BAB II Kajian Pustaka
2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun temurun menurut hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya diwariskan kepada anak laki-laki. Ada kesan kedudukan wanita atau perempuan tergolong rendah yang diambil dari beberapa pengertian yang bertolak dari anggapan adanya mas kawin (tukur), seakan perempuan dijual. Adanya lakoman dan gancih abu1 yang menandakan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal dan perempuan tidak mendapat warisan. Sebenarnya pendapat demikian sangat dangkal dan tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang kultur budaya masyarakat Karo. Emas kawin pengertiannya bukanlah menandakan wanita itu dijual tetapi merupakan perubahan status dari seorang gadis serta dianggap golongan kedalam kelompok merga lain. Lakoman dalam masyarakat Karo bukanlah merupakan suatu paksaan setelah suaminya meninggal dimana ia tidak otomatis bercerai dengannya. Adat memberikan suatu kesempatan ia kawin dengan saudara suaminya jika ia setuju dan dapat menolak bila ia tidak setuju.
1
Lakoman berarti saudara kandung laki-laki dari mendiang suami ditunjuk secara adat untuk mengambil alih tanggungjawab mendiang terhadap istri dan anak-anaknya baik secara jasmani dan rohani. Gancih abu berarti seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya, kemudian menikah lagi dengan saudara laki-laki dari suaminya tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai sistem kekeluargaan masyarakat Karo, Djaja S.meliala (1997 : 30) mengatakan : “…Sistem patrilineal dengan sistem perkawinan eksogami dengan membayar uang jujur dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan, membawa akibat bahwa: 1. Simempelai wanita setelah menikah dan setelah dibayar uang jujur mengikuti suaminya. 2. Anak-anak yang kemudian lahir dari perkawinan akan mengikuti klen ayahnya, dan hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan keturunan dan menerima warisan. 3. Harta yang diperoleh selama masa perkawinan adalah milik suami.” Dengan sistem kekeluargaan patrilineal yang dianut masyarakat Karo, di mana anak laki-laki menjadi penerus garis keturunan dari orangtuanya, maka hanya laki-laki saja yang berhak mewarisi harta kekayaan orangtuanya. Atas alasan itu pula maka wanita dalam adat masyarakat Karo sejak dahulu bukan merupakan ahli waris. Adanya ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, antara laki-laki dan perempuan yang menguntungkan kaum laki-laki ini oleh sejumlah ahli dikaitjkan dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan (male domination). Suatu bentuk organisasi sosial dalam mana laki-laki mendominasi perempuan oleh Mancions (1992:261) dinamakan patriarki (patriarchy). Sedangkan menurut bentuk sebaliknya, dalam mana perempuan mendominasi laki-laki dinamakan matriarki (matriarchy). Unit analisis mengenai wanita di dalam masyarakat, hal ini merupakan suatu perkembangan yang penting, karena status atau posisi seseorang pada suatu tatanan sosial berhubungan dengan kekuasaan. Dalam hal ini wanita sering sekali dirugikan, seperti halnya wanita di masyarakat Karo selalu mendapat posisi lebih rendah terutama dalam hal pembagian harta warisan, seperti hal yang telah diuraikan di atas. Di masyarakat Karo, anak perempuan seakan tersisih karena jenis kelamin. Terutama dalam
Universitas Sumatera Utara
hal pewarisan. Untuk menganalisa kedudukan wanita di masyarakat Karo dari perspektif gender kita akan menemukan sub-ordinasi mengacu pada “posisi bawah” dalam hubungan antara pria dan wanita. Diskriminasi juga yang dialami wanita Karo, sebagai akibat dari sistem kekeluargaan patrilineal yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris, dan mengabaikan hak anak perempuan. Perubahan sosial pada masyarakat Karo telah mampu merubah sebagian pemikiran perempuan untuk berani memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan merdeka dari ketertindasan kaum laki-laki. Keterikatan terhadap nilai-nilai adat budaya dalam pembagian harta warisan lambat laun mulai pudar karena perempuan menganggap hal ini tidak adil. Hal ini ditandai dengan dengan dikeluarkannya Keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961, tanggal 23 oktober 1961, yang menyatakan bahwa “…berdasarkan selain rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan. Berhubungan dengan itu maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya” (Soekanto, 1983: 263). Juga keputusan Mahkamah Agung No. 100 K/Sip/1967, tanggal 14 juni 1968, yang menyatakan bahwa (Soekanto, 1983: 263-264) : “…karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris telah merupakan yurispodensi yang dianut oleh Mahkamah Agung,…” (Soekanto, 1983: 263) 2.2 Analisis Gender
Universitas Sumatera Utara
Analisis gender muncul sebagai akibat dari kesadaran bahwa peningkatan peran wanita dalam pembangunan telah gagal membebaskan perempuan dari diskriminasi dan ketidakadilan. Salah satu yang dianggap menjadi persoalan terletak bukan pada kaum perempuannya, melainkan pada ideologi yang dianut oleh baik laki-laki maupun perempuan yang sangat berpengaruh dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, yakni bias gender dalam pembangunan. Analisis gender sebagai analisis sosial konflik memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan tersembunyi diberbagai tempat, seperti tradisi masyarakat, keyakinan keagamaan, serta kebijakan dan perencanaan pembangunan. Gender (bahasa Inggris) adalah suatu pemahaman sosial budaya tentang apa dan bagaimana lelaki dan perempuan seharusnya berperilaku. Oakley dalam (Mansour Fakih, 2002:171) dalam bukunya yang berjudul sex, gender dan society memberi makna gender sebagai perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang sosial constructed, yakni yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Menurut Caplan dalam (Mansour Fakih, 2002:171) yang dituliskan dalam bukunya yang berjudul The cultural construction of sexuality menegaskan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain secara biologis, sebagian justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin (sex) akan tetap tidak berubah. Perbedaan gender, melahirkan peran gender (gender role), yang sesungguhnya tidak menimbulkan masalah.
Universitas Sumatera Utara
Secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui, dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak pelu digugat. Peran gender melahirkan masalah yang perlu digugat, yakni “ketidakadilan” yang ditimbulkan oleh “peran gender” dan “perbedaan gender” tersebut. Berbagai manifestasi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi gender adalah sebagai berikut : 1.
Marginalisasi (kemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh perbedaan gender.
2.
Subordinasi pada salah satu jenis sex, yang umumnya pada kaum perempuan. selama berabad-abad atas alasan agama, kaum perempuan tidak boleh memimpin apapun, termasuk masalah keduniawian, tidak dipercaya untuk memberikan kesaksian, bahkan tidak mendapat warisan.
3.
Stereotype (pelabelan negative) terhadap jenis kelamin tertentu, terutama perempuan, dan akibat dari stereotype itu, terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya.
4.
Violence (kekerasan) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan. kekerasan di sini dimulai dari kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus, seperti pelecehan seksual (sexual harassment) dan penciptaan ketergantungan.
Universitas Sumatera Utara
5.
Burden (beban kerja). Karena peran gender adalah mengelola rumah tangga, banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden). Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat terlebih bagi kaum perempuan, yang juga bekerja di luar rumah. Mereka selain bekerja di luar, juga masih harus bertangung jawab untuk kepentingan seluruh pekerjaan domestik.
Analisa gender membantu memahami pokok persoalan, sistem dan struktur yang tidak adil. Baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender, sementara kaum laki-laki menjadi dehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender. Kesemua ketidakadilan gender tersebut, saling terkait dan saling mempengaruhi, dan tersosialisasi kepada laki-laki dan perempuan secara baik. Dimana lambat-laun ketidakadilan itu dianggap sebagai “kodrat” yang diterima dan tidak dirasakan ada yang salah. Perempuan adalah mayoritas yang dirugikan sehingga seolah-olah gender hanya menjadi alat memperjuangkan perempuan.
2.3 Akses Terhadap Kekayaan Di sebagian besar di kawasan Selatan, kekayaan (properti) biasanya dalam bentuk tanah, adalah kunci kelangsungan hidup, dan akses maupun kontrol terhadapnya sangat berkaitan dengan pola kekeluargaan dan perkawinan. Demikian pula, hak tanah dan kekayaan maupun perluasan kontrol keluarga atas anggotanya. Karena itulah mengejutkan bila perempuan di seluruh dunia, tidak memiliki akses yang setara dengan
Universitas Sumatera Utara
akses yang dimiliki oleh laki-laki terhadap tanah, dan sangat sedikit sekali perempuan yang memiliki kontrol penuh terhadap tanahnya yang berhasil diperoleh dengan usahanya sendiri. Pada saat yang sama, ada perbedaan pola yang besar dalam praktik pewarisan, yang diatur oleh kesukuan, agama, kebiasaan, maupun undang-undang setempat. Di banyak masyarakat, kekayaan diwariskan melalui garis patrilineal, tetapi tidak disebagian kecil masyarakat dimana pewarisan mengikuti garis matrilineal (seperti masyarakat Asanthe Ghana, dan masyarakat Rembau di Malaysia) kontrol atas kekayaan dan tanah cenderung tetap berada di tangan laki-laki, perbedaanya adalah bahwa dalam sistem matrilineal laki-laki adalah paman dari garis ibu, saudara laki-laki dan anak lakilaki dari perempuan.(Mansour Fakih 2002: 72-74). Di Negara Islam dan banyak Negara di Afrika sub-Sahara, di Peru, Bolivia dan Paraguay. Perempuan tidak memiliki hak waris yang sama dengan laki-laki. Menurut hukum Islam, waris yang diterima seorang anak perempuan dibatasi setengah dari yang diterima oleh anak laki-laki (karena anak perempuan diharapkan menikah dan kebutuhannya dipenuhi oleh suaminya, berarti membiarkan mereka tetap bergantung kepada anak laki-laki). Di Afrika sub-Sahara, hukum adat melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Hak tanah sering berpindah kepada laki-laki atas asumsi bahwa kepala keluarga senantiasa laki-laki. .(Mansour Fakih 2002:82). Secara tradisional, gagasan yang dianut tentang perilaku gender yang tepat bias sangat memperngaruhi kehidupan perempuan yang makin menguatkan pola-pola gender dalam masyarakat. Pemahaman tentang perbedaan gender dalam kepemilikan dan kontrol terhadap kekayaan, pembagian kerja secara seksual, dan nilai kerja ekonomi
Universitas Sumatera Utara
perempuan perlu diseimbangkan dengan pandangan lainnya, karena hidup perempuan juga ditentukan oleh pandangan tentang melahirkan anak, maupun peristiwa lainnya,-pubertas, kejandaan, yang dirasakan dan diatur oleh masyarakat. (Mansour Fakih 2002:82).
2.4. Kerangka Konsep Konsep dalam penelitian sangat diperlukan agar tidak menimbulkan kekacauan atau kesalahpahaman. Sehubungan dengan itu, maka batasan-batasan konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah : -
Persepsi Menurut kamus bahasa Indonesia yang disebut dengan persepsi adalah tanggapan sosial. Jadi pengertian persepsi adalah bagaimana tanggapan masyarakat Karo mengenai warisan terhadap wanita yang ditinggal mati suaminya bersuku Karo.
-
Warisan Menurut Hazairin warisan berasal dari kata “waris” yang berasal dari bahasa Arab “wraith” yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “waris” (Soekanto, 1983). Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggal oleh orang tuanya, yang kemudian diteruskan kepada anakanaknya (keturunannya), baik peninggalan yang berupa materiil maupun immateriil. Dalam masyarakat Karo ada warisan harta gono-gini (warisan yang dapat dibagi kepada anak perempuan dan anak laki-laki, merupakan hasil dari kerja keras suami maupun istri), dan harta warisan turun-
Universitas Sumatera Utara
temurun yaitu warisan yang diperoleh dari orang tua laki-laki dan hanya boleh diwariskan kepada anak laki-laki. Apabila dalam sebuah keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, warisan turun-temurun diserahkan kepada keluarga lain yang punya anak laki-laki. -
Suku Karo
Suku Karo adalah Suku Bangsa yang berasal dari dataran tinggi Tanah Karo. Suku Karo adalah satu Suku Bangsa Batak yang mendiami dataran tinggi Tanah Karo, dan ada sebagian yang menyebar (merantau) ke seluruh pelosok Tanah Air. - Janda Adalah seorang wanita yang setelah menikah, berpisah dengan suaminya karena kematian, atau seorang isteri yang suaminya telah meninggal dunia, tetapi dalam kultur orang Karo, wanita yang ditinggal mati oleh suaminya tidak disebut janda, Karena ia masih milik kerabat suaminya, sampai ia mengatakan secara lisan untuk meninggalkan kerabat suaminya dan mengembalikan uang jujur/mahar.
Universitas Sumatera Utara