10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2. 1
Sistem Penilaian Kinerja Suatu organisasi menerapkan sistem penilaian kinerja untuk mengalokasikan
imbalan bagi karyawan, memberikan saran pengembangan serta untuk memperoleh perspektif dan persepsi keadilan tentang pekerjaan mereka, departemen, manajer dan organisasi. Sebuah sistem penilaian kinerja terdiri dari berbagai unsur yang saling terkait dan terlibat dalam pelaksanaan, manajemen dan komunikasi di dalam penilaian kinerja (Walsh, 2011). Jawahar (2007) menjelaskan bahwa sistem penilaian kinerja berkaitan dengan proses dan prosedur yang mengatur penilaian kinerja dalam suatu organisasi. Sistem penilaian kinerja adalah sistem formal pemantauan karyawan yang melibatkan evaluasi kinerja berdasarkan penilaian dan pendapat dari bawahan, rekan kerja, supervisor, manajer bahkan pekerja itu sendiri dan merupakan cara atau mekanisme yang digunakan organisasi mengembangkan kompetensi, meningkatkan kinerja dan mendistribusikan penghargaan karyawan. William et al. (2000) mengidentifikasi empat tujuan sistem penilaian kinerja, yaitu : 1) Antara karyawan (between employees) (pengaturan gaji, promosi ke jabatan/posisi yang lebih tinggi, pemutusan hubungan kerja, mengidentifikasi karyawan yang memiliki kinerja rendah). 2) Di dalam seorang karyawan (within an employee) (mengidentifikasi kelemahan, kekuatan dan kebutuhan pelatihan karyawan ).
11
3) Pemeliharaan sistem (system maintenance) (membantu dalam evaluasi sistem karyawan (staffing), pencapaian tujuan organisasi, kebutuhan organisasi untuk pelatihan dan kebutuhan perkembangan organisasi). 4) Dokumentasi (documentation) (mendokumentasikan tindakan seluruh karyawan dan memiliki catatan terkait proses hukum). Sistem penilaian kinerja yang efektif dan efisien memerlukan sejumlah persyaratan agar menguntungkan organisasi dan karyawan yang bekerja untuk organisasi Wirawan (2009). Persyaratan tersebut antara lain sebagai berikut : 1) Relevansi Sistem penilaian kinerja harus relevan, artinya harus ada hubungannya dengan sejumlah faktor organisasi. Pertama, sistem penilaian kinerja harus ada hubungannya dengan strategi dan tujuan organisasi. Kedua, standar kinerja harus ada relevansinya dengan pencapaian strategi organisasi. 2) Reliabilitas Reliabilitas artinya konsistensi penilaian dari sistem penilaian kinerja. Sistem penilaian kinerja disebut reliabel atau dapat dipercaya jika seorang karyawan yang dinilai oleh dua orang penilai independen mempunyai nilai yang sama atau tidak terlalu berbeda. 3) Sensitivitas Sistem penilaian kinerja harus sensitif, artinya dapat membedakan kinerja sangat baik, baik, sedang, buruk dan sangat buruk.
12
4) Akseptabilitas Sistem penilaian kinerja harus akseptabel, artinya dapat diterima oleh mereka yang berkaitan dengan penilaian kinerja. Mereka yang berhubungan dengan penilaian kinerja pertama adalah organisasi atau perusahaan yang membuat sistem penilaian kinerja tersebut. Organisasi menggunakan penilaian kinerja untuk
mengukur
apakah
karyawannya
melaksanakan
pekerjaan
dan
menghasilkan kinerja seperti yang diharapkan. Penilaian kinerja juga harus diterima oleh karyawan yang dievaluasi. Jika sistem penilaian kinerja merugikan para karyawan, mereka akan menolak penilaian kinerja tersebut. Jika karyawan menolak, tetapi perusahaan memaksakannya, maka akan terjadi keresahan (grievance), ketidakpuasan dan stres kerja karyawan. Sistem penilaian kinerja juga harus dapat diterima oleh para manajer yang akan melaksanakannya. Manajer umumnya tidak menyukai sistem evaluasi kinerja yang rumit dan memerlukan waktu untuk melaksanakannya. Sistem penilaian kinerja seperti itu menyita waktu para manajer sehingga mereka kurang memiliki waktu untuk mengembangkan pekerjaan dalam unitnya. 5) Praktikal Sistem penilaian kinerja harus praktis artinya mudah dipahami dan dapat dilaksanakan oleh para manajer dengan mudah. Jika tidak praktis akan terjadi penolakan dari para manajer atau para karyawan. Praktis tidaknya sistem penilaian kinerja ditentukan oleh kriteria berikut : (1) sederhana, (2) tidak memerlukan waktu banyak (time consuming) dan (3) tidak berisiko tinggi.
13
6) Tidak melanggar undang-undang Baik di negara-negara maju maupun di Indonesia, tidak ada undang-undang khusus yang mengatur penilaian kinerja. Jika organisasi memilih untuk menyusun dan melaksanakan penilaian kinerja, penilaian tersebut harus tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada. Misalnya, Pasal 6 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Pasal ini merupakan pelaksanaan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Peter Allan (1994) mengemukakan tiga belas persyaratan agar sistem penilaian kinerja dapat efektif, sebagai berikut : 1) Sistem penilaian kinerja harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari organisasi 2) Faktor-faktor penilaian harus subjektif dan sekonkret mungkin 3) Penilaian kinerja harus bebas dari bias 4) Prosedur dan administrasi penilaian kinerja harus seragam 5) Sistem penilaian kinerja harus mudah untuk dioperasikan 6) Hasil sistem penilaian kinerja harus dipakai untuk mengambil keputusan 7) Sistem penilaian kinerja harus menyediakan suatu telaah atau proses naik banding 8) Sistem harus dapat diterima oleh para pemakai
14
9) Sistem penilaian kinerja harus dapat dioperasikan secara ekonomis 10) Penilaian kinerja harus didokumentasikan 11) Penilai harus terlatih dan mempunyai kualifikasi untuk melaksanakan penilaian kinerja 12) Sistem penilaian kinerja harus menyediakan cara memonitor dan mengevaluasi pelaksanaannya 13) Manajemen puncak harus mendukung sistem penilaian kinerja dengan jelas Dalam sejarah penilaian kinerja, terdapat sejumlah pendekatan yang digunakan oleh sistem penilaian kinerja berbagai organisasi. Secara umum, pendekatanpendekatan yang berbeda tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu (1) Pendekatan sifat pribadi, (2) Pendekatan hasil kerja, (3) Pendekatan perilaku kerja dan (4) Pendekatan campuran. Keeping dan Levy (2000), menyatakan terdapat empat komponen utama dari penerapan sistem penilaian kinerja yang nantinya dapat dievaluasi apakah sistem yang digunakan efektif atau gagal, yaitu : 1) The Appraisal Process yaitu, panduan terhadap kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk mengimplementasikan dan mengelola proses penilaian kinerja. 2) The Appraisal Interview yaitu, berkenaan dengan pertemuan formal yang diadakan antara penilai dan ternilai sebagai proses untuk menyampaikan umpan balik kepada ternilai, membahas hasil penilaian kinerja, mendefinisikan dan mendiskusikan tujuan kinerja yang perlu dicapai di masa depan. 3) The Appraisal Outcome yaitu, berkaitan dengan kesempatan pelatihan, pengembangan karir, kenaikan gaji, dan performance rating.
15
4) Fairness yaitu, berkaitan dengan keterbukaan yang didalamnya terdapat aspek akurasi, transparansi, tepat waktu dan akuntabel. George Ndemo et al. (2012), menyatakan terdapat lima komponen yang berpengaruh terhadap penerapan sistem penilaian kinerja, yaitu : 1) Process of the Performance Appraisal System, adalah melibatkan guidelines atau prosedur yang mengatur tentang proses sistem penilaian kinerja yang di dalamnya terdapat waktu pelaksanaan penilaian, tujuan dan target kinerja yang ingin dicapai. 2) Informational Factors, adalah berkaitan dengan interaksi dan komunikasi antara rater dan ratee yang nantinya akan terdapat evaluasi dari proses penilaian kinerja. 3) Rater Accuracy, adalah berkaitan dengan ketepatan, dan keterbukaan di dalam membahas hasil kinerja karyawan, terutamanya untuk menghilangkan aspek bias. 4) Interpersonal Factors, adalah berkaitan dengan persepsi keadilan dan kepercayaan yang diterima oleh rates, tidak adanya kepercayaan dapat membuat rates tidak puas sehingga seluruh sistem penilaian kinerja tidak akan efektif. 5) Employee Attitude, adalah berkaitan dengan kepuasan karyawan terhadap sistem penilaian kinerja, sistem yang digunakan harus formal, dimensi kerja harus relevan, adanya kesempatan untuk bertanya dan mengajukan banding dan memiliki tindakan yang cepat untuk menangani setiap kelemahan. Sistem penilaian kinerja yang diterapkan di Aerofood ACS sering disebut juga sistem imbal jasa atau merit pay system, sistem imbal jasa menetapkan hubungan formal
16
antara upaya dan kinerja individual karyawan dengan imbalan yang diterimanya. Karyawan mempunyai hak untuk menerima upah dan kenaikan upah jika telah menunjukkan kinerja tertentu. Makin tinggi kinerja pegawai, makin tinggi persentase kenaikan upah yang diterimanya pada level kepangkatan/grade atau posisinya. Efektivitas merit pay system bergantung pada sistem penilaian kinerja yang dapat menjaring kinerja karyawan dengan baik. Sistem penilaian kinerja yang digunakan memungkinkan perusahaan menjaring kinerja karyawan sesuai dengan kompensasi yang akan dibayarnya. Penilaian kinerja organisasi yang menggunakan pola merit pay system berupaya menjaring tinggi rendahnya kinerja seorang karyawan pada posisi tertentu dalam kurun waktu penilaian kinerja. Selain itu, tinggi rendahnya kinerja karyawan menentukan apakah ia berhak untuk mendapatkan kenaikan pangkat/grade atau jabatan. Persepsi karyawan terhadap sistem penilaian kinerja merupakan unsur penting dalam menentukan jangka panjang efektivitas suatu sistem, tidak hanya manajer, bawahan umumnya berbeda persepsi tentang suatu sistem penilaian yang efektif, tetapi mereka juga berbeda dalam hal apa yang menyebabkan penilaian tidak menjadi efektif. Longenecker dan Nykodym (1996) menemukan bahwa bawahan percaya penilai adalah kunci keberhasilan sistem dengan penekanan pada hal yang lebih efektif yakni perencanaan, umpan balik yang berkelanjutan dan pemantauan kinerja yang lebih baik oleh pengawas. Manajer, di sisi lain, cenderung untuk fokus pada desain sistem, operasi dan dukungan masalah. Menurut Wright (2013), karyawan menemukan penilaian lebih berguna ketika mereka spesifik dan terfokus, terencana dan dipersiapkan dengan baik, mudah dimengerti dan ketika mereka memiliki lebih banyak keterlibatan dan kontrol
17
atas proses. Di sisi lain, penilai lebih peduli dengan isu-isu strategis, menjelaskan sistem penilaian mereka yang paling disukai seperti terkait dengan strategi bisnis, menantang, nilai tambah, dengan proses penetapan tujuan, direncanakan dengan baik, wajib dan terstruktur. Keberhasilan sistem penilaian juga tergantung pada persepsi karyawan, untuk aspek-aspek penting dari proses penilaian keadilan dan reaksi mereka. Alhasil, dengan perasaan ketidakpuasan, ketidakadilan dalam proses dan ketidakadilan dalam evaluasi, setiap sistem penilaian akan ditakdirkan untuk gagal (Cardy dan Dobbins, 1994). Skarlicki dan Folger (1997) menunjukkan bahwa proses penilaian dapat menjadi sumber ketidakpuasan yang ekstrim ketika karyawan percaya sistem bias, politik atau tidak relevan. Steven et al. (2011) memberikan perspektif yang lebih lengkap dan terbaik mengenai praktek untuk penilaian kinerja karyawan dalam organisasi global. Perspektif yang dihasilkan adalah pelatihan yang memadai harus disediakan untuk para penilai dan yang dinilai dalam rangka menghindari banyak kesalahan penilaian yang umum dalam penilaian kinerja. Pelatihan harus mencakup perbedaan budaya, hukum dan pelanggan suatu negara dengan menyediakan manajer alat untuk memperbaiki proses penilaian kinerja. Manajer juga harus diberi kesempatan untuk membangun hubungan yang diperlukan dengan karyawan. Berdasarkan beberapa penelitian di atas sistem penilaian kinerja adalah prosedur pemantauan karyawan yang melibatkan evaluasi kinerja berdasarkan penilaian dan pendapat dari bawahan, rekan kerja, supervisor, manajer yang didalamnya terdapat
18
aspek keterbukaan dengan tujuan untuk pengembangan karir, pelatihan, kenaikan gaji dan performance rating. 2. 2
Kepuasan Kerja McShane dan Von Glinow (2008) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah
evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya. Kepuasan kerja terkait dengan penilaian tentang karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja. Karyawan yang puas mempunyai penilaian yang baik tentang pekerjaan mereka, berdasarkan pengamatan dan pengalaman mereka. Kepuasan kerja benar-benar merupakan sekumpulan sikap tentang aspek-aspek yang berbeda dari tugas dan konteks pekerjaan. Noe et al. (2011) mendefinisikan variabel ini sebagai perasaan senang sebagai akibat persepsi bahwa pekerjaan seseorang memenuhi atau memungkinkan terpenuhinya nilai-nilai kerja penting bagi orang itu. Definisi ini merefleksikan tiga aspek penting, yaitu : 1)
Kepuasan kerja merupakan fungsi nilai yang didefinisikan sebagai apa yang ingin diperoleh seseorang baik sadar maupun tidak sadar
2)
Beragam karyawan memiliki pandangan yang juga berbeda-beda menyangkut nilai-nilai yang dirasa penting dan sangat berpengaruh terhadap penentuan sifat dan derajat kepuasan mereka
3)
Persepsi individu bisa saja bukan merupakan refleksi yang sepenuhnya akurat terhadap realitas, dan beragam orang bisa memandang situasi yang sama secara berbeda-beda
19
Kepuasan kerja merupakan tanggapan seorang karyawan berupa sikap terhadap organisasinya. Sebagai sebuah sikap, kepuasan kerja merupakan konseptualisasi dari komponen evaluasi, kognitif, dan afektif. Antoncic (2011) mencatat beberapa riset terdahulu tentang sumber-sumber kepuasan, yaitu : 1)
Kepuasan umum yang berhubungan dengan pekerjaan, termasuk didalamnya kondisi kerja, jam kerja, dan reputasi perusahaan.
2)
Hubungan karyawan, terdiri dari hubungan antar karyawan dan juga wawancara personal tahunan dengan karyawan.
3)
Remunerasi, benefits, dan budaya organisasi, unsur-unsur ini termasuk gaji, remunerasi dalam bentuk benefit dan pujian, promosi, pendidikan, sifat permanen pekerjaan, dan iklim dan budaya organisasi.
4)
Loyalitas karyawan Karyawan puas dengan sistem penilaian kinerja mereka ketika ada kepercayaan
dari pengawas dan ketika pengawas mendukung umpan balik dari hasil penilaian, khususnya di bidang pengembangan keterampilan, pay for performance, dll. Kemajuan karir terjadi selama sesi penilaian, dan bawahan merasa bahwa mereka diberi waktu yang cukup untuk mengekspresikan perspektif mereka, memiliki kesempatan untuk mempengaruhi hasil dan penjelasan yang cukup dari peringkat penilaian mereka (Whiting, et. al 2007). Menurut Luthans (2006) kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : 1) Pekerjaan itu sendiri, yaitu variasi pekerjaan dan kontrol atas metoda serta langkah-langkah kerja.
20
2) Kepuasan terhadap kompensasi, yaitu imbalan finansial yang diterima oleh karyawan meliputi gaji dan tunjangan, (diukur melalui rasa keadilan, sebanding dengan tempat kerja lain yang sejenis, dan jumlah gaji yang di berikan sesuai dengan profesi). 3) Kesempatan promosi karir, yaitu kesempatan untuk maju dan mengembangkan diri dalam organisasi. 4) Kepuasan terhadap supervisi, yaitu kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku melalui proses komunikasi untuk tujuan tertentu, (diukur melalui pemberian arahan oleh atasan dengan obyektif, menegur ketika bersalah, dan umpan balik positif ketika bekerja dengan benar). 5) Kepuasan terhadap hubungan personal, yaitu interaksi dan keterlibatan dengan rekan kerja, atasan, bawahan dan lain-lain, dalam melakukan suatu pekerjaan, (diukur melalui komunikasi dengan atasan, bekerjasama dengan sesama karyawan dan sikap saling menghargai). Khim Ong et al. (2008), melakukan penelitian pada penilaian guru di sekolah dasar Singapura. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji atribut dari sistem penilaian kinerja, bagaimana atribut-atribut mempengaruhi kepuasan dan stres yang dialami dengan sistem penilaian kinerja, sikap terhadap bonus kinerja, kepuasan kerja, dan motivasi, dan kegotong-royongan yang dirasakan di antara para guru. Penelitian dilakukan melalui metode kuesioner dan dibagikan kepada 125 guru tetapi hanya 85 yang diambil karena mereka menanggapi survei atas dasar sukarela. Kuesioner bertanya tentang data demografi mereka, sikap terhadap pekerjaan, keinginan memiliki sistem penilaian kinerja yang baru, sistem penilaian kinerja saat ini, dan kepuasan dari sistem
21
penilaian kinerja. Hasil dari temuan menunjukkan bahwa keadilan dan kejelasan sistem penilaian kinerja terkait dengan kepuasan yang lebih besar dengan sistem penilaian kinerja. Sebagai kesimpulan, penelitian ini memberikan wawasan tentang bagaimana berbagai atribut dari sistem penilaian kinerja yang berhubungan dengan hasil seperti kepuasan kerja dan motivasi. Temuan ini dapat membantu untuk merancang dan mengimplementasikan sistem penilaian kinerja yang lebih efektif. Rabia Karimi et al. (2011) meneliti hubungan sistem penilaian kinerja dan kepuasan kerja karyawan di organisasi internasional nirlaba. Berdasarkan tanggapan dari 53 responden laki-laki dan 48 responden perempuan hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara sistem penilaian kinerja karyawan dan kepuasan kerja karyawan. Hasil mengkonfirmasi bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara karyawan pria dan wanita sehubungan dengan penilaian kinerja mereka dan kepuasan. Ini menegaskan bahwa sistem penilaian kinerja dalam praktek cukup adil untuk menjaga semua karyawan puas. Hasil dari penelitian ini adalah sejalan dengan Khan (2007) dan berbeda dengan studi penelitian Bricker (1992) yang menyatakan bahwa karyawan tidak puas dengan sistem penilaian kinerja yang diadopsi oleh organisasi mereka. Banyak peneliti menegaskan bahwa kepuasan karyawan adalah kunci untuk individu yang lebih baik dan atau kinerja organisasi (Schneider et al., 2003). Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas kepuasan kerja adalah evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya yang diukur berdasarkan dimensi karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja.
22
2. 3
Stres Kerja Menurut Spielberger (2003) menyebutkan bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan
eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. Ada beberapa alasan mengapa masalah stres yang berkaitan dengan organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini Nimran (1999). Di antaranya adalah: 1) Masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan, dan posisinya sangat penting dalam kaitannya dengan produktifitas kerja karyawan. 2) Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari luar organisasi, stress juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami keberadaannya. 3) Pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan pemahaman terhadap cara-cara mengatasinya, adalah penting sekali bagi karyawan dan siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan organisasi yang sehat dan efektif. 4) Banyak di antara kita yang hampir pasti merupakan bagian dari satu atau beberapa organisasi, baik sebagai atasan maupun sebagai bawahan, pernah mengalami stres meskipun dalam taraf yang amat rendah. 5) Dalam zaman kemajuan di segala bidang seperti sekarang ini manusia semakin sibuk. Di situ pihak peralatan kerja semakin modern dan efisien, dan di lain pihak beban kerja di satuan-satuan organisasi juga semakin bertambah.
23
Keadaan ini tentu saja akan menuntut energi pegawai yang lebih besar dari yang sudah ada. Sebagai akibatnya, pengalaman-pengalaman yang disebut stres dalam taraf yang cukup tinggi menjadi semakin terasa. Masalah-rnasalah tentang stres kerja pada dasarnya sering dikaitkan dengan pengertian stres yang terjadi di lingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi antara seorang karyawan dengan aspek-aspek pekerjaannya. Di dalam membicarakan stres kerja ini perlu terlebih dahulu mengerti pengertian stres secara umum. Cary Cooper dan Alison Straw (1995) mengemukakan gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini: 1) Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, rnerasa panas, otot-otot tegang, pencemaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah. 2) Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain. 3) Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan, penjengkel menjadi meledak-ledak. Sedangkan gejala stres di tempat kerja, yaitu meliputi: 1) Kepuasan kerja rendah 2) Kinerja yang menurun
24
3) Semangat dan energi menjadi hilang 4) Komunikasi tidak lancar 5) Pengambilan keputusan jelek 6) Kreatifitas dan inovasi kurang 7) Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif Semua yang disebutkan di atas perlu dilihat dalam hubungannya dengan kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya. Luthans (2000) mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda. Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses beriikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur.
25
Davis dan Newstrom (1999) stres kerja disebabkan: 1) Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi karyawan. 2) Supervisor yang kurang pandai. Seorang karyawan dalam menjalankan tugas sehari-harinya
biasanya
di
hawah
bimbingan
sekaligus
mempertanggungjawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan benar. 3) Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan bcrkaitan dengan keahlian, pcngalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang lerbatas. Akibatnya, karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan atasan. 4) Kurang mendapat tanggung jawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan. 5) Ambiguitas peran. Agar menghasilkan performan yang baik, karyawan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta
26
scope dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran. 6) Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme). 7) Frustrasi. Dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bisa disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustrasi kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian kinerja/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima. 8) Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebut tidak umum. Situasi ini bisa timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang di lalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada di bawah perusahaan pertama. 9) Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran intersender,
dimana
pegawai
berhadapan
dengan
harapan
organisasi
terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi di bawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternatif.
27
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja tergantung pada individu karyawan, tetapi aman untuk mengatakan bahwa orang-orang yang mengalami stres yang tidak diinginkan biasanya juga mengalami sedikit kepuasan dari pekerjaan. Kepuasan kerja dan stres sering dianggap berhubungan semata-mata dengan cara ini, tetapi ada koneksi lain yang perlu dipertimbangkan juga. Sebagai contoh, seorang karyawan dengan kepuasan kerja dinyatakan tinggi mungkin akan lebih mampu menangani periode stres yang ekstrim yang berkaitan dengan pekerjaan karena dia merasa bahwa stres tersebut bermanfaat untuk kepentingan perusahaan. Demikian juga, perusahaan yang menghargai kebahagiaan karyawan menciptakan ikatan tambahan antara kepuasan kerja dan stres karena, untuk menjaga kepuasan, manajer dan pejabat perusahaan lain harus sangat selaras dengan situasi yang menyebabkan stres. Menurut Cary Cooper (2009), stres kerja disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1) Kondisi pekerjaan, meliputi beban kerja berlebihan secara kuantitatif, yaitu banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas kerja karyawan, sehingga karyawan mudah lelah dan berada dalam tekanan tinggi. Secara kualitatif, yaitu bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit diselesaikan sehingga menyita kemampuan karyawan dan waktu kerja. 2) Stres karena peran, meliputi ketidakjelasan peran di dalam melaksanakan pekerjaannya dan tidak mengetahui apa yang diharapkan oleh manajemen 3) Faktor interpersonal, meliputi hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang buruk dan kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan
28
4) Perkembangan karir, meliputi proses promosi ke jabatan yang lebih tinggi dan terkait dengan keamanan pekerjaan. 5) Struktur organisasi, meliputi struktur yang tidak jelas, pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang dan ketidakterlibatan dalam membuat keputusan 6) Tampilan rumah-pekerjaan, meliputi mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi, kurangnya dukungan dari keluarga, konflik pernikahan dan stres karena memiliki dua pekerjaan Teratanavat et al. (2006) menemukan proses sistem penilaian kinerja memiliki hasil seperti mengurangi stres karyawan, review kemajuan secara keseluruhan, hubungan antara kinerja saat ini dan tujuan karyawan, dan rencana pengembangan tindakan tertentu untuk masa depan. Khaled A. et al. (1995) melakukan penelitian dengan tanggapan dari 442 karyawan bekerja di 23 organisasi yang berbeda di Arab Saudi untuk menilai tingkat stres dan perbedaan mereka sehubungan dengan kewarganegaraan (Saudi, Arab, Asia dan Barat), usia, jabatan, jenis organisasi (publik, semi-swasta, swasta) dan ukuran organisasi (kecil, menengah, besar). Temuan menunjukkan bahwa, sumber utama stres bagi karyawan yang bekerja di organisasi swasta adalah kurangnya pengetahuan tentang hasil penilaian kinerja mereka, sementara, ini tidak berlaku untuk karyawan yang bekerja di organisasi publik, karyawan Saudi memiliki tingkat stres tertinggi, dengan Arab kedua, Asia ketiga, sementara orang Barat ( Eropa dan Amerika Utara ) terdaftar memiliki tingkat stres terendah. Karyawan dengan pengalaman dan usia kurang dari 30 tahun memiliki tingkat stres tertinggi, karyawan dengan pengalaman kerja antara 6 sampai 10 tahun juga menunjukkan tingkat stres tertinggi dan ada hubungan terbalik
29
yang signifikan antara tingkat pendidikan dan tingkat stres. Berdasarkan beberapa penelitian di atas stress kerja adalah evaluasi individu terkait kesesuaian kapasitas individu dengan tuntutan lingkungan kerja.