34
BAB II KAJIAN PUSTAKA A.
Kenakalan Remaja 1.
Pengertian Remaja
Sebenarnya istilah remaja tidaklah mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak dapat dimasukkan ke dalam
golongan anak, tetapi ia tidak pula termasuk
golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi – fungsi fisik maupun psikisnya (Knoers, 2002 : 259). Ausabel menyebut status orang dewasa sebagai status primer,artinya status itu diperoleh berdasarkan kemampuan dan usaha sendiri. Status anak adalah status diperoleh (derived), artinya tergantung daripada apa yang diberikan orang tua (dan masyarakat). Remaja ada dalam status interim sebagai akibat daripada posisi yang sebagian diberikan oleh orang tua dan sebagian diperoleh melalui usaha sendiri yang selanjutnya memberikan prestise tertentu padanya. Status internim berhubungan dengan masa peralihan yang timbul sesudah pemasakan seksual (pubertas) (Knoers, 2002:260). Masa pubertas berlangsung selama 2 tahun, dinamakan pubertas (Inggris = puberty), yang dalam bahasa latin berarti usia kedewasaan (the age of manhord) dan yang berkaitan dengan kata latin lainnya pubescere, yang berarti masa pertumbuhan rambut di daerah tulang pusic (di wilayah kemaluan) (Sarwono, 1991 : 7) . Umumnya ahli – ahli Eropa menggunakan istilah “puber” untuk menyatakan masa di mana kemasakan awal seksual tercapai, yang berlangsung
35
kira – kira dari umur 12 -18 tahun. Sedangkan perkataan adolescent dipakai untuk menyatakan “masa peralihan ke maturity”, yang berlangsung antara umur 18 – 20 tahun (Simandjuntak, 1984 : 83). Ahli – ahli Amerika mengartikan adolesecence sedangkan dalam bahasa latin disebut adolescere (Ali, Asrori 2006 : 9) adultus (Knoers, 2002 : 262) sebagai masa transisi dari anak menjadi dewasa, yang dimulai dengan tanda – tanda puberty dan berakhir bila si anak telah mencapai kemasakan fisik dan psikis. A.T Jersild mengungkapkan :
The term Adolesecence is used in this book to denote a period during which the growing person makes the transition from childhood to adulthood. While it is not linked to any precise span of years Adolesecence may be viewed as beginning roughly when young people begin to show signs of puberty and continuing until most of them are sexually mature, have reached their maximum growth as measured by intellegence tests. The period includes the years from about the age of twelve to the early twenties. (Simandjuntak, 1984 : 84)
Masa remaja menurut Mappiare (1982 : 9) berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Jika dibagi atas remaja awal dan remaja akhir, maka remaja awal berada dalam usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun, dan remaja akhir dalam rentangan usia 17/18 tahun sampai 21/22 tahun. Sedangkan periode sebelum masa remaja ini disebut sebagai “ambang pintu masa remaja” atau sering disebut sebagai “periode pubertas”. G.S Hall (Sarwono, 1991 : 23) menyebutkan bahwa masa muda (youth atau preadolesecence) pada usia 8 – 12 tahun, yang mencerminkan era manusia
36
sudah agak mengenal kebudayaan, tetapi masih menggantungkan hidupnya pada berburu atau mencari ikan. Masa remaja (adolesecence) pada usia 12-25 tahun, yaitu masa topan badai (strum und drug), yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat pertentangan nilai – nilai. Menurut Elizabeth Hurlock (Yusuf, 2006 : 21) perkembangan tahap V disebutkan sebagai tahap adolesence/puberty, mulai usia 11 atau 13 tahun sampai usia 21 tahun. a) Pre Adolscence, pada umumnya wanita usia 11 – 13 tahun sedangkan pria lebih lambat dari itu; b) Early Adolscence pada usia 16 – 17 tahun; c) Late Adolscence, masa perkembangan yang terakhir sampai masa usia kuliah di perguruan tinggi. Dalam bukunya Knoers (2002: 262 – 263) membagi masa remaja sebagai berikut: pra pubertas berlangsung sekitar kurang lebih 2 tahun dari usia 10 – 12 tahun, dan pada masa pubertas pada usia 12 – 15 tahun dengan anak wanita beberapa saat lebih dulu mulainya daripada anak laki – laki. Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yaitu biologik, psikologik, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut, remaja adalah suatu masa dimana: 1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda – tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. 2. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak – kanak sampai dewasa.
37
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif Piaget (Ali, Asrori, 2006 : 9) mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Petro Blos (Sarwono, 1991 : 24 – 25) yang penganut aliran psikoanalisis berpendapat bahwa perkembangan pada hakikatnya adalah usaha penyesuaian diri (coping), yaitu untuk secara aktif mengatasi stress dan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah. Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan ada 3 tahap perkembangan remaja : 1. Remaja awal (early adolescence) Seorang remaja pada tahap ini masih terheran – heran akan perubahan – perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan – dorongan yang menyertai perubahan – perubahan itu. Mereka mengembangkan fikiran – fikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih – lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego” menyebabkan para remaja awal ini sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa. 2. Remaja madya (middle adolescence) Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan – kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman – teman yang punya sifat – sifat
38
yang sama dengan dirinya. Selain itu ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai – ramai atau sendiri, optimis atau pesimistis, idealis atau materialis dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipus Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak – kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan – kawan dari lain jenis. 3. Remaja akhir (late adolescence) Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu : a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi – fungsi intelek. b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang – orang lain dan dalam pengalaman – pengalaman baru. c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public). Para ahli memiliki batas usia yang berbeda – beda dalam mengemukakan masa remaja, karena masa remaja bukan hanya dilihat dari satu aspek saja,namun dari beberapa aspek sekaligus. Namun dapat disimpulkan bahwa remaja adalah sebuah periode ketika seorang manusia mengalami sebuah transisi, dari masa kanak – kanak pada masa dewasa. Dimulai pada usia 11 tahun, dan berakhirn hingga masa awal perkuliahan
39
di perguruan tinggi. Pada masa ini terjadi perubahan yang signifikan terhadap fisik, kognitif,emosi, dan penyesuaian sosial.
2.
Kenakalan Remaja
Menurut Bakolak inpres (Badan Koordinasi Pelaksanaan Instruksi Presiden) No.6/1971 Pedoman 8, tentang Pola Penanggulangan Kenakalan Remaja. Di dalam pedoman itu diungkapkan mengenai pengertian kenakalan remaja sebagai berikut (Willis,2008 : 88-89): “Kenakalan remaja ialah kelainan tingkah laku, perbuatan atau tindakan remaja yang bersifat asosial bahkan anti sosial yang melanggar norma – norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat”” Menurut Sarwono (1991 : 197) Semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma, agama, etika, peraturan sekolah, dan keluarga, dan lain – lain) dapat disebut sebagai perilaku menyimpang. Tetapi jika penyimpangan itu terjadi terhadap norma – norma hukum pidana barulah disebut kenakalan. Berikut ini jenis kenakalan yang dikumpulkan oleh pemerintah melalui Bakolak Inpres 6/1971 ialah sebagai berikut : 1) Pencurian 2) Penipuan 3) Perkelahian 4) Perusakan 5) Penganiayaan 6) Perampokan
40
7) Narkotika 8) Pelanggaran susila 9) Pelanggaran 10) Pembunuhan 11) Kejahatan lain Kenakalan remaja atau Juvenile deliquency ialah perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak – anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak – anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartono, 2002 : 6). Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, artinya anak – anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat – sifat khas pada periode remaja. Deliquent berasal dari kata latin delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain – lain. Menurut Dr.Kusmanto (Willis, 2008 : 89) : Juvenile Deliquency atau kenakalan anak dan remaja ialah tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat – syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai acceptable dan baik oleh suatu lingkungan atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan. Sanders (1976 : 5-6) menjelaskan juvenile deliquency sebagai berikut : Any person under the age 18 years who persistenly or habitually refuses to obey the reasonable and proper orders or directions of his parents, guardian, custodian or school authorities, or who is beyond the control of such person who is habitual truant from school within the meaning of any law of this state, or who from any cause is in danger of leading an idle,
41
dissolute, lewd, or immoral life, is within the juridisdiction of the juvenile court which may adjudge such person to be a ward of the court. Dari beberapa definisi diatas sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa kenakalan remaja itu ialah tindak perbuatan sebahagian para remaja yang bertentangan dengan hukum, agama, dan norma – norma masyarakat sehingga akibatnya dapat merugikan orang lain, mengganggu ketentraman umum dan juga merusak dirinya sendiri. Apabila tindakan yang sama dilakukan oleh orang dewasa, hal itu disebut kejahatan (kriminal), seperti membunuh, merampok, memperkosa, menodong, dan lain – lain, tindakan – tindakan mana dapat dituntut di “meja hijau”, dan jika si pelaku ternyata bersalah maka ia akan dijatuhi hukuman sesuai dengan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Tetapi apabila tindakan yang melawan hukum itu dilakukan oleh anak – anak dan remaja yang usianya dibawah enam belas tahun, maka kepada anak tersebut tidak dikenakan hukuman seperti orang dewasa. Hal ini jelas diungkapkan oleh pasal 45 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh : memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharannya, dengan tidak dikenakan suatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan; atau menghukum anak yang bersalah itu.”
42
3.
Jenis – Jenis Kenakalan Remaja
Konsep pengklasifikasian kenakalan Remaja menurut Daniel Glaser (Elliott & Ageton,1980:101) dibuat dengan logis dan ada pemilahan yang jelas antara kenakalan yang serius dan tidak serius. Kenakalan tersebut dibagi menjadi dua kriteria,yaitu kenakalan brutal dan kenakalan yang tidak brutal. Kenakalan brutal yang tujuannya jelas dapat dibagi menjadi dua, yaitu kenakalan brutal yang objeknya adalah manusia, serta kenakalan brutal yang objeknya adalah benda mati (Liu, 1994 : 305). (1)
Kenakalan brutal yang objeknya adalah manusia/orang (Predatory against person), Kenakalan brutal yang dapat dijelaskan sebagai tindakan kriminal yang tertuju pada orang, dilakukan baik dengan sengaja maupun karena kelalaian. Kenakalan brutal yang tertuju pada orang dengan kesengajaan antara lain tindakan penyerangan biasa, tindakan penyerangan yang kasar, perkosaan, dan sebagainya. Kenakalan brutal yang tertuju pada orang karena kelalaian antara lain kenakalan yang menimbulkan luka yang tidak disengaja, dan kecelakaan saat berkendara hingga korban kehilangan nyawa.
(2)
Kenakalan brutal yang objeknya adalah benda mati (Predatory against property), Kenakalan brutal yang objeknya adalah benda mati, segala jenis tindakannya tersebut diklasifikasikan dengan motif kesengajaan, antara lain (Liu,
1994
:
306)
pencurian,
perampokan,
penggelapan
dana
(contoh:penipuan, pemalsuan tanda tangan/naskah, dan sebagainya), kekejaman pada hewan liar, dan lain – lain.
43
Kenakalan yang kedua disebut dengan kenakalan tidak brutal, dikatakan kenakalan tidak brutal karena tingkah laku nakal yang dilakukan orang tersebut dikeluhkan oleh orang lain atau dikarenakan sesuatu yang dijual, dibeli, digunakan atau dimiliki (Liu, 1994 : 306). (3) Kenakalan karena melakukan kegiatan yang illegal (Illegal service crime), seperti menjual obat – obatan terlarang, berjudi, menyediakan jasa prostitusi. Menjual barang – barang hasil curian, termasuk juga melakukan penyuapan pada aparat pemerintahan. (4) Kenakalan dengan mengacau di area umum (Public disorder crime), dapat dijelaskan sebagai tindakan yang menimbulkan korban pada beberapa penontonnya atau pendengarnya, seperti mabuk – mabukan di tempat umum, perbuatan tidak senonoh, tingkah laku yang menimbulkan kekacauan, dan lain – lain. (5) Kenakalan karena melanggar status (Status crimes), dapat dijelaskan sebagai segala tindakan yang tidak dilakukan oleh orang yang dewasa, namun dilakukan oleh seseorang yang usianya belum dewasa. Seperti kabur dari rumah, membolos. Untuk kategori ini semua tindakan terklasifikasikan dalam kenakalan yang tidak brutal. (6) Kenakalan terkait mengkonsumsi obat – obatan terlarang (Hard Drugs). Termasuk di dalamnya membeli atau menggunakan barang – barang ilegal ataupun jasa ilegal. Jensen (Sarwono, 1991 : 200-201) membagi kenakalan remaja menjadi 4 jenis, yaitu :
44
(1)
Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain – lain.
(2)
Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain – lain.
(3)
Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di fihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukkan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini.
(4)
Kenakalan yang melawan status : misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya. Pada usia mereka, perilaku – perilaku mereka memang belum melanggar dalam arti sesungguhnya karena yang dilanggar adalah status – status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang memang tidak diatur oleh hukum secara terinci. Akan tetapi kalau kelak remaja ini dewasa, pelanggaran status ini dapat
dilakukannya terhadap atasannya dikantor atau petugas hukum di dalam masyarakat. Karena itulah pelanggaran status ini oleh Jensen digolongkan juga sebagai kenakalan dan bukan sekedar perilaku menyimpang. Delinkuensi
remaja dapat dibagi dalam empat kelompok, antara lain
(Kartono, 2002 : 37 - 45): (1) Delinkuensi Individual
45
Tingkah laku kriminal anak merupakan gejala personal atau individual dengan ciri – ciri khas jahat, disebabkan oleh predisposisi dan kecenderungan penyimpangan tingkahlaku (psikopat, psikotis, neurotis, asosial) yang diperhebat oleh stimuli sosial dan kondisi kultural. Biasanya mereka juga mempunyai kelainan jasmaniah dan mental yang dibawa sejak lahir. Kejahatan remaja tipe ini seringkali bersifat simptomatik, karena disertai banyak konflik intrapsikis kronis, disintegrasi pribadi dengan kekalutan batin hebat, gejala psikotis dan psikopatis. Mereka adalah anak – anak muda yang melakukan tindak kriminalitas dan kekejaman tanpa motif dan tujuan apapun, dan hanya didorong oleh implus primitif yang sangat kuat. Mereka tidak mempunyai perasaan kemanusiaan, dan sulit digugah hati nuraninya. (2) Delinkuensi Situasional Delinkuensi ini dilakukan oleh anak yang normal; namun mereka banyak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan situasional, stimuli sosial dan tekanan lingkungan, yang semuanya memberikan pengaruh “menekan – memaksa” pada pembentukan perilaku buruk. Sebagai produknya anak – anak remaja tadi suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Anak – anak muda ini menjadi jahat delinkuen sebagai akibat dari transformasi psikologis sebagai reaksi terhadap pengaruh eksternal, yang menekan dan memaksa sifatnya. Situasi sosial eksternal itu memberikan batasan, tekanan, dan paksaan, yang mengalahkan unsur – unsur internal (pikiran sehat, perasaan, hati nurani), sehingga memunculkan tingkah laku delinkuen situasional. Oleh sebab itu,
46
ruang (tempat) dan waktu (lamanya), merupakan dua dimensi pokok dari situasi sosial yang memberikan pengaruh buruk kepada anak – anak. Khususnya situasi – kondisi buruk yang repetitif dan terus menerus berlangsung bisa memperkuat dan mengkondisi perilaku delinkuen anak – anak muda. Sebagai produknya anak – anak tadi menjadi agresif, kejam, keras, dan sadis. Konsepsi mengenai delinkuensi situasional tersebut memberikan prespektif dekat; artinya kejahatan yang dilakukan itu tidak mempunyai akar dalam dan tidak didorong oleh motif – motif psikologis yang serius. Motif kejahatan mereka sifatnya sangat sederhana yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang “sekarang” dan segera sifatnya. Masalah pokok pada anak – anak muda delinkuen ini ialah : mereka “berkeputusan mau menjadi delinkuen”, berdasarkan keputusan dan kemauan sendiri karena dirangsang kebutuhan sesaat. Jadi ada tekanan situasional dari lingkungannya. Disamping itu ada usaha pembenaran diri (justifikasi diri) dan rasionalisasi terhadap semua perbuatannya. Dengan kata lain, semua perilakunya dibenarkan dan dirasionalkan mengikuti penalaran sendiri, walaupun perbuatan tersebut tidak rasional dan kriminal sifatnya. Dengan demikian pada perbuatan para remaja delinkuen itu terdapat sifat transitoris, suatu pergeseran dari pola tingkah laku normal menjadi pola tingkah laku kriminal. (3) Delinkuensi Sistematik
47
Kumpulan tingkah laku yang “disistematisir”itu disertai pengaturan, status formal, peranan tertentu, nilai – nilai, rite – rite, norma – norma, rasa kebanggaan, dan moral delinkuen yang berbeda dengan yang umum berlaku. Semua kejahatan anak ini kemudian dirasionalisir dan dibenarkan sendiri oleh segenap anggota kelompok, sehingga kejahatannya menjadi terorganisir atau menjadi sistematis sifatnya. Banyak fakta membuktikan bahwa ada korelasi di antara kriminalitas remaja dengan penyimpangan perilaku lainnya; misalnya kejahatan remaja berkombinasi dengan alkoholisme, narkotika, radikalisme, neurosa, psikopat, promiskuitas,
dan
lain
–
lain.
Dengan
demikian,
remaja
yang
mengembangkan satu kebiasaan tingkah laku sosiopatik, biasanya secara potensional dengan mudah akan mengembangkan bentuk perilaku abnormal dan delinkuen lainnya, didorong oleh stimuli sosial yang buruk, atau dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang jahat. (4) Delinkuensi Kumulatif Situasi sosial dan kondisi kultural buruk yang repetitif terus menerus dan berlangsung berulangkali itu dapat mengintensifikasi perbuatan kejahatan remaja, sehingga menjadi kumulatif sifatnya; yaitu terdapat dimana – mana, di hampir semua ibukota, kota – kota bahkan juga di daerah pinggiran pedesaan. Secara kumulatif gejala tadi menyebar luas di tengah masyarakat, lalu menjadi fenomena disorganisasi/disintegrasi sosial dengan subkultur delinkuen di tengah kebudayaan bangsa.
48
Pada hakikatnya, delinkuensi ini merupakan produk dari konflik budaya, merupakan hasil dari banyak konflik kultural yang kontroversial. Dalam iklim penuh konflik budaya ini terdapat banyak kelompok sosial yang tidak bisa didamaikan dan dirukunkan, dan selalu saja terlibat dalam ketegangan , persaingan, dan benturan sosial yang diwarnai rasa benci dan dendam kesumat. Kebudayaan tegangan tinggi ini menjadi persemaian yang subur bagi berkembangnya tingkah laku delinkuen anak – anak, remaja dan para adolesens yang menyebarkan pengaruh jahat dan buruk; pada akibatnya bisa mengganggu ketentraman umum. Tingkah laku delinkuen yang membudaya di tengah masyarakat itu (delinkuensi remaja kumulatif) punya ciri – ciri seperti dibawah ini : a) Mengandung banyak dimensi ketegangan syaraf, kegelisahan batin dan keresahan hati pada para remaja, yang kemudian disalurkan atau dikompensasikan secara negatif pada tindak kejahatan atau agresivitas tidak terkendali. b) Merupakan
adolescence
revolt
(pemberontakan
adolsensi)
terhadap
kekuasaan dan kewibawaan orang dewasa, dalam usaha mereka menemukan identitas diri lewat tingkah laku yang melanggra norma sosial dan hukum. c) Banyak terdapat penyimpangan seksual disebabkan oleh penundaan saat kawin jauh sesudah kematangan biologis, antara lain berupa cinta bebas dan seks bebas, “kumpul kebo”, perkosaan seksual, pembunuhan berlatarkan motivasi seks, dan lain – lain.
49
d) Banyak terdapat tindak ekstrim radikal yang dilakukan oleh para remaja yang menggunakan cara – cara kekerasan, pembunuhan, tindak bunuh diri, meledakkan bom dan penculikan, penyanderaan dan lain – lain. Pembagian lain Juvenile Deliquency (kenakalan remaja) ialah berdasarkan ciri kepribadian yang defek, yang mendorong mereka menjadi delikuen (Kartono ,2002 : 49 - 55 ), anak – anak muda ini pada umumnya bersifat pendek pikir, sangat emosional, agresif, tidak mampu mengenal nilai – nilai etis, dan cenderung suka menceburkan diri dalam perbuatan yang berbahaya. Hati nurani mereka hampir tidak dapat digugah, beku. Tipe Delinkuensi menurut struktur kepribadian ini dibagi atas : (1) Delinkuensi Terisolir Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari para remaja delinkuen; merupakan kelompok mayoritas. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan kejahatan mereka disebabkan atau didorong oleh faktor berikut: (a)
Kejahatan mereka tidak didorong oleh motivasi kecemasan dan konflik batin yang tidak dapat diselesaikan, dan motif yang mendalam; akan tetapi lebih banyak dirangsang oleh keinginan meniru, ingin konfrom dengan norma gangnya. Biasanya semua kegiatan mereka lakukan secara bersama – sama dalam bentuk kegiatan berkelompok.
(b)
Mereka kebanyakan berasal dari daerah – daerah kota yang trasisional sifatnya yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil anak melihat adanya gang – gang kriminal; sampai pada suatu saat dia ikut menjadi anggota salah
50
satu kelompok gang tersebut. Di dalam gang ini anak merasa diterima, mendapatkan kedudukan “terhormat”, pengakuan, status sosial, dan prestise tertentu. Semua nilai, norma, dan kebiasaan kelompoknya dengan subkultur kriminal itu, diopernya dengan serta merta. Jadi ada proses pengkondisian dan proses differential association. (c) Pada umumnya anak delinkuen tipe ini berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, tidak konsekuen, dan mengalami banyak frustasi. Situasi keluarga dipenuhi konflik hebat diantara sesama anggota keluarga, dan ada suasana penolakan oleh orang tua sehingga anak – anak merasa disiakan serta kesepian. Dalam situasi demikian anak tidak pernah merasakan iklim kehangatan emosional. Kebutuhan elementernya tidak terpenuhi; misalnya tidak pernah merasa aman, harga dirinya terasa diinjak, merasa dilupakan dan ditolak oleh orang tua, dan lain – lain. Pendeknya, anak mengalami banyak frustasi dalam lingkungan keluarga sendiri, dan mereaksi negatif terhadap tekanan lingkungannya. (d) Sebagai jalan keluarnya, anak memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan anak – anak kriminal. Gang delinkuen memberikannya alternatif hidup yang menyenangkan. Mereka akhirnya mengadopsi etik dan kebiasaan gangnya, dan dipakai sarana untuk menyakinkan diri sendiri bahwa dirinya adalah penting, cukup “menonjol” dan berarti. Gang tersebut memberikan
pada
dirinya
perasaan
aman,
ditetima,
mendapatkan “bimbingan” untuk menonjolkan egonya.
bahkan
bisa
51
(e) Secara typis mereka dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan latihan disiplin yang teratur. Sebagai akibatnya, anak tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Bahkan banyak dari mereka menjadi kebal terhadap nilai kesusilaan; sebaliknya menjadi lebih peka terhadap pengaruh jahat. Ringkasnya, delinkuensi terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial. Mereka mencari panutan dan sekuritas dari dan di dalam kelompok gengnya. Namun pada usia dewasa, mayoritas anak delinkuen tipe terisolir tadi meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21 – 23 tahu. Lompatan reformatif ini berlangsung spontan, yaitu tidak dipengaruhi oleh usaha masyarakat untuk mengubah kebiasaan buruk mereka. Tampaknya, pola tingkah laku delinkuen mereka itu merupakan bagian dari proses pendewasaan diri, untuk segera memasuki fase hidup baru, dan menyandang peranan sosial baru, lewat proses menjadi lebih dewasa. (2) Delinkuensi Neurotik Pada umumnya anak – anak delinkuen tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa : kecemasan, merasa tidak selalu aman, merasa terancam, tersudut dan terpojok, merasa bersalah dan berdosa, dan lain – lain. Ciri tingkah laku mereka antara lain ialah : (a)
Tingkah laku delinkuen bersumber pada sebab – sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan
52
nilai subkultur gangnya yang kriminal itu saja; juga bukan usaha untuk mendapatkan prestise sosial dan simpati dari luar. (b)
Tingkah laku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan. Karena itu tindak kejahatan mereka merupakan alat pelepas bagi rasa ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya yang jelas tidak terpikirkan oleh egonya.
(c)
Biasanya, anak remaja delinkuen tipe ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekkan jenis kejahatan tertentu; misalnya suka memperkosa lalu membunuh korbannya, kriminal, dan sekaligus neurotik.
(d)
Anak delinkuen neurotik ini banyak yang berasal dari keluarga menengah, yaitu dari lingkungan konvensional yang cukup baik kondisi sosial ekonominya. Namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah; dan orang tuanya biasanya neurotik atau psikotik.
(e)
Anak delinkuen neurotik ini memiliki ego yang lemah, dan ada kecenderungan untuk mengisolir diri dari lingkungan orang dewasa atau anak – anak remaja lainnya.
(f)
Motivasi kejahatan mereka berbeda – beda. Misalnya, para penyundut api (pyromania, suka membakar) didorong oleh nafsu ekshibisionistis, anak – anak yang suka membongkar melakukan pembongkaran didorong oleh keinginan melepaskan nafsu seks, dan lain – lain.
(g)
Perilakunya memperlihatkan kualitas kompulsif (paksaan). Kualitas sedemikian ini tidak terdapat pada tipe delinkuen terisolir. Anak – anak dan
53
orang muda tukang bakar, para peledak dinamit dan bom waktu, penjahat seks, dan pecandu narkotik dimasukkan dalam kelompok tipe neurotik ini. Oleh karena perubahan
tingkah laku remaja delinkuen neurotik ini
berlangsung atas dasar konflik jiwani yang serius atau mendalam sekali, maka mereka akan terus melanjutkan tingkah laku kejahatannya sampai usia dewasa dan umur tua. (3) Delinkuensi Psikopatik Delinkuen psikopatik ini sedikit jumlahnya; akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka ialah : (a)
Hampir seluruh anak delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan selalu menyiakan anak – anaknya. Tak sedikit dari mereka berasal dari rumah yatim piatu. Dalam lingkungan demikian mereka tidak pernah merasakan kehangatan, kasih sayang, dan relasi personal yang akrab dengan orang lain. Sebagai akibatnya, mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi, sedang kehidupan perasaannya pada umumnya menjadi tumpul atau mati. Sebagai akibatnya, mereka tidak mampu menjalin relasi emosional yang akrab atau baik dengan orang lain.
(b)
Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa atau melakukan pelanggaran. Karena itu sering meledak tidak terkendali.
54
(c)
Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana
hatinya yang
kacau tidak dapat diduga – duga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif. Biasanya mereka residivis yang berulangkali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki. (d)
Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasi norma – norma sosial yang umum berlaku. Juga tidak perduli terhadap norma subkultur gangnya sendiri
(e)
Acapkali mereka juga menderita gangguan neurologis, sehigga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. (4) Delinkuensi Defek Moral Defek (defect, defectus) artinya : rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat,
kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri: selalu melakukan tindakan asosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan dan gangguan kognitif, namun ada disfungsi pada intelegensinya. Kelemahan dan kegagalan para remaja delinkuen tipe ini ialah : mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat; juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya. Selalu saja mereka ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan. Relasi kemanusiannya sangat terganggu. Sikapnya sangat dingin dan beku, tanpa afeksi (perasaan); jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Mereka tidak memiliki rasa harga diri. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif primer, sehingga pembentukan superegonya sangat lemah. Impulsnya tetap ada dalam taraf primitif, sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan
55
“prestasinya”, namun sering perbuatan mereka disertai agresivitas yang meledak. Mereka juga selalu bersikap bermusuhan terhadap siapapun juga ; karena itu mereka selalu melakukan perbuatan kejahatan. Anak muda yang defek moralnya itu biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif. Di antara para penjahat habitual (terbiasa) dan kaum residivis muda, lebih kurang 80% mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah; jadi mereka menderita defek mental. Hanya kurang lebih 20% yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau faktor lingkungan sekitar.
4.
Faktor – faktor Penyebab Kenakalan Remaja
Philip Graham (Sarwono, 1991 : 199 – 200) menjelaskan bahwa kenakalan remaja lebih didasarkan pada pengamatan empiris dari sudut kesehatan mental remaja. Ia membagi faktor – faktor tersebut kedalam dua golongan : 1. Faktor Lingkungan (a) Malnutrisi (b) Kemiskinan di kota besar (c) Gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu – lintas, bencana alam, dan lain – lain) (d) Migrasi (urbanisasi, pengungsian karena perang, dan lain – lain) (e) Faktor sekolah (kesalahan mendidik, faktor kurikulum, dan lain – lain)
56
(f) Keluarga yang tercerai berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama, dan lain – lain) (g) Gangguan dalam pengasuhan keluarga (Kematian orang tua, orang tua sakit berat atau cacat, hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis, orang tua sakit jiwa). (h) Kesulitan dalam pengasuhan karena pengangguran, kesulitan keuangan, tempat tinggal tidak memenuhi syarat, dan lain – lain. 2. Faktor Pribadi (a) Faktor bakat yang mempengaruhi tempramen (menjadi pemarah, hiperaktif, dan lain – lain) (b) Cacat tubuh (c) Ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri Banyak faktor yang menyebabkan tingkah laku kenakalan itu, sehingga Sofyan .S. Willis (2008 : 93-99) mengelompokkannya dalam 4 bagian, yaitu : 1. Faktor – Faktor di Dalam Diri Anak itu Sendiri (a) Predisposising Faktor Faktor – faktor yang memberi kecenderungan tertentu terhadap perilaku remaja. Faktor tersebut dibawa sejak lahir, atau oleh kejadian – kejadian ketika kelahiran bayi, yang disebut birth injury, yaitu luka dikepala ketika bayi ditarik dari perut ibu. Predisposing factor yang lain berupa kelainan kejiwaan seperti schizophrenia. Penyakit jiwa ini bisa juga dipengaruhi oleh lingkungan keluarga yang keras atau penuh tekanan terhadap anak – anak.
57
(b) Lemahnya Pertahanan Diri Merupakan faktor yang ada dalam diri remaja yang berguna untuk mengontrol dan mempertahankan diri terhadap pengaruh – pengaruh negatif dari lingkungan. Faktor – faktor yang menyebabkannya antara lain karena faktor pendidikan dalam keluarga. Sering orang tua tidak memberi kesempatan anak untuk mandiri, kreatif, dan memiliki daya kritis, serta mampu bertanggung jawab. Kondisi keluarga yang selalu bertengkar antara ayah dan ibu, juga membuat anak – anak tidak betah dirumah. Akibatnya mereka suka di jalanan gang berkumpul dengan anak – anak lain. Karena itulah harus ada usaha untuk memperkuat mental anak agar tahan terhadap gangguan – gangguan dari luar yang negatif. (c) Kurang Kemampuan Penyesuaian Diri Kurang
kemampuan
penyesuaian
diri
dimaksudkan
sebagai
ketidakmampuan seorang remaja untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, hal ini dikarenakan remaja tersebut terbiasa dengan pendidikan kaku dan dengan disiplin ketat di keluarga akan menyebabkan masa remajanya juga kaku dalam bergaul, dan tidak pandai dalam memilih teman. (d) Kurangnya Dasar – Dasar Keimanan di Dalam Diri Remaja Pendidikan agama merupakan bekal yang sangat penting yang harus diberikan kepada para remaja. Sekolah dan orang tua harus bekerjasama untuk memberikan pendidikan agama secara baik,
58
mantap, dan sesuai dengan kondisi saat ini. Oleh karena itu pendidikan agama harus diberikan secara menarik dan tidak membosankan. Pendidikan agama yang diberikan sejak dini penting sekali untuk diberikan. Namun banyak keluarga yang sibuk dengan urusan duniawi. Semuanya diserahkan kepada madrasah, hal ini tidak salah, akan tetapi jika orang tua yang mengajarkan agama kepada anak – anaknya sejak dini, tentu diberikan dengan kasih sayang dan penuh tanggung jawab. 2. Penyebab Kenakalan yang Berasal dari Lingkungan Keluarga (a) Kurang Mendapatkan Kasih Sayang dan Perhatian Orang Tua Remaja yang kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian orang tua, maka apa yang dibutuhkannya itu terpaksa dicari di luar rumah, seperti di dalam kelompok kawan – kawannya. Kelompok ini berkumpul untuk memenuhi kebutuhan yang hampir sama, antara lain ingin mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua dan masyarakat. Kelompok remaja seperti ini biasa disebut geng. Dalam geng tersebut, oleh ketua gengnya, remaja – remaja itu diberi pelayanan yang baik dan penghargaan, sehingga anak merasa betah. Padahal norma – norma yang dianut oleh geng tersebut tidak sesuai bahkan bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Remaja mau saja melakukan perbuatan yang tidak disetujui masyarakat, karena mendapat pujian, perhatian dan kasih sayang. (b) Lemahnya Keadaan Ekonomi Orang Tua di Desa – Desa, telah Menyebabkan Tidak Mampu Mencukupi Kebutuhan Anak – Anaknya
59
Adanya kemajuan teknologi menyebabkan desa yang dulunya tertutup dalam arti belum lancarnya transportasi dan komunikasi, menjadi makin terbuka dengan segala informasi yang ada. Hal ini membuat informasi tentang berbagai hal, seperti halnya berbagai mode pakaian, kendaraan, hiburan dan sebagainya menjadi mudah masuk ke desa. Hingga akhirnya timbul keinginan – keinginan untuk memiliki barang – barang tersebut, terutama bagi kalangan remaja. Kemudian remaja tersebut menuntut supaya orang tuanya dapat membeli barang – barang mewah seperti TV, recorder, sepeda motor, dan bahkan mobil. Bersamaan dengan itu meningkat pula hal – hal seperti pergaulan bebas, merokok, dan minuman keras. Apabila orang tua tidak bisa memenuhinya, maka timbullah perasaan rendah diri pada remaja. Akibatnya timbul pula berbagai masalah sosial yang disebabkan kelakuan remaja yang gagal dalam memenuhi kebutuhan akan barang – barang mewah tersebut. Misalnya pencurian, mula – mula kecil – kecil, lama – kelamaan pencurian barang – barang berharga. (c) Kehidupan Keluarga yang Tidak Harmonis Keluarga yang dikatakan utuh, apabila struktur keluarga tersebut utuh/ lengkap dan interaksi antar keluarga berjalan dengan baik, artinya hubungan psikologis yang ada antar anggota keluarga cukup memuaskan antar pihak keluarga tersebut. Apabila struktur keluarga sudah tidak utuh lagi, misalnya karena kematian salah satu anggota keluarga (orang tua), perceraian,
60
kehidupan keluarga tidak harmonis lagi. Keadaan keluarga seperti ini bisa disebut juga broken home atau keluarga pecah. Broken home juga bisa terjadi ketika ayah dan ibu sering bertengkar. Pertengkaran ini bisa terjadi karena tidak adanya kesepakatan dalam mengatur rumah tangga, terutama dalam hal kedisiplinan, sehingga anak menjadi ragu akan kebenaran yang harus ditegakkan di dalam keluarganya. Inilah sebuah awal mula kenakalan remaja. Keluarga broken home juga dikarenakan orang tua (ayah dan ibu) terlalu sibuk mengurus kepentingannya sendiri di luar rumah, sehingga mereka jarang sekali berkumpul dengan anak – anaknya. 3. Penyebab Kenakalan Remaja yang Berasal dari Lingkungan Masyarakat (a) Kurangnya Pelaksanaan Ajaran – Ajaran Agama Secara Konsekuen Masyarakat bisa menjadi penyebab bagi timbulnya kenakalan remaja, terutama bagi masyarakat yang kurang sekali dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya. Di dalam ajaran agama, banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu pembinaaan anak remaja, seperti ajaran berbuat baik, beramal saleh, suka tolong – menolong, dan sebagainya. Namun terkadang sebagian anggota masyarakat tersebut melupakan ajaran agamanya, sehingga menghilanglah perasaan manusiawinya, serakah, sombong, takabur, dan sifat lainnya. Masyarakat yang kurang beragama tersebut, merupakan sumber dari berbagai kejahatan seperti kekerasan, pemerasan, perampokan, dan sebagainya.
61
(b) Masyarakat yang Kurang Memperoleh Pendidikan Sejak
zaman
pendudukan
Belanda,
masyarakat
sangat
sulit
memperoleh pendidikan, karena Belanda tidak memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk memperoleh pendidikan. Walaupun sudah sejak lama Indonesia merdeka, namun pengaruh keterbelakangan pendidikan tersebut, berpengaruh pada cara – cara orang tua mendidik anak – anaknya. Mereka kurang memperhatikan perkembangan
jiwa anaknya,
kurang mengetahui
cara untuk
mendewasakan anak, membantu usaha sekolah dalam rangka meningkatkan kecerdasan anak dan sebagainya. Orang tua yang kurang berpendidikan tersebut juga membiarkan saja apa – apa keinginan anak – anaknya, kurang mengarahkan anak kepada pendidikan akhlak yang baik tidak jarang orang tua yang kurang berpendidikan tersebut terpengaruh oleh keinginan – keinginan anak remajanya yang sudah bersekolah, yang keinginan tersebut kadang – kadang sering menjurus kepada tumbuhnya kenakalan remaja, misalnya berfoya – foya, pergaulan bebas, minuman keras, kebut – kebutan, main senjata api, bahkan menggunakan ganja. (c) Kurangnya Pengawasan terhadap Remaja Pengawasan kepada remaja dimaksudkan untuk menghindarkan para remaja dari tingkah laku yang kurang baik dan menumbuhkan tingkah laku yang positif yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Pengawasan bukan berarti menutup kebebasan mereka, namun lebih
62
pada usaha orang tua untuk memberikan bimbingan pada anaknya, kearah perkembangan yang wajar. (d) Pengaruh Norma – Norma Baru dari Luar Norma baru yang datang dari luar, biasanya dari dunia barat, baik melalui film dan televisi, pergaulan sosial, model dan lain – lain. Para remaja yang dengan cepat menelan apa saja yang dilihat dari film – film barat, contohnya pergaulan bebas. Padahal pergaulan bebas itu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat. Terjadinya kehamilan diluar nilkah di desa – desa adalah salah satu contoh peniruan perilaku dari Barat. 4. Sebab – Sebab Kenakalan Remaja yang Bersumber dari Sekolah (a) Faktor Guru Guru yang berdedikasi pada profesinya sebagai seorang pengajar adalah yang ikhlas dalam mengerjakan tugasnya. Bila ia mengalami kesulitan dalam mengatasi tugasnya, ia tidak mudah mengeluh dan mengalah pada keadaan yang membelitnya. Apabila guru tersebut tidak bekerja dengan penuh dedikasi maka guru tersebut akan mengajar dengan sekehendaknya saja, dan kurang berminat untuk meningkatkan kemampuan keguruannya. Akibatnya murid – murid berbuat sekehendak hatinya, terutama melakukan kenakalan. (b) Faktor Fasilitas Pendidikan Kurangnya fasilitas pendidikan menyebabkan kurangnya tempat untuk menyalurkan bakat dan keinginan remaja. Bakat dan keinginan yang
63
tidak tersalur dengan semestinya, menjadikan remaja akan mencari penyaluran pada kegiatan lain yang negatif. (c) Norma – norma pendidikan dan kekompakan guru Di dalam upaya untuk mengatur anak didik, guru harus memiliki kemampuan norma dan nilai, karena apabila terjadi perbedaan dalam cara mendidik, hal ini dapat menyebabkan kenakalan remaja. (d) Kekurangan Guru Kekurangan tenaga guru sangat berpengaruh pada anak – anak remaja, terutama
dalam
kenakalan
remaja.
Misalnya,
adanya
proses
penggabungan kelas karena minimnya guru, bisa menyebabkan kelas ribut ketika proses belajar mengajar, pelajaran tidak berketentuan, dan akibatnya timbul hal – hal negatif, seperti menganggu teman, berkelahi, mencuri barang, dan uang teman. Hal lain yang bisa terjadi apabila kurangnya tenaga guru di sekolah adalah pengurangan jam pelajaran sekolah dan sekolah yang kerap meliburkan anak didiknya. Akibatnya remaja – remaja itu banyak yang memiliki waktu senggang, yang besar kemungkinan menjadi awal dari timbulnya kegiatan yang berujung pada kenakalan remaja.
5. Kenakalan Remaja dalam Perspektif Islam Islam tidak memiliki kategori untuk masa remaja, yang ada hanya akil baligh. Bahkan menurut jumhur ulama hanya ada istilah mummayiz dan akil balig. Mumayiz artinya adalah “masa persiapan kedewasaan”, sedangkan Akil
64
Baliq (dewasa) yang dimulai pada saat pubertas (Fazrul, 2010). Usia akil baligh adalah periode waktu, dimana ketentuan syariat islam sudah berlaku baginya, karena ia telah mencapai kematangan biologisnya (tanda – tanda fisik muncul). Kenakalan remaja merupakan perbuatan yang melanggar batas norma, baik secara sosial, agama, dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Kenakalan remaja menurut pandangan islam adalah melakukan perbuatan tercela dan meninggalkan perbuatan baik yang sudah dituntunkan dalam ajaran agama. Perbuatan yang melanggar kaidah – kaidah baik bersumber kepada Al – Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW (Abidin, 2011). Diantara perbuatan – perbuatan yang tercela tersebut diantaranya yang merugikan orang lain seperti; judi,zina,mencuri,merampok,menganiaya,dan sebagainya.
Perbuatan
lain
yang
juga
merugikan
adalah
merusak
lingkungan,hewan dan bangunan (www.rezaremit.wordpress.com,diakses Kamis 08 Maret 2012). Perbuatan yang kerap dilakukan remaja seperi perbuatan kekerasan, seperti penganiayaan, pemukulan, mencela dan lain – lain, pada hakikatnya perbuatan tersebut melanggar nilai – nilai terpuji (mahmudah).Perbuatan ini disebut juga dengan kedzaliman (Abidin, 2011). Dalam sebuah hadits, nabi bersabda (www.hidayatullah.com,diakses Kamis 08 Maret 2012) : Abu Hurairah r.a. berkata: “Nabi SAW bersabda: “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil
65
menurut penganiayaannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka
diambilkan
dari
kejahatan
orang
yang
dianiaya
untuk
ditanggungkan kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim). Perbuatan lain yang tergolong kenakalan remaja yang merugikan orang lain yaitu mencuri atau mengambil barang milik orang lain. Menurut pengertian syara’ mencuri adalah mengambil harta milik orang lain dengan diam – diam dari tempat penyimpanannya. Dalam QS Surat Al – Maidah (5) : 38
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an.1971:165)
Allah telah menegaskan hukuman yang jelas bagi mereka yang melakukan perbuatan mencuri. Namun di Indonesia yang menganut tidak menganut hukum Islam, hukuman potong tangan tidak dilakukan pada mereka yang mencuri. Kenakalan remaja juga terkait dengan penggunaan obat – obatan terlarang dan konsumsi minuman beralkohol (Liu, 1994 : 36). Minuman beralkohol di dalam ajaran Islam disebut Khamr, yang artinya menutupi akal dengan kata lain penyebab tidak berfungsi normalnya akal manusia. Umar Bin Khattab (www.aneahira.com,diakses Kamis,08 Maret 2012) pernah mengatakan bahwa khamr terbuat dari salah satu dari lima unsur berikut, yaitu anggur, kurma, madu,
66
jagung, dan gandum. Namun seiring perkembangan zaman semakin beragam jenis bahan makanan, cakupan bahan yang bisa memabukkan pun semakin banyak, mulai tradisional sampai modern; mulai dari saripati anggur hingga narkotika dan zat-zat aditif modern. Beberapa Hadist juga mengungkapkan tentang khamr : “Khamr itu adalah sesuatu yang mengacaukan akal” (HR.Bukhari Muslim) “Semua yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram” (HR.Muslim) “Minuman apapun yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram” (HR.Ahmad,Abu Daud dan Tirmidzi) Ketika seseorang mengkonsumsi khamr,banyak sekali kerugian baik secara fisik maupun psikis. Sehingga Allah dengan tegas melarangnya, berikut firman Allah QS Al-Maidah (5):90-91
Artinya:” Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah AlQur’an.1971:176)
67
Artinya :”Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an.1971:177) Kedua ayat diatas dengan jelas menyiratkan bahwa Allah melarang baik mengkonsumi khamr, dan juga berjudi. Maka remaja yang mulai beranjak dewasa itu, perlu dibimbing agar mereka tidak terjerumus pada konsumsi minumminuman keras dan obat-obatan terlarang.
B.
Kecerdasan Emosi 1.
Pengertian Emosi
Emosi secara etimologi, berasal dari bahasa latin movere yang berarti menggerakkan, bergerak. Kemudian kata tersebut ditambah dengan awalan e , yang memberi arti bergerak menjauh. Makna ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan bertindak adalah yang yang utama dan yang terpenting dalam emosi (Hude, 2006 : 16). Adanya dorongan bertindak untuk mengatasi suatu masalah ini telah ditanamkan secara berangsur – angsur oleh evolusi (Goleman, 1999 : 7). Emosi juga merupakan sebuah ungkapan yang merepresentasikan tujuan spesifik dari seorang individu, sehingga reaksi emosi lebih kuat dan temporer (Prawitasari, 2012 : 53). Darwis Hude (2006 : 18) memberikan pengertian emosi sebagai berikut : Emosi adalah suatu gejala psikofisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap, dan tingkah laku, serta mengejawantah dalam bentuk ekspresi tertentu. Emosi dirasakan secara psikofisik, karena terkait langsung dengan jiwa dan fisik. Ketika emosi bahagia meledak – ledak, ia secara psikis memberi kepuasan, tetapi secara fisiologis membuat jantung
68
berdebar – debar atau langkah kaki terasa ringan, juga tak terasa ketika berteriak puas kegirangan. Chaplin (Ali, Asrori, 2006 : 62) dalam Dictionary of Psychology mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan terangsang pada organisme mencakup semua perubahan – perubahan yang disadari, yang sifatnya lebih mendalam dari perubahan perilaku semata. Menurut
Soegarda
Poerbakawatja
(Ali,
Asrori,
2006
:
62-63)
mendefinisikan emosi keadaan tubuh yang merespon suatu perangsang tertentu yang menyebabkan perubahan fisiologis yang disertai dengan perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus sewaktu – waktu, respon yang terjadi biasanya karena perangsang internal maupun eksternal. Lazarus (Prawitasari, 2012 : 53) membagi dua kelompok emosi, yaitu kelompok emosi positif dan negatif. Kelompok emosi positif yang terdiri dari senang, bahagia dan cinta. Emosi positif muncul dikarenakan angitan/taksiran (appraisal) stimulus lingkungan yang sesuai dan sama dengan tujuan (goal relevance dan goal congruence) tujuan sehingga stimulus dinilai mendukung pencapaian tujuan individu. Sedangkan kelompok emosi negatif yang terdiri dari marah, taku-cemas, iri hati, jijik, malu, dan sebagainya. Munculnya emosi negatif dikarenakan angitan/taksiran (appraisal) stimulus lingkungan yang tidak sesuai dan tidak sama dengan tujuan (goal relevance dan goal congruence) tujuan sehingga stimulus dinilai menunda,menghilangkan,menentang, atau bahkan mengancam tujuan individu. Kelompok emosi dijelaskan lebih lanjut oleh Daniel Goleman (Goleman, 1999 : 8-9, Ali & Asrori, 2006 : 63) :
69
(1) Amarah, yang di dalamnya meliputi brutal,mengamuk, benci marah besar, jengkel, dan sebagainya. Tanda fisiologis dari emosi ini adalah detak jantung yang meningkat, adanya hormon adrenalin yang meningkat sehingga membangkitkan gelombang energi yang cukup kuat untuk bertindak dahsyat. (2) Kesedihan, yang di dalamnya meliputi sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, dan sebagainya. Salah satu fungsi pokok rasa sedih adalah untuk menolong menyesuaikan diri akibat kehilangan yang menyedihkan. Kesedihan menurunkan energi dan semangat hidup untuk melakukan kegiatan sehari – hari, apabila kesedihan tidak segera diatasi maka bisa mengakibatkan depresi (3) Takut, yang di dalamnya meliputi cemas, takut, gugup, khawatir, was – was, perasaan takut sekali, dan sebagainya. Saat tubuh mengalami rasa takut, maka sirkuit – sirkuit di pusat – pusat emosi otak memicu tereproduksinya hormon – hormon yang membuat tubuh waspada, membuatnya awas dan siap bertindak. (4) Kebahagiaan, yang di dalamnya meliputi nikmat, gembira, ringan puas, riang, senang, terhibur, bangga, dan sebagainya. Kebahagiaan adalah meningkatnya kegiatan di pusat otak yang menghambat perasaan negatif dan meningkatkan energi yang ada, dan menenangkan perasaan yang menimbulkan kerisauan. (5) Cinta, di dalamnya meliputi penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan, hati, rasa dekat, dan sebagainya.
70
(6) Terkejut, di dalamnya meliputi terkesiap, takjub, dan terpana. Reaksi ini membuka kemungkinan lebih banyak informasi tentang peristiwa tak terduga, sehingga memudahkan memahami apa yang sebenarnya terjadi dan menyusun rencana rancangan tindakan yang terbaik. (7) Jengkel, di dalamnya meliputi hina, jijik, mual, muak, benci, tidak suka, dan sebagainya. (8) Malu, di dalamnya meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati, menyesal, dan sebagainya. (9) Jijik, adalah sebuah ungkapan yang sama dan memberi pesan yang sama: sesuatu yang menyengat rasa atau baunya, atau metaforis demikian.
2.
Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah istilah yang dipopulerkan oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer pada tahun 1990. Dalam majalah Time edisi 1995 (Ciarrochi, 2000) disebutkan bahwa “ ... kecerdasan emosi dimungkinkan sebagai prediktor terbaik dalam memprediksi kesuksesan dalam hidup, menegaskan kembali apa yang diartikan sebagai kecerdasan”. Definisi kecerdasan emosi menurut Salovey & Meyer adalah sebagai berikut : Emotional intelligence involves the ability to perceive accurately, appraise, and express emotion; the ability to access and/or generate feelings when they facilitate thought; the ability to understand emotion and emotional knowledge; and ability to regulate emotions to promote emotional and intellectual growth (Fernández-Berrocal&Extremera, 2006)
71
Pada literatur yang lain Salovey dan Mayer, mendeskripsikan kecerdasan emosi sebagai : The Ability to perceive emotion, integrate emotion to facilitate thought, understand emotions, and to regulate emotion to promote personal growth (Stys, 2004 : 1). Menurut mereka pemikiran utama pada kecerdasan emosi adalah mengintegrasikan antara kecerdasan (intelegensi) dan emosi (emotion). Dari teori kecerdasan didapatkan gagasan bahwa kecerdasan melibatkan penalaran secara abstrak. Sedangkan dari hasil penelitian tentang emosi didapatkan dugaan bahwa emosi adalah suatu sinyal yang menyampaikan makna – makna secara nyata dan teratur, dan ada kenyataan bahwa sejumlah emosi sifatnya universal. Salovey dan Meyer (Stys, 2004) menyatakan bahwa ada variasi dalam kemampuan seorang individu untuk memproses informasi secara emosional dan menghubungkannya dengan kognisinya. Pada akhirnya didapatkan suatu kesimpulan bahwa kecerdasan emosi terdiri dari dua bidang yaitu pengalaman (kemampuan untuk memahami, menanggapi, dan memanipulasi sebuah informasi emosional dan perlu memahami itu) dan strategis (kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi tanpa perlu memahami dan mengalami perasaan itu secara sepenuhnya). Dari dua area itu kemudian dibagi lagi menjadi beberapa cabang antara lain : emotional perception, emotional assimilation, emotional understanding, dan emotion management. Kemudian pada tahun 1992 Reuven Bar On (Stys, 2004), mengembangkan salah satu dari upaya awal untuk melakukan pengukuran terhadap kecerdasan emosi.Kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar On lebih kompleks
72
dibandingkan dengan milik Salovey dan Meyer, yang disebut juga dengan kecerdasan sosial emosional. emotional-social intelligence is a cross-section of interrelated emotional and social competencies, skills and facilitators that determine how effectively we understand and express ourselves, understand others and relate with them, and cope with daily demands (FernándezBerrocal&Extremera, 2006:8) Model kecerdasan emosi Bar On terdiri dari lima komponen yaitu intrapersonal, interpersonal, kemampuan adaptasi, manajemen stress, dan suasana hati secara umum. Secara khusus, kecerdasan sosio emosional terdiri dari lima faktor, yang dibagi dalam 15 subfaktor: 1) Keterampilan intrapersonal mengacu pada kemampuan yang sadar dan memahami emosi, perasaan, dan ide-ide dalam diri, dan dibagi ke dalam 5 subfaktor menghargai diri, Kesadaran Diri Emosional, Ketegasan, Kemerdekaan, dan Aktualisasi diri ; 2) Keterampilan interpersonal mengacu pada kemampuan untuk memahami emosi, perasaan, dan gagasan orang lain, dan itu dibagi ke dalam 3 subfaktor , Empati , Tanggung Jawab Sosial, dan Hubungan interpersonal; 3) Adaptabilitas mengacu pada kemampuan menjadi terbuka pada perubahan perasaan , yang tergantung pada situasi, dan termasuk 3 subfaktor Pengujian realitas, Fleksibilitas, dan Pemecahan Masalah, 4) Manajemen Stres mengacu pada kemampuan untuk menyalin stres dan kontrol emosi, itu terdiri oleh subfaktor toleransi terhadap stres dan kontrol implusivitas; dan terakhir, 5) suasana hati secara umum mengacu pada kemampuan perasaan dan mengekspresikan emosi positif, dan bersikap optimis, dan terdiri dari subfaktor Optimisme dan Kebahagiaan (Fernández-Berrocal&Extremera, 2006).
73
Menurut hipotesa Bar On, orang yang memiliki EQ lebih tinggi dibandingkan dengan orang – orang lainnya pada umumnya mampu memenuhi tuntutan dari lingkungan dan tekanan yang melingkupinya (Stys, 2004). Selanjutnya Daniel Goleman pada tahun 1995, mengetemukan hasil pemikiran dari Salovey dan Mayer, yang memberikannya inspirasi untuk menulis sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence pada tahun 1995, yang dianggap sebagai tonggak perkembangan kecerdasan emosi. Dalam bukunya Goleman menulis : Kecerdasan emosional adalah kemampuan yang mencakup kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih – lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati, dan menjaga beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; bersimpati dan berdoa (Goleman,1999:45)
Goleman (Wahyuningsih,2004:27) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Berdasarkan
oleh
hasil
penelitian
yang
dilakukannya,
Goleman
menyatakan bahwa kecerdasan emosi, sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual (Desmita, 2008 : 170). Meskipun masing – masing tokoh memiliki definisi berbeda dalam menjelaskan kecerdasan emosi, namun pada dasarnya pendapat mereka saling
74
melengkapi dan tidak bertentangan. Semua teori dalam paradigma kecerdasan emosi berusaha untuk memahami bagaimana seorang individu memandang, memahami,
memanfaatkan,
dan
mengelola
emosi
dalam
upaya
untuk
memprediksi dan mengembangkan efektivitas pribadi (Emmerling,et al, 2003 : 12) Dari beberapa pengertian tentang kecerdasan emosional diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk merasakan emosi, mengintegrasikan emosi untuk memudahkan dalam proses berpikir, memahami emosi-emosi, dan melakukan regulasi emosi untuk meningkatkan kesejahteraan diri.
3. Faktor – Faktor Kecerdasan Emosi Para ahli memiliki definisi yang berbeda – beda mengenai kecerdasan emosi, namun perbedaan definisi para ahli tersebut cenderung saling melengkapi bukan saling berkontradiksi (Ciarrochi, 2001 : 1106), secara umum ada empat kemampuan dalam model kecerdasan emosi Salovey dan Mayer (FernándezBerrocal&Extremera, 2006 : 8), yaitu persepsi emosi, regulasi, memahami, dan menggunakan. Empat kemampuan tersebut akan dibahas secara lebih jelas, dibawah ini : (1) Faktor Persepsi Emosi (Emotional perception factor) Persepsi emosi terdiri dari kemampuan untuk membedakan, menyadari, dan mengekspresikan emosi diri sendiri dan emosi orang lain (Ciarrochi,2001 : 1107), dan juga pada benda, seni, cerita – cerita, musik dan stimulus yang lain
75
(Fernández-Berrocal&Extremera, 2006 : 8). Di dalam persepsi emosi juga termasuk kemampuan untuk membedakan diantara ekspresi emosi yang apa adanya, dan yang dibuat – buat (Stys,2004:5). (2) Faktor mengelola emosi diri (The managing Self – Relevant Emotions factor) Kemampuan mengelola emosi diri terdiri dari kecakapan untuk melakukan strategi coping yang adaptif terhadap suatu keadaan yang berbahaya dengan menggunakan regulasi diri, yang mampu memperbaiki intensitas dari emosi yang negatif tersebut (Ciarrochi, 2001 : 1108). Selain itu kemampuan mengelola emosi diri juga disebut sebagai pemahaman emosi atau emotional understanding, yaitu bagaimana mengelola emosi agar dapat dikombinasikan antara satu emosi dengan emosi yang lain dalam satu waktu tertentu (Fernández-Berrocal&Extremera, 2006 : 8), serta mengenali adanya perubahan dari satu emosi pada emosi yang lain (Stys,2004 : 5). (3) Faktor memahami emosi orang lain (The managing others’ Emotion factor) Kemampuan memahami emosi orang lain dijelaskan sebagai kemampuan yang
terdiri
dari
mengatur
suasana
agar
orang
lain
merasa
nyaman,menyembunyikan emosi negatif yang bertujuan agar tidak menyakiti orang lain,dan membuat orang lain merasa lebih baik ketika mereka bersedih (Ciarrochi, 2001 : 1108). Kemampuan memahami emosi orang lain disebut juga sebagai asimilasi emosi atau emotional assimilation, yaitu kemampuan untuk membedakan diantara emosi yang berbeda – beda yang dialami orang lain dan
76
mengidentifikasi emosi tersebut dan digunakan dalam proses kognitif (FernándezBerrocal&Extremera, 2006 : 8). (4) Faktor manajemen emosi (The utilization factor). Kemampuan melakukan manajemen emosi adalah kemampuan untuk menggunakan atau tidak menggunakan emosi yang tergantung manfaat emosi tersebut pada situasi tertentu (Stys, 2004 : 5). Serta mengawasi dan mengatur emosi diri dan emosi orang lain, untuk mendukung pengembangan diri (BerrocalFernández&Extremera, 2006 : 8). Goleman yang mengutip pandangan Salovey tentang kecerdasan emosi memaparkan lima faktor penting dalam kecerdasan emosi (Goleman, 1999 : 5859; Desmita, 2008 : 170-172), yaitu : (a) Mengenali emosi diri (knowing one’s emotions self awarness) Kesadaran diri (mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi) merupakan dasar kecerdasan emosi. Para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Kesadaran terhadap diri memungkinkan seseorang untuk memiliki pikiran rasional yang dari pikiran rasional tersebut dapat memberikan informasi penting yang menyingkirkan suasana hati yang tidak menyenangkan. Kesadaran diri dapat mengelola emosi diri sendiri dan hubungan antar personal serta menyadari emosi dan pikiran sendiri. Jika seseorang memiliki kemampuan tinggi dalam kesadaran diri, maka dia akan semakin baik dalam menangani perilaku negatif diri sendiri.
77
(b) Mengelola emosi (managing emotions) Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Mengelola emosi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang dapat menangani emosinya agar bisa berdampak positif pada proses penyelesaian tugas, peka terhadap kata hati, dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya satu tujuan, serta mampu menetralisir tekanan emosi. Mengelola emosi, yang termasuk di dalamnya juga mampu mengendalikan, meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi. (c) Motivasi diri (motivating yourself) Merupakan sebuah proses penataan emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Hal ini penting karena dalam kaitannya untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri, dan untuk berkreasi. Motivasi diri maksudnya adalah memanfaatkan emosi sehingga dapat mendukung kesuksesan diri. Motivasi ini dapat menggerakkan manusia untuk meraih tujuan hidupnya, sedangkan emosi adalah bahan bakar untuk motivasi tersebut. Keduanya bersinergi bersama – sama untuk menggerakkan dan menuntun manusia menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. (d) Mengenali emosi orang lain (recognizing emotions in other) Mengenali emosi orang lain disebut juga empati, yang dimaksud kemampuan untuk mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu
78
memahami prespektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat. Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. (e) Membina hubungan (handling relationship) Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Membina hubungan adalah kemampuan mengendalikan emosi dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat dalam membaca situasi dan jaringan sosial, mampu berinteraksi dengan lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia. Orang yang memiliki kemampuan yang mumpuni dalam membina hubungan, akan meraih sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar dengan orang lain.
79
4. Kecerdasan Emosi dalam Perspektif Islam Emosi telah dikaji oleh banyak ilmuwan, dengan mendasarkan pada pengalaman dan penelitian terhadap manusia dan hewan, kendati masih banyak menemukan kendala (Hude, 2006 : 16). Kendala – kendala tersebut dikarenakan manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna, hingga banyak sekali kompleksitas dalam diri manusia. Allah menciptakan manusia dengan sifat – sifat umum : emosi, kemampuan spiritual,kemampuan intelektual, dan kemampuan fisik (El-Nadi, 2008).Dengan kemajemukannya manusia diharapkan mampu menjadi khalifah di dunia, yang tidak saja menjadi pemimpin bagi orang lain, namun juga bagi dirinya sendiri. Emosi
sebagai
salah
satu
bagian
dari
diri
manusia,
haruslah
didayagunakan sebaik – baiknya agar dapat menunjang manusia dalam kehidupannya. Bukan malah menjadikan manusia tak terkendali, dan melupakan akan tugasnya sebagai wakil Allah di dunia. Di dalam Al – Qur’an tidak dijumpai kosakata spesifik yang berdenotasi emosi, namun banyak ditemukan ayat – ayat yang menampilkan perubahan emosi dalam tingkah laku manusia. Menurut Darwis Hude (2006 : 19) kata “sya’ura” bisa dianggap dekat artinya dengan perasaan dan dijumpai berulang – ulang dalam Al-Qur’an tidak dimaknai sebagai emosi. Sementara para ahli tafsir selalu menerjemahkannya dengan makna “sadar” atau “tahu”. Dari sudut pandang bahasa, kata “sya’ura” memang berkaitan erat dengan faktor kehalusan perasaan, sehingga darinya lahir kata “syi’ir” yang diartikan dengan nyanyian yang menyentuh perasaan (sastra), dan “sya’ir” (penyair, sastrawan). Di dalam Al-Qur’an, kecerdasan emosi kerap dihubungkan
80
dengan hati/kalbu “ ” ﻗﻠﺐ/qalbun/ selain itu ada istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa “ “ اﻟﻨﻔﺲ/al-nafsu/ intuisi “ “ ﺣﺪس/ḥadsun/ dan beberapa istilah lainnya (Dinyati,2011). Kata al-Qalbu disebutkan sebanyak 144 kali dalam Al-Qur’an. Nashori (Casmini,2006:156) menyatakan Qalbu (qalb) adalah materi organik yang memiliki sistem kognisi yang berdaya emosi. Al-Qalbu memiliki kemampuan untuk memperoleh pengetahuan (al-ma’rifat) melalui cita rasa (al-zawqiyah). Pengetahuan yang dapat dirasakan qalbu adalah realitas yang sifatnya abstrak, seperti; kasih sayang, kesedihan, kemarahan, kegembiraan. Qalbu dapat menangkap adanya getaran perasaan dari manusia ataupun mahluk lainnya. Hude (2006) mengungkapkan jenis emosi yang telah disepakati oleh para ahli sebagai emosi dasar adalah: emosi senang/bahagia (joy, )اﻻﺑﺘﮭﺎج, marah (anger, )اﻟﻐﻀﺐ, sedih (sadness, )اﻟﺤﺰن, takut (fear, )اﻟﺨﻮف, benci/jijik (disgust, )اﻻﺷﻤﺌﺰاز, dan heran/kaget (surprise, )اﻟﻤﻔﺎﺟﺄة. Para ahli menyimpulkan bahwa keenam emosi ini yang diidentifikasi dirasakan oleh semua manusia di dunia. Ajaran agama islam menuntun kita untuk bersikap wajar dalam berbagai hal (El-nadi, 2008), agar terjadi kesimbangan antara diri sendiri, dunia, dan Allah SWT. Allah menganjurkan kita untuk menghindari emosi negatif ataupun emosi positif secara berlebihan, karena segala sesuatu yang berlebihan akan menjadi tidak terkontrol. Misalnya; kebahagiaan yang amat sangat akan menggiring kita untuk merayakan sesuatu dengan cara yang salah, seperti berpesta dengan diselingi berbuat maksiat, di lain pihak kesedihan yang amat sangat akan makin
81
menghancurkan diri sendiri dan orang lain, seperti timbulnya keinginan untuk bunuh diri dan lain sebagainya (El-nadi, 2008). Ajaran Islam telah banyak membimbing umatnya agar mampu menggunakan emosinya. Bahkan beberapa diantara ajaran tersebut mengarahkan pembentukan kecerdasan emosi (Tahir, 2012). Faktor dalam kecerdasan emosi yang telah sejak dulu tersampaikan dalam ajaran islam antara lain ; Memahami emosi diri yaitu mengenali emosi yang sedang dialami. Seseorang yang mampu memahami perasaannya dengan baik akan mampu mengendalikan kehidupannya sendiri. QS Al-Hasyr :19
Artinya : “Dan Janganlah Kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka inilah orang-orang yang fasik.” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah AlQur’an.1971:919)
Ayat diatas menekankan bahwa untuk mengetahui siapa penciptanya, maka manusia harus mengetahui dirinya terlebih dahulu. Jika manusia mengetahui dengan baik siapa yang menciptakannya, maka manusia akan memahami apa yang membuatnya berbeda dengan mahluk ciptaan Allah yang lain, dan manusia menyadari apa yang menjadikannya mahluk sempurna dibandingkan hewan,
82
tumbuhan dan sebagainya (Tahir, 2012). Manusia diberi kesempurnaan sehingga mampu menggunakan emosinya untuk tujuan pengembangan dirinya, bukan malah menghancurkan dirinya. Selain memahami emosi diri sendiri, seorang manusia juga perlu memahami emosi orang lain. Memahami emosi orang lain, harus diawali dengan terlebih dahulu memahami emosi diri sendiri. Empati merupakan bentuk dari pemahaman terhadap apa yang sedang dirasakan orang lain. “Tidak ada seorang Muslim, sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR.Bukhari)
C.
Kualitas Hubungan dengan Orang Tua 1.
Pengertian Kualitas Hubungan dengan Orang Tua
Hubungan antara remaja dan orang tuanya, dimulai sejak remaja tersebut masih bayi/kanak-kanak. Konsep etologis kelekatan antara anak dan orang tua Ainsworth dan Bowlby (Kenny, 1994). Definisi kelekatan menurut Bowlby dapat dilihat sebagai berikut ini : “The propensity of human beings to make strong affectional bonds to particular others – Kecenderungan manusia untuk membuat ikatan kasih sayang yang kuat kepada orang lain yang istimewa baginya (Madigan, 2008 : 4) ”
83
Di dalam model kelekatan ini, sama – sama mengutamakan hubungan dengan orang tua dan dukungan orang tua untuk kemandirian (Kenny, 1994). Kelekatan dengan orang tua merupakan dasar yang baik untuk memberikan dukungan yang aman bagi anak, kelekatan mampu mengembangkan keaktifan dalam mengeksplorasi lingkungan sekitar (Withrow, 2006 : 87) mengembangkan kemampuan dalam bidang sosial, intelektual, kesejahteraan hidup (Santrock, 2007 : 5) dasar bagi pertumbuhan kepercayaan diri (Sroufe, 2005 : 356), penyesuaian emosi dan kesehatan fisik (Santrock, 2007 : 5) yang kemudian dikembangkan oleh Kenny (Withrow, 2006 : 88) hingga remaja akhir. Walaupun paradigma kelekatan kerap digunakan pada bayi hingga anak – anak awal, namun
konsepsi ini
memiliki relevansi dalam upaya untuk memahami hubungan manusia disepanjang kehidupannya. Ada dua macam model kelekatan, yaitu: Kelekatan aman (secure attachment) dalam kelekatan ini bayi menggunakan pengasuhnya (biasanya ibu) sebagai basis yang aman dalam usahanya mengeksplorasi lingkungan sekitarnya. Model kelekatan aman dianggap sebagai landasan yang penting dalam perkembangan selanjutnya di masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Kelekatan tidak aman (insecure attachment) dalam kelekatan ini, bayi mungkin menghindari pengasuh atau memperlihatkan penolakan atau sikap ambivalen terhadap pengasuh. Kelekatan tidak aman dianggap berkaitan dengan masalah relasi dan perilaku di masa perkembangan selanjutnya (Santrock, 2007 : 25). Bowlby (Shochet, 2007 : 6) menegaskan bahwa tingkah laku kelekatan dikuatkan selama interaksi antara anak dengan pengasuhnya yang utama (biasanya
84
ibu), yang akhirnya berkontribusi besar pada bentukan skema berpikir anak pada perkembangan selanjutnya, skema ini disebut internal working models, yang menggambarkan keseluruhan pemaknaan seseorang terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya. Anak yang tidak memiliki interaksi yang positif, akhirnya menjadikan anak tersebut memiliki kelekatan yang tidak aman. Sedangkan kelekatan aman yang dimiliki oleh remaja akan membantu mereka mengembangkan otonomi atau kemandirian. Merujuk kepada skema internal working models, remaja yang memiliki kelekatan tidak aman akan kurang mampu membangun kedekatan, kepercayaan dan hubungan yang baik dengan rekan sebaya dan orang lain (Madigan, 2008 : 4). Dalam perkembangannya remaja akan menggunakan skema internal working models dalam berhubungan sosial terutama dengan orang tuanya yang merupakan pengasuh utama. Penelitian sudah membuktikan bahwa kualitas hubungan antara orang tua yang merupakan interpretasi dari skema internal working models remaja tentang kelekatan dengan orang tuanya serta pola asuh orang tuanya sendiri, dapat dikatakan lebih penting daripada hanya menekankan pada pola asuh. Pola asuh dapat dikatakan sebagai pondasi dasar, tujuan utama dalam usaha orang tua untuk berinteraksi dengan anak, dimana orang tua menunjukkan tugas/ kewajiban pengasuhan (Wissink,et al, 2006 : 134). Remaja yang sedang memasuki masa individuasi yang menurut Josselson (Desmita, 2008 : 211) dimaknai sebagai keterpisahan dari orang lain dan remaja punya sense of self unik dan berbeda dari orang lain. Lebih lanjut individuasi
85
merupakan sebuah proses ketika remaja mulai berpisah dari keluarga namun pada saat yang sama mereka tetap berpartisipasi sebagai anggota keluarga (Madigan, 2008 : 28). Keinginan remaja untuk melakukan individuasi atau memiliki otonomi terhadap dirinya sendiri, harus didukung secara penuh oleh orang tuanya. Keluarga yang secara psikologis sehat dapat menyesuaikan keinginan remaja untuk mandiri dengan memperlakukan remaja sebagai sosok yang lebih dewasa dan lebih banyak melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan keluarga. Namun keluarga yang secara psikologis tidak sehat sering kali terpaku pada kendali orang tua yang berorientasi pada kekuasaan, dan bahkan orang tua cenderung berinteraksi dengan lebih mendominasi kepada remajanya (Santrock, 2007 : 22). Keterikatan dengan orang tua selama remaja mengalami masa individuasi serta otonomi dapat berfungsi secara adaptif, yang nantinya menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis (Desmita, 2008 : 219). Kualitas hubungan dengan orang tua adalah sebuah wacana yang lebih mendalam dalam kaitannya pertalian orang tua dengan anaknya. Kesimpulannya kualitas hubungan dengan orang tua adalah kelekatan hubungan antara remaja dengan orang tuanya, yang terbentuk dalam internal working model remaja serta pola asuh yang diterapkan orang tua pada remaja. Ketika kualitas hubungan antara remaja dan orang tua pada tingkat yang positif, maka remaja akan merasakan mendapat dukungan yang maksimal dari orang tuanya.
86
2. Kemampuan Orang Tua Dalam Menjalin Hubungan Baik dengan Anak Orang tua harus mempunyai kemampuan untuk menjalin hubungan yang baik dengan anak – anaknya, untuk itu orang tua harus memperhatikan hal – hal sebagai berikut (Qaimi, Ali, 2002 : 11-12) : 1. Menunjukkan suri tauladan yang baik dalam kehidupan keluarga 2. Memberi contoh yang baik dengan cara menjaga keharmonisan dan hubungan suami istri 3. Mencurahkan kasih sayang dan perhatian (seperlunya) kepada sang anak dan menyampaikan hal tersebut kepadanya 4. Menunjukkan keikhlasan dan kesucian dalam bersahabat serta melarang perbuatan riya dan tipu daya. 5. Menunjukkan bahwa mereka selaku orang tua amat mempercayai anak – anaknya. 6. Menghormati dan melayani sang anak dengan baik dirumah sehingga ia akan belajar cara melayani dan menghormati orang lain. 7. Mengajarkan sang anak tentang kenyataan hidup ditengah – tengah masyarakat seraya menunjukkan pelbagai dampak buruk yang dialami anak – anak yang melanggar aturan. 8. Mengawasi pergaulan anak dengan teman – temannya dan memberi peringatan seperlunya 9. Menjauhkan anak dari pergaulan bebas dan persahabatan dengan orang – orang yang lebih dewasa.
87
10. Mengontrol datang perginya sang anak dengan orang lain, serta mengamati sang anak ketika sedang sendirian maupun disaat berkumpul dengan orang lain. 3. Faktor – Faktor Kualitas Hubungan Dengan Orang Tua Kualitas hubungan antara remaja dengan orang tua, dilatarbelakangi oleh kelekatan aman yang dialami oleh remaja tersebut dengan orang tuanya. Berikut ini ada tiga faktor kualitas hubungan dengan orang tua, yaitu : (1) Kualitas hubungan secara afektif dengan orang tua (ayah dan ibu) Hubungan afektif yang nyaman dengan orang tua, dapat diartikan sebagai rasa percaya dan hubungan yang hangat dengan orang tua. Bukti kuat menyatakan bahwa ikatan emosi dengan orang tua berhubungan dengan konsepsi keluarga yang positif, konsep diri sosial yang positif, dan kesejahteraan emosi pada seorang remaja (Poleshuk, 2006 : 37). (2) Dukungan emosi dari orang tua Dukungan emosi berperan utama dalam pengembangan dan pemeliharaan hubungan dengan orang tua. Dukungan emosi dari orang tua dapat meningkatkan keadaan emosi, meningkatkan kemampuan coping, bahkan kesehatan (Burleson, 2008 : 208). Namun remaja secara bertahap mengurangi gambaran ideal terhadap orang tua, dan mengurangi ketergantungan dukungan emosi kepada orang tua (Santrock, 2007 : 23). Dalam posisi yang demikian, oran tua diharapkan bersikap bijaksana dengan mulai melepaskan kendali dalam bidang-bidang di mana remaja dapat mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal, disamping tetap
88
memberikan bimbingan agar anak mampu mengambil keputusankeputusan yang masuk akal (Desmita, 2008 : 219). (3) Fasilitasi kemandirian dari orang tua Kelekatan dengan orang tua berlangsung sejalan dengan ikatan afektif yang mendukung kemandirian, atau bisa disebut juga dengan otonomi (Kenny, 1994). Adanya fasilitasi kemadirian ini menghantarkan remaja mampu beradaptasi ketika sudah memasuki masa meninggalkan rumah tinggal, yaitu ketika mereka sudah mulai memasuki masa SMA, kuliah, dan bekerja. Selain itu fasilitasi kemandirian berperan penting agar individu tersebut mampu menanggulangi perubahan hidupnya (Taub, 1994).
4. Kualitas Hubungan Dengan Orang Tua Dalam Perspektif Islam Remaja yang sedang menapaki usia dewasa, banyak mengalami pergolakan dalam dirinya sendiri mulai pengendalian emosi diri, masalah yang berhubungan dengan kawan sebayanya, sekolah, dan sebagainya. Sehingga mereka harus diberi bimbingan lebih dari orang tuanya. Bimbingan tersebut mencakup pendidikan memahami dan menjalankan kewajiban fardhu ain dan fardhu kifayah, selain itu juga ilmu pengetahuan dan adab, baik adab terhadap sesama manusia maupun pada sang khaliq, pengetahuan,keterampilan,kesalehan, kebiasaan
harian,
keluhuran
budi,fisik
dan
kesehatan,
keimanan,
emosi,kecerdasan,ibadah,sosial,akhlak,seks dan kekuatan mental (Fazrul, 2010).
89
Orang tua diharapkan menjadi pembimbing bagi remaja, agar remaja mampu melewati masa remajanya dengan lancar. Menurut Abdur Rahman al-Bani (Kania, 2008) menyatakan bahwa pendidikan orang tua pada anaknya ada empat unsur, yaitu; menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh),mengembangkan seluruh potensi,mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan,dan melaksanakannya secara bertahap. Pendidikan dari orang tua itulah yang akan dijadikan pegangan bagi remaja dalam mengarungi kehidupannya saat dewasa nanti. Apabila orang tua menmberikan bimbingan dan pengarahan yang baik maka, remaja tersebut akan baik pula di masa depannya. Dalam Al-Qur’an Allah banyak memberikan petunjuk mengenai bagaimana hubungan antara orang tua dengan anak – anaknya terjalin. Petunjuk dari Allah tersebut banyak terdapat di QS Al-Luqman. Berikut QS Al-Luqman (31) : 17 ;
Artinya : “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an.1971 : 655)
Dalam ayat diatas Luqman menyuruh anaknya untuk menegakkan shalat. Karena shalat merupakan tiang agama dan penolak keburukan dan kemungkaran.
90
Luqman juga menyuruh anaknya untuk menyeru dan mengajak pada kebaikan dan menolak semua bentuk kemungkaran. Dalam QS Al-Luqman tidak saja orang tua yang memiliki kewajiban pada anaknya, seorang anak pun memiliki kewajiban pada orang tuanya, seperti halnya yang tersirat dalam QS Al-Luqman (31):14
Artinya : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an. 1971 : 654)
Dalam surat diatas, seorang anak juga dituntut untuk berbuat baik pada kedua orang tuanya, terutama kepada ibunya. Hal ini dikarenakan seorang ibu telah mengandung selama 9 bulan lamanya. Apabila terjalin hubungan yang baik antara anak dan orang tua, maka tentunya di kemudian hari anak akan berkembang dengan baik, dan tentunya tetap berbakti pada orang tuanya. Namun seiring berjalannya waktu orang tua juga tidak boleh lupa dalam membina akhlak anaknya. Terutama ketika sang anak beranjak remaja, apalagi di zaman yang dimana seorang remaja dapat dengan mudah mengakses dunia. Akhlak dapat membentengi seorang remaja dari kemungkinan terjermusnya remaja dari perbuatan amoral. Ada tiga cara (Kania, 2008) yang dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam upaya pembinaan akhlak remaja, yaitu:
91
1. Remaja diarahkan dan dibimbing untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan cara melaksanakan kewajiban – kewajiban dalam beragama, seperti; shalat,berpuasa, dan lain-lain. Serta orang tua tidak lupa untuk melakukan pengawasan agar anak terbiasa berakhlak dengan baik. 2. Meningkatkan interaksi melalui komunikasi dua arah. Terjalinnya komunikasi dua arah antara orang tua dan remaja dapat meminimalisir remaja terjerat dalam tindak menyimpang baik dari norma hukum, agama, dan sosial. Karena komunikasi dua arah mampu mengembangkan kondisi – kondisi positif bagi hubungan antara remaja dan orang tua. 3. Meningkatkan disiplin dalam berbagai bidang kehidupan. Orang tua dalam melaksanakan fungsinya dalam fungsi agama, fungsi pendidikan, fungsi keamanan, fungsi ekonomi, maupun fungsi sosial harus dilandasi dengan penanaman disiplin yang terkendali agar perilaku remaja dapat terkontrol dan tetap sesuai dengan nilai dan norma yang telah diajarkan orang tuanya.
D.
Pengaruh Kecerdasan Emosi Dan Kualitas Hubungan Dengan Orang
Tua Terhadap Kenakalan Remaja Kecerdasan emosi berpengaruh pada kenakalan remaja. Faktor – faktor kecerdasan emosi antara lain (Riggio, et al, 2011 : 1035) : Faktor persepsi terhadap emosi (The Perception Factor), Faktor pengelolaan emosi diri (The managing Self – Relevant Emotions factor), Faktor memahami emosi orang lain
92
(The managing others’ Emotion factor), Faktor manajemen emosi (The utilization factor). Begitu juga kualitas hubungan dengan orang tua juga mempengaruhi kenakalan remaja. Penelitian Maizatul Akmam Bt Abu Bakar (2007) menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan keluarga dan kecerdasan emosi, dan perilaku nakal. Selanjutnya ditemukan juga hubungan yang signifikan antara hubungan menunjukkan
keluarga
dan kecerdasan
emosi. Hasil
analisis
korelasi
(r =-0.24, p<0.01) yang dapat dijelaskan bahwa pelajar yang
mempunyai hubungan keluarga yang lebih baik maka semakin tidak terlibat dengan perilaku delinkuen. Secara keseluruhannya dalam penelitian ini didapat hasil kajian menunjukkan bahawa terdapat hubungan yang signifikan di antara kecerdasan emosi dengan tingkah laku delinkuen di mana r = -0.17 (p<0.05). Hasil ini juga didukung oleh hasil uji korelasi p = 0.008. hal ini menunjukkan, semakin tinggi kecerdasan emosi pelajar, semakin rendah tingkahlaku delinkuen pelajar tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Yunita Zahra (2011) pada 155 orang remaja laki-laki berusia 12 – 15 tahun untuk melihat pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Perilaku Delinkuen Pada Remaja Laki-Laki. Hasil kajian tersebut menunjukkan hubungan yang negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku delinkuen dengan nilai r=-0,566. sumbangan efektif variabel kecerdasan emosional terhadap perilaku delinkuen sebesar 32%. Salah satu aspek kecerdasan emosi yang berupa kemampuan membina hubungan atau handling relationship dapat dijelaskan sebagai upaya penyesuaian
93
diri terhadap lingkungan sosial. Orang yang mampu melakukan penyesuaian sosial, merupakan orang yang mengesankan dalam pergaulan sosial. Memiliki kemampuan yang cakap dalam mengungkapkan emosi mereka (Goleman, 1999 : 167). Kemampuan yang tinggi dalam aspek tersebut dapat dikaitkan dengan rendahnya kecenderungan perilaku delinkuen remaja. Hal ini diungkapkan dalam penelitian pada sebagian siswa SMU PGRI 01 Kendal, yang dilakukan oleh Eko Setianingsih,et al (2006). Hasil penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut,dengan menggunakan korelasi parsial (r par) yang dilakukan terhadap hubungan antara penyesuaian sosial dengan kecenderungan perilaku delinkuen pada siswa diperoleh r = -0,450 dengan p<0,01. Hal ini berarti ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara penyesuaian sosial dengan kecenderungan perilaku delinkuen pada siswa. Kenakalan remaja juga erat kaitannya dengan keluarga, yang dalam penelitian ini lebih ditekankan pada orang tua yaitu kualitas hubungan dengan orang
tua.
Kualitas
tinggi
hubungan
dapat
dilihat
dari
kehangatan, penerimaan, dan perlindungan. Kualitas hubungan tidak hanya menghambat perilaku bermasalah, tetapi juga mengurangi timbulnya kecemasan, depresi dan stres psikologis (Overbeek, 2005 : 41). Kenakalan
remaja
seperti
penyalahgunaan
narkotika, penggunaan
minuman beralkohol, dan pelanggaran pidana (Riggio, et al : 2011 : 1033), banyak dilakukan oleh remaja dengan alasan yang mencengangkan yang ternyata penyebabnya adalah orang tua. Bahkan ada yang menyatakan bahwa mereka tenggelam dalam penyalahgunaan narkoba karena hanya untuk pelarian saja, hal
94
ini dikarenakan orang tuanya tidak bisa memahaminya (Daradjat, 1975 : 20). Namun remaja yang menggambarkan hubungan dengan ayah dan ibunya positif, sedikit sekali berhubungan dengan rekan – rekannya yang menyimpang. Sehingga mereka lebih sedikit merokok, dan minum minuman beralkohol (Werner, 2003 : 457). Banyak kajian penelitian lain yang mendukung pernyataan bahwa kenakalan remaja sangat erat kaitannya dengan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Erva Novasari Dewi (2008) pada siswa SMU N 1 Sleman yang berusia 17 – 19 tahun dan tinggal bersama orangtua atau keluarga, hasil dari penelitian itu menyatakan bahwa persepsi remaja terhadap komunikasi efektif dalam keluarga menyumbang 16,4 % terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Maria Ulfah (2007) pada 120 siswa SMPN 20 Surakarta Jawa Tengah, hasil dari penelitian itu bahwa sumbangan efektif peran persepsi keharmonisan keluarga terhadap kecenderungan kenakalan remaja. adalah sebesar 7,2%. Sebuah kajian yang menarik ketika menghubungkan kenakalan remaja dengan struktur keluarga. Diketahui bahwa keluarga utuh adalah yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, kemudian ketika ayah atau ibu mengalami perpisahan baik itu karena kematian atau perceraian, maka keluarga menjadi tidak utuh lagi. Hingga timbullah orang tua tunggal, orang tua tiri, dan sebagainya. Tingginya tingkat kenakalan yang terjadi pada remaja yang berasal dari keluarga yang terganggu (Juby, 2001 : 24), terutama disebabkan oleh efek yang merusak dari sebuah perpisahan, dan perceraian dalam sebuah ikatan pernikahan. Mereka yang berasal
95
dari latar belakang keluarga yang terganggu memiliki rasa kebencian terhadap kedua orang tuanya, yang akhirnya membuat mereka memiliki sedikit afeksi dan komunikatif. Namun perceraian orang tua tidak selalu menimbulkan masalah pada remaja (Papalia, et al, 2009 : 614). Nye (Demuth, 2004 : 61) menjelaskan bahwa struktur keluarga tidaklah berakibat langsung pada kenakalan remaja, namun yang mempengaruhi adalah efek tidak langsung dari kontrol sosial yang berasal dari hubungan keluarga. Sokol-Katz dan Dunham (Sheehan,et al, 2010 : 26) menyatakan bahwa struktur keluarga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kenakalan. Tetapi yang lebih berperan adalah jenis dan kualitas hubungan anak dengan orang tua. Mereka juga mengklaim bahwa struktur keluarga tidaklah sepenting proses yang terjadi di dalam keluarga dan interaksi yang terjadi. Namun keterikatan yang kuat kepada dua orang tua, telah ditemukan mampu memberikan efek pencegahan lebih besar terhadap kenakalan, daripada keterikatan hanya satu orangtua (Demuth, 2004 : 61). Sebuah studi di Korea (Nasir, 2011 : 1) menegaskan bahwa kenakalan remaja lebih terkait dengan disfungsi dinamika hubungan pada orang tua, hubungan keluarga yang kurang berfungsi dan level yang lebih tinggi dalam kekerasan rumah tangga (jika dibandingkan dengan remaja yang tidak nakal).
96
E.
Hipotesis Menurut Ghony (Somantri, Muhidin, 2006 : 157) hipotesis adalah
pernyataan sementara, yang harus diuji kebenarannya. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai beruikut : 1. Hipotesis Minor Pertama Ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan kenakalan remaja. 2. Hipotesis Minor Kedua Ada hubungan negatif antara kualitas hubungan dengan orang tua dengan kenakalan remaja. 3. Hipotesis Mayor Ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi, kualitas hubungan dengan orang tua terhadap kenakalan remaja