10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Definisi Gonore mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Gonore yang terjadi pada wanita dan mengenai endoserviks disebut servisitis gonore (Daili, 2009). 2.2 Etiologi Gonore disebabkan oleh gonokok yang ditemukan oleh Neisser pada tahun 1879 dan baru diumumkan pada tahun 1882. Kuman tersebut dimasukkan dalam kelompok Neisseria, sebagai Neisseria gonorrhoeae. Selain spesies itu, terdapat 3 spesies lain, yaitu N. meningitides, dan 2 lainnya yang bersifat komensal N. catarrhalis serta N. pharyngis sicca. Keempat spesies ini sukar dibedakan kecuali dengan fermentasi (Daili,2009). Gonokok termasuk golongan diplokok berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u, panjang 1,6 u, dan bersifat tahan asam. Kuman ini bersifat negatifGram, tampak di luar dan di dalam leukosit, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan suhu di atas 39 derajat celcius, dan tidak tahan zat desinfektan (Daili,2009). Gonokok terdiri atas 4 tipe secara morfologik, yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai pili yang bersifat virulen, serta tipe 3 dan 4 yang tidak
11
mempunyai pili dan bersifat nonvirulen. Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi radang (Daili, 2009). Kuman ini menyerang membrana mukosa dengan epitel kolumner. Pada wanita endoserviks merupakan tempat primer dari infeksi gonore, juga bisa didapatkan pada uretra, sedangkan pada pria terdapat di uretra. Selain itu bisa didapatkan pada rektum dan faring baik wanita maupun pria. Pada wanita dengan gejala asimtomatis dan tanpa komplikasi secara mikroskopis dapat ditemukan sekitar 50-75% kuman gonokok gram negative dan pada penderita pria yang dicurigai menderita gonore dapat ditemukan 95% kuman tersebut secara mikroskopis (Daili, 2009). 2.3 Patofisiologi Gonokok menyerang epitel kolumner baik pada uretra, rectum, kunjungtiva pria maupun wanita, kanalis servikalis atau endoserviks pada wanita serta dapat pula mencapai tuba falopii, ovarium saat terjadi menstruasi. Selain itu dapat menyebar pada membran mukosa di luar vagina pada duktus atau glandula di sekitar vulva dengan jenis epitel yang sama yaitu epitel kolumner (Widyastuti, 2000). Gonokok mempunyai pili beberapa protein permukaan sehingga dapat melekat pada sel epitel kolumner dan menuju ruang subepitelial, serta dengan adanya lipooligosakarida yang terdapat pada gonokok akan menimbulkan invasi dan destruksi sel epitel mukosa secara progresif juga pada lapisan sub mukosa disertai dengan respons dari lekosit polimorfonuklear yang hebat.
12
Peradangan dan destruksi sel epitel tersebut menimbulkan duh tubuh mukopurulen (Widyastuti, 2000). 2.4 Gambaran Klinis Masa tunas gonore sangat singkat, pada pria umumnya berkisar antara 25 hari, kadang-kadang lebih lama. Pada wanita masa tunas sulit untk ditentukan karena pada umumnya asimtomatik (Daili, 2009). Tempat masuk kuman pada pria di uretra menimbulkan uretritis. Yang paling sering adalah uretritis anterior akkuta dan dapat menjalar ke proksimal, dan mengakibatkan komplikasi lokal, asendens serta deseminata. Keluhan subyektif berupa rasa gatal, panas di bagian distal uretra di sekitar orifisium uretrae eksternum, kemudian disusul disuria, polakisuria, keluar duh tubuh dari ujung uretra yang kadang-kadang disertai darah, dapat pula disertai nyeri pada waktu ereksi. Pada pemeriksaan tampak orifisium uretrae eksternum kemerahan, edema dan ektropin. Tampak pula duh tubuh yang mukopurulen. Pada beberapa kasus dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral atau bilateral (Daili, 2009). Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Hal ini disebabkan oleh perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin pria dan wanita. Pada wanita, penyakit akut maupun kronik, gejala subyektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan objektif. Pada umumnya wanita datang berobat kalau sudah ada komplikasi. Sebagian besar penderita ditemukan pada waktu pemeriksaan antenatal atau pemeriksaan keluarga berencana (Daili, 2009).
13
Infeksi pada wanita, pada mulanya hanya mengenai serviks uteri. Dapat asimtomatik, kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri pada panggul bawah. Pada pemeriksaan serviks tampak merah dengan erosi dan sekret mukopurulen. Duh tubuh akan terlihat lebih banyak, bila terjadi servisitis akut atau disertai vaginitis yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis (Daili, 2009). 2.5 Komplikasi Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genetalia. Komplikasi lokal pada pria bisa berupa tisonitis (radang kelenjar Tyson), parauretritis, littritis (radang kelenjar Littre), dan cowperitis (radang kelenjar Cowper). Selain itu, infeksi dapat pula menjalar ke atas (asendens), sehingga terjadi prostatitis, vesikulitis, funkulitis, epididimitis, yang dapat menimbulkan infertilitas. Infeksi pada uretra pars posterior, dapat mengenai trigonum kadung kemih menimbulkan trigonitis, yang member gejala poliuria, disuria terminal, dan hematuria (Daili, 2009). Pada wanita, infeksi pada serviks (servisitis gonore) dapat menimbulkan komplikasi salpingitis, ataupun penyakit radang panggul (PRP). PRP yang asimtomatik ataupun simtomatik dapat mengakibatkan jaringan parut pada tuba sehingga menyebabkan infertilitas atau kehamilan ektopik. Selain itu bila infeksi mengenai uretra dapat terjadi parauretritis, sedangkan pada kelenjar bartholini akan menyebabkan terjadinya bartholinitis (Daili, 2009). Komplikasi diseminata pada pria dan wanita dapat berupa arthritis, miokarditis, endokarditis, perikarditis, meningitis, dan dermatitis. Kelainan
14
yang timbul akibat hubungan kelamin selain cara genito-genital, pada pria dan wanita dapat berupa infeksi nongenital, yaitu orofaringitis, proktitis, dan konjungtivitis (Daili, 2009). 2.6 Epidemiologi Gonore pada Wanita Usia Subur Gonore ditularkan melalui hubungan seksual, dapat juga ditularkan kepada janin pada saat proses kelahiran berlangsung. Walaupun semua golongan rentan terinfeksi penyakit ini, tetapi insidens tertingginya berkisar pada usia 15-35 tahun. Di antara populasi wanita pada tahun 2000, insiden tertinggi terjadi pada usia 15 -19 tahun (715,6 per 100.000) (Irga, 2009). Kasus gonore di dunia diperkirakan terdapat lebih dari 150 juta setiap tahunnya, meskipun dibeberapa Negara cenderung menurun namun Negara lainnya cenderung meningkat. Perbedaan ini menunjukkan bervariasinya tingkat keberhasilan sistem dan program pengendalian IMS yang meliputi peningkatan informasi data, deteksi awal dengan menggunakan fasilitas diagnosis yang baik, pengobatan dini dan penelusuran kontak (Daili, 2009). Pengendalian IMS yang baik di Swedia menyebabkan insiden penyakit gonore terus menurun. Pada tahun 1962 di Inggris, rasio pria dibanding wanita dari 4 : 1, dan pada tahun 1985 menjadi 1,5 : 1. Penurunan rasio tersebut kemungkinan akibat meningkatnya “liberalisasi seksual” di kalangan wanita. Penurunan insiden IMS juga terjadi di Singapura yaitu dari 684 per 100.000 penduduk tahun 1979 menjadi 318 tahun 1985. Prevalensi gonore di Malaysia pada kalangan WTS 20%, di Etiopia pada kelompok wanita, prevalensi gonore sebesar 59% (Daili,2009). Kasus baru gonore di Amerika
15
Serikat pada tahun 1995 sebanyak 62.150.000 kasus meningkat menjadi 62.350.000 kasus pada 1999 (WHO, 2001). Data yang diambil dari beberapa RS di Indonesia bervariasi, di RSU Mataram tahun1989 dilaporkan kasus gonore yang sangat tinggi yaitu sebesar 52,87% dari seluruh penderita IMS, di RS Dr. Pirngadi Medan 16% dari sebanyak 326 penderita IMS, sedangkan di klinik IMS RS Dr. Soetomo antara Januari 1990-Desember 1993 terdapat 3055 kasus uretritis atau 25,22% dari total penderita IMS dan 1853 atau 60,65% di antaranya menderita uretritis gonore, di RS Kariadi Semarang, gonore menempati urutan ke 3 atau sebesar 17,56% dari seluruh penderita IMS tahun 19901994, di RSUP Palembang prevalensi gonore sebesar 39% pada tahun 1990. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi di Indonesia antara tahun 1999 sampai 2001 menunjukkan prevalensi infeksi gonore yang tinggi antara 20%-35% (Jazan, 2003). Prevalensi gonore dari berbagai penelitian di Indonesia pada kelompok perilaku risiko rendah (ibu rumah tangga) antara tahun 1990-2000 adalah 0-4,3% (Arifin, 2001). Sebuah penelitian di RSU Pusat Sanglah Denpasar Periode Januari 1996 - Desember 2000” menunjukkan selama rentang waktu lima tahun didapatkan 809 kasus baru IMS yang memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya, 15,3 % pada tahun 1996 dan 27,9 % pada tahun 2000. Diantara lima kelompok IMS tersebut adalah gonorrhea (9,6%) (Rosyati, 2001).
16
2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Servisitis Gonore pada Wanita Usia Subur Servisitis gonore merupakan salah satu penyakit menular seksual yang angka kejadiannya cukup tinggi di masyarakat, dalam penyebarannya terdapat banyak faktor yang mempengaruhi. Menurut Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (2007), mengatakan terdapat empat faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, yaitu faktor keturunan, perilaku, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu (tidak optimal), maka status kesehatan akan tergeser kearah di bawah optimal. Demikian halnya kejadian servisitis gonore di masyarakat, faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadiannya dapat diklasifikasikan berdasarkan teori yang diungkapkan oleh HL Blum, yaitu empat faktor yang mempengaruhi kejadian servisitis gonore adalah sebagai berikut: 2.7.1 Perilaku Menurut R. Kwick dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku yang dapat mempengaruhi kejadian servisitis gonore adalah:
17
2.7.1.1 Perilaku penggunaan kondom Berganti-ganti pasangan seksual, tidak menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual, penggunaan kondom hanya sebagai pencegah kehamilan bukan sebagai pencegah penularan
penyakit
gonore
(Daili,
2009).
Berganti-ganti
pasangan seksual merupakan perilaku yang sangat rentan terhadap penularan PMS termasuk servisitis gonore karena tanpa disadari pasangan seksual yang menderita gonore mampu menularkannya melalui infeksi kuman Neisseria gonorrhoeae yang
menempel
pada
lapisan
epitel
vagina.
Neisseria
gonorrhoeae mempunyai pili beberapa protein permukaan sehingga dapat melekat pada sel epitel kolumner dan menuju ruang subepitelial, serta dengan adanya lipooligosakarida yang terdapat pada gonokok akan menimbulkan invasi dan destruksi sel epitel mukosa secara progresif juga pada lapisan sub mukosa disertai dengan respons dari lekosit polimorfonuklear yang hebat. Peradangan dan destruksi sel epitel tersebut menimbulkan duh tubuh mukopurulen (Widyastuti, 2000). Pinem (2009), yang menyatakan bahwa perempuan mempunyai peluang tiga kali lebih besar terinfeksi saat berhubungan seksual. Mukosa vagina lebih mudah lecet saat melakukan hubungan seksual, melalui bagian yang lecet ini kuman/bakteri menembus masuk. Jika pada saat berhungan seksual menggunakan kondom, maka diharapkan
18
dapat mencegah penularan terhadap gonore karena kuman Neisseria gonorrhoeae tidak dapat menembus lapisan kondom sehingga tidak mampu menginfeksi lapisan epitel vagina. 2.7.1.2 Usia pertama kali melakukan hubungan seksual Hubungan seksual di bawah umur 20 tahun akan berdampak lebih tinggi dibandingkan “ Kurun Reproduksi Sehat “ antara 2030 tahun pada kesehatan reproduksi perempuan karena sebelum usia tersebut perkembangan sel-sel pada organ reproduksi perempuan belum sempurna/belum matang alat reproduksinya. Mukosa vagina masih tipis sehingga sangat mudah timbul iritasi/luka pada saat berhubungan seksual. Iritasi/luka tersebut memudahkan masuknya kuman yang menyebabkan terjadinya infeksi (Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi, 2010). Jazan (2003), melaporkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kejadian gonore adalah umur pertama kali berhubungan seksual. Jika semakin dini usia seorang wanita berhubungan seksual , maka frekuensinya juga semakin tinggi, semakin tinggi tingkat paparan terhadap kuman Neisseria gonorrhoeae sehingga semakin rentan tertular servisitis gonore. Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Pinem (2009), bahwa perempuan muda mempunyai mukosa vagina dan jaringan serviks yang mudah terinfeksi.
19
2.7.1.3 Perilaku pembersihan vagina Pembasuhan
vagina
dengan
antiseptik
menyebabkan
suasana asam di vagina terganggu menjadi basa, bakteri sifatnya membantu yaitu yang melembabkan dan menjadi pembersih vagina atau lebih dikenal dengan bakteri doderlein akan mati. Bakteri doderlein inilah yang memproduksi asam laktat untuk mempertahankan pH vagina antara 3,5 hingga 4,5. pH vagina yang tidak seimbang menyebabkan kuman lain seperti jamur dan bakteri mempunyai kesempatan hidup di tempat tersebut, sehingga muncul penyakit lain. Pembasuhan vagina dengan antiseptik, jika dipakai terlalu sering maka zat-zat kimianya lama-lama akan menggerus mukosa vagina sehingga mukosa menipis lalu timbul luka dan kuman akan mudah masuk (Hartanto, 2011). Vagina mempunyai PH/tingkat keasaman sekitar 4. Kondisi area vagina yang asam akan menghambat pertumbuhan kuman jahat. Penggunaan sabun pencuci vagina (bersifat basa) akan mengubah
keseimbangan
asam
basa
vagina
sehingga
menyebabkan iritasi dan infeksi pada vagina. Infeksi ini kemungkinan bisa menjalar ke serviks dan rahim (Yogasmara, 2010).
20
Jazan (2003), melaporkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian gonore adalah cara membasuh vagina. Semakin sering seorang wanita membasuh vaginanya dengan cairan antiseptik dapat mengganggu flora normal dan pH vagina mengakibatkan memudahkan berkembangnya kuman Neisseria gonorrhoeae dan rentan terjadi servisitis gonore. Gonore juga dapat ditularkan melalui barang perantara yang sudah dipakai oleh penderita, seperti misalnya : pakaian dalam, handuk, termometer dan sebagainya ( Djuanda, 2007). 2.7.2 Lingkungan Kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula (Notoatmodjo, 2007). Pada kajian teori ini akan di bahas lingkungan yang berpengruh terhadap kejadian servisitis gonore, yaitu; lingkungan fisik dan sosial demografi, yaitu umur, pendidikan dan pekerjaan. 2.7.2.1 Lingkungan fisik Lingkungan fisik yang menguntungkan bagi kuman Neisseria gonorrheae adalah dimana kuman ini dapat tumbuh secara optimal yaitu pada suhu 35-370C pada lingkungan CO2 5%, pH sekitar 6,5-7,5 dan tahan asam, tetapi tidak tahan lama di
21
udara bebas, cepat mati dalam keadaan kering, tidak tahan suhu diatas 390C dan tidak tahan zat desinfektan (Daili,2009). 2.7.2.2 Lingkungan sosial demografik (umur, pendidikan, pekerjaan) Lingkungan
sosial
demografik
(umur,
pendidikan,
pekerjaan) menunjukkan potensi tingginya kerawanan akan penularan gonore. Pinem (2009), menyatakan bahwa perempuan muda mempunyai mukosa vagina dan jaringan serviks yang mudah terinfeksi. Hubungan seksual di bawah umur 20 tahun akan berdampak lebih tinggi dibandingkan “ Kurun Reproduksi Sehat “ antara 20-30 tahun pada kesehatan reproduksi perempuan karena sebelum usia tersebut perkembangan sel-sel pada organ reproduksi perempuan belum sempurna/belum matang alat reproduksinya. Mukosa vagina masih tipis sehingga sangat mudah timbul iritasi/luka pada saat berhubungan seksual. Iritasi/luka tersebut memudahkan masuknya kuman yang menyebabkan terjadinya infeksi (Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi, 2010). Semakin muda umur WUS maka aktivitas seksual tinggi yang akan berhubungan dengan tingkat paparan yang tinggi terhadap bakteri Neisseria Gonorrhoeae sehingga mudah terjadi servisitis gonore (Jazan,2003). Servisitis gonore merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, maka
22
seseorang yang telah menikah akan lebih berisiko tertular servisitis gonore. Kelompok umur yang paling banyak menderita gonore adalah kelompok umur 25-44 tahun (Jawas, 2006). Berdasarkan pendidikan, tingkat pendidikan yang rendah mencerminkan rendahnya pengetahuan seseorang, rendahnya pengetahuan tentang gonore tidak mampu untuk melakukan pencegahan terhadap gonore, ditambah lagi dengan perilaku seksual berisiko maka memudahkan terinfeksi bakteri Neisseria Gonorrhoeae yang dapat menyebabkan servisitis gonore (Jazan, 2003). Berdasarkan pekerjaan kelompok perilaku risiko tinggi adalah pekerja seksual; kelompok perilaku rentan adalah anak jalanan perempuan, tenaga kerja Indonesia wanita (TKIW), pramuniaga, pramusaji dan pengungsi; sedangkan kelompok perilaku risiko rendah adalah ibu-ibu rumah tangga (IRT) (Arifin, 2001). Jawas (2006), pada penelitiannya pekerjaan terbanyak pada pasien penderita gonore adalah pegawai swasta. Pekerjaan pasangan juga mempunyai pengaruhi terjadinya servisitis gonore, karena kebanyakan wanita (kecuali PSK) yang terinfeksi adalah akibat hubungan seksual dengan suaminya sendiri yang sudah terinfeksi gonore (Pinem, 2009). Tidak ada data jenis pekerjaan apa yang paling rentan penularan PMS tetapi
23
yang perlu diwaspadai adalah Mobile Man with Money atau 3M". Mobile man with money atau laki-laki berduit yang pekerjaannya berpindah-pindah dijadikan sebagai kriteria pekerja yang memiliki risiko lebih tinggi untuk tertular PMS (Pramudiarja, 2011). Karyawan dengan kriteria 3M dikategorikan sebagai berikut: 1) Mobile (berpindah-pindah). Jenis pekerjaan tertentu mengharuskan para karyawan untuk berpindah-pindah tempat kerja, atau menetap di seatu tempat yang jauh dari keluarga maupun pasangan seksnya. Dalam kondisi darurat, karyawan tersebut potensial menggunakan jasa pekerja seks untuk memuaskan birahinya. 2) Man (laki-laki). Dalam masyarakat Indonesia yang menganut sistem patriarki, laki-laki cenderung lebih dominan dalam mengambil keputusan untuk berhubungan seks. Karena itulah, karyawan laki-laki dianggap lebih rentan terhadap penularan HIV dibandingkan karyawan perempuan. 3) Money (banyak mempunyai uang). Gonta-ganti pasangan seks butuh modal yang tidak sedikit, karena pekerja seks juga punya tarif yang harus dibayar oleh pelanggan. Karena itu, uang dinilai turut menentukan risiko penularan HIV pada karyawan laki-laki yang tempat kerjanya pindah-pindah (Pramudiarja, 2011). Jenis pekerjaan yang dinilai termasuk dalam kriteria 3: pekerja transportasi dan pelayaran, pekerja pertambangan,
24
minyak dan gas, pekerja konstruksi, pekerja perkebunan, pekerja yang berkantor di dekat lokalisasi (Pramudiarja, 2011). 2.7.3 Pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan memberikan kontribusi dalam peningkatan kejadian gonore. Pelayanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat yaitu puskesmas diharapkan mampu memberikan pelayanan terhadap infeksi menular seksual (IMS) berupa penyuluhan tentang IMS, cara pencegahan, deteksi dini dan pemberian pengobatan yang tepat. Pelayanan kesehatan dan akses masyarakat yang optimal mampu meningkatkan status kesehatan masyarakat dalam hal ini terhadap IMS khususnya gonore. Jawas (2006), mengemukan dalam penelitiannya bahwa sebagian besar pasien gonore belum pernah mendapatkan pengobatan, hanya sebagian kecil yang sudah pernah mendapatkan pengobatan. Penderita gonore yang sudah pernah mendapatkan pengobatan, macam obat yang digunakan adalah obat yang dijual bebas di apotik. 2.7.4 Genetik/keturunan Faktor keturunan yang mempengaruhi kejadian gonore pada seorang wanita, yaitu tidak adanya imunitas protektif. Jika seseorang pernah terinfeksi gonore, maka kuman gonore tidak akan membentuk antibodi sebagai perlindungan protektif terhadap penyakit ini untuk
25
selanjutnya. Seorang yang mempunyai riwayat gonore, akan bisa terinfeksi ulang oleh kuman Neisseria Gonnorhoeae (Sumaryo, 2006). 2.8 Metode Pemeriksaan Servisittis Gonore Diagnosis gonore ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang laboratoris. Anamnesis gonore dilakukan dengan menanyakan gejala subyektif yang timbul pada penderita. Pemeriksaan klinis dengan melakukan inspeksi, dilakukan dengan menggunakan inspikulo untuk melihat keadaan serviks, apakah sesuai dengan tanda klinis gonore. Kemudian dilanjutkan dengan pengambilan sampel duh tubuh endoserviks untuk pemeriksaan mikroskopis dengan pengecatan Gram pada sampel dilanjutkan pemeriksaan kultur, tes oksidasi dan tes fermentasi (Daili, 2009). 2.8.1 Sediaan Langsung Pada sediaan langsung dengan pengecatan Gram akan ditemukan gonokok negatif-Gram, intraseluler dan ekstraseluler. Bahan duh tubuh pada pria diambil dari daerah fosa navikularis, sedangkan pada wanita diambil dari uretra, muara kelenjar bartholini dan endoserviks (Daili, 2009). Pada pemeriksaan langsung dengan pengecatan Gram, kuman gonore akan terlihat sebagai diplokokus Gram-Negatip di dalam sitoplasma leukosit polimorfonuklear (PMN) atau di luar PMN (Purba, 2006). Pemeriksaan Gram dari endoserviks, sensitifitasnya 45-65%, dengan spesifisitas 90-99%. Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk dilakukan di klinik luar rumah sakit/praktek pribadi, klinik dengan
26
fasilitas laboratorium terbatas, maupun untuk rumah sakit dengan fasilitas laboratorium lengkap (Daili, 2009). Pemeriksaan laboratorium dengan pengecatan Gram sangat cocok untuk mendiagnosis gonore di lapangan atau fasilitas kesehatan dengan laboratorium sederhana, seperti halnya di puskesmas kecamatan. 2.8.2 Kultur (biakan) Untuk identifikasi perlu dilakukan kultur (pembiakan). Dua macam media yang dapat digunakan ialah media transport dan media pertumbuhan. Pemeriksaan kultur dengan bahan dari duh uretra pria, sensitivitasnya lebih tinggi (94-98%) dari duh endoserviks (85-95%). Sedangkan spesifisitas dari kedua bahan tersebut sama yaitu lebih dari 99%. Pemeriksaan kultur ini dianjurkan untuk dilakukan pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium lengkap maupun terbatas (Daili, 2009). Kultur merupakan cara yang sulit, umumnya mahal, memerlukan laboratorium yang canggih dan tidak digunakan secara luas (Purba, 2006). Sudarto dan kawan-kawan yang meneliti PSK kota Padang mendapatkan 51,7% menderita servisitis gonore dari hasil pemeriksaan kultur dan 65,5% didapatkan diplokokus gram negative intra dan ekstra seluler pada pemeriksaan Gram dari 31 PSK (Sudarto, 1981). 2.8.3 Tes Definitif Setelah bakteri dapat tumbuh pada media kultur perlu dilanjutkan dengan tes definitive yang terdiri dari tes oksidasi untuk memastikan
27
adanya Neisseria pada kolonigonokokus, dengan menambahkan larutan tetrametil-p-fenilendiamin hidroklorida 1% sehingga warna koloni akan berubah menjadi merah muda sampai dengan merah lembayung dari yang semula berwarna bening. Tes oksidasi ini tidak dapat membedakan dari spesies Neisseria (N. gonorrhoeae, N. meningitides, N. catarrhalis dan N pharyngitis sicca) kemudian dilanjutkan dengan tes fermentasi setelah tes oksidasi positif untuk memastikan penyebabnya adalah N gonorrhoeae. Tes fermentasi ini memakai glukosa 10%, maltosa 10%, laktosa 10% dan sukrosa 10% dan N gonorrhoeae tersebut hanya meragikan glukosa (Widyastuti,2000).