, melengkapi, dan mengembangkan Hukum Administrasi Negara.
34
Dengan mendinamiskan studi tentang freies Ermessen dan implementasi dari freies Ermesen dalam bentuk pouvoir discretion atau discretion atau diskresi dalam studi Administrasi Negara atau Administrasi Publik, maupun pada studi Kebijakan Publik, akan sangat membantu Administrasi Publik dan Kebijakan Publik dalam menjawab tantangan perkembangan permasalahan publik yang semakin dinamis dan belum terakomodasi dalam peraturan-peraturan yang ada. Sehingga tidak boleh ada lagi pejabat publik yang tidak mengambil keputusan terhadap suatu permasalahan publik dikarenakan ketiadaan aturan yang mengaturnya.
2.2.5. Batas Toleransi Sebagai Tolok Ukur freies Ermessen Menilik pada batasan mengenai freies Ermessen yang dikemukakan sebelumnya, ternyata di dalamnya terkandung adanya tiga unsur pokok bagi suatu freies Ermessen. Ketiga unsur pokok tersebut sekaligus merupakan batas toleransi sebagai kunci tolok ukur dan freies Ermessen. Adapun ketiga unsur pokok yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Adanya kebebasan atau Keleluasaan Administrasi Negara untuk Bertindak atas Inisiatif sendiri; Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam suatu negara hukum modern semua sikap-tindak administrasi negara tidak lagi bersifat wetmatig, melainkan juga rechtsmatig. Artinya semua sikap tindak administrasi negara hendaklah tetap berada dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum, bukan yang dengan tegas dilarang oleh hukum. Kebebasan atau keleluasaan
35
administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri ini, harus pula berpegang pada hal tersebut. Berkaitan dengan hal ini Prajudi Atmosudirdjo (1981:85) membagi freies Ermessen menjadi dua macam, yaitu "diskresi bebas" dan "diskresi terikat". Dikatakan oleh beliau bahwa : " .. diskresi bebas, bilamana undang-undang yang menentukan batasbatasnya, dan diskresi terikat, bilamana undang-undang menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih salah satu yang oleh pejabat administrasi dianggap paling dekat". Berdasarkan pendapat ini dapat dikatakan bahwa kebebasan atau keleluasan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri itu dapat berupa : a. dalam batas-batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan (terjadi diskresi bebas); b. memilih salah satu alternatif yang paling mungkin sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (terjadi diskresi terikat). 2. Untuk menyelesaikan Persoalan-persoalan yang Mendesak yang Belum Ada Aturannya untuk itu; Kesulitan utama yang muncul adalah apakah kriteria atau tolak ukur untuk adanya "persoalan-persoalan yang mendesak" muncul secara tiba-tiba itu ? Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menggunakan istilah "dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa", sedangkan penjelasannya menggunakan istilah "dalam keadaan yang genting yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat". Dalam kepustakaan Hukum Tata Usaha Negara, hal ini disebut dengan noodverordeningsrecht dan yang menurut UUD 1945 kewenangan
36
berada pada Presiden sebagai kepala eksekutif. Jika kita melihat Pasal 12 UUD 1945 yang mengatur tentang "negara dalam keadaan bahaya”, memungkinkan Presiden selaku kepala negara berinisiatif melakukan tindakan yang cepat dan tepat guna mengatasi bahaya yang mungkin akan timbul. Hal yang terakhir ini disebut dengan staatsnoodrecht. Wewenang Presiden ini, baik selaku kepala eksekutif maupun sebagai kepala negara, tidak dapat dilaksanakan oleh menteri atau pejabat administrasi bawahan lainnya. Oleh karena itu keadaan mendesak dan keadaan darurat seperti ini tidak dapat dijadikan tolok ukur bagi menteri atau pejabat administrasi negara bawahan lainnya dalam melaksanakan tugas pelayanan publik. Namun hal ini tidak berarti mereka tidak dapat melakukan tindakan administrasi berdasarkan keadaan mendesak atau keadaan darurat, misalnya kewenangan Kepala Wilayah menurut Pasal 81 UU No. 5 Tahun 1974 di bidang politik-polisional (politioneelbeleia). Oleh karena itu perlu dirumuskan kriteria atau tolok ukur "persoalan-persoalan penting yang mendesak", dan dalam kaitan ini menurut Marcus Lukman (1989:165), hal tersebut sekurang-kurangnya mengandung unsur sebagai berikut: a. persoalan-persoalan yang muncul harus menyangkut kepentingan umum, yaitu : kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyak/bersama, serta kepentingan pembangunan; b. munculnya persoalan tersebut secara tiba-tiba, berada di luar rencana yang telah ditentukan; c. untuk menyelesaikan persoalan tersebut, peraturan perundang-undangan belum mengaturnya atau hanya mengatur secara umum, sehingga administrasi negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaikannya atas inisiatif sendiri;
37
d. prosedurnya tidak dapat diselesaikan menurut administrasi yang normal, atau jika diselesaikan menurut prosedur administrasi yang normal justeru kurang berdayaguna dan berhasil guna; e. persoalan tersebut tidak diselesaikan dengan cepat, maka akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum. 3. Harus Dapat Dipertanggungjawabkan; Oleh karena administrasi negara memasuki semua sektor kehidupan masyarakat, maka: " ... administrasi negara memiliki keleluasan dalam menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan.Walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun secara hukum?' Memang dapat dirasakan bahwa tanggung jawab secara moral terlalu abstrak untuk menilainya, tetapi disinilah letak moral pejabat administrasi negara dipertaruhkan. Akan tetapi Sjachran Basah(1981:98-99) menyatakan bahwa tanggung jawab secara moral itu adalah tanggung jawab : " .... kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama." Pertanggungjawaban secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa itu pengaturan dasarnya terdapat dalam UUD 1945 dan TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang P4. Dengan demikian penerapan freies Ermessen secara moral harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam pelbagai peraturan perundang-undangan, secara tersebar telah dimuat tuntutan adanya pemberian pertanggungjawaban secara moral ini, yaitu dengan dimuatnya masalah "sumpah/janji" jabatan seperti yang terdapat dalam : a. UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Di Daerah (Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (4));
38
b. UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Pasal 8 ayat (1) dan (2)); c. PP Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil (Pasal 1 dan 2); d. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1959 tentang Sumpah Jabatan Pegawai Negeri Sipil dan Anggota Angkatan Bersenjata (Pasal 2); e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1974 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Daerah (Pasal 8 ayat (1) dan (2)); f.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1974 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris DPRD (Pasal 7 ayat (1) dan (2)).
Khusus untuk Sumpah/Janji Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 9 UUD 1945 sedangkan sumpah/janji Pemangku Sementara Jabatan Presiden diatur dalam Pasal 6 ayat (3) TAP MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden RI berhalangan. Menurut Sjachran Basah, mengenai tanggungjawab secara hukum dapat dikemukakan dua batas yaitu “batas-atas” dan “batas-bawah”. Yang dimaksud dengan
"batas-atas"
ialah
ketaatasasan
ketentuan
perundang-undangan
berdasarkan asas taat-asas, yaitu peraturan yang ungkat derajatnya rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Adapun batas-batas ini berupa UUD 1945 jo. TAP MPR Nomor XX/MPRS/1966 serta TAP MPR Nomor V/MPR/1973. Sedangkan yang dimaksud dengan "batas-bawah", ialah peraturan atau sikap-tindak adrninistrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar
39
hak dan kewajiban asasi warga. Adapun batas-bawah ini adalah UUD 1945 jo. TAP MPR Nomor II/MPR/ 1973 pada bidang "hukum" butir 3.e. tentang penyusunan perundang-nndangan yang menyangkut hak dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 jo. Repelita Bab 27, yang pada hakekatnya, merupakan penjabaran Pasal27 ayat (Z) UUD 1945 sebagai kunci tolok ukur. Kemungkinan untuk menentukan apakah freies Ermessen akan bertambah menjadi ermessenfehler atau fehlerfrei, Sjachran Basah (Beberapa Permasalahan Pokok Sebelum Realisasi Efektif Pengadilan :, Dimuat dalam "Bunga Rampai HTN dan HAN", FH UII, hlm. 98 - 99.) berpendapat: "Secara yuridis dalam menentukan ermessenfehler itu, adalah batas toleransi, sebagai kunci tolok ukur di atas, yang secara hukum, berupa : (i) batas-atas, yang dapat dibandingkan dengan penglihatan dari luar, atau secara eksteren yang menyangkut ermessensuberschreitung dan ermessensunterscreitungáúam hal ini dapat dibanding-hubungkan dengan Pasal 53 ayat (2) huruf a UU Nomor 5 Tahun 1986. (ii) Batas-bawah, yang dapat dihubungkan dengan penglihatan dari dalam, atau intern yang menyangkut ermessenbranch. Dalam hal ini dapat dibanding-hubungkan dengan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c UU Nomor 5 Tahun 1986. Berdasarkan uraian mengenai pertanggungjawaban secara hukum ini, dapat disimpulkan bahwa ukuran tanggung jawab secara hukum adalah sebagai berikut : a. tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun secara horizontal (batas-atas); b. sejauh mungkin mempertimbangkan hak dan kepentingan warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (batas-bawah); c. harus sesuai dengan tujuan pemberian wewenang.
40
Dengan adanya berbagai tolok ukur seperti dikemukakan tersebut diharapkan bahwa penggunaan freies Ermessen, jangan sampai menimbulkan kerugian atau melanggar hak warga negara. Artinya pejabat administrasi negara wajib manusiawi dalam mengorbankan hak perorangan demi kepentingan umum, dan sejauh mungkin tetap memperhatikan kesejahteraannya. Kunci dan semuanya itu memang berada pada manusianya yaitu para pejabat administrasi negara itu sendiri. Hal ini sebenarnya telah dirumuskan oleh penjelasan umum IV, UUD 1945 yang berbunyi: " ... yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidupnya negara ialah semangat para penyelenggara negara, semangat pemimpin pemerintahan". Disinilah letak kedinamisan pelaksanaan freies Ermessen bagi administrasi negara dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan publik.
2.2.5. Kerangka Umum Diskresi Administrasi Negara Menurut Kerangka Umum Hukum Administrasi Negara (KUHAN) Adapun kerangka umum diskresi menurut Kerangka Hukum Administrasi Negara (KUHAN) yang disusun oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN), (2011:39) adalah: (pada halaman berikutnya)
41
Gambar 2.1. Kerangka Umum Diskresi Menurut KUHAN • • • • • Prasyarat Kondisional
• • •
Terjadi kekosongan hukum Peraturan per-UU-an yang ada tidak jelas atau multitafsir Ada pendelegasian berdasarkan per-UU-an Diperlukan untuk memenuhi kepentingan umum Mendesak dengan alasan dan motif yang memiliki dasar Perlu keputusan secara cepat, efisien dan efektif dalam rangka pelaksanaan UUD dan UU Bencana alam dan negara dalam keadaan darurat Pejabat yang mengambil tindakan diskrersi memiliki kewenangan sesuai masalah yang terjadi
Diskresi • • • • • • Syarat Umum Produk Tindakan Diskresi
• • • • • • • •
Sumber: LAN (2011:39)
Memenuhi unsur yuridis, nilai-nilai moral dan kearifan Memperhatikan rambu-rambu/batas aturan hukum Dapat dipertanggungjswabkan secara moral Tidak dimuati kepentingan pribadi Terukur dan seimbang Dapat dipertanggungjawabkan secara hukum di kemudian hari Mengutamakan keadilan,kesejahteraan dan kepentingan umum Tidak bertentangan dengan hukum/per-UUan lainnya Tidak bertentangan dengan HAM Tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan Memperhatikan pemberian kewenangan diskresi Dapat dipertanggungjawabkan sesuai asasasas pemerintahan yang baik Didasarkan pada pertimbangan dan perbuatan hukum pejabat lainnya Didasarkan pada fakta yang benar
42
Sebagai salah satu manifestasi delegasi dalam bentuk UU yang meletakkan kerangka dan batas batas tertentu (kaderwet atau Raamwetten) kepada pemerintah. Amrah Muslimin berpendapat bahwa diskresi adalah kebebasan kebijakan. Thomas J. Aaron (1964 : 9) di dalam bukunya "the control of Policy Discrettion" mendefinisikan diskresi sebagai berikut: “............ is a power or authority conferred by law of act on the basic of judgement or conscience, and it use more an idea of morals than law". Dengan penekanan argumentasi bahwa administrasi negara tidak boleh menolak mengambil keputusan hanya karena tak ada peraturannya, Prajudi Atmosudirdjo (1986 : 77-78) mengartikan diskresi sebagai: " .......... kebebasan bertindak atau mengambil keputusan daripada para pejabat Administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapatnya sendiri". Pengertian diskresi yang lebih sederhana tetapi dipandang sangat esensial, dapat dipahami melalui pemikiran yang dikemukakaan Stanley de Smith (1989 : 571) yang menurutnya Diskresi dimaksudkan sebagai:"...., implies power to choose between alternative course of action". Sementara menurut Syahran Basah (1986 : 219) adalah : “kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu"; ataupun juga merupakan "keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan. walaupun demikian sikap-tindaknya itu haruslah dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun hukum". Penyelenggaraan pemerintahan, dalam arti proses sebagai proses kegiatan dari admihistrasi negara, adalah untuk merealisasikan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam kelompok pemerintahan welfare state tujuan itu adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat (umum). Pada keadaan seperti itu administrasi
43
negara menjadi mandiri, paling tidak di dalam hal menentukan dan menetapkan prioritas-prioritas operasionalisasi. Dengan perkataan lain, bahwa pemberian pouvoir
discretionnaire
menyebabkan
terjadinya
perluasan
kekuasaan
adminsitrasi negara. Setidak-tidaknya ada dua masalah penting yang perlu diperhatikan dari perluasan kekuasaan administrasi negara, sebagai dampak pemberian pouvoir discretionnaire. Pertama, perluasan tersebut dapat menimbulkan ketegangan (spaningen) dalam kehidupan masyarakat. Ketegangan itu menurut W.F. Prins (1962 : 37)adalah antara kekuasaan (gezag) dengan kemerdekaan (vrijheid). Sedangkan menurut Wiarda adalah antara kekuasaan (gezag) dengan keadilan (gerechtigheid).
Kedua,
adalah
kemungkinan
timbulnya
praktek-praktek
pemerintahan Negara organis. Negara organis adalah Negara yang mempunyai kemauan dan kepentingan sendiri sebagaimana halnya seorang individu. Negara mengadakan campur tangan ke dalam segala urusan masyarakat atas dasar kepentingan dan kemauannya sendiri. Dalam Negara organis ini, kepentingan dan kemauan negara yang diselenggarakan administrasi negara adalah identik dengan kesejahteraan maupun kemajuan masyarakatnya. Berbagai aspek positif tentu tersirat dalam Negara organis. Inisiatif secara aktif dan agresif dalam mencampuri seluruh bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat, akan dapat memacu atau mempercepat upaya pencapaian tujuan (ideide) Negara. Kondisi demikian terlebih-Iebih lagi pada kelompok Negara berkembang. Sebaliknya, aspek negative juga relative banyak tersirat di
44
dalamnya. Hal ini antara lain adalah dalam menetapkan prioritas-prioritas yang harus ditingkatkan. Secara keseluruhan, aspek-aspek negatif dari praktek negara organis dirasakan cukup tercermin dalam slogan dari Sjahran Basah (1986 : 48) : "memang kemakmuran dibutuhkan, akan tetapi keadilan lebih dibutuhkan”. Di dalam penyelenggaraan pemerintahan dikenal beberapa asas yang kerapkali dijadikan salah satu batu uji (tolak ukur) terhadap baik atau tidak baiknya
pemerintahan
suatu
Negara.
Agar
suatu
pemerintahan
dapat
diklasifikasikan sebagai pemerintahan yang baik, oleh Crince Le Roy dalam Koesoemahatmaja (1990 : 107-108) dikemukakan sebelas asas (prinsip) yang harus dipenuhi, yaitu: 1.
Asas kepastian hukum
2.
Asas Keseimbangan
3.
Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan
4.
Asas bertindak cermat atau seksama
5.
Asas motivasi
6.
Asas tidak menyalahgunakan wewenang
7.
Asas permainan tidak layak
8.
Asas pemenuhan pengharapan yang ditimbulkan
9.
Asas keadilan
10. Asas meniadakan akibat dari keputusan yang dibatalkan 11. Asas perlindungan cara hidup pribadi Oleh Koentjoro Purbopranoto (1981 : 30), kesebelas asas tersebut dimodifikasi sesuai dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan semangat UUD 1945. Hal ini
45
dengan menambah dua asas hingga seluruhnya menjadi tiga belas asas. Dua asas yang ditambah adalah: 1. Asas kebijaksanaan (sapientia), dan 2. Asas penyelenggaraan kepentingan umum Pada hakikatnya diskresi adalah salah satu bentuk tindakan pemerintahan atau kewenangan pejabat negara/pemerintahan yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah berdasarkan pada pertimbangan pribadi dan hati nuraninya dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku, asas-asas umum pemerintahan yang baik serta norma-norma yang berkembang di masyarakat, dan ditujukan untuk keperluan kepentingan umum. 2.2.6.1. Prasyarat Kondisi Tindakan Diskresi Pada hakikatnya, syarat-syarat kondisi melakukan tindakan diskresi adalah sebagai berikut a. Apabila terjadi kekosongan hukum atau peraturan perundang-undangan terkait situasi, keadaan atau permasaiahan tertentu yang harus diatasi, belum ada, atau tidak mengatur, b. Apabila rumusan peraturannya perundang-undangannya bersifat samar dan menimbulkan multitafsir. c. Apabila ada pendelegasian berdasarkan perundang-undangan d. Apabila diperlukan untuk pemenuhan kepentingan umum e. Apabila mendesak dan alasannya memiliki dasar serta dibenarkan motif perbuatannya f. Apabila diperlukan keputusan yang lebih cepat, efisien, dan efektif dalam
46
mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Undang-undang, g. Apabila untuk mengatasi suatu kasus dan permasalahan umum yang bersifat darurat, bencana alam, atau Negara dalam keadaan darurat h. Pejabat mengambil tindakan diskresi memiliki hak atau kewenangan.,
2.2.6.2. Syarat Umum Produk Tindakan Diskresi Syarat-syarat umum sebuah produk hasil tindakan diskresi, pada hakikatnya adalah sebagai berikut. 1. Harus memenuhi unsur yuridis, nilai-nilai moral dan kearifan pada situasi sekompleks apa pun. 2. Harus memperhatikan rambu-rambu atau batas-batas aturan/hukum yang berlaku 3. Harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral (noodzakelijk), 4. Tidak dimuati kepentingan pribadi (zakelijk), antara pejabat dengan produk diskresi 5. Harus terukur atau seimbang antara tindakan dengan berat ringannya kesalahan (even redig), serta tepat situasi (doelmatig). 6. Harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum di kemudian hari; 7. Harus
mengutamakan
keadilan,
kesejahteraan
dan
kepentingan
umum/masyarakat. 8. Tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya
47
9. Tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia 10. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. 11. Wajib memperhatikan tujuan dari pemberian kewenangan diskresi 12. Harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik 13. Harus adanya persetujuan dari masyarakat, jika diskresi akan merugikan. 14. Harus didasarkan pada pertimbangan dan perbuatan hukum pejabat negara/pemerintahan lainnya 15. Harus didasarkan pada fakta yang benar.
2.2.6.3. Asas-Asas Pembentukan Produk Hukum Administrasi Negara Melalui Diskresi Dalam membentuk suatu produk Hukum Administrasi Negara melalui tindakan diskresi harus memenuhi asas-asas sebagai berikut: a. Isi
pengaturan
dari
produk
Hukum
Administrasi
Negara
yang
diuat'menggunakan asas diskresi harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu: 1 ) Kepastian hukum 2) Keseimbangan 3) Kesamaan 4) Bertindak cermat 5) Motivasi 6) Tidak mencampuradukkan kewenangan 7) Permainan yang layak
48
8) Keadilan atau kewajaran 9) Menanggapi pengharapan yang wajar 10) Meniadakan suatu akibat keputusan-keputusan yang batal 11) Perlindungan pandangan hidup pribadi 12) Kebijaksanaan . 13) Pelaksanaan kepentingan umum: a. Tindakan diskresi yang dilakukan dalam rangka pembentukan produk suatu Hukum
Administrasi
Negara,
harus
menggambarkan
tindakan
yang
mengutamakan asas-asas: 1) Kepastian hukum; 2) Keseimbangan; 3) Kecermatan/kehati-hatian; 4) Ketajaman dalam menentukan sasaran; 5) Kebijakan; 6) Gotong royong. 2.2.6.4. Extraordinary Freies Ermessen Istilah freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata frel dan freie yang artinya : bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Sedangkan kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi secara etimologis,
freies
Ermessen
dapat
.diartikan
sebagai
orang
yang
mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.
49
Selain itu istilah freis Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat berarti: menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada undangundang. Dalam kepustakaan IImu Hukum Administrasi Negara telah banyak pakar yang memberikan bataswan mengenai istilah ini. Prajudi Atmosudirdjo mengatakan: " .... asas diskresi (discretie; freies Ermessen), artinya, pejabat tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan 'tidak ada peraturannya', dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yurudiktas dan asas legalitas... " Asas legalitas berarti bahwa setiap tindakan (keputusan) administrasi negara harus diambil berdasarkan atas suatu ketentuan undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan asas yuridiktas bahwa setiap tindakan (keputusan) yang diambil oleh administrasi negara tidak boleh melanggar hukum (onrechmatige
overheidsdaad).
Dengan
lain
perkataan,
setiap
tindakan
(keputusan) administrasi negara harus wetmatige dan rechmatige. Senada dengan pendapat tersebut, Sjahran basah mengatakan bahwa diperlakukannya freies Ermessen oleh administrasi Negara itu: “ .....dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak, atas inisiatif sendiri. ... terutama dalam penyelesaiaan persoalan-persoalan yang penting yang timbul secara tiba-tiba. Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak cepat, membuat penyelesaian. Namun keputusan-keputusan yang diambil untuk menyelesaikan masalah":masalah itu, harus dapat dipertanggungjawabkan'
50
Extraordinary freies ermessen hanya dilakukan apabila telah terpenuhi kriteria atau persyaratan sebagai berikut: 1. Telah terjadinya kondisi darurat yang nyata, sangat akut dan tiba-tiba. 2. Telah dipertimbangkannya secara cermat bahwa tidak ada pilihan lain kecuali melakukan suatu tindakan yang berpotensi melanggar hukum. 3. Telah diperhitungkannya secara cermat bahwa kerugian yang ditimbulkan akibat dilakukannya tindakan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan tujuan atau maksud dilakukannya tindakan tersebut. 4. Telah dipertimbangkannya secara cermat bahwa tindakan tersebut hanya untuk hal yang bersifat kepentingan umum yang harus segera dilindungi, dan pihak yang dirugikan hanya dalam jumlah yang sangat sedikit. 5. Telah dipersiapkannya kompensasi untuk pihak yang dirugikan. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, maka penulis berharap dapat mengkaji tepat atau tidaknya diskresi kebijakan yang dilakukan oleh PD Jati Mandiri Kota Cimahi dengan mengacu kepada terpenuhi atau tidaknya kriteria atau persyaratan dilaksanakannya suatu diskresi. 2.4. Hipotesis Kerja Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka penulis merumuskan hipotesis kerja sebagai berikut: Ketepatan pelaksanaan diskresi pada Perusahaan Daerah Jati Mandiri Kota Cimahi tergantung terhadap kriteria dan persayaratan Tindakan Diskresi.